E-therapy dengan Perspektif Psikologi Humanistik E

advertisement
E-therapy dengan Perspektif Psikologi Humanistik
E-therapy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses terapi yang dilakukan melalui media perantara, sehingga tidak terjadi tatap
muka langsung antara terapis dan klien. Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong
semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan kesehatan mental (Kidd &
Keengwe, 2010). Sekitar 47,7% individu mencari informasi kesehatan dan bantuan
profesional melalui internet dan 50% diantaranya remaja usia sekolah (Maples &
Han, 2008; Cline & Haynes, 2001). Berkembangnya model etherapy mengurangi
kendala demografis dan ketersediaan waktu baik dari terapis maupun klien (Maples
& Han, 2008; Riva, 2004).
Penelitian mengenai e-therapy menunjukkan efektivitas dan manfaatnya
untuk diterapkan dalam bidang psikologi, misalnya terkait masalah alkoholisme
(Elgán, Hansson, Zetterlind, dkk, 2012; Martin & Rehm, 2012; Postel, De Haan, &
De Jong, 2010), masalah fobia (Riva, 2004), stres (Houghton, 2008, Riva, 2004),
gangguan kecemasan serta depresi (Spek, Cuijpers, Nyklícek, dkk, 2007; Marks,
Kenwright, McDonough, dkk, 2004; Riva, 2004), gangguan makan (Sa´nchezOrtiz, Munro, Stahl, dkk, 2011; Riva, 2004), sexual disorders (Mustanski, Lyons,
& Garcia, 2011; Riva, 2004), dan masalah terkait keluarga (King, Bambling, Reid,
dkk, 1998; Wang, Zhou, Lu, dkk, 2011).
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis internet cukup
efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan stres, terutama pada
remaja (Gackenbach, 2011). Rogers (1959) menekankan pendekatan humanistik
berfokus untuk memfasilitasi perasaan klien melalui genuineness, realness or
cogruence; acceptance or caring or prizing – unconditional positive regard, serta
empathic understanding. Hal ini sesuai dengan karakteristik remaja yang lebih
ingin dihargai dan didengarkan oleh orang lain. Etherapy dalam penelitian ini
menekankan proses di dalam kelompok, sehingga klien mampu mengekspresikan
pengalaman dan perasaannya, serta mampu menilai sendiri makna di balik kejadian
tersebut dan menghadapinya. Berikut adalah Blue print materi dalam modul
etherapy dalam penelitian ini.
2
Tabel 1: Tahap dan Proses Etherapy Humanistik
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
SELF DISCLOSURE
Sesi 1 Pengungkapan Diri
Pengantar
Mengungkapkan masalah yang dihadapi.
Refleksi empati terhadap ungkapan diri klien.
Sesi 2 Kesadaran Diri
Menyadari masalah dan emosi yang menyertai di dalam diri.
Saling memberikan feedback diantara sesama anggota
kelompok.
MENERIMA
Sesi 3 Internal locus of evaluation
Mengeksplorasi perasaan-perasaan yang menyertai masalah.
Menyadari bahwa kehidupan adalah tanggung jawab pribadi.
PEMAKNAAN DIRI
Sesi 4 Hope and Needs
Menemukan real self dan ideal self.
Memaknai keterhubungan pribadi dengan lingkungan sosial.
Sesi 5 Pencarian makna
Menemukan makna dari proses memaafkan dan merasakan
adanya dukungan sosial
Menemukan makna di balik masalah, kekuatan di dalam diri, dan
potensi diri.
MEMPERDALAM
Sesi 6 Proyeksi dan Pembalikan
Memahami alasan-alasan pribadi yang mendasari sikap dalam
menghadapi masalah.
Memaafkan figur terkait dengan masalah yang dihadapi.
Sesi 7 Aktualisasi
Menciptakan unconditional positive regard di dalam diri.
Terbebas dari kungkungan emosi negatif
Sesi 8 Closing
Evaluasi proses terapi
Isu penting dalam pengembangan e-therapy yaitu cara mendeteksi
ekspresi emosi, insight, dan bahasa tubuh klien dalam praktik sebagai indikator
hubungan terapeutik antara klien dan terapis (Mattison, 2012). Untuk menjawab
kelemahan ini, pemaknaan respons partisipan dalam e-therapy dapat dilakukan
dengan menguatkan inform consent dan proses building rapport di awal proses
terapi serta menggunakan kode emosi atau emotional bracketing (Mattison, 2012).
