II. TINJAUAN PUSTAKA A. Peranan Pertumbuhan Ekonomi

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Pembangunan berbasis ketenagakerjaan tidak dapat disederhanakan menjadi
sekedar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat saja
dilakukan dengan, misalnya memfokuskan pada sektor-sektor padat modal, tanpa
harus diikuti penciptaan tenaga kerja yang memadai. Pengalaman pembangunan
selama Orde Baru memberikan ilustrasi sepintas bagaimana mudahnya memicu
pertumbuhan melalui pendekatan itu.
Pernyataan di atas sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak penting. Bahkan dalam perpektif pembangunan manusia (human
development) pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means)
bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Hal ini sejalan dengan bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada negara
pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa
pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang cukup bagi pembangunan manusia.
Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui
berbagai jalur antara lain yang penting ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan
ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi
20
peningkatan kapabilitas manusia jika pertumbuhan itu berdampak secara positif
terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha.
Gambar 5. Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan ketenagakerjan
Sumber: UNDP, 1996.
21
Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan
rumah tangga yang memungkinkannya ―membiayai peningkatan kualitas
manusia anggotanya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan
berdampak pada kualitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan dapat (tetapi tidak bersifat otomatis) mempengaruhi ketenagakerjaan
dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran
(meningkatkan kualitas tenaga kerja). Dengan kata lain, secara teoritis,
pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting untuk meningkatkan
penyerapan tenaga kerja seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5.
B.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam
menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang
hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu
daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan
jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi
menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan
pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan
ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan,
maka itu menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut
berkembang dengan baik.
22
Terjadinya pertumbuhan ekonomi akan menggerakan sektor-sektor lainnya
sehingga dari sisi produksi akan memerlukan tenaga kerja produksi. Suatu
pandangan umum menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (growth)
berkorelasi positif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment rate).
Tetapi ada juga dugaan bahwa dengan produktivitas yang tinggi bisa berarti akan
lebih sedikit tenaga kerja yang dapat diserap. Berpijak dari teori pertumbuhan
ekonomi yang dikemukakan oleh Solow tentang fungsi produksi agregat
(Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2004) menyatakan bahwa ouput nasional
(sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi disimbolkan dengan Y)
merupakan fungsi dari modal (kapital=K) fisik, tenaga kerja (L) dan kemajuan
teknologi yang dicapai (A). Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal
fisik adalah investasi), dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi
diduga akan membawa dampak positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja
seperti ditunjukkan oleh model berikut:
Y = A.F(K,L)
di mana Y adalah output nasional (kawasan), K adalah modal (kapital) fisik, L
adalah tenaga kerja, dan A merupakan teknologi. Y akan meningkat ketika input
(K atau L, atau keduanya) meningkat. Faktor penting yang mempengaruhi
pengadaan modal fisik adalah investasi. Y juga akan meningkat jika terjadi
perkembangan dalam kemajuan teknologi yang terindikasi dari kenaikan A. Oleh
karena itu, pertumbuhan perekonomian nasional dapat berasal dari pertumbuhan
input dan perkembangan kemajuan teknologi—yang disebut juga sebagai
pertumbuhan total faktor produktivitas.
23
Model Solow dapat diperluas sehingga mencakup sumberdaya alam sebagai salah
satu inputnya. Dasar pemikirannya yaitu output nasional tidak hanya dipengaruhi
oleh K dan L saja tetapi juga dipengaruhi oleh lahan pertanian atau sumberdaya
alam lainnya seperti cadangan minyak. Perluasan model Solow lainnya adalah
dengan memasukkan sumberdaya manusia sebagai modal (human capital). Dalam
literatur, teori pertumbuhan seperti ini terkategori sebagai teori pertumbuhan
endogen dengan pionirnya Lucas dan Romer. Lucas menyatakan bahwa
akumulasi modal manusia, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan
pertumbuhan ekonomi; sedangkan Romer berpandangan bahwa pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh tingkat modal manusia melalui pertumbuhan teknologi.
Secara sederhana, dengan demikian, fungsi produksi agregat dapat dimodifikasi
menjadi sebagai berikut:
Y = A.F(K, H, L)
Pada persamaan di atas, H adalah sumberdaya manusia yang merupakan
akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Menurut Mankiw, Romer, dan Weil
(1992) kontribusi dari setiap input pada persamaan tersebut terhadap output
nasional bersifat proporsional. Suatu negara yang memberikan perhatian lebih
kepada pendidikan terhadap masyarakatnya ceteris paribus akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari pada yang tidak melakukannya.
Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan
pendidikan akan menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi
24
yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata,
maka tingkat penyerapan tenaga kerja akan semakin meningkat.
C.
Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth)
Masalah kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan suatu negara tetapi sudah
menjadi masalah global serta merupakan salah satu target dari Millenium
Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan berbagai
program pengentasan kemiskinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin
antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin),
Jaminan Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Jamkeskin), Program Perlindungan
Sosial (PPLS), dan lain-lain. Kebijakan ini merupakan strategi pemerintah agar
pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagian bisa dinikmati oleh penduduk
miskin (Pro-Poor Growth). Pengertian Pro-Poor Growth masih dalam konsensus
dan salah satu penjelasan tentang hal ini dikemukakan oleh Kakwani and Pernia
(2000) sebagai berikut:
“...ADB‟s Fighting Poverty in Asia and The Pacific: The Poverty Reduction
Strategy indicates that growth is pro-poor when it is labour absorbing and
accompanied by policies and programs that mitigate inequalities and facilitate
income and employment generation for the poor, particularly women and other
traditionally excluded groups”.
(―...ADB (Asian development Bank/Bank Pembangunan Asia) sedang bertarung
melawan
kemiskinan
di
Asia-Pasifik:
Strategi
pengentasan
kemiskinan
mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih berpihak kepada penduduk
miskin melalui penyerapan tenaga kerja diiringi program dan kebijakan
25
mengurangi ketidakmerataan serta memfasilitasi pendapatan dan generasi pekerja
berikutnya diperuntukan bagi penduduk miskin, khususnya wanita dan kelompok
tradisional lainnya.) (terjemahan bebas peneliti).
