Jurnal komunikasi, ISSN 1907-898X Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia Noveri Faikar Urfan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Abstract Mediatization is considered as a process oriented of high modernity in which the media become an independent institution with logic of its own that other social institution accommodate to, especially politics. In the past, the media were the subordinate of politics, because the process of communication is centralized by political institution, in particular by political party, so the media were dominated by political logic. But now, after taking a large proliferation, media become omnipresent, so the logic of the media is widespread to any other social institutions. In some degree, politics have to accommodate the media logic. The logic of the media refers to the function of media as the “medium”, and constructing symbolic resource. Keywords: mediatization, mediatization as the process oriented, media logic, mediatization in Indonesia. Abstrak Mediatisasi dipandang sebagai sebuah proses orientasi dari modernitas, saat media menjadi lembaga independent dengan logikanya sendiri. Lembaga sosial lainnya – terutama politik – harus mengikuti logika tersebut. Di masa lalu, media merupakan subordinat dari politik, karena proses komunikasi dilakukan secara terpusat oleh institusi politik, secara khususnya partai politik. Karenanya, media mejadi didominasi oleh logika politik. Namun sekarang, setelah melakukan perubahan besar-besaran, media menjadi semakin meluas dan logika media kini tersebar hingga ke lembaga sosial lain. Pada titik yang sama, politik harus mengakomodasi logika media. Logika media sendiri merujuk pada fungsi media sebagai “medium”, dan mengkonstruksi sumber daya simbolis. Kata Kunci: mediatisasi, mediatisasi sebagai proses, logika media, mediatisasi di Indonesia Pendahuluan berhadapan dengan 24 partai di pemilu dan 2004, dan 38 partai pada 2009, jumlah politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. menjadi semacam perayaan. Salah satu Tidak seperti masa Orde Baru (Orba), parameternya dengan ketika persoalan politik sangat sensitif banyaknya partai politik yang ikut serta untuk diperdebatkan, kini politik tidak dalam pemilu. Jika dulu kita hanya lagi “tabu” untuk diributkan, bahkan mengenal terkesan buka-bukaan. Pasca lengsernya bergulirnya Soeharto reformasi, tiga dunia dibuktikan kandidat tetap partai peserta pemilu, pasca reformasi kita 37 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 Isu politik tampak sudah menjadi rezim adalah kunci penyelamat dari bagian dari keseharian masyarakat dewasa ancaman pembredelan. Menapaki masa ini. Hal ini wajar, sebab sehari-hari dan reformasi, kapanpun kita bisa mengikuti isu-isu pembaharuan politik di televisi, radio, media cetak, dan membebaskan media dari cengkeraman media online. Kita juga semakin akrab rezim. Kini, peta kekuatan seolah berbalik dengan debat-debat politik di media 180 derajat, media massa semakin kuat, massa. Di masa Orba, debat politik relatif bahkan terasa lebih dominan dari politik tabu, namun sekarang kita tidak kaget itu sendiri. melihat politikus saling lempar argumen dan alasan, bahkan saling memaki. Tidak massa bisa menjadi sejumlah Media konsolidasi dilakukan massa dan untuk dengan mudah mengabarkan isu-isu politik tiap hari, dipungkiri, media mengundang katalisator dalam politukus ternama, pengacara tenar, dan pengamat atau ahli, perubahan keseharian politik di negeri ini. mempertemukan Dulu, politik menjadi semacam persoalan forum. Ini artinya, media massa hari ini “sakral” yang harus ditutupi melalui sikap sudah memiliki bargaining position yang represif penguasa, media pun tidak bisa luar biasa terhadap politik. Di tengah sembarangan menyentuh persoalan yang posisi media yang kian kuat ini, kultur dianggap sensitif oleh rezim penguasa itu. politik ditengarai juga ikut bergeser. Sekarang, setelah industri media massa Pergeseran itu agaknya terasa ketika berkembang pesat, persoalan politik