GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH

advertisement
GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH, KADAR
HEMOGLOBIN, NILAI HEMATOKRIT, DAN INDEKS
ERITROSIT PADA KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) BETINA
SRI WAHYUNI SALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran
Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, Nilai Hematokrit, dan Indeks
Eritrosit Pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina adalah karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing. Karya tulis ini belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Sri Wahyuni Salam
B04080194
ABSTRACT
SRI WAHYUNI SALAM. Red Blood Cell Count, Hemoglobin Concentration,
Hematocrit, and Erythrocytes Index of Female Swamp Buffalo (Bubalus bubalis).
Under direction of HERA MAHESHWARI and ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS.
Hematological values of animal can provide information about the status
of animal health. This research was conducted to study the red blood cell count,
hemoglobin concentration, hematocrit, and erythrocytes index of female swamp
buffaloes under physiological status. Four female buffaloes with body weight
ranging from 250 kg to 300 kg were used in this research. Blood sampling were
performed every two days for ten weeks. Blood sampling was done through the
jugular vein every morning and collected by using an EDTA coated tube. The
result of this research showed that the red blood cell count was
(5.32±1.13) million/mm3, hemoglobin concentration was (10.60±1.14) gram%,
hematocrit was (25.49±3.05)%, Mean Corpuscular Volume was (49.81±11.08) fl,
Mean Corpuscular Hemoglobin was (20.69±4.39) pg, and Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration was (41.82±3.76) gr/dl.
Keywords: swamp buffalo, red blood cell, hemoglobin, hematocrit, erythrocytes
index
ABSTRAK
SRI WAHYUNI SALAM. Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Kadar
Hemoglobin, Nilai Hematokrit, dan Indeks Eritrosit pada Kerbau Lumpur
(Bubalus bubalis) Betina. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan ARYANI
SISMIN SATYANINGTIJAS.
Gambaran darah pada setiap individu hewan dapat memberikan informasi
mengenai status kesehatan hewan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk melihat
gambaran darah merah meliputi jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau lumpur betina. Sebanyak empat ekor
kerbau betina dengan bobot badan berkisar 250 kg sampai 300 kg digunakan
dalam penelitian ini. Pengambilan sampel darah dilakukan setiap dua hari sekali
selama sepuluh minggu. Pengambilan darah dilakukan setiap pagi hari melalui
vena jugularis dan dikoleksi dengan menggunakan tabung yang telah dilapisi
antikoagulan EDTA. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh
gambaran darah merah pada kerbau lumpur betina yaitu jumlah sel darah merah
sebanyak (5.32±1.13) juta/mm3, kadar hemoglobin sebesar (10.60±1.14) gram%,
nilai hematokrit (25.49±3.05)%, Mean Corpuscular Volume (49.81±11.08) fl,
Mean Corpuscular Hemoglobin (20.69±4.39) pg, dan Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration (41.82±3.76) gr/dl.
Kata kunci: kerbau lumpur, sel darah merah, hemoglobin, hematokrit, indeks
eritrosit
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH, KADAR
HEMOGLOBIN, NILAI HEMATOKRIT, DAN INDEKS
ERITROSIT PADA KERBAU LUMPUR
(Bubalus bubalis) BETINA
SRI WAHYUNI SALAM
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin,
Nilai Hematokrit, dan Indeks Eritrosit pada Kerbau Lumpur
(Bubalus bubalis) Betina.
Nama Mahasiswa
: Sri Wahyuni Salam
NIM
: B04080194
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Disetujui,
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. AIF
Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc.
NIP. 19640526 198803 2 001
NIP. 19600914 198603 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Drh. Agus Setiyono M. S., Ph.D. APVet.
NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya. Skripsi yang berjudul “Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Kadar
Hemoglobin, Nilai Hematokrit, dan Indeks Eritrosit pada Kerbau Lumpur
(Bubalus bubalis) Betina” merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan Program
Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi
ini, Penulis sangat berharap dapat memberikan banyak tambahan informasi
mengenai data gambaran darah merah pada kerbau lumpur khususnya di daerah
Bogor, Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. dan
Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua (Abdul Salam dan Sohra
Hamzah), saudara (M. Ridha, Dewi Sartika, Reskiwati, Alimansyah Putra), dan
kepada keluarga besar Avenzoar 45 dan IMAKAHI yang senantiasa memberikan
semangat, doa, dan dukungannya kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Dr. drh. Setyo Widodo selaku dosen pembimbing akademik
yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihatnya. Terima kasih kepada
pihak Yayasan Karya Salemba Empat yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Namun
penulis masih mengharapkan skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat baik
kepada penulis dan semua pembaca.
Bogor, September 2012
Sri Wahyuni Salam
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Sri Wahyuni Salam. Penulis berasal dari kota
Makassar dan lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Maret 1990
dari pasangan Drs Abdul Salam dan Dra Sohra Hamzah, M.Pd. Penulis telah
menempuh jenjang pendidikan formal di SMA Negeri 2 Makassar dan lulus pada
tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikannya di
perguruan tinggi dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) pada tahun 2009-2012,
Himpunan Profesi Ruminansia (2009-2011), dan tergabung pula dalam Organisasi
Mahasiswa Daerah IKAMI cabang Bogor. Saat ini, Penulis telah melakukan
penelitian sebagai bahan dalam penyusunan skripsi yang berjudul “Gambaran
Jumlah Sel Darah Merah, Kadar Hemoglobin, Nilai Hematokrit, dan Indeks
Eritrosit pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina”. Penyusunan skripsi
dilakukan di bawah bimbingan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. AIF selaku
dosen pembimbing pertama dan Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc. selaku dosen
pembimbing kedua.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xiii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1.2 Tujuan ............................................................................................
1.3 Manfaat Penelitian .........................................................................
1
3
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerbau lumpur ...............................................................................
2.2 Darah ...............................................................................................
2.3 Sel Darah Merah .............................................................................
2.4 Hemoglobin .....................................................................................
2.5 Hematokrit ......................................................................................
2.6 Indeks Eritrosit ................................................................................
4
6
7
8
11
12
BAB 3. METODE
3.1 Waktu dan Tempat .........................................................................
3.2 Alat dan Bahan ...............................................................................
3.3 Hewan Coba ....................................................................................
3.4 Tahap Persiapan .............................................................................
3.5 Pengambilan Sampel ......................................................................
3.6 Pemeriksaan Sel Darah Merah, Hemoglobin, dan Hematokrit .......
3.7 Perhitungan Indeks Eritrosit ...........................................................
3.8 Metode Analisis Data ......................................................................
14
14
14
14
15
15
17
17
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sel Darah Merah .............................................................................
4.2 Hemoglobin .....................................................................................
4.3 Hematokrit ......................................................................................
4.4 Mean Corpuscular Volume (MCV) .................................................
4.5 Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) …....................................
4.6 Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) ..............
18
21
23
26
27
28
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ........................................................................................
5.2 Saran ...............................................................................................
30
30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
31
LAMPIRAN .....................................................................................................
34
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Kisaran nilai normal beberapa variabel darah pda kerbau sungai
berumur dua sampai empat tahun ............................................................
7
2
Kadar hemoglobin pada beberapa hewan ................................................
10
3
Rata-rata jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu ..............
18
Rata-rata jumlah MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina
selama sepuluh minggu ...........................................................................
26
4
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kerbau lumpur (koleksi pribadi) ..............................................................
4
2
Bentuk sel darah merah manusia (Sunariah 2008) ..................................
8
3
Hemositometer Neubauer (Haen 1995) ...................................................
16
4
Profil jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur betina selama
sepuluh minggu ........................................................................................
20
Profil kadar hemoglobin pada kerbau lumpur betina selama sepuluh
minggu....................................................................................................
21
Profil nilai hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh
minggu....................................................................................................
24
Profil nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) pada kerbau lumpur
betina selama sepuluh minggu .................................................................
27
Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada kerbau
lumpur betina selama sepuluh minggu ....................................................
28
Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu ...………………….
29
5
6
7
8
9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Komponen Reagen Hemoglobin ........................................................
34
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kerbau merupakan hewan ruminansia besar yang tersebar di dunia.
Populasi kerbau terbesar berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan
karakteristiknya, kerbau digolongkan menjadi kerbau lumpur dan kerbau sungai.
Kerbau lumpur memiliki ciri-ciri warna kulit abu-abu kehitaman, tubuhnya
pendek dan kekar, bentuk bulat, ukuran lingkar dada luas, kaki pendek dan lurus,
serta tanduk yang lebar dan melengkung (Johari et al. 2009). Lain halnya dengan
kerbau sungai yang memiliki ciri-ciri kulit yang berwarna hitam pekat, tubuhnya
padat dan pendek, leher dan kepala yang relatif lebih kecil, punggungnya lebar,
serta tanduk melingkar rapat seperti spiral (Sitorus 2008).
Secara tradisional, pemanfaatan kerbau lumpur umumnya digunakan
sebagai kerbau tipe pedaging dan kerbau pekerja. Berbeda dengan kerbau lumpur,
kerbau sungai lebih umum dimanfaatkan sebagai kerbau perah dan kerbau
pekerja. Selain itu, di beberapa daerah tertentu kerbau memiliki nilai spiritual
yang tinggi. Di daerah Sulawesi Selatan, khususnya di daerah Tana Toraja kerbau
jenis albino atau yang lebih dikenal dengan kerbau belang dijadikan sebagai
hewan penting dalam upacara-upacara adat.