Menurut pandangan growth pro-poor, penduduk miskin seharusnya memperoleh
keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan ikut berperan serta dalam proses
kegiatan ekonomi. Kraay (2006) menemukan tingginya laju pertumbuhan rata-rata
pendapatan dan pola pertumbuhan dari pengentasan kemiskinan melalui
pendapatan sangat relevan khususnya pada penjelasan tentang perubahan
kemiskinan berdasarkan analisis berbagai negara. Dia juga menyarankan agar
pertumbuhan rata-rata pendapatan merupakan titik awal (starting point) dalam
mengembangkan pro-poor growth.
“…there are three potential sources of pro-poor growth: (a) a high growth rate of
average incomes; (b) a high sensitivity of poverty to
growth in average income; and (c) a poverty-reducing pattern of growth in
relative income. [..] The differences in growth in average incomes are the
dominant factor explaining changes in poverty [..] the search for pro-poor growth
should begin by focusing on determinant of growth in average incomes”.
(―…ada tiga sumber potensi dari pro-poor growth: (a) tingginya laju
pertumbuhan rata-rata pendapatan; (b) tinginya tingkat sensitivitas kemiskinan
dari rata-rata pendapatan; dan (c) pola pertumbuhan pengentasan kemiskinan
dalam pendapatn relatif. [..] Perbedaan pertumbuhan dalam rata-rata pendapatan
merupakan faktor dominan dalam menjelaskan perubahan dalam kemiskinan [..]
pencarian pro-poor growth seharusnya dimulai dengan memfokuskan pada
determinan pertumbuhan dari rata-rata pendapatan.
26
Sejalan dengan pemikiran Kraay, (Ravallion and Chen, 2003) menyatakan bahwa
rata-rata laju pertumbuhan kemiskinan merupakan alat ukur yang lebih baik untuk
pro-poor growth dengan menggunakan quintil dari distribusi pendapatan. Dengan
mennggunkan kurva pertumbuhan, distribusi pertumbuhan dapat ditelusuri
berdasarkan kurun waktu yang sesuai. Mereka menggunakan Negara China
sebagai sampel dan menemukan bahwa laju pro poor growth sekitar 4 persen
sehingga China merupakan negara yang paling berhasil dalam menngurangi
penduduk miskin.
D.
Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran (Okun’s Law)
Arthur Okun (1929 – 1979) adalah salah seorang pembuat kebijakan paling kreatif
pada era sehabis perang. Dia memperhatikan faktor-faktor pembangunan yang
membantu Amerika Serikat menelusuri dan mengatur usahanya. Ia membuat
konsep output potensial dan menunjukkan hubungan antara output dan
penganggur. Penganggur biasanya bergerak bersamaan dengan output pada siklus
bisnis. Pergerakan bersama dari output dan pengangguran yang luar biasa ini
berbarengan dengan hubungan numerikal yang sekarang dikenal dengan nama
Hukum Okun.
― Hukum Okun menyatakan bahwa untuk setiap penurunan 2 persen GDP yang
berhubungan dengan GDP potensial, angka pengangguran meningkat sekitar 1
persen‖. Hukum Okun menyediakan hubungan yang sangat penting antara pasar
output dan pasar tenaga kerja, yang menggambarkan asosiasi antara pergerakan
jangka pendek pada GDP riil dan perubahan angka pengangguran. ‖ (Samuelson
and Nordhaus, 2004)
27
Pada teori hukum okun yang menyatakan bahwa terjadi hubungan negatif antara
pertumbuhan produk dengan pengangguran. Di dalam hukum okun menyebutkan
bahwa tingkat perubahan di angka pengangguran dengan tingkat pertumbuhan
GDP yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Sumber : Mankiw (2003)
Gambar 6. Hukum Okun.
Menurut N. Gregory Mankiw (2003) hukum okun adalah relasi negatif antara
pengangguran dan GDP. Hukum okun merupakan pengingat bahwa faktor-faktor
yang menentukan siklus bisnis pada jangka pendek sangat berbeda dengan faktorfaktor yang membentuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hukum Okun
(Okun’s law) merupakan hubungan negatif antara pengangguran dan GDP, yang
mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan
dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP yang mendekati dua persen.
28
E.
Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah modal bagi bergeraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Dalam kegiatan proses produksi, tenaga kerja
merupakan faktor yang terpenting, karena manusia yang menggerakan semua
sarana produksi seperti bahan mentah, tanah , air dan sebagainya.
Meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan tapi juga perlunya perluasan
kesempatan kerja. Penduduk sebagai sumber dari persediaan tenaga kerja akan
menimbulkan suatu dilema bila jumlahnya tidak seimbang dengan kemampuan
sektor ekonomi. Dilema yang terjadi adalah banyaknya pengangguran maupun
setengah pengangguran dan paling tidak akan banyak terjadi ketidaksesuaian
antara pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani.
Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap
orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Berdasarkan UU No. 25 tahun 2007 tentang ketenagakerjaan,
ketetapan batas usia kerja penduduk Indonesia adalah 15 tahun.
Payaman Simanjuntak (2001) menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah penduduk
yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan melakukan
kegiatan lain seperti bersekolah atau mengurus rumah tangga, dengan batasan
umur 15 tahun. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Aris Ananta (1990),
29
Sitanggang dan Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah
sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan
barang dan jasa. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
tenaga kerja adalah sebagian penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa
bila terdapat permintaan terhadap barang dan jasa.
F. Permintaan Tenaga Kerja
Fokus pengkajian diasumsikan ketika perusahaan berada pada pasar persaingan
sempurna, baik itu dalam pasar input (tenaga kerja) maupun dalam pasar output
(barang). Perusahaan berada pada pasar persaingan sempurna dalam pasar input
apabila perusahaan tersebut berkeyakinan bahwa jumlah produksi dan
penjualannya tidak akan berpengaruh terhadap harga pasar yang berlaku.
Perusahaan yang bersaing akan memperhatikan harga pasar untuk produknya dan
akan membuat perencanaan yang sesuai. Dengan asumsi bahwa harga pasar akan
tetap sama, terlepas dari banyak atau sedikitnya jumlah penjualan.