tidak dewasa ini, aktor-aktor politik semakin lagi tabu dibicarakan sehari-hari. Media membutuhkan media atau mengadopsi massa mengabarkannya dengan cepat dan gaya media sebagai bagian dari dirinya terus-menerus. Politik tidak lagi sakral, sebagai politikus. bahkan terkesan “banal”, karena mereka dalam satu Pada realitasnya, keadaan ini bisa informasinya di media massa membludak digambarkan di tengah keseharian masyarakat. politik banyak merekrut selebriti yang Dari fenomena ini, penulis melihat tenar di misalnya; media untuk partai-partai mendongkrak bahwa ada pergeseran kultural dalam popularitas dan citra partai, selain itu, keseharian persoalan politik dewasa ini, kecakapan untuk memutar (spinning) secara khusus dalam relasinya dengan informasi “bersilat lidah” menjadi kriteria media massa. Pada masa Orde Baru, penting bagi kader partai sebab kecakapan media massa menempati posisi subordinat tersebut atas berhadapan wilayah kekuasaan, sehingga sangat dibutuhkan dengan media. ketika Hal ini, persoalan politik tidak banyak riuh akibat menunjukkan bahwa “citra di media” proteksi rezim. Bagi media massa kala itu, menjadi sangat penting bagi institusi dan mempunyai aktor politik. 38 hubungan dekat dengan Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia Gejala tersebut juga bisa diamati, misalnya dalam fenomena bersifat pencitraan. Hal ini menandakan semakin bahwa dewasa ini institusi atau aktor maraknya aktor-aktor politik muncul di politik semakin tergantung dan dibentuk media, oleh “logika” media massa. khususnya di televisi, dalam kapasitasnya tidak semata sebagai aktor Gejala inilah yang kini mulai politik, tapi juga “bintang media”, seperti banyak dibicarakan dalam kajian media- menjadi politik, khususnya komunikasi politik. bintang iklan dan pemain sinetron. Ada beberapa tokoh politik yang Fenomena bisa disebutkan, seperti mantan Ketua (mediatization), konsep ini dipakai untuk MK, Mahfud M.D yang menjadi bintang menggambarkan iklan obat masuk angin, Ketua DPR, logika Marzuki Alie, yang membintangi iklan ketergantungan institusi atau aktor politik pabrikan alat rumah tangga, dan Menteri pada media (Stromback, 2008). Dalam BUMN, Dahlan Iskan yang bermain di proses yang hampir sama gejala ini salah satu sinetron religi dalam dua disebutkan oleh Mayer (2002) dengan episode, sekaligus membintangi iklan obat “mediacracy” masuk angin. terjadinya ini media disebut “mediatisasi” terjadinya terhadap untuk praktik ekspansi politik dan menggambarkan kolonisasi oleh Di luar alasan subjektif para tokoh permainan media pada dunia politik politik yang menerima tawaran menjadi (media steering politics). Secara lebih “bintang media” tersebut, penulis melihat luas, bahwa terdapat gejala semakin banyak bahwa ekspansi logika media tidak hanya aktor politik dewasa ini yang merasa merambah pada politik, akan tetapi ikut sangat membutuhkan pembentukan citra merasuk secara kultural pada institusi- di media massa. Jika secara normatif, institusi seharusnya citra institusi institusi keagamaan, pendidikan, bahkan atau aktor politik dicapai dengan upaya perumusan Hjarvard sosial (2008) yang menyebutkan lain, termasuk keluarga. program dan kebijakan bagi publik, maka bagi institusi dan aktor politik dewasa ini, indikator ketenaran di media massa agaknya lebih dipikirkan ketimbang program dan kebijakan. Keadaan ini melukiskan bahwa ada semacam dominasi dari cara berpikir media atas politik. Dalam derajat tertentu, politik mulai kehilangan substansinya sebagai persoalan terkait kebijakan publik, dan tergerogoti oleh perilaku-perilaku Mediatisasi Politik Konsep awalnya dipakai dampak media mediatisasi sendiri untuk menjelaskan terhadap komunikasi politik dan beberapa aspek dalam politik. Dalam riset terdahulu, konsep mediatisasi dipakai untuk melihat fenomena ketika dalam aspek tertentu, sistem politik telah disesuaikan dan terpengaruh secara kuat 39 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 oleh tuntutan media massa dalam mengulas (coverage) persoalan politik