1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Setiap individu

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Setiap individu memiliki beban dan tanggung jawab hidup yang berbeda-beda,
dan umumnya menginginkan kehidupan yang sejahtera secara materi dan
psikologis. Permasalahannya, beban hidup setiap orang berbeda-beda. Bagi
sebagian individu mungkin merasa bahwa beban hidup yang ditanggungnya amatlah
berat, namun tidak bagi sebagian orang lainnya. Beban hidup yang berat yang harus
dihadapi setiap hari dan terus menerus berpotensi menyebabkan stres pada
seseorang. Hal tersebut selaras dengan pendapat (Sinung, 2008), bahwa hidup
monoton (dengan kondisi tetap dan terus menerus) yang berlangsung terus menerus
dapat menyebabkan munculnya depresi. Begitu juga dengan seorang Ibu rumah
tangga, khususnya Ibu rumah tangga yang ditinggal meninggal oleh pasangannya.
Kemudian menjadikan kondisi kehidupan setelahnya menjadi tidak dinamis sedang
beban kehidupan semakin meningkat. Maka diasumsikan potensi seorang janda
lebih tinggi dibanding dengan Ibu rumah tangga yang masih memiliki pasangan.
Menurut Depkes RI, 1998 (dalam Ali, 2006) bahwa keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan. Keluarga juga merupakan seperangkat hubungan keintiman
antarpersonal yang legal dengan ikatan pernikahan (Greenberg, 2004). Bertolak
pada hal tersebut dapat disimpulkan bahwa idealnya sebuah keluarga adalah terdiri
1
2
dari Ayah, Ibu dan anak-anak, dan menjadi keluarga ideal yang harmonis menjadi
impian bagi setiap keluarga. Namun dalam realitanya, ada keluarga yang hanya
terdiri dari satu orang tua saja (single parent) dengan beberpa anak dengan segala
beban kehidupan yang harus ditanggung sendiri.
Menurut Wibowo (2006), perbandingan jumlah single parent antara janda
dan duda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda yang tidak menikah
hanya seperlima dari jumlah janda yang tidak menikah lagi. Badan Urusan Peradilan
Di
Indonesia
tercatat
angka
8.926.387
wanita
yang
menjalani
perannya
sebagai single parent (Fajhrianthi, 2012). Jadi perbandingannya, lebih banyak duda
yang menikah lagi dari pada janda yang tidak menikah lagi, dan akibatnya jumlah
ibu rumah tangga yang janda lebih banyak.
Menjadi wanita yang berstatus janda merupakan hal yang tidak mudah,
Alvita (2008) menyatakan bahwa seorang single parent mempunyai peran ganda
dalam keluarga. Peran ganda tersebut harus memenuhi kebutuhan psikologis anak
(pemberian kasih sayang, perhatian dan rasa aman) serta harus memenuhi
kebutuhan fisik anak (kebutuhan sandang pangan, kesehatan, pendidikan, dan
kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan materi). Demikian hasil penelitian Akmalia
(2012), juga memaparkan terkait adanya stres pada seorang ibu rumah tangga
janda saat perceraian dan pasca perceraian, stres yang dirasakan ialah menjalani
hidup dan membesarkan anak seorang diri tanpa dukungan seorang suami, masalah
ekonomi, pekerjaan, peran ganda subjek dan hubungan pribadi subjek dengan
lingkungan setelah perceraian.
3
Sedangkan dalam penelitiannya, Pangestuti (2010) menyatakan bahwa
Orang tua tunggal memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan emosional, terutama depresi, dibandingkan orang tua-orang tua lain yang
tidak single. Demikian halnya Ellen L. Lipman dkk (dalam Avison, 1996),
menunjukkan bahwa ibu rumah tangga tunggal, berkorelasi dengan peningkatan
risiko gangguan afektif dan peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan mental.
Mereka juga memaparkan bahwa seorang ibu yang single dan miskin secara
signifikan memiliki hubungan khususnya pada faktor yang berpengaruh terhadap
kesehatan mental. Ada banyak kesepakatan dalam literatur-literatur ilmiah bahwa
ibu rumah tangga tunggal merupakan faktor yang berisiko terhadap distres
psikologis.