Data dari Badan Pusat Statistik (2011) menyebutkan bahwa populasi
kerbau yang ada saat ini di Indonesia mencapai 1.3 juta ekor. Data penyebaran
kerbau di pulau Indonesia pada tahun 2011 yang terdata oleh BPS menyebutkan
jumlah kerbau di pulau Sumatera 512.816 ekor, Jawa 363.008 ekor, Bali dan Nusa
tenggara 257.587 ekor, Kalimantan 41.541 ekor, Sulawesi 110.393 ekor, Maluku
dan Papua 19.671 ekor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setiap tahunnya
jumlah populasi kerbau terus mengalami penurunan hingga 0.58% atau sekitar
7.800 ekor setiap tahunnya. Semakin berkurangnya populasi kerbau yang ada
akan mengancam kepunahan populasi kerbau di Indonesia.
Berbagai usaha perlu dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
populasi ternak kerbau di Indonesia. Apabila Indonesia dapat mengembangkan
2
ternak herbivora nonsapi secara optimal, salah satu diantaranya ialah ternak
kerbau maka hal ini dapat menunjang ketahanan pangan hewan di Indonesia.
Program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) 2014 oleh pemerintah
juga akan semakin mudah terlaksana. Kerbau akan menjadi penopang yang
potensial untuk memproduksi pangan dan sebagai sumber energi. Suhubdy (2011)
berpendapat bahwa optimalisasi peran serta ternak herbivora nonsapi pada masa
mendatang tidak saja mempercepat swasembada daging tetapi turut mempercepat
pertumbuhan ekonomi bangsa dari sektor peternakan. Salah satu upaya untuk
mempertahankan dan memperbaiki jumlah populasi kerbau adalah dengan
memperhatikan kondisi kesehatan ternak kerbau agar produktivitas kerbau
menjadi optimal. Pemeriksaan darah lengkap sering dilakukan untuk mengetahui
status kesehatan hewan. Pemeriksaan darah juga dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosa terhadap suatu penyakit dan untuk melihat adanya respon
tubuh terhadap suatu penyakit infeksi.
Gambaran darah merah yang dapat diamati meliputi jumlah sel darah
merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit. Adanya gangguan
keseimbangan pada variabel darah tersebut menunjukkan bahwa hewan sedang
mengalami gangguan kesehatan tertentu. Gambaran darah pada setiap individu
hewan yang masih berada dalam satu spesies bervariasi satu sama lain, hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam maupun faktor dari luar tubuh
hewan. Faktor dari dalam tubuh hewan bisa dipengaruhi oleh genetik, usia, jenis
kelamin, dan status kesehatan, sedangkan faktor dari luar dipengaruhi oleh
lingkungan seperti iklim, pakan, dan adanya infeksi parasit (Sulong et al. 1980).
Laporan-laporan mengenai gambaran fisiologis darah merah pada kerbau
saat ini masih sangat sedikit khususnya pada kerbau lumpur di Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data gambaran darah
merah meliputi jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan
indeks eritrosit pada kerbau lumpur betina. Data penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi banyak pihak.
3
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran jumlah sel darah
merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau
lumpur betina.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mendapatkan data
gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks
eritrosit pada kerbau lumpur betina sehingga dapat dijadikan sebagai acuan
ataupun data pembanding pada penelitian kerbau lumpur lainnya khususnya di
daerah Indonesia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerbau Lumpur
Kerbau domestik di Asia memiliki nama ilmiah Bubalus bubalis. Menurut
Roth (2004) susunan taksonomi kerbau domestik adalah kerajaan animalia, filum
chordata, kelas mamalia, subkelas theria, ordo artiodactyla, subordo ruminantia,
selanjutnya tergolong dalam famili bovidae, subfamili bovinae, genus Bubalus,
dan spesies Bubalus bubalis. Gambar kerbau lumpur dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerbau lumpur (koleksi pribadi).
Kerbau yang telah didomestikasi terdiri dari kerbau lumpur (swamp
buffaloes) dan kerbau sungai (river buffaloes). Perbedaan antara kerbau lumpur
dan kerbau sungai terletak dari jumlah kromosomnya. Menurut Guimaraes et al.
(1995) kerbau lumpur dengan jumlah kromosom 48 merupakan hasil
perpaduan/fusi antara telomer dan sentromer pada pasangan kromosom nomor 4
dan 9 pada kerbau sungai dengan jumlah kromosom 50.
Kerbau merupakan hewan yang memiliki kulit berwarna gelap dan
kelenjar keringat yang sedikit. Kerbau juga mengalami kesulitan dalam
mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya. Oleh karena itu, kerbau sangat rentan
mengalami stres akibat suhu lingkungan yang tinggi. Kerbau secara fisiologis
akan melakukan kegiatan dalam rangka mempertahankan suhu tubuhnya agar
tetap stabil yaitu dengan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkubang
di air yang bersih ataupun di rawa (Joseph 1996). Menurut Suhubdy (2010)
5
kerbau merupakan hewan yang memiliki kemampuan makan sangat baik, tidak
selektif, dan mampu mencerna pakan berserat dan berkualitas jelek yang tidak
dapat dimanfaatkan oleh manusia secara langsung menjadi daging dan sumber
energi, serta mampu meningkatkan laju pertumbuhan badannya. Kerbau juga
merupakan hewan yang memiliki kemampuan kerja yang sangat baik pada lahan
kering maupun lahan basah terutama pada daerah berlumpur.
Kerbau lumpur dan kerbau sungai merupakan satu spesies Bubalus
bubalis, namun keduanya memiliki habitat yang berbeda.
Berdasarkan
habitatnya, kerbau sungai lebih senang untuk berkubang di air yang bersih dan
mengalir. Kerbau lumpur lebih suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa, dan air
yang menggenang (Bhattacharya 1993). Berdasarkan karakteristik unik yang
dimiliki tersebut, kerbau merupakan hewan yang sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia. Kerbau dapat dengan mudah dipelihara dan
dikembangkan di daerah yang memiliki lahan basah dan lahan kering. Daerah
NTB dan NTT sebagai lahan kering marginal mampu menjadi tempat tumbuh
kembang yang baik bagi kerbau (Suhubdy 2011). Selain itu, di lahan rawa pasang
surut seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua juga sangat berpotensi
menjadi tempat pengembangan ternak kerbau di Indonesia.
Kerbau di Indonesia sangat bervariasi, baik dalam ukuran bobot badan,
tinggi badan, konformasi tubuh, bentuk tanduk, maupun warna kulit. Ukuran
tubuh pada kerbau betina berusia 1 sampai 3 tahun di Kabupaten Bogor
mempunyai ukuran tinggi pundak kerbau 117.20±6.30 cm, panjang badan
115.20±6.18 cm, tinggi pinggul 116.70±4.06 cm, lebar pinggul 41.67±4.13 cm,
lingkar dada 168.83±12.24 cm, dan lebar dada 38.00±4.34 cm (Robbani 2009).
Bobot badan kerbau yang didomestikasi sekitar 550 kg untuk kerbau jantan dan
400 kg untuk kerbau betina yang telah dewasa (Johari et al. 2009), dalam
penelitian lain disebutkan bahwa bobot badan kerbau di Indonesia rata-rata
berkisar antara 300 kg sampai 400 kg (Sosroamidjojo 1991).
Ternak
kerbau
berpotensi
sebagai
penghasil
daging
dan
susu.
Pengembangan ternak kerbau dengan baik dapat mempercepat dan mendukung
terlaksananya swasembada daging di Indonesia. Optimalisasi peran serta ternak
nonsapi dalam hal ini kerbau, pada masa mendatang tidak saja mempercepat
6
swasembada daging tetapi mempercepat pertumbuhan
ekonomi bangsa dari
sektor peternakan.
2.2. Darah
Darah merupakan cairan tubuh yang disirkulasikan melalui pembuluh
darah ke setiap bagian tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan sistem
organ. Darah terdiri atas 55% plasma dan 45% fase padat (Dallas 2006). Sebagian
besar plasma terdiri atas air yang berfungsi sebagai pelarut, pembawa bendabenda darah, menjaga tekanan darah, dan mengatur suhu tubuh. Selain air, plasma
juga terdiri atas protein mayor seperti albumin, globulin, dan fibrinogen (Ganong
2003; Dallas 2006). Benda-benda darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel
darah putih (leukosit), dan keping-keping darah (trombosit). Gambar bentuk sel
darah merah disajikan pada Gambar 2.
Jumlah darah yang berada di dalam tubuh dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor eksogen meliputi hadirnya agen penyebab infeksi dan perubahan
lingkungan yang terjadi, faktor endogen yang meliputi pertambahan umur, status
kesehatan, gizi, stres, suhu tubuh, dan siklus estrus. Dalam sirkulasi, darah
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan nutrisi, mentransportasikan
produk-produk yang tidak berguna, menghantarkan hormon, serta sebagai
pengangkut O2 dan CO2 (Guyton and Hall 2006). Sel darah putih berfungsi
sebagai salah satu sistem pertahanan tubuh, sedangkan trombosit berperan dalam
proses pembekuan darah saat terjadi luka sehingga tidak terjadi pengeluaran darah
secara terus-menerus dari pembuluh darahnya.