belakang, kedua 1920-1980, dan ketiga 1980 ke depan. (Hjarvard, 2008). Keadaan ini salah Pada periode pertama (-1920), satunya diadaptasi dari kecenderungan media massa dianggap sebagai instrumen materi dari dan cara-cara tertentu para institusi sosial, media massa politikus dalam menyampaikan pesan- cenderung dimanfaatkan oleh institusi pesan politik kepada publik, agar pesan- politik pesan itu terdengar manis di hadapan propaganda, sehingga posisinya menjadi media. subordinat dari institusi politik. Periode Maka, keadaan ini mengandaikan sebagai kedua alat (1920-1980), agitasi dan media massa bahwa media massa dalam cara kerjanya dijalankan atas logika kepentingan publik, menjadi relatif tidak tergantung dari atau bagian dari sarana publik, sehingga sumber informasi politik. Justru institusi kehadirannya ditujukan untuk melayani politik (lembaga pemerintah, politikus, publik. Sementara pada periode ketiga dan partai sebagai sumber (1980-kini), media massa menjadi relatif menjadi kurang independen dari institusi sosial dan logika independen dari media, sehingga mereka dominannya adalah kerja professional, menerapkan cara-cara tertentu untuk bisnis, dan panduan kapasitas teknis. informasi politik) politik melindungi diri dari ulasan media yang Dalam memaknai periode yang berisiko menimbulkan citra buruk bagi disebutkan eksitensi dirinya. dibutuhkan pengandaian yang lebih jelas Konsep mediatisasi sendiri lebih tentang Hjarvard, proses tentu saja terbentuknya gejala dipandang sebagai suatu proses (process- mediatisasi oriented). Stig Hjarvard (2008: 106) dasarnya, melihatnya sebagai proses kultural yang logika politik dan logika media, akan mengubah karakter dan fungsi institusi- tetapi dalam proses mediatisasi sebagai institusi sosial akibat respon atas ekspansi hasil, logika media massa kemudian atau kehadiran media secara meluas menekan politik sehingga mau tidak mau (media omnipresence). Hjarvard lantas politik kemudian dalam derajat tertentu mengajukan dugaan atas perkembangan menginternalisasi logika media ke dalam karakter institusi media massa secara dirinya. periodik-historis dalam relasinya dengan institusi politik. disesuaikan Perkembangan dengan konteks Hjarvard menjelaskannya periode. Periode 40 pertama ini Eropa, dalam 1920 tiga ke politik terdapat itu sendiri. perbedaan Pada antara Konsep logika politik itu sendiri, setidaknya selalu berhubungan dengan pengambilan keputusan kolektif dan otoritas pembuatan kebijakan maupun implementasi atas keputusan politik. Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia Termasuk di dalamnya terdapat proses kuasa penuh atas politik, akan tetapi distribusi kekuasaan melalui pemilihan media dengan logikanya semakin banyak umum atau sarana yang lain; proses diadopsi pembuatan keputusan; dan petanyaan bagian dari politik. tetang kekuasaan, “siapa mendapatkan dan terinternalisasi menjadi Dalam dinamika tersebut, upaya apa, kapan, dan dengan cara bagaimana” memberikan (Strombach, 2008). konseptual pemahaman atas proses secara mediatisasi Sementara logika media (media menjadi penting. Blumler dan Kavanagh logic) mengacu pada proses dan asumsi (1999) misalnya, mengajukan gambaran dalam konstruksi pesan-pesan melalui tentang medium tertentu, khususnya terobosan Sebagai contoh ia mengungkapkan bahwa teknologi komunikasi (Altheide, 2004). ada masa ketika debat-debat politik terasa Ini menunjukkan bahwa logika media lebih substantif dan kurang terpengaruh mengacu sebagai oleh logika media, dalam era komunikasi “medium” yang juga agen konstruksi politik pertama, masa ini adalah “era pesan, keemasan partai politik”, terjadi selama pada dan fungsinya fungsinya dalam sebagai derajat medium tertentu bisa era komunikasi politik. dua dekade setelah Perang Dunia kedua. dipersoalkan sebagai “pesan” itu sendiri (McLuhan, 1995). tiga Pada masa ini, komunikasi politik berpusat pada partai politik. Media massa Antara logika media dan logika kala itu berada dalam posisi subordinat, di politik memang terdapat perbedaan, akan