Satu studi wawancara yang pernah peneliti lakukan pada 10 November 2013
kepada seorang Ibu rumah tangga yang memiliki kondisi kesulitan ekonomi,
bertempat tinggal di pusat kota Yogyakarta, memiliki tiga orang anak yang
semuanya bersekolah, bekerja serabutan, kondisi rumah sangat sederhana dan
dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sang Ibu menyampaikan sering merasa
stres ketika anak-anak harus membayar SPP sekolah, atau ketika membeli
perlengkapan-perlengkapan sekolah anak-anak nya, memberi uang saku, terlalu
memikirkan masa depan anak-anak dan seterusnya. Didapatkan data tentang gejala
fisik yang sering di alami oleh sang ibu ketika stres adalah lebih mudah marahmarah, kepala pusing, detak jantung tiba-tiba berdetak cepat, dan tubuh terasa
meriang .
4
Secara teoritis dampak negatif stres terhadap individu akan berhubungan
dengan dua aspek yaitu: fisiologis dan psikologis. Diantaranya, beberapa peneliti
telah menemukan hubungan antara stress dan illness, bahwa dengan sebuah
kondisi stres yang berat,sebuah kondisi illness bisa terjadi. Ini menunjukkan bahwa
satu menit saja stres terjadi, illness akan dapat terjadi. Seorang endokrinologis
bernama Hans Selye, telah mampu menspesifikasi perubahan-perubahan yang
terjadi dalam fisiologi tubuh yang dihasilkan karena stres (Greenberg, 2004).
Secara endokrinologi, Selye (dalam Greenberg, 2004) mengemukakan tiga
fase mekanisme tejadinya stres yang dikenal dengan istilah General Adaptation
Syndrom (GAS), yaitu fase peringatan (alarm stage), fase perlawanan atau adaptasi
(stage of resistance and adaptation, dan fase keletihan (stage of exhaustion).
Respon fisiologis non-spesifik yang didefinisikan Selye tersebut terdiri atas interaksi
antara cabang simpatik sistem saraf otonom dan dua kelenjar, hipofisis dan adrenal.
Fase peringatan GAS dimulai bila stresor memicu kerja kelenjar pituitary (kelenjar
endokrin yang berfungsi melepaskan hormon ke dalam pembuluh darah sebagai
bentuk respon informasi yang diterima dari hipotalamus) dan sistem saraf simpatik.
Fase perlawanan atau adaptasi dimulai dengan bekerjanya kortisol, hormon adrenal,
norepinefrin dan epinefrin. Dan, fase keletihan terjadi jika stres berlanjut atau
adaptasi tidak berhasil. Tanda akhir keletihan adalah gangguan respon umum, gagal
jantung, dan gagal ginjal, yang menyebabkan kematian.
Dalam keadaan stres, ACTH (adrenocorticotropic hormone) meningkat.
Peningkatan ACTH ini dapat mengaktifkan korteks adrenal untuk mensekresi
hormone gluco-cortikoid, terutama kortisol. Kortisol beredar dalam plasma dalam
5
bentuk bebas dan terikat pada protein. Dosis kortisol yang sangat tinggi dapat
menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar limfe. Kejadian
yang membuat stres dan mood (suasana hati) merupakan faktor penting yang dapat
memperburuk gejala infeksi diabetes. Oleh karena itu, identifikasi dan penurunan
stres secara klinis adalah penting dan aplikatif bagi tenaga medis sebagai upaya
pencegahan maupun penanganan penyakit (Greenberg, 2004).
Adapun menurut Greenberg (2004), menyatakan bahwa hubungan stres
dengan organ lain telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian bahwa stres
dimungkinkan menghasilkan kerusakan otak yang irreversible (tidak dapat diubah).
Stres juga memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap sistem gastrointestinal (GI).
Sehingga stres menurunkan sejumlah saliva dalam mulut, misalnya orang-orang
sering merasa resah sebelum berbicara di depan publik dan mulut mereka menjadi
terlalu kering untuk berbicara. Stres juga memungkinkan menghasilkan kontraksikontraksi tidak terkontrol dari otot esophagus sehingga menelan menjadi sulit.
Kemudian juga meningkatkan sejumlah hidrocloric acid dalam perut, menyempitkan
pembuluh darah dalam lambung, dan menurunkan lendir lambung yang melindungi
sel-sel perut (Greenberg, 2004). Mekanisme akibat stres yang khusus menyebabkan
penyakit belum diketahui secara jelas. Namun banyak studi yang menguatkan
adanya hubungan antara stres dan potensi sakit (Sholeh, 2006).