Data jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit juga
bermanfaat dalam menentukan indeks eritrosit. Indeks eritrosit terdiri atas Mean
corpuscular values (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai indeks eritrosit tersebut
sangat membantu dalam menentukan jenis anemia yang diderita oleh hewan dan
membantu dalam menentukan penyebab kejadian anemia yang dialami. Setiap
hewan memiliki perbedaan kisaran nilai dari jumlah sel darah merah, kadar
hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC. Kisaran parameter
7
tersebut untuk kerbau sungai yang berumur antara dua sampai empat tahun
digambarkan dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
No
1
Kisaran nilai normal beberapa variabel darah pada kerbau sungai
berumur dua sampai empat tahun
Parameter
Jumlah sel darah merah
Nilai Normal
7.8±0.38 x 106 /ml
2
Hemoglobin
12.10±1.36 gr%
3
Nilai Hematokrit
39.80±3.79 %
4
MCV
51.02±3.82 fl
5
MCH
30.4±3.06 pg
6
MCHC
15.51±2.80 gr/dl
Sumber: Wills (2010).
2.3. Sel Darah Merah
Sel darah merah pada mamalia tidak memiliki inti dan organel sehingga
sel darah merah tidak mampu untuk mensintesis protein. Sel darah merah
berbentuk lempengan bikonkaf dan tersusun atas 61% air, 32% protein yang
sebagian besar terdiri atas hemoglobin, 7% karbohidrat, dan 0,4% lipid (Olver et
al. 2010). Sel darah merah berfungsi dalam mengangkut hemoglobin sehingga
kebutuhan jaringan akan oksigen dapat terpenuhi, sel darah merah juga
mengandung banyak karbonik anhidrase yang bertugas dalam mengkatalisis
reaksi antara karbon dioksida dan air, dan hemoglobin juga sebagai dapar asam
basa (Guyton and Hall 2006).
Kecepatan pembentukan sel dalam darah diatur oleh konsentrasi sel darah
merah dan dipengaruhi oleh kemampun fungsional sel untuk mengangkut oksigen
ke jaringan sesuai dengan kebutuhan jaringan tersebut. Pembentukan sel darah
merah sangat dipengaruhi oleh eritropoietin yang diproduksi dalam ginjal.
Eritropoeitin akan merangsang produksi eritrosit sebagai respon terhadap hipoksia
pada jaringan tubuh. Eritrosit dibentuk mula-mula berasal dari proeritroblas
kemudian terbentuk basofil eritroblas, dilanjutkan polikromatofil eritroblas,
ortokromatik eritroblas, dan kemudian berkembang menjadi retikulosit sampai
terbentuk eritrosit (Guyton and Hall 2006). Eritrosit dan retikulosit ini yang
kemudian bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Pada keadaan normal, jumlah
8
retikulosit yang bersirkulasi dalam pembuluh darah jumlahnya sangat sedikit.
Secara normal, jumlah retikulosit yang biasa ditemukan bersirkulasi di dalam
pembuluh darah berjumlah 0,5 sampai 1,5% dari jumlah sel darah merah (Sloane
2004). Tingginya retikulosit yang dilepaskan oleh sumsum tulang yang
bersirkulasi di dalam pembuluh darah mengindikasikan suatu keadaan anemia,
dimana jumlah sel darah merah dewasa yang bersirkulasi di dalam pembuluh
darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Sel darah merah yang bersirkulasi di dalam tubuh dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya perubahan volume plasma, laju destruksi eritrosit,
kontraksi limpa, sekresi eritropoietin, laju produksi sumsum tulang, oksigen
jaringan, serta hormon dari kelenjar adrenal, tiroid, ovarium, testis, dan hipofise
anterior (Guyton and Hall 2006). Kondisi terjadinya penurunan jumlah sel darah
merah dari jumlah normalnya yang bersirkulasi di dalam darah disebut anemia.
Anemia merupakan gejala klinis yang muncul sebagai respon sekunder terhadap
adanya penyakit. Rendahnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi bisa
disebabkan oleh keluarnya darah dari pembuluh darah yang ditandai dengan
berkurangnya volume darah, adanya infeksi parasit, dan penurunan produksi sel
darah merah.
Gambar 2 Bentuk sel darah merah manusia (Sunariah 2008).
2.4. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan komponen darah yang disintesis di dalam sel
darah merah pada saat perkembangan sel darah merah. Hemoglobin merupakan
pigmen eritrosit yang terdiri dari zat besi, porphyrin, dan protein kompleks yang
9
menempati peran penting dalam fisiologi tubuh terutama dalam mengikat,
transportasi, dan pengiriman oksigen menuju jaringan yang membutuhkan. Selain
itu, hemoglobin juga berfungsi dalam pengangkutan karbondioksida dari jaringan
ke paru-paru. Struktur molekul dari hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein,
dan empat gugus heme. Heme merupakan suatu molekul organik yang mengikat
satu atom besi (Olver et al. 2010). Adanya kandungan besi (Fe) dalam
hemoglobin di sel darah merah menyebabkan darah berwarna merah.
Struktur hemoglobin tersusun atas protein tetrametrik dengan dua subunit
alfa dan dua subunit beta yang mengikat dua oksigen dengan cara yang kooperatif.
Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap
subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat
molekul total tetrametriknya menjadi sekitar 64,000 Dalton. Tiap subunit
hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin
memiliki kapasitas mengikat empat molekul oksigen (Dayer et al. 2011). Proses
biosintesis dari hemoglobin terdiri dari proses biosentesis heme dan globin. Proses
biosintesis heme berlangsung secara enzimatik didalam mitokondria dan sitosol,
sedangkan biosentesis dari globin terjadi di ribosom dan poliribosom sitoplasma
(Olver et al. 2010).
Pengaturan transportasi oksigen dalam tubuh utamanya dilakukan oleh sel
darah merah. Hemoglobin merupakan bagian utama dari sel darah merah yang
berfungsi dalam mengikat oksigen. Bila berikatan dengan oksigen maka
hemoglobin
akan
membentuk
oksihemoglobin
(HbO2).
Selanjutnya
Oksihemoglobin ini akan melepaskan oksigen ke jaringan dan membentuk
kembali hemoglobin. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa afinitas
hemoglobin dalam pengikatan oksigen di hewan khususnya pada anjing
greyhound lebih baik daripada afinitas hemoglobin dalam pengikatan oksigen
pada manusia (Bhatt et al. 2011). Afinitas pengikatan hemoglobin terhadap
oksigen dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosgliserat (2,3 DPG)
dalam sel darah merah (Ganong 2003).
Hemoglobin yang berikatan dengan karbondioksida akan membentuk
karboxyhemoglobin dan menyebabkan darah berwarna merah tua, sedangkan
hemoglobin yang berikatan dengan karbonmonoksida akan membentuk karbon
10
monoksihemoglobin. Kandungan karbonmonoksida di udara dapat mengakibatkan
berkurangnya kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Hal ini disebabkan
oleh afinitas hemoglobin terhadap karbonmonoksida lebih tinggi dibandingkan
dengan oksigen (Ganong 2003). Kadar hemoglobin sangat mempengaruhi kondisi
fisiologis suatu individu hewan, hal ini terkait dengan fungsinya sebagai pengikat
oksigen.
Kadar hemoglobin dalam darah menjadi salah satu parameter untuk
mengukur keadaan anemia dari suatu individu hewan. Kadar hemoglobin untuk
setiap hewan berbeda-beda antara satu sama lain. Perbedaan kadar hemoglobin ini
dipengaruhi oleh jumlah zat besi di dalam tubuh. Zat besi dalam bentuk Fe2+ yang
terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen. Hemoglobin yang terikat
pada oksigen disebut hemoglobin teroksigenasi atau oksihemoglobin (HbO2),
sedangkan hemoglobin yang telah melepaskan oksigen disebut deoksihemoglobin
(Hb). Muatan atom Fe2+ yang terdapat pada pusat heme dapat berubah menjadi
Fe3+, dalam bentuk ini hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen atau kehilangan
fungsinya yang amat penting. Kadar hemoglobin pada beberapa jenis hewan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar Hemoglobin pada beberapa hewan
Gambaran Hemoglobin Hewan
Jumlah Hemoglobin
Hewan
(gr/dl)
Anjing
Kucing
Kuda
12.0 – 18.0
8.17 – 15.26
11.0 – 19.0
Sapi
8.4 – 12.0
Kambing
8.0 – 12.0
Kerbau
12.10±1.36
Sumber: Raskin and Wardrop (2010).
Jumlah kadar hemoglobin dalam darah dapat diketahui dengan melakukan
pengukuran kadar hemoglobin. Terdapat berbagai cara yang dapat digunakan
untuk menetapkan kadar hemoglobin. Metode yang sering digunakan untuk
mengukur kadar hemoglobin di laboratorium adalah metode Sahli dan fotoelektrik
dengan metode sianmethemoglobin atau hemiglobinsianida. Walaupun metode
11
pengukuran menggunakan metode sahli kurang baik karena hasilnya yang kurang
akurat, namun metode ini cukup umum digunakan dalam dunia kedokteran
(Bachyar 2002).
Pengukuran hemoglobin juga dapat diukur dengan menggunakan alat
spektrofotometer.
