BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Analisis Risiko Risiko merupakan suatu

advertisement
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1 Analisis Risiko
Risiko merupakan suatu kemungkinan terjadinya kerusakan atau penderitaan
akibat suatu bahaya. Bahaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang berpotensi
menyebabkan kerugian ataupun kerusakan (Soemirat, 2000). Risiko akibat
paparan panas sangat sulit ditentukan karena dipengaruhi oleh interaksi antara
enam parameter dasar. Perbedaan interpersonal respon psikologis terhadap panas
membuat prediksi risiko ini menjadi rumit.
Analisis risiko merupakan teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai
bidang seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, AMDAL, prediksi
cuaca, epidemiologi, dan perilaku sosial atau juga sebagai metode campuran dari
ilmu pengetahuan rekayasa dan statistik untuk menilai dan melakukan prediksi
apa yang akan terjadi akibat adanya paparan zat berbahaya di masa yang akan
datang (Soemirat, 2000).
The Health and Safety Executive (2007) mengusulkan lima langkah dalam
analisis risiko yang bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan analisis
yaitu:
1. Identifikasi bahaya. Suatu zat dapat diidentifikasi sebagai zat yang berbahaya
bagi kesehatan manusia diperoleh dari hasil observasi kasus yang
diperolehkan secara langsung dan tidak langsung. Perlu dilakukan identifikasi
apakah ada sumber panas di tempat kerja, apakah pekerja terpapar dengan
kondisi iklim di luar, apakah pekerja memakai Alat Perlindungan Diri, apakah
pekerja melakukan aktifitas fisik yang intensif. Tujuan dari identifikasi bahaya
ini yaitu untuk mendapatkan data/informasi apakah panas tersebut berbahaya
bagi kesehatan manusia.
2. Menentukan siapa yang berpotensi terpapar zat berbahaya tersebut. Pekerja
yang belum teraklimatisasi untuk bekerja di tempat panas memiliki
kemungkinan untuk terpapar panas di tempat kerja. Kondisi kesehatan pekerja
menjadi faktor yang penting dan perlu dipertimbangkan
5
3. Evaluasi risiko dari bahaya tersebut serta penentuan tindakan pencegahan agar
bahaya tersebut tidak terjadi atau apabila bahaya tersebut tidak dapat dihindari
maka dilakukan tindakan untuk meminimalkan risiko yang akan terjadi.
4. Dokumentasi hasil analisis. Seluruh data yang diperoleh dari hasil analisis
sebaiknya didokumentasikan sebagai dokumen penting perusahaan. Baik
untuk perbaikan di hari yang akan datang ataupun sebagai bukti telah
dilakukan pemeriksaan di lingkungan kerja.
5. Tinjau kembali hasil analisis. Peninjauan kembali akan hasil analisis perlu di
lakukan secara periodik. Hal ini penting untuk mengetahui apakah tindakan
pencegahan berjalan dengan baik atau apakah diperlukan perbaikan kebijakan
agar pekerja yang bekerja di lingkungan kerja tersebut tidak akan mengalami
kecelakaan ataupun gangguan kesehatan akibat kerja.
II.1.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya merupakan tahapan awal yang dilakukan di dalam analisis
risiko yang bertujuan untuk melakukan identifikasi atau pemeriksaan terhadap
efek negatif yang diakibatkan oleh panas. Kegiatan yang termasuk didalam
identifikasi bahaya adalah pengumpulan dan evaluasi terhadap berbagai data
gangguan kesehatan atau penyakit yang dapat disebabkan oleh suatu zat dan
kondisi paparan yang menghasilkan kerusakan lingkungan, cedera atau penyakit.
Identifikasi juga dilakukan terhadap populasi target dan kondisi paparan.
Identifikasi bahaya juga melibatkan karakterisasi dari sifat zat didalam tubuh dan
interaksinya terhadap organ, sel, dan material genetik (Leeuwen, 1995).
Gangguan kesehatan yang dimaksud juga termasuk gejala-gejala awal akibat
paparan seperti sakit kepala, mual, iritasi, dan lain sebagainya (Hickox, 2001).
Dalam tahap ini dibutuhkan banyak informasi atau data untuk evaluasi yang tepat.
Data-data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: sifat zat kimia/fisika, rute dan
pola paparan, data metabolik dan paramakokinetik, studi toksikologi termasuk
short term test dan studi hewan long term, studi pada manusia dan informasi
tambahan, termasuk studi in vitro dan hubungan structure-activity relationship.
Seluruh data dikumpulkan sebagai bukti bahwa zat tersebut dapat menyebabkan
efek terhadap kesehatan (Patrick, 1994)
6
Data-data ini dapat diperoleh melalui penelitian di laboratorium, data kecelakaan
atau dari berbagai sumber seperti pengukuran langsung di lapangan. Identifikasi
bahaya juga meliputi karakterisasi bahaya terhadap tubuh (Leeuwen, 1995).
Teknik-teknik yang digunakan dalam identifkasi bahaya yaitu (Soemirat, 2000):
1. Studi epidemiologi
Studi epidemiologi pada manusia biasanya digunakan untuk melakukan
evaluasi risiko kesehatan akibat paparan suatu zat pada suatu kelompok seperti
pekerja yang terpapar panas di tempat kerja. Studi epidemiologi dipelajari
mengenai pola atau distribusi dan frekuensi terjadinya penyakit pada pekerja
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola atau distribusi tersebut atau faktor
yang menentukan terjadinya penyakit pada pekerja misalnya akibat paparan
panas. Selain itu studi epidemiologi juga mempelajari mengenai hubungan
sebab akibat dengan efek langsung terhadap pekerja akibat paparan panas.
2. Uji hewan atau bioesei (in vivo)
3. Uji pada kultur jaringan atau sel (in vitro)
4. Analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul
Bahaya di lingkungan kerja dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
(Olishifski,1971):
1. Zat kimia baik dalam bentuk cairan maupun padatan seperti debu, uap logam,
gas, embun
2. Zat fisis seperti radiasi elektromagnetik, radiasi pengion, bising, vibrasi,
temperatur
3. Zat biologi seperti insekta, tungau, jamur, ragi, bakteri dan virus
4. Ergonomik yaitu posisi badan pada saat melakukan pekerjaan, tinggi badan,
kondisi jiwa
7
Menurut Bethea & Parson (2002) terdapat tiga macam metode yang digunakan
untuk melakukan pemeriksaan di lingkungan ekstrim panas, yaitu:
1. Empiris: data yang diperoleh dari hasil penelitian laboratorium dapat
digunakan untuk memperkirakan pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap
manusia. Misalnya reaksi fisiologi.
