KOMUNIKASI ANTAR ETNIS DI TENGAH KEBERAGAMAN BUDAYA ( STUDI DI KELURAHAN JATI MEKAR KECAMATAN KENDARI KOTA KENDARI ) *Irvandy **Masrul ***Joko Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tri Dharma Anduonohu, Kendari 93232 [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola komunikasi antar etnis di tengah keberagaman budaya di Kelurahan Jati Mekar, serta ingin mengetahui bentuk-bentuk komunikasi antar etnis. Teori pokok yang digunakan adalah komunikasi antar budaya dan konsep komunikasi antar etnis, diantaranya DeVito dan Anugrah. Informan dalam penelitian ini sebanyak 12 orang, yakni terdiri atas ( 5 orang tokoh masyarakat yang dianggap mewakili etnisnya masing; 7 orang informan biasa atau gabungan dari semua suku baik Muna, Tolaki, Bugis, Jawa, Makasar ), dipilih secara Purposive Sampling atau dipilih secara sengaja berdasarkan tujuan penelitian. Pengumpulan datanya menggunakan metode wawancara (interview), observasi. Datanya dianalisis dengan menggunakan tehnik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa “ Komunikasi antar etnis di tengah keberagaman budaya di Kelurahan Jati Mekar Kecamatan Kendari Kota Kendari “(1) pola komunikasi antar etnis yang meliputi; bahasa sebagai simbol, pengalaman lintas budaya, komunikasi antar pribadi, pengalaman komunikasi antar etnis, (2) Bentuk komunikasi antar etnis di Kelurahan Jati Mekar selain ditandai oleh berbagai hal yang lazim terjadi dalam komunikasi antar budaya seperti; komunikasi persuasif, adaptasi budaya dalam komunikasi, ternyata juga didukung oleh situasi “setting” atau lingkungan tempat mereka berinteraksi yang relatif membaur. Kata kunci: Devito, Anugrah, Pola dan Bentuk Komunikasi Antar Etnis Abstract This study aims to determine the pattern of inter-ethnic communication in the midst of cultural diversity in the village of Jati Mekar, and wanted to know the forms of inter-ethnic communication. Basic theory used is intercultural communication and the concept of inter-ethnic communication, including DeVito and Anugrah. Informants in this study as many as 12 people, which is comprised of (5 community leaders who are considered to represent their ethnic; 7 regular informant or a combination of all ethnicities like Muna, Tolaki, Bugis, Javanese, Makasar), selected by purposive sampling or selected intentionally by the research objectives. Data collection using interviews (interview), observation. The data is analyzed using qualitative descriptive technique. The results of this study lead to the conclusion that “communication between ethnic diversity in the middle of culture (study in village jati mekar city of kendari)”(1) the pattern of inter-ethnic communication that includes; language as a symbol, a cross-cultural experience, interpersonal communication, experience of inter-ethnic communication, (2) The form of inter-ethnic communication in the village of Jati Mekar besides characterized by a variety of things common in intercultural communication such as; persuasive communication, cultural adaptation in communication, was also supported by the situation "setting" or the environment in which they interact relatively diffuse. Keywords: DeVito, Anugrah , Patterns and Forms of Communication Inter-Ethnic 1 PENDAHULUAN Keragaman budaya dapat menciptakan keragaman pola pikir tentang keragaman budaya itu sendiri. Ada pola pikir yang menciptakan peluang untuk membangun keutuhan bangsa dan ada juga pola pikir yang menciptakan ancaman bagi keutuhan bangsa. Saat ini, pertarungan kedua paradigma tersebut mulai terasa dalam berbagai konflik yang merupakan kompensasi dari ketiadaan solusi yang memadai. Ada pihak-pihak tertentu yang tidak mengerti perbedaan dalam sosial budaya masing-masing suku dan kelompok dan kemudian tidak menghargai keragaman tersebut. Beberapa tahun terakhir ini, di beberapa wilayah di Indonesia terjadi kesenjangan yang berkepanjangan antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang, seperti beberapa gambaran masalah yang terjadi dibelahan timur Indonesia. Pertentangan diwilayah tersebut umumnya terjadi karena adanya benturan kepentingan antara kelompok masyrakat pendatang dengan masyarakat lokal. Akibat terjadinya gejala sosial semacam inilah juga terjadi di beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara, diantaranya etnis Muna, Bugis, dan Jawa yang telah menyebabkan sekian banyak penduduk pendatang diwilayah tersebut untuk mencari kehidupan secara berkesinambungan menuju daerah lain yang dianggap lebih menjanjikan. Salah satu tujuan adalah wilayah propinsi Sulawesi tenggara, tepatnya di kota kendari. Dari hasil observasi awal yang diperoleh bahwa hingga saat ini, etnis lain yang ada diwilayah kelurahan Jati Mekar pada Kota Kendari jelas masih tetap dianggap sebagai masyarakat pendatang oleh masyrakat asli setempat, dimana masuknya masyarakat pendatang tersebut kerap kali juga ditandai dengan terjadi benturan-benturan nilai sosial budaya yang sering kali berujung pada pertentangan hingga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengangkat judul“Komunikasi Antar Etnis di Tengah Keberagaman Budaya“. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penilitian ini adalah : (1)Bagaimana pola komunikasi antar etnis di tengah keberagaman budaya di kelurahan Jati Mekar ? (2)Bagaimana bentuk-bentuk komunikasi antar etnis ditengah keberagaman budaya di kelurahan Jati Mekar. 2 Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini dilakukan yakni sebagai berikut (1)Untuk mengetahui pola komunikasi etnis antara masyarakat asli/pribumi dengan masyarakat pendatang di Kelurahan Jati Mekar ditengah keberagaman budaya (2)Untuk mengetahui bentuk-bentuk komunkiasi etnis antara masyarakat asli/pribumi dengan masyarakat pendatang di kelurahan Jati Mekar di tengah keberagaman budaya. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagia berikut:(1)Secara teoritis; memberikan wancana baru tentang penelitian komunikasi khususnya yang berkaitan tentang komunikasi antar etnis dengan menggunakan pendekatan komunikasi antar budaya dengan didasarkan atas penerapan model komunikasi. (2)Secara praktis : mengembangkan pemikiran teoritik mengenai bangunan komunkiasi antar budaya yang sesuai bagi relasi antar etnis khususnya yang melibatkan etnis lokal yang ada di Sulawesi Tenggara. (3) Secara metodologis : memberikan masukan yang berguna kepada masyarakat kelurahan Jati Mekar guna menciptakan suasana komunikasi efektif yang diharapkan mampu meminimalisisasi kesalapahaman budaya. Istilah komunikasi pada perkataan latin “ Communis “ yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan dua orang atau lebih. Komunikasi juga, berasal dari akar kata dalam bahasa latin “ Communico “ yang artinya membagi, ( Hafied Cangara,2004 :18 ). Sementara itu, ada tiga definisi komunikasi seperti yang dimaksud yakni : (a) Komunikasi adalah salah satu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungan dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk berusaha mengubah sikap dan tingkah laku manusia. (b) Komunikasi adalah proses di mana suatu ide diahlikan dari sumber kepada satu penerima, atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. (c) Komunikasi adalah suatu proses dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang paling mendalam. Sementara itu, Pola komunikasi yang dipergunakan oleh suatu Masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya Masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dipahami sebagai satu sistem dan sistem itu antara satu komponen dengan komponen lainnya, satu individu dengan individu lainnya, satu kelompok 3 dengan kelompok lainnya yang ditandai terjadi kontak sosial dan interaksi. Menurut sistem yang terjadi di tengah masyarakat ini terdapat nilai dan norma yang digunakan untuk mengantur interaksi sosial tersebut. Nilai dan norma inilah yang sangat menentukan bagaimana suatu Masyarakat menjalankan hidupnya sehari-hari dan berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Sedangkan ( Devito,1997:11 ) membagi pola komunikasi menjadi empat yaitu komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik dan komunikasi massa. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan tafsirkan. Singkat, keseluruhan perilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaannya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula. Berikut, perkataan budaya berasal dari bahasa sansekerta “Buddhaya” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “Colere” yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata Colere yang kemudian berubah menjadi Culture diartikan sebagai segala daya. Dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam ( Soekarno,2003:188). Banyak upaya untuk lebih memahami komunikasi antar budaya seperti yang telah dipaparkan dimuka atas ragam gambaran, sekiranya perlu pengetahuan dasar tentang komunikasi manusia, sesuai dengan konsep mengenai “Perhimpitan kepentingan-kepentingn” (Overlapping of interests) maka persamaan merupakan semacam kerangka dalam komunikasi yang terjadi” . jelasnya homofili adalah derajat persamaan dalam beberapa hal tertentu seperti keyakinan, nilai, pendidikan, status sosial dan lainlain, antara pasangan-pasangan individu yang saling berinteraksi ( Sunarwinadi,2003:127). 4 Dalam situasi antar budaya demikian, dapat dikatakan hanya sedikit saja atau tidak sama sekali “Koorientasi yang merupakan persyaratan bagi komunikasi pada umumnya”. Seperti koorientasi yang dimaksud ialah bahwa antar dua pihak yang berkomunikasi seharusnya terdapat persamaan dalam orientasi terhadap topik dari komunikasi mereka atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip Homofili bahwa, orang cenderung untuk berinteraksi dengan individu-individu lain yang serupa dalam hal karekteristik-karekteristik sosialnya. Menurut Bochner dan Kelly (dalam devito 1997:260), dari sudut pandang humanistik, ada sedikitnya tiga aspek komunikasi antar pribadi. Pertama komunikator antar pribadi yang efektif harus terbuka pada orang yang diajaknya berinteraksi. Aspek keterbukaan kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk berekasi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran, artinya mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita lontarkan adalah memang “milik” kita dan kita bertanggung jawab atasnya. Penelitian ini secara garis besar mengkaji tentang komunikasi antar etnis penduduk asli/pribumi dengan masyarakat pendatang yang ada dikelurahan Jati Mekar dengan merujuk pada asumsi dasar teori komunikasi antar budaya (Devito,1997:475) yang didasarkan pula atas konsep-konsep komunikasi dan model komunikasi sosial guna melihat bagaimana pola dan bentuk komunikasi sosial guna melihat bagaimana pola dan bentuk komunikasi antar etnis. Dalam hal ini, ditinjau pula peran homofili (Sunarwinadi,2003:127) dan stereotipe oleh (Mulyana,2003:218) yang gunanya sebagai penguat atas asumsi dasar model komunikasi sosial sebagaimana fungsinya yang dikemukakan oleh (Mulyana,2003:5). Berkaitan dengan hal tersebut diatas, komunikasi etnik yaitu berkaitan dengan keadaan sumber komunikasinya, yang ditandai dengan adanya kesamaan ras/sukubangsa, tetapi berbeda asal etnis dan latar belakangnya sebagaimana kelompok etnik ini ditandai dengan bahasa dan asal-asal yang sama, oleh karena itu komunikasi antar etnik dapat pula dikatakan sebagai bagian dari komunikasi antarbudaya (anugrah,2007:1). 5 Sementara itu pula, hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami guna memahami proses antar budaya, oleh karena melalui pengaruh budaya seseorang dapat belajar berkomunikasi. Kemiripan budaya dalam presepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap sesuatu objek sosial atau suatu peristiwa seperti halnya cara-cara seseorang dalam berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi inilah dapat berupa bahasa dan /atau didasarkan gaya bahasa yang diguanakan terlebih lagi perilaku-perilaku nonverbal, semua itu merupakan respon terhadap fungsi suatu budaya. Disatu sisi hal tersebut diatas dapat dipahami melalui pemaparan akan unsur-unsursosial budaya. Namun disisi lain berkomunikasi antar etnis dikelurahan Jati Mekar tidak terlepas pula dengan dilakukannya pendekatan yang didasarkan atas model komunikasi sosial yang bersifat partisipasif, yang secara garis besar meliputi unsur penting yakni komunikasi partisipasif berorientasi etnik dan pragmatis dengan asumsi bahwa, komunikasi yang terjalin tepatnya di kelurahan Jati Mekar dimana komunikasi digunakan lebih mengarah kepada satu teknik bahkan lebih yang semuanya itu berpulang kepada individuindividu atau kelompok-kelompok yang hendak melakukan komunikasi dengan tujuan membawa keuntungan serta berorientasi pada pemenuhan kebutuhan. Hubungan tersebut juga berlanjut dalam bentuk berinteraksi sosial yang melihatkan lebih dari satu orang melalui bentuk-bentuk komunikasi yakni melalui komunikasi antar pribadi, antar budaya, kelompok, (De Vito,1997:11). METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilakasnakan di kelurahan Jati Mekar Kota Kendari. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa di, lokasi tersebut terdapat 3.733 jiwa atau 904 KK yang tersebar di 6 RW dan 19 RT dan di ketahui terdapat berbagai macam etnis yang terdiri dari etnis bugis,Jawa,Tolaki,dan Makassar Serta etnis asli/pribumi (Muna).Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada dikelurahan Jati Mekar yang berjumlah 904 KK yang tersebar di 6 RW dan 19 RT. Sementara informan penelitian ini terdiri dari informan kunci yakni 5 orang tokoh masyarakat yang ada di kelurahan Jati Mekar sebagaimana dapat mewakili etnisnya masing-masing, 7 orang informan biasa campuran (gabungan) antar etnis masyarakat asli/pribumi dan masyarakat dari etnis pendatang 6 (Muna,Jawa,Bugis,Makassar dan Tolaki ) yang di mana dapat diharapkan dapat mewakili etnisnya masingmasimg ( Informan Pokok ). Dengan demikian, maka jumlah informan penelitian ini ditetapkan sebanyak 12 orang. Penentuan informasi dilakukan dengan cara purposive Sampling (secara sengaja). Yaitu informan ditentukan berdasarkan tujuan dan kebutuhan peneliti,dengan pertimbangan bahwa informan mampu memberikan keterangan-keterangan terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan keteranganketerangan yang dapat menjawab permasalahan dan tujuan penelitian (Soehartono,2002:63). Untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis akan menempuh dengan cara yaitu(1)Studi pustaka (Libray research), yaitu studi yang dilakukan dengan cara mempelajari literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan penelitian.