BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Analisis Risiko Risiko merupakan suatu kemungkinan terjadinya kerusakan atau penderitaan akibat suatu bahaya. Bahaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang berpotensi menyebabkan kerugian ataupun kerusakan (Soemirat, 2000). Risiko akibat paparan panas sangat sulit ditentukan karena dipengaruhi oleh interaksi antara enam parameter dasar. Perbedaan interpersonal respon psikologis terhadap panas membuat prediksi risiko ini menjadi rumit. Analisis risiko merupakan teknik untuk menganalisis risiko dalam berbagai bidang seperti toksikologi, higiene industri, keselamatan kerja, AMDAL, prediksi cuaca, epidemiologi, dan perilaku sosial atau juga sebagai metode campuran dari ilmu pengetahuan rekayasa dan statistik untuk menilai dan melakukan prediksi apa yang akan terjadi akibat adanya paparan zat berbahaya di masa yang akan datang (Soemirat, 2000). The Health and Safety Executive (2007) mengusulkan lima langkah dalam analisis risiko yang bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan analisis yaitu: 1. Identifikasi bahaya. Suatu zat dapat diidentifikasi sebagai zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia diperoleh dari hasil observasi kasus yang diperolehkan secara langsung dan tidak langsung. Perlu dilakukan identifikasi apakah ada sumber panas di tempat kerja, apakah pekerja terpapar dengan kondisi iklim di luar, apakah pekerja memakai Alat Perlindungan Diri, apakah pekerja melakukan aktifitas fisik yang intensif. Tujuan dari identifikasi bahaya ini yaitu untuk mendapatkan data/informasi apakah panas tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia. 2. Menentukan siapa yang berpotensi terpapar zat berbahaya tersebut. Pekerja yang belum teraklimatisasi untuk bekerja di tempat panas memiliki kemungkinan untuk terpapar panas di tempat kerja. Kondisi kesehatan pekerja menjadi faktor yang penting dan perlu dipertimbangkan 5 3. Evaluasi risiko dari bahaya tersebut serta penentuan tindakan pencegahan agar bahaya tersebut tidak terjadi atau apabila bahaya tersebut tidak dapat dihindari maka dilakukan tindakan untuk meminimalkan risiko yang akan terjadi. 4. Dokumentasi hasil analisis. Seluruh data yang diperoleh dari hasil analisis sebaiknya didokumentasikan sebagai dokumen penting perusahaan. Baik untuk perbaikan di hari yang akan datang ataupun sebagai bukti telah dilakukan pemeriksaan di lingkungan kerja. 5. Tinjau kembali hasil analisis. Peninjauan kembali akan hasil analisis perlu di lakukan secara periodik. Hal ini penting untuk mengetahui apakah tindakan pencegahan berjalan dengan baik atau apakah diperlukan perbaikan kebijakan agar pekerja yang bekerja di lingkungan kerja tersebut tidak akan mengalami kecelakaan ataupun gangguan kesehatan akibat kerja. II.1.1 Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya merupakan tahapan awal yang dilakukan di dalam analisis risiko yang bertujuan untuk melakukan identifikasi atau pemeriksaan terhadap efek negatif yang diakibatkan oleh panas. Kegiatan yang termasuk didalam identifikasi bahaya adalah pengumpulan dan evaluasi terhadap berbagai data gangguan kesehatan atau penyakit yang dapat disebabkan oleh suatu zat dan kondisi paparan yang menghasilkan kerusakan lingkungan, cedera atau penyakit. Identifikasi juga dilakukan terhadap populasi target dan kondisi paparan. Identifikasi bahaya juga melibatkan karakterisasi dari sifat zat didalam tubuh dan interaksinya terhadap organ, sel, dan material genetik (Leeuwen, 1995). Gangguan kesehatan yang dimaksud juga termasuk gejala-gejala awal akibat paparan seperti sakit kepala, mual, iritasi, dan lain sebagainya (Hickox, 2001). Dalam tahap ini dibutuhkan banyak informasi atau data untuk evaluasi yang tepat. Data-data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: sifat zat kimia/fisika, rute dan pola paparan, data metabolik dan paramakokinetik, studi toksikologi termasuk short term test dan studi hewan long term, studi pada manusia dan informasi tambahan, termasuk studi in vitro dan hubungan structure-activity relationship. Seluruh data dikumpulkan sebagai bukti bahwa zat tersebut dapat menyebabkan efek terhadap kesehatan (Patrick, 1994) 6 Data-data ini dapat diperoleh melalui penelitian di laboratorium, data kecelakaan atau dari berbagai sumber seperti pengukuran langsung di lapangan. Identifikasi bahaya juga meliputi karakterisasi bahaya terhadap tubuh (Leeuwen, 1995). Teknik-teknik yang digunakan dalam identifkasi bahaya yaitu (Soemirat, 2000): 1. Studi epidemiologi Studi epidemiologi pada manusia biasanya digunakan untuk melakukan evaluasi risiko kesehatan akibat paparan suatu zat pada suatu kelompok seperti pekerja yang terpapar panas di tempat kerja. Studi epidemiologi dipelajari mengenai pola atau distribusi dan frekuensi terjadinya penyakit pada pekerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola atau distribusi tersebut atau faktor yang menentukan terjadinya penyakit pada pekerja misalnya akibat paparan panas. Selain itu studi epidemiologi juga mempelajari mengenai hubungan sebab akibat dengan efek langsung terhadap pekerja akibat paparan panas. 2. Uji hewan atau bioesei (in vivo) 3. Uji pada kultur jaringan atau sel (in vitro) 4. Analisis hubungan aktivitas dengan struktur molekul Bahaya di lingkungan kerja dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu (Olishifski,1971): 1. Zat kimia baik dalam bentuk cairan maupun padatan seperti debu, uap logam, gas, embun 2. Zat fisis seperti radiasi elektromagnetik, radiasi pengion, bising, vibrasi, temperatur 3. Zat biologi seperti insekta, tungau, jamur, ragi, bakteri dan virus 4. Ergonomik yaitu posisi badan pada saat melakukan pekerjaan, tinggi badan, kondisi jiwa 7 Menurut Bethea & Parson (2002) terdapat tiga macam metode yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan di lingkungan ekstrim panas, yaitu: 1. Empiris: data yang diperoleh dari hasil penelitian laboratorium dapat digunakan untuk memperkirakan pengaruh-pengaruh lingkungan terhadap manusia. Misalnya reaksi fisiologi. 