Mangunwijaya coins three theories of architecture - Faculty e

advertisement
“Arsitektur Nusantara Ala Mangunwijaya” :
Membangkitkan makna Vernakular lewat Jiwa Tradisi
Sebagai seorang arsitek Indonesia , sudah sewajarnya kalau bukan suatu keharusan, kita
mengagumi karya-karya arsitekur dari Mangunwijaya. Beliau, adalah seorang arsitek
yang juga sastrawan, rohaniawan, dan sangat peduli terhadap lingkungan kurang mampu.
Beliau telah berhasil meraih dua kali IAI Award dan Aga Khan Award untuk ketiga buah
karyanya, yakni: Perkampungan Kali Code, tempat ziarah Sendang Sono, serta Biara
Trapis Gedono dan juga Magsaysay Award untuk karya sastranya “Burung-Burung
Manyar”. Walaupun Mangunwijaya mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat
modern, sebagai arsitek lulusan Jerman, namun beliau justru mengambil sikap yang jauh
berbeda dari rekan-rekan seprofesinya. Dalam menciptakan karyanya, Mangunwijaya
lebih senang sekali menonjolkan sesuatu yang dianggap ‘kuno’ dan pada proses
pembangunan beliau langsung terjun di lapangan dan bersikap sebagai empu.
Perkembangan dunia arsitektur akhir-akhir ini, baik arsitektur modern yang minimalis
dan juga arsitektur post modern yang romantis menunjukan suatu gejala bahwa arsitektur
hanyalah permainan bentuk belaka. Lebih dari itu karya arsitektur hanyalah merupakan
suatu bangunan yang tak mampu menjadi bagian dari sebuah kehidupan. Bagaimana
sebuah karya arsitektur dibangun tidak lagi memberikan suatu pelajaran bagi orang lain
bagaimana membangunnya. Kualitas sebuah karya arsitektur tidak lagi ditentukan oleh
keahlian menciptakan ruang, tetapi lebih pada keahlian untuk menggabungkan bentukan.
Kalau kita menengok pada arsitektur tradisional, kekaguman kita sampai sekarang tidak
pernah habisnya. Kepiawaian arsitektur tradisional menghadirkan ruang yang penuh
makna dengan bentukannya yang jujur, selalu menarik untuk dipahami. Bentuk
bangunan tradisional merefleksikan bagaimana caranya membangun yang dapat
dipelajari secara visual oleh setiap orang. Arsitekur tradisional mampu menempatkan
dirinya sebagai bagian dari kehidupan. Sayangnya cara membangun, material dan normanorma yang secara transparan muncul dalam sebuah karya, perlahan-lahan menjadi
usang dan muncul dominasi industri bahan bangunan yang canggih dan dianggap mampu
memunculkan bentuk arsitektur yang lebih attraktif.
Keinginan menjadi ‘wah’ (menonjol) dengan menggunakan bahan yang serba modern
menciptakan suatu bentukan homogen yang semakin jauh meninggalkan kontinuitas
sebuah budaya. Bahkan identitas nasional menjadi hambar kalau tidak sudah hilang, dan
kecanggihan teknologi bahan menarik setiap negara berkembang untuk mencoba dan
terbuai dalam identitas global kalau tidak sudah terjebak. Di tengah hiruk pikuknya
permainan bentuk pada karya-karya arsitektur saat ini muncul beberapa istilah yang
bermaksud menjembatani pertentangan antara nuansa identitas yang dimunculkan secara
tradisional dan modern menjadi aktual kembali. Ada yang menyebutnya arsitektur
kontemporer, arsitektur kontekstual dan gaung yang dimunculkan akhir-akhir ini adalah
‘arsitektur vernakular’.
Dalam tulisan kali ini makna vernakular akan digali seiring dengan sifat kerinduan akan
tradisi yang kuat. Secara sederhana kita dapat mengartikan kata “vernakular” sebagai
suatu ungkapan kata-kata atau dialek sebuah komunitas(dalam bahasa latin vernuculus)
atau dalam dunia arsitektur sebutan arsitektur vernakular banyak ditemui dalam bentuk
rumah rakyat. Bernard Rudofsky (1964) dalam bukunya “Architecture without
Architect” menuliskan ,..”Vernacular architecture does not go through fashion cycles. It
is nearly immutable, indeed, unimprovable, since it serves its purpose to perfection.