(2)Penelitian Lapangan (Field research), yaitu penelitian yang dilakukan dilapangan dengan menggunakan metode.(3)Observasi (pengamatan), yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap. Yang diobservasi dalam penelitian ini adalah keadaan interaksi masyarakat lokal dan masyarakat pendatang yang mengakibatkan keharmonisan.(1)Interview (Wawancara) dilaksanakan melalui percakapan dua arah atas inisiatif pewawancara untuk memperoleh informasi dari informan, wawancara tersebut dilaksanakan pada masyarakat yang ada di Kelurahan Jati Mekar Kecamatan Kendari Kota Kendari yang ditetapkan sebagai informasi dalam penelitian ini. (2) Studi Dokumentasi merupakan sumber pelengkap dari metode penelitian yang di guanakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial sebagai sumber pelengkap dengan cara pengumpulan data dalam memperbanyak data yang di butuhkan untuk penelitian dengan maksud, agar data yang dikumpulkan dapat lebih akurat dengan telaah buku-buku, laporan-laporan,,jurnal dan sejumlah dokumen yang relevan. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan penelitian ini, maka jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yaitu data yang dideskripsikan berdasarkan hasil wawancara. Sedangkan untuk sumber data maka digunakan; (1) Data primer yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan (Field research) dengan menggunakan wawancara, (2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pengumpulan 7 data berupa dokumen-dokumen yang relevan yang berupa: laporan penelitian, publikasi ilmiah, buku-buku serta bacaan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya di analisis secara deskriptif, yakni dengan menggambarkan secara sistematis pola dan bentuk-bentuk komunikasi etnis dan dampak dari komunikasi yang terjadi antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di kelurahan Jati Mekar, serta data lainnya yang dianggap berhubungan dengan permasalahan penelitian, sehingga dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang komunikasi etnis antara masyarakat asli/pribumi dan masyarakat pendatang di Kelurahan Jati Mekar Kecamatan Kendari Kota Kendari. Konsep adalah generalisasi sekelompok fenomena tertentu yang dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena yang sama. Konsep yang bersifat. Konsep yang bersifat umum harus diperinci kedalam konsep operasional (Nazir,1999:26). Konsep pokok penelitian ini adalah pandangan informan atas komunikasi antar etnis asli/pribumi dengan masyarakat pendatang di Kelurahan Jati Mekar. Konsep pokok tersebut dijabarkan kedalam konsep operasional guna terlaksananya pencarian keterangan-keterangan tentang fakta-fakta secara sahih dalam arti benar-benar mengukur obyek yang sebenarnya,sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: Tabel 1 Operasional konsep Konsep Komunikasi antar etnis di tengah Dimensi Konsep Operasional konsep 1. Pola komunikasi antar Pandangan masyarakat asli/pribumi terhadap etnis etnis pendatang (begitu pula sebaliknya) yang keberagaman didasarkan atas terjadinya kontak sosial dan budaya di komunikasi . 8 Kelurahan Jati 2. Bentuk komunikasi Mekar antar etnis Pandangan masyarakat asli/pribumi terhadap bentuk komunikasi etnis pendatang (begitu pula sebaliknya) yang ditandai dengan bentuk komunikasi antar pribadi, Antar budaya dan kelompok dimana persaingan/konflik, didasarkan status sosial pada dan komunikasi antar warga. PEMBAHASAN Dalam berinteraksi dengan masyarakat dari latar belakang budaya yang berbeda ada kemungkinan terjadi benturan-benturan yang dialami oleh masing-masing individu dari kelompok etnis yang berbeda. Masyarakat asli dan masyarakat pendatang sering menggunakan standar-standar budayanya untuk menilai sikap dan perilaku orang lain. Hal ini juga terjadi dalam interaksi antara kedua kelompok etnis di Kelurahan Jati Mekar. Hal ini sejalan dengan temuan dalam terhadap penelitian bahwa komunikasi menjadi sarana vital saat masyarakat Kelurahan Jati Mekar melakukan interaksi bersama masyarakat yang lain. Seperti komunikasi pada umumnya, komunikasi yang terjadi antar etnis di Kelurahan Jati Mekar ini juga melibatkan bahasa verbal dan nonverbal. Dalam pergaulan sehari-hari, sebagian menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, tapi tidak jarang mereka juga menggunakan bahasa daerah masingmasing. Bahasa sebagai salah satu identitas, dimana bahasa menjadi identitas kolektif,etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik, yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis Bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam Peristiwa Sumpah Pemuda kemudian dalam perkembangannya mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi Bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu. 9 Bahasa Indonesia memiliki karakter khusus karena Bahasa Indonesia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnis. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Sulawesi selatan, dialek Sulawesi tenggara, dialek jawa, dan sebagainya. Sebagai identitas bangsa atau Negara, maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang memebedakan dengan bangsa lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada suatu Negara. Menegenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial masyarakat ini juga bisa kita telaah dari pandangan De Saussure (1996:3361) bahwa “ Diantara etnis dan language terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada language yang dipakai. Sebaiknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Dari hasil temuan dikethaui bahwa dalam interaksi etnis di Kleurahan Jati Mekar, tidak menutup kemungkinan bagi teman dari etnis yang berbeda akan tertarik untuk mengetahui bahasa daerah yang digunakan tersebut dengan asumsi lain masyarakat (informan) di kelurahan Jati Mekar juga mengetahui adanya minat mereka untuk mengetahui dan bahasa dari etnis yang lain, baik sekedar dari tambahan pengetahuan maupun ingin lebih menguasai bahasa daerah tersebut. Dalam kaitannya komunikasi sebagai bahasa simbol sehari-hari, pada dasarnya terlihat bahwa masyarakat pendatang asal Jawa ini menggunakan simbol-simbol yang mereka sepakati bersama, termasuk kata-kata tertentu. Hasil temuan menunjukkan bahwa munculnya istilah-istilah tertentu ini merupakan bukti kedekatan mereka secara personal dan adanya kesepakatan bersama mengenai sesuatu yang mereka pandang sebagai bentuk ekspresi diri dalam pergaulan. Setiap orang memilki suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa realitas yang tidak pernah dipersoalkan lagi. Realitas ini menyediakan skema interpretatif bagi seseorang untuk menafsirkan tindakannya dan tindakan orang lain. Sistem makna kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan tema nilai (value themes). Aturan dan nilai juga dipengaruhi oleh budaya. Budaya yang berupa menetapkan aturan berbeda pula. 10 Orang yang tidak penah datang di kecamatan Kendari (Khususnya Wilayah Jati Mekar), memiki gambaran yang kelam tentang masyarakat etnis asli setempat (Muna). Sebagian orang ketika petama kali pergi ke Jati Mekar, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah di tempat, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang masyarakat asli setempat. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Muna ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Dalam perkembangan selanjutnya dia merasa bahwa orang tuanya bisa menerima alasannya kuliah di tempat tersebut. Seperti bentuk komunikasi lainnya, dalam interaksi antar etnis di kalangan masyarakat dimana seiring dengan bertambahnya pendatang di kelurahan Jati Mekar , seperti halnya terdapat stigma di masyarakat bahwa hal ini juga sering ditandai dengan adanya konflik yang terjadi. Dalam konflik yang terjadi, yang biasa menjadi penyebab diantaranya seperti pemaparan oleh beberapa informan yakni ; masalah pribadi, perilaku, ego dimana dalam hasil penuturan mereka tersirat masing-masing pengertian. Ada dua jenis manajemen konflik yaitu yang sering digunakan tapi tidak efektif, dan manajemen konflik yang efektif. Menurut pengamatan peneliti dan penuturan beberapa informan, dalam menangani konflik yang mereka alami, masyarakat dari kedua kelompok etnis menggunakan salah satu atau kedua jenis manajemen konflik yang ada. Yang termasuk dalam manajemen konflik yang tidak produktif adalah penghindaran,non-negosiasi, dan redefinisi, pemaksaan, minimasi, menyalahkan, peredam, manipulasi, penolakan diri. Dengan mengidentifikasi konflik konflik budaya, akan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan diri dalam berkomunikasi. Selain masalah penyingkapan diri dan keterbukaan dalam berkomunikasi, juga di perlukan sikap komunikasi saling menerima dan berempati.Menurut peneliti, hal ini merupakan bentuk kesadaran berkomunikasi antar budaya yang akan mendukung keberhasilan dan keefektifan komunikasi antar budaya. Dalam penuturan beberapa informan diatas diketahui bahwa konflik yang biasa terjadi pada mereka biasanya adalah murni karena masalah pribadi, ego yang dapat saja terjadi pada semua orang, jadi bukan mempermasalahkan asal-usul etnisitas mereka. Menurut peneliti hal ini dapat dimengerti mengingat sebagai 11 generasi muda, yang berpendidikan cukup (sampai tingkat keperguruan tinggi) mereka memilki konsep tentang keberagaman dan menghormati serta menerapkannya dalam pergaulan mereka sehari-hari. Kalau pun benturan-benturan kecil dalam interaksi mereka, hal tersebut bukan karena masalah latar belakng etnisitas yang berbeda, tapi lebih pada konflik yang biasa terjadi pada setiap bentuk interaksi sosial yang melibatkan siapapun. Budaya berkembang secara unik pada setiap masyarakat, tetapi budaya juga memberi peluang untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan manusia, maupun lingkungan moral spiritual. Masyarakat etnis yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnis yang lain mengalami proses perkembangan dan adaptasinya masing-masing. Untuk mencapai titik integrasi yang diasumsikan dalam model komunikasi sosial sebagai tujuan semua proses sosial budaya, masing-masing etnis menjalani pola yang berbeda. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dalam proses menuju harmonisasi dan integrasi kita sering melihat kepincangankepincangan (konflik/persaingan) dan perbedaan-perbedaan lainnya. Mengutip pernyataan Young Yun Kim (dalam Mulyana, 2003: 156) menjelaskan dalam silang budaya tentang adanya asumsi “sistem terbuka” yang terdiri dari atas tiga asumsi, yaitu manusia memiliki sifat beradaptasi dan berkembang yang melekat, adaptasi terhadap lingkungan baru terjadi melalui komunikasi, adapatsi adalah proses yang dinamis dan kompleks. Adaptasi adalah tujuan dasar manusia, sesuatu yang secara alami dan terus menerus dihadapi sebagai tantangan yang berasal dari lingkungan sekitar mereka. Adaptasi terhadap lingkungan baru terjadi melalui komunikasi. Perubahan adaptif yang dialami masing-masing individu dari kedua etnis berlangsung selama mereka berbeda dalam lingkungan sosio kultural tempat mereka mengirim dan menerima pesan. Hal ini dialami oleh sebagian besar informan yang peneliti mintai keterangannya. Menurut meraka, selama mereka berada dilingkungan baru baik di kantor, rumah tinggal ataupun tempat-tempat fasilitas umum dan sebagainya mereka terus melakukan penyesuaianpenyesuaian sampai terbiasa dengan lingkungan. Adaptasi adalah proses yang dinamis dan kompleks. Karena manusia dan lingkungan sangat bekerja sama secara terus menerus dalam proses adaptasi seseorang melalui konsep memberi dan menerima. Proses adaptasi berlangsung terus menerus selama kita berinteraksi dengan orang lain. Dalam pergaulan sehari12 hari masyarakat kedua etnis (asli/pribumi dengan pendatang) melakukan adaptasi dalam berbagai kegiatan dan interaksi yang mereka lakukan. Mereka menyadari pentingnya hal tersebut mengingat kesamaan mereka dalam bidang kebutuhan seperti halnya pendidikan ataupun pekerjaan. Proses saling memberi dan menerima mereka jalani dalam kerangka kerjasama dalam membutuhkan. Dalam proses adaptasi budaya terdapat tiga macam kondisi lingkungan/ yang berpengaruh terhadap proses ini, yaitu kesediaan “Tuan rumah/etnis asli” ataun potensi interaksi serta keterbukaan “tuan rumah/etnis asli” dengan pihak luar/etnis pendatang. Kondisi ini menurut peneliti juga terjadi dalam interaksi antar budaya yang baik dalam lingkungan masyarakat setempat. Selain karena faktor adaptasi yang dilakukan oleh para etnis pendatang, faktor yang mempengaruhi adaptasi dilingkungan ini adalah kesediaan dan keterbukaan tuan rumah. Kedua yang mempengaruhi proses adaptasi budaya adalah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan tuan rumah. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan alami, sebagai makhluk sosial kita harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru agar dapat bertahan hidup. Hal ini dilakukan untuk beradaptasi dengan pola-pola komunikasi yang baik dan sistem komunikasi yang berlaku dilingkungan baru. Kondisi ketiga yang mempengaruhi proses adaptasi budaya adalah kekuatan kelompok etnis melalui partisipasif terkait dengan apa yang dikemukakan Tsourus (dalam Anugrah,2007:159). Faktor ini mempengaruhi kedua kondisi sebelumnya, yang akan menawarkan kekuatan information sharing, emosi dan sitem dukungan material terdapat kepada anggotanya untuk memfasilitasi proses adaptasi lintas budaya pihak luar. Bagi individu yang yang memasuki lingkungan baru, kekuatan kelompok etnis sangat berperan dalam proses adaptasinya. Melalui individu atau kelompok kekeluargaan tertentu, dia merasa mendapat dukungan material maupun immaterial. Kecintaan setiap orang terhadap ragam budaya sehingga dapat melahirkan terwujudnya beberapa tindakan. Misalnya, dimana-mana terlihat munculnya ikatan-ikatan warga perantau. Menurut peneliti, adanya ikatan-ikatan kekeluargaan masyarakat dari daerah tertentu menjadi salah satu sarana (bentuk) untuk beradapatsi. Selain menjalin silahturahmi, ikatan-ikatan semacam ini mampu menawarkan kekuatan informasi, emosi dan dukungan moral kepada para anggotanya, khususnya yang baru memasuki lingkungan 13 baru. Lahirnya ikatan-ikatan yang demikian adalah wajar karena diluar keluarga sendiri maka yang paling mengerti perilaku kita, harga diri dan kebanggan kita adalah warga yang konstruktif, karena apabila dibiarkan berkembang menjadi eksklusifisme dan etnosentrisme perilaku tersebut akan mengganggu keharmonisan pergaulan kita dengan etnis yang lain seperti penuturan. Dari sudut pandang hurmanistik, ada sedikitnya tiga aspek komunikasi antar pribadi. Pertama komunikator komunikasi antar pribadi yang efektif harus terbuka pada orang yang diajaknya berinteraksi. Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk beraksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran, artinya mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita lontarkan adalah memang “milik” kita dan kita bertanggung jawab atasnya. Ketiga aspek komunikasi antar pribadi ini juga terjadi dalam komunikasi antar budaya yang terjadi antara etnis asli dengan etnis pendatang. Aspek kedua menyangkut maslah kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Hal ini menurut peneliti terjadi pada kedua kelompok etnis ini. Masyarakat kelurahan Jati Mekar sebagai pelaku komunikasi antar etnis mewakili beragam pengalaman mengenai hal ini. Sebagian dari mereka merasa senang dengan pengalaman baru dalam berinteraksi dengan teman dari etnis lain seperti yang dikatakan oleh La Irwan berikut : “saya senang saja punya banyak teman etnis lain disini, tidak hanya tolaki, ada bugis, makasar bahkan jauh di jawa. Saya jadi tahu sedikit tentang budaya mereka”. (Wawancara Januari 2016). Berdasarkan penuturan informan diatas sebagai putra asli suku Muna, mengaku sangat “enjoy” dengan lingkungan pergaulannya yang multi etnis. Dalam pergaulan sehari-hari dengan teman beragam etnis. Menurut La Irwan dalam keseharian pergaulannya tersebut dia merasa “lepas” ketika berinteraksi dengan teman-teman dari beragam etnis.Pengalaman antar etnis yang lain juga dialami yanti Menurut pandangan dia, terdapat berbagai etnis di Jati Mekar yang memiliki karakter keras dan bagi kebanyakan orang yang belum mengenal dekat cenderung terlihat kasar. Menurutnya, sifat dan karakter orang dari ragam etnis ini khususnya terkadang para pendatang seperti etnis Tolaki dan Makassar sebenarnya lebih tepat dikatakan 14 ekspresif. Hal ini berbeda dengan orang Jawa yang menurutnya lembut, suaranya pelan, datar-datar saja, tanpa ekspersi sehingga menurutnya tidak ada beda ekspresi antara marah, senang, benci, kesal dan lainnya. Dalam pergaulan sehari-harinya, sebagian masyarakat tidak membeda-bedakan etnis dalam bergaul. Hal ini nampak pada kehidupan mereka yang sehari-hari yang tidak memandang seseorang berdasar latar belakang keetnisan mereka sebagai dasar utama pertimbangan dalam memilih teman. Bagi Tatik, “Kalau saya masalah etnis bukan pertimbangan utama dalam memilih teman, yang penting adalah kepribadiannnya, dan saya merasa cocok dengan dia”.(Wawancara Januari 2016) Tatik mengatakan hanya kebetulan saja bila dia memilki sahabat dari etnis yang sama, bukan karena dia tipe pemilih dalam berteman bahkan telah terbiasa dengan keragaman etnis, khususnya jawa dengan Bugis. Bagi Tatik, menghadapi keragaman etnis dalam pergaulan sehari-hari bukanlah hal baru, namun merupakan hal biasa yang sangat menyenangkan buatnya. Perilaku antar etnis pada dasarnya ditentukan oleh persepsi masing-masing individu dan pengalaman antar etnis dalam interaksinya tersebut. Dalam praktek komunikasi antar etnis yang terjadi, perilaku komunikasi ini dipengaruhi oleh aspek-aspek individual seperti motivasi, pengetahuan dan kecakapan. Dalam kasus komunikasi antar etnis di Jati Mekar ini, motivasi individu pelaku komunikasi antar budaya ( antar etnis ) adalah kesamaan dalam tujuan yaitu pemenuhan faktor kebutuhan hidup yang dimana kedatangan hampir setiap orang untuk mendiami, suatu wilayah, maka tiap orang dalam etnisnya memilki tujuan yang sama hal ini sejalan dengan model komunikasi sosial partisipasif berorintasi pragmatis (Anugrah. 2007:34). Dalam kasus komunikasi antar etnis penduduk asli/pribumi dengan masyarakat pendatang, menurut pengamatan peneliti sudah berlangsung baik. Bentuk-bentuk komunikasi antar etnis yang terjdi antar masyarakat di Kelurahan Jati Mekar ini terjadi dalam komunikasi kelompok (bentuk formal); perkawinan, rapat desa, maupun informal: gotong royong, arisan, dan lain-lain. Bentuk formal terjadi dalam lingkungan diskusi. Sedangkan dalam bentuk informal meliputi kegiatan-kegiatan diluar komunitas seetnis seperti komunikasi antar pribadi yang mereka lakukan di lingkungan pergaulan sehari-hari seperti di kontrakan, rumah kost/rumah tinggal, kantor, dan sebagainya yang menurut salah seorang informan Agus mekipun pada awal kedatangannya, dia telah mengetahui akan 15 berinteraksi dengan teman-teman dari etnis lain (khususnya masyarakat suku asli Muna), pemuda Jawa asli ini merasa perlu adanya forum resmi antar teman-teman seetnis dari beragam etnis untuk berkumpul dan berinteraksi. Hal ini menurutnya penting untuk lebih mengenal karakter masing-masing teman dari beragam etnis sehingga mampu mengurangi kesalahpahaman atau kesalahan persepsi yang mungkin timbul dalm berinteraksi. Berdasarkan hasil penuturan informan diatas bahwa intinya ia merasa lebih mudah bergaul dengan teman-teman di luar etnisnya, dibanding dengan masyarakat sama-sama seetnis pada umumnya. Hali ini menurutnya karena dia merasa seumuran dengan teman-teman dan tidak mengalami kesulitan atau kendala dalam berkomunikasi. Sedangkan untuk bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat asli/pribumi secara umum dia merasa sedikit kesulitan karena pertama terkendala bahasa, dan kedua dia merasa berbeda generasi dengan masyarakat kebanyakan yang umumnya lebih bersifat tradisional dan lebih tua. Menurut pengamatan peneliti dan pengakuan dari berbagai informan, selama ini belum ada forum resmi yang mewadahi secara khusus interaksi antar masyarakat dari berbagai etnis. Yang ada hanya lembaga yang mewadahi kegiatan dan interaksi cuma sebatas forum forum komunikasi biasa dari daerah atau kota tertentu. Menurut penuturan beberapa informan, belum adanya forum resmi yang mewadahi interaksi antar masyarakat di kelurahan Jati Mekar yang berbeda etnis ini atau memberikan inspirasi akan perlu adanya forum resmi sebagai wadah interaksi dari berbagai etnis yang ada. Berdasarkan hasil penuturan wawancara dengan beberapa informan, mereka berharap dengan adanya wadah resmi tersebut mampu menjembatani perbedaan yang mungkin mereka alami dan rasakan khususnya pada saat awal-awal mereka berinteraksi dengan teman dari beragam etnis. Melalui wadah formal tersebut mereka berharap semakin efektifnya jalinan komunikasi dan interaksi yang terjadi antar masyarakat asli/pribumi dengan masyarakat pendatang dari beragam etnis. Menurut peneliti, kecintaan setiap orang terhadap ragam budaya yang melahirkannya terwujud dalam beberapa