pinggir-pinggir titik pusat lingkaran yang tetapi pada realitasnya kedua logika ini dikuasai oleh partai politik. Pesan-pesan saling politik pada massa itu dinilai lebih besinggungan. Dalam membicarakan proses mediatisasi politik, substantif kita juga harus melihat pola hubungan cenderung berbicara tentang isu-isu yang antara institusi politik dan media yang penting bagi mereka, terutama tentang terus perubahan yang mereka inginkan dalam bergerak. Strombacah (2008) sebab aktor-aktor politik membantu melihat ini dengan berusaha pemerintahan mempertanyakan, dengan lawan politiknya (Blumler & mana yang lebih dominan antara logika politik atau logika Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan membedakan dia Kavanagh, 1999: 212). media? Apakah politik menyetir media atau media yang menyetir politik? yang Posisi partai dan tokoh politik pada masa ini cenderung independen dari media. Institusi dan aktor politik menjadi ituharus diletakkan dalam derajat tertentu pusat sebab mediatisasi sendiri bukanlah efek menempati posisi kurang independen, total ketika media benar-benar mengambil yakni sebagai sebatas medium untuk komunikasi, sedangkan media 41 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 menyampaikan pesan-pesan politik yang politik. bersumber dari institusi dan aktor politik, pertama, pesan-pesan politik relatif bersih atau menjadi kepanjangan tangan dari dari campur tangan konstruksi media. persaingan politik atas partai dan tokoh Kini, politik tertentu (media participant). melimpah dan jangkauannya kian luas, Setelah era komunikasi politik pertama, Blumler dan Kavanagh menyebutkan terjadinya era komunikasi Pada era ketika komunikasi media massa politik semakin pesan-pesan politik mulai terjebak dalam arena konstruksi media, sehingga seringkali kehilangan substansi. politik kedua dan ketiga. Era komunikasi Dalam derajat tertentu, institusi politik kedua, ditandai dengan masuknya dan tokoh politik mulai merespon gejala siaran televisi di sekitar tahun 1960, ini disusul komitmen meminimalisir risiko citra negatif bagi norma-norma media nonpartisan, seperti dirinya yang bisa ditimbulkan oleh media. netralitas, cover both side, dan berbagai Blumler tuntutan mengibaratkan oleh menguatnya jargon independensi profesional terhadap cara-cara dan tertentu Kavanagh, untuk lalu perkembangbiakan politik. industri media, seperti binatang hidra Dalam era komunikasi politik kedua ini, berkepala banyak (a hydra-headed beast) posisi yang masing-masing mempunyai mulut media media serta dengan menguat. Media mulai memisahkan diri dengan kepentingan dan politik jalur Pengibaratan ini sebenarnya ditujukan profesionalitas. untuk melihat gejala bahwa institusi dan Keadaan ini, membuat institusi politik dan aktor politik semakin dikepung oleh aktor politik mulai kehilangan kendali atas banyaknya media massa, di mana masing- media. Maka proses komunikasi politik masing media selalu ingin mengorek tidak lagi berpusat kepada partai atau informasi dalam persoalan politik. partisan, independensi dan serta memilih meminta untuk diberi makan. tokoh politik seperti pada era komunikasi Keadaan ini akhirnya menuntut politik pertama, melainkan dalam derajat institusi dan aktor politik untuk mulai tertentu harus memikirkan cara-cara tertentu agar bisa menyesuaikan diri dengan posisi media berhubungan secara efektif dengan media massa yang mulai independen. yang semakin banyak. Dalam menyikapi komunikasi politik Sementara dalam era komunikasi hal ini, institusi dan aktor politik secara politik ketiga, ditandai dengan semakin umum mulai menganggap penting adanya berkembangbiaknya sarana komunikasi, terobosan dalam membangun program keberlimpahan media, jangkauan dan kehumasan, khususnya media relations. kecepatan informasi yang semakin tinggi. Hubungan Keadaan ini kemudian mengubah cara dianggap akan memberi dampak positif masyarakat bagi institusi dan aktor politik, terutama 42 menerima pesan-pesan yang baik dengan media Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia untuk mendorong citra dan meningkatkan kepentingan politik tertentu agar tersebar elektabilitas. secara massif. Ini adalah fase awal ketika banyak masyarakat mulai meyadari betapa aktor politik yang bahkan menganggap pentingnya media sebagai saluran bahwa menjadi “kekasih media” (media informasi dan memiliki dampak yang darling) bisa mendorong kesuksesannya kuat, keadaan ini yang disebut Strombach sebagai aktor politik. Artinya, dalam era (2008) sebagai fase mediatisasi politik komunikasi politik ketiga ini, institusi dan pertama aktor politik semakin terpengaruh oleh mediatization). Dalam determinasi gejala tertentu, terhadap phase of politik. Masa ini sering disebutkan ketika Sehingga dalam derajat tertentu, institusi Perang Dunia pertama dan kedua, ketika dan aktor media first (the politik harus berusaha media massa dimanfaatkan sebagai alat gaya mereka terhadap propaganda. Konteks historis ini bisa juga menyesuaikan keinginan media. dipahami bahwa media massa (khususnya Selain Blumler dan Kavanagh, media cetak) berperan besar dalam Jesper Strombach (2008) juga cukup membentuk kesadaran nasional pasca membantu dalam menganalisis proses perang dunia, atau “nasionalisme cetak” mediatisasi politik dengan mengajukan dalam empat fase dalam menganalisis proses tentang Imagined Communities (1991), mediatisasi. menurut sejak itu media massa dianggap sebagai Strombach, ada pengakuan bahwa media medium yang ampuh dalam memobilisasi massa menjadi sumber informasi yang massa. Pada awalnya, penting bagi politik, isu-isu politik mulai bahasan Dalam Benedict fase Anderson mediatisasi kedua ramai di media massa. Sampai pada suatu (second phase of mediatization), media fase, lebih mulai independen dari pemerintahan. independen terhadap politik, dan proses Media terus berusaha melepaskan diri mediatisasi politik menguat ketika aktor dari cengkeraman rezim dan berusaha dan institusi politik sudah mengikuti memetakan logika media dan menjadikannya sebagai aturan-aturan profesional. Akan tetapi bagian dari dirinya. media tidak sepenuhnya independen dari media massa menjadi arahnya sendiri, melalui awalnya politik, sebab masih beroperasi dalam menjadi sarana bagi politik, katakanlah batas-batas aturan institusi politik. Fase sebagai medium bagi institusi politik kedua ini menggambarkan adanya sebuah untuk menyebarluaskan kepentingannya. transisi dari fase yang pertama. Media massa pada Media kemudian menjadi penting bagi politik untuk menjadi media bagi Media mendapat kesempatan yang kian luas dalam bersikap daripada fase 43 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 yang pertama, media kian otonom dalam Sementara pada fase keempat membangun opini publik sesuai norma (fourth phase of mediatization), logika dan nilai mereka sendiri. Akan tetapi, media semakin terinternalisasi dalam dalam fase transisi ini logika politik masih logika politik. Institusi dan aktor politik relatif kuat, dan media dalam derajat berfikir tertentu menjadi semi-independen. Dalam bergandeng pengertian media massa masih bergelut kepentingan kampanye, tapi juga dalam soal merumuskan kebijakan. Kaderisasi politik “negosiasi kelayakan berita” bahwa mereka dengan tidak media hanya ketika (negotiation of news worthynes) bersama juga aktor dan institusi politik. Politik tidak berinteraksi dengan media, memutar- bisa lagi mengendalikan penuh wacana mutar (spinning) argumen dalam debat di dalam konten media, akan tetapi media media, serta selebritis mendapat tempat juga yang belum sepenuhnya mampu mengendalikan wacana politik. memperhatikan signifikan kecakapan dalam politik atas pertimbangan akan mendongkrak citra Pada fase mediatisasi ketiga (third politik (Blumler & Kavanagh, 1999). phase of mediatization), media menjadi lebih independen lagi dari fase yang Proses kedua. Media terus bergerak ke arah Indonesia? jargon profesionalitas, dan mengukuhkan dirinya sebagai institusi yang mandiri secara ekonomi karena pasarnya kian menguat. Institusi dan aktor politik pun menganggap media massa sebagai