Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Karakteristik Matahari Interaksi bumi atmosfer tidak lepas dari peranan matahari sebagai sumber energi dalam bentuk radiasi. Radiasi matahari terdistribusi melewati atmosfer, ke permukaan tanah dan perairan, menimbulkan efek gerak berskala lokal maupun global dalam skala waktu yang cepat (cuaca) bahkan berlangsung dalam skala waktu yang lama (iklim). Energi matahari dijalarkan ke permukaan dan diradiasikan ke dalam ruang angkasa. Dalam perjalarannya ke permukaan, 30% energi matahari akan direfleksikan dan disebar kembali ke angkasa, memberikan bumi dan atmosfer albedo sekitar 30%, sementara itu sebanyak 19% diabsorbsi oleh atmosfer dan awan serta 51% diabsorbsi oleh permukaan (Ahrens, 2003). Di dalam inti matahari terjadi reaksi termonuklir atau reaksi rantai proton-proton (reaksi p-p), yaitu pada empat proton terjadi fusi membentuk inti baru yang mengandung dua proton dan dua neutron. Dari reaksi ini dapat dihasilkan energi sebesar 25 MeV atau 0.4 x 10-4 erg. Energi akibat kehilangan sejumlah massa tersebut dapat dinyatakan dalam : E = m . c2 ... ( II.1) Dengan c adalah cepat rambat cahaya dan m adalah jumlah massa yang hilang. Dengan demikian kuantitas energi (E), jumlahnya akan semakin besar, sehingga total energi yang dihasilkan dari tak berhingga reaksi fusi yang terjadi pada inti matahari dalam tiap detiknya akan sangat besar. II.2 Struktur Matahari Berdasarkan materi gas penyusun, matahari didominasi oleh atom hidrogen (70%), sebagian kecil atom helium (25%), dan unsur lainnya 5 %. Bagian paling dalam disebut inti pusat (core) dengan suhu mencapai 15 juta kelvin. Karena tekanan yang sangat kuat dari inti dalam, sekitar 300 juta kali tekanan paras muka laut di atmosfer bumi, maka terjadi ekspansi arah radial menuju permukaan lapisan matahari. Lapisan di atas inti disebut zona radiatif (radiative zone), dimana energi yang berasal dari inti dipindahkan secara radiatif, 5 yaitu perpindahan energi tanpa disertai adanya perpindahan materi. Tebal zona radiatif mencapai 71% dari jari-jari matahari. Lapisan di atas zona radiatif adalah zona konvektif (convective zone), dimana energi pada daerah ini diteruskan ke permukaan matahari dengan cara konveksi, zona in cenderung labil dan memungkinkan terjadinya turbulensi karena proses perpindahan energi terjadi secara konveksi. Fotosfer (photosphere) adalah lapisan di atas zona konveksi dan merupakan permukaan dari matahari dengan suhu mencapai 5800 kelvin dan densitas 108 g cm-3. Lapisan di atas fotosfer adalah kromosfer (chromosphere), dengan ketebalan sekitar 1.6 x 104 kilometer dan suhu mencapai 106 kelvin pada ketebalan 2000 kilometer bagian bawah kromosfer. Gambar II.1 Model struktur Matahari (Lang, 1995) II.3 Aktivitas Matahari Proses Dynamo magnetohydrodynamics (MHD) merupakan model yang menjelaskan terjadinya proses aktif medan magnetik pada piringan matahari yang sederhana dan penguatan medan magnetik berbanding lurus dengan medan magnetik awal. Dinamo matahari bermigrasi seperti yang ditunjukkan gambar II.2 yang disebut sebagai model dinamo Babcok, model ini memperlihatkan terjadinya siklus aktivitas matahari. 