Salah satu jalan untuk menginterpretasikan fakta bahwa perusahaan sebagai
penerima harga adalah untuk menduga bahwa perusahaan memiliki pilihan
mengenai harga, dimana perusahaan menjual output dan harga dimana perusahaan
menggunakan input. Jika perusahaan mencoba untuk menjual output pada harga
yang lebih tinggi daripada harga yang berlaku, maka tidak akan ada output yang
terjual. Karena dalam pasar persaingan output, konsumen telah mengetahui
dengan jelas informasi mengenai harga terendah dari produk sejenis. Sementara
itu, perusahaan dapat menjual semua produknya sesuai dengan harga yang
berlaku, jadi produk tidak memiliki dorongan untuk mengisi
30
kekurangan. Oleh sebab itu, hal ini selalu merupakan yang terbaik bagi
perusahaan, untuk memilih harga outputnya sama dengan harga yang berlaku.
Dengan demikian, perusahaan seolah-olah sebagai penerima harga. Sama halnya
dengan perusahaan yang tidak dapat mengurangi pembayaran upah kepada tenaga
kerja (input) dibawah tingkat upah yang berlaku, karena di dalam pasar
persaingan input, pemilik input (tenaga kerja) yang akan menawarkan (menjual)
jasa (input) mereka ke perusahaan lain, dengan tingkat upah yang lebih tinggi.
Dan karena sekali lagi perusahaan tidak memiliki dorongan untuk membayar
input melebihi tingkat upah yang berlaku, maka perusahaan secara optimal akan
membayar tenaga kerja (input) sesuai dengan tingkat upah yang berlaku.
Keuntungan adalah perbedaan antara pendapatan dari penjualan output dan biaya
untuk memperoleh faktor produksinya. Perusahaan kompetitif dapat menjual
setiap unit output pada harga pasar, p. Keuntungan perusahaan adalah fungsi dari
output, R(y)=py. Jika perusahaan mempertimbangkan tingkat output y0. Jika x0
adalah vektor dari kelayakan input untuk memproduksi y0. Dan jika w adalah
vektor untuk harga faktor produksi, biaya penggunaan x0 untuk memproduksi y
adalah w.x0 . Hal ini akan menghasilkan keuntungan sebesar py0 – w.x0. Ada dua
hal yang perlu diperhatikan disini. Pertama, output y0 mungkin bukanlah tingkat
output terbaik bagi perusahaan untuk diproduksi. Kedua, meskipun y0 merupakan
tingkat output terbaik, namun pada tingkat input x0
mungkin bukanlah cara
terbaik untuk memproduksi output. Oleh karena perusahaan harus memutuskan
baik tingkat output untuk memproduksi maupun seberapa banyak faktor produksi
yang digunakan untuk memproduksi output.
31
Diasumsikan tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimisasi keuntungan.
Oleh karena itu Perusahaan akan memilih tingkat output dan kombinasi faktor
produksi untuk memproduksi, dapat tulis sebagai berikut:
max py – w . x
s.t.
f(x) ≥ y,
(x,y) ≥ 0
Dimana f(x) adalah fungsi produksi. Rumus diatas menjelaskan seberapa banyak
output perusahaan yang akan terjual dan seberapa banyak input yang akan
digunakan perusahaan.
Kemudian f(x) ≥ y akan diganti dalam kendala kesetaraan, karena fungsi produksi
cenderung meningkat. Karena y = f (x), maka didapatkan rumus maksimisasi
keuntungan dengan input choice, sebagai berikut:
max p f(x) – w . x
𝑥 ∈ ℝ𝑛+
Diasumsikan masalah maksimisasi keuntungan ini memiliki pemecahan, pada
vektor input x*>> 0. (maksimisasi keuntungan adalah jumlah dari produksi
output y*=f(x*)). Lalu first order condition (FOC) mengharuskan persamaan
maksimisasi sama dengan nol karena tidak terdapat kendala.
𝑝
𝜕𝑓 (𝑥 ∗ )
𝜕𝑥 𝑖
= 𝑤𝑖
for every i=1,...,n
Istilah disebelah kiri adalah produk harga output dengan marginal product dari
input i, yang sering disebut dengan marginal revenue product dari input i. MRP
menunjukan peningkatan pendapatan setiap penambahan per unit input i. Pada
saat optimum, MRP harus sama dengan biaya per unit i, yaitu wi. (P. MPi =MRP)
32
Diasumsikan bahwa semua wi adalah positif , akan digunakan FOC yang
sebelumnya untuk menghasilkan persamaan antara rasio:
𝜕𝑓 (𝑥 ∗ )/𝜕𝑥 𝑖
𝜕𝑓 (𝑥 ∗ )/𝜕𝑥 𝑗
=
𝑤𝑖
𝑤𝑗
,
for all i ,j
MRTS antara kedua input sama dengan rasio dari kedua input tersebut. MRTS
serupa dengan pemilihan minimisasi biaya input. Oleh karena itu MRTS
menekankan bahwa maksimisasi keuntungan memerlukan minimisasi biaya dalam
proses produksi.
Dimungkinkan untuk menyusun kembali masalah maksimisasi keuntungan
perusahaan
dengan
menekankan
pentingnya
minimisasi
biaya.
Setelah
memaksimalkan keuntungan dalam satu langkah, kemudian lakukan prosedur dua
langkah berikut ini . Pertama, hitung setiap kemungkinan tingkat output kemudian
pilihlah output yang memaksimalkan perbedaan antara pendapatan dan biaya.
Langkah kedua adalah biaya terkecil produk y unit output (output choice) berasal
dari fungsi biaya, c ( w, y). sebagai berikut:
max py = c ( w . x ).
y≥0
Profit keuntungan pada y*, dimana harga sama dengan biaya marginal dan biaya
marginal tidak menurun.
Jika y*>0 maka output optimal dan memenuhi FOC
𝑝−
𝑑 𝑐(𝑤,𝑦 ∗ )
𝑑𝑦
= 0
33
Atau output choice sehingga harga sama dengan biaya marginal (P≡MR=MC).
SOC membutuhkan biaya marginal yang tidak menurun pada saat optimum, atau
d2c(y*)/dy2 ≥ 0 .
Price, cost
𝑚𝑐 𝑦 =
𝑑𝑐(𝑤, 𝑦)
𝑑𝑦
p
𝑑𝑐 (𝑦∗)
𝑑𝑐 (𝑦′)
𝑑𝑦
𝑑𝑦
<0
>0
Output
y’
y*
Gambar 7. Pemilihan output (output choice) untuk perusahaan kompetitif.