Sedangkan Amos Rapoport (1969) dalam bukunya ‘House, Form and Culture’,
mengartikan arsitektur vernakular sebagai ‘folk tradition’.
Sebenarnya istilah Arsitektur Vernakular sudah muncul pada era 60an, namun saat itu
tak banyak arsitek yang menaruh perhatian karena dianggap hanya sebagai arsitektur
rakyat dan derajat ke’arsitekturan’nya disepelekan. Namun, ketika seorang kritikus
arsitek kelas dunia, Kenneth Frampton (1982), memunculkan istilah “regionalism”,
dalam bukunya Modern Architecture and the Critical Present, beliau mengritik gejala
universalitas arsitektur modern di seluruh belahan bumi, dan mempertanyakan identitas
regional. Dikatakan dalam bukunya ”…Everything will depend on the capacity of rooted
culture to recreate its own tradition while appropriating foreign influences at the level of
both culture and civilization….. Regionalism is a dialectical expression. It selfconsciously seeks to deconstruct universal Modernism, in terms of values and images
which are quintessentially rootes, and at the same time to adulterate these basic
references with paradigms drawn from alien sources”.
Saat ini issue tentang arsitektur rakyat yang ramah lingkungan mulai banyak
diperdebatkan, dan arsitektur vernacular menyimpan jawabannya. Secara popular
Arsitektur Vernakular dapat dipahami dengan mudah sebagai sebuah hasil karya
arsitektur yang mempunyai sasaran sebuah komunitas/ tempat yang jelas, sehingga
mampu memunculkan karakter setempat. Belajar dari rumah-rumah tradisional yang
mampu memberikan pelajaran-pelajaran runag, bentuk dan struktur yang menyatu dan
jujur. Rumah-rumah rakyat di pedalaman, seperti rumah Honai di Irian Jaya, Rumah
Perahu di Kalimantan seringkali kita jumpai sebagai karya anonim yang dibangun oleh
masyarakat setempat dengan kemampuan akan konstruksi dan bahan yang dipelajari
secara turun temurun dan didapat dari lokasi setempat. Hasil karya ‘rakyat’ ini
merefleksikan sebuah masyarakat yang akrab dengan alamnya, kepercayaannya, dan
norma-normanya dengan bijaksana. Bentuk, proporsi, dan dekorasinya merupakan
simbol-simbol yang berarti. Mereka tidak meletakkan tujuan untuk suatu keindahan
tetapi menciptakan ruang dengan prinsip-prinsip kehidupan menghadirkan bentuk
struktur yang telah teruji oleh alam.
Meminjam istilah Christopher Alexander bahwa arsitektur itu mempunyai bahasa, maka
bahasa arsitektur vernakular erat sekali hubungannya dengan aspek-aspek tradisi. Tradisi
memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas tatanan sebuah arsitektur
melalui sistim persepsi ruang yang tercipta, bahan dan jenis konstruksinya. Ruang,
bentuk dan konstruksi dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan
secara perlahan melalui suatu kebiasaan.
Perkataan ‘tradisi’, sebenarnya berasal dari bahasa latin “trado – transdo”, yang berarti
‘sampaikanlah kepada yang lain”. Banyak orang mencoba mendefinisikan apa itu tradisi.
Namun aspek yang tak dapat dipungkiri bahwa dalam tradisi ada makna untuk
melanjutkan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu istilah ‘vernakular’ dan ‘tradisi’
sering kali dipakai bersamaan untuk saling melengkapi. Penghayatan akan tradisi tidak
berarti mengharuskan kita hidup kembali seperti di masa lampau. Namun penjiwaan
akan sebuah tradisi yang baik akan lebur dalam pikiran kita dan mampu mendorong
seorang arsitek untuk menciptakan suatu karya yang mempunyai karakter yang kuat.
Dalam tulisan kali ini, saya mengajak para pembaca untuk sejenak kembali melihat apa
yang telah diperbuat oleh seorang arsitek Mangunwijaya. Beliau amat mengagumi dan
sadar akan kekayaan arsitektur yang diciptakan oleh leluhurnya sendiri. Beliau berupaya
untuk berpegang pada kekayaan imajinasinya akan potensi-potensi tradisi setempat.
Konsep mengembalikan arsitektur ke prinsip-prinsip dasar yang bersifat lokal mengakar
pada dirinya. Latar belakang kehidupan yang beragam sangat berpengaruh pada karyakarya arsitekturnya. Buah karyanya sarat dengan pesan, baik dari segi konsep maupun
teknik. Namun, beliau lebih suka disebut sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak
harus mengacu ke gaya-gaya arsitektur tertentu.