Prinsip
perhitungan
hemoglobin
dengan
menggunakan
spektrofotometer yaitu darah dicampur dengan larutan yang mengandung kalium
sianida dan kalium ferricyanide. Larutan tersebut kemudian mengoksidasi besi
ferricyanide potasium dan membentuk methemoglobin. Sianida potasium
kemudian dicampurkan dengan methemoglobin untuk mengubah hemoglobin
menjadi pigmen seperti cyanmethemoglobin yang stabil untuk dibaca pada
spektrofotometri yang dikenal juga sebagai hemoglobinometer. Alat ini digunakan
untuk membaca hemoglobin pada panjang gelombang 540 nm. Pembacaan
hemoglobin dengan menggunakan spektrofotometer berdasarkan pada konsentrasi
hemoglobin. Penentuan konsentrasi hemoglobin diperoleh dari jumlah cahaya
yang dapat diserap dari seberkas cahaya yang dilewatkan pada larutan yang akan
dideteksi. Hal ini dikarenakan jumlah absorbansi cahaya sebanding dengan
konsentrasi hemoglobin (Thrall et al. 2004).
2.5. Hematokrit
Hematokrit biasa juga disebut dengan Packed Cell Volume (PCV). PCV
merupakan presentase sel darah merah dalam cairan darah, nilai hematokrit 40
berarti 40% volume darah adalah sel darah merah dan sisanya adalah plasma.
Hematokrit juga disebut sebagai fraksi darah yang terdiri dari sel-sel darah merah.
Hematokrit dapat ditentukan dengan cara sentrifugasi darah dalam tabung mikro
kapiler hematokrit sehingga sel-sel darah menjadi padat/mengendap di bagian
bawah tabung. Dalam sel darah merah yang mengalami pemadatan masih terdapat
sekitar 3 sampai 4% plasma yang tetap terjebak di antara sel. Sehingga nilai
hematokrit sebenarnya hanya sekitar 96% dari yang terukur (Guyton and Hall
2006).
Kondisi dimana terjadi peningkatan produksi sel darah merah yang
berlebihan (polisitemia) akan menyebabkan nilai hematokrit mengalami
peningkatan. Sedangkan penurunan kadar hematokrit di bawah nilai normal dapat
12
mengindikasikan terjadinya anemia. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh kondisi
anemia, derajat aktivitas tubuh, dan ketinggian lokasi berada. Pengaruh-pengaruh
ini terkait dengan fungsi sel darah merah sebagai pengangkut oksigen (Guyton
and Hall 2006). Selain itu hematokrit juga berhubungan dengan perubahan
tekanan darah.
Hematokrit akan mempengaruhi kondisi viskositas darah. Semakin tinggi
kadar hematokrit maka kondisi viskositas akan semakin tinggi pula, hal ini terjadi
karena gesekan yang terjadi antara sel-sel darah merah akan semakin tinggi
sehingga viskositas juga mengalami kenaikan. Selanjutnya, keadaan viskositas
darah yang meningkat akan memperberat kerja jantung dalam memompakan
darah menuju ke jaringan (Guyton and Hall 2006).
2.6. Indeks Eritrosit
Pehitungan darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) diantaranya
adalah perhitungan indeks eritrosit yang memberikan keterangan mengenai
volume rata-rata eritrosit, banyaknya hemoglobin per eritrosit, dan konsentrasi
rata-rata hemoglobin. Perhitungan indeks eritrosit diperoleh dari perhitungan sel
darah merah diantaranya dengan menggunakan data jumlah sel darah merah,
kadar hemoglobin, dan nilai PCV. Indeks eritrosit yang diperoleh berupa Mean
Corpuscular Values (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC).
MCV menunjukkan ukuran rata-rata sel darah merah dalam femtoliter (fl).
MCH menunjukkan berat rata-rata dari hemoglobin yang ada di dalam eritrosit
dan dinyatakan dalam pikogram (pg), sedangkan MCHC menunjukkan rata-rata
konsentrasi hemoglobin per unit volume PCV dalam satuan gram per desiliter
(gr/dl). Nilai tersebut bervariasi pada setiap spesies (Meyer and Harvey 2004).
Perhitungan indeks eritrosit biasa digunakan untuk mendignosa jenis
anemia dan dapat dihubungkan untuk mengetahui penyebab terjadinya anemia.
Nilai MCV dan MCHC mencerminkan jenis eritrosit yang diproduksi oleh
sumsum tulang. Meyer and Harvey (2004) menggolongkan anemia berdasarkan
morfologi sel darah merah menjadi:
13
1. Anemia normositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV dan
MCHC normal. Anemia jenis normositik-normokromik ini menunjukkan
ukuran sel darah merah normal dan konsentrasi hemoglobin yang juga
normal. Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, supresi
sumsum tulang, blood lose akut, hemolisis akut, gangguan endokrin, serta
anemia aplastik.
2. Anemia makrositik-hipokromik, pada anemia ini jumlah MCV tinggi dan
MCHC rendah. Anemia jenis ini menunjukkan ukuran sel darah merah
yang besar, namun konsentrasi hemoglobinnya rendah. Anemia ini sering
disebabkan oleh hemoragi maupun hemolisis.
3. Anemia makrositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV tinggi
dan MCHC normal. Anemia jenis ini menunjukkan ukuran sel darah
merah besar dan konsentrasi hemoglobin yang normal. Anemia ini
disebabkan oleh defisiensi vitmin B12, defisiensi asam folat, dan penyakit
intestinal kronis.
4. Anemia mikrositik-hipokromik, pada anemia ini jumlah MCV rendah dan
MCHC rendah. Anemia mikrositik-mikrokromik ini menunjukkan ukuran
sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin di dalamnya sama-sama
rendah. Anemia ini sering disebabkan oleh defisiensi Fe, defisiensi vitamin
B6, dan gangguan sintesis globin.
5. Anemia mikrositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV rendah
dan MCHC normal. Anemia mikrositik-normokromik ini menunjukkan
ukuran eritrosit yang rendah namun konsentrasi hemoglobin di dalamnya
normal. Anemia ini sering disebabkan oleh kondisi defisiensi zat besi.
BAB 3
METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Mei
sampai bulan Agustus 2011. Pelaksanaan penelitian ini bertempat di kandang Unit
Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Analisa sampel
darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuit 10 ml, jarum 18
G, kapas, tabung reaksi, kertas label, pulpen, selotip, ice box, ice pack,
hemositometer, cover glass, pipet pengencer RBC, aspirator, tissue, mikroskop
cahaya, alat penghitung, tabung mikro kapiler, alat sentrifuse, penyumbat mikro
kapiler, International Micro Capillary Reader, spektrofotometer, dan pipet mikro.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya empat ekor kerbau
betina, alkohol, pengencer Hayem, antikoagulan Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid (EDTA), dan reagen hemoglobin.
3.3. Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kerbau
lumpur sebanyak empat ekor. Keempat kerbau tersebut berjenis kelamin betina
berumur antara 2 sampai 2.5 tahun dengan bobot badan berkisar 250 kg sampai
300 kg. Kerbau tersebut berasal dari Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.
3.4. Tahap Persiapan
Persiapan yang dilakukan sebelum pengambilan sampel darah kerbau
meliputi persiapan kondisi kerbau. Hal yang dilakukan adalah membiarkan kerbau
beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan (aklimatisasi) di kandang URR
selama 2 minggu. Kerbau tersebut ditempatkan pada kandang individu berukuran
15
2×2.5 meter. Persiapan lain adalah dengan pemberian pakan berupa hijauan pada
pagi dan sore hari. Pada siang hari kerbau sesekali dikeluarkan dari kandang untuk
mencari rumput sendiri dan berkubang di lumpur sekitar URR. Pemberian minum
dilakukan ad libitum. Obat cacing Albendzol dan vitamin B kompleks juga
diberikan sebelum penelitian untuk menjaga kondisi kerbau supaya dapat optimal.
3.5. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel darah dilakukan setiap dua hari sekali selama 10
minggu. Pengambilan darah dilakukan setiap pagi hari melalui Vena jugularis
menggunakan spuit 10 ml dan jarum 18 G. Darah diambil sebanyak kurang lebih
2 ml kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tabung yang
digunakan terlebih dahulu diberi label dengan keterangan tanggal pengambilan
dan keterangan kerbau. Tabung tersebut juga telah dilapis antikoagulan EDTA.
Tabung yang telah diisi dengan darah kemudian langsung ditutup menggunakan
sumbat penutup tabung. Proses homogenisasi antara darah dengan antikoagulan
yang ada di dinding tabung segera dilakukan dengan cara membuat gerakan angka
delapan. Sampel darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ice box yang
didalamnya terdapat ice pack. Sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium
fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah.
3.6. Pemeriksaan Sel Darah Merah, Hemoglobin, dan Hematokrit
Pemeriksan darah yang digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini
adalah jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit.
Perhitungan jumlah sel darah merah dilakukan secara manual dengan
menggunakan hemositometer. Darah diambil dengan menggunakan pipet
pengencer RBC yang bersih dan telah disambungkan dengan aspirator sampai
batas tera 0,5. Setelah itu, ujung pipet pengencer RBC dicelupkan ke dalam
larutan pengencer hayem dan larutan hayem diambil sampai batas tera 101.
Aspirator kemudian dilepas dari pipet pengencer RBC dan pangkal pipet ditutup
dengan ibu jari dan bagian ujungnya ditutup dengan jari tengah. Antara darah dan
larutan pengencer hayem dihomogenkan dengan melakukan gerakan angka
delapan mendatar. Setelah larutan homogen, cairan tersebut dibuang 3 sampai 5
16
tetes untuk mendapatkan bagian yang benar-benar homogen. Hasil pengenceran
kemudian diisikan ke dalam kamar hitung yang telah ditutupi cover glass dengan
cara menyentuhkan ujung pipet pengencer pada permukaan kamar hitung. Kamar
hitung kemudian didiamkan beberapa menit agar darah mengendap sempurna.