tindakan. Misalnya, dimana-mana siapa saja tentu dapat melihat munculnya ikatan-ikatan etnis warga perantau. Ada yang berbentuk arisan, perkumpulan kematian, perkumpulan kesenian, yayasan yang memberikan beasiswa kepada sesama warga yang kurang mampu, dan sebagainya. Lahirnya ikatan-ikatan 16 yang demikian adalah wajar karena diluar keluarga sendiri maka yang paling mengerti perilaku setiap orang, harga diri dan kebanggaan kita adalah warga yang seetnis dengan kita. Tetapi ikatan-ikatan ini perlu diaplikasikan secara konstruktif, karena apabila dibiarkan berkembang menjadi eksklusifisme dan etnosentrisme perilaku tersebut akan mengganggu keharmonisan pergaulan kita dengan etnis yang lain. Bahkan tidak jarang sentimen etnis yang berlebih-lebihan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap yang eksklusif akan menghambat tumbuhnya kepedulian kita terhadap sesama. Menurut Jamal (23 tahun) dalam keseharian pergaulan dia terus melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya baik dengan teman-teman. Dia merasa bahwa pengetahuannya tentang ciri dan karakter orang Muna dengan etnis pendatang lainnya sangat membantu proses adaptasinya tersebut. “bagi saya, teman di kontrakan maupun teman lain adalah hal yang nantinya akan mempengaruhi saya dalam hal kegiatan saya disini. Sebelum datang kesini saya sudah mengetahui sedikit informasi tentang kebudayaan setempat dan karakter masyarakatnya. Hal ini memang membuat saya tidak begitu mengalami kesulitan bila harus berinteraksi dan bergaul dengan teman. Dalam kenyataannya, saya harus selalu menyusuaikan diri, karena menurut saya, saya selalu menemukan hal-hal baru, dan itu membuat saya melakukan penyesuaian diri “ (wawancara, Januari 2016). Dalam komunikasi dikenal adanya jaringan komunikasi, yaitu saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Menurut devito ( 1997:344), jaringan ini dapat dilihat dari dua prespektif. Pertama, kelompok kecil sesuai dengan sumber daya dan yang dimilikinya akan mengembangkan pola komunikasi yang menggabungkan beberapa struktur komunikasi. Jaringan komunikasi ini kemudian merupakan sistem komunikasi umum yang akan digunakan oleh kelompok dalam mengirimkan pesan dari satu orang ke orang lainnya. Kedua, jaringan komunikasi ini bisa dipandang sebagi struktur yang diformalkan yang diciptakan oleh organisasi sebagai sarana komunikasi organisasi.Dalam prespektif apapun, jaringan komunikasi ini merupakan pola komunikasi kelompok dan dapat dijumpai diumumnya kelompok dan organisasi. Dalam pengamatan peneliti, komunikasi yang terjadi antara etnis muna dan etnis jawa berbentuk lingkaran, dimana semua anggota posisinya sama. Mereka memiliki 17 wewenang atau kekutan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan anggota lainya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan tatik ( 28 tahun ): “bagi kami, dalam bergaul dengan teman-teman tidak pernah mempermasalahkan latar belakang etnis dan budayanya, yang penting orangnya baik dan enak diajak ngobrol. Dalam kelompok-kelompok kami pun, biasanyakami berkedudukan sama, tidak ada seorang atau beberapa yang menonjol. Kami masing-masing bisa berkomunikasi dengan bebas, tidak ada hambatan berarti” (wawancara, Januari 2016 ) Komunikasi antar budaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun non verbal. Khususnya, komunikasi non verbal sangat rumit, multidimensional dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar prilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar, samovar dan porter ( dalam mulyana, 2003:308 ) Adaptasi budaya yang dialami oleh sebagian besar manusia sering kali dalam bentuk gegar budaya. Penekanan pada terjadinya gegar budaya lebih bermakna negatif. Meskipun dikatakan, bahwa proses tersebut merupakan fase awal ketika seseorang melakukan adaptasi dengan budaya lain. Bermakna negative, karena gegar budaya dipahami sebagai bentuk ketidaksiapan seseorang ketika memasuki budaya baru. Padahal ketika seseorang memiliki kesadaran dan keinginan memasuki budaya baru, berarti sudah melakukan persiapan matang dan membekali dirinya dengan informasi-informasi yang sekiranya dapat diperlukan. Hal ini berbeda jika seseorang secara tidak diinginkan atau dengan keterpaksaan harus memasuki sebuah budaya baru. Akan terjadi penolakan dan rasa curiga terhadap kebiasaan-kebiasaan, pola pikir dari budaya baru. Menurut pengakuan beberapa informan diperoleh informasi bahwa pada awal-awal interaksi mereka dengan teman yang berbeda etnis mereka mengalami sedikit kesulitan, khususnya bila masing- 18 masing pihak menggunakan bahasa daerahnya. Tapi hal ini bisa diatasi apabila dalam percakapan mereka menggunakan bahasa Indonesia. Seperti pengakuan Yanti (27 tahun ) “saya pada awal-awal disini agak kaget juga, karena dalam bayangan saya, saya akan menemukan banyak teman,Bagi saya, ini menyenangkan, meskipun pada awal-awalnya agak sulit karena bahasa Muna saya kurang paham, dan teman-teman asli sini sering menggunakan bahasanya. Tapi ini tidak terlalu menyulitkan buat saya karena kita kan bisa pakai bahasa Indonesia. Yang kadang sulit buat saya malah mengerti temanteman sendiri dari jawa ataupun asli bugis. Menurut saya, mereka bicaranya pelan, lembut, dan terkesan datar-datar saja, tanpa ekspresi. Hal ini menurut saya kadang sulit memahaminya, apakah dia sedang marah, jengkel, gembira atau yang lain, karena ya itu tadi, menurut saya mereka tidak ekspresif, sehingga sulit dimengerti. (wawancara Januari 2016 ). Seseorang biasanya tidak menyadari perilakunya sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal dalam budaya lain. Kadang-kadang seseorang pun merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena ia merasa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.Pentinganya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak. Didalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi dalam komponen nonverbal ( ray l. birdwhistell,1969 ). Budaya berkembang secara unik pada setiap masyarakat, tetapi budaya juga memberi peluang untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan manusia, maupun lingkungan moral spiritual. Masyarakat etnis yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnis yang lain mengalami proses perkembangan dan adaptasinya masing-masing. Untuk mencapapi titik integrasi yang diasumsikan sebagai tujuan semua proses budaya, masing-masing etnis menjalani pola yang berbeda. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dalam proses menuju harmonisasi dan integrasi kita sering melihat kepincangan-kepincangan dan perbedaan-perbedaan. Ketika seseorang memasuki budaya yang berbeda, secara natural muncul rasa cemas. Rasa cemas ini dikarenakan kekhawatiran terhadap budaya baru tersebut 19 dan bagaimana respon kita terhadap budaya baru. Dalam memasuki lingkungan dan budaya yang baru, tidak dipungkiri bahwa siapapun akan mengalami kejutan budaya ( culture shock ). Pengalaman dalam awal adaptasi adalah gegar budaya, yaitu merupakan fase awal dalam masa transisi ketika memasuki budaya baru yang disertai dengan perasaan tertekan dan kecemasan seseorang. Pengalaman gegar budaya ini bukan mengenai sesuatu yang benar ataupun salah, tetapi geger budaya yang dialami setiap orang bervariasi dan derajatnya tidak sama. Seperti penuturan Carina Aini (40 tahun) berikut ini: “Pada awal-awal saya mengalami kesulitan karena saya jarang berkumpul dengan asli Muna ataupun etnis lain yang ada, apa lagi teman orang Muna yang pertama kali saya kenal orangnya sangat individualistis, tapi lama-lama sudah biasa juga buat saya sekarang. Kalau tentang penyesuaian diri sih, menurut saya perlu adanya penyesuaian diri lebih karena kita kan berada didaerah orang” (Wawancara, januari 2016). Pernyataan Carina Aini senada pengakuan Agus (47 tahun) yang menyatakan pentingnya penyesuaian diri atau adaptasi. Berikut penuturan lengkapnya : “Menurut saya, selama ini hubungan kami dengan teman-teman lain etnis (Muna) berjalan cukup baik. Selama ini kami berintraksi dengan mereka seperti dengan teman lainnya. Hanya saja saya memang lebih berhati-hati dalam berintraksi dengan teman dan saya selalu berusaha menjaga perkataan dan sikap agar tidak menyinggung perasaan mereka. Saya menyadari saya harus menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat disini “ (Wawancara,Januari 2016). Adaptasi atau penyesuaian diri dilakukan oleh semua individu ketika memasuki lingkungan baru. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dirinya dalam memenuhi kebutuhannya. Kenyataan ini dialami hampir semua informan yang peneliti amati dan mintai keterangan. Dalam penuturan Jamal (23 Tahun). Dengan sedikit informasi yang sebelumnya dia peroleh dari temannya, dia merasa lebih mudah menyesuaiakan diri. Hal ini karena buat dia teman dan lingkungan adalah hal yang sangat berpengaruh dalam kegiatan bermasyarakat. Faktor ketiga yang mempengruhi adaptasi budaya jangka panjang adalah keterlibatan dalam suatu budaya. Menurut peneliti hal ini sudah terjadi dengan sendirinya dan merupakan suatu keniscayaan, karena 20 kedau faktor terdahulu yaitu identifikasi budaya dan pertemanan budaya secara langsung maupun tidak langsung telah melibatkan mereka dalam suatu budaya tertentu. Dari gambaran tersebut peneliti berpendapat bahwa keberhasilan dalam proses adaptasi dan integrasi sosial ini tentu saja sangat berkaitan secara signifikan dengan salah satu nilai sosial-budaya lainnya yang menuntut setiap orang untuk selalu dapat menetapkan dirinya dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan sosial-budayanya. Kenyataan bahwa masyarakat etnis pendatang dapat melakukan komunikasi yang intensif adalah karena lingkungan yang membuat mereka berbaur. Mereka bergaul secara intensif di kampus, lingkungan kost, rumah kontrakan dan tempat lainnya yang memungkinkan mereka berintraksi. Dalam interaksi sehari-hari dalam penelitian ini terlihat adanya kelompok mahasiswa yang secara etnis berbeda, melakukan komunikasi antar etnis secara memadai. Hal ini menurut peneliti, berarti kedua kelompok ini mau tidak mau, suka tidak suka harus saling berkomunikasi paling tidak tahap sampai dimana mereka secara cukup untuk melakukan interaksi dan memenuhi kebutuhan sosial partisipatif (Anugrah, 2007:159). Terlebih lagi, dalam berintraksi dengan teman-teman dari etnis yang berbeda, untuk melakukan komunikasi antar etnis ini, pada kelompok didasari oleh alasan yang relatif sama, yaitu kesamaan tujuan dalam bidang mata pencaharian ataupun bentuk lain seperti pendidikan. Sebagai masyarakat perantauan, kelompok etnis jawa memiliki motivasi atau keinginan untuk mengetahui dan lebih mengenal bahasa daerah etnis lain asli/pribumi. Menurut pengakuan beberapa informan, mereka mengerti bahasa asli setempat secara pasif, artinya mereka memahami kalua ada percakapan dalam bahasa Muna, tapi kurang bisa mengucapkan kalimatkalimat dalam bahasa Muna. Kalaupun bisa, mereka hanya mampu mengucapkan kata-kata tertentu yang menurut mereka “mudah” dan sering diucapkan. Meskipun demikian, kelompok etnis jawa ini memiliki niat dan keinginan untuk belajar dan bisa mengerti bahasa sini (Muna). Ungkapan muhamad fajar yudhasmara (49 tahun) berikut menunjukan bahwa dia ingin mengetahui bahasa dan bisa bahasa daerah setempat sebagai referensi pengetahuan umum selain itu ia juga mengku ingin mengetahui lebih dekat tentang budaya dan kehidupan sosial kemasyarakatan orang Muna/ penduduk asli setempat. 21 Fenomena ini agak berbeda jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat etnis asli/pribumi yang sebagian tahu dan mengerti bahasa jawa meskipun bahasa jawa yang dimengerti kelompok etnis asli ini adalah bahasa jawa kasar. Hal ini menurut La Irwan (48 tahun) karena bahasa jawa relatif mudah diucapkan dan dimengerti. Menurut pengakuan La irwan, kesulitan utama teman-teman dari kelompok etnis jawa dalam mempelajari bahasa adalah masalah pengucapan, karena beberapa kata dalam bahasa sini pengucapannya harus dengan penekanan-penekanan tertentu yang menghasikan logat tertentu yang dengan mudah dibedakan antar penutur asli dan orang dari luar Jati Mekar. Menurut peneliti, motivasi yang tinggi dari kedua kelompok etnis masyarakat ini tidak terlepas dari ”setting communication” atau lingkungan tempat mereka berintraksi yang relatif membaur, sejalan dengan samovar dan porter, (dalam mulyana, 2003:308). Dengan kondisi pemukiman yang demikian, tidak akan memberikan cukup ruang dan kesempatan bagi masing-masing individu tiap kelompok etnis untuk menghindari interaksi. Dengan motivasi yang tinggi diperlukan juga adanya pengetahuan tentang perilaku dan komunikasi antar etnis. hal ini dimaksud agar masing-masing individu memiliki kompetensi dalam melakukan komunikasi antar etnis,. menurut pengamatan peneliti, dalam masalah kecakapan komunikasi antar budaya, kedua kelompok etnis dikelurahan Jati Mekar memiliki tingkat yang sama baiknya. Hal ini dipermudah lagi dengan kemampuan masing-masing individu etnis dalam berbahasa Indonesia yang menurut kedua kelompok etnis mampu meminimalisir kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Menurut sebagian besar informan, mereka menyadari untuk berintraksi dengan teman dari etnis lain, mereka perlu mengetahui sedikit banyak tentang budaya etnis yang lain. Hal itu diperlukan untuk mempermudah mereka dalam berkomunikasi sehari-hari dan mengurangi kesalahpahaman yang mungkin muncul. Menurut beberapa informan, pengetahuan yang merka ketahui adalah tentang latar belakang budaya etnis lain meskipun hanya sedikit. Dalam perkembangan selanjutnya, para pelaku komunikasi antar budaya dan bahasa daerah lain, melalui interaksi dan kontak antar budaya yang intens. Faktor-faktor motivasi, pengetahuan dan kecakapan disebut sebagai kompentensi komunikasi (antar budaya) yang secara konseptual diartikan sebagai kecakapan-kecakapan (skills) yang dibutuhkan 22 oleh satu pihak untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda latar belakang budaya. Menurt lewis dan slade (dalam turnom raharjo, 2005:71) definisi lain kompetensi komunikasi antar budaya merupakan kemampuan untuk menegosiasikan makna antar pribadi dalam konteks antar budaya. Kecakapankecakapan tersebut diperlukan untuk mencapai komunikasi antar budaya yang mindful. Kecakapan yang dimiliki