BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil produksi manusia yang berbudaya. Salah satu bentuk sastra adalah puisi. Secara umum, puisi dapat didefinisikan sebagai seni tertulis yang menggunakan bahasa sebagai unsur estetikanya. Puisi bermuka ganda, yaitu memiliki bentuk dan makna. Bentuk dan makna itu berkaitan dengan tema sebuah puisi. Di Prancis, puisi mengalami perkembangan. Sebelum abad XIX, aliran puisi tidak begitu banyak, dan aturan penulisan puisi di Prancis sangat ketat. Pada abad XIX, aturan-aturan penulisan puisi yang ketat itu sedikit demi sedikit luntur. Banyak aliran dalam kesusastraan berkembang pada abad itu, seperti romantisme, formalisme, simbolisme, realisme, dan naturalisme. Salah satu sastrawan Prancis abad XIX adalah Charles Baudelaire (1821 – 1867). Baudelaire dilahirkan di Paris. Semasa remaja, ia sempat menjalani hidup sebagai seniman urakan. Keluarganya kemudian memutuskan untuk menyuruhnya melakukan perjalanan ke India pada tahun 1841. Perjalanan itu membuat Baudelaire mencintai laut, matahari, dan eksotisme. Sejak kepulangannya itu, Baudelaire menganut dandysme, yaitu hidup secara urakan dalam kemewahan. Di masa itu, ia menjalin hubungan asmara dengan Jeanne Duval. Pada masa penuh kebahagiaan itu, ia menulis kumpulan puisi berjudul Les Fleurs du Mal. Pada saat kumpulan puisi itu diterbitakan pada 1857, timbul sebuah skandal yang mengantar Baudelaire ke pengadilan. Ia dituduh tidak bermoral. Ia pun kemudian menghapus enam puisi agar kumpulan puisi itu dapat diterbitkan. Di setiap karyanya, ia mencurahkan pemikiran dan perasaannya. Ia juga sering menggunakan simbol untuk menggambarkan suatu hal di dalam puisinya. 2 Salah satu puisi di dalam kumpulan puisi itu adalah L’Aube spirituelle, yang terdapat di bagian Spleen et Idéal. Di miniskripsi ini, saya mempunyai keinginan untuk melihat tema puisi itu adalah cinta. Saya memiliki praduga bahwa puisi itu bertema cinta spiritual. Selain itu, saya juga ingin menganalisis beberapa aspek di dalam puisi itu di miniskripsi ini. Oleh sebab itu, miniskripsi ini ditulis. 1.2 Masalah Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1. Bagaimana aspek metrik yang membangun puisi L’Aube spirituelle? 2. Bagaimana aspek bunyi yang membangun puisi L’Aube spirituelle? 3. Bagaimana aspek sintaksis yang membangun puisi L’Aube spirituelle? 4. Bagaimana aspek semantik yang membangun puisi L’Aube spirituelle? 5. Bagaimana aspek pragmatik yang membangun puisi L’Aube spirituelle? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperlihatkan bahwa puisi L’Aube spirituelle bertema kebangkitan spiritual dari kehidupan tidak bermoral. 1.4 Sumber Data Puisi yang akan diteliti adalah L’Aube spirituelle karya Charles Baudelaire yang dimuat dalam kumpulan sajak Les Fleurs du Mal. Puisi itu saya temukan di situs www.fleursdumal.org. 1.5 Kerangka Teoretis 3 Sebuah karya sastra terbentuk dari unsur-unsur yang membentuk satu kesatuan. Dalam puisi, unsur-unsur itu ada pada bentuk dan makna puisi. Unsurunsur itu meliputi : 1. Aspek metrik. Pada miniskripsi ini, yang akan dibahas hanya penghitungan suku kata dan bait. 2. Aspek bunyi. Pada miniskripsi ini, yang akan dibahas hanya rima. 3. Aspek sintaksis. Pada miniskripsi ini, yang akan dibahas hanya kalimat dan klausa. 4. Aspek semantik. Pada miniskripsi ini, yang akan dibahas hanya makna konotatif dan majas. 5. Aspek pragmatik. Pada miniskripsi ini, yang akan dibahas hanya apa yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Berikut ini adalah definisi dari beberapa konsep sebagai kerangka berpikir.. Alexandrin adalah larik dengan dua belas suku kata. Bait adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri dari beberapa larik. Rima adalah pengulangan bunyi pada akhir larik sajak yang muncul secara periodik. Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Klausa adalah gabungan monem, kata, dan frasa yang bersifat predikatif. Makna konotatif adalah makna yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata. Majas adalah gaya bahasa. 4 BAB II ANALISIS ASPEK METRIK, BUNYI, SINTAKSIS, SEMANTIK, DAN PRAGMATIK DALAM PUISI L’AUBE SPIRITUELLE 2.1 Analisis Metrik Sajak L’Aube spirituelle terdiri atas empat belas larik yang terbagi ke dalam empat bait. Bait pertama terdiri atas empat larik (quatrain). Bait kedua terdiri atas empat larik. Bait ketiga terdiri atas tiga larik (tercet). Bait keempat terdiri atas tiga larik. Dari bentuk itu, dapat dikatakan bahwa puisi itu adalah sebuah soneta. Suku kata dalam satu larik puisi itu berjumlah dua belas, sehingga puisi itu memenuhi aturan alexandrin. Dari analisis aspek metrik sederhana di atas, ada hal penting yang dapat diketahui, yaitu bahwa puisi L’Aube spirituelle adalah soneta yang memenuhi aturan alexandrin. 5 2.2 Analisis Bunyi Di dalam puisi L’Aube spirituelle terdapat rima akhir yang membangun estetika puisi itu. Pada bait pertama, rima yang digunakan adalah rima berpeluk A-B-B-A. Bunyi yang membangun rima A adalah bunyi [ɛj] dan yang membangun rima B adalah bunyi [ʒœR]. Pada bait kedua, rima yang digunakan adalah C-D-D-C. Bunyi yang membangun rima C adalah bunyi [yR] dan yang membangun rima D adalah bunyi [ufR]. Pada bait ketiga, rima yang digunakan adalah E-F-F. Bunyi yang membangun rima E adalah [ʒi] dan yang membangun rima F adalah bunyi [mɑ̃]. Pada bait keempat, rima yang digunakan adalah E-A-A. Dapat dikatakan bahwa puisi L’Aube spirituelle memiliki pola ritme yang khas yang membangun estetikanya. 2.3 Analisis Sintaksis Analisis sintaksis pada puisi L’Aube spirituelle pada miniskripsi ini akan membahas struktur kalimat dan klausa yang ada di dalamnya. Bagian ini akan memilah puisi itu ke dalam kalimat-kalimat. Setelah itu, kalimat-kalimat itu akan dipilah lagi ke dalam klausa-klausa. Puisi L’Aube spirituelle sebenarnya terdiri atas empat kalimat. Kalimat pertama tersusun dalam quatrain pertama, yaitu “Quand chez les debauches l’aube blanche et vermeille entre en société de l’Idéal rougeur, par l’opération d’un mystère vengeur dans la brute assoupie un ange se réveille.”. Apabila kalimat itu dipilah menjadi klausa, maka akan ada dua klausa, yaitu klausa utama dan klausa bawahan. Yang menjadi klausa utama adalah “un ange se reveille”, dan yang menjadi klausa bawahan adalah “quand chez les debauches l’aube blanche et vermeille entre en société de l’idéal rougeur, par l’opération d’un mystère vengeur dans la brute assoupie”. Klausa bawahan pada kalimat itu memberi keterangan waktu pada aktivitas yang terjadi yang dijelaskan oleh klausa utama. Yang menjadi konjungsi adalah “ quand ”. Menjadi kalimat pertama dalam puisi, maka kalimat itu juga menjadi kalimat pembuka puisi. 6 Kalimat kedua dapat dilihat dari quatrain kedua, yaitu “Des Cieux Spirituels l’inaccessible azur, pour l’homme terrassé qui rêve encore et souffre, s’ouvre et s’enfonce avec l’attirance du gouffre.”. Di dalam kalimat itu, yang menjadi klausa utama adalah “des Cieux Spirituels l’inaccessible azur, pour l’homme terrassé”. Ada tiga klausa bawahan, yaitu “qui rêve encore”, “et souffre”, dan “et s’enfonce avec l’attirance du gouffre”. Klausa “qui rêve encore” menjadi subordinatif relatif, begitu pula dengan klausa “et (qui) souffre”. Klausa “et s’enfonce avec l’attirance du gouffre” menjadi koordinatif yang bersifat independen. Konjungsi yang ditemukan di kalimat itu adalah “qui” dan “et”. Kalimat ketiga dapat dilihat dari larik terakhir quatrain kedua dan keseluruhan tercet pertama, yaitu “Ainsi, chère Déesse, Etre lucide et pur, sur les débris fumeux des stupides orgies ton souvenir plus clair, plus rose, plus charmant, à mes yeux agrandis voltige incessament.”