2. Langsung: dilakukan pengukuran langsung di lapangan terhadap beberapa
parameter. Misalnya suhu bola, kecepatan angin.
3. Rasional: perhitungan perubahan panas antara manusia dengan lingkungan
dapat digunakan untuk memperkirakan reaksi manusia.
PARAMETER LINGKUNGAN
Temperatur udara
Temperatur radisai
Kelembaban
Kecepatan angin
KRITERIA
PENILAIAN
NILAI INDEKS
ATRIBUT PEKERJA
Metabolisme
Pakaian
Gambar II.1. Diagram penentuan suatu nilai indeks
Sumber: (Bethea & Parson, 2002)
II.2 Termodinamika
Di dalam hukum pertama Termodinamika dikatakan bahwa jumlah energi di
dalam suatu sistem tertutup mendekati konstan, energi itu tidak dapat diciptakan
dan dimusnahkan. Tetapi energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Pada saat melakukan aktifitas atau bekerja, manusia merubah energi kimia
(karbohidrat dan lemak) yang tersimpan menjadi energi kinetic dan energi termal
(panas). Sekitar 80% dari energi kimia yang diubah tidak digunakan untuk
melakukan aktifitas, tetapi akan muncul sebagai panas tubuh. Oleh karena itu
seorang yang berbobot 70 Kg yang melakukan aktifitas sebesar 200 Watt (W)
misalnya lari, bekerja, akan mengkonsumsi 2,51 oksigen setiap menitnya dan 800
8
J.s-1 dari 1000 J.s-1 akan diubah menjadi panas yang akan menyebabkan naiknya
emperature jaringan tubuh sekitar 1oC setiap menitnya (Taylor, 2005).
Termodinamika ini akan dipengaruhi oleh pelepasan energi panas antara tubuh
dengan lingkungan serta interaksi antara panas lingkungan dengan kemampuan
adaptasi manusia terhadap panas. Secara matematika hubungan ini dapat
dinyatakan sebagai berikut (Taylor, 2005):
S = M − (±W ) ± E ± R ± C ± K ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
(2.1)
S = panas yang tersimpan (+ yang tersimpan; - yang dilepaskan) ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
M = laju energi panas yang dihasilkan tubuh melalui proses metabolisme
⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
W = laju kerja yang dihasilkan oleh tubuh ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
R = perubahan panas melalui radiasi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)
⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
C = perubahan panas melalui konveksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)
⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
K = perubahan panas melalui konduksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh)
⎡⎣W .m −2 ⎤⎦
E = perubahan panas melalui evaporasi (-) ⎡⎣W .m −2 .kPa −1 ⎤⎦
Thermal compensability didefenisikan sebagai interaksi antara tubuh dengan
lingkungan. Sebagai contoh pada lingkungan yang panas dimana pelepasan panas
terjadi melalui penguapan keringat maka thermal compensability ditentukan
melalui perbandingan antara Ereq (required evaporative heat loss) dengan Emax
(maximal evaporative cooling) termasuk pakaian. Apabila Ereq lebih besar dari
Emax maka kondisi lingkungan dapat dikatakan bersifat merugikan bagi pekerja
(Taylor, 2005).
9
UNCOMPENSABLE HEAT STRESS
PANAS YANG DIHASILKAN
PANAS YANG DILEPASKAN
Ereq
Emax
COMPENSABLE HEAT STRESS
Panas metabolisme
Temperatur udara
Produksi keringat
Pergerakan udara
Tekanan uap udara
pakaian
Panas radiasi
Gambar II.2. Thermal compensability di lingkungan panas: hubungan antara
Ereq dengan Emax
Sumber: (Taylor,2005)
II.3 Mekanisme Perpindahan Panas dari Permukaan Kulit
Terjadinya proses perpindahan panas dari dalam tubuh ke lingkungan akan
menjadi hal yang sangat penting dalam usaha mempertahankan suhu tubuh agar
tetap konstan. Panas dari dalam tubuh akan dibawa oleh darah menuju kulit
kemudian dipindahkan ke lingkungan luar melalui proses konduksi, konveksi,
radiasi dan penguapan atau evaporasi (Guyton & Hall,1997).
Seperti terlihat pada Gambar II.3 bahwa orang yang tidak menggunakan pakaian
pada suhu kamar yang normal, kehilangan panas kira-kira 60% dari kehilangan
panas total (sekitar 15%) melalui radiasi. Kehilangan panas melalui radiasi berarti
kehilangan dalam bentuk gelombang panas inframerah, suatu jenis gelombang
elektromagnetik. Sebagian besar gelombang panas inframerah yang memancar
dari tubuh memiliki panjang gelombang 5 sampai 20 mikrometer, 10 sampai 30
kali panjang gelombang cahaya. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas
ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari benda benda lain ke
tubuh. Bila suhu tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, kuantitas panas yang
10
lebih besar dipancarkan keluar dari tubuh lebih besar dari pada yang dipancarkan
ke tubuh (Guyton & Hall,1997).
Radiasi (60%)
Dinding
Evaporasi (22%)
Gelombang panas
Konduksi ke udara (15%)
Konduksi ke benda (3%)
Aliran udara (konveksi)
Gambar II.3. Mekanisme perpindahan panas dari tubuh
Sumber: (Guyton & Hall,1997)
Proses konduksi merupakan suatu proses perpindahan panas dari temperatur
tinggi ke temperatur rendah melalui pergerakan antar molekul suatu material
tanpa adanya pergerakan suatu material. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar
II.3 hanya sejumlah kecil panas yang biasanya hilang dari tubuh melalui konduksi
langsung dari permukaan tubuh ke benda benda lain yang berada di sekitarnya.
Sebaliknya, kehilangan panas melalui konduksi ke udara memang mencerminkan
bagian kehilangan panas tubuh yang cukup besar (kira-kira 15%) walaupun dalam
keadaan normal. Panas merupakan energi yang dipindahkan antara dua zat yang
berbeda temperatur. Sebagian besar energi ini dapat dipindahkan ke udara apabila
suhu udara lebih dingin dari kulit sehingga meningkatkan kecepatan gerakan
molekul-molekul udara. Apabila suhu udara hampir sama dengan suhu kulit maka
tidak akan terjadi perpindahan panas dari tubuh ke udara (Guyton & Hall,1997).