Pemilihan output optimal, y*≡ y (p, w) , disebut fungsi output supply perusahaan
dan pemilihan input optimal, x*≡ x (p, w) , disebut fungsi input demand
perusahaan. Fungsi input demand adalah fungsi permintaan penuh (baku) karena
tidak seperti conditional input demand, input demand mencapai tujuan utama
perusahaan , yaitu memaksimalkan keuntungan perusahaan. Fungsi keuntungan
merupakan alat yang berguna untuk mempelajari fungsi supply dan fungsi
demand.
34
Fungsi keuntungan perusahaan dipengaruhi oleh harga input dan harga output
yang disebut fungsi nilai maksimum (maximum-value).
π (p, w) ≡ max py – w . x
s.t.
f(x) ≥ y,
(x,y) ≥ 0
Kegunaan dari fungsi keuntungan bergantung pada kondisi tertentu. Dibawah ini
akan menunjukan increasing return dan dimisalkan x’ dan y’ = f(x’)
memaksimalkan keuntungan pada p dan w dengan increasing returns.
𝑓 𝑡𝑥 ′ > 𝑡𝑓 (𝑥 ′ )
for all
t>1
Dikalikan dengan p > 0 , dan dikurangi dengan w. tx’ pada kedua sisi dan
menggunakan t > 1 serta keuntungan yang tidak negatif (non negativity)
dihasilkan
𝑝𝑓 𝑡𝑥 ′ − 𝑤 . 𝑡𝑥 ′ > 𝑝𝑓 𝑥 ′ − 𝑤 . 𝑥′
for all
t>1
Rumus diatas menyatakan bahwa keuntungan yang tinggi selalu bisa di dapatkan
dengan meningkatkan input dalam proporsi t > 1 ,bertentangan dengan asumsi x’
dan f(x’) yang memaksimalkan keuntungan. Memperhatikan bahwa dalam kasus
constant return, tidak ada masalah yang timbul jika tingkat keuntungan maksimal
sama dengan nol. Sehingga, skala operasi perusahaan adalah tak tentu
(indeterminate) karena (y’, x’) dan (ty’, tx’) menyatakan tingkat yang sama dalam
keuntungan nol (zero profit) untuk semua t > 0.
35
Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan maksimal pada saat marginal cost
(MC) sama dengan marginal revenue (MR), karena pada pasar persaingan
sempurna maka marginal revenue sama dengan harga. Dapat dirumuskan sebagai
berikut:
MC = MR = P
Apabila tenaga kerja yang digunakan lebih banyak, maka akan menaikkan harga
per unitnya, disebut juga upah nominal (W). Output yang meningkat karena
MPPL mengakibatkan biaya per unit dari output turut meningkat, atau biaya
marginal (MC) = W/MPPL. Dengan demikian kondisi profit maximization, dapat
ditulis:
𝑊
= 𝑀𝑃𝑃𝐿
𝑃
Variabel sebelah kiri pada persamaan (2) adalah perbandingan tingkat upah
dengan tingkat harga barang yang disebut dengan upah riil. Artinya, komoditas
per orang per periode waktu, yang menunjukkan bahwa W memiliki ukuran per
orang per periode waktu dan P memiliki ukuran mata uang per komoditas. Jadi:
𝑅𝑝 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔
𝑊
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢
=
= 𝑘𝑜𝑚𝑜𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢
𝑃
𝑅𝑝 𝑘𝑜𝑚𝑜𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠
Upah riil adalah pengembalian waktu kerja terhadap komoditas. Dengan kata lain
adalah kemampuan daya beli terhadap komoditas dari tingkat upah. Misalkan
upah riil adalah (W/P), hal ini adalah ukuran sejak keduanya yaitu tingkat upah
nominal dan tingkat harga barang adalah dikendalikan secara bersama-sama oleh
upah riil (diasumsikan bahwa perusahaan adalah penerima harga di dalam pasar
36
tenaga kerja dan pasar barang). Pada gambar 8 apabila tingkat upah riil turun ke
(W/P)2 maka tenaga kerja L2 yang digunakan, begitu seterusnya. Kombinasi
(W/P)1 dan L1 dan (W/P)2 dan L2 adalah indikasi harga dan jumlah tenaga kerja
yang diminta. Kemudian disimpulkan bahwa kurva permintaan tenaga kerja
adalah identik dengan kurva MPPL.
MPPL
W,P
MPPL1
(W,P)1
MPPL2
(W,P)2
Ld = Ld (W/P,K)
0
L1
L2
Gambar 8. Kurva Permintaan Tenaga Kerja.
Apabila perusahaan memiliki persediaan modal yang besar, kurva permintaan
tenaga kerja akan meningkat karena pada tingkat tenaga kerja yang digunakan,
marginal physical labour adalah lebih tinggi ketika persediaan modal lebih besar.
Ini memiliki hubungan dengan kenyataan,pada tingkat tenaga kerja berapapun,
setiap tenaga kerja memiliki bagian yang besar dari tingkat modal untuk bekerja
dengan ketika ukuran jumlah modal meningkat.
Kemudian dapat ditulis apa yang telah ditetapkan dalam bentuk persamaaan
sebagai berikut:
𝐿𝑑 = 𝐿𝑑
𝑊
, 𝐾 , 𝐿𝑑1 < 0, 𝐿𝑑2 > 0
𝑃
37
Permintaan tenaga kerja adalah fungsi dari upah riil dan tingkat modal. Karena
tingkat modal diasumsikan konstan, maka perubahan permintaan tenaga kerja
tidak pernah dihasilkan dari perubahan tingkat modal. Variasi dalam permintaan
tenaga kerja akan dihasilkan dari perubahan tingkat upah riil. Tanda Ld
menunjukkan ‖penurunan fungsi permintaan tenaga kerja menanggapi perubahan
upah riil adalah negatif‖.
G.
Faktor - Faktor Penyerapan Tenaga Kerja
1.
PDRB riil (Produk Domestik Regional Bruto)
Produk Domestik Bruto (PDB ) atau dalam bahasa Inggris disebut Gross
Domestic Product, merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui
kondisi ekonomi dan kinerja pembangunan, di suatu negara dalam suatu periode
tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan.