. Kalimat itu hanya terdiri dari satu klausa, yaitu “ainsi, chère Déesse, Etre lucide et pur, sur les débris fumeux des stupides orgies ton souvenir plus clair, plus rose, plus charmant, à mes yeux agrandis voltige incessament”. Klausa itu hanya memiliki satu predikat, yaitu “voltige”. Sifat klausa itu independen. Tercet kedua mengandung kalimat keempat, yaitu “Le soleil a noirci la flamme des bougies; Ainsi toujours vainqueur, ton fantôme est pareil, âme resplendissante, à l’immortel soleil.”. Kalimat itu terdiri atas dua klausa bebas. Yang pertama adalah “le soleil a noirci la flamme des bougies”, dan yang kedua adalah “ainsi toujours vainqueur, ton fantôme est pareil, âme resplendissante, à l’immortel soleil”. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa peristiwa utama dituangkan di kalimat pertama. Sementara itu, kalimat-kalimat lain berfungsi untuk memberi penjelasan peristiwa itu, sehingga menjadikan puisi itu lebih bermakna, lebih indah, dan lebih menggugah perasaan. 2.3 Analisis Semantik 7 Puisi memiliki makna. Untuk dapat memahami makna puisi, maka dapat dilakukan analisis semantik. Pada bagian ini akan dibahas beberapa konotasi dan majas yang turut membangun makna puisi secara utuh. Secara umum, di dalam puisi L’Aube spirituelle terdapat kata-kata yang berada di dalam medan makna yang sama. Kata-kata seperti “un ange”, “Cieux Spirituels”, “Déese”, “lucide”, dan “pur” ada di dalam medan makna spiritual, suci, sakral, atau surga. Kata-kata itu digunakan untuk membangun apa yang ingin disampaikan oleh pengarang (akan dijelaskan di bagian analisis pragmatik). Ada pula kata-kata yang masih dalam medan makna yang sama, yaitu dosa, moral tercela, atau siksa, misalnya “les debauchés”, “l’homme terrassé”, “souffre”, dan “du gouffre”. Kata-kata yang membangun puisi itu banyak yang memiliki makna yang berhubungan dengan spiritualisme, misalnya surga, dosa, moral tercela, dewi, dan lain-lain. Beberapa makna konotatif ditemukan di puisi L’Aube spirituelle. Kata “Idéal” memiliki konotasi kebaikan atau kebajikan. Begitu pula dengan kata “ange”. Kata itu memiliki konotasi suci. Kata “soleil” bermakna konotatif kemenangan atau kejayaan dan juga kesucian. Makna-makna konotatif itu juga digunakan untuk membangun makna kesuluruhan puisi. Sebuah majas oksimoron ditemukan di dalam puisi itu. Majas oksimoron adalah gaya bahasa yang meletakkan dua antonim dalam satu hubungan sintaksis. Majas itu ditemukan pada “le soleil a noirci la flamme des bougies”. Pertentangan itu terlihat pada kata “soleil” dan “noirci”. Kata “soleil” mengandung komponen makna terang dan menerangi. Pada kata “noirci” terkandung komponen makna gelap dan hitam. Hal itu tentu memperlihatkan pertentangan. Pertentangan itu ditunjukkan dalam satu hubungan sintaksis, yaitu dalam puisi itu berupa klausa. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa dalam puisi L’Aube spirituelle terkandung banyak kata-kata yang berkonotasi dengan kehidupan spiritual, surga, dan moral tercela. Makna-makna itu akan berpengaruh dalam pembangunan makna keseluruhan puisi. Makna keseluruhan puisi akan dijelaskan pada bagian analisis pragmatik. 8 2.4 Analisis Pragmatik Pada bagian ini, yang akan dibahas adalah komunikasi puisi. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dengan pilihan kata (diksi) yang ia gunakan. Peristiwa yang terjadi pada kalimat “Quand chez les debauches l’aube blanche et vermeille entre en société de l’Idéal rougeur, par l’opération d’un mystère vengeur dans la brute assoupie un ange se réveille.” adalah bahwa ketika idealisme atau kebajikan mulai masuk ke benak penutur yang moralnya tercela, keindahan (makna metaforis ange) bangkit. Jadi, sebenarnya di kalimat itu, pengarang ingin menyampaikan bahwa ada kebaikan yang terjadi pada setiap orang, termasuk yang moralnya bobrok. Kalimat “Des Cieux Spirituels l’inaccessible azur, pour l’homme terrassé qui rêve encore et souffre, s’ouvre et s’enfonce avec l’attirance du gouffre.” bercerita tentang jauhnya alam spiritual dari kehidupan penutur dan alam itu tidak dapat dicapai begitu saja. Alam spiritual itu menarik penutur puisi itu. Jadi dapat dikatakan bahwa alam spiritual yang suci dan menjadi impian penutur yang tadinya jauh dari penutur, kini terbuka bagi penutur yang telah bangkit dengan idealisme atau kebajikan dan meninggalkan kehidupan amoralnya. Di kalimat “Ainsi, chère Déesse, Etre lucide et pur, sur les débris fumeux des stupides orgies ton souvenir plus clair, plus rose, plus charmant, à mes yeux agrandis voltige incessament.” tergambar rasa syukur penutur karena telah meninggalkan kehidupan yang tercela dan bermoral bobrok. Di kalimat itu, penutur berbicara pada seorang dewi yang bersinar dan suci. Sosok dewi itu terbayang-bayang oleh penutur. “Ton souvenir plus clair, plus rose, plus charmant” memperlihatkan bahwa ingatan atau kenangan yang indah. Hal itu memperlihatkan bahwa dahulu penutur hidup dengan moral yang baik. Sekarang ia bangkit dari hidup amoral. Hal itu ditunjukkan oleh “sur les débris fumeux des stupides orgies”. Puing-puing pesta yang bodoh mengimplikasikan bahwa penutur sudah meninggalkan pesta-pesta tidak bermoral. 9 Kalimat terakhir “Le soleil a noirci la flamme des bougies; Ainsi toujours vainqueur, ton fantôme est pareil, âme resplendissante, à l’immortel soleil.” Bahwa sesuatu yang suci atau spiritual (yang digambarkan oleh le soleil) telah mematikan api lilin. Api lilin itu diasosiasikan sebagai pesta-pesta yang tidak bermoral. Di kalimat itu, tergambar lagi bahwa sosok suci atau spiritual yang mengangkat diri penutur dari kehidupan amoral. Pengarang ingin menyatakan pujian pada sosok spiritual itu dengan mengasosiasikannya dengan “l’immortel soleil”, yaitu kemenangan yang abadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa inti dari puisi itu adalah tentang suatu sosok yang spiritual dan suci yang kemudian membangkitkan sosok ideal yang bangkit dari kehidupan yang tidak bermoral ke kehidupan yang suci dan supranatural. Di puisi itu terlihat bahwa Baudelaire ingin menyampaikan bahwa sosok suci itu hadir dan eksis. Di sini juga terlihat bahwa pengarang ingin mengatakan bahwa dari keburukan itu lahir keindahan. 10 BAB III KESIMPULAN Dari analisis yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tema puisi L’Aube spirituelle karya Charles Baudelaire adalah kebangkitan spiritual dari kehidupan tidak bermoral. Hal-hal yang bersifat spiritual digambarkan oleh beberapa kata yang berkonotasi spiritual dan suci. Begitu pula dengan kebangkitan. Ada kata-kata yang mengindikasikan kehidupan yang tercela yang kemudian ditinggalkan oleh penutur. Kebangkitan spiritual yang diceritakan dalam empat kalimat itu juga menjadi apa yang ingin disampaikan oleh Baudelaire. 11 LAMPIRAN 12 TEMA KEBANGKITAN SPIRITUAL DALAM PUISI L’AUBE SPIRITUELLE KARYA CHARLES BAUDELAIRE Oleh: Bambang Tetuko 1106003453 Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2013 13