Pemindahan panas dari tubuh melalui konveksi udara secara umum disebut
kehilangan panas melalui konveksi. Sebelumnya panas harus dikonduksikan ke
udara kemudian dibawa melalui aliran konveksi. Sejumlah kecil konveksi hampir
selalu terjadi di sekitar tubuh akibat kecenderungan udara di sekitar kulit untuk
naik sewaktu manjadi panas. Oleh karena itu, orang yang tidak menggunakan
pakaian yang berada di ruangan yang nyaman tanpa adanya gerakan udara yang
besar masih tetap kehilangan sekitar 15% dari panas tubuhnya melalui konduksi
11
ke udara kemudian oleh konveksi udara menjauhi tubuhnya (Guyton & Hall,
1997).
Pada saat suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan maka panas dapat hilang
melalui radiasi dan konduksi. Tetapi ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu
kulit, tubuh memperoleh panas melalui radiasi dan konduksi. Dalam keadaan
seperti ini, satu-satunya cara tubuh melepaskan panas adalah dengan evaporasi.
Oleh karena itu, setiap faktor yang mencegah evaporasi pada saat suhu lingkungan
lebih tinggi dari suhu kulit akan menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Guyton &
Hall, 1997). Evaporasi merupakan proses perpindahan panas yang paling sering
terjadi. Proses evaporasi melepaskan sekitar 80% panas dari dalam tubuh pada
saat melakukan aktifitas dan sekitar 20% pada saat beristirahat ke lingkungan
sekitar (King, 2004).
II.4 Aklimatisasi Mekanisme Berkeringat
Seseorang yang normal dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim,
terkadang dapat membentuk keringat lebih dari 1 liter per jam pada saat terpapar
panas selama 1 sampai 6 minggu. Orang tersebut secara perlahan lahan akan
berkeringat lebih banyak, sering kali meningkatkan sekresi maksimal keringat 2
hingga 3 liter per jam. Evaporasi keringat yang lebih banyak ini dapat
memindahkan panas dari tubuh dengan kecepatan lebih dari sepuluh kali
kecepatan pembentukan panas basal normal. Peningkatan efektivitas mekanisme
berkeringat ini disebabkan peningkatan langsung pada kemampuan kelenjar
keringat itu sendiri (Guyton & Hall, 1997).
Penurunan konsentrasi natrium klorida dalam keringat juga berhubungan dengan
aklimatisasi yang memungkinkan konservasi garam yang lebih baik secara
perlahan lahan. Sebagian besar efek ini disebabkan oleh peningkatan sekresi
aldosteron yang selanjutnya dihasilkan dari penurunan kadar natrium klorida
dalam cairan ekstraseluler dan plasma. Orang yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan iklim yang banyak berkeringat sering kehilangan garam sebesar 15 sampai
30 gram setiap hari untuk beberapa hari pertama. Setelah 4 sampai 6 minggu
12
menyesuaikan diri, kehilangan garam biasanya menjadi 3 hingga 5 gram per hari
(Guyton & Hall, 1997).
Berdasarkan berbagai penelitian Armstrong dan Maresh (1991); Hargreaves dan
Febbraio (1998) menunjukkan bahwa pekerja teraklimatisasi lebih awal dan lebih
banyak berkeringat pada seluruh permukaan tubuhnya dibandingkan pekerja tidak
teraklimatisasi menyebabkan temperatur inti dan detak jantung lebih rendah
dibandingkan pekerja yang tidak teraklimatisasi. Perbedaan antara pekerja
teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi ada pada respon fisiologisnya.
II.5 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Sensasi Panas
Pada saat seseorang yang bekerja di lingkungan bersuhu ekstrim panas,
temperatur inti tubuhnya akan mulai naik dan keringat pun diproduksi oleh tubuh
dengan tujuan untuk melepaskan panas berlebih di tubuh melalui proses
penguapan keringat. Jika cairan tubuh yang keluar dari tubuh yang berupa
keringat tersebut tidak digantikan maka tubuh tidak akan mampu memproduksi
keringat kembali menyebabkan temperatur inti tubuh akan terus meningkat yang
kemudian akan menyebabkan timbulnya masalah yang serius.
Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor
penting yang mempengaruhi seseorang dapat merasakan sensasi panas ataupun
dingin, adalah:
1. Temperatur udara
Temperatur udara dapat diukur dengan menggunakan termometer. Temperatur
udara akan mempengaruhi seseorang merasakan sensasi panas atau dingin
lingkungan.
2. Kelembaban
Kelembaban adalah kadar air di dalam udara. Kelembaban yang tinggi
cenderung membuat orang merasa lebih panas dibandingkan kelembaban yang
rendah. Hal ini disebabkan karena keringat yang diproduksi oleh tubuh tidak
dapat menguap karena udara di sekitar telah jenuh dengan uap air.
13
3. Panas radiasi
Panas radiasi diemisikan oleh benda-benda yang panas. Panas radiasi
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memanaskan udara di sekitarnya
tetapi manusia jauh lebih cepat merasakan panasnya.
4. Pergerakan udara
Pada umumnya pergerakan udara akan memberikan rasa sejuk pada seseorang.
Kecepatan aliran udara merupakan salah satu faktor yang diukur di lingkungan
yang panas.
5. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik akan meningkatkan jumlah panas di dalam tubuh menyebabkan
meningkatnya
suhu
tubuh.
Panas
berlebih
di
dalam
tubuh
dapat
mengakibatkan seseorang tersebut terkena risiko heat strain.
6. Pakaian
Pakaian dapat melindungi atau mencegah transfer panas dari tubuh ke
lingkungan sekitar selain itu pakaian juga dapat melindungi seseorang dari
faktor-faktor lingkungan seperti panas radiasi ataupun angin. Pada saat udara
berhembus di permukaan kulit, biasanya temperaturnya lebih rendah
dibanding kulit dan bersifat mendinginkan. Oleh karena itu panas akan
dilepaskan ke udara melalui kulit. Ketika terdapat perbedaan antara temperatur
permukaan tubuh dengan temperatur ruangan maka panas akan dilepaskan
secara radiasi. Tubuh juga dapat melepaskan panas dengan cara evaporasi
melalui keringat.