Dampak stres berikutnya adalah secara psikologis, disampaikan oleh Hayes
(2007) dalam penelitiannya ia menyimpulkan bahwa stres secara signifikan
berdampak berkurangnya persepsi prestasi pribadi dan kepuasan hidup. Kepuasan
hidup menjadi faktor penting sehingga individu dapat merasa bahagia. Selain itu,
6
gejala pikologis lainnya dari stres adalah gelisah, cemas, depresi, mudah menangis
dan mudah marah (Hardjana, 1994).
Beberapa studi ilmiah menunjukkan bahwa kecenderungan stres lebih tinggi
pada ibu rumah tangga janda dibandingkan dengan rumah tangga yang utuh. Oleh
karena itu, penting bagi para Ibu rumah tangga janda untuk memahami hal ini dan
memahami bagaimana memanajemen diri agar tidak stres (distress), karena
pengaruhnya bukan hanya fisik melainkan juga pikologis.
Setiap individu memiliki stres kehidupan masing-masing, termasuk juga
dikalangan para ibu rumah tangga janda tersebut. Para Ibu rumah tangga janda,
mungkin juga memiliki karakteristik permasalahan yang hampir sama. Namun tidak
semua mampu mengatasi permasalahannya dengan baik, hal tersebut dikarenakan
adanya kondisi sosial yang berbeda-beda dari para Ibu rumah tangga janda
tersebut. Jika para Ibu tersebut belum mampu menangani atau memanajemen
stresnya maka kondisi tersebut dapat memberikan dampak negatif baik terhadap diri
sendiri mapun orang lain (anak-anak).
Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres orang tua tidak
hanya berdampak negatif terhadap diri sendiri tetapi juga terhadap anak dan
lingkungan. Stres orangtua diantaranya akan mempengaruhi bagaimana orang tua
mengasuh anak-anaknya sehingga berpengaruh pada pekembangan anak. Selaras
dengan pendapat Lazarus (1991) yang mengatakan bahwa emosi berhubungan
langsung dengan reaksi stres secara nyata. Emosi yang dimaksudkan adalah emosiemosi negatif, seperti: marah, takut-cemas, merasa bersalah, malu, cemburu, iri hati
dan benci. Sehingga, jika banyak orangtua yang masih sering berperilaku emosional
7
(marah, kasar, melakukan kekerasan dan lain-lain) kepada anak-anaknya,
kemungkinan hal itu diakibatkan oleh kondisi orangtua yang sedang dalam kondisi
stres, sehingga diasumsikan janda yang mengalami stres juga akan memberikan
dampak negatif terhadap perkembangan anak.
Berdasarkan beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas keluarga
berhubungan dengan perkembangan anak. Cummings & Davies (1994) menyatakan
bahwa faktor-faktor berisiko dalam keluarga seperti kurangnya pengasuhan, konflik
keluarga, dan perceraian dalam pernikahan secara kuat berpengaruh pada
perkembangan anak. Begitu juga dengan kurangnya sebuah hubungan positif yang
hangat dengan orang tua, kedekatan yang kurang membuat nyaman bagi anak,
tidak fleksibel,
cukupnya
atau pelaksanaan kedisiplinan yang tidak konsisten, kurang
pengawasan
dan
keterlibatan
dengan
anak,
dan
psikopatologi
pengasuhan (khususnya depresi kehamilan) mampu meningkatkan risiko terhadap
permasalahan perkembangan perilaku dan emosi anak, termasuk penyalahgunaan
obat
terlarang, perilaku anti sosial, dan tindak kejahatan kriminal (Coie, 1996).
Sebuah keluarga yang hanya terdiri dari Ibu sebagai orang tua diasumsikan akan
memiliki kemungkinan lebih besar memiliki faktor-faktor risiko tersebut. Kurangnya
kehangatan hubungan, pengawasan dan keterlibatan dengan anak-anak lebih besar
peluang terjadinya dibandingkan keluarga yang utuh.
Dinamika psikologis dari seorang ibu rumah tangga janda, penting untuk
dipahami secara menyeluruh, sehingga peneliti dapat melihat kebutuhan psikologis
yang dapat diberikan dalam rangka membantu para Ibu rumah tangga janda ini
menangani beban psikologis dalam kehidupannya. Berdasarkan penelitian pada
8
paragaf sebelumnya telah dijelaskan bahwa orang tua yang single khususnya kaum
ibu memiliki kecenderungan stres dan depresi yang lebih dibandingkan pasangan
yang utuh.