6 Gambar II.2 Dinamo Babcok a) medan di kutub matahari dengan aktivitas minimum matahari, b) terjadi perbedaan rotasi, c) pembentukan bidang toroida, d) terjadi siklus, mengapung dipermukaan dan meledak, e) membentuk daerah aktif bintik hitam dan f) masa pemisahan regenerasi aktif kutub matahari yang dengan pembalikan tanda (http://en.wikipedia.org/wiki/Solar_variation). Dengan melihat pengamatan dan pemrosesan data berdasarkan teori dinamo akan memberikan pemahaman mengenai fluks magnetik matahari. Penguatan bermula dari medan dikutub tumbuh atau meluruh menjadi siklus aktivitas di matahari. Jika proses dinamo dianggap bersifat linier, maka akan ada korelasi langsung antara jumlah daerah aktif pembentukan dan kuatnya medan mangetik kutub matahari dekat minimum matahari. Proses dinamo pada lapisan luar matahari atau daerah konveksi menciptakan medan magnet yang menghasilkan antara lain : bintik matahari, flare matahari, lontaran massa korona dan aktivitas magnet lainya. Siklus matahari adalah variasi masa aktif dan tidaknya medan matahari yang mencakup jangka waktu kelipatan 11 tahun. Pada suatu waktu matahari dapat memancarkan radiasi yang sangat kuat dan disebut sebagai radiasi katastropik. Radiasi katastropik berasal dari flare yang memancarkan radiasi dengan panjang gelombang sinar-X sampai dengan panjang gelombang radio. Bentuk aktivitas lain dari matahari adalah prominance atau filament. Ledakan filament 7 bersamaan dengan pelepasan massa oleh corona, dimana gelembung magnetik raksasa memancar keluar dari matahari. Ledakan ini juga melepaskan berjutajuta ton materi berupa partikel-partikel kosmik ke luar angkasa dengan kecepatan yang sangat tinggi. Flare, prominance dan pelepasan massa oleh corona dalam skala besar terjadi dengan periode waktu rata-rata 11 tahun, hampir bersamaan dengan sunspot maksimum. Radiasi yang dipancarkan dengan sangat kuat dari flare dapat mencapai bumi hanya dalam tempo puluhan menit, dan dianggap dapat merubah kondisi atmosfer bagian atas, mengacaukan komunikasi radio serta mengganggu orbit satelit. II.4 Sunspot Sunspot merupakan fenomena yang terjadi pada matahari akibat adanya aktivitas magnetik di dalam matahari itu sendiri. Sunspot muncul secara berkelompok bervariasi dalam jumlah dan ukuran. Sunspot berukuran kecil mempunyai waktu aktivitas sekitar satu hari, sedangkan untuk sunspot ukuran besar dapat mencapai lebih dari satu bulan. Sunspot akan muncul pada ukuran maksimal jika posisinya berada di sekitar ekuator matahari. Daerah pusat sunspot memiliki warna lebih gelap yang disebut umbra dengan ukuran diameter kurang lebih setengah diameter sunspot total serta mempunyai suhu mencapai 4500 kelvin. Daerah yang melingkari umbra dan memancarkan cahaya sedikit lebih terang disebut penumbra. Ukuran sunspot bervariasi antara 300 km sampai 100.000 km, relatif terjadi di lintang rendah antara 40o LU dan 40o LS. Bilangan sunspot dihitung berdasarkan perhitungan empiris dengan rumus : ... (II.2) R = K(10g + f) Dimana R adalah bilangan Sunspot, f merupakan total bilangan sunspot yang tampak pada matahari, g adalah jumlah group atau kelompok sunspot, dan K merupakan faktor reduksi yang tergantung pada metode pengamatan dan teleskop yang digunakan, untuk perhitungan digunakan K = 1. Fenomena sunspot merupakan salah satu komponen pembangkit hujan jangka panjang yang sangat signifikan. Bukti bahwa sinyal periodik sunspot 8 hadir pada data curah hujan dapat ditinjau dari spektrum data curah hujan berbasis tahunan. Radiasi matahari adalah faktor utama penentu iklim bumi, karena itu diduga perubahan aktivitas matahari juga berpengaruh terhadap perubahan cuaca dan iklim di bumi. Salah satu indikator aktivitas matahari adalah sunspot, yang merupakan bercak-bercak gelap di fotosfer matahari, bintik-bintik