Sedangkan untuk mengukur kondisi ekonomi suatu daerah Provinsi, Kabupaten
atau Kota, digunakan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto/Gross Domestic
Regional Product)
PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas
dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
menggunakan harga pada tahun berjalan, sedang PDRB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan
harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar, sebagai contoh
38
perhitungan PDB dan PBRB di Indonesia menggunakan tahun dasarnya yaitu
tahun 2000. Penentuan PDRB atas harga konstan, biasanya diperlukan untuk
mengeluarkan pengaruh inflasi.
PDRB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber
daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Sementara itu,
PDRB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil
dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor
harga. Adapun kegunaan PDRB adalah :
a. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral,
dengan melihat prosentase pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan.
b. Tingkat Kemakmuran
Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun
tingkat kemakmuran dibanding dengan daerah lain, tingkat kemakmuran suatu
wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya.
Tingkat kemakmuran ini tidak mengalami perubahan apabila laju pertumbuhan
penduduk lebih tinggi dari pada pertumbuhan ekonominya.
c. Tingkat Inflasi atau Deflasi
Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam waktu tertentu, dengan
membandingkan antara PDRB atas dasar berlaku dan PDRB atas dasar konstan,
dapat diperoleh suatu indeks implisit yang bisa menggambarkan kenaikan suatu
penurunan harga barang dan jasa.
39
d. Struktur Perekonomian
Mengetahui gambaran struktur perekonomian daerah, PDRB dapat digunakan
sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu
dengan menyusun peranan masingmasing sektor/lapangan usaha
e. Potensi Suatu Wilayah
Mengetahui potensi suatu daerah terhadap regional secara keseluruhan maupun
sektoral. Dengan melihat peranan sektoral dalam suatu wilayah kabupaten atau
peranan keseluruhan suatu wilayah propinsi. Dengan demikian maka pendapatan
regional sangat bermanfaat bagi perencana maupun pengambil keputusan, baik
yang berhubungan dengan rencana pembangunan jangka pendek maupun jangka
panjang.
Perhitungan PDB maupun PDRB secara konseptual menggunakan tiga macam
pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran dan pendekatan
pendapatan.
a.
Pendekatan Produksi:
Perhitungan PDRB dengan pendekatan produksi merupakan adalah jumlah nilai
tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di
wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB
menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam 9 sektor ekonomi sesuai dengan
International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC)
1) Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Sektor
Pertambangan dan Penggalian, 3) Sektor Industri Pengolahan, 4) Sektor Listrik,
Gas, dan Air Bersih, 5) Sektor Konstruksi, 6) Sektor Perdagangan, Hotel dan
40
Restoran, 7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. 8) Sektor Keuangan, Real
Estate dan Jasa Perusahaan, 9) Jasa-Jasa
b.
Pendekatan Pengeluaran:
Perhitungan
PDRB
bersasarkan
pendekatan
pengeluaran/penggunaan
dikelompokkan dalam 6 komponen yaitu: 1). Pengeluaran Konsumsi Rumah
Tangga, 2). Pengeluaran Konsumsi Pemerintah,3). Pembentukan Modal Tetap
Domestik Bruto 4). Perubahan Inventori. ,5). Ekspor Barang dan Jasa. , 6). Impor
Barang dan Jasa.
c.
Pendekatan Pendapatan:
Perhitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan merupakan jumlah balas jasa
yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di
suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa yang
dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan;
semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.
Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung
neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi)
Produk Nasional Bruto (PNB) adalah PDB ditambah dengan pendapatan neto dari
luar negeri. Pendapatan neto luar negeri adalah pendapatan atas faktor produksi
(tenaga kerja dan modal) milik penduduk Indonesia yang diterima dari luar negeri
dikurangi dengan pendapatan yang sama milik penduduk asing yang diperoleh di
Indonesia.
41
Pendapatan Nasional adalah PNB dikurangi dengan pajak tidak langsung (neto)
dan penyusutan. Pajak tidak langsung neto adalah pajak tidak langsung dikurangi
dengan subsidi pemerintah. Indeks implisit PDB merupakan rasio antara PDB
harga Berlaku dengan PDB harga konstan. Deflator PDB adalah laju pertumbuhan
indeks implisit PDB. Ekspor barang dan impor merupakan kegiatan transaksi
barang dan jasa antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain.
2.
Kekakuan Upah (Wage Rigidity)
Indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity) adalah kegagalan upah dalam
melakukan penyesuaian penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya.
Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran
(Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran
alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual
rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan
Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga
ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi
penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme
penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif
terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari
pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan
pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah
nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga.
42
Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan
upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model
keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan
penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil
tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.
Sumber: Mankiw (2003)
Gambar 9. Kurva Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja.
Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting
untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat
keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
Gambar 9, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja
melebihi
permintaannya,
maka
perusahaan-perusahaan
diharapkan
akan
menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada
kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul
sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan
penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).
43
Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari Undang-Undang No, 13 Tahun 2003
tentang UMR atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut
berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini
pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang ini menetapkan
tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya.
Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada
penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja dengan
usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan
kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal
yang rendah.
Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap
inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan
kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi.
Ketika terjadi inflasi, pekerja akan menuntut kenaikan upah yang ―memaksa‖
perusahaan untuk meningkatkan upah, karena adanya biaya yang harus
ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah
tidak dikabulkan perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).
44
3.
Sewa Modal
Perusahaan-perusahaan menggunakan modal, bersamaan dengan tenaga kerja,
untuk memproduksi barang dan jasa untuk dijual. Tujuan mereka adalah
memaksimalkan keuntungan. Dalam memutuskan berapa banyak modal yang
digunakan dalam produksi, perusahaan harus menyeimbangkan kontribusi yang
dihasilkan dari tambahan modal pada pendapatan mereka dengan biaya
penggunaan tambahan modal. Produk marjinal modal (marginal product of
capital) adalah kenaikan output yang diproduksi dengan menggunakan 1 unit
tambahan modal dalam produksi. Biaya sewa modal adalah biaya menggunakan 1
unit tambahan modal dalam produksi. (Perhatikan bahwa kedua konsep
merupakan arus). Bagi perusahaan, membeli atau menyewa modal, biaya sewa
adalah pengukuran yang tepat untuk opportunity cost. Selama nilai marginal product
of capital di atas biaya sewa, akan membuat perusahaan menambah stok modalnya.
