III. UJI TOKSISITAS AKUATIK A. Uji Toksisitas Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. Uji toksisitas digunakan untuk mempelajari pengaruh suatu bahan kimia toksik atau bahan pencemar terhadap organisme tertentu. Dalam toksikologi dan uji tokisitas sering digunakan istilah-istilah berikut: 1. Akut : tanggapan berat dan cepat terhadap rangsang, biasanya dalam waktu 4 hari untuk ikan dan biota akuatik lainnya. 2. Subakut : tanggapan terhadap rangsang yang tidak seberat tanggapan akut, timbul dalam waktu lebih lama dan dapat menjadi akut. 3. Kronik : tanggapan terhadap rangsang yang berlangsung dalam waktu lama, paling tidak mencapai > 0,1 masa hidup. 4. Letal : rangsang pada konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian secara langsung. 5. Subletal : rangsang pada konsentrasi di bawah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian secara langsung. 6. Bioassay Aquatic : uji toksisitas dengan menggunakan biota air guns mengetahui pengaruh bahan toksik atau faktor-faktor lingkungan. 7. Uji Toksisitas Dinamik : uji toksisitas pada organisme uji yang diper- (Flow-through Toxicity Test) lakukan dengan serangkaian konsentrasi bahan toksik yang toksikan dan air ujinya selalu diganti. Biasanya organisme uji diperlakukan dalam air uji yang mengalir selama > 4 hari. Uji Toksisitas Statik : uji toksisitas pada organisme uji yang diper- (Static Toxicity Test) lakukan dengan serangkaian konsentrasi bahan toksik tanpa penggantian air uji. Dosis Letal-50 : dosis bahan toksik yang dapat menyebabkan (Lethal Dose-50 atau LD50) kematian 50% populasi organisme uji dalam periode waktu tertentu. 8. 9. Universitas Gadjah Mada 10 11 12 13 14 Konsentrasi Letal-50 : konsentrasi atau kadar bahan toksik yang (Lethal Concentration-50 dapat menyebabkan kematian 50% populasi atau LC50)organisme uji dalam periode waktu tertentu. Dosis Efektif-50 : dosis bahan toksik yang menyebabkan peru- (Effective Dose-50 bahan tingkah laku dan tanggapan fisiologik atau ED50) tertentu pada 50% populasi organisme uji dalam periode waktu tertentu. Konsentrasi Efektif-50 : konsentrasi bahan toksik yang menyebabkan (Effective Concentration-50 efek tertentu pada 50% populasi organisme atau EC50) uji dalam periode waktu tertentu. Konsentrasi Aman : konsentrasi maksimum bahan toksik yang (Safe Concentration tidak membahayakan organisme setelah ber- atau SC) sentuhan dengan bahan tersebut dalam periode waktu lama, setidak-tidaknya satu generasi. Konsentrasi Toksikan Mak- : konsentrasi bahan toksik yang mungkin ter- simal yang Diperbolehkan dapat dalam air tanpa menyebabkan gang- (Maximum Alloable guan berarti bagi organisme air. Toxicant Concentration atau MATC) Penentuan toksisitas akut umumnya digunakan untuk menentukan tingkat konsentrasi bahan toksik yang menimbulkan efek merugikan terhadap persentase spesifik organisme uji dalam periode waktu yang pendek. Penentuan toksisitas akut yang paling umum yaitu penentuan mortalitas atau letalitas akut. Pada umumnya toksisitas diekspresikan sebagai [C 50 atau LD50 yaitu konsentrasi atau dosis yang dalam kondisi spesifik menyebabkan mortalitas separoh populasi organisme dalam jangka waktu tertentu. Secara eksperimental efek 50% populasi merupakan ukuran toksisitas yang paling reproduksibel suatu bahan toksik terhadap suatu kelompok organisme uji. Waktu 96 jam merupakan lama (durasi) persentuhan yang mullah dan umum digunakan, oleh karena itu pengukuran toksisitas akut yang paling banyak dilakukan yaitu penentuan LC50-96 jam. Universitas Gadjah Mada B. Bahan, Alat dan Organisme Uji Peaksanaan uji toksisitas yang banyak digunakan yaitu uji toksisitas statik. Dalam uji toksisitas statik, organisme uji dan larutan uji ditempatkan dalam bejana-bejana uji selama durasi waktu pengujian. 1. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam uji toksisitas dapat berupa berbagai senyawa kimia baik organik maupun anorganik, misalnya: air limbah, satu atau lebih senyawa kimia murni, pestida, dan lain-lain. Bahan uji lainnya yang mutlak diperlukan dalam uji toksisitas akuatik yaitu air. Guna memperoleh hasil uji toksisitas yang baik dan akurat, air uji harus memenuhi beberapa persyaratan berikut: a. suhu berkisar antara 25-27°C dengan amplitudo harian kurang dari 5°C b. derajat keasaman (pH) sebaiknya antara 6,0-7,5 atau setidak-tidaknya antara 5,09,0 c. kandungan oksigen (O2) telarut antara 4,0-8,0 ppm atau setidak-tidaknya tidak kurang dari 3 ppm d. kandungan karbon dioksida (CO2) bebas antara 3,0-15,0 ppm atau setidaktidaknya kurang dari 50,0 ppm e. kandungan ammonia, nitrit atau nitrat tidak lebih dari 10,0 ppm f. kandungan HCO3 antara 60,0-70,0 ppm g. volume air sekitar satu liter per 0,8 g berat ikan. Alat yang diperlukan dalam uji toksisitas antara lain bejana uji, aerator, dan berbagai alat pendukung lainnya. Bejana uji yang baik yaitu yang terbuat dari bahan gelas. 2. Organisme Uji Dalam uji toksisitas dapat digunakan berbagai jenis organisme, misalnya anggota kelompok crustacea, mollusca atau pisces (ikan); walaupun demikian, terdapat jenisjenis organisme uji yang direkomendasikan sejumlah besar referensi digunakan dalam uji toksisitas baku, misalnya: Daphnia magna, Daphnia pulex, Chironomus plumosus, Carrassius auratus, Cyprinus carpio dan Universitas Gadjah Mada Clarias batrachus (Johnson dan Finley 1980). Guna menjaga homogenitas, hewan uji yang digunakan sebaiknya berasal dari satu tempat yang sama. Jika menggunakan ikan sebagai hewan uji, maka sebaiknya ikan yang digunakan mempunyai berat 0,21,5 g (fingerling fish). Guna meningkatkan akurasi hasil, sebaiknya hewan uji yang digunakan umurnya relatif sama. Jika menggunakan ikan, maka umur yang relatif sama tersebut dapat didekati dengan menggunakan ikan yang mempunyai perbandingan ukuran panjang baku ikan yang terkecil dengan ikan yang terbesar tidak lebih dari 1 : 1,5; misalnya jika panjang baku ikan terkecil yang digunakan = 3 cm, maka panjang baku ikan uji terbesar yang boleh digunakan maksimal = 4,5 cm. 3. Tatalaksana uji toksisitas Pelaksanaan uji toksisitas diawali dengan tahap pemeliharaan (holding), kemudian dilanjutkan dengan aklimasi (acclimation), uji pendahuluan (exploratory test) dan uji sesungguhnya (full-scale test). a. Pemeliharaan (holding) 1) Hewan uji dipindahkan dari lingkungan asal (misalnya kolam) ke air pemeliharaan yang ditempatkan dalam laboratorium. 2) Lama pemeliharaan sejak diperoleh dari daerah asal kemudian diangkut ke tempat pemeliharaan lebih kurang 14 hari. 3) Hewan uji diberi pakan satu kali per hari. 4) Hewan uji yang mati atau abnormal segera dibuang (Anonymous 1975). b. Aklimasi (acclimation) 1) Hewan uji diadaptasikan dengan keadaan fisik laboratorium (lingkungan pengujian) dengan cara berangsur-angsur dipindahkan dari 100% air pemeliharaan ke 100% air uji. 2) Aklimasi dianjurkan selama minimal 10 hari. Apabila dalam waktu 48 jam lebih dari 3% populasi hewan uji mati, maka populasi hewan uji dianggap tidak memenuhi syarat untuk pengujian. 