ini adalah petunjuk aktivitas matahari yang pada saat aktif biasanya banyak bintik tampak di fotosfer (Chatief et.al, 2001). Gambar II.3 Sunspot matahari (Giovanelli, 1984) Siklus sunspot terjadi dalam kurun waktu kira-kira 11 tahunan namun bervariasi antara 7 dan 17 tahun dalam jumlah dan area sunspot sebagaimana yang diberikan oleh bilangan sunspot. Bilangan tersebut terdiri dari suatu ukuran minimum antara 0 sampai 10 dan menjadi maksimum antara 50 sampai 140 sekitar 4 tahun berikutnya serta perlahan menjadi turun (Sulman, 2000). Gambar II.4 Siklus Sunspot 9 Sunspot tidak hanya periodik pada bilangannya, akan tetapi juga memperlihatkan perubahan yang periodik pada posisi lintang. Awal siklus baru, gejala sunspot mulai muncul pada sabuk 300 LU dan 300 LS lintang permukaan matahari. Sabuk tersebut kemudian bergerak menuju ekuator dimana sunspot mulai tumbuh dan tampak jelas serta mencapai ukuran maksimum disekitar sabuk 160 LU dan 160 LS. Kemudian sabuk tersebut terus bergerak menuju ekuator matahari, akan tetapi aktivitas sunspot mulai menurun kemudian menghilang disekitar 80 LU dan 80 LS. Dua atau tiga tahun sebelum aktivitas sunspot benar-benar menghilang, gangguan baru mulai muncul kembali di daerah 300 LU dan 300 LS. Sinar kosmik terbentuk dari partikel subatom antara lain elektron, proton dan neutron. Sebuah proton dan elektron membuat sebuah atom hidrogen dan atom ini paling banyak di ruang angkasa. Sinar kosmik terdiri dari 90 persen proton yang berasal dari inti hidrogen, sisanya 10 persen neutron dari inti elemen berat seperti helium, proton memiliki energi sekitar 1018eV. Sinar kosmik memiliki energi dan kecepatan yang tinggi mendekati kecepatan cahaya. Sinar kosmik tidak diperoleh pada atmosfer bumi sebelum bertumbukan dengan molekul udara nitrogen dan oksigen di atas ketinggian 20 km (atmosfer atas) disebut sebagai lapisan sinar kosmik. Pada lapisan sinar kosmik ini terdapat molekul bermuatan. Partikel sinar kosmik menabrak inti nitrogen dan oksigen, kemudian muncul partikel baru. Sinar kosmik yang berasal dari ruang angkasa disebut sebagai sinar kosmik primer dan partikel yang baru disebut dengan sinar kosmik sekunder. Sinar kosmik sekunder terdiri dari: muon, neutrino, elektron, sinar gamma dan neutron. Partikel sinar kosmik yang tidak bermuatan menyebar dan terus menabrak partikel molekul udara, sehingga membuat hujan partikel yang mengarah permukaan bumi. Lebih dari satu juta partikel dalam satu menit dihasilkan akibat sinar kosmik primer menabrak inti molekul yang mengikat hidrogen. Interaksi sinar kosmik dengan suatu inti atmosfer menghasilkan hujan partikel. Sinar kosmik sekunder dapat dibagi menjadi komponen lunak (sinar gamma, elektron, positron) dan keras (muon). Komponen lunak terjadi 10 mengarah pada interaksi kuat antara partikel sinar kosmik dengan inti atmosfer seperti inti nitrogen dan oksigen, reaksi ini menghasilkan pion netral dan pion bermuatan. Pion tak bermuatan meluruh menjadi sinar gamma. Jika sinar ini melindas partikel elektron akan menghasilkan hujan partikel-partikel baru elektron dan positron. Partikel proton menabrak inti atom oksigen-16 menghasilkan neutron dan pion bermuatan. Semua reaksi inti di atas berlangsung sangat cepat dan menghasilkan hujan partikel bermuatan atau neutral cukup banyak. Hujan sinar kosmik ini dapat diamati dengan sebuah pengukur partikel, biasanya menggunakan fotomultiflier sebagai sensor. Sinar partikel dibedakan dengan spektrum yang teramati, tentu