faktor eksternal yang layak diberi Institusi dan aktor politik mengakrabi media untuk tempat. mulai mendorong kesuksesan karirnya. Logika media terus terinternalisasi dalam politik, sehingga institusi dan aktor politik kian menyadari pentingnya mengadopsi cara kerja media pada tingkah laku berpolitik. Keadaan ini diandaikan dengan mulai gencarnya Mediatisasi Politik di Pada bahasan sebelumnya, sudah diamati bagaimana proses mediatisasi terjadi. Blumler and Kavanagh (1999) mengajukan konsep tiga era dalam komunikasi politik, sementara Hjarvard (2008), mengajukan periodisasi dalam konteks Eropa, dan Strombach (2008) menunjukkan empat fase dalam mediatisasi politik. Melihat pembahasan tersebut, pertanyaan, kemudian bisa lantas bagaimana diajukan proses mediatisasi di Indonesia? Penulis merasa, mediatisasi media atau Strombach (2008) agaknya cukup relevan untuk untuk diterapkan dalam melihat proses memanfaatkan mendorong citra. kampanye, press release ditawarkan fase institusi dan aktor politik melibatkan dalam yang empat oleh mediatisasi di Indonesia. Meskipun proses itu harus didudukkan dalam periodisasi 44 Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia historis agar pergeseran atau dinamika media dalam proses itu menjadi kelihatan. Tentu tangan dari kepentingan partai politik. Di saja, periodisasi historis ini tidaklah antara banyak media partisan pada masa mutlak, apa yang diajukan Hjarvard itu, bisa disebut misalnya koran-koran adalah sebuah konteks khusus, yang partisan dengan oplah terbanyak: Harian sedikit banyak akan berbeda dengan Rakyat konteks Indonesia. eksemplar/hari), Pada masa pemerintahan Orde partisan sebagai milik (48.000 kepanjangan PKI (55.000 Pedoman milik PSI Soeloeh eksemplar/hari), Lama dan Orde Baru, posisi media yang Indonesia subordinat di pinggir struktur politik, bisa eksemplar/hari), dianggap sebagai fase pertama atau fase Masyumi (38.000 eksemplar /hari) (Said, awal proses mediatisasi di Indonesia. dalam Latif, 2005: 380). Media dimanfaatkan oleh institusi politik media partisan ini melukiskan gejala untuk menjalankan kepentingan politik bahwa tertentu. Dalam fase ini, logika politik subordinat di bawah struktur politik, terasa mendominasi logika media. Politik sehingga begitu dominan terhadap media massa, independen terhadap institusi politik. milik PNI Abadi dan media (40.000 Fenomena menempati media milik cenderung posisi kurang sehingga secara umum media dianggap Masa setelah demokrasi liberal sebagai kepanjangan dari kepentingan tahun 1950-1959, yakni masa Demokrasi politik. Terpimpin dan Orde Baru, juga masih bisa Keadaan ini, bisa dikaitkan dengan dikategorikan dalam media mediatisasi misalnya, maraknya media partisan pada pertama, era demokrasi liberal tahun 1950-an. menduduki posisi subordinat dari wilayah Masa demokrasi liberal tahun 1950-1959 kekuasaan. bisa dianggap sebagai era keemasan partai masa Orde Baru embrio munculnya media politik, sebab partai politik memegang (pers) kendali dalam proses komunikasi politik bermunculan, tetapi masih dihantui oleh pada masa itu. Pada Pemilu pertama di bayang-bayang penguasa dengan ancaman Indonesia tahun 1955, jumlah partai pembredelan. politik peserta pemilu membludak dengan sebab fase Meskipun yang massa memang, independen masih pada mulai Pada masa pergulatan reformasi, jumlah lebih dari 30 partai dengan sejumlah memegang bermacam ideologi. seperti membebaskan media massa dari belenggu sosialis, komunis, nasionalis, Islam, dan rezim, media pun mulai terbuka untuk sebagainya. membicarakan upaya dilakukan isu-isu politik untuk dan Tuntutan kompetisi politik yang mengkritik pemerintah. Pada masa ini luar biasa ini memunculkan fenomena logika media kian menguat, kedudukan media menjadi makin otonom. Akan 45 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 tetapi, pada masa ini, posisi media masih motivasi penguatan citra di media massa, relatif bukan menguatkan bahasan atas program tergantung institusi politik. pada batas-batas Penulis menganggap politik. masa ini sebagai fase mediatisasi kedua. Dalam derajat tertentu, logika Sebagaimana kita ingat, masa reformasi politik juga ditengarai ikut bergeser dan adalah masa transisi dari rezim otoriter menginternalisasi logika media. Misalnya, menuju demokrasi. Berbagai konsolidasi praktik kaderisasi selebritis oleh partai dan upaya pembaruan dilakukan untuk politik yang kian marak. Pada pemilu mengatasi keadaan negara yang krisis. 