3) Dua hari sebelum diperlakukan, hewan uji tidak diberi pakan. Universitas Gadjah Mada c. Uji pendahuluan (exploratory test) 1) Masing-masing bejana uji diisi dengan 10 liter air jika hewan uji yang digunakan sebanyak 10 ekor ikan dengan panjang 4-6 cm atau 1 liter air untuk tiap 0,96 gram berat ikan. 2) Ke dalam tiap-tiap bejana uji yang telah diisi air dimasukkan 10 ekor hewan uji. 3) Ke dalam masing-masing bejana uji dimasukkan bahan pencemar dengan beberapa variasi konsentrasi. 4) Dilakukan pengamatan pola aktivitas hewan uji setiap 24 jam, mulai dari 0 jam sampai dengan 96 jam. 5) Penentuan LC50-96 jam dilakukan dengan pendekatan analisis regresi linier sederhana atau dengan cara mengekstrapolasi titik ordinat 50% (sumbu Y) ke garis regresi linier yang digambar di atas kertas grafik kemudian ditarik garis tegak lurus absis (sumbu X). d. Uji sesungguhnya (full-scale test) 1) Berdasarkan nilai LC50-96 jam uji pendahuluan, dilakukan uji toksisitas dengan cara yang sama tetapi dengan variasi konsentrasi yang lebih sempit di sekitar LC50-96 jam uji pendahuluan dengan mengacu pada skala logaritmik Rand (Rand 1980). 2) Dilakukan pengamatan pola aktivitas hewan uji (meliputi frekuensi pernafasan, pola gerak, dan escape reflex) pada 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam serta pengukuran kualitas air uji pada 0 jam, 48 jam dan 96 jam. 3) Penentuan LC50-96 jam dilakukan dengan pendekatan analisis regresi linier sederhana atau dengan cara menginterpolasi titik ordinat 50% (sumbu Y) ke garis regresi linier yang digambar di atas kertas grafik (milimeter blok) kemudian ditarik garis tegak lurus absis (sumbu X). Dalam uji toksisitas sebaiknya dilakukan aerasi pada setiap bejana uji, walaupun sebagai pembanding dapat juga dilakukan pengujian tanpa pemberian aerasi. Pemberian aerasi bertujuan agar diperoleh hasil yang lebih akurat karena efek yang terjadi betul-betul disebabkan oleh bahan uji (senyawa kimia, air limbah, dan lain-lain), bukan karena kekurangan oksiaen selama masa pengujian. Universitas Gadjah Mada Berikut ini merupakan variasi konsentrasi progresif bahan pencemar pada skala logaritmik yang banyak digunakan sebagai acuan dalam uji toksisitas: Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4 Kolom 5 10,0 8,7 7,5 6,5 5,6 4,2 3,7 3,2 2,8 2,4 2,1 1,8 1,55 1,35 1,15 1,0 (Sumber: Rand, 1980) Catatan: angka-angka dalam kolom-kolom tabel di atas dapat dikalikan atau dibagi dengan angka basis 10, misalnya 10 -3, 10-2, 10-1, 102, 103, dan seterusnya. Umumnya penggunaan konsentrasi pada kolom-kolom 2, 3 dan 4 sudah memadai untuk suatu pengujian pestisida. Guna memperoleh data yang lebih akurat dapat digunakan angka-angka pada kolom 5. C. Tolokukur subletal Dalam uji toksisitas disamping tolokukur kematian atau letalitas, jugs sering digunakan tolokukur subletal. Menurut Mitrovic (1972) beberapa tolokukur subletal tersebut antara lain: 1. perubahan sifat biologik penting seperti laju pertumbuhan, cars makan, pematangan (maturation) sel kelamin, kemampuan fertilisasi, perkembangan telur, kelulus hidupan (survival rate) anak ikan, dan lain-lain. Universitas Gadjah Mada 2. gangguan fungsi (patofisiologik), dapat diamati dengan pengukuran hematologik dan derajat metabolik, mempelajari aktivitas imunobiologik dan enzimatik atau pengamatan tingkah laku. 3. perubahan patomorfologik, meliputi perubahan morfologik eksternal hingga kerusakan histologik dan sitologik. Menurut Tandjung (1982) perubahan patomorfologik berupa perubahan morfologik hingga kerusakan histologik branchia ikan dapat dihubungkan dengan tingkat pencemaran air tempat ikan tersebut hidup dan/atau ditemukan. Metoda