BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Chlorella sp. 2.1.1 Klasifikasi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Chlorella sp.
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna hijau (chlorophyll) yang juga
berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Steenblock 2000).
Chlorella sp. (Gambar 1) oleh Bold dan Wynne (1985) dikategorikan ke dalam
kelompok alga hijau yang memiliki jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies
lebih dari 7500.
Gambar 1. Siklus Hidup dan Bentuk Sel Chlorella sp.
(Sumber: http://www.rbgsyd.nsw.gov.au, 10 Februari 2013)
Nama alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll) yang
dimilikinya sangat tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa
tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne
(1985) adalah sebagai berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
7
8
Bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur),
termasuk fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat
dijumpai hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar
antara 2-12 mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi adalah klorofil
(Bold 1980). Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti sel)
dengan dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan
protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2 Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi
Chlorella air tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan
kadar salinitas hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah
Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang
melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan
mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa Ciliata air
tawar seperti Paramecium bursaria (Dolan 1992).
2.1.3 Reproduksi
Reproduksi Chlorella adalah aseksual dengan pembentukan autospora
yang merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell)
akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel
anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne 1985).
Proses reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan
Singh 1979 ) yaitu:
Tahap pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar.
Tahap pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang
merupakan persiapan awal pembentukan autospora.
Tahap pemasakan akhir, pada tahap ini autospora terbentuk.
Tahap pelepasan autospora, dinding sel induk akan pecah dan diikuti oleh
pelepasan autospora yang akan tumbuh menjadi sel induk muda.
9
2.2 Kultur Chlorella sp.
2.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Chlorella sp.
Menurut Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam
kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: media, nutrien atau unsur
hara, cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur
Chlorella yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang akan
dibudidayakan. Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah
agar-agar.
Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara makro (macronutrients) dan unsur
hara mikro (micronutrients). Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan
Chlorella adalah senyawa anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro
adalah Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo (Basmi 1995). Unsur hara tersebut diperoleh
dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain (Bold 1980). Tiap unsur hara
memiliki fungsi-fungsi khusus (Tabel 1) yang tercermin pada perkembangbiakan
dan kepadatan yang dicapai oleh organisme Chlorella yang dikultur tanpa
mengesampingkan pengaruh dari lingkungan.
Kebutuhan nutrien untuk tujuan kultur fitoplankton harus tetap terpenuhi
melalui penambahan media pemupukan guna menunjang perkembangbiakan
fitoplankton. Unsur N, P, dan S penting untuk sintesa protein. Unsur K berfungsi
dalam metabolisme karbohidrat. Unsur Cl dimanfaatkan untuk aktivitas kloroplas,
unsur Fe dan unsur Na berperan dalam pembentukan klorofil (Isnansetyo dan
Kurniastuty 1995; Oh hama dan Miyachi 1988).
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
fitoplankton di kultur terbuka antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air,
kandungan O2 dan aerasi (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya merupakan
sumber energi untuk melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan
oleh fitoplankton dapat digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama dan
Miyachi (1988) menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella
berada pada intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik
intensitas tersebut dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan
dengan peningkatan porsi intensitas cahaya (Basmi 1995).
10
Tabel 1. Fungsi Fisiologis Umum Unsur Makro dan Mikro
Unsur
Fungsi Fisiologis
Karbon
Unsur pokok bahan sel organik.
Nitrogen
Unsur pokok protein, asam nukleat dan koenzim.
Belerang
Unsur pokok protein (seperti: asam amino sistein dan metionin),
Unsur pokok beberapa koenzim (koenzim-A, karboksilase).
Fosfor
Unsur pokok asam nukleat, fosfolipid, koenzim.
Kalium
Berfungsi dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi,
enzim dan mineral termasuk air.
Magnesium
Kation penting untuk sel, kofaktor anorganik untuk berbagai
reaksi enzimatik termasuk melibatkan ATP, berfungsi dalam
pengikatan enzim pada substrat dan unsur pokok klorofil.
Mangan
Kofaktor anorganik untuk beberapa enzim, kadang-kadang
menggantikan Mg.
Kalsium
Kation penting untuk sel, kofaktor untuk beberapa enzim
(misalnya proteinase).