2004 misalnya nama-nama aktris mulai Menariknya, pada masa ini isu-isu banyak bermunculan di DPR seperti politik yang substansial menjadi ramai Angelina dikabarkan, kalau kita ingat seperti isu Dyah Pitaloka (PDIP), pada 2009 jumlah tentang gagasan federalisme dan ekonomi selebritis yang berkarir di DPR meningkat kerakyatan (Panggabean, 1998). Dalam jumlahnya menjadi 18 orang. Keadaan ini fase transisi ini antara logika politik dan mengandaikan logika media relatif lebih seimbang, atau media kian menjadi pertimbangan bagi boleh dikata dalam derajat tertentu media kader massa menjadi semi-independen. Dalam tertentu, pengertian media massa masih bergelut politik menjadi kurang esensial. Misalnya soal berita” dalam kampanye, (negotiation of news worthynes) bersama politik semakin aktor dan institusi politik. Politik tidak tergantikan oleh kampanye yang sifatnya bisa lagi mengendalikan penuh wacana populer dan hanya mengedepankan citra dalam konten media, akan tetapi media seperti iklan politik di televisi (Plasser, juga 2001). “negosiasi belum kelayakan sepenuhnya mampu mengendalikan wacana politik. Sondakh partai (Demokrat), bahwa politik. sosialisasi Rieke popularitas Dalam di derajat program-program substansi program berkurang dan Pada fase mediatisasi keempat, Setelah masa transisi reformasi logika media kian ekspansif, hal ini sampai dewasa ini bisa dianggap sebagai mebuat fase mediatisasi ketiga dan keempat. Fase mementingkan kapasitas kadernya dalam ketiga menampakkan dominasi logika berinteraksi media semakin kecakapan memutar (spinning) informasi, menguat. Institusi dan aktor politik makin debat di media, serta selebritas mendapat sering bekerjasama dengan media untuk tempat meraih kesuksesan karir politik, seperti menunjang memanfaatkan substantif tentang kebijakan dan program atas logika media politik massa untuk institusi makin kampanye. Politik yang dibicarakan oleh politik para politikus, makin mengarah pada digantikan 46 dengan oleh media. partai. sangat Misalnya signifikan citra mulai politik untuk Persoalan kehilangan esensinya, ramainya perdebatan Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia banal, hingga terlihat batas antara “yang jaminan terhadap citra, elektabilitas, dan politik” dengan “yang media” menjadi kesuksesan karir politik. kian kabur. Fenomena konglomerat media Fase mediatisasi keempat ini, bisa yang kian santer terjun ke pentas politik, dipandang sebagai hasil agregat dari dalam derajat tertentu mengindikasikan proses-proses sebelumnya. Pada fase ini, dominasi aktor politik dalam menyetir dalam derajat tertentu media begitu media, artinya media dimanfaatkan dalam mendominasi agenda kepentingan politik tertentu. Jika politik. Misalnya, kini sangat marak televisi menyajikan acara begini, debat-debat yang kecenderungan bahwa logika politiklah fenomenal, misalnya Indonesian Lawyers yang mendominasi media. Akan tetapi, Club di TVOne. Dengan mudahnya televisi ketika menyebutkan konsep mediatisasi, mengundang senior, keadaan agak berseberangan, sebab dalam dan proses mediatisasi sebagai hasil, logika pengamat, lalu mempertemukan mereka media lah yang mendominasi logika dalam satu forum debat politik. Alih-alih politik. pengacara politik, salah aktor tenar, satu politik budayawan, acara ini kemudian menghadirkan wacana maka Maka, kita melihat ada di balik fenomena media saat aktor-aktor politik yang sehat dan mencerdaskan kepemilikan publik, perdebatan pemiliknya kini ramai terjun ke politik, politik di dalamnya menyajikan wacana penulis mengajukan argumen bahwa di politik yang penuh caci maki, tidak satu