2. Langsung: dilakukan pengukuran langsung di lapangan terhadap beberapa parameter. Misalnya suhu bola, kecepatan angin. 3. Rasional: perhitungan perubahan panas antara manusia dengan lingkungan dapat digunakan untuk memperkirakan reaksi manusia. PARAMETER LINGKUNGAN Temperatur udara Temperatur radisai Kelembaban Kecepatan angin KRITERIA PENILAIAN NILAI INDEKS ATRIBUT PEKERJA Metabolisme Pakaian Gambar II.1. Diagram penentuan suatu nilai indeks Sumber: (Bethea & Parson, 2002) II.2 Termodinamika Di dalam hukum pertama Termodinamika dikatakan bahwa jumlah energi di dalam suatu sistem tertutup mendekati konstan, energi itu tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. Tetapi energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Pada saat melakukan aktifitas atau bekerja, manusia merubah energi kimia (karbohidrat dan lemak) yang tersimpan menjadi energi kinetic dan energi termal (panas). Sekitar 80% dari energi kimia yang diubah tidak digunakan untuk melakukan aktifitas, tetapi akan muncul sebagai panas tubuh. Oleh karena itu seorang yang berbobot 70 Kg yang melakukan aktifitas sebesar 200 Watt (W) misalnya lari, bekerja, akan mengkonsumsi 2,51 oksigen setiap menitnya dan 800 8 J.s-1 dari 1000 J.s-1 akan diubah menjadi panas yang akan menyebabkan naiknya emperature jaringan tubuh sekitar 1oC setiap menitnya (Taylor, 2005). Termodinamika ini akan dipengaruhi oleh pelepasan energi panas antara tubuh dengan lingkungan serta interaksi antara panas lingkungan dengan kemampuan adaptasi manusia terhadap panas. Secara matematika hubungan ini dapat dinyatakan sebagai berikut (Taylor, 2005): S = M − (±W ) ± E ± R ± C ± K ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ (2.1) S = panas yang tersimpan (+ yang tersimpan; - yang dilepaskan) ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ M = laju energi panas yang dihasilkan tubuh melalui proses metabolisme ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ W = laju kerja yang dihasilkan oleh tubuh ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ R = perubahan panas melalui radiasi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh) ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ C = perubahan panas melalui konveksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh) ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ K = perubahan panas melalui konduksi (- yang dilepaskan; + yang diperoleh) ⎡⎣W .m −2 ⎤⎦ E = perubahan panas melalui evaporasi (-) ⎡⎣W .m −2 .kPa −1 ⎤⎦ Thermal compensability didefenisikan sebagai interaksi antara tubuh dengan lingkungan. Sebagai contoh pada lingkungan yang panas dimana pelepasan panas terjadi melalui penguapan keringat maka thermal compensability ditentukan melalui perbandingan antara Ereq (required evaporative heat loss) dengan Emax (maximal evaporative cooling) termasuk pakaian. Apabila Ereq lebih besar dari Emax maka kondisi lingkungan dapat dikatakan bersifat merugikan bagi pekerja (Taylor, 2005). 9 UNCOMPENSABLE HEAT STRESS PANAS YANG DIHASILKAN PANAS YANG DILEPASKAN Ereq Emax COMPENSABLE HEAT STRESS Panas metabolisme Temperatur udara Produksi keringat Pergerakan udara Tekanan uap udara pakaian Panas radiasi Gambar II.2. Thermal compensability di lingkungan panas: hubungan antara Ereq dengan Emax Sumber: (Taylor,2005) II.3 Mekanisme Perpindahan Panas dari Permukaan Kulit Terjadinya proses perpindahan panas dari dalam tubuh ke lingkungan akan menjadi hal yang sangat penting dalam usaha mempertahankan suhu tubuh agar tetap konstan. Panas dari dalam tubuh akan dibawa oleh darah menuju kulit kemudian dipindahkan ke lingkungan luar melalui proses konduksi, konveksi, radiasi dan penguapan atau evaporasi (Guyton & Hall,1997). Seperti terlihat pada Gambar II.3 bahwa orang yang tidak menggunakan pakaian pada suhu kamar yang normal, kehilangan panas kira-kira 60% dari kehilangan panas total (sekitar 15%) melalui radiasi. Kehilangan panas melalui radiasi berarti kehilangan dalam bentuk gelombang panas inframerah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Sebagian besar gelombang panas inframerah yang memancar dari tubuh memiliki panjang gelombang 5 sampai 20 mikrometer, 10 sampai 30 kali panjang gelombang cahaya. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari benda benda lain ke tubuh. Bila suhu tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, kuantitas panas yang 10 lebih besar dipancarkan keluar dari tubuh lebih besar dari pada yang dipancarkan ke tubuh (Guyton & Hall,1997). Radiasi (60%) Dinding Evaporasi (22%) Gelombang panas Konduksi ke udara (15%) Konduksi ke benda (3%) Aliran udara (konveksi) Gambar II.3. Mekanisme perpindahan panas dari tubuh Sumber: (Guyton & Hall,1997) Proses konduksi merupakan suatu proses perpindahan panas dari temperatur tinggi ke temperatur rendah melalui pergerakan antar molekul suatu material tanpa adanya pergerakan suatu material. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.3 hanya sejumlah kecil panas yang biasanya hilang dari tubuh melalui konduksi langsung dari permukaan tubuh ke benda benda lain yang berada di sekitarnya. Sebaliknya, kehilangan panas melalui konduksi ke udara memang mencerminkan bagian kehilangan panas tubuh yang cukup besar (kira-kira 15%) walaupun dalam keadaan normal. Panas merupakan energi yang dipindahkan antara dua zat yang berbeda temperatur. Sebagian besar energi ini dapat dipindahkan ke udara apabila suhu udara lebih dingin dari kulit sehingga meningkatkan kecepatan gerakan molekul-molekul udara. Apabila suhu udara hampir sama dengan suhu kulit maka tidak akan terjadi perpindahan panas dari tubuh ke udara (Guyton & Hall,1997). Pemindahan panas dari tubuh melalui konveksi udara secara umum disebut kehilangan panas melalui konveksi. Sebelumnya panas harus dikonduksikan ke udara kemudian dibawa melalui aliran konveksi. Sejumlah kecil konveksi hampir selalu terjadi di sekitar tubuh akibat kecenderungan udara di sekitar kulit untuk naik sewaktu manjadi panas. Oleh karena itu, orang yang tidak menggunakan pakaian yang berada di ruangan yang nyaman tanpa adanya gerakan udara yang besar masih tetap kehilangan sekitar 15% dari panas tubuhnya melalui konduksi 11 ke udara kemudian oleh konveksi udara menjauhi tubuhnya (Guyton & Hall, 1997). Pada saat suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan maka panas dapat hilang melalui radiasi dan konduksi. Tetapi ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu kulit, tubuh memperoleh panas melalui radiasi dan konduksi. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya cara tubuh melepaskan panas adalah dengan evaporasi. Oleh karena itu, setiap faktor yang mencegah evaporasi pada saat suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu kulit akan menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Guyton & Hall, 1997). Evaporasi merupakan proses perpindahan panas yang paling sering terjadi. Proses evaporasi melepaskan sekitar 80% panas dari dalam tubuh pada saat melakukan aktifitas dan sekitar 20% pada saat beristirahat ke lingkungan sekitar (King, 2004). II.4 Aklimatisasi Mekanisme Berkeringat Seseorang yang normal dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim, terkadang dapat membentuk keringat lebih dari 1 liter per jam pada saat terpapar panas selama 1 sampai 6 minggu. Orang tersebut secara perlahan lahan akan berkeringat lebih banyak, sering kali meningkatkan sekresi maksimal keringat 2 hingga 3 liter per jam. Evaporasi keringat yang lebih banyak ini dapat memindahkan panas dari tubuh dengan kecepatan lebih dari sepuluh kali kecepatan pembentukan panas basal normal. Peningkatan efektivitas mekanisme berkeringat ini disebabkan peningkatan langsung pada kemampuan kelenjar keringat itu sendiri (Guyton & Hall, 1997). Penurunan konsentrasi natrium klorida dalam keringat juga berhubungan dengan aklimatisasi yang memungkinkan konservasi garam yang lebih baik secara perlahan lahan. Sebagian besar efek ini disebabkan oleh peningkatan sekresi aldosteron yang selanjutnya dihasilkan dari penurunan kadar natrium klorida dalam cairan ekstraseluler dan plasma. Orang yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan iklim yang banyak berkeringat sering kehilangan garam sebesar 15 sampai 30 gram setiap hari untuk beberapa hari pertama. Setelah 4 sampai 6 minggu 12 menyesuaikan diri, kehilangan garam biasanya menjadi 3 hingga 5 gram per hari (Guyton & Hall, 1997). Berdasarkan berbagai penelitian Armstrong dan Maresh (1991); Hargreaves dan Febbraio (1998) menunjukkan bahwa pekerja teraklimatisasi lebih awal dan lebih banyak berkeringat pada seluruh permukaan tubuhnya dibandingkan pekerja tidak teraklimatisasi menyebabkan temperatur inti dan detak jantung lebih rendah dibandingkan pekerja yang tidak teraklimatisasi. Perbedaan antara pekerja teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi ada pada respon fisiologisnya. II.5 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Sensasi Panas Pada saat seseorang yang bekerja di lingkungan bersuhu ekstrim panas, temperatur inti tubuhnya akan mulai naik dan keringat pun diproduksi oleh tubuh dengan tujuan untuk melepaskan panas berlebih di tubuh melalui proses penguapan keringat. Jika cairan tubuh yang keluar dari tubuh yang berupa keringat tersebut tidak digantikan maka tubuh tidak akan mampu memproduksi keringat kembali menyebabkan temperatur inti tubuh akan terus meningkat yang kemudian akan menyebabkan timbulnya masalah yang serius. Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor penting yang mempengaruhi seseorang dapat merasakan sensasi panas ataupun dingin, adalah: 1. Temperatur udara Temperatur udara dapat diukur dengan menggunakan termometer. Temperatur udara akan mempengaruhi seseorang merasakan sensasi panas atau dingin lingkungan. 2. Kelembaban Kelembaban adalah kadar air di dalam udara. Kelembaban yang tinggi cenderung membuat orang merasa lebih panas dibandingkan kelembaban yang rendah. Hal ini disebabkan karena keringat yang diproduksi oleh tubuh tidak dapat menguap karena udara di sekitar telah jenuh dengan uap air. 13 3. Panas radiasi Panas radiasi diemisikan oleh benda-benda yang panas. Panas radiasi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memanaskan udara di sekitarnya tetapi manusia jauh lebih cepat merasakan panasnya. 4. Pergerakan udara Pada umumnya pergerakan udara akan memberikan rasa sejuk pada seseorang. Kecepatan aliran udara merupakan salah satu faktor yang diukur di lingkungan yang panas. 5. Aktivitas fisik Aktivitas fisik akan meningkatkan jumlah panas di dalam tubuh menyebabkan meningkatnya suhu tubuh. Panas berlebih di dalam tubuh dapat mengakibatkan seseorang tersebut terkena risiko heat strain. 