spektrum elektron dan proton akan lain, demikian halnya dengan spektrum partikel yang berbeda-beda. p + 14N Æ π0 Æ γ Æ e+ + e- ... (II.3) p + 16O Æ n + π+ ... (II.4) Pion bermuatan meluruh menjadi muon bermuatan dan neutrino menghasilkan komponen keras, muon merupakan partikel yang tak stabil dengan lamanya waktu hidup 2,21± 0,01μs, muon bebas meluruh menjadi elektron dan partikel netral. π+Æ μ+ + νμ ... (II.5a) π-Æ μ- + ... (II.5b) ± ± μ Æ e + νμ + ... (II.5c) dengan: N:nitrogen, O:oksigen, p:proton, π:pion, γ:sinar gamma, e:elektron, μ:muon, νμ:neutrino, :antineutrino elektron, :antineutrino muon, n:neutron. 11 Gambar II.5. Sinar kosmik primer yang masuk pada atmosfer atas bumi sekitar 30 km dari permukaan (Nichols dan Mukund, 1998). Variasi muatan neutral dan bermuatan menghasilkan hujan sinar kosmik. Tumbukan antara sinar kosmik energi tinggi dengan nitrogen dan oksigen menghasilkan pion netral, pion bermuatan, neutron, elektron, positron dan sinar gamma diperlihatkan pada persamaan II.3 dan II.4. Pion-pion merupakan partikel dengan massa lebih besar dari elektron tapi lebih kecil dari proton. Persamaan II.5a, II.5b dan II.5c merupakan peluruhan dengan cepat pion bermuatan dan muon bermuatan. Muatan pion meluruh menjadi muon dan muon antineutrino yang tak bermuatan, pion netral meluruh menjadi foton (sinar gamma), muon dan antineutrino diproduksi oleh pion bermuatan juga akan bermuatan. Muon meluruh menjadi sebuah elektron, positron, antineutrino muon dan antineutrino elektron. Pion netral meluruh menjadi dua sinar gamma (Nichols dan Mukund, 1998). Jika partikel sinar kosmik kehilangan energi di atmosfer, maka tidak semua yang sinar kosmik sekunder akan mencapai permukaan. 12 Gambar II.6 Lapisan sinar kosmik primer masuk ke atmosfer atas sekitar 30 km dan menabrak molekul udara menghasilkan sinar kosmik sekunder (Nichols dan Mukund, 1998). Peranan aktivitas matahari pada pembentukan awan dipercayai berkaitan dengan variabilitas fluks sinar kosmik primer. Data sinar kosmik primer direkam instrument neutron pada permukaan bumi, alat ini dapat mendeteksi variasinya sebagai energi rendah dari spektrum sinar kosmik primer. Intensitas sinar kosmik primer memperlihatkan hubungan terbalik dengan siklus sunspot. Gambar II.7 memperlihatkan bahwa pada saat puncak bintik matahari siklus 1012 tahun dan terjadi minimum di sinar kosmik primer atau biasa juga disebutkan bahwa sinar kosmik primer terlambat fasa sembilan puluh derajat terhadap aktivitas matahari. Hal ini disebabkan oleh medium antara planet membelokkan sinar kosmik selama aktivitas matahari tinggi. Akibatnya sinar kosmik primer nampak termodulasi oleh aktivitas matahari (Siregar, 2006). 13 Gambar II.7 Kurva variabilitas sinar kosmik dan bilangan bintik matahari. Kurva memperlihatkan bahwa sinar kosmik primer (kurva kedua dari bawah) dimodulasi terbalik oleh siklus aktivitas matahari (kurva bawah) (Svensmark dan Friis, 1997). II.5 Sistem Bumi - Matahari Jarak antara matahari dan bumi selalu berubah sepanjang tahun yang dikenal sebagai gerakan semu matahari. Gerakan semu matahari dibatasi oleh garis lintang 23.50 U yang disebut tropis Cancer atau garis balik utara dan lintang 23.50 S yang disebut sebagai tropis Capricon atau garis balik selatan. Setahun terdapat musim bunga (21 Maret) atau musim gugur (23 September) yang jatuh pada ekinoks. Dua kali setahun jarak terjauh antara matahari-bumi yang menghasilkan musim panas (22 Juni) atau musim dingin (22 Desember) di belahan bumi Utara yang jatuh pada solstis, terjadi pada saat sudut antara sumbu antara matahari dan bumi sebesar 23.50 di belahan bumi Utara dan Selatan. 