II. TINJAUAN PUSTAKA A. Peranan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pembangunan berbasis ketenagakerjaan tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat saja dilakukan dengan, misalnya memfokuskan pada sektor-sektor padat modal, tanpa harus diikuti penciptaan tenaga kerja yang memadai. Pengalaman pembangunan selama Orde Baru memberikan ilustrasi sepintas bagaimana mudahnya memicu pertumbuhan melalui pendekatan itu. Pernyataan di atas sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak penting. Bahkan dalam perpektif pembangunan manusia (human development) pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means) bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang cukup bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain yang penting ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi 20 peningkatan kapabilitas manusia jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Gambar 5. Pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan ketenagakerjan Sumber: UNDP, 1996. 21 Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang memungkinkannya ―membiayai peningkatan kualitas manusia anggotanya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada kualitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan dapat (tetapi tidak bersifat otomatis) mempengaruhi ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja). Dengan kata lain, secara teoritis, pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5. B. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus menunjukkan peningkatan, maka itu menggambarkan bahwa perekonomian negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik. 22 Terjadinya pertumbuhan ekonomi akan menggerakan sektor-sektor lainnya sehingga dari sisi produksi akan memerlukan tenaga kerja produksi. Suatu pandangan umum menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (growth) berkorelasi positif dengan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment rate). Tetapi ada juga dugaan bahwa dengan produktivitas yang tinggi bisa berarti akan lebih sedikit tenaga kerja yang dapat diserap. Berpijak dari teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Solow tentang fungsi produksi agregat (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2004) menyatakan bahwa ouput nasional (sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi disimbolkan dengan Y) merupakan fungsi dari modal (kapital=K) fisik, tenaga kerja (L) dan kemajuan teknologi yang dicapai (A). Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi), dalam arti bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi diduga akan membawa dampak positif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja seperti ditunjukkan oleh model berikut: Y = A.F(K,L) di mana Y adalah output nasional (kawasan), K adalah modal (kapital) fisik, L adalah tenaga kerja, dan A merupakan teknologi. Y akan meningkat ketika input (K atau L, atau keduanya) meningkat. Faktor penting yang mempengaruhi pengadaan modal fisik adalah investasi. Y juga akan meningkat jika terjadi perkembangan dalam kemajuan teknologi yang terindikasi dari kenaikan A. Oleh karena itu, pertumbuhan perekonomian nasional dapat berasal dari pertumbuhan input dan perkembangan kemajuan teknologi—yang disebut juga sebagai pertumbuhan total faktor produktivitas. 23 Model Solow dapat diperluas sehingga mencakup sumberdaya alam sebagai salah satu inputnya. Dasar pemikirannya yaitu output nasional tidak hanya dipengaruhi oleh K dan L saja tetapi juga dipengaruhi oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam lainnya seperti cadangan minyak. Perluasan model Solow lainnya adalah dengan memasukkan sumberdaya manusia sebagai modal (human capital). Dalam literatur, teori pertumbuhan seperti ini terkategori sebagai teori pertumbuhan endogen dengan pionirnya Lucas dan Romer. Lucas menyatakan bahwa akumulasi modal manusia, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan pertumbuhan ekonomi; sedangkan Romer berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Secara sederhana, dengan demikian, fungsi produksi agregat dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut: Y = A.F(K, H, L) Pada persamaan di atas, H adalah sumberdaya manusia yang merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Menurut Mankiw, Romer, dan Weil (1992) kontribusi dari setiap input pada persamaan tersebut terhadap output nasional bersifat proporsional. Suatu negara yang memberikan perhatian lebih kepada pendidikan terhadap masyarakatnya ceteris paribus akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari pada yang tidak melakukannya. Dengan kata lain, investasi terhadap sumberdaya manusia melalui kemajuan pendidikan akan menghasilkan pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi 24 yang lebih tinggi. Apabila investasi tersebut dilaksanakan secara relatif merata, maka tingkat penyerapan tenaga kerja akan semakin meningkat. C. Pertumbuhan Berpihak kepada Penduduk Miskin (Pro-Poor Growth) Masalah kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan suatu negara tetapi sudah menjadi masalah global serta merupakan salah satu target dari Millenium Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan berbagai program pengentasan kemiskinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Jamkeskin), Program Perlindungan Sosial (PPLS), dan lain-lain. Kebijakan ini merupakan strategi pemerintah agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai sebagian bisa dinikmati oleh penduduk miskin (Pro-Poor Growth). Pengertian Pro-Poor Growth masih dalam konsensus dan salah satu penjelasan tentang hal ini dikemukakan oleh Kakwani and Pernia (2000) sebagai berikut: “...ADB‟s Fighting