6. Pakaian Pakaian dapat melindungi atau mencegah transfer panas dari tubuh ke lingkungan sekitar selain itu pakaian juga dapat melindungi seseorang dari faktor-faktor lingkungan seperti panas radiasi ataupun angin. Pada saat udara berhembus di permukaan kulit, biasanya temperaturnya lebih rendah dibanding kulit dan bersifat mendinginkan. Oleh karena itu panas akan dilepaskan ke udara melalui kulit. Ketika terdapat perbedaan antara temperatur permukaan tubuh dengan temperatur ruangan maka panas akan dilepaskan secara radiasi. Tubuh juga dapat melepaskan panas dengan cara evaporasi melalui keringat. Agar temperatur tubuh stabil maka pelepasan panas diperlukan untuk menseimbangkan produksi panas. Jika tidak, temperatur tubuh akan berubah dan menyebabkan temperatur tubuh naik atau turun. Yang dapat dituliskan sebagai berikut: Panas Tersimpan = produksi panas – pelepasan panas = (rata-rata metabolisme tubuh – external work) – (konduksi + radiasi + konveksi + evporasi + respirasi) 14 (2.2) Fungsi dari pakaian adalah sebagai penahan perpindahan panas dan kelembaban antara kulit dan lingkungan. Pakaian dapat melindungi kita terhadap paparan panas dan dingin, tetapi memiliki efek samping yaitu menghambat pelepasan panas saat bekerja. Contohnya, apabila seseorang melakukan kerja di musim dingin dan menggunakan baju pelindung, panas akan terakumulasi dengan cepat di dalam tubuh karena baju pelindung sangat resistan terhadap pelepasan panas dan uap. Perlindungan ini tercipta oleh kombinasi bahan penyusun baju itu sendiri dan udara yang terkandung di dalam baju pelindung dan oleh udara sekitar yang mengelilingi permukaan luar baju (Havenith, 1999). Pertukaran panas melalui material baju terjadi terutama melalui konduksi dan radiasi. Hampir seluruh material penyusun baju, volume udara yang terdapat di dalamnya jauh lebih besar dari pada volume seratnya. Oleh karena itu keefektifan pengisolasian sangat tergantung kepada ketebalan dari material penyusunnya dan kepada tipe seratnya. Serat penyusun baju umumnya mempengaruhi jumlah pertukaran panas melalui radiasi selain memantulkan, menyerap dan memancarkan kembali radiasi (Havenith, 1999). Material penyusun baju yang permeabel (dapat ditembus oleh air), jenis materi penyusun baju sangat menentukan daya perlindungannya terhadap penguapan dan karena volume serat lebih rendah dari pada volume udara di baju maka daya perlindungan terhadap pertukaran uap air secara difusi melewati kain sangat ditentukan oleh ketebalan dari lapisan udara yang terkandung di dalam materi penyusun baju tersebut. Untuk baju yang tipis, hal yang sebaliknya terjadi (Havenith, 1999). Dalam pembuatannya tidak hanya material/bahan penyusunnya saja yang perlu dipikirkan, tetapi bagaimana keefektifan mengisolasinya, sifat dari lapisan udara di antara dan di luar lapisan baju menjadi sangat penting, itulah sebabnya baju ini memiliki lebih dari satu lapisan saja. Lapisan memiliki ketebalan 6 mm (12 mm total permukaan luar dan dalam). Sedangkan untuk ketebalan kainnya dipergunakan 15 mm per setiap lapisan pengisolasi (Havenith, 1999). 15 Goretex adalah bahan kedap air dengan penyusun bahan-bahan turunan polytetrafluoroethylene (PTFE) dan fluoropolymer. Bahan-bahan ini dipergunakan secara luas untuk berbagai aplikasi seperti lapisan bahan berperfoma tinggi, operasi medis (implant), bahan penyaring, dan penutup (insulasi) untuk kabel dan penyekat (seal). Sekarang ini, lapisan goretex menggantikan lapisan dalam polyuretan dengan lapisan fluoropolymer yang tipis dan berpori (teflon) dengan dilapisi polyuretan yang mengikat ke lapisan tersebut, biasanya nylon atau polyester. Lapisan tipis ini memiliki 9 milar pori per inchi kuadrat, yang setiapnya berukuran kira-kira 1/20,000 dari tetesan air yang menyebabkan lapisan ini tidak dapat ditembus oleh air dalam bentuk cair tetapi keringat yang dihasilkan oleh tubuh akibat peningkatan suhu tubuh dapat diuapkan ke udara melewati lapisan ini dan panas tubuh juga akan tertahan di dalam dan tidak dapat melewati lapisan goretex ini (Wikipedia, 2008). Gambar II.4 Lapisan Goretex Sumber: (TOG 24 Technical Performance winter and outdoor clothing, 2008) Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) faktor-faktor pribadi juga sangat mempengaruhi seseorang untuk merasakan sensasi panas atau dingin, yaitu: 1. Berat badan Orang yang kelebihan berat badan sangat berisiko bukan hanya di lingkungan panas tetapi juga lingkungan yang dingin. Hal ini disebabkan karena tidak terjadinya keseimbangan transfer panas antara tubuhnya dengan lingkungan. 16 2. Kesehatan Ada beberapa kondisi kesehatan yang akan memperbesar risiko bahaya seseorang apabila bekerja di lingkungan bertemperatur ekstrim panas atau dingin. Seperti penyakit jantung, diabetes, penyakit kulit, dan gangguan pernafasan. 3. Umur Daya tahan tubuh seseorang akan menurun apabila seseorang tersebut berumur 45 tahun keatas. Hal ini membuat seseorang lebih rentan terhadap bahaya yang disebabkan oleh lingkungan ekstrim panas atau dingin. 4. Kebiasaan berolahraga Kondisi fisik akan semakin membaik apabila seseorang secara teratur berolahraga, sehingga lebih mampu mengatasi bahaya dari lingkungan ekstrim panas atau dingin. 5. Konsumsi zat-zat tertentu Mengkonsumsi zat-zat tertentu seperti alkohol, kokain, morfin dan lain lain akan memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan seseorang. II.6 Hipotalamus Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persyarafan umpan balik dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus. Sistem kerja endokrin diatur oleh kelenjar hipotalamus. Perintah dari otak untuk mengubah sistem kerja endokrin harus melalui hipotalamus. Bagian-bagian hipotalamus dapat dilihat pada bagian dasar dan midsagittal dari otak besar dan juga terdapat pada mammillary body dan pada infundibulum (tuber cinerum). Hipotalamus adalah wilayah pada otak yang berlokasi di atas kelenjar pituitary. Faktanya, hipotalamus berhubungan dengan pituitary dan terhubung melalui hypophyseal. Hipotalamus melepaskan enam jenis hormon, yang mana fungsinya diatur oleh kelenjar pituitary (Guyton & Hall, 1997). Thyrotropin releasing hormone (TRH) adalah hormon tripeptide yang dilepaskan oleh sel khusus pada hipotalamus. TRH bergerak ke arah hypophyseal melalui 17 jalur hypothalamal-hypophyseal dan sampai ke depan kelenjar pitutiary. Disini, TRH akan merangsang pengeluaran Thyroid Stimulating Hormone (TRH) dan prolactin (Guyton & Hall, 1997). Hipotalamus memegang peranan penting dalam mengatur temperatur tubuh. Sensor yang disebut thermoreceptors adalah sistem sensor yang sangat baik yang dapat mendeteksi perubahan temperatur tubuh dan dengan cepat menyampaikan pesan ke kelenjar hipotalamus. Hipotalamus memberikan respon dengan cara mengaktifkan mekanisme yang mengatur temperatur tubuh. Hipotalamus memiliki memori yang menyimpan temperatur yang optimal bagi tubuh. Jika temperatur ini tidak tercapai maka hipotalamus akan mengaktifkan pusat pengaturan temperatur hipotalamus (Guyton & Hall, 1997). Setiap perubahan pada temperatur tubuh akan diterima oleh dua jenis thermoreceptors yaitu central receptors dan peripheral receptors. Central receptors memantau temperatur darah yang disirkulasikan hingga ke otak dan periperal receptors terletak di kulit. Receptor ini memberikan informasi suhu lingkungan luar. Hal inilah yang menyebabkan kita secara sadar mampu mendeteksi temperatur dan bereaksi pada lingkungan yang panas dan dingin (Guyton & Hall, 1997). Ketika temperatur kulit atau darah di atas normal, hipotalamus tidak hanya mengirimkan sinyal yang mengaktifkan kelenjar keringat, tetapi juga melenturkan selaput otot pada dinding arteri tempat darah mengalir, arteri akan memperbesar diameternya (berdilatasi). Semakin panas suhu semakin banyak produksi keringat. Darah membawa panas dari dalam tubuh dan akan lebih banyak panas yang dapat dilepaskan apabila lebih banyak dan cepat darah yang dialirkan (Guyton & Hall, 1997). II.7 Termoregulasi Sistem termoregulasi merupakan suatu sistem yang terjadi di dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan temperatur tubuh agar tetap konstan. Perubahan 18 ini dapat diakibatkan oleh perubahan kondisi eksternal lingkungan seperti kelembaban, temperatur udara, pergerakan udara, panas radiasi, aktivitas fisik, dan pakaian yang digunakan serta akibat proses metabolisme (pencernaan dan penyerapan makanan yang merubahnya menjadi panas) (Polk et.al, 1995). Gambar II.5. Diagram kesetimbangan panas Sumber: (Bindon, 2002) Temperatur tubuh di setiap bagian akan berbeda-beda, temperatur kulit biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan temperatur inti tubuh. Hal ini disebabkan karena kulit memiliki kontak langsung dengan lingkungan luar. Yang dimaksud dengan temperatur inti tubuh di sini yaitu temperatur pada bagian-bagian organ dalam, otak dan jaringan-jaringan tubuh (Polk et.al,1995). Hampir seluruh organ tubuh dapat bekerja secara maksimal pada temperatur yang relatif konstan sekitar 37oC. Temperatur tubuh diluar temperatur normal, baik akibat kondisi lingkungan maupun aktivitas fisik dapat menyebabkan kerusakan jaringan-jaringan tubuh seperti yang terlihat pada Gambar II.5 (King, 2004). 19 Gambar II.6. Diagram termoregulasi suhu tubuh Sumber: (Bindon, 2002) Menurut OSH Department of labor Wellington New Zealand (1997) tubuh memiliki beberapa cara untuk menjaga agar temperatur inti tubuhnya tetap dalam keadaan konstan, yaitu: 1. Berkeringat Tujuan tubuh memproduksi keringat adalah untuk menurunkan temperatur inti. Pelepasan panas terjadi melalui proses penguapan keringat yang terjadi di permukaan kulit. 2. Menggigil Dengan tujuan untuk menaikkan temperatur inti. Menggigil merupakan suatu aktivitas refleks yang dilakukan oleh sel-sel otot untuk meningkatkan jumlah panas metabolisme yang akan dihasilkan. 3. Menaikkan atau menurunkan aliran darah ke kulit Pada lingkungan yang panas maka aliran darah ke kulit akan semakin meningkat berguna untuk membantu proses perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan. Sedangkan pada lingkungan yang dingin aliran darah ke kulit akan berkurang untuk mencegah hilangnya panas di tubuh. 20 Sistem pengaturan temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi: 1. Vasodilatasi Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat, hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan meningkatkan kecepatan perpindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat. 2. Berkeringat Peningkatan temperatur tubuh 1oC menyebabkan keringat yang cukup banyak untuk membuang 10 kali lipat lebih besar kecepatan metabolisme basal dari pembentukan panas tubuh (Guyton & Hall,1997). Laju metabolisme basal adalah panas yang dihasilkan oleh manusia di lingkungan yang netral (33oC) pada saat istirahat dan 12 jam setelah makan terakhir. Laju metabolisme basal untuk pria dengan berat 70 Kg kira-kira 1.2 W/Kg tetapi itu dapat berubah seiring dengan perubahan berat tubuh, diet, jumlah kelenjar endokrin. Metabolisme basal juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti produktivitas kerja, umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, besarnya aktivitas seseorang dan tingkat kesehatan (Polk et.al,1995). 3. Penurunan pembentukan panas Mekanisme yang menyebabkan pembentukan panas berlebihan, seperti menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat. II.8 Sistem Kerja Jantung (Bekerja pada lingkungan panas) Peningkatan temperatur seperti yang terjadi sewaktu seseorang menderita demam akan sangat meningkatkan frekuensi jantung terkadang dua kali dari frekuensi denyut jantung. Penurunan temperatur sangat menurunkan frekuensi denyut jantung sehingga turun sampai serendah beberapa denyut per menit seperti pada seseorang yang mendekati kematian akibat hipotermia dalam kisaran 60oF sampai 70oF (15,5oC sampai 21,2oC). Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena panas meningkatkan permeabilitas membran otot terhadap ion yang menghasilkan peningkatan proses perangsangan sendiri. Kekuatan kontraksi jantung sering 21 dipercepat secara temporer melalui suatu peningkatan temperatur yang sedang tetapi peningkatan temperatur yang lama akan melemahkan sistem metabolik jantung dan menyebabkan kelemahan (Guyton & Hall, 1997). ATP adalah inti sel yang memiliki berbagai fungsi terutama sebagai molekul inti dalam proses perubahan energi didalam sel. ATP diproduksi sebagai salah satu sumber energi pada proses fotosintesis dan pernafasan sel dan dikonsumsi oleh berbagai enzim dan berbagai proses proses sel termasuk reaksi biosintesis, pembentukan dan pemecahan sel. Selama beraktivitas di lingkungan panas ketika permintaan untuk melepaskan temperatur tubuh tinggi sistem kerja jantung akan terbebani. Selama bekerja, produksi ATP akan meningkat dan harus disirkulasikan ke otot melalui darah. Oleh karenanya jantung harus berkontraksi dengan sangat maksimal untuk memenuhi kebutuhan suplai ATP ke otot dan suplai darah ke kulit untuk melepaskan temperatur. Pada kenyataannya jantung tidak dapat memenuhi hal ini secara bersamaan. Hal ini dikarenakan ketika terjadi pertambahan volume darah yang dialirkan ke otot dan kulit volume darah yang kembali lebih sedikit. Hasilnya tidak otot ataupun kulit menerima suplai darah yang mencukupi untuk tetap menseimbangkan proses metabolismenya meskipun jantung tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan ini dengan cara mempercepat denyutnya (King, 2004). Bekerja pada lingkungan panas meningkatkan jumlah konsumsi oksigen, yang mana juga akan menyebabkan otot-otot yang bekerja mempergunakan lebih banyak glikogen dan harus memproduksi lebih banyak asam laktat. Tempat yang panas akan meningkatkan produksi keringat, dan bekerja membutuhkan energi lebih yang menyebabkan tingkat frekuensi bernafas. Saat berkeringat banyak, volume darah akan berkurang karena sejumlah air dilepaskan melalui keringat (King, 2004). II.9 Hubungan antara Tekanan, Aliran dan Tahanan Aliran melalui pembuluh darah ditentukan oleh dua faktor yaitu perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh (gradien tekanan) yaitu tenaga yang 22 mendorong darah melalui pembuluh dan yang kedua yaitu rintangan bagi aliran darah melalui pembuluh yang disebut tekanan vaskular. Prinsip dasarnya dapat dijelaskan dengan hukum Hagen Poiseuliie: Q= (2.3) r 4 .P.π 8.l.ν yaitu bahwa “Q” yang menunjukkan aliran volume darah per satuan waktu, besarnya sepadan dengan “P” yaitu tekanan dalam pembuluh darah yang berbanding pangkat empat dari radiusnya (“r”) dan berbanding terbalik dari panjang pembuluh darah (“l”) dan koefisien viskositas (“ν”) dan konstanta “8”. Juga sesuai dengan “hukum Ohm” (Puruhito, 2007). Gambar II.6 menggambarkan hubungan ini, terlihat segmen pembuluh darah yang berlokasi dimanapun dalam sistem sirkulasi. P1 merupakan tekanan pada permulaan pembuluh; pada ujung lain tekanannya adalah P2. tahanan untuk aliran (R) terjadi sebagai akibat gesekan di sepanjang di bagian dalam sel. Aliran melalui pembuluh dapat dihitung dengan rumus berikut yang disebut hukum ohm (Guyton & Hall, 1997): (2.4) ΔP R di mana volume aliran darah ”Q” tergantung beda tekanan (”gradient”) antara Q= tekanan sentral dan tekanan perifer (ΔP = P1-P2) serta tahanan perifer. Kecepatan aliran darah (”V”) tunduk pada rumus V = Q/A. ”V” berbanding lurus terhadap ”Q” dan berbanding terbalik terhadap diameter pembuluh darah (”A”). P1 Gradien tekanan Tekanan P2 Aliran darah Gambar II.7. Hubungan antara tekanan, tahanan, dan aliran darah Sumber: (Guyton & Hall, 1997) Sebagai pengaruhnya rumus ini menetapkan bahwa aliran darah berbanding lurus dengan perbedaan tekanan tetapi berbanding terbalik dengan tahanan. Hukum ohm menyatakan hal yang paling penting dari seluruh hubungan bahwa perlunya pemahaman tentang hermodinamika sirkulasi (Guyton & Hall, 1997). 23 Hukum Bernouli mengatakan bahwa dalam suatu pembuluh silindris, maka jumlah antara tekanan frontal dan tekanan samping adalah konstan (selalu sama) tetapi tekanan ke samping ke arah dinding berbanding terbalik secara proporsional dengan kecepatan alirannya. Jadi apabila kecepatan aliran darah berkurang, maka di dalam pembuluh darah akan terjadi tekanan samping yang naik dan tekanan frontal akan turun. Sangat sulit untuk membedakan kecepatan pulsasi darah dengan kecepatan aliran darah, karena pulsasi tergantung pada elastisitas dinding arteri, yang pada arteriosklerosis (proses penuaan/degenerasi) akan turun, apalagi bila terjadi aterosklerosis (penumpukan atherom pada dinding pembuluh darah) (Puruhito, 2007). Pada usia tua, karena proses sklerosis dinding arteri, akan terjadi kenaikan kecepatan pulsasi dan karena terjadinya hambatan aliran, maka kemudian akan menurun. Selain itu, untuk pembuluh darah juga dipengaruhi oleh inervasi vegetatif (”neural”) dan juga humoral (katekolamin, asetilkolin, dsb) serta pengaruh faktor-faktor fisik lain (trauma, konstriksi atau robekan dinding) (Puruhito, 2007). II.10 Pengukuran Tekanan Panas Heat stress terjadi pada saat tubuh tidak mampu menjaga temperatur inti tubuhnya menyebabkan berkurangnya aliran darah ke sel-sel otot, otak, organ-organ dalam lainnya sehingga pekerja merasa lelah dan tidak mampu melakukan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat mengakibatkan kecelakan kerja. Heat strain yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi psychomotor yang pada akhirnya mempengaruhi produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja serta reaksi psikologis pekerja terhadapnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan serta produktivitas pekerja agar tetap optimal (Rodahl, 2003). Parson (2006) menjelaskan bahwa ISO 7243 merupakan metode sederhana yang tepat untuk digunakan pada pemeriksaan tekanan panas di lingkungan kerja 24 temperatur ekstrim panas yaitu dengan metode suhu basah dan bola (ISBB). Untuk memperoleh nilai ISBB terlebih dahulu dilakukan pengukuran suhu kering, suhu basah dan suhu bola/radiasi yang kemudian dihitung menurut persamaan berikut: untuk tempat kerja yang terkena radiasi sinar matahari secara langsung ISBB = 0,7sba + 0,2sb + 0,1sk (2.5) Untuk tempat kerja tanpa pengaruh radiasi sinar matahari ISBB = 0,7sba + 0,3sb (2.6) sba = suhu basah sb = suhu bola sk = suhu kering Nilai ISBB yang diperoleh dari hasil pengukuran di lingkungan ekstrim panas kemudian dibandingkan dengan nilai ambang batas ISBB yang telah ditetapkan. Metode suhu basah dan bola mengintegrasikan 4 faktor penting di lingkungan yaitu temperatur udara, kelembaban, kecepatan udara, dan panas radiasi. Walaupun metode ini tidak memperhitungkan secara lengkap faktor-faktor lingkungan dan fisik yang mempengaruhi heat strain tetapi memberikan pedoman yang bermanfaat untuk melindungi pekerja yang bekerja di lingkungan yang ekstrim panas (Parson, 1999). Tabel II.1. Nilai referensi berdasarkan ISO 7243 o 2 Laju metabolisme (W/m ) Istirahat, M < 65 65 < M < 130 130 < M < 200 200 < 260 M > 260 Nilai ambang batas ( C) Pekerja teraklimatisasi 33 30 28 ada 26 26 Pekerja tidak teaklimatisasi 32 29 26 Pergerakan udara ada tidak ada tidak ada 25 23 22 22 25 20 18 18 Sumber: (Bethea & Parson, 2002) Malchaire dan Menhert (2000) mengatakan bahwa ISO 7933 adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan lingkungan panas melalui perhitungan laju 25 keringat (Sreq). Sreq index merupakan bagian dari HSI (heat stress index) dan ITS (index of thermal strain). Kriteria berikut dipakai oleh ISO 7933 untuk menentukan waktu paparan maksimum yang diperbolehkan: • 2 kelompok pekerja, teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi • “alarm” dan “danger” dimaksudkan untuk melindungi seluruh dan mayoritas pekerja • Kebasahan maksimum (Wmax) sama dengan 1 untuk pekerja yang teraklimatisasi (diasumsikan bahwa keringat dapat menguap dari seluruh permukaan kulit apabila dibutuhkan) dan 0,85 untuk pekerja tidak teraklimatisasi (diasumsikan bahwa berkurangnya efisiensi berkeringat dan oleh karena itu kemampuan untuk menguapkan keringat hanya pada 85% dari permukaan kulit) • Rata-rata maksimum keringat (SWmax) (g/h) dijelaskan pada Tabel 2, dengan metabolisme rata-rata (M) 65 Wm-2 atau 120 W • Kehilangan air maksimum (Dmax) (g) dijelaskan pada Tabel 2, yang mewakili berat badan rata-rata antara 3,4% dan 7% (70 kg) • Panas maksimum yang tersimpan 50 Wh/m2 untuk level “alarm” (diperkirakan batas rata-rata peningkatan temperatur inti hingga 0,8oC) dan 60 Wh/m2 untuk level “danger” (dimaksudkan untuk membatasi ratarata peningkatan temperatur inti hingga 1oC). Pengukuran yang dilakukan di lingkungan ekstrim panas ini meliputi pengukuran temperatur udara, temperatur radiasi, kelembaban, kecepatan udara, dan faktorfaktor yang berhubungan seperti pakaian, laju metabolisme, bentuk tubuh, yang digunakan untuk menghitung perubahan panas antara manusia dengan lingkungan (Bethea & Parson, 2002). Required evaporation (Ereq) Oleh karena K=0, maka kesetimbangan panas dapat dituliskan sebagai berikut E + S = M- W- Crespirasi + Erespirasi - C - R (2.7) 26 Jika S=0, E=Ereq maka laju penguapan yang dibutuhkan untuk menjaga kesetimbangan panas didalam tubuh menjadi Ereq = M- W- Cres - Eres - C – R (2.8) Require skin wettendness (wreq) wreq = Ereq / Emax (2.9) Require sweat rate (SWreq) SWreq = Ereq / rreq (2.10) Nilai perkiraan ditentukan dari hasil analisis di lingkungan kerja dimana wp - predicted skin wettedness Ep - predicted evaporating rate SWp - predicted sweat rate Jika wmax lebih besar dari wreq dan SWmax lebih besar dari SWp maka wp = wreq Ep = Ereq SWp = SWreq Persamaan diatas digunakan apabila nilai perkiraan tidak melebihi nilai maksimum dan kesetimbangan termal dapat tercapai. Jika yang terjadi adalah sebaliknya maka persamaan yang digunakan adalah: wp = wmax oleh karena itu: Ep = wp SWp = Ep/rp (2.11) Jika SWreq atau SWp diperkirakan melebihi SWmax maka wp dan rp dapat ditentukan melalui substitusi: wp Emax = SWmax rp oleh karena itu: Ep SWp = wp Emax = SWmax 27 Durations limited exposure (DLEs) DLE dihitung sebagai fungsi sebuah nilai maksimum panas di dalam tubuh (Qmax) dan cairan yang hilang (Dmax). DLE dihitung melalui persamaan berikut ini: DLE1 = 60 Qmax / (Ereq – Ep) (2.12) DLE2 = 60 Dmax/ SWp (2.13) Parson (1999) menjelaskan bahwa ISO 9886 merupakan metode pengukuran dan interpretasi dari hasil pengukuran fisiologi yaitu temperatur inti tubuh, temperatur kulit, denyut jantung dan perubahan berat tubuh. Temperatur inti berhubungan dengan temperatur organ-organ vital termasuk otak. Jika temperatur inti tubuh terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengganggu produktivitas dan kesehatan pekerja bahkan dapat menyebabkan kematian. Perubahan berat badan dihubungkan dengan heat strain yaitu terjadinya dehidrasi, dan denyut jantung untuk menjelaskan adanya tekanan pada tubuh. Heat stress index dikembangkan oleh Belding and Hatch pada tahun 1955 sebagai sebuah index analitis dalam skala 0 hingga 100 yang menggambarkan heat stress dan juga heat strain sehingga waktu pekerja untuk bekerja di lingkungan panas dapat disesuaikan (Bethea & Parson, 2002). 