Agar temperatur tubuh stabil maka pelepasan panas diperlukan untuk
menseimbangkan produksi panas. Jika tidak, temperatur tubuh akan berubah dan
menyebabkan temperatur tubuh naik atau turun. Yang dapat dituliskan sebagai
berikut:
Panas Tersimpan = produksi panas – pelepasan panas
= (rata-rata metabolisme tubuh – external work) –
(konduksi + radiasi + konveksi + evporasi + respirasi)
14
(2.2)
Fungsi dari pakaian adalah sebagai penahan perpindahan panas dan kelembaban
antara kulit dan lingkungan. Pakaian dapat melindungi kita terhadap paparan
panas dan dingin, tetapi memiliki efek samping yaitu menghambat pelepasan
panas saat bekerja. Contohnya, apabila seseorang melakukan kerja di musim
dingin dan menggunakan baju pelindung, panas akan terakumulasi dengan cepat
di dalam tubuh karena baju pelindung sangat resistan terhadap pelepasan panas
dan uap. Perlindungan ini tercipta oleh kombinasi bahan penyusun baju itu sendiri
dan udara yang terkandung di dalam baju pelindung dan oleh udara sekitar yang
mengelilingi permukaan luar baju (Havenith, 1999).
Pertukaran panas melalui material baju terjadi terutama melalui konduksi dan
radiasi. Hampir seluruh material penyusun baju, volume udara yang terdapat di
dalamnya jauh lebih besar dari pada volume seratnya. Oleh karena itu keefektifan
pengisolasian sangat tergantung kepada ketebalan dari material penyusunnya dan
kepada tipe seratnya. Serat penyusun baju umumnya mempengaruhi jumlah
pertukaran
panas
melalui
radiasi
selain
memantulkan,
menyerap
dan
memancarkan kembali radiasi (Havenith, 1999).
Material penyusun baju yang permeabel (dapat ditembus oleh air), jenis materi
penyusun baju sangat menentukan daya perlindungannya terhadap penguapan dan
karena volume serat lebih rendah dari pada volume udara di baju maka daya
perlindungan terhadap pertukaran uap air secara difusi melewati kain sangat
ditentukan oleh ketebalan dari lapisan udara yang terkandung di dalam materi
penyusun baju tersebut. Untuk baju yang tipis, hal yang sebaliknya terjadi
(Havenith, 1999).
Dalam pembuatannya tidak hanya material/bahan penyusunnya saja yang perlu
dipikirkan, tetapi bagaimana keefektifan mengisolasinya, sifat dari lapisan udara
di antara dan di luar lapisan baju menjadi sangat penting, itulah sebabnya baju ini
memiliki lebih dari satu lapisan saja. Lapisan memiliki ketebalan 6 mm (12 mm
total permukaan luar dan dalam). Sedangkan untuk ketebalan kainnya
dipergunakan 15 mm per setiap lapisan pengisolasi (Havenith, 1999).
15
Goretex adalah bahan kedap air dengan penyusun bahan-bahan turunan
polytetrafluoroethylene
(PTFE)
dan
fluoropolymer.
Bahan-bahan
ini
dipergunakan secara luas untuk berbagai aplikasi seperti lapisan bahan
berperfoma tinggi, operasi medis (implant), bahan penyaring, dan penutup
(insulasi) untuk kabel dan penyekat (seal). Sekarang ini, lapisan goretex
menggantikan lapisan dalam polyuretan dengan lapisan fluoropolymer yang tipis
dan berpori (teflon) dengan dilapisi polyuretan yang mengikat ke lapisan tersebut,
biasanya nylon atau polyester. Lapisan tipis ini memiliki 9 milar pori per inchi
kuadrat, yang setiapnya berukuran kira-kira 1/20,000 dari tetesan air yang
menyebabkan lapisan ini tidak dapat ditembus oleh air dalam bentuk cair tetapi
keringat yang dihasilkan oleh tubuh akibat peningkatan suhu tubuh dapat
diuapkan ke udara melewati lapisan ini dan panas tubuh juga akan tertahan di
dalam dan tidak dapat melewati lapisan goretex ini (Wikipedia, 2008).
Gambar II.4 Lapisan Goretex
Sumber: (TOG 24 Technical Performance winter and outdoor clothing, 2008)
Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor
pribadi juga sangat mempengaruhi seseorang untuk merasakan sensasi panas atau
dingin, yaitu:
1. Berat badan
Orang yang kelebihan berat badan sangat berisiko bukan hanya di lingkungan
panas tetapi juga lingkungan yang dingin. Hal ini disebabkan karena tidak
terjadinya keseimbangan transfer panas antara tubuhnya dengan lingkungan.
16
2. Kesehatan
Ada beberapa kondisi kesehatan yang akan memperbesar risiko bahaya
seseorang apabila bekerja di lingkungan bertemperatur ekstrim panas atau
dingin. Seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit kulit, dan gangguan
pernafasan.
3. Umur
Daya tahan tubuh seseorang akan menurun apabila seseorang tersebut
berumur 45 tahun keatas. Hal ini membuat seseorang lebih rentan terhadap
bahaya yang disebabkan oleh lingkungan ekstrim panas atau dingin.
4. Kebiasaan berolahraga
Kondisi fisik akan semakin membaik apabila seseorang secara teratur
berolahraga, sehingga lebih mampu mengatasi bahaya dari lingkungan ekstrim
panas atau dingin.
5. Konsumsi zat-zat tertentu
Mengkonsumsi zat-zat tertentu seperti alkohol, kokain, morfin dan lain lain
akan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan seseorang.
II.6 Hipotalamus
Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persyarafan umpan balik
dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang
terletak di hipotalamus. Sistem kerja endokrin diatur oleh kelenjar hipotalamus.
Perintah dari otak untuk mengubah sistem kerja endokrin harus melalui
hipotalamus. Bagian-bagian hipotalamus dapat dilihat pada bagian dasar dan midsagittal dari otak besar dan juga terdapat pada mammillary body dan pada
infundibulum (tuber cinerum). Hipotalamus adalah wilayah pada otak yang
berlokasi di atas kelenjar pituitary. Faktanya, hipotalamus berhubungan dengan
pituitary dan terhubung melalui hypophyseal. Hipotalamus melepaskan enam
jenis hormon, yang mana fungsinya diatur oleh kelenjar pituitary (Guyton & Hall,
1997).
Thyrotropin releasing hormone (TRH) adalah hormon tripeptide yang dilepaskan
oleh sel khusus pada hipotalamus. TRH bergerak ke arah hypophyseal melalui
17
jalur hypothalamal-hypophyseal dan sampai ke depan kelenjar pitutiary. Disini,
TRH akan merangsang pengeluaran Thyroid Stimulating Hormone (TRH) dan
prolactin (Guyton & Hall, 1997).