kedua kelompok etnis dalam memahami budaya dari kelompok yang berbeda mengidifikasikan bahwa para pelaku komunikasi antar budaya dikelurahan Jati Mekar memiliki kompempetnsi yang tinggi. Hal ini dipertegaskan lagi dengan peran Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mampu menguranggi kesalahpahaman (mulyana, 2004: 73-74). Yang mungkin terjadi, karna kesalahan persepsi tetang bahasa daerah masing-masing. Realitas seperti diatas seakan mengindikasikan bahwa keterampilan instrumental yang harus dimiliki untuk mengelola interaksi, tampaknya memang menyatu dengan stereotipe pada sebagian kelompok etnis pendatang yang dominan pada sikap lemah lembut, sungkan, sehingga terkesan mengalah membawa konsekuensi pada perilaku yang sangat berhati-nati dan terkesan kurang spontan. Menurut peneliti, untuk memberi pemahaman yang relatif efektif tentang gambaran nyata, utuh, dan lengkap tentang bagaimana sesungguhnya sosok etnik kedua etnis berbeda dengan segala kekurangan dan kelebihannya dapat dilakukan upaya yang memungkinkan. Untuk sementara dapat terpahami bahwa, dalam kompetensi komunikasi, ( lustig & koester, 2003 ) berpendapat adanya beberapa kategori yang menjadi dimensi dalam kompetensi antar budaya diantaranya adalah interaksi, perilaku mengambil peran, toleransi terhadap ambiguitas, serta sikap dalam berinteraksi dengan pihak yang berbeda budaya. Menurut pengamatan peneliti dimensi tersebut ada dalam interaksi antar budaya yang terjadi diantara masyarakat ini dalam hubungan secara pribadi atau personal masing-masing pihak menunjukan rasa empati, saling menghormati, perilaku mengambil peran yang dapat juga dimaknai sebagai proses empati atau menempatkan diri pada posisi orang lain, seperti penuturan berikut; agus ( 47 tahun ), berempati merupakan salah satu cara untuk dapat berteman dengan siapa saja. Selain agus, La Irwan ( 48 tahun ) juga menyatakan hal senada. Menurutnya, ketika bergaul dengan teman termasuk dengan teman etnis lain, dia berusaha untuk tidak pilih-pilih teman, saling menghormati, bersikap terbuka dan jujur serta berempati. 23 Yang dapat penulis simpulkan bahwa, hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok etnik yang berlainan bisa mengurangi prasangka secara signifikan. Hubungan ini mesti dalam waktu yang cukup, dengan frekuensi yang tinggi, dan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antara anggota kelompok etnik yang berkaiatan. Apabila hubungan antar anggota kelompok etnik tidak memungkinkan terjalinnya hubungan akrab maka kurang bisa mengurangi prasangka dan menambah penstereotipan antar etnik. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Yanti ( 27 tahun ) bahwa pada awalnya dia memilki gambaran bahwa semua orang jawa itu lemah lembut dan terkesan tidak tegas, tapi setelah berinteraksi dan mengenal lebih dekat secara pribadi dengan mereka, ternayata tidak semua seperti gambaran yang dimilikinya dahulu. Menurut peneliti, kita hanya dapat memahami perilaku suatu masyarakat apabila kita mampu menempatkan perilkau tersebut kedalam konteks sistem nilai yang dianutnya. Kegagalan dalam menemukan konteksperilaku tersebut akan menimbulkan kesulitan bagi upaya membangun pergaulan yang harmonis dan saling menguntungkan. Pemehaman antar budaya adalah sendi dari sebuah masyarakat multi etnik yang sehat, dimana setiap orang sadar akan perbedaan dan menghargai itu dan sekiranya pemahaman ini sejalan ( dalam devito, 1997:475 ) bahwa semuanya didasarkan atas kemampuan seseorang untuk menerima adanya perbedaan itu melalui kemampuan melihat fenomena ( pandangan dunia) atau melalui sudut pandang budaya lain. Pada hakekatnya, mengurangi prasangka budaya sama artinya dengan menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan upaya-upaya mengurangi prasangka lainya bisa dilakukan di segenap aspek kehidupan, dimulai dari keluarga, lingkungan pertentanggaan, sekolah, organisasi, dan masyarakat secara lebih luas. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis menyimpulkan bahwa komunikasi antar etnis yang terjadi di tengah keberagaman budaya di Kelurahan Jati mekar Kota Kendari sebagai berikut : 1. Pola komunikasi antar etnis yang meliputi; bahasa sebagai simbol, pengalaman lintas budaya, komunikasi antarpribadi, pengalaman komunikasi antar etnis, yang terjadi antar antar masyarakat 24 asli/pribumi dengan masyarakat yang pendatang di lingkungan Kelurahan Jati Mekar di sebabkan sebagian individu kelompok masyarakat etnis sebelumnya telah menyadari akan kondisi yang akan mereka alami. 2. Bentuk komunikasi antar etnis yang terjadi di kelurahan Jati Mekar selain di tandai oleh berbagai hal yang lazim terjadi dalam komunikasi antar budaya seperti; komunikasi persuasive, adaptasi budaya dalam komunikasi, ternyata juga di dukung oleh situasi “setting” atau lingkungan tempat mereka berinteraksi yang relatif membaur. 3. Masyarakat pendatang di Kelurahan Jati Mekar memilki motivasi, pengetahuan dan kecakapan yang memadai. Dorongan untuk melakukan komunikasi antar etnis ini, pada kelompok masyarakat asli dengan etnis dengan etnis lain didasari oleh alasan yang relatif sama, yaitu kesamaan tujuan dalam bidang pendidikan ataupun pekerjaan. Sebagai masyarakat perantauan, kelompok etnis jawa memilki motivasi atau keinginan untuk mengetahui dan lebih mengenal bahasa daerah etnis Muna. Sebaliknya, sebagai tuan rumah, masyarakat etnis Muna sebagian bersikap terbuka terhadap teman-teman dari etnis lain yang mereka jumpai. DAFTAR PUSTAKA Andrik Purwasito. 2003. Semiologi Komunikasi ( Masyarakat Semilologi Komunikasi).Surakarta. A Latief Wiyata. 1999. “ Karakter Masyarakat Pendatang “ ( dalam GATRA Nomor 20/VOL: 3 April). Berlo, David K. 1960 “ The Process of Communications “ ( An Introducctions To Theory And Pratice ). Michigan State, University. Blake, Reed H. and Edwin O. Haroldsen. 2003. A Taxonomy Of Concepts In Communications. ( Hasting House Publisher Inc., Second Printing ). ( Terj: Hasan Bahanan ). Papyrus, Surabaya. Cangara, hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Devito, Joseph, A. 1997.Human Communication, ( Hunter College of the City of New York). ( Terj: Ir. Agus Maulana, MSM.). (Edisi Kelima). Professional Books, Jakarta- Indonesia. Hamidi, Dr., M.Si. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi ( Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian ). Universitas muhammadiyah malang. Liliweri, Alo. 2003. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 25 Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunkiasi Suatu Pengantar. Remaja rosdakarya, Bandung. Musthan, Zulkifli. 2011. Teori-Teori Komunikasi. Mazhab Ciputat, Jakarta. Margaret, M. Polama. 1994. Sosiologi Kontemporer ( Terj: Tim Yosogama ). Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nazir, Moh. 1999. Metode penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto, soerjono. 2003. Teori sosiologi tentang perubahan sosial. Ghalia Indonesia, Jakarta. Soehartono, Dr. Irawan,. 2002. Metode Penelitian Sosial (Suatu Teknik Penellitian Bidang Kesejhateraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya). Remaja Rosdakarya, Bandung. 26