Kamar hitung yang telah terisi dilihat dengan mikroskop mula-mula dengan
perbesaran 10×10 kali untuk melihat apakah penyebaran darah telah merata.
Setelah penyebaran darah merata, perhitungan jumlah sel darah merah dapat
dilakukan dengan menghitung jumlah butir darah merah di dalam lima kotak yang
terletak di daerah sentral yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pokok kiri atas
dan bawah, serta satu kotak yang tepat berada di tengah dengan menggunakan
perbesaran 10×40 kali. Hasil perhitungan akhir yaitu Jumlah sel darah merah dari
perhitungan lima kotak tersebut dikalikan dengan 10.000 per mm3 (Theml et al.
2004). Kotak untuk menghitung jumlah sel darah merah pada kamar hitung
hemositometer dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Hemositometer Neubauer
Ket: Kotak eritrosit (lima kotak tengah; 1, 2, 3, 4, 5), Kotak leukosit
(empat kotak pinggir; A, B, C, D) (Haen 1995).
Pengukuran
spektrofotometer
kadar
(Theml et
hemoglobin
al.
2004).
dilakukan
Metode
menggunakan
alat
ini dilakukan dengan
menambahkan reagen untuk mengukur hemoglobin sebanyak 2,5 ml ke dalam
tabung kemudian ditambahkan sampel darah yang akan dianalisis sebanyak 10 µℓ.
Campuran larutan tersebut kemudian dihomogenkan dengan vortex sampai
tercampur rata. Setelah itu dibaca kadar hemoglobinnya menggunakan alat
17
spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Perhitungan Kadar
Hemoglobin (gr%)= Absorban x 36,8 gr Hb/100ml.
Pembacaan
nilai
hematokrit
atau
PCV
dilakukan
menggunakan
International Micro Capillary Reader. Tabung mikro kapiler yang digunakan
adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Darah
dimasukkan dalam tabung mikro kapiler dengan cara menempelkan bagian
ujungnya pada sampel darah dengan posisi mendatar atau sedikit ke bawah.
Bagian tabung mikro kapiler diisi darah hingga 70 sampai 90% dari panjang
tabung mikro kapiler. Tabung mikro kapiler kemudian dipegang secara horizontal
untuk mencegah darah menetes keluar. Setelah itu, bagian ujung tabung mikro
kapiler disumbat dengan penyumbat agar darah tidak keluar. Tabung mikro
kapiler kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm
dengan bagian yang tak tersumbat mengarah ke pusat sentrifuse. Hasil sentrifugasi
akan terlihat tiga lapisan yang terbentuk yaitu sel darah merah dibagian dasar
yang memadat, lapisan tipis seperti pita putih yang merupakan buffycoat yang
tersusun atas leukosit dan trombosit, dan lapisan paling atas berwarna bening
merupakan plasma yang terpisah dari benda-benda darah. Tabung mikro kapiler
yang telah disentrifugasi kemudian dibaca dengan menggunakan alat international
micro capillary reader (Theml et al. 2004).
3.7. Perhitungan Indeks Eritrosit
Kerr (2002) menunjukkan perhitungan Indeks eritrosit MCV, MCH, dan
MCHC dengan menggunkan persamaan berikut:
PCV

MCV (fl) = ∑RBC

MCH (pg) = ∑RBC

MCHC (gr/dl) = PCV 100
(juta )
10
Hb
(juta )
10
Hb
3.8. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dicari rataan dan simpangan bakunya kemudian
dianalisis secara deskriptif.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh
dari rata-rata empat kerbau setiap minggunya selama 10 minggu menunjukkan
nilai yang bervariasi. Data hasil penelitian terhadap jumlah sel darah merah, kadar
hemoglobin, dan nilai hematokrit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Rata-rata jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu
Minggu
BDM (juta/mm3)
Hb (gram%)
PCV (%)
1
5.27±1.13
11.74±1.44
28.96±3.27
2
5.20±0.99
10.92±1.33
28.42±4.16
3
5.33±1.53
10.59±1.09
24.92±1.95
4
4.84±1.14
10.31±1.31
24.70±2.04
5
5.91±0.92
10.55±1.13
25.03±2.59
6
5.50±1.38
10.68±1.08
26.11±2.13
7
5.25±1.08
10.55±0.98
25.69±2.52
8
5.21±0.95
10.10±0.72
23.39±1.83
9
5.25±1.13
10.16±0.68
22.86±1.39
10
5.39±0.89
10.44±0.70
24.84±1.85
Rata-rata
5.32±1.13
10.60±1.14
25.49±3.05
Keterangan: BDM: jumlah sel darah merah; Hb: Hemoglobin; PCV: Hematokrit.
4.1. Sel Darah Merah
Sel darah merah atau dikenal juga dengan eritrosit memiliki fungsi utama
dalam mentransportasikan hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh jaringan tubuh. Sel darah merah juga mengandung banyak enzim karbonat
anhidrase yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi reversibel antara air dan
karbon dioksida menjadi asam karbonik (H2CO3) (Kerr 2002; Guyton and Hall
2006). Proses pembentukan sel darah merah disebut eritropoeisis, kecepatan
eritropoeisis ini sangat dipengaruhi oleh hormon eritropoeitin yang dihasilkan di
ginjal.
Hasil perhitungan rata-rata jumlah sel darah merah pada keempat kerbau
menunjukkan nilai yang cenderung sama setiap minggunya. Secara keseluruhan,
rata-rata jumlah sel darah merah yang diperoleh yaitu 5.32±1.13 juta/mm3, nilai
ini cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai jumlah sel darah merah
19
pada kerbau di Indonesia yang dilaporkan oleh Tharar et al. (1983) sebesar
7.63±1.22 juta/mm3. Nilai yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan pada hasil
penelitian Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berusia dua
sampai tiga tahun sebesar 7.4±0.7 juta/mm3 dan pada hasil penelitian Sulong et al.
(1980) yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur di
Malaysia adalah sebesar 8.8±2.4 juta/mm3. Pada penelitian lain yang khusus
menggunakan kerbau sungai dewasa sebagai hewan cobanya diperoleh jumlah sel
darah merah yakni 7.8±0.38 juta/mm3 (Sharma et al.1985). Rata-rata jumlah sel
darah merah dari keempat kerbau lumpur betina bila dibandingkan dengan
literatur yang ada menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah.
Variasi nilai dari jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur ini
umumnya dipengaruhi oleh kondisi fisiologis masing-masing kerbau. Kondisi
fisiologis pada hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur
lingkungan, kualitas nutrisi pada pakan, keseimbangan cairan tubuh, dan breeding
(Ciaramella et al. 2005). Sulong et al. (1980) juga menyebutkan bahwa Perbedaan
jumlah sel darah merah dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, pakan,
suhu, iklim, perbedaan fisiologis hewan, dan variasi genetik. Variasi genetik akan
mempengaruhi gambaran darah yang meliputi nilai-nilai pada jumlah sel darah
merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kerbau lumpur dan kerbau
sungai. Menurut Tharar et al. (1983) pakan yang tinggi serat akan menunjukkan
jumlah sel darah merah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan tinggi
konsentrat.
Profil sel darah merah setiap minggunya menunjukkan jumlah yang relatif
sama sampai minggu ketiga dan mengalami sedikit penurunan pada minggu
keempat. Penurunan jumlah sel darah merah pada minggu keempat kemungkinan
disebabkan oleh kondisi kerbau yang tidak stabil dan diduga karena adanya
pengaturan hormonal terhadap kondisi lingkungan yang panas (heat stress).
Terjadinya peningkatan suhu sekitar 2 °C di kandang URR memasuki bulan Juni
(minggu keempat penelitian) menjadikan suhu di kandang URR pada pagi hari
berkisar antara 27 sampai 28 °C dengan kelembaban sekitar 84 sampai 85 %. Pada
kondisi lingkungan yang panas terjadi penurunan sekresi hormon tiroid yakni
triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Hormon tiroid berperan dalam pengaturan
20
metabolisme tubuh. Penurunan hormon tiroid menyebabkan laju metabolisme
kerbau juga menurun hingga nilai terendah di musim panas (Marai and Haeeb
2010). Penurunan laju metabolisme menyebabkan kebutuhan jaringan akan
oksigen juga menurun, sehingga pembentukan sel darah merah yang baru juga
rendah.
Tindakan adaptasi kerbau terhadap kondisi lingkungan yang sangat panas
juga dipengaruhi oleh sekresi hormon korteks adrenal terutama hormon kortisol.
Paparan panas secara akut akan menyebabkan peningkatan hormon kortisol.
Peningkatan level kortisol ini menyebabkan hormon glukokortikoid aktif
membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis (Marai and Haeeb 2010).
Fase akut heat stress pada kerbau lumpur dapat menyebabkan peningkatan
kandungan protein plasma dari 9.21 gr/100ml sampai 9.81 gr/100ml (Chaiyabuter
et al. 1987).
Pada minggu kelima terjadi peningkatan jumlah sel darah merah.
