/'..: (12 1 \_-/ LAPORAI\ PENELITIAN JURUSAN Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridk Caused by Bioacumulation of Heavy Metal ,\z= strtu Dr. Yulia lrnidayanti, M. Si Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyara kat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi I)engan nomor kontrak : 1 7/SPK/PEI\[ELITIAN/6.FMIPA/2013 Jurusan Biologi Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta 20t3 LAPORAN PENELITIAN JURUSAN Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis Caused by Bioacumulation of Heavy Metal Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dengan nomor kontrak : 17/SPK/PENELITIAN/6.FMIPA/2013 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta 2013 Ringkasan Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia akibat limbah industri dan rumah tangga.Pada saat ini terdapat sekitar lima juta jenis bahan kimia yang telah diidentifikasi dan dikenal 60.000 jenis diantaranya sudah dipergunakan dan ribuan jenis lagi, bahan kimia baru setiap tahun diperdagangkan secara bebas. Salah satu dari limbah B3 tersebut adalah logam berat.Sifat beracun dan berbahaya dari logam berat ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia bahan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kontaminasi logam berat telah mengarah ketingkat polusi dan dapat menyebabkan keacunan terhadap organisme yang hidup di laut, bahkan dapat merusak organisme sampai pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi keseimbangan ekologi. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan lingkungan, diantaranya adalah dengan mengukur tingkat kontaminan di lingkungan, termasuk mengukur akumulasi senyawa toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon biologis atau dikenal sebagai biomarker merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu prediksi yang relevan. Dalam memonitor pencemaran logam berat, analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis air itu sendiri. Hal ini disebabkan kandungan logam dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi. Kandungan logam dalam biota air biasanya akan selalu bertambah dari waktu ke waktu karena sifat logam yang bioakumulatif, sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam lingkungan perairan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjkkan bahwa akumulasi logam berat di pantai muara angke, kaliadem dan panimbang, tidak terdeteksi adanya akumulasi logam berat tetapi hasil immunodotblot menunjukkan adanya logam berat di jaringan hepatopankreas, insang dan otot Perna viridis, melalui reaksi antigen-antibodi protein methallotionein. Indikator protein methallotionein jaringan kerang hijau dapat dipakai sebagai indikator pencemaran logam. KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga kami dapat memberikan laporan kemajuan penelitian yang berjudul ” Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis Caused by Bioacumulation of Heavy Metal ”. Pada kesempatan ini kami sampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Ketua Lembaga Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Negeri Jakarta, atas kepercayaannya mengabulkan proposal ini. 2. Ketua BPLDH yang telah memberikan data kualitas air dari tahun 2007 sampai dengan 2013 dan melakukan uji untuk uji analisis air dari Muara Angke 3. Laoratorium Sentra Bidi, yang telah membantu untuk isolasi protein Kami menyadari bahwa laporan ini masih kurang sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan sangat kami harapkan, agar laporan ini menjadi lebih sempurna. Jakarta, 27 November 2013 Penulis DAFTAR ISI Halaman Ringkasan ................................................................................................... i Kata Pengantar .............................................................................. ......... ii Daftar isi....................................................................................... ......... iii Halaman pengesahan ....……………...............…………..………...... 1 BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 6 BAB III. METODE PENELITIAN........................................................ 22 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 25 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 31 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 31 HALAMAN PENGESAHAN JUDUL: Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis Caused by Bioacumulation of Heavy Metal 1. Peneliti Utama Nama Jenis Kelamin NIP Pangkat/Golongan Jabatan Sekarang Jurusan /Fakultas Perguruan Tinggi 2. Alamat Kantor Telp/faks 3. Alamat Rumah 4. Usul Jangka Waktu Penelitian Anggota Peneliti 5. Pembiayaan : Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si : Perempuan : 196523072001122001 : Lektor/III C : Dosen Jurusan Biologi : Biologi/MIPA : Universitas Negeri Jakarta :Jalan Pemuda No. 10 Rawamangun Jakarta 13320, INDONESIA : + 62 21 489 4909/ +62 21 4894909 : Jl. Tebet Barat VII-C No14 : 7 bulan : : Rp. 12.000.000. Jakarta, 27 November 2013 Mengetahui, Dekan Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta Ketua Peneliti, ( Prof. Dr. Suyono, M.Si ) NIP. 19671218 1993 03 1005 (Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si.) NIP. 19652307 2001 12 2001 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian (Prof. Dr.Mulyana, M. Pd) NIP. 196408151990031001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Peningkatan pembangunan di segala bidang hingga saat ini, selain memberi manfaat positif, juga dapat menimbulkan manfaat negatif terhadap lingkungan. Salah satu sektor yang berkembang dengan pesat hingga saat ini adalah peningkatan pembangunan di bidang industri. Perkembangan industri di daerah DKI dan sekitarnya, cukup pesat. Peningkatan jumlah industri ini akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya (B3) dan masuk ke Teluk Jakarta melalui 13 DAS (Daerah Aliran Sungai), yang bermuara ke perairan teluk Jakarta (Lestari dan Edward, 2004). Teluk Jakarta dengan 13 sungai yang bermuara, pada dasarnya telah mengalami kemunduran lingkungan.Tingkat kepadatan, aktivitas masyarakat, daya dukung, begitu juga kegiatan masyarakat yang terus meningkat, semua hasil kegiatan aktivitas tersebut bermuara ke Teluk Jakarta. Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia akibat limbah industri dan rumah tangga (anon, 2004), karena kandungan 13 sungai tersebut yang sangat tinggi jumlahnya, dan kemudian terakumulasi di perairan teluk Jakarta. Hasil pemantauan BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah) Jakarta terhadap 13 sistem saluran sungai di DKI Jakarta, menunjukkan kondisi kualitas air di 13 sungai itu sudah melebihi ambang batas baku mutu. Angka pencemaran tertinggi terjadi di kawasan Jakarta Utara, dari 14.29 persen di tahun 1999, kini sudah mencapai 68.75 persen. Pencemaran logam pun terjadi pada air tanah, seperti besi dan mangan. Sebanyak 217 industri yang berada di sepanjang aliran Sungai Citarum, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, disinyalir turut bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran di Sungai Citarum yang berlanjut ke Teluk Jakarta. Ke-217 industri yang terletak di daerah Rancaekek dan Majalaya, Kabupaten Bandung, itu diduga tidak mengoperasikan instalasi pengolahan air limbah secara benar. Bahkan, beberapa industri diduga kuat membuang limbahnya secara langsung ke sungai Citarum tanpa di proses di instalasi pengolahan air limbah. Sungai merupakan satu-satunya prasarana paling mudah bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti mandi cuci kakus (MCK), transportasi dan lainnya, termasuk membuang sampah rumah tangga dan limbah industri. Dua aktivitas terakhir, membuang sampah rumah tangga dan limbah industr, merupakan faktor utama terjadinya pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk ditangani, karena merugikan lingkungandan ekosistem secara umum Salah satu dari limbah B3 tersebut adalah logam berat. Kehadiran logam berat sangat mengkhawatirkan, terutama yang bersumber dari pabrik atau industri. Sifat beracun dan berbahaya dari logam berat ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia bahan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Masuknya limbah ini, ke perairan laut telah menimbulkan pencemaran terhadap perairan. Diperkirakan dalam sehari lebih dari 7.000 m3 limbah cair termasuk diantaranya yang mengandung logam berat yang dibuang melalui empat sungai yang melintasi wilayah Tangerang. Sungai-sungai tersebut bermuara ke Teluk Jakarta, sehingga dapat meningkatkan kadar logam berat dalam air laut. Ribuan nelayan di sekitar Cilincing, Jakarta Utara, tak bisa melaut karena air laut Teluk Jakarta tercemar limbah kimia sehingga berwarna merah kecoklatan. Akibat pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja dibudidayakan nelayan mati mengambang. Air laut berwarna biru meskipun banyak sampah plastik, kayu, dan kertas yang mengapung di laut. Air di Muara Kamal dan Dadap Muara berwarna hitam dan kecoklatan serta tampak berminyak. Belum lagi sisa aktivitas akibat pembangunan reklamasi yang terjadi di sepanjang pantai Teluk Jakarta yang merusak ekosistem dan sumberdaya didalamnya. Jadi pada dasarnya perkembangan industri di Jakarta telah menghasilkan kontaminasi logam berat di pantai teluk Jakarta. Kontaminasi logam berat telah mengarah ketingkat polusi dan dapat menyebabkan keacunan terhadap organisme yang hidup di laut, bahkan dapat merusak organisme sampai pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi keseimbangan ekologi. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan lingkungan, diantaranya adalah dengan mengukur tingkat kontaminan di lingkungan, termasuk mengukur akumulasi senyawa toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon biologis atau dikenal sebagai biomarker merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu prediksi yang relevan. Beberapa indikator yang biasa diukur adalah protein metalotionin, merupakan indikator khusus terhadap logam berat di dalam jaringan; stabilitas lisosom, merupakan indikator umum terhadap stress; hambatan asetilkolin esterase, sebagai marker terhadap pemaparan organofoforus dan pestisida karbamat (Ukamaka et al., 2010). Organisme mempunyai kemampuan untuk mendetoksifikasi logam. Logam berat yang masuk ke dala tubuh akan terdistribusi sesuai dengan afinitasnya. Dalam konsentrasi tinggi akan bersifat toksik bagi sel karena ion logam dapat bertindak sebagai oksidan dan berikatan dengan molekul organik dan protein. Ion logam tersebut akan ditransfer ke dalam sitoplasma sel. Di dalam sitoplasma ion logam akan berikatan dengan protein Metalotionin, sehingga terakumulasi di dalam sel. Dengan demikian protein Metalotionin berperan sebagai sarana detoksifikasi karena menimbun logam. Phylum Molusca, klas bivalvia merupakan hewan yang dapat dipakai sebagai biomonitoring lingkungan perairan dan sebagai objek dalam penelitian ini. Beberapa dari kelas Bivalvia, biasanya merupakan sumber bahan makanan dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu dari kelad tersebut adalah jenis kerang. Kerang banyak disukai bahkan dieksport ke berbagai negara untuk dikonsumsi, karena mengandung banyak protein dan lemak. Jenis kerang yang sering menjadi konsumsi masyarakat, yaitu kerang hijau (Mytilus viridis), kerang darah (Anadara granosa), dan kerang bulu (Anadara antiquata). Jenis kerang banyak digunakan sebagai indikator pencemaran logam. Hal ini disebabkan karena kerang dapat mengakumulasi logam dan mendetoksifikasi dibandingkan dengan hewan air lainnya, hidupnya yang menetap, lambat untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap logam tertentu. sifat bioakumulatif inilah yang menyebabkan kerang harus diwaspadai bila dikonsumsi terus menerus (Darmono, 2001). Mengingat kemampuan dari berbagai invertebrata untuk mengakumulasi logam berat beracun sangat bervariasi, maka spesies laut ini dapat dipakai sebagai indikator untuk mempelajari tingkat polusi pada ekosistem perairan (George dan Olsson, 1994). Kemampuan pengikatan ion logam sangat tergantung dari ekspresi protein metalotionin (MTs). Ekspresi Metalotionin itu sendiri tergantung pada regulasi logam yang masuk ke dalam tubuh (Lemoine et al., 2000). Struktur Metalotionin dan regulasi sintesis dianggap mendasar dan merupakan bentuk adaptasi organisme terhadap keberadaan logam di lingkungan. Bukti sebagai kepedulian terhadap kesehatan masyarakat, tentang pencemaran logam pada biota yang berhubungan dengan warga Jakarta, dimana masyrakat banyak yang mengkonsumsi seafood dengan kandungan protein tinggi dan harga murah, maka dilakukan suatu penelitian. 1.2. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: Apakah polutan logam berat di Muara angke pantai utara Jawa berpengaruh terhadap ekspresi protein Metalotionin ? 1. 3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui polusi logam berat di Muara angke, pantai utara jawa melalui ekspresi protein Methalothionin yang terdapat pada kerang hijau, sebagai protein bioindikator terhadap logam berat, tentunya dapat mempengaruhi keberdaan dan distribusi kerang tersebut terhadap kelangsungan hidup hewan tersebut. Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui ekspresi protein methalotionin pada organ-organ hepatopankreas, insang dan otot sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. 1. 4. Perumusan Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat diambil suatu hipotesis bahwa: Polusi logam berat di Muara angke pantai utara Jawa berpengaruh terhadap ekspresi protein Metalotionin pada kerang hijau (Perna viridis) 1. 5. Pembatasan Masalah Penelitian ini terbatas hanya pada ekpresi protein Metalotionin dari kerang hijau, sebagai indikator pencemaran lingkungan. 1. 6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan sebagai risk assessment kepada Pemda DKI, LSM, pihak Industri dan masyarakat dalam mengelola kegiatan industri-industri yang ada di Jabotabek yang berwawasan lingkungan serta menerbitkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Metalotionin Metalotionin (MTs) ditemukan pada tahun 1957 oleh margoshes dan Vallee pada korteks ginjal kuda, sebagai protein yang terikat pada kadmium. Nama MTs disebabkan adanya kandungan logam (metal) dan sulfur yang terikat pada protein tersebut, yang berkontribusi melebihi 20% dari berat MTs. MTs merupakan asam amino non aromatik dan stabil terhadap panas, non enzimatis dengan berat molekul rendah sekitar 6-7 kDa, terdiri dari rantai polipeptida yang mengandung 61-68 asam amino, dimana sekitar 30% dari asam amino tersebut berupa residu sistein. Gugus tiol (-SH) merupakan bagian sangat penting dari struktur MTs karena pada gugus, semua ion logam terikat dengan residu sistein (Coyle et al., 2002). Protein MTs banyak ditemukan pada hewan invertebrata, terutama moluska (Roesijadi, 1962: Engel and Brouwer, 1993; Barka, 2000; Amiard et al., 2006), dan crustaceae, Annelida. Kelompok hewan tersebut secara ekologi merupakan kelompok invertebrata akuatik yang sangat penting. Karakteristik protein MTs yang paling penting dan mendasar terletak pada kandungan sistein yang tinggi. Pada Mamalia terdapat 20 residu sistein (33%) dari total 61 asam amino konstitutif. Semua molekul sistein ini mempunyai afinitas yang tinggi untuk mengikat 7 logam kadmium (Cd) atau seng (Zn). Tujuh logam Cd tersusun pada gugus logam polinuklear yang terpisah, dimana satu gugus terdiri dari 3 logam Cd dan satu gugus lagi terdiri dari 4 logam Cd (gambar1). Gugus 3 logam Cd membentuk struktur cincin sikloheksana dan memerlukan 9 asam amino sistein, sedangkan gugus 4 logam Cd membentuk struktur bicyclo dan memerlukan 11 asam amono sistein. Pada gugus 4 logam tersusun atas 31-61 residu COOH terminus. Pengikatan logam pada setiap gugus terjadi secara teratur, dimana pengikatan pertama dimulai pada gugus 4 logam Cd. Setelah pengikatan tersebut jenuh, maka pengikatan selanjutnya terjadi pada gugus 3 logam Cd. Pengikatan setiap gugus logam terjadi secara teratur, begitu pula dengan pelepasan logam. Pelepasan logam, pertama kali terjadi pada gugus 3 logam Cd, karena gugus 3 logam lebih labil sehingga lebih mudah melepaskan ion Cd dibandingkan dengan Cd yang terikat kuat pada gugus 4 logam (Klaassen et al., 1999). Karakteristik MTs pada crustacea, mengandung 18 residu sistein dari total 58-60 asam amino pada MTs (Binz dan Kagi, 1999). Gambar 2.1. Sifat domain MTs. 3 dan 4 atom Cd terikat masing-masing pada domain α dan β dari MTs (Klaassen et al., 1999) Model struktur susunan MTs dibedakan menjadi tiga macam, yaitu model Cys-Cys, model Sys-X-Cys dan model Cys-X-Y-Cys, dimana X dan Y adalah asam amino yang bukan sistein. Berdasarkan struktur tersebut maka terdapat 3 kelompok MTs, yaitu kelas MTs I, kelas MTs II dan kelas MTs III. Pada kelas MTs I dijumpai pada mamalia, beberapa moluska (tiram, oyters, lobster) dan krustase, di mana sistein terikat pada semua rantai asam amino dari protein MTs. Kelas MTs II, jumlah sistein yang terikat pada rantai asam amino dari MTs berkurang. Kelas MTs III, terdiri dari protein non MTs, yang dikenal dengan nama phytochelatins (Binz dan Kagi, 1999). Metalotionin kelas I dan II mempunyai 15 famili. Tipe protein MTs pada moluska, termasuk ke dalam kelas I, famili ke 2. Fungsi dari MTs masih diperdebatkan banyak orang. Para peneliti telah mengetahui beberapa peran dari protein tersebut yaitu mampu mengikat logam, yang diperlukan dalam mengontrol homeostasis logam essensial (Cu, Zn). Peran tersebut diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan enzimatik dan metabolisme di dalam sel. Peran lain MTs, terlibat dalam proses detoksifikasi terhadap kelebihan logam essensial dan non sessensial yang terdapat di dalam tubuh. Hal ini diperlukan untuk mengatur konsentrasi intraseluler ion logan Zn dan ion logam lainnya. Overekspresi MTs atau Sintesis protein MTs dapat mempengaruhi transkripsi, replikasi dan sintesisi protein lainnya. Selama lebih dari 30 tahun, jaringan dari spesies moluska telah dianalisis secara kimia untuk mendeteksi dan memantau polutan dalam lingkungan laut. Namun, analisis kimia, air, sedimen atau organisme, hanya memberikan pemahaman terbatas tentang kesehatan lingkungan karena konsekuensi ekologis dari suatu polusi bersifat biologis, bukan bersifat kimiawi (Bayne 1976). Oleh karena itu fokus saat ini telah bergeser dari analisis kandungan logam dalam jaringan kerang menuju pengembangan biomarker untuk pencemaran, seperti MTs. Hewan air jenis kerang-kerangan (Bivalvia) atau jenis binatang lunak (Mollusca) pergerakannya sangat lambat di dalam air. Mereka biasanya hidup menetap di suatu lokasi tertentu di dasar air. Hal inilah yang mengakibatkan kerang mampu mengakumulasi logam lebih berat dari pada hewan air lainnya, terutama pada konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat dari aliran air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi) dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit (Darmono, 2001). Sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air melalui rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil air. Akumulasi dalam tubuh organisme air dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan. Kelompok moluska, terutama kerang, dapat bertahan hidup pada lingkungan yang terkontaminasi oleh logam berat dan juga hewan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan level logam yang berbeda beda. Kemampuan tersebut dapat tercermin dari ekspresi protein metalotionin. Protein ini akan terekspresi karena induksi logam berat. Sintesis Metalotionin diatur oleh gen-gen polimorfik dan diinduksi oleh banyak faktor, seperti logam, hormon, sitokin, obat, stress fisik dan stress oksidatif. Meskipun MTs merupakan protein sitoplasma, protein ini dapat juga diakumulasi dalam lisosom dan selama perkembangan juga dapat terlihat di dalam inti sel. Peran MTs sebagai biomarker pada molusca, crustaceae dan Annelida, merupakan kunci utama adaptasi terhadap paparan logam, dimana memberikan kontribusi yang besar pada ekosistem muara dan pesisir, biomassa, struktur dan fungsi ekosistem. 2.2. Dampak Logam Berat Terhadap Kerang Hiaju Pengembangan prosedur untuk studi eksperimen ekspresi protein MTs pada hewan air terutama invertebrata, di Indonesia relatif masih baru. Moluska seperti kerang dan tiram umumnya digunakan dalam program pemantauan lingkungan karena kemampuan mereka untuk beradaptasi yang relatif tinggi terhadap bahan kimia. Pada berbagai Spesies moluska, induksi MTs telah dipelajari secara rinci terutama pada tiram, Crassostrea virginica. Spesies ini memiliki protein MTs (Casterline dan Yip, 1975) yang dapat mengikat logam Cd, Cu, Zn sampai dengan 50% dari Cd selular dan hasil induksi (Roesijadi dan Klerks, 1989). Oleh karena itu, hewan moluska dapat dipakai sebagai bioindikator lingkungan. Bioindikator memberikan informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi aktual dari suatu organisme atau ekosistem. Sedangkan melalui ekspresi protein MTs dapat dipakai sebagai biomarker yang dapat memberikan bukti terhadap paparan polutan kimia, dan mungkin (atau tidak mungkin) juga menunjukkan efek beracun pada hewan tersebut. Organ pada hewan moluska, yang respon terhadap logam berat diantaranya hepatopankreas, merupakan kombinasi hati, pankreas dan usus. Organ ini berfungsi dalam proses metabolisme, terutama untuk absorpsi, pencernaan, penyimpanan, sekresi dan bahkan untuk proses detoksifikasi senyawa toksik dan bahan polutan (Chaceci, 1988; Bhavan dan Geraldine, 2000). Selain itu terdapat organ lainnya yang juga menarik untuk diteliti yaitu insang. Insang merupakan organ tempat pelaluan polutan pertama kali masuk kedalam tubuh. Oleh karean itu kedua organ tersebut dapat dipakai sebagai bioindikator kerusakan lingkungan melalui biomarker ekspresi protein metalotionin. proses penyaringan pada bivalvia masuk melalui empat sifon inkuren dan tersaring di insang. Penyusun utama lapisan membran insang adalah epitel pipih selapis dan berhubungan langsung dengan sistem pembuluh, dan diduga logam berat yang masuk bersamaan dengan partikel makanan mengalami difusi melalui membran insang dan terbawa aliran darah (Barnes, 1980). Insang bivalvia, termasuk P.viridis mempunyai mucus atau lendir yang penyusun utamanya adalah glikoprotein. Diduga logam tersebut terikat dengan protein menjadi metallothienin. Oleh karena sifat mukus insang yang mengalami regenerasi, maka logam berat (termasuk kadmium) yang telah terikat pada mucus insang turut terlepas dari tubuhnya (Overnell dan Sparla, 1990). Masih terkait dengan mekanisme filter-feeder, aliran air laut akan berlanjut menuju ke labial palp dimana pada bagian tersebut akan melalui beberapa proses penyaringan dengan cilia-cilia. Partikel yang berukuran kecil akan lolos, sementara yang berukuran besar akan dikeluarkan kembali melalui sifon-inkuren dalam bentuk pseudofeces (Pechenik, 2000). Hal ini juga diduga merupakan salah satu faktor menurunnya konsentrasi kadmium seiring dengan membesarnya ukuran tubuh. Faktor ketiga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheney (2007), dimana tiram Crassostrea sp. yang dibudidayakan di Willapa Bay mengakumulasikan kadmium lebih banyak pada masa pertumbuhan tahun pertama dan kedua dalam siklus hidupnya. Sementara tahun ketiga dan keempat justru mengalami penurunan. Diduga karena adanya tingkat kejenuhan organisme tersebut dalam mengakumulasikan kadmium. Oleh karena itu, diduga juga bahwa tingkat akumulasi logam berat sangat bergantung pada jenis spesies. Batas asupan harian (ADI) P.viridis yang diperoleh di Surabaya adalah ± 254 dan ± 2128 individu untuk ukuran besar dan kecil, sedangkan di Madura adalah ± 293 dan ± 1993 individu. Selain logam berat, level MTs pada bivalvia juga dipengaruhi oleh musim, jenis kelamin, ukuran/umur kerang (Corina et al., 2004). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wu dan Wang (2011), menggunakan teknik H-NMR menunjukkan bahwa paparan Cd pada 20 mg/L dapat menyebabkan gangguan metabolisme energi, gangguan osmolaritas dan gangguan pada fungsi sistem saraf pada kerang hijau. Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh paparan Cd adalah pada jaringan otot adduktor, berupa perubahan metabolisme, berupa peningkatan kadar glutamin, glutamat, dan laktat serta berkurangnya asam amino rantai cabang (valin, leusin , isoleusin, aspartat, fenilalanin, tirosin. Jaringan otot menunjukkan mekanisme toksisitas yang berbeda dari kelenjar pencernaan sehingga otot adduktor kurang sensitif dari pada kelenjar pencernaan. Meskipun kurang sensitif, tetapi jaringan otot adduktor masih menunjukkan sifat toksisitas dan organ ini masih perlu diteliti. Peningkatan MTs oleh paparan Cd berpengaruh terhadap bioakumulasi Cu, hal ini disebabkan MTs memiliki afinitas tinggi terhadap Cu dari pada Cd dan tidak untuk meningkatkan bioakumulasi Zn, karena afinitas Zn rendah terhadap MTs dibandingkan dengan Cd (Vasa´k M. 1991). Kedaan tersebut menyebakan terjadi persaingan antara logam essensial dengan non essensial. Peran Zn di dalam tubuh yang diperlukan sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif (Bray dan Bettger, 1990), untuk menghambat apoptosis sel yg disebabkan Cd dan menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS), akan mengalami gangguan. 