Slide 1 - Simponi MDP

advertisement
PEREKONOMIAN
SEBELUM ORDE BARU
PERTEMUAN 3
1. Gejolak Situasi Politik
Sejarah Perekonomian Indonesia:
• Periode 1945 – 1950
• Perode Demokrasi Parlementer (1950 – 1959)
• Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Periode Demokrasi Parlementer
• Dikenal sebagai Periode Demokrasi Liberal.
• Berakhir 5 Juli 1959, ketika Presiden Sukarno
menerbitkan sebuah dekrit kembali ke UUD 1945.
• Politik bersifat Demokrasi Terpimpin.
• Konsep kenegaraan bersifat federai, pemerintahan
bersifat parlemen.
Kabinet Hatta,
Desember 1949 – September 1950
• Dipimpin oleh M. Hatta.
• Konsentrasi utama dari kabinet ini penyatuan politis wilayah
Indonesia ke dalam Negara Republik Indonesia Serikat.
• Revormasi moneter melalui devaluasi mata uang secara serempak
dan pemotongan mata uang yang beredar pada bulan Maret 1950.
• Pemotongan uang menjadi separuh atas semua uang kertas
keluaran De JavacsheBank yang bernilai nominal lebih dari 2,50
gulden Indonesia (sampai 22 Mei 1951), saat De Javashe Bank
dinasionalisasi menjadi Bank indonesia, mata uang kita bernama
gulden).
• Pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai 400 gulden
menjadi separuhnya.
• Sebagai pengganti pemegang deposito diberikan obligasi jangka
panjang.
Kabinet Natsir
September 1950 – Maret 1951
• Kabinet pertama dalam Negara Kesatuan RI.
• Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dan Sumitro
Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Industri.
• Ekspor meningkat karena ada perang Korea dan mampu
mengatasi kesulitan neraca pembayaran.
• Impor diliberalisasikan sebagai upaya menekan tingkat harga-harga
umum dalam negeri.
• Kredit bagi perusahaan-perusahaan asing yang mendominasi
perekonomian diperketat, sementara perusahaan pribuni diperlunak.
• Terjadi surplus anggaran tahun 1951, karena kombinasi kebijakan
fiskal yang ketat dan penerimaan yang tinggi.
• RUP (Rencana Urgensi Pembangunan).
Kabinet Sukiman
Apri 1951 – Februari 1952
• Nasionalisasi De Javacshe Bank menjadi Bank
Indonesia (22 Mei 1951) dan memburuknya situasi
fiskal.
• Ekspor menurun karena telah berlalunya Boom Korea.
• Sistem Kurs Berganda (Multiple exchange rate system)
yang telah menjebak sistem perekonomian sejak tahun
1950, dihapuskan atas saran penasehat ekonomi
Hjalmar Schacht.
• Terjadi devisit anggaran.
• Februari 1952 penandatanganan Persetujuan
Keamanan Bersama dengan Amerika Serikat.
Kabinet Wilopo
Apri 1952 - Juni 1953
• Konsep anggaran berimbang (balanced budget) dalam APBN.
• Impor diperketat dan harus membayar dimuka.
• Rasionalisasi angkatan bersenjata melalui modernisasi dan
pengurangan personil.
• Menekan pengeluaran pemerintah, lebih dari 25% pertahun.
• Cadangan devisa merosot tajam.
• Program Benteng, membentuk kelas menengah nasional dengan
jalan membatasi alokasi impor hanya kepada pengusahapengusaha nasional dan bersifat diskriminatif rasial.
• Efek merugikan dirasakan oleh pengusaha (terutama importir)
nonprobumi sejak pertengahan tahun 1953).
Kabinet Ali 1
Agustus 1953 Juli 1955
• Defisit baik anggaran belanja maupun neraca
pembayaran.
• Melindungi importir pribumi.
• Importir Benteng naik dari 700 importer menjadi 4300
importer.
• November 1954 restabilisasi pada pembatasan impor.
• Pengendalian laju uang beredar kurang sukses.
Kabinet Burhanuddin
Agustus 1955 – Maret 1956
• Sumitro menjabat sebagai Menteri Keuangan.
• Liberalisasi impor (rasialisme terhadap impor dihapuskan).
• Pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan. Laju uang beredar
berhasil ditekan.
• Harga barang eks impor merosot hingga 15%.
• Nilai rupiah naik sekitar 8% terhadap emas.
• Dewan Alat-alat Pembayaran Luar Negeri, modal asing tetap
diizinkan, pemberian bantuan yang besar kepada pengusaha
pribumi.
• Membatalkan persetujuan KMB yang berusaha mengekalkan sistem
ekonomi kolonial.
Kabinet Ali II
April 1956 – Maret 1957
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Penyelundupan merosotkan cadangan devisa.
Defisit dalam anggaran negara.
Sertifikat pendorong ekspor dicairkan kembali.
Utang pada Belanda dihapuskan.
Pemerintah menerima bantuan dari Dana Moneter Internasional
(IMF).
Undang-undang penanaman modal asing.
Undang-undang anti pemogokan dan undang-undang anti pemilikan
tanah secara tidak sah.
Rencana Lima Tahun 1956 -1960.
Bersifat lebih rinci, bertujuan untuk mendorong industri dasar, jasajasa pelayanan umum dan sektor publik, hingga merangsang
penanaman modal oleh kalangan swasta.
Kabinet Djuanda
Maret 1957 – Agustus 1959
• Perekonomian bersifat terpimpin.
• Instrumen ekspor berupa sertifikat pendorong ekspor (SPE)
diganti/disederhanakan menjadi Bukti Ekspor (BE).
• Desember 1957 nasionalisasi perusahaan Belanda.
• Defisit anggaran 5,5 miliar atau hampir 22 persen dari pengeluaran
total pemerintah.
• Adanya upaya pengembalian wilayah Irian Barat (Irian Jaya).
• Pendapatan nasional riil merosot 13 persen.
• Presiden Sukarno mengangkat drinya sebagai Perdana Menteri,
dan melakukan sosialisme ala Indonesia.
2.Produksi dan PEndapatan
• Setengah dasawarsa (1952 – 1966), perekonomian
tumbuh lamban.
Tahun
Indeks
(1951 = 100
Perubahan
(persen)
Tahun
Indeks
(1951 = 100)
Perubahan
(persen)
1951
100,0
-
1959
149,1
-1,9
1952
103,8
3,8
1960
146,8
-1,5
1953
126,8
22,1
1961
149,4
1,7
1954
128,6
1,4
1962
145,3
-2,7
1955
133,4
3,7
1963
141,4
-2,7
1956
136,4
2,2
1964
144,7
2,4
1957
144,4
5,8
165
145,5
0,5
1958
152,0
5,3
1966
146,4
0,6
Download