Poverty in Asia and The Pacific: The Poverty Reduction Strategy indicates that growth is pro-poor when it is labour absorbing and accompanied by policies and programs that mitigate inequalities and facilitate income and employment generation for the poor, particularly women and other traditionally excluded groups”. (―...ADB (Asian development Bank/Bank Pembangunan Asia) sedang bertarung melawan kemiskinan di Asia-Pasifik: Strategi pengentasan kemiskinan mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih berpihak kepada penduduk miskin melalui penyerapan tenaga kerja diiringi program dan kebijakan 25 mengurangi ketidakmerataan serta memfasilitasi pendapatan dan generasi pekerja berikutnya diperuntukan bagi penduduk miskin, khususnya wanita dan kelompok tradisional lainnya.) (terjemahan bebas peneliti). Menurut pandangan growth pro-poor, penduduk miskin seharusnya memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan ikut berperan serta dalam proses kegiatan ekonomi. Kraay (2006) menemukan tingginya laju pertumbuhan rata-rata pendapatan dan pola pertumbuhan dari pengentasan kemiskinan melalui pendapatan sangat relevan khususnya pada penjelasan tentang perubahan kemiskinan berdasarkan analisis berbagai negara. Dia juga menyarankan agar pertumbuhan rata-rata pendapatan merupakan titik awal (starting point) dalam mengembangkan pro-poor growth. “…there are three potential sources of pro-poor growth: (a) a high growth rate of average incomes; (b) a high sensitivity of poverty to growth in average income; and (c) a poverty-reducing pattern of growth in relative income. [..] The differences in growth in average incomes are the dominant factor explaining changes in poverty [..] the search for pro-poor growth should begin by focusing on determinant of growth in average incomes”. (―…ada tiga sumber potensi dari pro-poor growth: (a) tingginya laju pertumbuhan rata-rata pendapatan; (b) tinginya tingkat sensitivitas kemiskinan dari rata-rata pendapatan; dan (c) pola pertumbuhan pengentasan kemiskinan dalam pendapatn relatif. [..] Perbedaan pertumbuhan dalam rata-rata pendapatan merupakan faktor dominan dalam menjelaskan perubahan dalam kemiskinan [..] pencarian pro-poor growth seharusnya dimulai dengan memfokuskan pada determinan pertumbuhan dari rata-rata pendapatan. 26 Sejalan dengan pemikiran Kraay, (Ravallion and Chen, 2003) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan kemiskinan merupakan alat ukur yang lebih baik untuk pro-poor growth dengan menggunakan quintil dari distribusi pendapatan. Dengan mennggunkan kurva pertumbuhan, distribusi pertumbuhan dapat ditelusuri berdasarkan kurun waktu yang sesuai. Mereka menggunakan Negara China sebagai sampel dan menemukan bahwa laju pro poor growth sekitar 4 persen sehingga China merupakan negara yang paling berhasil dalam menngurangi penduduk miskin. D. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran (Okun’s Law) Arthur Okun (1929 – 1979) adalah salah seorang pembuat kebijakan paling kreatif pada era sehabis perang. Dia memperhatikan faktor-faktor pembangunan yang membantu Amerika Serikat menelusuri dan mengatur usahanya. Ia membuat konsep output potensial dan menunjukkan hubungan antara output dan penganggur. Penganggur biasanya bergerak bersamaan dengan output pada siklus bisnis. Pergerakan bersama dari output dan pengangguran yang luar biasa ini berbarengan dengan hubungan numerikal yang sekarang dikenal dengan nama Hukum Okun. ― Hukum Okun menyatakan bahwa untuk setiap penurunan 2 persen GDP yang berhubungan dengan GDP potensial, angka pengangguran meningkat sekitar 1 persen‖. Hukum Okun menyediakan hubungan yang sangat penting antara pasar output dan pasar tenaga kerja, yang menggambarkan asosiasi antara pergerakan jangka pendek pada GDP riil dan perubahan angka pengangguran. ‖ (Samuelson and Nordhaus, 2004) 27 Pada teori hukum okun yang menyatakan bahwa terjadi hubungan negatif antara pertumbuhan produk dengan pengangguran. Di dalam hukum okun menyebutkan bahwa tingkat perubahan di angka pengangguran dengan tingkat pertumbuhan GDP yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Sumber : Mankiw (2003) Gambar 6. Hukum Okun. Menurut N. Gregory Mankiw (2003) hukum okun adalah relasi negatif antara pengangguran dan GDP. Hukum okun merupakan pengingat bahwa faktor-faktor yang menentukan siklus bisnis pada jangka pendek sangat berbeda dengan faktorfaktor yang membentuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hukum Okun (Okun’s law) merupakan hubungan negatif antara pengangguran dan GDP, yang mengacu pada penurunan dalam pengangguran sebesar satu persen dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan dalam GDP yang mendekati dua persen. 28 E. Ketenagakerjaan Tenaga kerja adalah modal bagi bergeraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Dalam kegiatan proses produksi, tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting, karena manusia yang menggerakan semua sarana produksi seperti bahan mentah, tanah , air dan sebagainya. Meningkatnya jumlah penduduk tidak hanya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, perumahan tapi juga perlunya perluasan kesempatan kerja. Penduduk sebagai sumber dari persediaan tenaga kerja akan menimbulkan suatu dilema bila jumlahnya tidak seimbang dengan kemampuan sektor ekonomi. Dilema yang terjadi adalah banyaknya pengangguran maupun setengah pengangguran dan paling tidak akan banyak terjadi ketidaksesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan UU No. 25 tahun 2007 tentang ketenagakerjaan, ketetapan batas usia kerja penduduk Indonesia adalah 15 tahun. Payaman Simanjuntak (2001) menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan melakukan kegiatan lain seperti bersekolah atau mengurus rumah tangga, dengan batasan umur 15 tahun. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Aris Ananta (1990), 29 Sitanggang dan Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah sebagian penduduk yang dapat menghasilkan barang dan jasa bila terdapat permintaan terhadap barang dan jasa. F. Permintaan Tenaga Kerja Fokus pengkajian diasumsikan ketika perusahaan berada pada pasar persaingan sempurna, baik itu dalam pasar input (tenaga kerja) maupun dalam pasar output (barang). Perusahaan berada pada pasar persaingan sempurna dalam pasar input apabila perusahaan tersebut berkeyakinan bahwa jumlah produksi dan penjualannya tidak akan berpengaruh terhadap harga pasar yang berlaku. Perusahaan yang bersaing akan memperhatikan harga pasar untuk produknya dan akan membuat perencanaan yang sesuai. Dengan asumsi bahwa harga pasar akan tetap sama, terlepas dari banyak atau sedikitnya jumlah penjualan. Salah satu jalan untuk menginterpretasikan fakta bahwa perusahaan sebagai penerima harga adalah untuk menduga bahwa perusahaan memiliki pilihan mengenai harga, dimana perusahaan menjual output dan harga dimana perusahaan menggunakan input. Jika perusahaan mencoba untuk menjual output pada harga yang lebih tinggi daripada harga yang berlaku, maka tidak akan ada output yang terjual. Karena dalam pasar persaingan output, konsumen telah mengetahui dengan jelas informasi mengenai harga terendah dari produk sejenis. Sementara itu, perusahaan dapat menjual semua produknya sesuai dengan harga yang berlaku, jadi produk tidak memiliki dorongan untuk mengisi 30 kekurangan. Oleh sebab itu, hal ini selalu merupakan yang terbaik bagi perusahaan, untuk memilih harga outputnya sama dengan harga yang berlaku. Dengan demikian, perusahaan seolah-olah sebagai penerima harga. Sama halnya dengan perusahaan yang tidak dapat mengurangi pembayaran upah kepada tenaga kerja (input) dibawah tingkat upah yang berlaku, karena di dalam pasar persaingan input, pemilik input (tenaga kerja) yang akan menawarkan (menjual) jasa (input) mereka ke perusahaan lain, dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Dan karena sekali lagi perusahaan tidak memiliki dorongan untuk membayar input melebihi tingkat upah yang berlaku, maka perusahaan secara optimal akan membayar tenaga kerja (input) sesuai dengan tingkat upah yang berlaku. Keuntungan adalah perbedaan antara pendapatan dari penjualan output dan biaya untuk memperoleh faktor produksinya. Perusahaan kompetitif dapat menjual setiap unit output pada harga pasar, p. Keuntungan perusahaan adalah fungsi dari output, R(y)=py. Jika perusahaan mempertimbangkan tingkat output y0. Jika x0 adalah vektor dari kelayakan input untuk memproduksi y0. Dan jika w adalah vektor untuk harga faktor produksi, biaya penggunaan x0 untuk memproduksi y adalah w.x0 . Hal ini akan menghasilkan keuntungan sebesar py0 – w.x0. Ada dua hal yang perlu diperhatikan disini. Pertama, output y0 mungkin bukanlah tingkat output terbaik bagi perusahaan untuk diproduksi. Kedua, meskipun y0 merupakan tingkat output terbaik, namun pada tingkat input x0 mungkin bukanlah cara terbaik untuk memproduksi output. Oleh karena perusahaan harus memutuskan baik tingkat output untuk memproduksi maupun seberapa banyak faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi output. 31 Diasumsikan tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimisasi keuntungan. Oleh karena itu Perusahaan akan memilih tingkat output dan kombinasi faktor produksi untuk memproduksi, dapat tulis sebagai berikut: max py – w . x s.t. f(x) ≥ y, (x,y) ≥ 0 Dimana f(x) adalah fungsi produksi. Rumus diatas menjelaskan seberapa banyak output perusahaan yang akan terjual dan seberapa banyak input yang akan digunakan perusahaan. Kemudian f(x) ≥ y akan diganti dalam kendala kesetaraan, karena fungsi produksi cenderung meningkat. Karena y = f (x), maka didapatkan rumus maksimisasi keuntungan dengan input choice, sebagai berikut: max p f(x) – w . x 𝑥 ∈ ℝ𝑛+ Diasumsikan masalah maksimisasi keuntungan ini memiliki pemecahan, pada vektor input x*>> 0. (maksimisasi keuntungan adalah jumlah dari produksi output y*=f(x*)). Lalu first order condition (FOC) mengharuskan persamaan maksimisasi sama dengan nol karena tidak terdapat kendala. 𝑝 𝜕𝑓 (𝑥 ∗ ) 𝜕𝑥 𝑖 = 𝑤𝑖 for every i=1,...,n Istilah disebelah kiri adalah produk harga output dengan marginal product dari input i, yang sering disebut dengan marginal revenue product dari input i. MRP menunjukan peningkatan pendapatan setiap penambahan per unit input i. Pada saat optimum, MRP harus sama dengan biaya per unit i, yaitu wi. (P. MPi =MRP) 32 Diasumsikan bahwa semua wi adalah positif , akan digunakan FOC yang sebelumnya untuk menghasilkan persamaan antara rasio: 𝜕𝑓 (𝑥 ∗ )/𝜕𝑥 𝑖 𝜕𝑓 (𝑥 ∗ )/𝜕𝑥 𝑗 = 𝑤𝑖 𝑤𝑗 , for all i ,j MRTS antara kedua input sama dengan rasio dari kedua input tersebut. MRTS serupa dengan pemilihan minimisasi biaya input. Oleh karena itu MRTS menekankan bahwa maksimisasi keuntungan memerlukan minimisasi biaya dalam proses produksi. Dimungkinkan untuk menyusun kembali masalah maksimisasi keuntungan perusahaan dengan menekankan pentingnya minimisasi biaya. Setelah memaksimalkan keuntungan dalam satu langkah, kemudian lakukan prosedur dua langkah berikut ini . Pertama, hitung setiap kemungkinan tingkat output kemudian pilihlah output yang memaksimalkan perbedaan antara pendapatan dan biaya. Langkah kedua adalah biaya terkecil produk y unit output (output choice) berasal dari fungsi biaya, c ( w, y). sebagai berikut: max py = c ( w . x ). y≥0 Profit keuntungan pada y*, dimana harga sama dengan biaya marginal dan biaya marginal tidak menurun. Jika y*>0 maka output optimal dan memenuhi FOC 𝑝− 𝑑 𝑐(𝑤,𝑦 ∗ ) 𝑑𝑦 = 0 33 Atau output choice sehingga harga sama dengan biaya marginal (P≡MR=MC). SOC membutuhkan biaya marginal yang tidak menurun pada saat optimum, atau d2c(y*)/dy2 ≥ 0 . Price, cost 𝑚𝑐 𝑦 = 𝑑𝑐(𝑤, 𝑦) 𝑑𝑦 p 𝑑𝑐 (𝑦∗) 𝑑𝑐 (𝑦′) 𝑑𝑦 𝑑𝑦 <0 >0 Output y’ y* Gambar 7. Pemilihan output (output choice) untuk perusahaan kompetitif. Pemilihan output optimal, y*≡ y (p, w) , disebut fungsi output supply perusahaan dan pemilihan input optimal, x*≡ x (p, w) , disebut fungsi input demand perusahaan. Fungsi input demand adalah fungsi permintaan penuh (baku) karena tidak seperti conditional input demand, input demand mencapai tujuan utama perusahaan , yaitu memaksimalkan keuntungan perusahaan. Fungsi keuntungan merupakan alat yang berguna untuk mempelajari fungsi supply dan fungsi demand. 