2.3. Mekanisme Regulasi Protein Metalotionin Mekanisme detoksifikasi logam berat di dalam tubuh hewan kerang terutama dilakukan oleh organ hepatopankreas. Hal ini tidak meutup kemungkinan bahwa logam berat juga di detoksifikasi oleh organ seperti insang dan otot. Organ tersebut merupakan organ yang pertama kali di lalui oleh aliran air yang mengandung logam berat. Ion logam yang masuk ke dalam tubuh adalah ion yang memang diperlukan dan penting untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh. Ion logam tersebut adalah ion logam essensial. Jika ion logam non essensial (Cd, Hg atau Ag) masuk ke dalam sel, maka kompetisi akan terjadi di antara ion-ion logam essensial dan non essensial (Cu, Zn), untuk memperebutkan ligan intraselular. Oleh karena itu peran dari metaloprotein tersebut, sebagai detoksifikasi terhadap logam non essensial yang masuk ke dalam tubuh. Regulasi gen Metalotionin (MTs) oleh logam berat diperantarai oleh inhibitor, yang sensitif terhadap Zn, berinteraksi dengan faktor transkripsi aktif secara konstitutif (gambar 2.1). Metalotionin, berperan juga sebagai antioksidan, terutama dijumpai pula pada eukariotik, sebagai pelindung terhadap radikal bebas hidroksi. Peran sebagai antioksidan, mekanismenya diperantarai oleh program kematian sel dan ini telah diamati bahwa ekspresi MTs diatur oleh level oksigen disekitarnya (Thirumoorthy et al., 2007). Gambar 2.2. Model induksi ganda MTs dan Penyelamatan terget ligan melalui pengikatan logam yang sesuai, Cd sebagai contoh. (MTs : Metalotionin, MRF : Metal Transkripsi faktor, MTI ; Metal Transkripsi Inhibitor) by Roesijadi, 1996). Pada (gambar 2.2) menjelaskan regulasi dan fungsi MTs di dalam tubuh. MTs promotor memiliki banyak elemen respon yang mengatur transkripsi, yaitu 1) Metal Response Elements (MRE), diaktifkan oleh Metal-Responsive Transcription Factor (MTF- 1) setelah mengikat Zn, yang berasal dari pool Zn, 2) Glucocorticoid Response Elements (GRE); 3) elemen yang diaktifkan oleh STAT (Signal Transducers and Activators of Transcription) protein melalui sinyal sitokin, dan 4) Antioksidan (atau elektrofil) Gambar 2.2. Ikhtisar regulasi dan fungsi Metallothionein (MTs) Respon Elemen (ARE) yang aktif terhadap teaksi redoks. Metilasi dapat mengurangi ekspresi beberapa sel tumor. Pool Zn seluler dipengaruhi oleh asupan seng makanan dan aktivitas transport Zn da berfungsi sebagai sumber Zn terikat MT. Zn mengikat MT menunjukkan stabilitas termodinamika tinggi dan juga labilitas kinetik tinggi. Apo MT (thionein) dan Zn7 MTs berfungsi sebagai penyumbang Zn, secara bergantian. Apo MT lebih cepat terdegradasi dari Zn7 MT. Berbagai site koordinasi seng pada protein memberikan kesempatan level MTs seluler untuk mempengaruhi berbagai proses utama, termasuk regulasi gen, proliferasi sel dan diferensiasi, transduksi sinyal dan apoptosis, serta pengaruh kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh stres oksidatif dan elektrofil (Davis and Cousins, 2000). MTs dapat meningkatkan serapan Cd dan / atau mengurangi pelepasan Cd oleh kerang (Liu dan Wang, 2011.a.b) Cu dapat di lepas secara eksponensial dan diperkirakan tergantung dari waktu paruh jaringan. Waktu paruh Cu di dalam insang 9, 5 dan di kelenjar pencernaan serta jaringan lainnya sekitar 14 hari. Cu yang terikat pada senyawa termostabil terlepas lebih cepat 4-7 hari di semua jaringan daripada yang terikat pada senyawa termolabil 7-18 hari. Menariknya, MT dengan cepat 7 dan 18 hari, hal ini menunjukkan bahwa protein MTs aktif terlibat dalam penghapusan logam ini, melalui kompleks Cu-MT setelah turnover secara simultan. Mekanisme turnover methallothionin sangat tinggi dibandingkan dengan kecepatan sintesisnya (Ng et al., 2007). Pelepasan Cu, yang lebih cepat daripada pelepasan Cd (Serafim dan Bebianno, 2007a) dan Zn (Serafim dan Bebianno, 2007b). Pelepasan tersebut terjadi melalui 2 jalur degradasi MT berbeda. Kompleks Cu-MT diangkut ke vesikula dan dilepas oleh excytosis (da Silva dan Williams, 2001), cara ini lebih pendek untuk waktu paruh Cu dibandingkan dengan logam lain. Cara kedua melalui transfer kompleks Cu-MT ke lisosom, diperkirakan waktu paruh Cu adalah 10-12 hari. Sementara cara kedua tidak dapat terjadi pada kompleks Cd-MTs karena Cd terikat oleh MTs sangat kuat dibanding dengan logam lainnya sehingga waktu paruhnya mencapai 4 bulan ( Serafim dan Bebianno, 2009). 2.4. Distribusi Logam Berat di dalam Tubuh Hewan Tingkat pencemaran laut di Indonesia masih sangat tinggi. Pencemaran berat terutama terjadi di kawasan laut sekitar dekat muara sungai dan kota-kota besar. Tingkat pencemaran laut ini telah menjadi ancaman serius bagi laut Logam-logam beracun yang terdapat dalam air dan sedimen ekosistem pantai yang tercemar ini, berpeluang masuk ke dalam tubuh hewan seafood seperti : kerang, kepiting, udang dan ikan. Informasi tentang adanya kandungan logam-logam beracun dalam seafood bercangkang (shellfish) yaitu kerang-kerangan dan udang-udangan sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti di berbagai wilayah didunia. Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Toksisitas pada spesies biota dibedakan menurut kriteria sebagai berikut : biota air, biota darat, dan biota laboratorium. Sedangkan toksisitas menurut lokasi dibagi menurut kondisi tempat mereka hidup, yaitu daerah pencemaran berat, sedang, dan daerah nonpolusi. Umur biota juga sangat berpengaruh terhadap daya toksisitas logam, dalam hal ini yang umurnya muda lebih peka. Daya tahan makhluk hidup terhadap toksisitas logam juga bergantung pada daya detoksikasi individu yang bersangkutan, dan faktor kesehatan sangat mempengaruhi (Palar, 1994). Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi. Organisme air sangat dipengaruhi oleh keberadaan logam berat di dalam air,terutama pada konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi) dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit (Darmono, 2001). Sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air melalui rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil air. Akumulasi dalam tubuh organisme air dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan. Dalam moluska air, insang merupakan organ yang berhadapan langsung untuk penyerapan logam terlarut, di mana logam terikat MTs , dimasukkan ke dalam lisosom, dan dilepas ke plasma darah di bagian basalnya dan beredar ke hemosit. Namun, serapan partikulat logam terutama dicapai melalui saluran pencernaan oleh endositosis , logam lanjut ditransfer pertama yang lisosom dan kemudian ke badan sisa , terutama di sel-sel pencernaan dari kelenjar pencernaan . . Gambar 2.3. Skema distribusi total Cu (Cu-pools) di antara fraksi tubuh (EPF : extrapallial fluid; HML : hemolymph; GHL : gonads, heart, and labial palps;LP : labial palps; F: feces; U: urine) pada A. anatina setelah paparan Cu melalui air panah hitam (rute ke jantung) and panah abu-abu (rute dari jantung ke organ lain) b. panah putih (rute ke jantung) and garis berat/abu-abu (rute dari jantung ke organ lain). Panah garis berat/putih menunjukkan rute balik Cu ( Marigo´ mez et al. (2002). Selain itu , logam dapat terakumulasi selektif dalam jenis sel tertentu. Sebagai ligan pools berbeda dari sel ke sel, logam yang berbeda dapat disimpan dalam tipe sel yang berbeda. Kelas "a" logam terlokalisasi dalam sel dengan butiran terdiri dari karbonat, oksalat, fosfat, dan sulfat (donor oksigen), sedangkan "b" logam yang terkait dengan jenisjenis sel kaya sulfur dan nitrogen ligan (donor sulfur). Dalam moluska, donor oksigen terjadi pada sel kalsium jaringan ikat dan sel basofilik, sedangkan donor sulfur yang hadir dalam sel pencernaan, podocytes, nephrocytes, dan rhogocytes. Hemosit, yang merupakan sistem yang paling relevan untuk transportasi logam antara jaringan, bergerak di sekitar tubuh dan dapat menembus jaringan dan menghilangkan logam dari media dalam untuk terakumulasi dalam lisosom sebagai produk nondigested. Rhogocytes juga berpartisipasi dalam mobilisasi logam, akumulasi, dan pelepasan 2.5. Nilai Ekonomis Kerang Hijau (Perna viridis) Kerang merupakan sumber bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena mengandung protein dan lemak. Jenis kerang yang sering menjadi konsumsi masyarakat, yaitu kerang hijau (Mytilus viridis), kerang darah (Anadara granosa), dan kerang bulu (Anadara antiquata) (Suwignyo, 2005). Kerang Hijau juga merupakan salah satu sumber mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti besi (Fe), fosfor (P) , Flour (F), iodium (I), kalsium (Ca), Kalium (K), seng (Zn), selenium (Se) dan lain – lain. Kandungan mineral tersebut lebih mudah diserap tubuh. Mengkonsumsi kerang secara teratur berarti mendapat asupan kalsium yang memadai, sehingga kita dapat terhidar dari penyakit Osteoporosis dan menambah vitalitas tubuh. Kerang hijau ini merupakan jenis kerang yang banyak dicari orang, karena dijadikan kuliner yang menggoda selera. Kerang merupakan salah satu jenis seafood yang paling banyak digemari dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini lebih didasarkan karena kerang mudah didapatkan dan harganya juga terjangkau oleh lapisan golongan masyarakat pada umumnya. Namun, untuk ekspor, Indonesia masih kalah dengan negara-negara lain karena di dalam kerang hijau di Indonesia terindikasi racun logam berat. Cukup tingginya konsumsi kerang ini berpengaruh pada serapan kandungan logam yang terdapat pada kerang oleh masyarakat yang mengkonsumsinya. Kerang, remis dan tiram sering digunakan untuk menguji tingkat polusi lingkungan. (Ibrahim et al., 1995). Kerang hijau khususnya yang berasal dari teluk Jakarta terbukti mengadung logam berat yang dapat