Besi
Unsur pokok sitokrom dari protein heme dan non heme yang lain,
kofaktor untuk sejumlah enzim.
Kobalt
Tembaga
Molibdenum
Unsur pokok vitamin B12 dan turunan koenzim.
Metabolisme protein dan karbohidrat serta berperan terhadap
fiksasi N
Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Seng
Unsur pokok anorganik enzim-enzim yang khusus.
Sumber : Stainer et al. (1982)
Kisaran suhu optimal bagi perkembangbiakan Chlorella adalah antara
25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Taw (1990) untuk kultur
Chlorella diperlukan suhu antara 25-350C. Penelitian lain menunjukkan bahwa
untuk jenis Chlorella vulgaris dapat beradaptasi pada media kultur dengan suhu
serendah 50C (Maxwell et al. 1994). Suhu mempengaruhi proses-proses fisika,
11
kimia, biologi yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Peningkatan suhu hingga
batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan
juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Suhu di bawah 160C dapat menyebabkan
kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 360C
dapat menyebabkan kematian (Taw 1990).
Nilai pH media kultur merupakan faktor pengontrol yang menentukan
kemampuan biologis fitoplankton dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang
terlalu tinggi misalnya, akan mengurangi aktifitas fotosintesis fitoplankton
(De La Noue dan De Pauw 1988). Nielsen (1955) menyatakan bahwa pH yang
sesuai untuk perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan kisaran
optimum untuk Chlorella laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH
yang optimum untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9.
Karbondioksida (CO2) diperlukan oleh fitoplankton untuk membantu
proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup
digunakan dalam kultur fitoplankton dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar
CO2 yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga
akan berpengaruh terhadap perkembangbiakan fitoplankton (Taw 1990).
Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses pengadukan
media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah
terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga fitoplankton
dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan
meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw 1990).
2.2.2 Fase Perkembangbiakan Chlorella sp.
Perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur dapat diamati dengan
melihat pertambahan besar ukuran sel fitoplankton atau dengan mengamati
pertambahan jumlah sel dalam satuan tertentu. Cara kedua lebih sering digunakan
untuk mengetahui perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur, yaitu
dengan menghitung kelimpahan atau kepadatan sel fitoplankton dari waktu ke
waktu. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) ada dua cara penghitungan
kepadatan fitoplankton yaitu menggunakan sedgwich rafter dan menggunakan
haemocytometer. Penggunaan haemocytometer untuk menghitung kepadatan sel
12
fitoplankton lebih sering digunakan dibandingkan sedgwich rafter karena faktor
kemudahannya. Selama pertumbuhannya fitoplankton dapat mengalami beberapa
fase pertumbuhan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), yaitu :
a. Fase Lag (Fase Istirahat)
Dimulai setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur hingga
beberapa saat sesudahnya. Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat
pada ukuran sel karena secara fisiologis fitoplankton menjadi sangat aktif. Proses
sintesis protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi
pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat karena
fitoplankton masih beradaptasi dengan lingkungan barunya.
b. Fase Logaritmik (Fase Eksponensial)
Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang
meningkat secara intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan
pada fase ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat
digambarkan dengan kurva logaritmik. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995), Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 5-7 hari.
c. Fase Penurunan Laju Pertumbuhan
Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak seintensif fase
sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami penurunan dibandingkan
fase sebelumnya.
d. Fase Stasioner
Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan
dan pengurangan jumlah fitoplankton seimbang sehingga kepadatannya relatif
tetap (stasioner).
e. Fase Kematian
Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju
reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik.
Penurunan kepadatan sel fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi
optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH media, ketersediaan hara, dan
beberapa faktor lain yang saling terkait satu sama lain.
13
Secara skematis pola perkembangbiakan dari fitoplankton, khususnya
Chlorella sp. dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Perkembangbiakan Chlorella sp.
(Sumber: Isnansetyo dan Kurniastuty 1995)
2.3 Pupuk
Pemupukan biasanya yang digunakan dalam kultur Chlorella sp. yakni
pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP sebagai unsur hara makro dan unsur mikro
bagi perkembangbiakan Chlorella sp.