34 Fungsi keuntungan perusahaan dipengaruhi oleh harga input dan harga output yang disebut fungsi nilai maksimum (maximum-value). π (p, w) ≡ max py – w . x s.t. f(x) ≥ y, (x,y) ≥ 0 Kegunaan dari fungsi keuntungan bergantung pada kondisi tertentu. Dibawah ini akan menunjukan increasing return dan dimisalkan x’ dan y’ = f(x’) memaksimalkan keuntungan pada p dan w dengan increasing returns. 𝑓 𝑡𝑥 ′ > 𝑡𝑓 (𝑥 ′ ) for all t>1 Dikalikan dengan p > 0 , dan dikurangi dengan w. tx’ pada kedua sisi dan menggunakan t > 1 serta keuntungan yang tidak negatif (non negativity) dihasilkan 𝑝𝑓 𝑡𝑥 ′ − 𝑤 . 𝑡𝑥 ′ > 𝑝𝑓 𝑥 ′ − 𝑤 . 𝑥′ for all t>1 Rumus diatas menyatakan bahwa keuntungan yang tinggi selalu bisa di dapatkan dengan meningkatkan input dalam proporsi t > 1 ,bertentangan dengan asumsi x’ dan f(x’) yang memaksimalkan keuntungan. Memperhatikan bahwa dalam kasus constant return, tidak ada masalah yang timbul jika tingkat keuntungan maksimal sama dengan nol. Sehingga, skala operasi perusahaan adalah tak tentu (indeterminate) karena (y’, x’) dan (ty’, tx’) menyatakan tingkat yang sama dalam keuntungan nol (zero profit) untuk semua t > 0. 35 Keuntungan yang diperoleh perusahaan akan maksimal pada saat marginal cost (MC) sama dengan marginal revenue (MR), karena pada pasar persaingan sempurna maka marginal revenue sama dengan harga. Dapat dirumuskan sebagai berikut: MC = MR = P Apabila tenaga kerja yang digunakan lebih banyak, maka akan menaikkan harga per unitnya, disebut juga upah nominal (W). Output yang meningkat karena MPPL mengakibatkan biaya per unit dari output turut meningkat, atau biaya marginal (MC) = W/MPPL. Dengan demikian kondisi profit maximization, dapat ditulis: 𝑊 = 𝑀𝑃𝑃𝐿 𝑃 Variabel sebelah kiri pada persamaan (2) adalah perbandingan tingkat upah dengan tingkat harga barang yang disebut dengan upah riil. Artinya, komoditas per orang per periode waktu, yang menunjukkan bahwa W memiliki ukuran per orang per periode waktu dan P memiliki ukuran mata uang per komoditas. Jadi: 𝑅𝑝 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑊 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 = = 𝑘𝑜𝑚𝑜𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑃 𝑅𝑝 𝑘𝑜𝑚𝑜𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 Upah riil adalah pengembalian waktu kerja terhadap komoditas. Dengan kata lain adalah kemampuan daya beli terhadap komoditas dari tingkat upah. Misalkan upah riil adalah (W/P), hal ini adalah ukuran sejak keduanya yaitu tingkat upah nominal dan tingkat harga barang adalah dikendalikan secara bersama-sama oleh upah riil (diasumsikan bahwa perusahaan adalah penerima harga di dalam pasar 36 tenaga kerja dan pasar barang). Pada gambar 8 apabila tingkat upah riil turun ke (W/P)2 maka tenaga kerja L2 yang digunakan, begitu seterusnya. Kombinasi (W/P)1 dan L1 dan (W/P)2 dan L2 adalah indikasi harga dan jumlah tenaga kerja yang diminta. Kemudian disimpulkan bahwa kurva permintaan tenaga kerja adalah identik dengan kurva MPPL. MPPL W,P MPPL1 (W,P)1 MPPL2 (W,P)2 Ld = Ld (W/P,K) 0 L1 L2 Gambar 8. Kurva Permintaan Tenaga Kerja. Apabila perusahaan memiliki persediaan modal yang besar, kurva permintaan tenaga kerja akan meningkat karena pada tingkat tenaga kerja yang digunakan, marginal physical labour adalah lebih tinggi ketika persediaan modal lebih besar. Ini memiliki hubungan dengan kenyataan,pada tingkat tenaga kerja berapapun, setiap tenaga kerja memiliki bagian yang besar dari tingkat modal untuk bekerja dengan ketika ukuran jumlah modal meningkat. Kemudian dapat ditulis apa yang telah ditetapkan dalam bentuk persamaaan sebagai berikut: 𝐿𝑑 = 𝐿𝑑 𝑊 , 𝐾 , 𝐿𝑑1 < 0, 𝐿𝑑2 > 0 𝑃 37 Permintaan tenaga kerja adalah fungsi dari upah riil dan tingkat modal. Karena tingkat modal diasumsikan konstan, maka perubahan permintaan tenaga kerja tidak pernah dihasilkan dari perubahan tingkat modal. Variasi dalam permintaan tenaga kerja akan dihasilkan dari perubahan tingkat upah riil. Tanda Ld menunjukkan ‖penurunan fungsi permintaan tenaga kerja menanggapi perubahan upah riil adalah negatif‖. G. Faktor - Faktor Penyerapan Tenaga Kerja 1. PDRB riil (Produk Domestik Regional Bruto) Produk Domestik Bruto (PDB ) atau dalam bahasa Inggris disebut Gross Domestic Product, merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi dan kinerja pembangunan, di suatu negara dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Sedangkan untuk mengukur kondisi ekonomi suatu daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota, digunakan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto/Gross Domestic Regional Product) PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar, sebagai contoh 38 perhitungan PDB dan PBRB di Indonesia menggunakan tahun dasarnya yaitu tahun 2000. Penentuan PDRB atas harga konstan, biasanya diperlukan untuk mengeluarkan pengaruh inflasi. PDRB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Sementara itu, PDRB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor harga. Adapun kegunaan PDRB adalah : a. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral, dengan melihat prosentase pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan. b. Tingkat Kemakmuran Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun tingkat kemakmuran dibanding dengan daerah lain, tingkat kemakmuran suatu wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya. Tingkat kemakmuran ini tidak mengalami perubahan apabila laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari pada pertumbuhan ekonominya. c. Tingkat Inflasi atau Deflasi Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam waktu tertentu, dengan membandingkan antara PDRB atas dasar berlaku dan PDRB atas dasar konstan, dapat diperoleh suatu indeks implisit yang bisa menggambarkan kenaikan suatu penurunan harga barang dan jasa. 39 d. Struktur Perekonomian Mengetahui gambaran struktur perekonomian daerah, PDRB dapat digunakan sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu dengan menyusun peranan masingmasing sektor/lapangan usaha e. Potensi Suatu Wilayah Mengetahui potensi suatu daerah terhadap regional secara keseluruhan maupun sektoral. Dengan melihat peranan sektoral dalam suatu wilayah kabupaten atau peranan keseluruhan suatu wilayah propinsi. Dengan demikian maka pendapatan regional sangat bermanfaat bagi perencana maupun pengambil keputusan, baik yang berhubungan dengan rencana pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang. Perhitungan PDB maupun PDRB secara konseptual menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. a. Pendekatan Produksi: Perhitungan PDRB dengan pendekatan produksi merupakan adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB menurut lapangan usaha dikelompokkan dalam 9 sektor ekonomi sesuai dengan International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) 1) Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Sektor Pertambangan dan Penggalian, 3) Sektor Industri Pengolahan, 4) Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih, 5) Sektor Konstruksi, 6) Sektor Perdagangan, Hotel dan 40 Restoran, 7) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. 8) Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan, 9) Jasa-Jasa b. Pendekatan Pengeluaran: Perhitungan PDRB bersasarkan pendekatan pengeluaran/penggunaan dikelompokkan dalam 6 komponen yaitu: 1). Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga, 2). Pengeluaran Konsumsi Pemerintah,3). Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 4). Perubahan Inventori. ,5). Ekspor Barang dan Jasa. , 6). Impor Barang dan Jasa. c. Pendekatan Pendapatan: Perhitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi) Produk Nasional Bruto (PNB) adalah PDB ditambah dengan pendapatan neto dari luar negeri. Pendapatan neto luar negeri adalah pendapatan atas faktor produksi (tenaga kerja dan modal) milik penduduk Indonesia yang diterima dari luar negeri dikurangi dengan pendapatan yang sama milik penduduk asing yang diperoleh di Indonesia. 41 Pendapatan Nasional adalah PNB dikurangi dengan pajak tidak langsung (neto) dan penyusutan. Pajak tidak langsung neto adalah pajak tidak langsung dikurangi dengan subsidi pemerintah. Indeks implisit PDB merupakan rasio antara PDB harga Berlaku dengan PDB harga konstan. Deflator PDB adalah laju pertumbuhan indeks implisit PDB. Ekspor barang dan impor merupakan kegiatan transaksi barang dan jasa antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain. 2. Kekakuan Upah (Wage Rigidity) Indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity) adalah kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. 42 Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran. Sumber: Mankiw (2003) Gambar 9. Kurva Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja. Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 9, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003). 43 Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari Undang-Undang No, 13 Tahun 2003 tentang UMR atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang ini menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah. Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi, pekerja akan menuntut kenaikan upah yang ―memaksa‖ perusahaan untuk meningkatkan upah, karena adanya biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah tidak dikabulkan perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi). 44 3. Sewa Modal Perusahaan-perusahaan menggunakan modal, bersamaan dengan tenaga kerja, untuk memproduksi barang dan jasa untuk dijual. Tujuan mereka adalah memaksimalkan keuntungan. Dalam memutuskan berapa banyak modal yang digunakan dalam produksi, perusahaan harus menyeimbangkan kontribusi yang dihasilkan dari tambahan modal pada pendapatan mereka dengan biaya penggunaan tambahan modal. Produk marjinal modal (marginal product of capital) adalah kenaikan output yang diproduksi dengan menggunakan 1 unit tambahan modal dalam produksi. Biaya sewa modal adalah biaya menggunakan 1 unit tambahan modal dalam produksi. (Perhatikan bahwa kedua konsep merupakan arus). Bagi perusahaan, membeli atau menyewa modal, biaya sewa adalah pengukuran yang tepat untuk opportunity cost. Selama nilai marginal product of capital di atas biaya sewa, akan membuat perusahaan menambah stok modalnya. Dengan demikian perusahaan akan tetap berinvestasi hingga nilai output yang diproduksi dari tambahan 1 unit tambahan modal sama dengan biaya menggunakan modal tersebut/biaya sewa modal (rental cost of capital). Fungsi produksi 𝑓 ∶ ℝ𝑛+ ⟶ ℝ+ , cenderung meningkat dan cuasiconcave pada ℝ𝑛+dan 𝑓 0 = 0. Ketika fungsi produksi diturunkan maka akan menjadi 𝜕𝑓 𝑥 /𝜕𝑥𝑖 , disebut produk marginal input i dan menentukan tingkat perubahan output setiap pertambahan unit input i. Jika f cenderung meingkat dan diturunkan maka hampir semua input. 