Dengan demikian perusahaan akan tetap berinvestasi hingga nilai output yang
diproduksi dari tambahan 1 unit tambahan modal sama dengan biaya menggunakan
modal tersebut/biaya sewa modal (rental cost of capital).
Fungsi produksi 𝑓 ∶ ℝ𝑛+ ⟶ ℝ+ , cenderung meningkat dan cuasiconcave pada
ℝ𝑛+dan 𝑓 0 = 0.
Ketika fungsi produksi diturunkan maka akan menjadi 𝜕𝑓 𝑥 /𝜕𝑥𝑖 , disebut produk
marginal input i dan menentukan tingkat perubahan output setiap pertambahan
unit input i. Jika f cenderung meingkat dan diturunkan maka
hampir semua input.
𝜕𝑓 𝑥
𝜕𝑥 𝑖
> 0, untuk
45
Pada setiap tingkat output tetap, y, kombinasi input untuk memproduksi y unit
output disebut juga isokuan (isoquant). Isokuan adalah tingkatan kombinasi f,
dapat ditulis 𝑄 (𝑦).
𝑄(𝑦) ≡
𝑥 ≥ 0 𝑓(𝑥) = 𝑦
Untuk input x, isokuan x adalah kombinasi input untuk memproduksi ouput yang
sama seperti x, disebut 𝑄(𝑓 𝑥 ).
Marginal rate of subtitution pada teori konsumen adalah marginal rate of
technical subtitution (MRTS) pada teori produksi. MRTS menyatakan tingkat
dimana satu input dapat disubtitusikan dengan input lain tanpa mengubah jumlah
output yang diproduksi. MRTS antara input i dan j pada input x, disebut
MRTSij(x) yaitu rasio produk marjinal
𝑀𝑅𝑇𝑆𝑖𝑗 𝑥 =
𝜕𝑓(𝑥)/𝑑𝑥𝑖
𝜕𝑓(𝑥)/𝑑𝑥𝑗
X2
𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑎𝑡 𝑥 1 =
−𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 1
𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 2
𝑀𝑅𝑇𝑆(𝑥 1 ) = 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑎𝑡 𝑥 1
<0
−𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 1
𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 2
x1
𝑄(𝑓
𝑥1 )
X1
Gambar 10. The marginal rate of technical subtitution
<0
46
Pada kasus dua input, slope isokuan x1 pada titik x1. Secara umum, MRTS antara
dua input tergantung pada jumlah semua input yang digunakan.
4.
Indeks Harga Implisit (Deflator PDRB)
Indeks Harga Implisit (Deflator PDRB) adalah suatu indeks yang menunjukkan
tingkat perkembangan harga di tingkat produsen (producer price index)
(BPS,2012) Indeks Harga Implisit juga merupakan indeks yang menunjukkan
tingkat harga barang dan jasa yang biasa dibeli konsumen dalam jumlah yang
besar dan biasanya meliputi wilayah yang lebih luas. Indeks Harga Implisit
digunakan untuk melihat inflasi dari sisi perekonomian secara makro. Perubahan
Indeks Harga Implisit dapat dianggap lebih menggambarkan tingkat inflasi yang
menyeluruh dibandingkan dengan indikator inflasi lainnya seperti Indeks Harga
Konsumen (IHK) atau Indeks Sembilan Bahan Pokok. Hal ini disebabkan Indeks
Harga Implisit sudah mewakili semua jenis harga yaitu Harga Konsumen, Harga
Produsen, Harga Perdagangan Besar, Harga Eceran dan harga lainnya yang sesuai
dengan berbagai jenis harga yang dipergunakan dalam penghitungan nilai
produksi setiap Sektor (RPJMD KOTA BOGOR 2010-2014, 2014). Indeks Harga
Implisit (IHI) atau PDB deflator diperoleh dengan membagi PDB nominal (PDB
harga berlaku) dengan PDB riil (PDB harga konstan) pada tahun tertentu.
𝐼𝐻𝐼 =
𝑃𝐷𝑅𝐵𝐻𝐵
𝑋 100%
𝑃𝐷𝑅𝐵𝐻𝐾
Dimana:
PDRBHB : Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku
PDRBHK : Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan
47
Indeks Harga Implisit angka PDRB ditampilkan dalam dua versi yaitu atas dasar
harga konstan dan atas dasar harga berlaku. PDRB atas dasar harga konstan
dinilai dengan harga tahun dasar sehingga pertumbuhan yang digambarkan adalah
pertumbuhan riil. PDRB atas dasar harga konstan kadang diistilahkan dengan
PDRB riil. sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku dinilai dengan harga yang
berlaku pada tahun tersebut. akibatnya, pertumbuhan yang terjadi bukan lagi
merupakan pertumbuhan riil, tetapi sudah dipengaruhi oleh kenaikan harga.
PDRB atas dasar harga berlaku kadang diistilahkan dengan PDRB nominal.
Indeks Harga Implisit merupakan indeks yang dihitung dari PDRB atas dasar
harga berlaku dibagi PDRB atas dasar harga konstan. pertumbuhan indeks ini
digunakan sebagai indikator kenaikan harga secara umum akibat nilai tambah
barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi. dalam konteks ini, kenaikan
harga dimaksud diistilahkan dengan inflasi PDRB.
H.
Tinjauan Empiris (Penelitian terdahulu)
Hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga
kerja banyak diulas oleh para peneliti dengan membuat berbagai perkiraan angka
elastisitas tenaga kerja (sebagai suatu alat untuk mengukur hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan). Seyfried (2006) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif dan nyata
(significant) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja. Namun dampaknya tidak
secara langsung, perlu beberapa kuartal (lag) agar secara penuh bisa
mempengaruhinya. Kombinasi hubungan keduanya akan menghasilkan hubungan
48
yang substansial dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi penyerapan
tenaga kerja.