membayakan tubuh bila dikonsumsi. Selama ini, kerang hijau yang berada di perairan Teluk Jakarta, telah mengonsumsi logam berat yang berasal dari limbah industri yang ada di sekitar Teluk Jakarta. Sehingga efek yang ditimbulkan jika makanan yang mengandung logam berat itu dikonsumsi akan cepat berpengaruh pada tubuh. Efek tersebut antara lain, pelambatan pada pertumbuhan dan perkembangan, kanker, kerusakan pada organ, kerusakan mental, dan pada kasus yang ekstrim adalah kematian. Kerang pada umumnya merupakan pemakan partikel dasar, plankton serta bahan organik pada dasar endapan yang di filter melalui mekanisme cillia insang (Raymon, 1976). Fungsi insang yang selain untuk pernafasan juga untuk menangkap makanan yang mana sifat ini dikenal dengan ciliary feeder (Barnes, 1974). Selama makan, kerang menyaring sejumlah besar air. Bila lingkungan perairan tersebut tercemar oleh logam berat, maka logam tersebut juga akan diserap oleh kerang masuk ke dalam jaringan tubuhnya. Cara hidup kerang ini menyebabkan kerang sangat berpotensi mengakumulasikan senyawa pencemar yang terdeposisi di pantai yang tercemar (Whitten, et al., 1996). Kerang Hijau (Perna viridis) adalah moluska yang mempunyai cangkang yang simetris. Panjang cangkangnya lebih dari dua kali lebarnya, termasuk binatang lunak (Moluska) yang hidup di laut terutama pada daerah litoral, memiliki sepasang cangkang (bivalvia), berwama hijau egak kebiruan. insangnya berlapis-lapis (Lamelii branchia) dan berkaki kapak (Pelecypoda) serta menempel pada benda-benda keras dengan bantuan benang byssus yang dihasilkan oleh kelenjar kaki. Kerang hijau adalah "suspension feeder", dapat berpindah-pindah tempat dengan menggunakan kaki dan benang "byssus", hidup dengan baik pada perairan dengan kisaran kedalaman 1 m sampai 7 m, memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas antara 27-35 per mil (Power et al., 2004). Di Indonesia jenis ini ditemukan melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang surut dan subtidal, hidup bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssusnya pada bendabenda keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras. Kerang hijau memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga Pasifik Barat, dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan hingga Indonesia (Carpenter et al., 1998). 2. 5. Diskripsi dan Sistematika Kerang Hijau (Perna viridis) Kerang yang dipilih pada penelitian ini adalah kerang hijau, Perna viridis (Linnaeus). Tempat hidup kerang hijau terutama di lingkungan a muara sampai daerah payau dengan salinitas optimal sekitar 27 sampai 33 ppt, suhu antara 26 sampai 32°C dan sering rentan terhadap pencemaran pesisir. Kerang hijau tahan hidup pada kekeruhan dan polusi. Distribusi yang luas, ketersediaan sangat mudah dan mudah untuk menanganinya sehingga hewan ini dipakai dalam penelitian, industri dan budidaya. Kerang adalah salah satu hewan lunak (Mollusca) kelas Bivalvia atau Pelecypoda. Secara umum bagian tubuh kerang dibagi menjadi lima, yaitu (1) kaki (foot byssus), (2) kepala (head), (3) bagian alat pencernaan dan reproduksi (visceral mass), (4) selaput (mantle) dan (5) cangkang (shell). Pada bagian kepala terdapat organorgan syaraf sensorik dan mulut. Warna dan bentuk cangkang sangat bervariasi tergantung pada jenis, habitat dan makanannya (Setyono, 2006). Kerang hijau (Perna viridis) termasuk dalam kelas bivalvia atau pelecypoda. Barnes (1974) mengatakan bahwa bentuk kaki pelecypoda merupaka pelebaran dari bagian tubuh yang berbentuk pipih lateral seperti kapak kecil, disebut pelecypoda. Memiliki dua cangkang yang tipis dan simetris yang dapat dibuka tutup; dengan umbo yang melengkung ke depan. Memiliki persendian yang halus dengan beberapa gigi yang sangat kecil. Cangkang Perna viridis berbentuk segitiga lonjong dengan garis-garis pertumbuhan pada cangkang bagian luar yang jelas, dimana pada Perna viridis dewasa memiliki bysus yang kuat untuk menempel. Cangkang terdiri dari tiga lapisan, yakni: a) lapisan luar tipis, hampir berupa kulit dan disebut periostracum, yang melindungi b) lapisan kedua yang tebal, terbuat dari kalsium karbonat; dan c) lapisan dalam terdiri dari mother of pearl, dibentuk oleh selaput mantel dalam bentuk lapisan tipis. Lapisan tipis ini yang membuat cangkang menebal saat hewannya bertambah tua. Bentuk cangkang kerang hijau agak meruncing pada bagian belakang, berbentuk pipih pada bagian tepi serta dilapisi periostrakum pada bagian tengah cangkang (Gambar 2). Pada fase juvenil, cangkang berwarna hijau cerah dan pada fase dewasa warna mulai memudar dan menjadi coklat dengan tepi cangkang berwarna hijau (Siddall, 1980). Sedangkan pada bagian dalam cangkang berwarna hijau kebiruan. Memiliki garis ventral cangkang yang agak cekung dan keras serta memiliki ligamen yang menghubungkan kedua cangkang kanan dan kiri. Klasifikasi Perna viridis Linnaeus 1758 adalah sebagai berikut: Filum (Phylum) : Moluska Kelas (Class) : Bivalvia Sub klas (Sub Class) : Lamellibranchiata Bangsa (Ordo) : Anisomyria Induk suku(Superfamily) : Mytilacea Suku (Family) : Mytilidae Anak suku (Sub family) : Mytilinae Marga (Genus) : Perna Jenis (species) : Perna viridis Kerang hijau hidup pada perairan estuari, teluk dan daerah mangrove substrat pasir lumpuran serta salinitas yang tidak terlalu dengan tinggi. Umumnya hidup menempel dan bergerombol pada dasar substrat yang keras, yaitu batu karang, kayu, bambu atau lumpur keras dengan bantuan bysus. Kerang hijau tergolong dalam organisme/hewan sesil yang hidup bergantung pada ketersediaan zooplankton, fitoplankton dan material yang kaya akan kandungan organik. Benih kerang hijau akan menempel pada kedalam 1,50-11,70 meter di bawah permukaan air pada saat pasang Gambar 2.4. Cangkang kerang hijau (Perna viridis) tertinggi. Cara makan maka kerang hijau termasuk dalam kelompok suspension feeder, artinya untuk mendapatkan makanan, yaitu fitoplankton, detritus, diatom dan bahan organik lainnya yang tersuspensi dalam air adalah dengan cara menyaring air tersebut (Cappenberg, 2008). 2.6. Sekilas Teluk Jakarta Sebuah teluk yang merupakan letak Kota Jakarta. Batas teluk ini antara 106.40 dan 1070, garis bujur. Teluk ini dilindungi oleh pulau-pulau kecil jenis pulau karang, karena jumlahnya banyak disebut Kepulauan Seribu. Batas geografis Teluk Jakarta di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Batas geografis Teluk Jakarta terletak pada 5°48’30” - 6°10’30” Lintang Selatan (LS) dan 106°33’ - 107°03’ Bujur Timur (BT). Secara geografis Teluk Jakarta sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu (Agnitasari, 2006). Teluk Jakarta sebagai pintu gerbang masuk ibukota, peranannya sangat besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor-sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan kependudukan dan pertanian serta pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang tidak terkendali tentunya akan mengakibatkan menurunnya kualitas perairannya. Menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD DKI Jakarta) tahun 2004 total produksi sampah domestik di DKI Jakarta sekitar 6000 ton/hari, dimana sekitar 85% dari jumlah tersebut mampu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sementara 15% sisanya tercecer di selokan, sungai, lahan kosong dan jalan-jalan. Bahan-bahan organik dan pencemar lain yang berada di kolom perairan akan turun ke dasar perairan (sedimen), sehingga kondisi seperti ini akan mempengaruhi keanekaragaman mikroorganisme, vertebrata dan invertebrata yang hidup di dasar perairan (Millero dan Sohn, 1992). Teluk Jakarta merupakan teluk dengan panjang pantai kurang lebih 38 km. Perairan ini termasuk perairan semi tertutup dan merupakan daerah pertemuan 13 aliran sungai yaitu, 3 sungai besar (Sungai Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung) dan 10 sungai kecil (Sungai Kamal, Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan). Air sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta sudah mengalami pencemaran, baik yang diakibatkan oleh limbah domestik, limbah industri dan limbah rumah sakit serta sampah padat yang dibuang ke sungai. Keadaan ini mengakibatkan Teluk Jakarta tercemar bahan organik hingga 10 km dari pantai (Kemitraan Indonesia, 2006). Kondisi ini tentu akan mengakibatkan menurunnya kualitas perairan dan yang paling menderita akibat menurunnya kualitas perairan terutama adalah sektor pertanian (sub sektor perikanan) yaitu dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan.Muara Angke memiliki luas daerah sebesar 25, 35 Ha dengan jumlah penduduk sebesar 2724 jiwa (tahun 1991), dan meningkat menjadi 5328 jiwa (mengalami kenaikan 51% pada tahun 1995) (Murwanto, 2000).Muara Angke juga merupakan salah