Pengertian pupuk secara umum adalah suatu bahan yang bersifat organik
ataupun anorganik, bila ditambahkan kedalam tanah atau tanaman, dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman.
Nitrogen merupakan unsur penting bagi pertumbuhan tanaman terutama
pada fase vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga proses penting yaitu pembelahan sel,
pemanjangan sel dan tahap diferensiasi sel (Hladka 1971). Shelf dan Soeder
(1980) menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian penting dari protein,
protoplasma, klorofil, dan asam nukleat. Vegetasi tingkat rendah maupun tinggi
menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).
Organisme berklorofil yang kekurangan nitrogen akan berubah warna
selnya menjadi kekuningan karena adanya penghambatan síntesis klorofil.
Pemupukan nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif
yang berlebihan. Kekurangan N juga akan membatasi pertumbuhan karena tidak
14
ada pembentukan protoplasma baru. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan
N tanaman (mengatur nisbah C/N) dengan memberikan pupuk N ke tanah.
Chlorella sp. tidak dapat membedakan dan tidak bisa memilih unsur hara
yang diserap berasal dari pupuk organik atau pupuk kimia. Chlorella sp.
menyerap unsur hara (N, P, K, dan sebagainya) melalui mekanisme pertukaran
ion, dan dalam bentuk ion-ion anorganik. Agar dapat diserap oleh Chlorella sp.,
pupuk organik harus melalui serangkaian proses perombakan oleh mikroba dalam
tanah menjadi ion-ion anorganik/kimia. Jadi yang diserap Chlorella sp. pada
akhirnya tetap saja berupa ion-ion anorganik / kimia (Hardjowigeno 2007).
2.3.1 Pupuk Urea
Pupuk urea (Gambar 3) yang dikenal dengan nama rumus kimianya
NH2CONH2 pertama kali dibuat secara sintetis oleh Wohler (1928) dengan
mereaksikan garam cianat dengan ammonium hidroksida.
Pupuk urea yang dibuat merupakan reaksi antara karbon dioksida (CO2)
dan ammonia (NH3). Kedua senyawa ini berasal dari bahan gas bumi, air dan
udara. Ketiga bahan baku tersebut merupakan kekayaan alam yang terdapat di
Sumatera Selatan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mendapatkan konsentrasi urea yang lebih tinggi maka dilakukan
pemekatan dengan cara:
Penguapan larutan urea di bawah vacuum (ruang hampa udara, tekanan 0,1
atmosfir mutlak), sehingga larutan menjadi jenuh dan mengkristal.
Memisahkan kristal dari cairan induknya dengan centrifuge.
Penyaringan kristal dengan udara panas.
Gambar 3. Pupuk Urea
(Sumber : http://www.canadianagri.ca, 10 Februari 2013)
15
2.3.2 Pupuk ZA (Zwavelzuur Amonia)
Pupuk ZA (Gambar 4) mendapatkan nama panjangnya, Zwavelzuur
Amonia dari bahasa Belanda. Nama kimia ZA adalah amonium sulfat dengan
rumus kimia (NH4)2SO4. Senyawa garam anorganik ini memiliki memiliki
kandungan nitrogen sekitar 20% dan sulfur sekitar 24% sehingga tujuan
produksinya adalah sebagai pupuk pertanian (George dan Sussot 1971).
Gambar 4. Pupuk ZA
(Sumber : http://www.trivenichemical.com, 10 Februari 2013)
Bentuk pupuk ZA yang dapat dijumpai di pasaran adalah seperti bubuk
kasar atau bongkahan-bongkahan kecil bewarna putih seperti gula pasir dan
mudah larut dalam air. Penggunaan pupuk ZA dalam bidang pertanian yang
berlebihan dapat menyebabkan turunnya pH tanah.
2.3.3 Pupuk TSP (Triple Super Phospate)
Fosfor (P) merupakan salah satu unsur makro primer yang dibutuhkan oleh
tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Kekurangan unsur P dapat diamati dari
adanya gejala tertundanya pematangan sel. Bold and Wynne (1985) menyatakan
gejala kekurangan P juga biasanya tampak pada fase awal pertumbuhan. Pada
tumbuhan tingkat tinggi, tanaman yang kekurangan P gejalanya dapat terlihat
pada daun tua dimana warna daun menjadi keunguan, perakaran menjadi dangkal
dan sempit penyebarannya, batang menjadi lemah.