𝜕𝑓 𝑥 𝜕𝑥 𝑖 > 0, untuk 45 Pada setiap tingkat output tetap, y, kombinasi input untuk memproduksi y unit output disebut juga isokuan (isoquant). Isokuan adalah tingkatan kombinasi f, dapat ditulis 𝑄 (𝑦). 𝑄(𝑦) ≡ 𝑥 ≥ 0 𝑓(𝑥) = 𝑦 Untuk input x, isokuan x adalah kombinasi input untuk memproduksi ouput yang sama seperti x, disebut 𝑄(𝑓 𝑥 ). Marginal rate of subtitution pada teori konsumen adalah marginal rate of technical subtitution (MRTS) pada teori produksi. MRTS menyatakan tingkat dimana satu input dapat disubtitusikan dengan input lain tanpa mengubah jumlah output yang diproduksi. MRTS antara input i dan j pada input x, disebut MRTSij(x) yaitu rasio produk marjinal 𝑀𝑅𝑇𝑆𝑖𝑗 𝑥 = 𝜕𝑓(𝑥)/𝑑𝑥𝑖 𝜕𝑓(𝑥)/𝑑𝑥𝑗 X2 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑎𝑡 𝑥 1 = −𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 1 𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 2 𝑀𝑅𝑇𝑆(𝑥 1 ) = 𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑎𝑡 𝑥 1 <0 −𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 1 𝜕𝑓 (𝑥 1 )/𝑑𝑥 2 x1 𝑄(𝑓 𝑥1 ) X1 Gambar 10. The marginal rate of technical subtitution <0 46 Pada kasus dua input, slope isokuan x1 pada titik x1. Secara umum, MRTS antara dua input tergantung pada jumlah semua input yang digunakan. 4. Indeks Harga Implisit (Deflator PDRB) Indeks Harga Implisit (Deflator PDRB) adalah suatu indeks yang menunjukkan tingkat perkembangan harga di tingkat produsen (producer price index) (BPS,2012) Indeks Harga Implisit juga merupakan indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang biasa dibeli konsumen dalam jumlah yang besar dan biasanya meliputi wilayah yang lebih luas. Indeks Harga Implisit digunakan untuk melihat inflasi dari sisi perekonomian secara makro. Perubahan Indeks Harga Implisit dapat dianggap lebih menggambarkan tingkat inflasi yang menyeluruh dibandingkan dengan indikator inflasi lainnya seperti Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Sembilan Bahan Pokok. Hal ini disebabkan Indeks Harga Implisit sudah mewakili semua jenis harga yaitu Harga Konsumen, Harga Produsen, Harga Perdagangan Besar, Harga Eceran dan harga lainnya yang sesuai dengan berbagai jenis harga yang dipergunakan dalam penghitungan nilai produksi setiap Sektor (RPJMD KOTA BOGOR 2010-2014, 2014). Indeks Harga Implisit (IHI) atau PDB deflator diperoleh dengan membagi PDB nominal (PDB harga berlaku) dengan PDB riil (PDB harga konstan) pada tahun tertentu. 𝐼𝐻𝐼 = 𝑃𝐷𝑅𝐵𝐻𝐵 𝑋 100% 𝑃𝐷𝑅𝐵𝐻𝐾 Dimana: PDRBHB : Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku PDRBHK : Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan 47 Indeks Harga Implisit angka PDRB ditampilkan dalam dua versi yaitu atas dasar harga konstan dan atas dasar harga berlaku. PDRB atas dasar harga konstan dinilai dengan harga tahun dasar sehingga pertumbuhan yang digambarkan adalah pertumbuhan riil. PDRB atas dasar harga konstan kadang diistilahkan dengan PDRB riil. sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku dinilai dengan harga yang berlaku pada tahun tersebut. akibatnya, pertumbuhan yang terjadi bukan lagi merupakan pertumbuhan riil, tetapi sudah dipengaruhi oleh kenaikan harga. PDRB atas dasar harga berlaku kadang diistilahkan dengan PDRB nominal. Indeks Harga Implisit merupakan indeks yang dihitung dari PDRB atas dasar harga berlaku dibagi PDRB atas dasar harga konstan. pertumbuhan indeks ini digunakan sebagai indikator kenaikan harga secara umum akibat nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor produksi. dalam konteks ini, kenaikan harga dimaksud diistilahkan dengan inflasi PDRB. H. Tinjauan Empiris (Penelitian terdahulu) Hubungan alamiah antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja banyak diulas oleh para peneliti dengan membuat berbagai perkiraan angka elastisitas tenaga kerja (sebagai suatu alat untuk mengukur hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan). Seyfried (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan positif dan nyata (significant) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja. Namun dampaknya tidak secara langsung, perlu beberapa kuartal (lag) agar secara penuh bisa mempengaruhinya. Kombinasi hubungan keduanya akan menghasilkan hubungan 48 yang substansial dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Siregar, dkk (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa paradoks pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan pengangguran melalui perluasan kesempatan kerja dalam jangka panjang. Sumber munculnya paradoks pada tenaga kerja agregat maupun sektor secara umum dipengaruhi oleh guncangan harga maupun indikator makroekonomi seperti guncangan sukubunga, kurs rupiah maupun karena ketidakefisienan yang ditunjukkan oleh tingginya biaya overhead terhadap total (biaya ―siluman) pada Sektor Industri. Sementara itu, Boltho dan Glyn (1995) di dalam penelitiannya di negara-negara maju yang tergabung dalam Organization of Economic Community Development (OECD) menemukan bahwa elastisitas tenaga kerja terhadap PDB berkisar antara 0,50 sampai dengan 0,63. Angka intensitas tenaga kerja berkisar 0,5 tahun 19731979 naik menjadi 0,63 tahun 1982-1993, padahal nilai indikator ini sekitar 0,49 pada kurun waktu 1975-1982. Adanya variasi elastisitas tenaga kerja menunjukkan bahwa interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh kebijakan makroekonomi dan kondisi ekonomi suatu negara. Naik turunnya penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan misalnya suatu perusahaan akan mengurangi karyawannya ketika mengalami kemunduran dan akan meningkatkan karyawannya ketika mengalami kemajuan. 