satu wilayah yang perairannya sudah tercemar oleh logam berat (Rochyatun, 2007). Logam berat yang terdapat dalam perairan tersebut yaitu; logam timbal Pb. Logam berat adalah elemen kimiawi metalik dan metaloida, memiliki bobot atom, dan bobot jenis yang tinggi, yang dapat bersifat racun bagi tubuh (SNI 7387, 2009). Pencemaran laut oleh bahan kimia kian marak. Hal ini berdampak buruk pada flora maupun fauna yang menghuninya. Seperti yang tejadi baru -baru ini di perairan utara Jakarta, walaupun pihak Kantor Lingkungan Hidup Daerah (KLHD) Jakarta Utara belum bisa memastikan dari mana asal pencemaran yang telah membunuh ratusan di wilayah tersebut. Dari sampel yang diambil di dua lokasi, di wilayah Kali Baru, Kecamatan Cilincing, dan daerah di dekat proyek BKT, Marunda, Kecamatan Cilincing, ditemukan setidaknya ada empat indikasi pencemaran yang tingkatnya sudah jauh diatas batas Baku Mutu. Diantaranya adalah Asam Amonia, Nitrat, Chemical Oxygen Demand (COD), dan Biological Oxygen Demand (BOD).Untuk jumlah kandungan Amonia per liter air laut, di Kali Baru terdapat sebanyak 1,25 miligram, dan di Marunda sebanyak 0,50 miligram. Jumlah keduanya sudah melebihi batas normal yang hanya 0,3 miligram per liter.Sementara untuk Nitrat, di Kali Baru ditemukan sebanyak 0,1 miligram per litar, dan di Marunda 0,05 miligram per liter. Jumlah ini jauh diatas ambang batas normal sebesar 0,008 miligram per liter. Pencemaran juga ditemukan melalu penelitian berdasarkan kebutuhan oksigen biologis (BOD), dan kebutuhan oksigen kimia (COD). Jika BOD dan COD menurut standar baku mutu seharusnya hanya 10 sampai 20 miligram per liter air laut, di Kali Baru dan Marunda masing masing sebanyak 45,40, dan 44,70 miligram per liter. Untuk COD, di Kali Baru dan Marunda masing-masing sebesar 128,83, dan 98,08 miligram perliter. Jadi memang sudah jelas bahwa di Jakarta Utara memang sudah terjadi pencemaran. Pencemaran ini tentunya berdampak pada biota yang hidup di laut. Oleh karena itu akan dilakukan penelitian terhadap hewan yang hidup disekitar pantat teluk Jakarta, sebagai dampak polutan yang dibawa melalui 13 sungai. Hewan yang dipilih pada penelitian ini adalah jenis kerang, yang mempunya ketahanan hidup terhadap lingkungan tercemar dan biasa dipakai sebagai indikator kerusakan lingkngan melalui ekspresi protein pengikat logam berat, yaitu Metalotionin. Penelitian kajian di bidang molekular terhadap lingkungan masih jarang dan bahkan belum banyak dilakukan di Indonesia. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Metode Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah studi quasi eksperimental di laboratorium (Steel dan Torrie, 1989). Dalam rangka membuktikan hipotesis, strategi penelitian secara garis besar yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Perhitungan kandungan protein total dengan maestrospektrofotometri 2. Pengamatan ekspresi protein Metalotionin secara immunodotblot dan densitometri 3.2.Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah kerang hijau (Perna viridis) yang diperoleh dari 3 tempat yaitu Muara angke, Panimbang dan Kaliadem. Pengambilan sampel secara acak (random). Sampel pada penelitian berjumlah masing masing 5 ekor, kemudian insang, otot dan organ hepatopankreas disimpan dalam larutan freezer suhu 20ºC untuk persiapan immunodotblot dan densitometri, menggunakan antigen-antibodi 3.3.Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di pantai utara jawa, yaitu Muara angke, Panimbang dan Kaliadem. Semua sampel dianalisis di laboratorium Universitas negeri Jakarta, Waktu penelitian mulai bulan April sampai dengan bulan November 2013. 3.4.Tahap Pelaksanaan Penelitian Isolasi protein Kerang hijau (Perna viridis) diperoleh dari 3 wilayah yaitu Muara angke, Panimbang dan Kaliadem. Insang, otot dan organ hepatopankreas diisolasi kemudian disimpan dalam Cell Lytic M Reagent untuk uji protein. Organ tersebut ditimbang sebanyak 50 mg kemudian dihancurkan dengan alat penghancur jaringan, di sentrifugasi. Setelah terjadi pemisahan, larutan protein dipisah dari debris dan disimpan dalam -20oC. Penentuan Kandungan Protein Penentuan kadar protein total menggunakan alat Maestrospektrofotometri. Protein yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan konsentrasi proteinnya 100 µg/µl. Agar semua konentrasinya sama dilakukan penambahan larutan akuades. Immunodotblot dan Densitometri Konsentrasi protein yang digunakan pada teknik immunodotblot sebesar 100 µg/µl. Membran Nitroselulosa yang digunakan dalam penelitian ini, disterilisasi dan direndam dalam larutan protein sampel otak dengan konsentrasi yang sudah ditentukan di atas. Protein pada semua membran nitrosellosa, pada insang, hepatopankreas dan otot, dibloking dalam 5% skim milk, semalaman pada suhu 4°C. Membran tersebut kemudian ditambahkan Anti bodi Metallothionin yang telah dilarutkan dalam PBST 20X. Perendaman dengan Goat-anti mouse HRP dilakukan semalaman. Deteksi ikatan antigen dan antibodi dilakukan dengan merendam di dalam larutan AEC. Membran akan berwarna merah, bila terjadi ikatan antara antigen dan antibodi. Pengukuran serapan warna dilakukan dengan teknik densitometri, dengan mengukur serapan warna pada membran nitroselulosa, menggunakan adobe photoshop. Data serapan hasil pengukuran di uji dengan uji t berpasangan pada α 0.05 dengan membandingkan dengan kontrol. Pengukuran Berat, Panjang, lebar dan Tebal Kerang Perhitungan berat dilakukan pada kerang hijau yang berasal dari daerah Panimbang, Muara Angke dan Kali Adem. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruhi bioakumulasi logam berat pada tubuh kerang hijau (Perna viridis), pada daerah Muara angke, Panimbang dan Kaliadem, immunodotblot dari protein Metalotionin dengan reaksi antigen dan antibodi melalui BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Immunodotblot Protein Metallotionin pada organ Insang, otot dan Hepatopankreas Berdasarkan data hasil uji kualitas air di Muara Angke dari tahun 2011 sampai dengan 2012 menunjukkan bahwa kandungan logam berat seperti kadmium, timbal, tembaga dan raksa tidak terdeteksi, tetapi kandungan seng pada air pasang dan surut masih di dalam standar yang tidak begitu mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengukuran kualitas air di muara angke pada tahun November 2013, juga menunjukkan tidak adanya kandungan logam berat kadmium, timbal, tembaga. Kemungkinan juga tidak terdeteksi atau karena kandungan logam berat terlarut dan mengendap di sedimen. Oleh karena itu bioindikator kelarutan logam berat di perairan tidak dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran (tabel 1 dan tabel 2) Tabel 1. Hasil Uji kualitas air laut dari Muara Angke tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 Parameter Timah Hitam Kadmium Tembaga Nikel Kromium Air Raksa Satuan Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Hasil Uji * * * * * * Matoda P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 SNI 19-6964.2-2003 Tabel 2. Hasil Uji kualitas air laut dari Panimbang tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 Parameter Timah Hitam Kadmium Tembaga Nikel Cromium Air Raksa Ket: * tidak terdeteksi Satuan Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Mg/L Hasil Uji * * * * * * Matoda SNI 19-6964.2-2003 P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 SNI 19-6964.2-2003 P3O LIPI 1997 P3O LIPI 1997 Masuknya limbah ke perairan laut, telah menimbulkan pencemaran. Akibat pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja dibudidayakan nelayan mati mengambang. Kontaminasi logam berat telah mengarah ketingkat polusi dan dapat menyebabkan keacunan terhadap organisme yang hidup di laut, bahkan dapat merusak organisme sampai pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi keseimbangan ekologi. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan lingkungan, diantaranya adalah dengan mengukur tingkat kontaminan di lingkungan, termasuk mengukur akumulasi senyawa toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon biologis atau dikenal sebagai biomarker merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu prediksi yang relevan. Dalam memonitor pencemaran logam berat, analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis air itu sendiri. Hal ini disebabkan kandungan logam dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi. Kandungan logam dalam biota air biasanya akan selalu bertambah dari waktu ke waktu karena sifat logam yang bioakumulatif, sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam lingkungan perairan. Pengembangan prosedur untuk studi eksperimen ekspresi protein MTs pada hewan air terutama invertebrata, di Indonesia relatif masih baru. Moluska seperti kerang dan tiram umumnya digunakan dalam program pemantauan lingkungan karena kemampuan mereka untuk beradaptasi yang relatif tinggi terhadap bahan kimia. Oleh karena itu, hewan moluska dapat dipakai sebagai bioindikator lingkungan. Bioindikator memberikan informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi aktual dari suatu organisme atau ekosistem. Sedangkan melalui ekspresi protein MTs dapat dipakai sebagai biomarker yang dapat memberikan bukti terhadap paparan polutan kimia, dan mungkin (atau tidak mungkin) juga menunjukkan efek beracun pada hewan tersebut. Organ pada hewan moluska, yang respon terhadap logam berat diantaranya hepatopankreas, merupakan kombinasi hati, pankreas dan usus. Organ ini berfungsi dalam proses metabolisme, terutama untuk absorpsi, pencernaan, penyimpanan, sekresi dan bahkan untuk proses detoksifikasi senyawa toksik dan bahan polutan (Chaceci, 1988; Bhavan dan Geraldine, 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh ternyata ditemukan adanya pencemaran di daerah muara angke, kali adem dan panimbang, Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil immunodotblot pada organ hepatopankreas, insang dan otot (gambar 4.1; 4.2; 4.3). Adanya logam berat pada tubuh hewan kerang hijau (Perna viridis) yang ditunjukkan dengan warna merah pada kertas membran. Ini berarti terjadi ikatan antigen dan antibodi metallothionein dengan logam berat. Mengenai jenis logam berat yang terikat pada protein tersebut, belum dideteksi. Yang pasti logam berat kadmium mempunyai kemampuan untuk mengikat protein metallothionein lebih besar dari pada logam Zn, sebagai logam essensial. Peran metallothionein sebagai protein yang terlibat dalam metabolisme sangat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi organisme. Peran sebagai protein reservoir dari logam seng dan tembaga sehingga protein ini dapat mengembalikan fungsi yang tepat untuk ikatan protein- logam yang sebelumnya tidak aktif dan menjadi aktif setelah berikatan dengan logam (fungsi logam sebagai kofaktor enzim). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metallothionein terlibat dakam pertukaran ion logam essensial dan non essensial (Klaassen, 2001 dan Plaa,2007) Gambar 4.1. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna viridis) di Muara Angke (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 : organ hepatopankreas) Gambar 4.2. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna viridis) di Kali adem (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 : organ hepatopankreas) Gambar 4.3. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna viridis) di Panimbang (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 : organ hepatopankreas) Selain itu terdapat organ lainnya yang juga menarik untuk diteliti yaitu insang. Insang merupakan organ tempat pelaluan polutan pertama kali masuk kedalam tubuh. Oleh karean itu kedua organ tersebut dapat dipakai sebagai bioindikator kerusakan lingkungan melalui biomarker ekspresi protein metallothionein. Diduga logam berat yang masuk bersamaan dengan partikel makanan mengalami difusi melalui membran insang dan terbawa aliran darah (Barnes, 1980). Insang bivalvia, termasuk P.viridis mempunyai mucus atau lendir yang penyusun utamanya adalah glikoprotein. Diduga logam tersebut terikat dengan protein menjadi metallothionein. Oleh karena sifat mukus insang yang mengalami regenerasi, maka logam berat (termasuk kadmium) yang telah terikat pada mucus insang turut terlepas dari tubuhnya (Overnell dan Sparla, 1990). Masih terkait dengan mekanisme filter-feeder, aliran air laut akan berlanjut menuju ke labial palp dimana pada bagian tersebut akan melalui beberapa proses penyaringan dengan cilia-cilia. Partikel yang berukuran kecil akan lolos, sementara yang berukuran besar akan dikeluarkan kembali melalui sifon-inkuren dalam bentuk pseudofeces (Pechenik, 2000). Hal ini juga diduga merupakan salah satu faktor menurunnya konsentrasi kadmium seiring dengan membesarnya ukuran tubuh. Faktor ketiga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheney (2007), dimana tiram Crassostrea sp. yang dibudidayakan di Willapa Bay mengakumulasikan kadmium lebih banyak pada masa pertumbuhan tahun pertama dan kedua dalam siklus hidupnya. Sementara tahun ketiga dan keempat justru mengalami penurunan. Diduga karena adanya tingkat kejenuhan organisme tersebut dalam mengakumulasikan kadmium. Oleh karena itu, diduga juga bahwa tingkat akumulasi logam berat sangat bergantung pada jenis spesies (Corina et al., 2004). Hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak dapat membedakan konsentrasi logam berat pada organ insang, namun hanya dapat dideteksi melalui serapan warna pada kertas membran cellulosa. Hasil immunodotblot tersebut kemudian di lakukan densitometri ntuk mengukur kadar serapan warna (tabel 1). Tabel 1. Hasil Pengukuran Densitometri protein methalotionin Pada Organ hepatopankreas, Insang dan otot di wilayah Panimbang, Muara angke dan Kaliadem No 1 2 3 Rata-rata Insang 160.63 172.89 204.60 179.37 1 2 3 153.22 196.94 218.35 189.50 1 2 3 131.71 216.57 190.97 179.75 PANIMBANG No Otot 4 143.09 5 161.34 6 221.31 175.25 MUARA ANGKE 6 139.21 7 201.57 8 217.5 186.093 KALIADEM 4 197.97 5 245.22 6 240.16 227.78 No 7 8 9 Hepatopankreas 155.73 154.95 208.03 172.90 7 8 9 147.50 210.75 233.69 197.31 7 8 9 157.52 206.11 220.64 194.76 Pada tabel terlihat bahwa pada jaringan otot di daerah Kaliadem relatif lebih besar dari pada di daerah panimbang dan muara angke. Namun demikian ketiga wilayah tersebut terpapar oleh logam berat dan yang paling tercemar di wilayah Kaliadem. Jaringan otot menunjukkan mekanisme toksisitas yang berbeda dari kelenjar pencernaan sehingga otot adduktor kurang sensitif dari pada kelenjar pencernaan. Meskipun kurang sensitif, tetapi jaringan otot adduktor masih menunjukkan sifat toksisitas dan organ ini masih perlu diteliti. Toksisitas pada organ otot di Kali adem, menunjukkan peningkatan serapan logam berat yang relaif sangat tinggi dibandingkan dengan dua daerah lainnya. Hal ini menunjukkan methallotionein berpengaruh terhadap bioakumulasi logam berat non essensial (kadmium), karena afinitas Zn rendah terhadap MTs dibandingkan dengan Cd (Vasa´k M. 1991). Kedaan tersebut menyebakan terjadi persaingan antara logam essensial dengan non essensial. Peran Zn di dalam tubuh yang diperlukan sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan oksidatif (Bray dan Bettger, 1990), untuk menghambat apoptosis sel yg disebabkan Cd dan menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS), akan mengalami gangguan. Effek toksisitas di dalam tubuh suatu jenis organisme tergantung pada jumlah adanya zat tersebut pada bagian yang rentan di dalam tubuh (Pala,2007 dan Soemirat,, 2005). Logam berat sebagai senyawa toksik dapat terakumulasi pada jaringan tubuh terutama pada insang, hati, ginjal otot serta tulang. Meskipun logam berat tidak dapat terdeteksi pada air di muara angke, panimbang dan kali adem, tidak dapat dipungkiri logam berat telah terdeteksi pada organ hepatopankreas, insang dan otot. Sifat toksisitas logam berat dan dampaknya bagi hewan akuatik tersebut juga dipengaruhi suhu, pH, Salinitas dan oksigen terlarut dan Suhu sebagai faktor fisik lingkungan bukan bekerja mempengaruhi reaksi senyawa logam berat di lingkungan perairan melainkan aktivitas mikroba biota air terhadap logam berat (Argawala,2006; Babich dan Stotzky, 2001). DAFTAR PUSTAKA Anon., 2004, Environemntal Watch, Catatan Peristiwa Kerusakan Lingkungan, Forum Pengendali Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta Amiard, J. C., Amiard-Triquet, C., Barka, S., Pellerin, J., Rainbow, P. S., 2006, Metallothionein in Aquatic invertebrates: Their Role in Metal Detoxification and their Use as Biomarkers, Aquatic Toxicology, 76:160-202. Bhavan, P. S.,Geraldine, P., 2000, Histopathology of Hepatopancreas and Gill of the Prawn Macrobrachium malcomsonii Exposed to Endosulfan, Aquat. Toxicol, 50:331-339. Binz, P. A., Kagi, J. H. R., 1999, Metallothioneine: Molecular evolution Calssification. In: Klaassen, C., (ed), metallothionein IV, Birkhauser Verlag Basel, pp.7-13. Barnes R. D. 1980. Invertebrate Zoology. Saunders Collage. Fourth Edition. Barnes, R.D. 1974. Invertebrata Zoologi. 