Siregar, dkk (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa paradoks
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi dalam jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan pengangguran melalui perluasan
kesempatan kerja dalam jangka panjang. Sumber munculnya paradoks pada
tenaga kerja agregat maupun sektor secara umum dipengaruhi oleh guncangan
harga maupun indikator makroekonomi seperti guncangan sukubunga, kurs rupiah
maupun karena ketidakefisienan yang ditunjukkan oleh tingginya biaya overhead
terhadap total (biaya ―siluman) pada Sektor Industri.
Sementara itu, Boltho dan Glyn (1995) di dalam penelitiannya di negara-negara
maju yang tergabung dalam Organization of Economic Community Development
(OECD) menemukan bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap PDB berkisar antara
0,50 sampai dengan 0,63. Angka intensitas tenaga kerja berkisar 0,5 tahun 19731979 naik menjadi 0,63 tahun 1982-1993, padahal nilai indikator ini sekitar 0,49
pada kurun waktu 1975-1982. Adanya variasi elastisitas tenaga kerja
menunjukkan bahwa interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan
tenaga kerja dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi dan kondisi ekonomi
suatu negara. Naik turunnya penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan misalnya
suatu perusahaan akan mengurangi karyawannya ketika mengalami kemunduran
dan akan meningkatkan karyawannya ketika mengalami kemajuan.
49
Agrawal (1996) mengemukakan bahwa para pekerja di Indonesia merupakan
pihak yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Industri
tumbuh sangat pesat sehingga banyak menciptakan lapangan kerja baru dengan
memberikan upah/gaji relatif tinggi. Namun dengan melimpahnya begitu banyak
tenaga kerja menimbulkan permasalahan seperti banyaknya pekerja anak (child
labor), kenaikan upah yang hanya 10 tahun sekali (saat itu), kurang
mendukungnya kondisi lingkungan kerja serta ditolaknya tenaga kerja perempuan
yang masih muda. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi yang dicapai disatu sisi
banyak menyerap tenaga kerja, namun disi lain menimbulkan permasalahan sosial
yang perlu ditangani secara serius.
Walterskirchen (1999) melakukan analisis hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di negara-negara yang tergabung dalam
Uni Eropa. Hasil penelitiananya menujukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja
di wilayah ini sekitar 0,65 dan dari hasil analisis runtun waktu menghasilkan
sekitar 0,8 pada kurun waktu yang sama dan sangat signifikan. Kenaikan
pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih tinggi dibandingkan tingkat produktifitas
yang dicapai dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Islam dan Nazara (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa untuk menyerap
tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 2 juta orang tiap tahunnya di
Indonesia dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,47 sampai dengan
4,68 persen. Elastisitas tenaga kerja tertinggi di Sektor Pertanian sekitar 1,22
diikuti oleh Sektor Perdagangan sekitar 1,11, Sektor Jasa sekitar 1,09 dan Sektor
50
Industri sekitar 0,77. Hal ini disebabkan adanya realokasi tenaga kerja dari sektor
Jasa ke Sektor Pertanian.
Islam (2004) menyatakan perlunya mengidentifikasi elemen pertumbuhan
ekonomi yang lebih berpihak kepada penduduk miskin sekaligus untuk
mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja diiringi
dengan peningkatan tingkat produktifitas. Hubungan antara pengentasan
kemiskinan, elastisitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan
bahwa ada dampak dari tenaga kerja dan pasar tenaga kerja terhadap pengurangan
penduduk miskin. Pembangunan mempunyai kontribusi positif terhadap
pengurangan kemiskinan melalui transformasi struktural tenaga kerja ke Sektor
Industri dan sektor lain selain pertanian, pendidikan dan meningkatnya partisipasi
angkatan kerja.
Choi (2007) dalam penelitiannya tentang identifikasi determinan struktural dari
elastisitas tenaga kerja (the structural determinants of employment elasticity)
preferensi dan parameter teknologi. Jadi teknologi penghematan tenaga kerja
(labor-saving technology) itu sendiri kemungkinan tidak bertanggung jawab
terhadap lambannya kenaikan tenaga kerja. Perlu dilihat dari sisi pasar tenaga
kerja (labor market) dan penawaran tenaga kerja (labor supply). Elastisitas dari
penawaran tenaga kerja terhadap upah menjadi faktor yang menentukan
penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
51
Suryadarma dkk (2007) menemukan bahwa Sektor Pertanian di Indonesia pada
tingkat provinsi mempunyai koefisien tertinggi di daerah perkotaan dan jumlah
tenaga kerja meningkat seiring dengan meingkatnya industry dikawasan daerah
perkotaan sehingga mengurangi jumlah orang bekerja di daerah perdesaan.
Jumlah tenaga kerja naik 0,7 persen karena meningkatnya Sektor Jasa sebesar 10
persen di daerah perkotaan, sementara kenaikan 10 persen Sektor Pertanian di
derah perdesaan akan meingkatkan sekitar 5 persen tenaga kerja.
Menurut Sitanggang dan Nachrowi (2004) Ditemukan hasil bahwa struktur
ekonomi Indonesia secara nasional mengalami perubahan dari sektor pertanian ke
sektor-sektor lainnya. Akan tetapi berdasarkan propinsi propinsi-propinsi
Bengkulu Gorontalo Jambi. Kalbar Kalsel Kalteng Lampung Maluku Malut NTB
NIT Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar dan Sumul masih bertumpu pada sektor
pertanian. Sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja walaupun
dengan upah yang lebih rendah dari upah di sektor-sektor lainnya.
Adanya peningkatan dan penurunan dalamjumlah penyerapan tenaga kerja ini
disebabkan oleh perubahan populasi nel migration output dan juga upah. Bahkan
terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja antar sektor dan antar propinsi.
Pudji (2002), menyatakan bawa Sektor pertanian masih merupakan tumpuan
penyediaan kesempatan kerja secara nasional. Pada periode tahun 1990 . 1996,
proporsi kesempatan kerja sektor pertanian mengalami penurunan, tetapi masih
tetap merupakan penyumbang kesempatan kerja dominan secara nasional.
Penyebab penurunan ini adalah kesempatan kerja di pedesaan masih terbatas
sementara terjadi peningkatan kualitas pendidikan juga ditemui perbedaan tingkat
52
upah diantara desa dan kota serta peluang mendapatkan pekerjaan di kota lebih
besar. Selain itu secara rata-rata pendapatan masyarakat pedesaan atas tiga daerah
penelitian mengalami penurunan dibandingkan perkotaan.