Khusus bagi Ibu rumah tangga yang ditinggal pasangan karena meninggal,
kematian pasangan hidup menimbulkan krisis dalam kehidupan yang dapat
menimbulkan stres. Janda yang ditinggalkan harus belajar untuk menyesuaikan
seluruh aspek kehidupannya. Ia harus mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul
setelah suaminya meninggal, perlu melewati tahap-tahap berkabungnya agar dapat
menemukan identitasnya yang baru sebagai janda dan memulai kehidupannya
sesuai identitas barunya itu (Sundari, 1993). Selain itu, setelah pasangannya
meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa dimensi masalah. Bagi
beberapa perempuan, penyesuaian terhadap kehilangan suami meliputi perubahan
terhadap konsep diri. Peran penting perempuan sebagai seorang istri tidak akan ada
lagi dalam kehidupan setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan yang telah
mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah kematian suaminya mengalami
kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi
seorang perempuan, meninggalnya suami berarti
kehilangan orang yang
mendukung definisi diri yang dimilikinya (Nock,1987). Hal ini bukan hal yang mudah
untuk diterima tanpa beban psikologis, membutuhkan waktu dan proses untuk
menerima dengan lapang dan apa adanya. Jika sang ibu memiliki anak, maka beban
tanggungjawab akan bertambah dengan adanya peran ganda dalam rumah tangga,
tidak hanya berperan mengurus rumah dan mendidik anak melainkan juga
menanggung beban ekonomi keluarga. Membagi waktu dengan seimbang antara
9
mencari nafkah dan menemani atau mendidik anak, adalah kompetensi penting
yang harus dimiliki oleh para ibu rumah tangga janda, agar kualitas keluarga yang
ideal dan harmonis dapat tercapai. Namun, hal tersebut tidak semudah membalik
telapak tangan. Terlebih ketika anak-anak menginjak masa remaja. Para ahli
psikologi menyebut masa remaja sebagai masa badai dan topan. Karena remaja
identik dengan emosinya yang labil, mudah gelisah, lebih suka beraktifitas di luar
rumah, atau lebih suka menyendiri dan seterusnya. Hal ini mutlak dipahami oleh
semua orangtua yang memiliki anak remaja. Jika pada pasangan yang utuh, maka
dukungan sosial dari orang terdekat secara emosi pun akan didapatkan, namun jika
kondisinya single maka hal tersebut menjadi beban yang lebih terasa berat. Butuh
kekuatan mental tersendiri bagi seorang ibu rumah tangga janda, sehingga mampu
bertahan dengan segala sumber stres yang ada. Peneliti menemukan banyak
individu yang mampu bertahan dengan segala keterbatasan hidup, bahkan mampu
memiliki kekuatan mental yang baik dengan segala beban kehidupannya ketika
individu tersebut memiliki sisi spiritualitas (hubungan personal antara individu
dengan yang Maha Esa) yang baik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa aspek spiritualitas dan
religiusitas
(ritual
keagamaan)
memiliki
sumbangsih
positif
dalam
upaya
menurunkan stres, kecemasan, dan depresi. Diantaranya, dilaporkan oleh Yousefi
dan Hassanpour (2001), bahwa orang yang membaca Al-Qur’an secara konsisten,
memiliki kecenderungan terhindar dari depresi dari pada yang tidak melakukannya.
Demikian juga penelitian Purnama (2009). Melaporkan bahwa ada hubungan
signifikan antara tingkat kecerdasan spiritual dengan tingkat Stres. Pysiainen (2004)
10
menemukan
bahwa
beberapa
bentuk
agama
dapat
meringankan
tingkat
kegelisahan, dan membantu menjaga kesejahteraan psikologis . Yangarber (2004)
menemukan bahwa ketergantungan pada keyakinan agama dapat dikaitkan dengan
keterlibatan aktif dalam pemulihan dan penyesuaian psikologis yang positif diantara
individu yang mengalami sakit mental.
Sebuah penelitian oleh Corrigan, McCorkle, Schell, dan Kidder (2003) juga
menunjukkan hal serupa. Mereka meneliti 1.824 orang dengan penyakit mental
serius dan menunjukkan bahwa baik religiusitas dan spiritualitas memiliki hubungan
signifikan dengan kesejahteraan dan kesehatan mental. Selain itu, Mohr dan
Huguelet (2004) menyimpulkan bahwa religiusitas dan spiritualitas memberikan
peran utama dalam merekonstruksi pemulihan diantara penderita kronis skizofrenia.