28 Tabel II.2. Nilai referensi berdasarkan ISO 7933 kriteria tidak teraklimatisasi teraklimatisasi peringatan bahaya peringatan bahaya 0.85 0.85 1 1 100 260 150 390 200 520 300 780 200 520 250 650 300 780 400 1040 50 60 50 60 1000 2600 1250 3250 1500 3900 2000 5200 Max basahnya kulit Wmax Max rata-rata keringat istirahat 2 M<65 W/m SWmax W/M 2 g/h bekerja 2 M>=65 W/m SWmax W/m g/h 2 Max panas yang tersimpan Qmax h/m2 Max hilangnya air Dmax.h/m g 2 Sumber: (Bethea & Parson, 2002) Tabel II.3. Rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung Heat Stress Index -2 Pelepasan radiasi (W.m ) R = k1 (35 - tradiasi) -2 0,6 Berpakaian Tidak berpakaian k1 = 4,4 7,3 Pelepasan konveksi (W.m ) C = k2v (35 - tudara) k2 = 4,6 7,6 Emax (W.m-2) Emax = k3v0,6 (56 -Pa) k3 = 7,0 11,7 (batas max 390 W.m-2 ) Ereq (W.m-2) Ereq = M-R-C HSI = (Ereq / Emax ) X 100 Heat Stress Index Waktu paparan yang di AET = 2440/(Ereq – Emax)mins perbolehkan (AET) Sumber: (Bethea & Parson, 2002) Tabel II.4. Nilai ambang batas iklim kerja Pengaturan waktu kerja setiap jam waktu kerja bekerja terus menerus (8jam/hari) 75% kerja 50% kerja 25% kerja waktu istirahat 25% istirahat 50% istirahat 75% istirahat Sumber: (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No KEP.51/MEN/1999) 29 o ISBB ( C) beban kerja ringan sedang 30,0 26,7 30,6 28,0 31,4 29,4 32,2 31,1 berat 25,0 25,9 27,9 30,0 Tabel II.5. Pengaruh lingkungan berdasarkan Heat StressIndex selama 8 jam paparan Nilai HSI Pengaruh Setelah 8 Jam Paparan -20 0 Tekanan dingin ringan Tidak ada tekanan panas 10-30 Tekanan panas ringan ke sedang Mempengaruhi kecakapan dalam bekerja 40-60 70-90 100 Diatas 100 Tekanan panas yang berat Mempengaruhi kondisi fisik/kesehatan pekerja Dibutuhkannya aklimatisasi Tekanan panas yang sangat berat Pekerja dipilih berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan Dipastikan bahwa pekerja mengkonsumsi air dan garam yang cukup Tekanan maksimum diberikan setiap harinya melalui aklimatisasi yang sesuai Waktu paparan dibatasi dengan peningkatan suhu inti tubuh Sumber: (Olishifski, 1971) II.11 Penyakit akibat Panas Heat strain didefenisikan sebagai efek akut atau kronis baik pada fisik maupun mental seseorang akibat paparan panas di lingkungan kerja baik mulai dari efek yang sangat ringan bahkan hingga yang dapat menyebabkan kematian. Oleh sebab itu perlu dimiliki kemampuan akan pengenalan terhadap bahaya dan pencegahannya (Rodahl, 2003). Bahaya paparan panas terhadap kesehatan pekerja dapat dikelompokkan berdasarkan Heat index lingkungan kerja. Untuk temperatur 27oC-32oC (80-90oF) masuk ke dalam kelompok peringatan dimana aktivitas dan paparan yang terus menerus dapat menyebabkan kelelahan, temperatur 32oC-41oC (90-105oF) termasuk ke dalam kelompok peringatan keras yang dapat menyebabkan heat cramp dan heat exhaustion, temperatur 41oC-54oC (105-130oF) masuk ke dalam kelompok berbahaya yang sangat besar kemungkinan menyebabkan heat cramp dan heat exhaustion dan juga memungkinkan terjadinya heat stroke, temperatur di atas 54oC (>130oF) masuk ke dalam kelompok sangat berbahaya dimana paparan secara terus menerus kemungkinan besar dapat menyebabkan heat stroke (NOAA's National Weather Service, 2006). 30 Heat rash; disebut juga dengan biang keringat yang mengakibatkan kulit memerah dan terasa gatal. Heat rash biasanya terjadi pada bagian tubuh yang basah oleh keringat dimana keringat tersebut tidak dapat menguap akibat tertutup oleh pakaian. Hal ini dapat dicegah dengan mengeringkan bagian tubuh yang basah oleh keringat (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997). Heat syncope; disebut juga dengan heat collapse. Heat syncope dihubungkan dengan kondisi tubuh yang cepat lelah akibat paparan panas yang terus menerus. Heat syncope biasanya terjadi pada saat berdiri di lingkungan yang panas dalam waktu yang cukup lama mengakibatkan terjadinya pelebaran pembuluh darah pada bagian kaki dan darah terkumpul pada tubuh bagian tersebut (kaki) sehingga suplai darah ke otak akan berkurang. Sebaiknya korban segera dipindahkan ke lingkungan yang lebih dingin dan diberi minum (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997). Heat cramps; kejang pada otot-otot yang digunakan pada saat bekerja. Hal ini diduga akibat turunnya konsentrasi sodium klorida (NaCl) di dalam darah hingga pada level yang sangat rendah. Gejala yang timbul adalah rasa kejang pada lengan, kaki atau juga perut yang terjadi secara tiba-tiba baik pada saat bekerja ataupun sesudah bekerja (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997). Heat exhaustion; umumnya disertai dengan gejala-gejala seperti lelah, pusingpusing, sesak nafas, muntah-muntah, pingsan, keringat dingin, hipotensi, denyut nadi yang cepat. Keadaan ini disebabkan terjadinya dilatasi atau pelebaran pembuluh darah yang disertai penurunan kemampuan darah untuk bersirkulasi melepaskan panas menyebabkan suhu inti tubuh akan meningkat dan tubuh akan terus menerus berkeringat yang pada akhirnya tubuh akan kekurangan cairan (dehidrasi). Tetapi heat exhaustion tidak selalu dihubungkan dengan kenaikan suhu inti tubuh, hal ini dapat dilihat pada seseorang yang dalam kondisi tidak fit atau tidak terbiasa bekerja di lingkungan yang panas maka akan sangat rentan 31 terkena heat exhaustion (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997). Heat stroke; sangat berbahaya bagi kesehatan seseorang oleh sebab itu sebaiknya sesegera mungkin korban mendapat perawatan medis. Heat stroke dikarakterisasikan sebagai berikut: naiknya temperatur inti tubuh hingga melebihi 104oF, berhentinya produksi keringat, kulit panas dan kering, denyut nadi dan pernafasan yang cepat, hipertensi, pusing, dan hilang kesadaran. Jika korban tidak segera mendapat perawatan, heat stroke dapat menyebabkan koma dan bahkan kematian (OSH Department of labor Wellington New Zealand, 1997). 32