Hipotalamus memegang peranan penting dalam mengatur temperatur tubuh.
Sensor yang disebut thermoreceptors adalah sistem sensor yang sangat baik yang
dapat mendeteksi perubahan temperatur tubuh dan dengan cepat menyampaikan
pesan ke kelenjar hipotalamus. Hipotalamus memberikan respon dengan cara
mengaktifkan mekanisme yang mengatur temperatur tubuh. Hipotalamus
memiliki memori yang menyimpan temperatur yang optimal bagi tubuh. Jika
temperatur ini tidak tercapai maka hipotalamus akan mengaktifkan pusat
pengaturan temperatur hipotalamus (Guyton & Hall, 1997).
Setiap perubahan pada temperatur tubuh akan diterima oleh dua jenis
thermoreceptors yaitu central receptors dan peripheral receptors. Central
receptors memantau temperatur darah yang disirkulasikan hingga ke otak dan
periperal receptors terletak di kulit. Receptor ini memberikan informasi suhu
lingkungan luar. Hal inilah yang menyebabkan kita secara sadar mampu
mendeteksi temperatur dan bereaksi pada lingkungan yang panas dan dingin
(Guyton & Hall, 1997).
Ketika temperatur kulit atau darah di atas normal, hipotalamus tidak hanya
mengirimkan sinyal yang mengaktifkan kelenjar keringat, tetapi juga melenturkan
selaput otot pada dinding arteri tempat darah mengalir, arteri akan memperbesar
diameternya (berdilatasi). Semakin panas suhu semakin banyak produksi keringat.
Darah membawa panas dari dalam tubuh dan akan lebih banyak panas yang dapat
dilepaskan apabila lebih banyak dan cepat darah yang dialirkan (Guyton & Hall,
1997).
II.7 Termoregulasi
Sistem termoregulasi merupakan suatu sistem yang terjadi di dalam tubuh yang
bertujuan untuk mempertahankan temperatur tubuh agar tetap konstan. Perubahan
18
ini dapat diakibatkan oleh perubahan kondisi eksternal lingkungan seperti
kelembaban, temperatur udara, pergerakan udara, panas radiasi, aktivitas fisik,
dan pakaian yang digunakan serta akibat proses metabolisme (pencernaan dan
penyerapan makanan yang merubahnya menjadi panas) (Polk et.al, 1995).
Gambar II.5. Diagram kesetimbangan panas
Sumber: (Bindon, 2002)
Temperatur tubuh di setiap bagian akan berbeda-beda, temperatur kulit biasanya
jauh lebih tinggi dibandingkan temperatur inti tubuh. Hal ini disebabkan karena
kulit memiliki kontak langsung dengan lingkungan luar. Yang dimaksud dengan
temperatur inti tubuh di sini yaitu temperatur pada bagian-bagian organ dalam,
otak dan jaringan-jaringan tubuh (Polk et.al,1995).
Hampir seluruh organ tubuh dapat bekerja secara maksimal pada temperatur yang
relatif konstan sekitar 37oC. Temperatur tubuh diluar temperatur normal, baik
akibat kondisi lingkungan maupun aktivitas fisik dapat menyebabkan kerusakan
jaringan-jaringan tubuh seperti yang terlihat pada Gambar II.5 (King, 2004).
19
Gambar II.6. Diagram termoregulasi suhu tubuh
Sumber: (Bindon, 2002)
Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) tubuh
memiliki beberapa cara untuk menjaga agar temperatur inti tubuhnya tetap dalam
keadaan konstan, yaitu:
1. Berkeringat
Tujuan tubuh memproduksi keringat adalah untuk menurunkan temperatur
inti. Pelepasan panas terjadi melalui proses penguapan keringat yang terjadi di
permukaan kulit.
2. Menggigil
Dengan tujuan untuk menaikkan temperatur inti. Menggigil merupakan suatu
aktivitas refleks yang dilakukan oleh sel-sel otot untuk meningkatkan jumlah
panas metabolisme yang akan dihasilkan.
3. Menaikkan atau menurunkan aliran darah ke kulit
Pada lingkungan yang panas maka aliran darah ke kulit akan semakin
meningkat berguna untuk membantu proses perpindahan panas dari tubuh ke
lingkungan. Sedangkan pada lingkungan yang dingin aliran darah ke kulit
akan berkurang untuk mencegah hilangnya panas di tubuh.
20
Sistem pengaturan temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk
menurunkan panas tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi:
1. Vasodilatasi
Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat,
hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus
posterior yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan
meningkatkan kecepatan perpindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali
lipat.
2. Berkeringat
Peningkatan temperatur tubuh 1oC menyebabkan keringat yang cukup banyak
untuk membuang 10 kali lipat lebih besar kecepatan metabolisme basal dari
pembentukan panas tubuh (Guyton & Hall,1997). Laju metabolisme basal
adalah panas yang dihasilkan oleh manusia di lingkungan yang netral (33oC)
pada saat istirahat dan 12 jam setelah makan terakhir. Laju metabolisme basal
untuk pria dengan berat 70 Kg kira-kira 1.2 W/Kg tetapi itu dapat berubah
seiring dengan perubahan berat tubuh, diet, jumlah kelenjar endokrin.
Metabolisme basal juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti produktivitas
kerja, umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, besarnya aktivitas seseorang dan
tingkat kesehatan (Polk et.al,1995).
3. Penurunan pembentukan panas
Mekanisme yang menyebabkan pembentukan panas berlebihan, seperti
menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat.
II.8 Sistem Kerja Jantung (Bekerja pada lingkungan panas)
Peningkatan temperatur seperti yang terjadi sewaktu seseorang menderita demam
akan sangat meningkatkan frekuensi jantung terkadang dua kali dari frekuensi
denyut jantung. Penurunan temperatur sangat menurunkan frekuensi denyut
jantung sehingga turun sampai serendah beberapa denyut per menit seperti pada
seseorang yang mendekati kematian akibat hipotermia dalam kisaran 60oF sampai
70oF (15,5oC sampai 21,2oC). Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas
meningkatkan permeabilitas membran otot terhadap ion yang menghasilkan
peningkatan proses perangsangan sendiri. Kekuatan kontraksi jantung sering
21
dipercepat secara temporer melalui suatu peningkatan temperatur yang sedang
tetapi peningkatan temperatur yang lama akan melemahkan sistem metabolik
jantung dan menyebabkan kelemahan (Guyton & Hall, 1997).