14 23.5º Spring (sun aims directly at equator) Solar radiation Winter (northern hemisphere tilts away from sun) Summer (northern hemisphere tilts toward sun) Fall (sun aims directly at equator) Gambar II.8 Posisi matahari-bumi menentukan empat musim yakni musim panas (summer), musim dingin (winter), musim gugur (autum) dan musim semi (spring) di belahan bumi Utara. Berdasarkan posisi relatif matahari – bumi, bumi menerima panjang hari yang bervariasi. Pada lintang 600 panjang siang berkisar antara 5 jam 30 menit pada musim dingin sampai 18 jam 30 menit pada musim panas. Sedangkan di ekuator lamanya siang dan malam 12 jam sepanjang musim baik pada soltis musim dingin, ekinoks musim semi, soltis musim panas maupun ekinoks musim gugur. Tabel II.1 Durasi matahari terbit sampai terbenam (siang hari) Lintang (derajat) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Soltis musim dingin 12 jam 0 menit 11 jam 25 menit 10 jam 48 menit 10 jam 4 menit 9 jam 8 menit 7 jam 42 menit 5 jam 0 0 0 Ekinoks musim semi atau gugur 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit 12 jam 0 menit Sumber : Bayong (2006) 15 Soltis musim panas 12 jam 0 menit 12 jam 38 menit 13 jam 12 menit 13 jam 56 menit 14 jam 52 menit 16 jam 18 menit 18 jam 27 menit 2 bulan 4 bulan 6 bulan Perawanan biasanya tinggi dekat ekuator, terutama sekitar ekinoks. Keadaan ini merupakan generalisasi yang mungkin terdapat banyak penyimpangan. Temperatur kontinentalitas, relief dan permukaan laut menyebabkan perbedaan perawanan yang besar. Sumber kehilangan insolasi lain adalah debu dan asap dalam atmosfer. Daerah industri, erupsi vulkanik dan badai debu dapat meningkatkan kehilangan insolasi secara temporal dan regional (bayong, 2006). Beberapa sirkulasi skala planeter yang mempengaruhi cuaca di lintang rendah termasuk Indonesia, yaitu Sirkulasi Walker, Sirkulasi Hadley dan Sirkulasi Monsun. Lokasi intensitas dari sirkulasi-sirkulasi tersebut dapat bervariasi oleh beberapa faktor yaitu temperatur permukaan laut (SST), kelembapan tanah dan liputan es atau salju (Krishnamurti, 1987). Sementara itu, Susilo (1996) menggolongkan sirkulasi atmosfer berdasarkan skala ruang dan waktu menjadi sirkulasi primer, sirkulasi sekunder dan sirkulasi tersier. Daerah konvergensi intertropis dengan curah hujan yang besar merupakan daerah sumber energi yang menggerakkan sirkulasi umum di dalam atmosfer tropis melalui panas laten kondensasi yang dilepaskan. Pergerakan angin permukaan beserta pergerakan udara pada lapisan atas troposfer dan gerakan udara vertikal ke atas membentuk sirkulasi yang mempunyai arah gerak meridional (utara – selatan) yang disebut sel Hadley. Sirkulasi Hadley merupakan sirkulasi atmosfer yang disebabkan oleh ketidaksaman distribusi temperatur sehingga menimbulkan perbedaan distribusi panas di atmosfer. Udara di daerah lintang rendah lebih panas dibandingkan dengan udara di kutub, oleh karena itu udara dengan temperatur lebih panas tersebut akan naik secara vertikal dan bergerak ke arah kutub di troposfer atas. Udara ini akan kehilangan energi termal akibat radiasi. Di sisi lain udara dingin di kutub akan turun dan bergerak ke arah ekuator di troposfer bawah. Udara dari kutub ini akan mengabsorbsi energi termal radiasi dan mengalami kenaikan temperatur. Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi zonal dari timur ke barat sepanjang ekuator. Dicirikan oleh pergerakan udara ke atas di Pasifik barat (wilayah Indonesia), dan pergerakan udara ke bawah di Pasifik timur (lepas 16 pantai Amerika Selatan). Sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature). Perbedaan suhu permukaan laut dan kandungan panas dalam air laut akan ditransfer ke atmosfer sehingga menimbulkan perbedaan tekanan permukaan. Terdapat interaksi yang sangat kuat antara laut dan atmosfer, sedemikian sehingga jika salah satu kompoenen iklim tersebut mengalami perubahan maka komponen yang lain pun akan berubah. Salah satu contoh fenomena perubahan iklim sebagai konsekuensi interaksi tersebut adalah fenomena yang dikenal sebagai ENSO. Monsun merupakan sistem angin darat-laut skala regional atau global karena adanya perbedaan kapasitas panas antara benua dan lautan disekitarnya yang berubah secara musiman sesuai dengan pergerakan matahari. Pada saat musim panas, benua akan lebih panas dari lautan disekitarnya sehingga diatasnya terbentuk pusat tekanan rendah dan terjadi aliran massa udara dari arah lautan ke arah benua, sebaliknya pada musim suhu lautan akan lebih tinggi dari benua. Hal ini menyebabkan timbulnya pusat tekanan rendah diatas lautan dan terjadi aliran massa udara dari arah benua menuju lautan. Sistim sirkulasi yang ditimbulkan inilah yang disebut sebagai monsun. Indonesia, karena letak geografisnya dipengaruhi oleh sirkulasi monsun benua Asia dan Australia. Monsun barat (bagi wilayah indonesia di selatan ekuator) bersifat basah dan monsun timur bersifat kering. Gambar II.9 Batas-batas daerah monsun (Ramage, 1971) 17 Daerah monsun didefinsikan sebagai daerah yang terletak dalam wilayah dengan batas geografis 350 LU – 250 LS dan 300 BB – 1700 BT (Ramage, 1971). Indonesia termasuk dalam wilayah monsun, tetapi karena letak geografisnya, maka pola curah hujan tidak murni monsun, tetapi juga terdapat wilayah dengan pola ekuatorial, yaitu memiliki dua puncak musim penghujan dan tanpa musim kemarau. Dengan menggunakan data iklim, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) membagi seluruh wilayah Indonesia dalam tiga wilayah, yaitu daerah monsun dengan pola curah hujan tahunan berbentuk huruf “V”, daerah ekuatorial dan daerah dengan pola lokal yang merupakan kebalikan dari pola monsun. Dari rumusan tersebut diatas jelas bahwa wilayah indonesia termasuk di dalamnya dan berada dibawah pengaruh sistem sirkulasi monsun. Gambar II.10 Pola Curah Hujan di Indonesia (Sumber : BMG) II.6 Kondisi Geografis Kalimantan Kalimantan terletak pada posisi antara 1050 – 118.5° BT dan 4.50 LU – 4.30 LS. Sebelah utara kalimantan berbatasan dengan Malaysia, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Selat Karimata dan Laut Natuna, sementara sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar. Luas keseluruhan wilayah kalimantan adalah 530.040,02 km2. Sebagian wilayah kalimantan berada pada belahan bumi utara, sementara wilayah yang lain berada pada belah bumi selatan. Karena itu secara klimatologis pola iklim kalimantan merupakan pola iklim yang cukup unik ditambah lagi sebagian wilayahnya merupakan zona konvergensi (Inter Tropical 18 Convergence Zone, ITCZ) yaitu ekuatorial. Secara khusus dalam bukunya “Short-Long-Term Changes in Climate”, Sulman (2000) menempatkan ekuator sebagai daerah dengan iklim khusus (Equatorial Climate) karena keunikannya. 40 LU 00 40 LS 1120 BT 1160 BT Gambar II.11 Posisi geografis Kalimantan 19