Sumarto, dkk (2004), menghasilkan regresi menunjukkan bahwa diantara tiga
sektor, pertanian ternyata merupakan sektor yang memiliki hubungan paling kuat
dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral dan penurunan kemiskinan,
dibandingkan pertumbuhan output di sektor industri dan sektor perdagangan.
Hasil penelitian mereka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan output di industri
dan perdagangan tidak penting bagi pengurangan kemiskinan. Sebaliknya dan
khususnya pertumbuhan sektor industri selama Orde Baru sudah terbukti sangat
berperan dalam keberhasilan Indonesia mengurangi kemiskinan dengan menyerap
banyak tenaga kerja berpendidikan rendah termasuk yang datang dari pertanian
(pedesaan). Namun demikian, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, pertanian
adalah sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Studi terakhir
dari Sumarto, dkk. (2004) menunjukkan lebih dari 50% dari penurunan
kemiskinan di tingkat propinsi dalam periode 1984-1996 adalah sumbangan dari
pertumbuhan output di pertanian. Sedangkan sumbangan dari pertumbuhan output
di industri terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan hanya marjinal.
53
Sinaga (2005) mengemukakan bahwa secara umum struktur lapangan pekerjaan
terbesar didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti oleh sektor industri
dan selanjutnya oleh sektor jasa. Dari hasil estimasi model yaitu Method of
Ordinary Least Squares (OLS) menjelaskan bahwa masing-masing variabel
memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja sektoral di Sumatera
Utara. PDRB Provinsi Sumatera Utara terhadap pertumbuhan Tenaga Kerja
Sektoral Provinsi Sumatera Utara memiliki tanda yang positif bersifat inelastis
dan signifikan. Hal ini menunjukkan PDRB yang berasal dari sektor pertanian
adalah leading sector di Sumatera Utara selama tahun 1987-2002 adalah penyerap
tenaga kerja yang terbesar dan sektor pertanian ini merupakan salah satu sektor
yang mampu mengurangi pengangguran di masa kini.
Siregar (2006), melakukan penelitian sekunder tentang ketenagakerjaan yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tenaga kerja dan implikasinya
terhadap sektor pertanian di Kabupaten Bogor, hasilnya menunjukkan bahwa
untuk sektor pertanian penyerapan tenaga kerja terdidik dipengaruhi secara
signifikan oleh investasi sektor pertanian dan pengangguran terdidik, sedangkan
penyerapan tenaga kerja tidak terdidik di sektor pertanian dipengaruhi secara
nyata oleh upah, investasi, dan PDRB sektor pertanian, serta kebijakan otonomi
daerah. Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian juga signifikan dipengaruhi
oleh upah, sementara upah disetiap sektor dipengaruhi oleh UMR, selanjutnya
produktivitas tenaga kerja, PDRB dan penyerapan tenaga kerja sektoral hanya
berpengaruh nyata terhadap upah di sektor jasa.
54
Situmorang (2005) menganalisis tentang elastitisitas kesempatan kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan suku bunga di Indonesia selama tahun
1990-2003. Kesempatan kerja atau permintaan kerja dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi dan upah minimum. Suku bunga tidak berpengaruh nyata
terhadap kesempatan kerja. Respon kesempatan kerja terhadap pertumbuhan
ekonomi bersifat elastis, sedangkan respon kesempatan kerja terhadap upah
minimum bersifat inelastis, di mana kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1
persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam upah minimum akan menyerap
kesempatan kerja sebesar 0,2 persen, sedangkan kenaikan upah minimum sebesar
1 persen dapat meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,026 persen. Respon
kesempatan kerja terhadap output yang bersifat sangat elastis terjadi di sektor
industri dan sektor lainnya Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kenaikan upah
minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal
perkotaan, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih (white collar worker).
Temuan yang tidak kalah pentingnya adalah dampak negatif dari upah minimum
sangat dirasakan oleh kelompok yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar
tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja
berpendidikan rendah. Sedangkan pekerja kerah putih adalah satu-satunya
kategori pekerja yang diuntungkan dari kenaikan upah minimum dalam hal
penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan adanya efek substitusi dari upah
minimum terhadap penyerapan tenaga kerja dari berbagai jenis pekerja.
55
Berdasarkan penelitian Das (2004) tentang dampak kebijakan upah minimum
terhadap pasar tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang (terutama yang
berpendapatan rendah), sebagian besar angkatan kerja bekerja di sektor formal
dan upah minimum secara keseluruhan tidak hanya berdampak terhadap lapangan
kerja, tetapi juga berimplikasi mendorong para pekerja keluar dari sektor formal
dan ke dalam sektor formal, terutama untuk kelompok pekerja yang rentan, seperti
para pekerja berketerampilan, berkeahlian dan berpengalaman rendah, para
pekerja di bawah usia kerja (usia muda) dan para wanita. Penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa jika upah minimum dinaikkan melebihi tingkat yang sedang,
maka ia akan mengurangi jumlah pekerja yang usia muda, pekerja yang
berketerampilan rendah dan pekerja wanita, namun ada peningkatan pekerja yang
ahli, terampil dan berpengalaman. Dampak-dampak ini khususnya tampak di
perusahaan-perusahaan kecil. Di banyak negara berkembang, peningkatan jumlah
para pekerja pemuda yang akan memasuki pasar tenaga kerja diseimbangkan.
Berdasarkan penelitian dari lembaga peneliti SEMERU (2001) tentang dampak
kebijakan upah minimum terhadap tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di
daerah perkotaan Indonesia, kenaikan tingkat upah minimum akan mengurangi
sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Hal ini juga
menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan
mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang
lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling
keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih
yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat
modal.
56
Penelitian yang dilakukan Akmal (2010) menunjukan selama tahun 2003-207,
secara umum terjadi peningkatan tenaga kerja di Indonesia. Jawa Barat, Jawa
Timur dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang memiliki tingkat penyerapan
tenaga kerja yang paling tinggi. Variabel PDRB secara signifikan berpengaruh
positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan PDRB akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus.
Variabel UMP secara signifikan
berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan UMP akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus. Variabel investasi secara
signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan
investasi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus.
Download