ATP adalah inti sel yang memiliki berbagai fungsi terutama sebagai molekul inti
dalam proses perubahan energi didalam sel. ATP diproduksi sebagai salah satu
sumber energi pada proses fotosintesis dan pernafasan sel dan dikonsumsi oleh
berbagai enzim dan berbagai proses proses sel termasuk reaksi biosintesis,
pembentukan dan pemecahan sel. Selama beraktivitas di lingkungan panas ketika
permintaan untuk melepaskan temperatur tubuh tinggi sistem kerja jantung akan
terbebani. Selama bekerja, produksi ATP akan meningkat dan harus
disirkulasikan ke otot melalui darah. Oleh karenanya jantung harus berkontraksi
dengan sangat maksimal untuk memenuhi kebutuhan suplai ATP ke otot dan
suplai darah ke kulit untuk melepaskan temperatur. Pada kenyataannya jantung
tidak dapat memenuhi hal ini secara bersamaan. Hal ini dikarenakan ketika terjadi
pertambahan volume darah yang dialirkan ke otot dan kulit volume darah yang
kembali lebih sedikit. Hasilnya tidak otot ataupun kulit menerima suplai darah
yang mencukupi untuk tetap menseimbangkan proses metabolismenya meskipun
jantung tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan ini dengan cara mempercepat
denyutnya (King, 2004).
Bekerja pada lingkungan panas meningkatkan jumlah konsumsi oksigen, yang
mana juga akan menyebabkan otot-otot yang bekerja mempergunakan lebih
banyak glikogen dan harus memproduksi lebih banyak asam laktat. Tempat yang
panas akan meningkatkan produksi keringat, dan bekerja membutuhkan energi
lebih yang menyebabkan tingkat frekuensi bernafas. Saat berkeringat banyak,
volume darah akan berkurang karena sejumlah air dilepaskan melalui keringat
(King, 2004).
II.9 Hubungan antara Tekanan, Aliran dan Tahanan
Aliran melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor yaitu perbedaan
tekanan antara kedua ujung pembuluh (gradien tekanan) yaitu tenaga yang
22
mendorong darah melalui pembuluh dan yang kedua yaitu rintangan bagi aliran
darah melalui pembuluh yang disebut tekanan vaskular. Prinsip dasarnya dapat
dijelaskan dengan hukum Hagen Poiseuliie:
Q=
(2.3)
r 4 .P.π
8.l.ν
yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran volume darah per satuan waktu,
besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam pembuluh darah yang
berbanding pangkat empat dari radiusnya (“r”) dan berbanding terbalik dari
panjang pembuluh darah (“l”) dan koefisien viskositas (“ν”) dan konstanta “8”.
Juga sesuai dengan “hukum Ohm” (Puruhito, 2007).
Gambar II.6 menggambarkan hubungan ini, terlihat segmen pembuluh darah yang
berlokasi dimanapun dalam sistem sirkulasi. P1 merupakan tekanan pada
permulaan pembuluh; pada ujung lain tekanannya adalah P2. tahanan untuk aliran
(R) terjadi sebagai akibat gesekan di sepanjang di bagian dalam sel. Aliran
melalui pembuluh dapat dihitung dengan rumus berikut yang disebut hukum ohm
(Guyton & Hall, 1997):
(2.4)
ΔP
R
di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan (”gradient”) antara
Q=
tekanan sentral dan tekanan perifer (ΔP = P1-P2) serta tahanan perifer. Kecepatan
aliran darah (”V”) tunduk pada rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap
”Q” dan berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”).
P1
Gradien tekanan
Tekanan
P2
Aliran darah
Gambar II.7. Hubungan antara tekanan, tahanan, dan aliran darah
Sumber: (Guyton & Hall, 1997)
Sebagai pengaruhnya rumus ini menetapkan bahwa aliran darah berbanding lurus
dengan perbedaan tekanan tetapi berbanding terbalik dengan tahanan. Hukum
ohm menyatakan hal yang paling penting dari seluruh hubungan bahwa perlunya
pemahaman tentang hermodinamika sirkulasi (Guyton & Hall, 1997).
23
Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh silindris, maka
jumlah antara tekanan frontal dan tekanan samping adalah konstan (selalu sama)
tetapi tekanan ke samping ke arah dinding berbanding terbalik secara proporsional
dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka
di dalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan
frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah
dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elastisitas dinding
arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi
bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah)
(Puruhito, 2007).
Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan terjadi kenaikan
kecepatan pulsasi dan karena terjadinya hambatan aliran, maka kemudian akan
menurun. Selain itu, untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi
vegetatif (”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb) serta
pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau robekan dinding)
(Puruhito, 2007).
II.10 Pengukuran Tekanan Panas
Heat stress terjadi pada saat tubuh tidak mampu menjaga temperatur inti tubuhnya
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke sel-sel otot, otak, organ-organ dalam
lainnya sehingga pekerja merasa lelah dan tidak mampu melakukan pekerjaannya
dengan baik sehingga dapat mengakibatkan kecelakan kerja.
Heat strain yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi psychomotor yang
pada akhirnya mempengaruhi produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja serta reaksi psikologis pekerja
terhadapnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan serta
produktivitas pekerja agar tetap optimal (Rodahl, 2003).
Parson (2006) menjelaskan bahwa ISO 7243 merupakan metode sederhana yang
tepat untuk digunakan pada pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja
24
temperatur ekstrim panas yaitu dengan metode suhu basah dan bola (ISBB).
Untuk memperoleh nilai ISBB terlebih dahulu dilakukan pengukuran suhu kering,
suhu basah dan suhu bola/radiasi yang kemudian dihitung menurut persamaan
berikut:
untuk tempat kerja yang terkena radiasi sinar matahari secara langsung
ISBB = 0,7sba + 0,2sb + 0,1sk
(2.5)
Untuk tempat kerja tanpa pengaruh radiasi sinar matahari
ISBB = 0,7sba + 0,3sb
(2.6)
sba = suhu basah
sb = suhu bola
sk = suhu kering
Nilai ISBB yang diperoleh dari hasil pengukuran di lingkungan ekstrim panas
kemudian dibandingkan dengan nilai ambang batas ISBB yang telah ditetapkan.
Metode suhu basah dan bola mengintegrasikan 4 faktor penting di lingkungan
yaitu temperatur udara, kelembaban, kecepatan udara, dan panas radiasi.