Tandjung yang berupa pengamatan terhadap perubahan atau kerusakan struktur mikroanatomi branchia dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air. Kerusakan Branchia Tingkat 1 : Patomorfologik Branchia terjadi edema pada lamellae secundariae branchiales (menunjukkan telah terjadi pengotoran Tingkat 2 : air tetapi belum merupakan pencemaran) terjadi hyperplasia pada pangkal lamellae secundariae branchiales (menunjukkan gejala terjadi Tingkat 3 : pencemaran) terjadi penyatuan dua lamellae secundariae branchiales (menunjukkan telah terjadi pencemaran Tingkat 4 : ringan) terjadi hyperplasia pada hampir seluruh lamellae secundariae branchiales (menunjukkan telah terjadi pen- Tingkat 5 : cemaran sedang) terjadi kerusakan dan hilangnya struktur lamellae secundariae branchiales serta hilangnya bentuk filamentum branchiale (menunjukkan telah terjadi pencemaran berat). Pada banyak uji toksisitas dan kajian tentang pencemaran air sering ditemukan terjadinya perubahan sitologik berupa terjadinya degenerasi (perubahan struktur) dan kematian sel. Fase-fase degenerasi dan kematian sel yang sering terlihat pada organ atau jaringan tubuh organisme yang telah terpapar Universitas Gadjah Mada bahan kimia toksik atau bahan pencemar lainnya meliputi perubahan-perubahan berikut (Price dan Wilson 1984): 1. Pembengkakan sel. Pada fase pembengkakan sel, sitoplasma sel yang mengalami pembengkakan (cloudy swelling) terlihat granuler. Hal ini disebabkan sewaktu air tertimbun dalam sitoplasma, organella sitoplasmatik juga menyerap air sehingga dapat terjadi pembengkakan mitokondria, pembesaran retikulum endoplasma dan lain-lain. Jika terjadi masukan air yang besar, sebagian organella seperti retikulum endoplasma dapat berubah menjadi kantong-kantong berisi air sehingga sitoplasma terlihat bervakuola. Perubahan semacam itu disebut perubahan hidropik atau perubahan vakuoler. 2. Degenerasi lemak (fatty degeneration). Fase kedua degenerasi sel ini merupakan akibat lebih lanjut dari pembengkakan sel dan sering disebut sebagai infiltrasi lemak. Akibat adanya penimbunan intraseluler, sitoplasma tampak bervakuola dengan mekanisme sangat mirip dengan yang terjadi pada perubahan hidropik tetapi vakuola tersebut berisi lemak. 3. Kematian sel (necrosis). Setelah terjadi pembengkakan sel dan degenerasi lemak, fase berikutnya yaitu kematian sel atau nekrosis. Walaupun perubahan yang terjadi dalam jaringan nekrotik dapat melibatkan sitoplasma tetapi yang paling jelas terlihat mengalami perubahan yaitu inti sel (nukleus). a. Piknosis ditandai dengan nukleus mengkerut, batas nukleus tidak beraturan sehingga bentuk nukleus juga menjadi tidak beraturan dan terjadi kondensasi butir-butir kromatin menjadi satu globulus; b. Karyorrhexis : ditandai dengan nukleus pecah dan butir-butir kromatin hancur menjadi pecahan-pecahan yang tersebar dalam sel; c. Karyolysis : ditandai dengan butir-butir kromatin yang larut dan berdifusi melalui membran nukleus, Universitas Gadjah Mada 4. Pengapuran (calcification), hanya dapat terjadi pada jaringan yang mampu mengikat garam dapur (NaCI) atau kalsium (Ca) seperti matriks cartilaginous pada ujung tulang yang sedang tumbuh dan jaringan osteoid yang baru dibentuk oleh osteoblast. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengendapan kalsium yaitu keadaan patologik jaringan serta kadar garam kalsium dalam darah. Gambar berikut menunjukkan kronologi kematian sel atau necrosis yang dapat terlihat dengan jelas pada terjadinya perubahan pada inti sel (nukleus): Universitas Gadjah Mada