Berkenaan khusus dengan depresi, Baetz, Larson, Marcoux, Bowen, Griffin, (2002)
menganalisis data dari besar surve epidemiologi di Kanada dengan jumlah 70.884
responden, dan menemukan bahwa peserta yang lebih sering hadir dalam kegiatan
ibadah memiliki gejala depresi lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak hadir.
Berdasarkan studi literatur menunjukkan bahwa spiritualitas dan kegiatan religius
memiliki peran penting dan pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental
individu.
Adapun penelitian yang berhubungan dengan program untuk membantu
menangani stres dengan subyek ibu rumah tangga janda, diantaranya, oleh Mea
(2011) melaporkan bahwa pengaruh pelatihan “Orangtua SADAR” (Sayang dan
Reflektif) memberikan peningkatan signifikan terhadap psychological well-being
pada orangtua yang memiliki anak remaja. Demikian juga dengan, Kusuma (2010),
11
meneliti pengaruh latihan tari klasik Jawa gaya Yogyakarta untuk menurunkan
tingkat stres pada wanita berumah tangga.
Berdasar pada beberapa penelitian tersebut di atas, telah mencoba
memberikan program atau intervensi kepada para ibu rumah tangga yang bertujuan
membantu para ibu rumah tangga memanajemen stresnya. Dari penelitian berupa
program ataupun pelatihan untuk ibu rumah tangga tersebut belum ada yang
memasukkan aspek spiritualitas. Sehingga, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
bagaimana jika memasukan nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan ibu rumah
tangga janda, sehingga para orang tua memiliki resource (sumber daya) dalam
dirinya berupa nilai-nilai spiritualitas saat menghadapi kondisi stres dalam
kehidupannya. Hal ini menjadi penting, karena merujuk pada beberapa penemuan
tentang hubungan serta pengaruh dari spiritualitas dan religiusitas dengan
kesehatan mental individu. Dalam bukunya, Greenberg (2004) menuliskan kajian
tentang spiritualitas, religiusitas dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental.
Diantaranya, meskipun spiritualitas dan religiusitas telah berhubungan dengan
berbagai parameter kesehatan (misalnya tekanan darah), para peneliti juga
menggunakan spiritualitas dan religiusitas sebagai intervensi untuk menangani stres.
Beberapa peneliti yang lain juga telah menemukan bahwa spiritualitas dan
religiusitas berhubungan dengan rendahnya psychological distress, menurunkan
risiko sakit fisik serta berhubungan dengan rendahnya angka kematian. Selain para
psikolog dan psikoanalisis, banyak pemikir Barat di zaman modern yang
mengisyaratkan bahwa krisis yang dialami manusia modern, pada dasarnya
disebabkan oleh kebutuhan mereka terhadap nilai-nilai agama dan nilai-nilai
12
spiritual. Oleh karena itu peneliti menganggap aspek spiritualitas menjadi hal yang
sangat penting untuk dimiliki oleh semua orangtua (Najati, 2000).
Program intervensi dalam penelitian ini adalah berfokus pada intervensi afeksi
(kepercayaan atau believe) pada ibu rumah tangga janda, yang diprediksikan dapat
mempengaruhi kualitas coping (penanganan) stres ibu rumah tangga janda. Atas
dasar itu, peneliti tertarik mengajukan tema tentang pengaruh program spiritual
building (membangun spiritualitas) terhadap stres pada Ibu rumah tangga janda
karena meninggalnya pasangan hidup. Peneliti juga tertarik untuk mengetahui dan
menguji teori yang ada, tentang adanya pengaruh positif antara spiritualitas terhadap
tingkat stres, khusunya pada janda. Program spiritual building tersebut berupa
program mendengarkan, membaca dan memahami do'a alma'tsurat. Program ini
akan dilakukan selama dua minggu. Peneliti memiliki beberapa alasan terkait
pemilihan program berupa mendengarkan, membaca dan memahami do'a
alma'tsurat, diantaranya karena program tersebut dapat dilakukan secara mandiri
oleh subjek. Sehingga jika penelitian telah selesai pun subjek penelitian bisa
melakukannya sendiri. Kedua, program ini dinilai lebih 'murah' dibandingkan dengan
program spiritual dalam bentuk pelatihan dan melibatkan trainer. Ketiga, dapat
dilakukan di tempat yang fleksibel, rumah maupun tempat kerja dan seterusnya.