Walaupun metode ini tidak memperhitungkan secara lengkap faktor-faktor
lingkungan dan fisik yang mempengaruhi heat strain tetapi memberikan pedoman
yang bermanfaat untuk melindungi pekerja yang bekerja di lingkungan yang
ekstrim panas (Parson, 1999).
Tabel II.1. Nilai referensi berdasarkan ISO 7243
o
2
Laju metabolisme (W/m )
Istirahat, M < 65
65 < M < 130
130 < M < 200
200 < 260
M > 260
Nilai ambang batas ( C)
Pekerja
teraklimatisasi
33
30
28
ada
26
26
Pekerja
tidak teaklimatisasi
32
29
26
Pergerakan udara
ada
tidak ada
tidak ada
25
23 22
22
25
20 18
18
Sumber: (Bethea & Parson, 2002)
Malchaire dan Menhert (2000) mengatakan bahwa ISO 7933 adalah suatu metode
yang digunakan untuk pemeriksaan lingkungan panas melalui perhitungan laju
25
keringat (Sreq). Sreq index merupakan bagian dari HSI (heat stress index) dan ITS
(index of thermal strain).
Kriteria berikut dipakai oleh ISO 7933 untuk menentukan waktu paparan
maksimum yang diperbolehkan:
•
2 kelompok pekerja, teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi
•
“alarm” dan “danger” dimaksudkan untuk melindungi seluruh dan
mayoritas pekerja
•
Kebasahan maksimum (Wmax) sama dengan 1 untuk pekerja yang
teraklimatisasi (diasumsikan bahwa keringat dapat menguap dari seluruh
permukaan kulit apabila dibutuhkan) dan 0,85 untuk pekerja tidak
teraklimatisasi (diasumsikan bahwa berkurangnya efisiensi berkeringat
dan oleh karena itu kemampuan untuk menguapkan keringat hanya pada
85% dari permukaan kulit)
•
Rata-rata maksimum keringat (SWmax) (g/h) dijelaskan pada Tabel 2,
dengan metabolisme rata-rata (M) 65 Wm-2 atau 120 W
•
Kehilangan air maksimum (Dmax) (g) dijelaskan pada Tabel 2, yang
mewakili berat badan rata-rata antara 3,4% dan 7% (70 kg)
•
Panas maksimum yang tersimpan 50 Wh/m2 untuk level “alarm”
(diperkirakan batas rata-rata peningkatan temperatur inti hingga 0,8oC)
dan 60 Wh/m2 untuk level “danger” (dimaksudkan untuk membatasi ratarata peningkatan temperatur inti hingga 1oC).
Pengukuran yang dilakukan di lingkungan ekstrim panas ini meliputi pengukuran
temperatur udara, temperatur radiasi, kelembaban, kecepatan udara, dan faktorfaktor yang berhubungan seperti pakaian, laju metabolisme, bentuk tubuh, yang
digunakan untuk menghitung perubahan panas antara manusia dengan lingkungan
(Bethea & Parson, 2002).
Required evaporation (Ereq)
Oleh karena K=0, maka kesetimbangan panas dapat dituliskan sebagai berikut
E + S = M- W- Crespirasi + Erespirasi - C - R
(2.7)
26
Jika S=0, E=Ereq maka laju penguapan yang dibutuhkan untuk menjaga
kesetimbangan panas didalam tubuh menjadi
Ereq = M- W- Cres - Eres - C – R
(2.8)
Require skin wettendness (wreq)
wreq = Ereq / Emax
(2.9)
Require sweat rate (SWreq)
SWreq = Ereq / rreq
(2.10)
Nilai perkiraan ditentukan dari hasil analisis di lingkungan kerja dimana
wp - predicted skin wettedness
Ep - predicted evaporating rate
SWp - predicted sweat rate
Jika wmax lebih besar dari wreq dan SWmax lebih besar dari SWp maka
wp = wreq
Ep = Ereq
SWp = SWreq
Persamaan diatas digunakan apabila nilai perkiraan tidak melebihi nilai
maksimum dan kesetimbangan termal dapat tercapai. Jika yang terjadi adalah
sebaliknya maka persamaan yang digunakan adalah:
wp = wmax
oleh karena itu:
Ep = wp
SWp = Ep/rp
(2.11)
Jika SWreq atau SWp diperkirakan melebihi SWmax maka wp dan rp dapat
ditentukan melalui substitusi:
wp Emax = SWmax rp
oleh karena itu:
Ep
SWp
= wp Emax
= SWmax
27
Durations limited exposure (DLEs)
DLE dihitung sebagai fungsi sebuah nilai maksimum panas di dalam tubuh (Qmax)
dan cairan yang hilang (Dmax).
DLE dihitung melalui persamaan berikut ini:
DLE1 = 60 Qmax / (Ereq – Ep)
(2.12)
DLE2 = 60 Dmax/ SWp
(2.13)
Parson (1999) menjelaskan bahwa ISO 9886 merupakan metode pengukuran dan
interpretasi dari hasil pengukuran fisiologi yaitu temperatur inti tubuh, temperatur
kulit, denyut jantung dan perubahan berat tubuh. Temperatur inti berhubungan
dengan temperatur organ-organ vital termasuk otak. Jika temperatur inti tubuh
terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengganggu produktivitas dan kesehatan
pekerja bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan berat badan
dihubungkan dengan heat strain yaitu terjadinya dehidrasi, dan denyut jantung
untuk menjelaskan adanya tekanan pada tubuh.
Heat stress index dikembangkan oleh Belding and Hatch pada tahun 1955 sebagai
sebuah index analitis dalam skala 0 hingga 100 yang menggambarkan heat stress
dan juga heat strain sehingga waktu pekerja untuk bekerja di lingkungan panas
dapat disesuaikan (Bethea & Parson, 2002).