Mangunwijaya (1985) selalu mengingatkan lewat bukunya “Wastu Citra”, bahwa
ternyata bangunan punya citra tersendiri, mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Dan
ternyata pula bila sang arsitek hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih
mendalami yang berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan setempat.
Mangunwijaya menyatakan tiga teori arsitektur yang patut untuk dicermati untuk
menghasilkan sebuah karya dapat disebut sebagai ‘Arsitektur Nusantara’ Satu, arsitektur
adalah simbol dari sebuah kosmos. Kedua, arsitektur adalah cermin dari sebuah gaya
hidup. Ketiga arsitektur membutuhkan suatu ekspresi yang mandiri.
Karya bangun Mangunwijaya tumbuh dari suatu keakraban dengan alam setempat,
dengan penyampaian yang wajar tapi sarat pesan, lihat hasil karya beliau sebuah tempat
ziarah untuk umat Katolik di Sendangsono (gambar 1-4). Keinginan Mangunwijaya
menghadirkan sebuah substansi untuk mendorong hadirnya arsitekur nusantara terlihat
dari penjiwaannya terhadap arsitektur rumah – rumah tradisional dan juga candi di
Indonesia. Kesadaran yang total akan menghasilkan karya arsitektur nusantara yang
indah pula. Seperti hadirnya bangunan pertapaan biara trappist di Gedono, Salatiga karya
Romo Mangunwijaya. Bukankah tatanan kolom, pengangkatan bangunan mencerminkan
tatanan rumah tradisional kita? Namun kompleksitas dari tatanan jendela tidak mengacu
pada bentuk-bentuk jendela rumah tradisional, tetapi pengulangan tatanan lengkung
mengingatkan kita pada bentuk-bentuk lengkung dari pintu candi-candi di jawa tengah.
Bukankah perpaduan antara konstruksi kayu dan pemahaman detil konstruksi batu
menghadirkan sebuah arsitektur nusantara yang harmoni. (lihat gambar 4-10. Biara trapis
di Gedono).
Sebagai arsitek, beliau ingin membagikan wawasan bagaimana ber-arsitektur. Di tengah
kiprahnya berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang arsitektur yang lebih banyak
berpihak pada orang mampu daripada orang tidak mampu, sehingga hal ini mendorong
beliau dengan sadar melepaskan atribut keprofesian atau melepas embel-embel IAI di
belakang namanya. Kepedulian beliau ini dapat kita lihat dari hasil karyanya sebuah
perumahan untuk kaum papa di Kali Code, Jogaykarta. (lihat gambar 10-14)
Bagi seorang Mangunwijaya berarsitektur tidak hanya merancang dan membangun,
tetapi juga mengkritik dan mendidik. Arsitek seharusnya kembali ke asal mulanya yang
menguasai berbagai bidang ilmu dan ketrampilan. Kepiawaian untuk berpikir holistik
jarang bersatu atau mengkristal dalam diri seseorang. Begitulah sang Mangunwijaya
yang telah mewariskan karya-karyanya untuk kita semua, beliau bukan saja seorang
pendidik, tetapi juga seorang pemikir/penulis dan pengkritik yang bijak.
Sebagai penutup, saya kutipkan sajak-sajak indah dari nenek moyang kita yang
dituliskan kembali oleh seorang arsitek dan sastrawan Mangunwijaya dalam bukunya
Wastu Citra (hal 2),
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine,
pepindhane wadhah lan isine….
Jeneng wadhah yen tanpa isi,
Olah dene arane wadhah,
Tanpa Tanya tan ana pigunane.
Semono uga isi tanpa wadhah,
Yekti barang mokal…….
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah la isi,
Kang utama karo-karone”.
[Yang disebut hidup (sejati) tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya,
ibarat bejana dan isinya……
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana,
Tidak semestinya dan tidak berguna,
Demikian juga isi tanpa bejana,
Sungguh hal yang mustahil….
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi,
Sebaiknyalah kedua-duanya.]
Lilianny S Arifin
Laboratorium Sejarah & Teori Arsitektur,
Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra
Alamat Rumah : Rungkut Asri Barat 10/31 Surabaya 60293
Telp. Rumah : 031- 8701926
E-mail
: [email protected]
Download