Peningkatan ini terjadi sebagai akibat penurunan jumlah sel darah merah yang
terjadi pada minggu keempat dan merespon sumsum tulang untuk melepaskan
darah dalam jumlah yang besar agar jumlah sel darah merah kembali normal
(Guyton and Hall 2006). Hal lain yang juga bisa menyebabkan terjadinya
peningkatan jumlah sel darah merah adalah kondisi hipoksia. Suatu tempat yang
memiliki kadar oksigen yang rendah akan menstimulasi eritropoeitin untuk
memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya hingga kondisi kembali
normal. Pada minggu keenam hingga minggu kesepuluh, jumlah sel darah merah
kembali turun berada dikisaran 5.32±1.13 juta/mm3. Profil jumlah sel darah merah
pada kerbau lumpur setiap minggunya disajikan pada Gambar 4.
Jumlah Sel Darah
Merah (juta/mm3)
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (minggu)
8
9
10
Gambar 4 Profil jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur betina selama sepuluh
minggu.
21
Kondisi dimana jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai
hematokrit berada jauh di bawah rentang nilai normal disebut anemia (Guyton and
Hall 2006). Anemia merupakan gejala klinis yang muncul sebagai respon
sekunder akibat suatu penyakit. Kerr (2002) menggolongkan kejadian anemia
berdasarkan kejadiannya yaitu anemia yang terjadi secara akut dan kronis.
Kejadian anemia secara akut dapat terjadi karena hemoragi akut, hemolisis akut,
produksi sel darah merah yang terganggu, dan defisiensi substansi pembentuk
hemoglobin. Adapun anemia yang berjalan secara kronis dapat disebabkan oleh
hemoragi pada saluran pencernaan, traktus urinari, ektoparasit pengisap darah,
dan hemolisis pada sel darah yang disebabkan oleh agen infeksius, toksin, dan
kelainan kongenital.
Kondisi anemia terjadi karena jumlah sel darah merah dewasa yang
beredar dalam darah rendah. Kekurangan sel darah merah juga dapat dipengaruhi
oleh proses pematangan sel darah merah yang terganggu. Defisiensi vitamin B12
dan asam folat pada pakan merupakan penyebab kegagalan sel darah merah untuk
berkembang menjadi dewasa. Kegagalan maturasi sel darah merah juga dapat
disebabkan oleh rendahnya daya absorpsi saluran pencernaan terhadap vitamin
B12 (Guyton and Hall 2006).
4.2. Hemoglobin
Hemoglobin
merupakan
protein
yang
berfungsi
dalam
proses
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dari paru-paru menuju ke jaringan,
begitu juga sebaliknya. Data hasil pengukuran rata-rata kadar hemoglobin pada
Kadar Hemoglobin
(gram %)
keempat kerbau lumpur selama sepuluh minggu dapat dilihat pada Gambar 5.
13,00
12,00
11,00
10,00
9,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 5 Profil kadar hemoglobin pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
22
Kadar hemoglobin pada kerbau lumpur setiap minggunya mengalami
fluktuasi. Rata-rata kadar hemoglobin tertinggi ditunjukkan pada minggu pertama
yaitu 11.74±1.44 gr%, kemudian minggu kedua hingga minggu kesepuluh
menunjukkan kadar hemoglobin yang relatif konstan berada dikisaran 10 sampai
11 gram%. Tingginya rata-rata kadar hemoglobin pada minggu pertama bila
dibandingkan minggu-minggu lainnya diduga terjadi karena kerbau masih dalam
tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kondisi tersebut
menyebabkan kerbau membutuhkan lebih banyak oksigen dan direspon dengan
pembentukan hemoglobin yang tinggi. Kadar hemoglobin kemudian berangsurangsur menurun setiap minggunya. Kadar hemoglobin yang ditunjukkan pada
minggu keempat sedikit mengalami penurunan dari kadar hemoglobin pada
minggu ketiga dan kemudian pada minggu kelima mengalami kenaikan kembali.
Gambaran kadar hemoglobin ini sejalan dengan gambaran jumlah sel darah merah
pada minggu keempat yang juga mengalami penurunan dan mengalami
peningkatan pada minggu kelima. Profil kenaikan dan penurunan kadar
hemoglobin dari minggu keenam hingga minggu kesepuluh kemudian mengikuti
pola yang sama dengan profil jumlah sel darah merah.
Secara keseluruhan, hasil perhitungan kadar hemoglobin yang diperoleh
menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda setiap minggunya. Rata-rata kadar
hemoglobin dari keempat kerbau selama sepuluh minggu yaitu 10.60±1.14
gram%. Rata-rata kadar hemoglobin yang diperoleh pada kerbau lumpur ini
cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar hemoglobin pada kerbau
lumpur di Malaysia sebesar 13.4±1.9 gram% (Sulong et al. 1980) dan kadar
hemoglobin pada kerbau di Indonesia yang dilaporkan oleh Tharar et al. (1983)
sebesar 16.91±1.61 gram%. Nilai kadar hemoglobin yang relatif lebih tinggi juga
dilaporkan oleh Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berumur
dua sampai tiga tahun yaitu 14±0.98 gram%. Nilai kadar hemoglobin yang sedikit
lebih tinggi juga dilaporkan pada kerbau sungai dewasa yakni 12.10±1.36 gram%
(Sharma et al.1985).
Perbedaan kadar hemoglobin tersebut dapat terjadi karena perbedaan
teknik pembiakan, nutrisi pada pakan, aktivitas kerbau, dan kondisi iklim
(Ciaramella et al. 2005). Kadar hemoglobin yang diperoleh dari hasil penelitian
23
menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan
literatur yang ada. Hal ini diduga karena adanya pengaruh kuantitas dan kualitas
pakan yang diberikan terhadap pembentukan hemoglobin sehingga kadar
hemoglobin cenderung rendah. Tharar et al. (1983) menyebutkan dalam hasil
penelitiannya bahwa kerbau yang diberi pakan tinggi konsentrat akan
memperlihatkan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit yang lebih tinggi, namun
jumlah sel darah merah dan sel darah putihnya lebih rendah bila dibandingkan
dengan kerbau yang diberi pakan tinggi serat. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang diperoleh. Kadar hemoglobin yang cenderung lebih rendah ini
dapat disebabkan karena pakan yang diberikan pada kerbau penelitian hanya
berupa serat atau hijauan saja, berbeda dengan pakan berupa konsentrat dan
hijauan yang diberikan pada kerbau penelitian Tharar et al. (1983).
Suatu keadaan dimana kadar hemoglobin berada jauh di bawah nilai
normal dapat menjadi salah satu penyebab kondisi anemia. Rendahnya kadar
hemoglobin dalam darah dapat disebabkan oleh faktor internal yaitu kekurangan
zat besi (Fe) sehingga proses pembentukan hemoglobin menjadi terganggu. Faktor
eksternal dengan adanya logam berat dengan konsentrasi tinggi dalam darah yang
mengganggu aktivasi enzim yang mengandung gugus sulfit sehingga sintesis
hemoglobin menjadi terganggu. Selain logam berat, proses kemoterapi, dan
radiasi juga dapat mengganggu proses sintesa hemoglobin (Tim Fisiologi 2002).
4.3. Hematokrit
Hematokrit merupakan sebuah pengukuran fraksi volume darah yang
terdiri dari eritrosit dan dinyatakan sebagai persentase atau sebagai pecahan
desimal. Nilai hematokrit sangat bervariasi tergantung jenis spesiesnya. Pada
hewan besar nilai hematokrit berada pada rentang 30% sampai 40%, pada kucing
rentang nilai hematokritnya 30% sampai 45%, dan pada anjing bernilai 35%
sampai 65% (Kerr 2002).
Rata-rata nilai hematokrit dari keempat kerbau selama sepuluh minggu
menunjukkan nilai yang bervariasi. Rata-rata nilai hematokrit yang diperoleh
sebesar 25.49±3.05 %. Nilai hematokrit yang diperoleh menunjukkan nilai yang
cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai hematokrit yang
24
dilaporkan oleh Ciaramella et al. (2005) pada kerbau Mediteranian yang berusia
dua sampai tiga tahun sebesar 37±1.2 %. Laporan nilai hematokrit lain pada
kerbau lumpur di Malaysia menunjukkan nilai hematokrit sebesar 39.2±4.9 %
(Sulong et al. 1980) dan 41.3±4.4 % pada kerbau di Indonesia (Tharar et al.
1983). Bila dibandingkan dengan semua laporan nilai hematokrit yang ada, maka
nilai hematokrit yang diperoleh cenderung bernilai lebih kecil. Perbedaan nilai
hematokrit tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, kelembaban,
variasi genetik, dan keadaan fisiologis hewan yang berbeda sehingga
menyebabkan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan
jumlah sel darah putihnya turut berbeda (Sulong et al. 1980). Tharar et al. (1983)
juga menyebutkan bahwa peningkatan nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh
jenis pakan yang dikonsumsi.
Pengamatan nilai hematokrit setiap minggunya mengalami kenaikan dan
penurunan. Pola kenaikan dan penurunan rata-rata nilai hematokrit pada keempat
Nilai Hematokrit (%)
kerbau lumpur selama sepuluh minggu disajikan pada Gambar 6.