28
Tabel II.2. Nilai referensi berdasarkan ISO 7933
kriteria
tidak teraklimatisasi
teraklimatisasi
peringatan
bahaya
peringatan
bahaya
0.85
0.85
1
1
100
260
150
390
200
520
300
780
200
520
250
650
300
780
400
1040
50
60
50
60
1000
2600
1250
3250
1500
3900
2000
5200
Max basahnya kulit
Wmax
Max rata-rata keringat
istirahat
2
M<65 W/m SWmax W/M
2
g/h
bekerja
2
M>=65 W/m SWmax
W/m
g/h
2
Max panas yang tersimpan
Qmax h/m2
Max hilangnya air
Dmax.h/m
g
2
Sumber: (Bethea & Parson, 2002)
Tabel II.3. Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung Heat Stress Index
-2
Pelepasan radiasi (W.m )
R = k1 (35 - tradiasi)
-2
0,6
Berpakaian
Tidak berpakaian
k1 = 4,4
7,3
Pelepasan konveksi (W.m )
C = k2v
(35 - tudara)
k2 = 4,6
7,6
Emax (W.m-2)
Emax = k3v0,6 (56 -Pa)
k3 = 7,0
11,7
(batas max 390 W.m-2 )
Ereq (W.m-2)
Ereq = M-R-C
HSI = (Ereq / Emax ) X 100
Heat Stress Index
Waktu paparan yang di
AET = 2440/(Ereq –
Emax)mins
perbolehkan (AET)
Sumber: (Bethea & Parson, 2002)
Tabel II.4. Nilai ambang batas iklim kerja
Pengaturan waktu kerja setiap jam
waktu kerja
bekerja terus menerus (8jam/hari)
75% kerja
50% kerja
25% kerja
waktu istirahat
25% istirahat
50% istirahat
75% istirahat
Sumber: (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No KEP.51/MEN/1999)
29
o
ISBB ( C)
beban kerja
ringan
sedang
30,0
26,7
30,6
28,0
31,4
29,4
32,2
31,1
berat
25,0
25,9
27,9
30,0
Tabel II.5. Pengaruh lingkungan berdasarkan Heat StressIndex selama 8 jam
paparan
Nilai HSI
Pengaruh Setelah 8 Jam Paparan
-20
0
Tekanan dingin ringan
Tidak ada tekanan panas
10-30
Tekanan panas ringan ke sedang
Mempengaruhi kecakapan dalam bekerja
40-60
70-90
100
Diatas 100
Tekanan panas yang berat
Mempengaruhi kondisi fisik/kesehatan pekerja
Dibutuhkannya aklimatisasi
Tekanan panas yang sangat berat
Pekerja dipilih berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
Dipastikan bahwa pekerja mengkonsumsi air dan garam yang cukup
Tekanan maksimum diberikan setiap harinya melalui aklimatisasi yang
sesuai
Waktu paparan dibatasi dengan peningkatan suhu inti tubuh
Sumber: (Olishifski, 1971)
II.11 Penyakit akibat Panas
Heat strain didefenisikan sebagai efek akut atau kronis baik pada fisik maupun
mental seseorang akibat paparan panas di lingkungan kerja baik mulai dari efek
yang sangat ringan bahkan hingga yang dapat menyebabkan kematian. Oleh sebab
itu perlu dimiliki kemampuan akan pengenalan terhadap bahaya dan
pencegahannya (Rodahl, 2003).
Bahaya paparan panas terhadap kesehatan pekerja dapat dikelompokkan
berdasarkan Heat index lingkungan kerja. Untuk temperatur 27oC-32oC (80-90oF)
masuk ke dalam kelompok peringatan dimana aktivitas dan paparan yang terus
menerus dapat menyebabkan kelelahan, temperatur 32oC-41oC (90-105oF)
termasuk ke dalam kelompok peringatan keras yang dapat menyebabkan heat
cramp dan heat exhaustion, temperatur 41oC-54oC (105-130oF) masuk ke dalam
kelompok berbahaya yang sangat besar kemungkinan menyebabkan heat cramp
dan heat exhaustion dan juga memungkinkan terjadinya heat stroke, temperatur di
atas 54oC (>130oF) masuk ke dalam kelompok sangat berbahaya dimana paparan
secara terus menerus kemungkinan besar dapat menyebabkan heat stroke (NOAA's
National Weather Service, 2006).
30
Heat rash; disebut juga dengan biang keringat yang mengakibatkan kulit
memerah dan terasa gatal. Heat rash biasanya terjadi pada bagian tubuh yang
basah oleh keringat dimana keringat tersebut tidak dapat menguap akibat tertutup
oleh pakaian. Hal ini dapat dicegah dengan mengeringkan bagian tubuh yang
basah oleh keringat (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997).
Heat syncope; disebut juga dengan heat collapse. Heat syncope dihubungkan
dengan kondisi tubuh yang cepat lelah akibat paparan panas yang terus menerus.
Heat syncope biasanya terjadi pada saat berdiri di lingkungan yang panas dalam
waktu yang cukup lama mengakibatkan terjadinya pelebaran pembuluh darah
pada bagian kaki dan darah terkumpul pada tubuh bagian tersebut (kaki) sehingga
suplai darah ke otak akan berkurang. Sebaiknya korban segera dipindahkan ke
lingkungan yang lebih dingin dan diberi minum (OSH Department of labor
Wellington New Zealand, 1997).
Heat cramps; kejang pada otot-otot yang digunakan pada saat bekerja. Hal ini
diduga akibat turunnya konsentrasi sodium klorida (NaCl) di dalam darah hingga
pada level yang sangat rendah. Gejala yang timbul adalah rasa kejang pada
lengan, kaki atau juga perut yang terjadi secara tiba-tiba baik pada saat bekerja
ataupun sesudah bekerja (OSH Department of labor Wellington New Zealand,
1997).
Heat exhaustion; umumnya disertai dengan gejala-gejala seperti lelah, pusingpusing, sesak nafas, muntah-muntah, pingsan, keringat dingin, hipotensi, denyut
nadi yang cepat. Keadaan ini disebabkan terjadinya dilatasi atau pelebaran
pembuluh darah yang disertai penurunan kemampuan darah untuk bersirkulasi
melepaskan panas menyebabkan suhu inti tubuh akan meningkat dan tubuh akan
terus menerus berkeringat yang pada akhirnya tubuh akan kekurangan cairan
(dehidrasi). Tetapi heat exhaustion tidak selalu dihubungkan dengan kenaikan
suhu inti tubuh, hal ini dapat dilihat pada seseorang yang dalam kondisi tidak fit
atau tidak terbiasa bekerja di lingkungan yang panas maka akan sangat rentan
31
terkena heat exhaustion (OSH Department of labor Wellington New Zealand,
1997).
Heat stroke; sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang oleh sebab itu sebaiknya
sesegera
mungkin
korban
mendapat
perawatan
medis.
Heat
stroke
dikarakterisasikan sebagai berikut: naiknya temperatur inti tubuh hingga melebihi
104oF, berhentinya produksi keringat, kulit panas dan kering, denyut nadi dan
pernafasan yang cepat, hipertensi, pusing, dan hilang kesadaran. Jika korban tidak
segera mendapat perawatan, heat stroke dapat menyebabkan koma dan bahkan
kematian (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997).
32
Download