Menurut Bold dan Wynne (1985) fosfor merupakan salah satu unsur yang
berperan dalam proses penyusunan karbohidrat dan senyawa kaya nitrogen. Gula
terfosforilasi yang kaya energi muncul dalam proses fotosintesis. Fosforilasi
adenosin menghasilkan adenosine monofosfat, difosfat, trifosfat (AMP, ADP dan
16
ATP) dimana tanaman menyimpan energinya untuk kelangsungan proses kimia
lainnya. Menurut Buckman dan Brady (1982), fosfor berpengaruh baik pada
proses pembelahan sel dan pembentukan lemak pada organisme. Salah satu pupuk
fosfor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pupuk TSP (Gambar 5).
Gambar 5. Pupuk TSP
(Sumber : http ://www.jhbunn.co.uk, 1 Juni 2009)
Bentuk umum yang dapat dijumpai berupa butiran kecil kasar dengan
warna kecoklatan, abu-abu, atau kekuningan dan bahan penyusunnya seperti tanah
yang mengering (Havlin et al. 2005).
2.3.4 Komposisi Pupuk Untuk Perkembangbiakan Chlorella sp.
Adapun pupuk yang digunakan untuk skala massal berbeda dengan pupuk
yang digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan faktor ekonomis. Adapun pupuk yang digunakan dalam skala
massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Berbagai Kombinasi Pupuk Untuk Media Chlorella sp.
Pupuk
Konsentrasi (mg/l media)
A
B
C
Urea
80
40
12-15
ZA
40
80
-
TSP
15
15
-
FeCl3
2
1,5
-
EDTA
5
1,0
-
N:P:K (14:14:14)
-
-
30
Sumber : Jusadi (2003)
17
2.4 Bayam (Amaranthus sp.)
Bayam (Gambar 6) ini berasal dari Amerika tropik, namun sekarang
tersebar ke seluruh dunia. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis bayam budidaya,
yaitu Amaranthus tricolor dan Amaranthus hybridus. Jenis Amaranthus tricolor
biasa ditanam sebagai bayam cabut dan terdiri dari dua varietas, yaitu bayam hijau
(bayam putih, bayam sekul atau bayam Cina). Dan bayam merah karena
tanamannya berwarna merah. Amaranthus hybridus sering disebut bayam kakap,
bayam tahun, atau bayam bathok dan di tanam sebagai bayam petik. Di luar dari
jenis bayam tersebut merupakan bayam liar.
Gambar 6. Bentuk Tanaman Bayam
Kandungan gizi yang baik bagi tubuh yang terkandung dalam bayam
antara lain vitamin A, vitamin B, asam folat, besi dan magnesium. Salah satu zat
gizi yang baik pada bayam yaitu glutathione, yang berfungsi sebagai pembentuk
enzim-enzim dan membantu sistem kekebalan tubuh. Kandungan besi pada bayam
relatif lebih tinggi daripada sayuran lain (unsur besi merupakan penyusun
sitokrom dan protein yang terlibat dalam fotosintesis).
Daunnya berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing mempunyai
urat- urat daun yang jelas. Warna daun variasi, mulai dari hijau muda, hijau tua,
hijau keputih- putihan, sampai berwarna merah. Daun bayam liar umumnya kasap
(kasar) dan kadang berduri.
18
Batang tumbuh tegak, tebal, berdaging dan banyak mengandung air,
tumbuh tinggi di atas permukaan tanah. Bayam tahunan mempunyai batang keras
berkayu dan bercabang banyak.
Bunga bayam berukuran kecil, berjumlah banyak, terdiri dari daun bunga
1-5, dan bakal buah 2-3 buah. Bunga keluar dari ujung-ujung tanaman ketiak daun
yang tersusun seperti malai yang tumbuh tegak.
Perkembangbiakan tanaman bayam umumya generatif, biji berukuran
sangat kecil dan halus, berbentuk bulat, dan berwarna coklat tua mengkilap seperti
hitam kelam. Setiap tanaman dapat menghasilkan biji kira-kira 1200-3000
biji/gram.