Tidak terbatas pada satu agenda pelatihan khusus.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ada perbedaan tingkat stres Ibu rumah tangga janda antara
sebelum dan sesudah mengikuti program spiritual building?
13
2. Bagaimana dinamika psikologis Ibu rumah tangga janda setelah
mengikuti program spiritual building?
3. Apakah kepribadian subjek berpotensi mempengaruhi stres?
C. Tujuan dan Manfaat
C.1. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat stres pada Ibu rumah
tangga janda saat sebelum dan sesudah mengikuti program spiritual
building
2.
Untuk mengetahui dinamika psikologis Ibu rumah tangga janda setelah
mengikuti program spiritual building
3.
Untuk melihat apakah kepribadian subjek berpotensi mempengaruhi
stres subjek
C.2. Manfaat Penelitian
Hasil eksperimen ini, diharapkan dapat memberikan manfaat akademis
dan aplikatif bagi pengembangan keilmuan psikologi, diantaranya:
1. Manfaat teoritis
Eksperimen ini diharapkan mampu memberikan penambahan khazanah
keilmuan psikologi, khususnya tentang pengaruh spiritualitas terhadap kondisi
stres.
14
2. Manfaat praktis
a. Bagi ibu janda
Hasil eksperimen ini dapat dijadikan rujukan teknis bagi para ibu janda
dalam memanajemen stres, dengan membiasakan mendekatkan diri dengan
yang Maha Kuasa.
b. Bagi Peneliti
Hasil eksperimen ini minimal akan menjadi rujukan pribadi tentang
pentingnya menumbuhkan kedekatan dengan Tuhan (Allah swt) dalam
kehidupan.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan tema peneliti,
diantaranya adalah sebagai berikut. Penelitian dari Wardhani (2010), meneliti
tentang pengaruh latihan tari klasik Jawa gaya Yogyakarta untuk menurunkan
tingkat stres pada wanita berumah tangga. Dalam penelitian ini peneliti meminta
subjek melakukan latihan gerakan-gerakan tarian klasik jawa dua kali dalam
seminggu dan dilakuan sebanyak Sembilan kali dengan durasi dua jam setiap
latihan. Postes dilakukan setelah latihan terakhir dipertemuan yang ke Sembilan
dengan menggunakan skala simtom distres.
Berikut ini penelitian eksperimen tentang pengaruh membaca Al-Qur’an
terhadap tingkat kecemasan dilakukan oleh Shafiei, Salari dan Sharifi (2011) dengan
judul penelitian "Comparison of listening to the Quran Arabic recitation and Arabic
15
recitation along with Persian translation on decreasing patient's anxiety and vital sign
stability before anesthesia induction". Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahu
pengaruh mendengarkan Al-Qur’an terhadap tingkat kecemasan pasien yang akan
menjalani operasi bedah. Yang dilakukan di rumah sakit Imam Khomeini Iran pada
180 pasien yang akan menjalani operasi bedah di daerah perut. Eksperimen yang
dilakukan adalah dengan meminta pasien mendengarkan lantunan Al-Qur’an dari
kaset pada malam hari sebelum besok nya menjalani operasi, dan saat pagi hari
pada hari H operasi, dengan durasi 20 menit pada setiap sesi mendengarkan AlQur’an. Pengukuran tingkat kecemasan diukur dengan skala kecemasan yang
diberikan sebelum pasien mendengarkan lantunan Al-Qur’an dan ketika selesai
mendengakan al-quran (dengan durasi dan pengulangan yang telah ditentukan).
Pengukuran juga dilakukan pada aspek fisiologis dengan mengukur tekanan darah
saat berkontraksi dan saat santai (sistol dan diastol). Dari 180 pasien terbagi
menjadi 3 kelompok (2 kelompok eksperimen, 1 kelompok kontrol). Satu kelompok
eksperimen diberi perlakuan mendengarkan Al-Qur’an dalam bahasa arab, satu
kelompok eksperimen lain mendengarkan lantunan Al-Qur’an versi orang Persi dan
1 kelompok kontrol tidak diberi perlakuan.