sisi memang terdapat gejala dominasi substantif dan rusuh. kepentingan politik atas media. Namun di justru seringkali Kecenderungan ini, sisi lain, institusi dan aktor politik juga mengindikasikan adanya dominasi media semakin terperangkap pada semacam massa dalam menggiring wacana politik “keimanan” (media steering politics). Logika media media kemudian politik kesuksesan dalam pentas politik. Sebab, terjebak dalam banalitas. Selain itu, media meskipun media itu dikuasai oleh aktor massa makin dianggap sangat penting politik tertentu, aktor atau institusi politik dalam heran itu tetap akan terperangkap dalam logika kemudian para konglomerat media massa media dalam dosis yang relatif tinggi, beramai-ramai politik, terutama dalam soal pencitraan. Keadaan seperti Surya Paloh, Abu Rizal Bakrie dan ini menggambarkan fenomena dominasi Hary dengan logika media terhadap logika politik. sambil Politik membawa politik, makanya masuk Tanoesodibyo. menguasai wacana tidak dunia Sebab media mempertahankan logikanya, bisa berarti bahwa adalah menjadi kehilangan mengikuti bagian dari terkesan substansi, logika kunci banal akibat dan adanya kolonisasi logika media. 47 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 Buktinya, dalam Daftar Pustaka praktik keseharian yang direpresentasikan oleh Altheide, David L. 2004. “Media Logic and media massa, politik dewasa ini semakin Political kehilangan isu-isu yang substantif. Alih- Political Communication. Vol. 21. alih No. 3, hal. 293-296. kita ideologis, mengharapkan perdebatan seperti perjuangan kemerdekaan masa atau masa reforamasi, praktik politik didominasi oleh transisi hari ini Anderson, Communication”. Benedict. Imagined 1991. Communities. London: Verso. Pada Blumler, Jay G. & Kavanagh, Dennis. akhirnya tema politik tidak mengikuti 1999. “The Third Age of Political proses deliberasi dan komitmen mufakat, Communication: Influences and justru Features”. logika cenderung dramatisasi dan media. menghamburkan debat-debat minus Maka, publik agaknya kian melihat sebagai isu yang banal, kecenderungan ini kemudian berimbas pada semakin tidak pedulinya masyarakat pada Communication. Vol. 16, hal. 209-230. substansi. politik Political politik, dan dalam tingkatan Hjarvard, Stig. 2008. “The Mediatization of Society”. Nordicom Review. Vol. 29. No. 2, hal. 105-134. Latif, Yudi. 2005. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi partisipasi (pemilu) antusias publik pun Intelegensia Muslim Indonesia menurun (Norris, 2000). Hal ini wajar, Abad Ke-20. Jakarta: Mizan. sebab publik seolah mengalami kejenuhan terhadap politik. Sebab, politik di media dewasa ini adalah politik yang telah mereduksi dirinya. Jika politik seharusnya bersifat ideologis dan berorientasikan Liverow, Leah A. 2009. “New Media, Mediation, and Communication Information, Study. Communication, & Society. Vol. 12. No. 3, hal. 303-325. program, kini politik yang kita saksikan di media semakin kehilangan substansi, malah makin mirip semacam sandiwara. Norris, Pippa. 2000. A Virtuous Circle: Political Communication Postindustrial Cambridge: in Societies. Cambridge University Press. Meyer, Thomas. 2002. Media Democracy: How the Media Colonize Politics. Cambridge: Polity Press. 48 Noveri Faikar Urfan, Membaca Gejala “Mediatisasi” Politik di Indonesia McLuhan, Marshall. 1995. Understanding Sen, Krishna & Hill, David T. 2001. Media, Media: The Extension of Man. Budaya dan Politik di Indonesia. Massachusetts: MIT Press. Jakarta: Panggabean, Plasser, Samsu Rizal. 1998. Institut Studi Arus Informasi (ISAI). “Federalisasi dan Demokratisasi Strombach, Jesper. 2008. “Four Phases of Indonesia”. Jurnal Sosial Politik. Mediatization: An Analysis of the Vol. 1. No. 3. Fisipol UGM. Mediatization Fritz. 2001. Relevance Professional”. “Diminishing for Campaign The International of Politics”. Press/Politics. Vol. 13. No. 3. London: Sage Publications. Harvard Journal of Press/Politics. Vol. 6. London: Sage Publications. 49 Jurnal komunikasi, Volume 6, Nomor 1, Oktober 2011 50