3rd Edition. W.B. Saunder Comp.Philadelphia: 870 pp. Caceci, T., Neck, K. F., Lewis, D. H., Sis, R. F., 1988, Ultrastructure og the Hepatopancreas of the Pasific white shrimp, Penaeus vannamei (Crustacea: Decapoda), J. Mar. Bio. Assoc, UK 68, 323-337. Connell, D.W., and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencermaran (Terjemahan). Penerbit UI Press, Jakarta. Cappenberg, H. A. W., 2008, Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau, Oseana, Volume XXIII, Nomor l : 33-40. Carpenter, K. E., dan Niem, H. V., 1988, The living marine reaources of the Western Central Pasific. Seaweeds, coral, bivalvia and gastropods. Vol. 1. Rome FAO: 686 pp. Casterline JL, Yip G. The distribution and binding of cadmium in oyster, soybean, and rat Liver and kidney., Arch Environ. Contam Toxicol 3:319-329 (1975). Coyle P, Philcox JC, Carey LC, 2002, Rofe AM: Metallothionein: The multipurpose protein. Cell Mol Life Sci, 59, 627-647. Darmono, 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Cetakan I. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 47, 104-105, 137. Davis, S. R. and Cousins, R. J., 2000, Metallothionein Expression in Animals: A Physiological Perspective on Function, J. Nutr. 130: 1085–1088, 2000 Fowler, B. A., Hildebrand, C. E., Kojima, Y., Webb, M., 1987, Nomencelature of Metallothioneins, In: Kagi, J. H. R., Kojima, Y., (Eds), Metallothionein II, Birhauser Verlag, Basel, pp 19-22. George, S.G., and Olsson, P.E. (1994). Metallothioneins as indicators of trace metal pollution. In: Biomonitoring of Coastal Waters and Estuaries, 151–171. H.P. Hutagalung, In: B. Watson, K. S. Ong, Vigers (Eds.), Proceedings. of ASEANCANADA Midterm TechnicalReview Converence of Marine Science, Singapore, 1995, p.273. J. H. R. Kagi, 1991, Overview of Metallothionein, Methods Emzimol, 205:613-626. J. Pavicic, M. Skreblin, I. Kteger, M. Tusek-Znidaric dan P. Stegner, 1994, Embrio-larval tolerance of Mytilus galloprovincialis, exposed to the elevated Sea Water Metal Concentrations I. Toxic effect of Cd, Zn, dan Hg in Relation to the Metallothionein level, Com. Biochem. Physiol. 107C(2): 249-257. Kemitraan Indonesia. 2006. Pencemaran Teluk Jakarta capai Radius 60 km. http://www.inawater.com/news/wmview.php?ArtID=390. Klaassen, S. D., 2001, Csarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons, 6th Ed. Mc. Graw Hill, New York. Lestari dan Edward, 2004, Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (Studi kasus kematian Massal Ikan-ikan di Teluk Jakarta), Makara Sains, Vol 8 (2): 52-58. Liu F dan Wang W-X. 2011. Differential roles of metallothionein-like proteins in cadmium uptake and elimination by the scallop Chlamys nobilis. Environ Toxicol Chem 30:738–746.]. Liu F dan Wang W-X. 2011. Metallothionein-like proteins turnover, Cd and Zn biokinetics in the dietary Cd-exposed scallop Chlamys nobilis. Aquat Toxicol 105:361–368.] M. J. Bebiano dan W. J. Langston, 1998, Cadmium and Metallothionein turnover in Defferent Tissues of The Gastropod Littorina litorrea, Talanta, 46: 301-313. M. A. Serafim, R. M. Company, M. J. Bebiano dan W. J. Langston, 2002, Effect of Temperature and Size on Metallothionein Syntesis in the Gill of Mytilus galloprovincialis Exposed to Cadmium, Marine Environ. Res, 54: 361-365. Mackay, E. A., Dunbar, B., Davidson, I., Fothergill, J. E., 1990, Polymorphism of Cadmium-induced Mussel metallothionein, Experentia, 46, A36. Mackay, E. A., Overnell, J., Dunbar, B., Davidson, I., Hunzizer, P. E., Kagi, J. H. R., Fothergill, J. E., 1993, Complete amino acid Sequences of five dimeric and Monomeric Forms of Metallothionein From the Edible Mussel Mytilus edulis, Eur. J. Biochem. Marigo´ mez, I., M. Soto, M.P. Cajaraville, E. Angulo, and L. Giamberini. 2002. Cellular and subcellular distribution of metals in molluscs. Microscopy Research and Technique 56: 358–392. Millero, F. J. dan M. L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. USA. Palar, 2008, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Cetakan IV. Jakarta:Rineka Cipta. Hal. 23, 25, 53. Plaa G. L.2007, Introduction to Toxicology: occupational and Enviromental. In Katzung B. G. (Ed): Basic and Clinical Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston, New York: Mc Graw Hill, P. 958-970. Power, A.J., Walker, R.L., Payne, K. and Hurley, D. , 2004. First occurrence of the nonindigenous green mussel, Perna viridis in coastal Georgia, United States. Journal of Shellfish Research, 23:741-744. Roesijadi, G., 1980, Influence of Copper on the Clam Protothaca staminea:Effects on Gill and occurrence of Copper-Binding Proteins, Biol. Bull. 158(2):233-247. Roesijadi, G., 1981, The Significance of Low Molecular Weight, metallothionein-like proteins in Marine Invertebrates: Current Status, Mar. Environ. Res, 4(3):167-179. Roesijadi, G., 1986, Mercury-binding proteins from the Marine Mussel, Mytilus edulis, Environ. Health Perspect, 65:45-48. Roesijadi, G., 1992, Metallothioneins in Metal regulation and Toxicity in Aqatic Animals, Aquat. Toxicol, 22:81-114. Roesijadi G, Klerks P. A kinetic analysis of Cd-binding to metallothionein and other intracellular ligands in oyster gills. J Exp Zool 251:1-12 (1989). Roesijadi, G., 1994, Metallothionein Induction as a Measure of Response to Metal Exposure in Aquatic Animals, Environmental Health Perspectives, Volume 102, Supplement 12, pp 91-95. Santosa, B. 2009, The Influence of Zinc Suplementation to Kidney Tubulus Damage, and Inteference Hematopoesis System of Rat (Rattus Nuvergucus) Which Feeding Tawas. Tesis, Pasca Sarjana UNDIP Siddall, S.E. 1980. A clarification of the genus Perna (Mytilidae). Bull. Mar. Sci., 30 (4): 858-870. Soares, T. M., Cautinho, D. A., Lacerda, L. D., Moraes, M. O., dan Robelo, M. F., 2011, Mercury Acuumulation and Metallothionein Expression From Aquafeeds by Litopenaeus Vannamei Boone, 1931 under Intensive Aquaculture Conditions, Braz. J. Bio, Vol. 71, pp. 131-137. S. Yatim, S. Surtipanti, S. Syamsu, E. Lubis, Majalah Batan No.12 (1979) Suwignyo. (2005). Avertebrata Air. Jilid I. Jakarta:Penebar Swadaya.Broom, M. J., 1985. The biology and culture of marine bivalve molluscs of the genus Anadara. In: ICLARM Studies and Reviews. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila. P. 37. Thirumoorthy, N., K. T. Manisenthil Kumar, A. Shyam Sundar, L. Panayappan, Malay Chatterjee, 2007, An overview Metallothionein, World J of Gastroenterol, 13(7):993-996. Ukamaka, A. M., 2010, Metallothionein Induction in Edible Mangrove Periwinkles, Tympanotonus fuscatus var radula and Pachhymelania aurita Exposed to Oily Drill Cuttings, Journal Americana Science, 6 (2): PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut Sains.kompas.com/read/2010/05/16/12472626/Pencemaran.Laut.Indonesia.Masih.T inggi Yulianto, B. et al., Penelitian Tingkat Pencemaran Logam Berat di Pantai utara Jawa Tengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah. WU, H and WANG, W. X., 2011, Tissue-Specific Toxicological Effects of Cadmium in Green Mussels (Perna viridis): Nuclear Magnetic Resonance-Based Metabolimics Study, Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 30, No. 4, pp. 806–812, 2011 Vasa´k M. 1991, Metal removal and substitution in vertebrate and invertebrate metallothioneins. Methods Enzymol 205:452–45 Bray TM dan Bettger WJ. 1990. Free Radical Bio Med 8:281–291. Curtis, D.K., Jie Liu dan Supratim Choudhuri, 1999, Metallothionein: An Intracellular Protein to Protect Against Cadmium Toxicity, Annu. Rev. Pharmacol. Toxicl, 39:267-294. T.Y.T. Ng, P. S. Rainbow, Amiard-Triquet, C., Amiard, j. C., Wang, W. X., 2007, Metallothionin Turnover, Cytosolic Distribution and The Up take of Cd by The Green Mussel Perna viridis, 84:153-161. Serafim, A. dan M.J. Bebianno, 2009, Metallothionein role in the kinetic model of copper accumulation and elimination. in the clam Ruditapes decussatus Environmental Research 109: 390–399 Reinhard dallinger, Burkhard berger, peter hunziger, jeremias H. R, Kgi, 1979, Metallo thionein in snail Cd and Cu Metabolim, Nature, 388 (237-238), Corina, M., Ciocan, Jeanette, M. R, 2004, Cadmium Induction of Metallothionein Isoforms in Juvenile and Adult Mussel(Mytilus edulis), Environ. Sci Technol, 38:10731078. Lampiran 1. Foto wilayah Pengambilan Sampel Penelitian Kerang di Kaliadem Bagan di Panimbang Kerang di Muara Angke Kerang diari Bagan Panimbang HALAMAI\ PENGESAHAN frDft: F"r-trrssion Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis f,red br}' Bioacumulation of Heavy Metal L nEreliti Utama Im Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si Icnis Kelamin Perempuan 196523072001 122001 Lektor/III C Dosen Jurusan Biologi XP h&t/Golongan I*m Sekarang Biologi/MIPA .husan/Fakultas ftrytrruan Tinggi Universitas Ne geri Jakarta :Jalan Pemuda No. 10 Rawamangun J akarta, I 3 320, INDONE S IA A AMKantor L'st Jmgka Waktu Penelitian + 622t 489 49091 +6221 4894909 Jl. Tebet Barat VII-C No14 7 bulan -{nggota Peneliti Femb,iayaan Rp. 12.000.000. TeIptfrrc -{lmd 5- Rumah J akarla, 27 Novemb er 2013 ".=-_ Ketua Peneliti, MIPA ---"r Jakarta ft-w (Or. Vutia trmaavantr. tvl. Sn NrP. 19652307 2001 12 200t 8 1993 03 1005 ' ' ', ,,,:ti, '';:.'ri,i :l:'i:i_' ;r ': "' NrP. 1964081 5 199003 1001