30,00
29,00
28,00
27,00
26,00
25,00
24,00
23,00
22,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 6 Profil nilai hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
Nilai hematokrit memiliki hubungan yang sangat erat dengan jumlah sel
darah merah. Peningkatan jumlah sel darah merah umumnya diikuti dengan
peningkatan nilai hematokrit. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada
penelitian ini menunjukkan nilai yang tidak sesuai pada minggu ketiga dan
minggu keenam dengan pola jumlah sel darah merah. Pada minggu ketiga jumlah
sel darah merah mengalami peningkatan, namun nilai hematokritnya mengalami
25
penurunan. Berbeda dengan minggu keenam yang mengalami penurunan jumlah
sel darah merah, namun nilai hematokritnya mengalami peningkatan.
Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit yang tidak sesuai dengan
pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penurunan nilai hematokrit yang terjadi pada minggu ketiga tanpa
terjadi penurunan jumlah sel darah merah diduga terjadi karena banyaknya sel
darah merah yang mengalami penuaan memasuki minggu ketiga, hal ini didukung
dengan nilai MCV yang juga mengalami penurunan pada minggu ketiga. Sel
darah merah yang lebih tua akan berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan
sel darah merah yang muda. Ukuran sel darah merah yang tua ini tentunya akan
mempengaruhi nilai hematokrit yang juga menurun. Selain itu, penurunan nilai
hematokrit tanpa disertai penurunan jumlah sel darah merah dapat disebabkan
oleh kandungan hemoglobin yang rendah di dalam sel sehingga ukuran sel darah
merah juga menjadi kecil. Peningkatan nilai hematokrit pada minggu keenam
diduga terjadi karena volume plasma darah yang menurun seperti pada kondisi
dehidrasi. Hal ini menyebabkan nilai hematokrit menjadi meningkat.
Suatu kondisi dimana nilai hematokrit sangat tinggi dibandingkan dengan
nilai normalnya disebut polisitemia. Kerr (2002) membagi kondisi polisitemia
dalam bentuk polisitemia relatif dan absolut. Polisitemia relatif dapat disebabkan
karena kondisi dehidrasi dan kontraksi limpa. Saat kondisi dehidrasi, jumlah
plasma di dalam pembuluh darah berkurang dan menyebabkan sumsum tulang
berespon untuk memproduksi sel darah merah sehingga nilai hematokrit menjadi
naik disertai dengan kenaikan protein plasma dan albumin. Kontraksi limpa yang
turut meningkatkan nilai hematokrit dapat terjadi dalam kondisi hewan yang
sangat gembira, khawatir, dan takut. Kondisi tersebut mengakibatkan otot halus di
limpa berkontraksi sehingga dilepaskannya sejumlah sel darah merah yang diikuti
dengan peningkatan nilai hematokrit tanpa peningkatan plasma protein (Kerr
2002).
Polisitemia absolut dengan peningkatan ukuran sel darah merah terjadi
dikarenakan polisitemia vera dan polisitemia sekunder yang disebabkan oleh
penyakit organ lain seperti gagal jantung (Kerr 2002). Menurut Guyton and Hall
(2006) polisitemia vera terjadi karena kelainan genetik dalam sel hemositoblastik
26
yang memproduksi sel darah, sehingga sel blast terus memproduksi sel darah
merah walaupun jumlah sel darah merah sudah banyak. Hal ini tidak hanya
menyebabkan peningkatan jumlah sel darah merah tetapi nilai hematokrit dan
kadar hemoglobin juga meningkat. Pada keadaan ini akan terjadi peningkatan
viskositas darah tiga sampai sepuluh kali viskositas air.
Tabel 4 Rata-rata Jumlah MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina
selama sepuluh minggu
Minggu
MCV (fl)
MCH (pg)
MCHC (gr/dl)
1
57.09±12.90
23.34±7.03
41.04±6.71
2
56.35±13.22
21.51±3.72
38.77±3.88
3
49.17±9.76
20.91±4.26
42.52±3.13
4
53.55±12.73
22.29±5.35
41.72±3.88
5
42.97±6.16
18.18±3.11
42.21±2.50
6
50.16±13.03
20.38±4.86
40.87±2.04
7
50.51±9.62
20.74±3.83
41.13±1.49
8
46.11±7.98
19.80±2.83
43.29±3.12
9
45.25±9.37
19.97±3.30
44.58±3.71
10
46.90±6.20
19.73±2.72
42.11±2.31
Rata-rata
49.81±11.08
20.69±4.39
41.82±3.76
Keterangan: MCV: Mean Corpuscular Volume; MCH: Mean Corpuscular Hemoglobin; MCHC:
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration.
4.4. Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean corpuscular volume merupakan salah satu indikator yang penting
dalam penentuan jenis anemia. Nilai MCV menunjukkan ukuran sel darah merah
yang diperoleh dari aritmatik sederhana antara PCV dan jumlah sel darah merah
(Kerr 2002). MCVs tinggi menunjukkan ukuran sel darah merah besar atau
makrositik. MCV rendah menunjukkan ukuran sel darah merah kecil atau
mikrositik. Ukuran MCV normal menunjukkan ukuran sel darah merah normal
atau normositik.
Data perhitungan MCV yang diperoleh dari rata-rata keempat kerbau
lumpur selama sepuluh minggu menunjukkan nilai 49.81±11.08 fl. Hasil yang
tidak jauh berbeda ditunjukkan dari penelitian Sulong et al. (1980) pada kerbau
lumpur di Malaysia sebesar 49.3±13.9 fl dan 49.6±4.9 fl pada kerbau
Mediteranian yang berusia dua sampai tiga tahun Ciaramella et al. (2005). Nilai
MCV yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan oleh Sharma et al. (1985) yaitu
51.02±3.82 fl pada kerbau sungai. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tharar et al. (1983) menunjukkan nilai MCV yang cenderung lebih tinggi
27
yaitu 57.35±9.9 fl. Hasil perhitungan nilai MCV yang diperoleh bila dibandingkan
dengan semua literatur yang ada menunjukkan nilai yang hampir sama. Profil
kenaikan dan penurunan nilai MCV disajikan pada Gambar 7.
Nilai MCV (ƒℓ)
60,00
55,00
50,00
45,00
40,00
35,00
30,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 7 Profil nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) pada kerbau lumpur betina
selama sepuluh minggu.
Nilai MCV yang ditunjukkan pada Gambar 7 terlihat mengalami
perbedaan setiap minggunya. Nilai MCV tertinggi berada pada minggu pertama
yakni 57.09±12.90 fl. Nilai MCV kemudian mengalami penurunan dan kenaikan
setiap minggunya. Pola kenaikan dan penurunan nilai MCV mengikuti pola
kenaikan dan penurunan nilai hematokrit setiap minggunya. Penurunan nilai MCV
pada minggu ketiga sesuai dengan penurunan nilai hematokrit yang sangat drastis
pada minggu yang sama. Hal ini menunjukkan sel darah merah pada minggu
ketiga cenderung berukuran kecil.
4.5. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
Data hasil perhitungan rata-rata nilai mean corpuscular hemoglobin
(MCH) pada kerbau lumpur selama sepuluh minggu diperoleh nilai MCH sebesar
20.69±4.39 pg. Nilai MCH ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan nilai
MCH yang dilaporkan oleh Sharma et al. (1985) pada kerbau sungai sebesar
15.51±2.80 pg dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Sulong et al. (1980)
pada kerbau lumpur di Malaysia yaitu 16.5±4.7 pg. Nilai MCH lain yang tidak
jauh berbeda dengan nilai MCH yang diperoleh ditunjukkan pada kerbau
Mediteranian yang berusia dua sampai tiga tahun sebesar 18.7±1.7 pg (Ciaramella
et al. 2005). Berbeda dengan hasil penelitian lainnya, nilai MCH yang dilaporkan
28
pada hasil penelitian Tharar et al. (1983) menunjukkan nilai yang cenderung lebih
tinggi yaitu 23.90±4.20 pg. Nilai MCH yang normal menunjukkan rata-rata massa
hemoglobin di dalam sel darah merah juga normal, sebaliknya nilai MCH yang
tinggi menunjukkan rata-rata massa hemoglobin di dalam sel darah merah juga
Nilai MCH (pg)
tinggi. Profil kenaikan dan penurunan nilai MCH disajikan pada Gambar 8.
24,00
23,00
22,00
21,00
20,00
19,00
18,00
17,00
16,00
15,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 8 Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada kerbau lumpur
betina selama sepuluh minggu.
Berdasarkan grafik MCH pada Gambar 8 dapat dilihat nilai MCH tertinggi
berada pada minggu pertama. Nilai MCH kemudian mengalami penurunan pada
minggu kedua, minggu ketiga, minggu kelima, dan minggu kedelapan.
Peningkatan nilai MCH terjadi pada minggu keempat, minggu keenam, dan
minggu ketujuh. Pola grafik MCH mengikuti pola kadar hemoglobin sampai pada
minggu ketiga. Pada minggu keempat nilai MCH mengalami peningkatan dari
minggu ketiga, berbeda dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin
pada Gambar 4 dan Gambar 5 yang mengalami sedikit penurunan pada minggu
sama. Pada minggu kelima terjadi penurunan nilai MCH, namun jumlah sel darah
merah dan kadar hemoglobin pada minggu yang sama mengalami sedikit
peningkatan. Pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh kemudian
mengikuti pola yang sama dengan pola grafik kadar hemoglobin.