Selanjutnya, hasil penelitian Mea (2011) tentang pengaruh pelatihan
“Orangtua SADAR” (Sayang Dan Reflektif) terhadap psychological well-being pada
orangtua yang memiliki anak remaja. Karateristik partisipan pelatihan adalah
orangtua dengan anak remaja yaitu ayah dan ibu atau salah satu yang bersedia
mengikuti pelatihan, memiliki kondisi PWB sedang ditandai dengan munculnya
semua atau salah satu ciri sebagai berikut yaitu kurang mampu menerima kondisi
16
saat ini, hubungan negatif dengan orang lain, tidak yakin terhadap kemampuan
anak, tidak memiliki tujuan hidup, perkembangan pribadi terhambat, tidak mampu
mengontrol lingkungan, pendidikan orangtua minimal SMA, bertempat tinggal di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah partisipan sebanyak 8 orangtua pada
kelompok eksperimen dan 5 orangtua pada kelompok kontrol. Metode yang
digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan untreated control group design
with dependent pretest and posttest samples. Program terdiri dari 12 sesi pelatihan
dan 1 sesi follow up.
Purnama (2009), telah melakukan penelitian dengan menggunakan metode
kuantitaif tentang hubungan antara tingkat kecerdasan spiritual dengan tingkat stres
pada pegawai kantor departemen agama kota Surabaya. Dan menyimpulkan bahwa
ada hubungan positif antara kecerdasan spiritualitas terhadap tingkat stres pegawai
kantor departemen agama Surabaya yang telah pensiun.
Rana dan North (2007) telah melakukan penelitan dengan judul pengaruh
lantunan alqur'an yang berirama terhadap depresi (The Effect of Rhythmic Quranic
Recitation on Depression). Penelitian ini meneliti pengaruh dari pembacaan ayatayat Alquran yang berirama pada 175 pasien depresi yang dirawat di rumah sakit
Pakistan. Penderita depresi psikotik dibagi menjadi tujuh kelompok. Semua
menerima obat yang sama dan menghadiri sesi psikoterapi yang sama, tetapi para
peserta dari enam kelompok eksperimen juga menjadi sasaran enam perlakuan
yang berbeda, termasuk musik religius, selama 60 menit setiap hari lebih dari 30
hari. Instrumen yang dipakai adalah The Beck Depression Inventory (BDI), untuk
mengukur depresi, Skala Kecemasan Rumah Sakit diberikan untuk mengukur
17
tingkat depresi dan kecemasan peserta dari pada awal dan akhir penelitian. Selain
itu, laporan dokter juga diperoleh mengenai gejala masing-masing peserta. Hasil
menunjukkan bahwa tingkat depresi menurun di semua tujuh kelompok, tetapi
tingkat penurunan yang paling signifikan di antara peserta adalah yang
mendengarkan ayat-ayat Alquran .
Penelitian yang sedang tersusun ini memiliki variabel dependen yang sama
yaitu 'stres Ibu rumah tangga janda'. Pemilihan subyek penelitian ditentukan dengan
beberapa kriteria diantaranya, janda yang ditinggal meninggal pasangan dengan
maksimal masa single selama satu tahun dari kematian pasangan, memiliki anak
yang masih sekolah, dapat membaca dan menulis, tidak aktif dalam kegiatan sosial
religius, dan memiliki skor tinggi dari perolehan skor skala stres yang menggunakan
DASS (Depression Anxiety Stress Scale). Skala diperoleh dari sebuah jurnal
penelitian fakultas psikologi Universitas Indonesia tentang Reabilitas dan validitas
skala DASS (Damanik, 2006). Dimana dalam jurnal tersebut skala diujikan kepada
masyarakat Yogyakarta, sehingga peneliti mengadopsi langsung alat tes tersebut
untuk mengukur variabel dependen dalam penelitian tesis ini. Kemudian, peneliti
juga menggunakan alat ukur yang mengukur tingkat respon fisiologis terhadap stres
(Greenberg, 2004). Berdasarkan perolehan skor dari dua instrument tersebut,
peneliti dapat menentukan Siapa yang akan dijadikan subjek penelitian. Program
yang akan diberikan selanjutnya adalah program menumbuhkan spiritual atau
semangat mendekatkan diri kepada Tuhan YME dengan cara membaca dan
memahami kandungan ayat-ayat yang terkumpul dalam dzikir Al Ma'tsurat. Setelah
18
program selesai dilaksanakan, subjek kembali diukur dengan dua instrument yang
sama saat diberikan di awal eksperimen.
Download