49 Agrawal (1996) mengemukakan bahwa para pekerja di Indonesia merupakan pihak yang paling diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Industri tumbuh sangat pesat sehingga banyak menciptakan lapangan kerja baru dengan memberikan upah/gaji relatif tinggi. Namun dengan melimpahnya begitu banyak tenaga kerja menimbulkan permasalahan seperti banyaknya pekerja anak (child labor), kenaikan upah yang hanya 10 tahun sekali (saat itu), kurang mendukungnya kondisi lingkungan kerja serta ditolaknya tenaga kerja perempuan yang masih muda. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi yang dicapai disatu sisi banyak menyerap tenaga kerja, namun disi lain menimbulkan permasalahan sosial yang perlu ditangani secara serius. Walterskirchen (1999) melakukan analisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Hasil penelitiananya menujukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja di wilayah ini sekitar 0,65 dan dari hasil analisis runtun waktu menghasilkan sekitar 0,8 pada kurun waktu yang sama dan sangat signifikan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi seharusnya lebih tinggi dibandingkan tingkat produktifitas yang dicapai dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Islam dan Nazara (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa untuk menyerap tenaga kerja baru yang diperkirakan mencapai 2 juta orang tiap tahunnya di Indonesia dibutuhkan pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,47 sampai dengan 4,68 persen. Elastisitas tenaga kerja tertinggi di Sektor Pertanian sekitar 1,22 diikuti oleh Sektor Perdagangan sekitar 1,11, Sektor Jasa sekitar 1,09 dan Sektor 50 Industri sekitar 0,77. Hal ini disebabkan adanya realokasi tenaga kerja dari sektor Jasa ke Sektor Pertanian. Islam (2004) menyatakan perlunya mengidentifikasi elemen pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada penduduk miskin sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja diiringi dengan peningkatan tingkat produktifitas. Hubungan antara pengentasan kemiskinan, elastisitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa ada dampak dari tenaga kerja dan pasar tenaga kerja terhadap pengurangan penduduk miskin. Pembangunan mempunyai kontribusi positif terhadap pengurangan kemiskinan melalui transformasi struktural tenaga kerja ke Sektor Industri dan sektor lain selain pertanian, pendidikan dan meningkatnya partisipasi angkatan kerja. Choi (2007) dalam penelitiannya tentang identifikasi determinan struktural dari elastisitas tenaga kerja (the structural determinants of employment elasticity) preferensi dan parameter teknologi. Jadi teknologi penghematan tenaga kerja (labor-saving technology) itu sendiri kemungkinan tidak bertanggung jawab terhadap lambannya kenaikan tenaga kerja. Perlu dilihat dari sisi pasar tenaga kerja (labor market) dan penawaran tenaga kerja (labor supply). Elastisitas dari penawaran tenaga kerja terhadap upah menjadi faktor yang menentukan penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. 51 Suryadarma dkk (2007) menemukan bahwa Sektor Pertanian di Indonesia pada tingkat provinsi mempunyai koefisien tertinggi di daerah perkotaan dan jumlah tenaga kerja meningkat seiring dengan meingkatnya industry dikawasan daerah perkotaan sehingga mengurangi jumlah orang bekerja di daerah perdesaan. Jumlah tenaga kerja naik 0,7 persen karena meningkatnya Sektor Jasa sebesar 10 persen di daerah perkotaan, sementara kenaikan 10 persen Sektor Pertanian di derah perdesaan akan meingkatkan sekitar 5 persen tenaga kerja. Menurut Sitanggang dan Nachrowi (2004) Ditemukan hasil bahwa struktur ekonomi Indonesia secara nasional mengalami perubahan dari sektor pertanian ke sektor-sektor lainnya. Akan tetapi berdasarkan propinsi propinsi-propinsi Bengkulu Gorontalo Jambi. Kalbar Kalsel Kalteng Lampung Maluku Malut NTB NIT Sulsel Sulteng Sultra Sulut Sumbar dan Sumul masih bertumpu pada sektor pertanian. Sektor pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja walaupun dengan upah yang lebih rendah dari upah di sektor-sektor lainnya. Adanya peningkatan dan penurunan dalamjumlah penyerapan tenaga kerja ini disebabkan oleh perubahan populasi nel migration output dan juga upah. Bahkan terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja antar sektor dan antar propinsi. Pudji (2002), menyatakan bawa Sektor pertanian masih merupakan tumpuan penyediaan kesempatan kerja secara nasional. Pada periode tahun 1990 . 1996, proporsi kesempatan kerja sektor pertanian mengalami penurunan, tetapi masih tetap merupakan penyumbang kesempatan kerja dominan secara nasional. Penyebab penurunan ini adalah kesempatan kerja di pedesaan masih terbatas sementara terjadi peningkatan kualitas pendidikan juga ditemui perbedaan tingkat 52 upah diantara desa dan kota serta peluang mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar. Selain itu secara rata-rata pendapatan masyarakat pedesaan atas tiga daerah penelitian mengalami penurunan dibandingkan perkotaan. Sumarto, dkk (2004), menghasilkan regresi menunjukkan bahwa diantara tiga sektor, pertanian ternyata merupakan sektor yang memiliki hubungan paling kuat dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral dan penurunan kemiskinan, dibandingkan pertumbuhan output di sektor industri dan sektor perdagangan. Hasil penelitian mereka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan output di industri dan perdagangan tidak penting bagi pengurangan kemiskinan. Sebaliknya dan khususnya pertumbuhan sektor industri selama Orde Baru sudah terbukti sangat berperan dalam keberhasilan Indonesia mengurangi kemiskinan dengan menyerap banyak tenaga kerja berpendidikan rendah termasuk yang datang dari pertanian (pedesaan). Namun demikian, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, pertanian adalah sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Studi terakhir dari Sumarto, dkk. (2004) menunjukkan lebih dari 50% dari penurunan kemiskinan di tingkat propinsi dalam periode 1984-1996 adalah sumbangan dari pertumbuhan output di pertanian. Sedangkan sumbangan dari pertumbuhan output di industri terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan hanya marjinal. 