4.6. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
Mean corpuscular hemoglobin concentration merupakan ukuran dari
konsentrasi hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Nilai MCHC ini diperoleh
29
dari perhitungan antara PCV dan total konsentrasi hemoglobin pada sampel darah
yang dinyatakan dalam gr/100 ml (Kerr 2002). Suatu keabnormalan nilai MCHC
yang sangat tinggi seharusnya tidak mungkin terjadi seperti kejadian pada sel
darah merah yang hiperkromik. Kondisi sel darah merah tidak mungkin memiliki
kandungan konsentrasi hemoglobin yang tinggi disebabkan adanya kapasitas
maksimal dari jumlah hemoglobin yang dapat dimuat dalam sel darah merah.
Hasil perhitungan nilai MCHC yang diperoleh dari rata-rata keempat
kerbau lumpur selama sepuluh minggu menunjukkan nilai 41.82±3.76 gr/dl. Bila
dibandingkan dengan nilai MCHC yang ada pada beberapa literatur menunjukkan
nilai yang cenderung sama. Beberapa literatur yang melaporkan nilai MCHC pada
kerbau menunjukkan nilai MCHC yang bervariasi diantaranya oleh Tharar et al.
(1983) yang melaporkan nilai MCHC pada kerbau di Indonesia sebesar
40.87±3.00 gr/dl. Ciaramella et al. (2005) juga melaporkan nilai MCHC yaitu
37.5±2.7 gr/dl pada kerbau yang berusia dua sampai tiga tahun, pada kerbau
lumpur di Malaysia memiliki nilai MCHC yang diperoleh sebesar 34.1±2.1 gr/dl
(Sulong et al. 1980). Penelitian lain yang dilaporkan Sharma et al. (1985)
menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai MCHC yang
diperoleh yakni 30.4±3.06 gr/dl. Profil kenaikan dan penurunan nilai MCHC
Nilai MCHC (gr/dℓ )
disajikan pada Gambar 9.
45,00
44,00
43,00
42,00
41,00
40,00
39,00
38,00
37,00
36,00
35,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu (minggu)
Gambar 9 Profil nilai Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) pada
kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa kelompok kerbau lumpur yang diamati memiliki Gambaran jumlah sel
darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC
masing-masing
berkisar
(5.32±1.13)
juta/mm3,
(10.60±1.14)
gram%,
(25.49±3.05)%, (49.81±11.08) fl, (20.69±4.39) pg, dan (41.82±3.76) gr/dl.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai gambaran sel darah merah
pada kerbau lumpur untuk mengetahui rentang nilai normal sel darah merah,
kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau lumpur yang
dipelihara di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Basis Data Statistik Populasi Kerbau.
http://www.BPS.com [18 Agustus 2011].
Bachyar. 2002. Pengukuran Hemoglobin. http:// mengukur hemoglobin.ac.id
[16 Juli 2012].
Bhatt VS, Zaldivar LS, Harris DR, Couto CG, Wang PG, Palmer AF. 2011.
Structure of Greyhound hemoglobin: origin of high oxygen affinity. Acta
Crystallographica Section D Biological Crystallography 67: 395-402.
Bhattacharya R. 1993. Kerbau. in: Pengantar Peternakan di Daerah Tropis
(Williamson WGA dan Payne WJA). Universitas Gadjah Mada Press.
Yogyakarta.
Chaiyabuter N, Buranakarl C, Muangcharoen V, Loypetjra P, Pichaicharnarong.
1987. Effects of acute heat stress on changes in the rate of liquid flow from
the rumen and turnover of body water of swamp buffalo (Bubalus
bubalis). The Journal of Agricultural Science 49:553 1 08.
Ciaramella P, Corona M, Ambrosio R, Consalvo F, Persechino A. 2005.
Haematological profile on non-lactating Mediterranean buffaloes (Bubalus
bubalis) ranging in age from 24 months to 14 years. Research in
Veterinary Science 79: 77–80.
Dallas SE. 2006. Animal Biology and Care Second Edition. USA: Blackwell
Publishing ltd.
Dayer MR, Moosavi MAA, Dayer MS, Mousavy SJ. 2011. Comparison of Human
and Shirbot (Cyprinidae: Barbus grypus) Hemoglobin: A StructureFunction Prospective. Protein and Peptide Letters 15.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah HMD
Penerjemah; Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari:
Review of medical physiology.
Guimaraes SEF, Pinheiro LEL, and Guimaraes JD. 1995. Meioticpeculiarities in
hybrid buffalo. The Journal of Theriogenology 43: 579-583.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Medical Physiology Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Review of medical physiology 11 th
edition.
Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Edited by Linda Harris and Young.
Loyola Marymont University. Wm. C. Brown Publishers. Chicago USA.
32
Johari S, Kurnianto E, Sutopo, Hamayanti WA. 2009. Multivariate Analysis On
Phenotypic Traits Of Body Measurement In Swamp Buffalo (Bubalus
bubalis). Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.
Joseph G. 1996. Status asam-basa dan metabolisme mineral pada ternak kerbau
lumpur yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan penambahan
natrium [Tesis]. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kerr MG. 2002. Veterinary Laboratory Medicine Edisi 2: Blackwell Science. 2nd
edition.
Marai IFM, Haeeb AAM. 2010. Buffalo's biological functions as affected by heat
stress. Journal of Livestock Science 127: 89–109.
Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. W. B Saunders Company. Philadelphia.
Olver CS, Andrews GA, Smith JE, Kaneko JE. 2010. Erythrocyte Structure and
Function. Didalam : Weiss DJ, Wardrop KJ, editor: Schalm`s Veterinary
Hematology Sixth Edition. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Raskin RE, Wardrop KJ. 2010. Species Specific Hematology. Didalam : Weiss
DJ, Wardrop KJ, editor: Schalm`s Veterinary Hematology Sixth Edition.
USA: Blackwell Publishing Ltd.
Robbani AB. 2009. Karakteristik Fenotipik Kerbau lumpur (Swamp buffalo) di
Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Roth
J.
2004.
Bubalus
bubalis.
[Terhubung
berkala].
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Bubalus
bubalis.html [18 Juli 2012].
Sharma MC, Pathak NN, Verma RP. 1985. Normal haematology of Murrah
buffaloes of various ages in the agroclimatic conditions in Vietnam. Indian
Veterinary Journal 62: 383 – 386.
Sitorus AJ. 2008. Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik
Kerbau Sungai, Rawa, dan Silangannya di Sumatera Utara. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Sloane E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Veldman J Penerjemah.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Anatomy and
Physiology an Easy Learner.
Sosroamidjojo MS. 1991. Ternak Potong dan Kerja. Jakarta: CV Yasa Guna.
33
Suhubdy. 2010. Strategi Percepatan Pertumbuhan Populasi Dasar Ternak
Kerbau dan Sapi di Provinsi Kalimantan Timur: Pengalaman dan
Tantangan dalam Menunjang PSDSK 2014. Makalah dipresentasikan pada
Lokakarya Pengembangan Ternk Kerbau di Provinsi Kalimantan Timur,
Balikpapan, 9 November 2010.
Suhubdy. 2011. Potensi dan Prospek Ternak Ruminansia Lokal Nonsapi sebagai
Kimah Nasional dalam Menunjang Ketahanan Pangan Hewani di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Prospek dan
Potensi Sumberdaya Ternak Lokal dalam Menunjang Ketahanan Pangan
Hewani. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto
Jawa Tengah, 15 Oktober 2011.
Sulong A, Hilmi M, Jainudeen MR. 1980. Haematology of Malaysian swamp
buffalo (Bubalus bubalis). Pertanika 3(2): 66-70.
Sunariah
NS.
2008.
[18 Maret 2012].
http://apakah-anda-pernah-melihat-bentuk-sel.html
Tharar A, Moran JB, Wood JT. 1983. Hematology of Indonesian large ruminants.
Tropical Animal Health and Production 15: 76-82.
Theml H, Diem H, Haferlach T. 2004. Color Atlas of Hematology Practical
Microscopic and Clinical Diagnosis Second Edition. New York: Thieme
Clinical Sciences.
Thrall MA, Baker DC, Campbell TW, De Nicola D, Fettman MJ. 2004.
Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Philadelphia,
Pennsylvania: Lippincott Williams and Wlkins.
Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2002. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan.
Departemen Biologi. Surabaya: Universits Airlangga.
Wills TB. 2010. Hematology of Water Buffalo (Bubalia bubalis). Didalam: Weiss
DJ, Wardrop KJ, editor: Schalm`s Veterinary Hematology Sixth Edition.
USA: Blackwell Publishing Ltd.
34
LAMPIRAN
Komponen Reagen Hemoglobin
Reagen hemoglobin terdiri dari bahan berikut yang diencerkan dengan akuades
hingga 1 liter:
•
0.6 mmol/l potassium hexacyanoferrate
•
1.0 mmol/l Potassium cyanida
•
2.5 mmol/l phosphate buffer pH 7,2
•
1.5 mmol/l sodium chlorida
•
0.05% detergent
Prinsip
perhitungan
kadar
hemoglobin
dengan
menggunakan
metode
cyanmethemoglobin yaitu:
•
Ferrosianida mengubah Fe pada Hb dari bentuk Fe2+ ke bentuk Fe3+
menjadi methemoglobin
•
methemoglobin bereaksi dengan KCN membentuk sianmethemoglobin
yaitu pigmen yang stabil
•
Pigmen sianmethemoglobin diukur fotometrik dengan panjang gelombang
540 nm
•
Kalium-hidrogen-fosfat digunakan agar pH tetap
•
Deterjen berfungsi mempercepat hemolisa darah serta mencegah
kekeruhan yang terjadi oleh protein plasma
Download