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Reynolds, Stiles, dan Grohol
(2006) mengungkapkan bahwa efek terapi dan hubungan antara partisipan-terapis
pada sesi online sama seperti yang terjadi dalam sesi tatap muka langsung.
3
Efikasi Akademik
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mengatur dan melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan (Bandura, 1997). Efikasi diri merupakan
evaluasi individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk menyelesaikan
suatu tugas, mencapai tujuan, atau menghadapi suatu tantangan. Individu dengan
efikasi akademik yang tinggi cenderung memotivasi dirinya, memusatkan perhatian
dan mengerahkan usaha serta berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami.
Efikasi diri berkaitan dengan level proses yang kompleks yaitu kognitif,
motivasional, afeksi dan seleksi perilaku (Bandura, 1997). Studi menunjukkan
efikasi diri dapat ditingkatkan melalui penerapan komunikasi di dalam keluarga
yang terbuka, memberikan dukungan emosional, serta monitoring dan manajemen
emosional (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006). Remaja yang mengalami konflik
dengan orangtua rentan terhadap masalah penyesuaian diri, kecemasan, depresi,
perilaku agresif, perilaku antisosial, rendahnya kepercayaan diri, rendahnya efikasi
diri, dan masalah-masalah psikososial lainnya (Qin, Rak, Rana, dkk, 2012; Yeh,
Tsao, & Chen, 2010; ; Gerard, Krishnakumar, & Buehler, 2009; Buehler & Gerard,
2002).
Efikasi akademik remaja berhubungan dengan kedekatan emosional
terhadap keluarganya (Bandura, 1997). Konflik yang terjadi di dalam keluarga
menyebabkan orangtua kurang toleran terhadap anak, sehingga anak mudah
mengalami kondisi distres dan berpotensi menumbuhkan perasan tidak bahagia
yang menyebabkan remaja cenderung memiliki efikasi yang rendah. Efikasi diri
yang rendah mempengaruhi pembatasan dalam memilih aktivitas, sehingga
memungkinkan individu menghindari pekerjaan yang rumit dan kurang mampu
mengambil keputusan sehingga rentan terhadap kondisi distres (Pajares & Schunk,
2001).
Stres
Stres didefinisikan sebagai kondisi tekanan atau tuntutan yang dialami
individu agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di
lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Niven (2000) mengungkapkan bahwa
4
istilah stres biasanya digunakan sebagai label gejala psikologis yang mendahului
penyakit, reaksi kecemasan, gangguan penyesuaian, dan depresi. Stres bersumber
dari primary appraisals, yaitu penilaian terhadap suatu kejadian dan secondary
appraisals, yaitu potensi dalam diri untuk menanggulangi stres (Lazarus &
Folkman, 1984).
Stres berarti suatu mekanise fisiologis yang biasanya dialami sebagai
kondisi emosi negatif yang melibatkan perilaku, perubahan neuroendokrin, dan
respons fisiologis akibat penilaian situasi yang dianggap mengancam, bahaya, atau
penuh ketegangan (Lazarus & Folkman, 1984). Dalam kondisi stres, tubuh
mengaktifkan sistem saraf simpatis, menghasilkan adrenocorticol hormon
(ACTH), dan melepaskan sekelompok steroid yang menyebabkan peningkatan
tekanan arteri, peningkatan kerja jantung dan tekanan darah, mudah lelah, sakit
kepala, hingga menurunnya imunitas tubuh (Nevid, 2005).
Konflik yang terjadi di dalam keluarga menyebabkan remaja kurang
mendapatkan dukungan emosional, sehingga berpengaruh pada tingginya tingkat
stres remaja (Auerbach, Bigda-Peyton, Eberhart, dkk, 2011; Nevid, Rathus, &
Greene, 2005; Lazarus & Folkman, 1984). Konflik yang dirasakan anak berkaitan
dengan buruknya strategi coping dalam menghadapi masalah (Watzlawick, 1967)
serta rendahnya efikasi akademik (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006).
Model terapi dalam penelitian ini berfokus pada dinamika kelompok
dalam membantu partisipan menemukan insight terhadap masalah dan saling
memotivasi menghadapi masalah, serta mengaktualisasikan diantara para klien
(Corey, Corey, & Corey, 2010). Proses ini dilakukan dengan bantuan media
internet, yaitu chatroom.
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Etherapy untuk meningkatkan
efikasi akademik dan menurunkan stres remaja yang mengalami konflik hubungan
orangtua-anak. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Etherapy dapat
meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres pada remaja yang
mengalami konflik hubungan orangtua-anak. Berikut adalah kerangka pikir
penelitian ini:
5
Download