53 Sinaga (2005) mengemukakan bahwa secara umum struktur lapangan pekerjaan terbesar didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti oleh sektor industri dan selanjutnya oleh sektor jasa. Dari hasil estimasi model yaitu Method of Ordinary Least Squares (OLS) menjelaskan bahwa masing-masing variabel memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja sektoral di Sumatera Utara. PDRB Provinsi Sumatera Utara terhadap pertumbuhan Tenaga Kerja Sektoral Provinsi Sumatera Utara memiliki tanda yang positif bersifat inelastis dan signifikan. Hal ini menunjukkan PDRB yang berasal dari sektor pertanian adalah leading sector di Sumatera Utara selama tahun 1987-2002 adalah penyerap tenaga kerja yang terbesar dan sektor pertanian ini merupakan salah satu sektor yang mampu mengurangi pengangguran di masa kini. Siregar (2006), melakukan penelitian sekunder tentang ketenagakerjaan yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tenaga kerja dan implikasinya terhadap sektor pertanian di Kabupaten Bogor, hasilnya menunjukkan bahwa untuk sektor pertanian penyerapan tenaga kerja terdidik dipengaruhi secara signifikan oleh investasi sektor pertanian dan pengangguran terdidik, sedangkan penyerapan tenaga kerja tidak terdidik di sektor pertanian dipengaruhi secara nyata oleh upah, investasi, dan PDRB sektor pertanian, serta kebijakan otonomi daerah. Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian juga signifikan dipengaruhi oleh upah, sementara upah disetiap sektor dipengaruhi oleh UMR, selanjutnya produktivitas tenaga kerja, PDRB dan penyerapan tenaga kerja sektoral hanya berpengaruh nyata terhadap upah di sektor jasa. 54 Situmorang (2005) menganalisis tentang elastitisitas kesempatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan suku bunga di Indonesia selama tahun 1990-2003. Kesempatan kerja atau permintaan kerja dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan upah minimum. Suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap kesempatan kerja. Respon kesempatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat elastis, sedangkan respon kesempatan kerja terhadap upah minimum bersifat inelastis, di mana kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen dengan asumsi tidak ada perubahan dalam upah minimum akan menyerap kesempatan kerja sebesar 0,2 persen, sedangkan kenaikan upah minimum sebesar 1 persen dapat meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,026 persen. Respon kesempatan kerja terhadap output yang bersifat sangat elastis terjadi di sektor industri dan sektor lainnya Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal perkotaan, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih (white collar worker). Temuan yang tidak kalah pentingnya adalah dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja berpendidikan rendah. Sedangkan pekerja kerah putih adalah satu-satunya kategori pekerja yang diuntungkan dari kenaikan upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan adanya efek substitusi dari upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja dari berbagai jenis pekerja. 55 Berdasarkan penelitian Das (2004) tentang dampak kebijakan upah minimum terhadap pasar tenaga kerja di negara-negara sedang berkembang (terutama yang berpendapatan rendah), sebagian besar angkatan kerja bekerja di sektor formal dan upah minimum secara keseluruhan tidak hanya berdampak terhadap lapangan kerja, tetapi juga berimplikasi mendorong para pekerja keluar dari sektor formal dan ke dalam sektor formal, terutama untuk kelompok pekerja yang rentan, seperti para pekerja berketerampilan, berkeahlian dan berpengalaman rendah, para pekerja di bawah usia kerja (usia muda) dan para wanita. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jika upah minimum dinaikkan melebihi tingkat yang sedang, maka ia akan mengurangi jumlah pekerja yang usia muda, pekerja yang berketerampilan rendah dan pekerja wanita, namun ada peningkatan pekerja yang ahli, terampil dan berpengalaman. Dampak-dampak ini khususnya tampak di perusahaan-perusahaan kecil. Di banyak negara berkembang, peningkatan jumlah para pekerja pemuda yang akan memasuki pasar tenaga kerja diseimbangkan. Berdasarkan penelitian dari lembaga peneliti SEMERU (2001) tentang dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja di daerah perkotaan Indonesia, kenaikan tingkat upah minimum akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal. 56 Penelitian yang dilakukan Akmal (2010) menunjukan selama tahun 2003-207, secara umum terjadi peningkatan tenaga kerja di Indonesia. Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang paling tinggi. Variabel PDRB secara signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan PDRB akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus. Variabel UMP secara signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan UMP akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus. Variabel investasi secara signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kenaikan investasi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, ceteris paribus.