2.4.1 Kandungan Senyawa Kimia Bayam
Bayam juga mengandung zat nitrit (NO2). Kalau teroksidasi oleh udara,
maka akan menjadi NO3 (nitrat). Kandungan nutrisinya yang tinggi, bayam sering
disebut sebagai ‘King of Vegetables’. Kandungan asam folat dan asam oksalat
membuat bayam bisa dipakai untuk mengatasi berbagai macam masalah
kesehatan. Misalnya menurunkan kadar kolesterol, mencegah sakit gusi,
mengobati eksim, asma, untuk perawatan kulit muka, kulit kepala, rambut,
mengobati rasa lesu, kurang darah, mencegah hilangnya penglihatan saat tua dan
kanker.
Menurut Wishnok (1998), bayam segar yang baru dicabut dari
persemaiannya telah mengandung senyawa nitrit kira-kira sebanyak 5 mg/kg. Bila
bayam disimpan di lemari es selama 2 minggu, kadar nitrit akan meningkat
sampai 300 mg/kg. Berdasarkan data dari USDA Nutrient database, dalam 100 g
bayam, mengandung komposisi senyawa organik, dapat dilihat pada Tabel 3.
19
Tabel 3. Komposisi Senyawa Organik Dalam 100 g Bayam
Kandungan Bayam
Komposisi
Air
11000 mg
Protein
14000 mg
Lemak
7000 mg
Karbohidrat
65000 mg
Kalsium
90 mg
Abu
1400 mg
Fosfor
557 mg
Besi
7600 mg
Natrium
131 mg
Kalium
385 mg
Vitamin B1 (Thiamin)
0,08 mg
Vitamin B2 (Riboflavin)
0,15 mg
Vitamin B3 (Niacin)
0,9 mg
Vitamin B7 (Biotin)
1,5 mg
Vitamin B12 (Kobalamin)
0,6 mg
Vitamin C
0,8 mg
Vitamin E
1,89 mg
Tembaga
0,13 mg
Zinc
2,9 mg
Magnesium
248 mg
Mangan
3,4 mg
Nitrat
426 mg
Nitrit
72 mg
Sumber : USDA Nutrient database (2003)
20
2.4.2 Senyawa Fitokimia Pada Bayam
Golongan senyawa kimia dalam fitokimia mempunyai beberapa manfaat
dan karakterisasi tersendiri. Dari berbagai tanaman, biasanya terdapat lebih dari
satu golongan senyawa kimia, sehingga dari berbagai tanaman mempunyai
manfaat masing-masing sebagai pengobatan baik secara tradisional maupun
berdasarkan penelitian. Berikut adalah beberapa golongan kimia secara luas:
a. Alkaloid
Alkaloid adalah golongan senyawa yang bersifat basa, mengandung satu
atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan berbentuk siklik. Alkaloid
sebagian besar berbentuk kristal padat dan sebagian kecil berupa cairan (misalnya
nikotin) pada suhu kamar, memutar bidang polarisasi dan terasa pahit dan
biasanya tanpa warna (Harborne 1987). Fungsi alkaloid sendiri dalam tumbuhan
sejauh ini belum diketahui secara pasti, beberapa ahli pernah mengungkapkan
bahwa alkaloid diperkirakan sebagai pelindung tumbuhan dari serangan hama dan
penyakit, pengatur tumbuh, atau sebagai basa mineral untuk mempertahankan
keseimbangan ion.
b. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida dan aglikon
flavonoid. Flavonoid biasanya terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh.
Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan (Hahlbrock 1981).
c. Saponin
Saponin merupakan glikosida triterpen yang sifatnya menyerupai sabun,
merupakan senyawa aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok
dengan air dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan hemolisis pada sel
darah merah. Saponin berperan sebagai bagian dari sistem pertahanan tanaman
dan termasuk ke dalam kelompok besar molekul pelindung tanaman yang disebut
phytoanticipans atau phytoprotectans. Saponin diketahui mempunyai efek sebagai
anti mikroba, menghambat jamur dan melindungi tanaman dari serangan
serangga.
Download