SUMBER DAYA AIR Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan lagi dalam tataran wacana, namun secara nyata telah menjadi tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Pada dasarnya perubahan iklim dapat diindikasikan melalui kenaikan temperatur atau suhu udara permukaan karena mencairnya gletser dan es kutub, yang juga berimplikasi pada ekspansi suhu udara pada wilayah permukaan serta pergeseran musim. Indikasi lain adalah pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Sementara itu, implikasi terhadap proses siklus hidrologis sebagai dampak pemanasan global diperkirakan telah mengubah rentang iklim, pergeseran rata- rata iklim regional, pergeseran zona iklim, dan mengakibatkan lebih tinggi frekuensi dan amplitude cuaca. Di masa datang, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini diperkirakan akan membuat pola-pola resiko baru yang lebih tinggi dan mengancam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Secara global beberapa inisiatif dan komitmen bersama dilakukan oleh sejumlah besar negara untuk penanganan pemanasan global. Dalam lingkup nasional, Pemerintah Indonesia juga telah mencoba menindaklanjuti komitmen internasional terkait perubahan iklim, diantaranya melalui penyusunan RAN MAPI (Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim) pada tahun 2007 dan tahun berikutnya (2008) ditindaklanjuti kembali oleh Bappenas melalui penyusunan dokumen “National Development Planning : Indonesia Responses to Climate Change”. Dokumen-dokumen tersebut dimaksudkan untuk memperkuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010- 2014 dalam pengarusutamaan lingkungan hidup, terutama terkait antisipasi perubahan iklim. Pada tahun 2009, disusun juga Road Map Perubahan Iklim yang juga dimaksudkan memperkuat serta dapat diintegrasikan dalam dokumen RPJM. Dokumen-dokumen tersebut merupakan bentuk upaya Pemerintah untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi. Terdapat 5 bidang yang rawan terhadap perubahan iklim dan menjadi titik tolak sejumlah program dan kegiatan pemerintah yaitu : 1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan, 5) Ekosistem kawasan pesisir dan bahari (RANPI 2007). Kerawanan/krisis sumber daya air terjadi di kawasan pesisir pantai serta kawasan SDA lainnya yang tergolong kawasan rentan terkena dampak dan implikasi sosial ekologis perubahan iklim. Kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim terkait dengan kondisi krisis air adalah pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil (small islands) yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah pesisir merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura, 1999). Fenomena ini telah terlihat pada pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Kondisi krisis air pada masyarakat di pesisir pulau-pulau kecil semakin memprihatinkan dan menjadi perhatian banyak pihak. Untuk merespon fenomena di atas, kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut sebagai bakal pengembangan strategi adaptasi menjadi sangat penting. Kajian mengenai hal ini telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 1992. Dalam konteks kerentanan pulau-pulau kecil, Lewis (2009) menyatakan bahwa kerentanan sudah merupakan karakteristik dari pulau-pulau kecil. Pulau- pulau kecil sebagai tempat atau lokasi yang sangat kecil, menyebabkan seluruh kegiatan di pulau tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut. Kajian kerentanan pulau kecil (khususnya daerah pesisir) semakin strategis artinya karena sekitar 7 (tujuh) persen dari area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki jumlah pulau kecil terbanyak di dunia yang berkisar 10.000 pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990). Kondisinya, Indonesia hingga saat ini belum memiliki indeks kerentanan (Simamora 2009). Beberapa kajian kerentanan pesisir dan pulaupulau kecil Indonesia memang telah dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia. Selain itu, dari berbagai kajian kerentanan yang telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan. Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini cenderung parsial terfokus pada satu aspek (dimensi) saja. Hingga saat ini belum ada kajian yang menghasilkan indeks kerentanan dengan menggabungkan sejumlah aspek (dimensi) seperti sosial, ekonomi dan lingkungan secara terintegrasi, sebagai dasar untuk suatu pembangunan berkelanjutan. Terkait dengan ketersediaan air yang merupakan refleksi dari kerentanan, akibat dari kondisi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai dimensi baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Pola ini dipengaruhi oleh beberapa variabel yang telah ditemukenali pada penelitian tahun 2012. Variabel sosial, ekonomi, dan lingkungan digunakan untuk mengukur kerentanan krisis air di pulau-pulau kecil. Kerentanan mengacu pada kecenderungan dari sesuatu yang dirusak. Kebalikannya adalah ketahanan atau kemampuan untuk menolak dan atau pulih dari kerusakan. Berbicara tentang kerentanan, secara otomatis juga berbicara tentang ketahanan karena keduanya merupakan sisi berlawanan dari koin tunggal. Dalam menentukan apakah suatu daerah mempunyai potensi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, diperlukan suatu acuan berupa indeks sebagai kumpulan parameter yang menjadi alat ukur potensi kerentanan tersebut. Kerentanan dapat diukur pada tingkat yang berbeda untuk masalah yang berbeda. Artinya, dapat digunakan untuk melihat satu masalah saja, maupun untuk menilai sebuah entitas kompleks seperti sebuah negara. Ide kerentanan/ketahanan berlaku sama baik untuk entitas fisik (orang, ekosistem, garis pantai) dan konsep-konsep abstrak (sistem sosial, sistem ekonomi, negara). Faktorfaktor yang menyebabkan kerusakan yang dikenal sebagai bahaya, masing-masing akan terkait dengan beberapa tingkat risiko, atau kemungkinan terjadi (SOPAC, 2004). Pengukuran kerentanan di daerah krisis air menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana kondisi krisis air suatu daerah sehingga dapat dipilih tindakan yang paling paling sesuai. Sejumlah tindakan ini kemudian dapat diformulasikan sebagai strategi secara nasional dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masyarakat di daerah krisis air. Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana model kerentanan di daerah krisis air pulau-pulau kecil? 2. Seberapa besar kerentanan yang terjadi di daerah krisis air pulau-pulau kecil? 3. Bagaimana upaya menurunkan kerentanan yang terjadi di daerah krisis air pulau-pulau kecil? 1. Menformulasikan indeks kerentanan di daerah krisis air pulau-pulau kecil 2. Menilai kerentanan di daerah krisis air pulau-pulau kecil 3. Merancang upaya menurunkan kerentanan yang yang terjadi di daerah krisis air pulau-pulau kecil. 1. Formula Indeks kerentanan di daerah krisis air pulau-pulau kecil 2. Indeks (dalam bentuk nilai) kerentanan di daerah krisis air pulau-pulau kecil 3. Rancangan upaya menurunkan kerentanan yang yang terjadi di daerah krisis air pulau-pulau kecil Semula penelitian ini berlokasi di Pulau Ende, Pulau Adonara, Pulau Pantar, Pulau Palu’e, dan Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, namun karena perkembangan yang terjadi di lapangan, kondisi di beberapa lokasi tidak memungkinkan untuk dilakukan penyebaran kuesioner. Lokasi-lokasi tersebut adalah: 1. Pulau Pantar dan Pulau Adonara Konflik antar suku yang terjadi di Pulau Pantar dan Pulau Adonara menyebabkan penelitian tidak mungkin untuk dilakukan, oleh karena itu kedua lokasi ini diganti dengan Pulau Solor dan Pulau Semau. 2. Pulau Palu’e Meletusnya kembali Gunung Rokatenda pada tanggal 10 Agustus 2013 menyebabkan direlokasinya sebagian besar penduduk Pulau Palu’e sehingga tidak mungkin dilakukan penyebaran kuesioner di pulau tersebut. Tim hanya melakukan wawancara dan pengumpulan data sekunder terkait kondisi terkini Pulau Pau’e. 1. Pemangku kepentingan mampu merumuskan langkah-langkah strategis dan terpadu guna mengantisipasi dampak perubahan iklim di daerah krisis air pulau-pulau kecil berdasarkan hasil indeks yang ada guna menurunkan kerentanan yang terjadi. 2. Mendukung kegiatan RAN MAPI Kementerian Pekerjaan Umum