TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH

advertisement
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH
UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Kajian Atas Putusan PN Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
MIFTAHU CHAIRINA
NIM. 105045101492
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI
BAWAH
UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Kajian Atas Putusan PN Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
MIFTAHU CHAIRINA
105045101492
Pembimbing:
Dr. Hj. ISNAWATI RAIS, MA
NIP. 150222235
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di
Bawah Umur dalam Pandangan Hukum Pidana Islam (Kajian Atas
Putusan PN Depok)”. Telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
pada tanggal 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi
Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.
Jakarta, 12 Juni 2009
Mengesahkan
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA.MH
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
(………………… )
NIP. 150 210 422
Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag
(……………….... )
NIP. 150 282 403
Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
(………………… )
NIP. 150 222 235
Penguji I
: Prof. Dr. H. M. Abduh Malik
(……………….... )
NIP. 150 094 391
Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag
(………………….)
NIP. 150 282 403
KATA PENGANTAR
Tidak ada hentinya penulis panjatakan puja-puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan pertolanggan, kemudahan dari setiap kesulitan yang
datang dan kekuatan, kesabaran dalam menghadapinnya. Atas rahmat dan karuniamu
penulis dapat menyelesakan skripsi ini dan tidak pula lupa salawat serta salam kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Di
mana skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat
untuk memeperoleh gelar sarjan (S1) jurusan Pidana Islam, Program Studi Jinayah
Siyasah Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul skripsi “Tindak
Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur dalam Pandangan Hukum
Pidana Islam (Kajian Atas Putusan PN.Depok)”
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Asmawi, M.Ag, ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Sri Hidayati,
M.Ag, sekretaris Program Studi Jinayah siyasah atas kesabaran dan waktunya
dalam menghadapi semua pertannyaan penulis. Kepada para dosen yang telah
memberikan ilmu, tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama
ini, serta tidak lupa staf perpustakaan Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta.
3. Kepada pembimbing skripsi, yang penulisa hormati Ibu Hj. Isnawati Rais,
MA. yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang sanggat
berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepada kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai, Ayahanda H.
Chairul bin H. Arwen dan Ibunda Hj. Ernawati binti Muir, yang telah
menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu,
memberikan dukungan secara materi dan do’a yang tidak pernah putus dan
juga telah memberikan kepercayaan yang amat besar bagi penulis.
5. Kepada adik-adik ku tercinta, Rahmat Hidayat dan Raudhatul Jannah yang
telah memberikan semangat dalam pembuatan skrisi ini.
6. Kepada kakak ku M. Ibnu Faisal yang telah banyak mengorban waktunya
untuk memeberikan bantuan, semangat, dukungan dan motivasi
dalam
pembuatan sripsi ini.
7. Kepada saudara-saudara sepupu ku yang telah memberikan suport dan do’a
dalam pembuatan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman jurusan Pidana Islam ’05 dan: Dewi, wit2, Nafis, terima
kasih atas bantuannya baik kecil maupun besar tetapi semuanyna sangat
berarti bagi penulis, khusus untuk mpok Lela terima kasih atas bantuannya
dalam penyelesaian skripsi ini. Dan untuk seluruh teman-teman penulis yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terima kasih dari penulis, penulis berharap semoga Allah
SWT yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis
juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi
pendidikan bagi pembaca.
Jakarta, 4 Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .........................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
8
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................
9
E. Metode Penelitian ......................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ................................................................
12
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
TINDAK
PIDANA
PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Pemerkosaan Terhadap Anak ....................................
14
1. Istilah Perkosaan dan Pemerkosaan ......................................
14
a. Pemerkosaan dalam KUHP ............................................
17
b. Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Islam ......................
19
2. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
20
a. Batasan Usia Anak Menurut KUHP ................................
21
b. Batasan Usia Anak Menurut UUPA ................................
21
c. Batasan Usia Anak Menurut Konvensi Hak Anak ...........
22
d. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Islam .....................
23
B. Faktor Penyebab Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak....
25
C. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum
Positif ........................................................................................
29
D. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum
Pidana Islam ..............................................................................
BAB III
33
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK
PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
A. Kronologi Perkara ......................................................................
39
B. Putusan dan Pertimbangan Hakim ..............................................
51
1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan ............................
53
2. Hal Yang Memberatkan dan Meringankan ...........................
57
3. Mengadili .............................................................................
58
BAB IV ANALISA PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK
PIDANA PEMERKOSAAN
A. Analisa Pertimbangan Hakim .....................................................
60
B. Analisa Putusan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Depok ........................................................................................
BAB V
63
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................
72
B. Saran .........................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau Tindak pidana merupakan persoalan yang dialami manusia
dari waktu ke waktu, mengapa tindak pidana dapat terjadi dan bagaimana
memberantasnya merupakan persoalan yang tiada hentinya diperdebatkan. Tindak
pidana merupakan problema manusia, yang mana terjadi pada seorang yang tidak
menggunakan akal serta ditambah dengan dorongan hawa nafsu dalam bertindak,
sehingga terjadilah kejahatan yang melampaui batas seperti kejahatan seksual.
Kejahatan seksual sekarang ini merebak dengan segala bentuk. Khususnya
pada kasus pemerkosaan, pelakunya tidak lagi mengenal status, pangkat,
pendidikan, jabatan dan usia korban. Semua ini akan dilakukan apabila mereka
merasa terpuaskan hawa nafsunya. Demikian juga dengan usia pelaku yang tidak
mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anakanak sampai kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak
kejahatan pemerkosaan. Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji,
karena selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga
yang menjadi korban, Allah juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan.
Banyak kasus pemerkosaan yang sering kita temui dalam masyarakat,
surat kabar dan berita, di mana yang dijadikan korban pemerkosaan adalah anak
di bawah umur dan pelaku biasanya adalah orang yang dikenal dekat atau
1
2
bertempat tinggal berdekatan dengan korban, seperti tetangga, teman, ayah
kandung, ayah tiri, kakek, paman, dan saudara laki-laki sendiri. Pemerkosaan
biasanya juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki iman yang kuat
dan pengetahuan yang dangkal, sehingga akal mereka tidak dapat mengalahkan
hawa nafsu, akibatnya akal mereka lepas.
Seperti dalam hadis Nabi saw. dikatakan: tidak akan berzina orang yang
berzina manakala dia beriman pada waktu dia berzina. (Riwayat Bukhari dari Abu
Hurairah).
‫ ا هة أن ا
ص م ل ا
ا‬
.‫ ا
"رى‬#$‫ أ‬: ‫وه‬
Pemerkosaan
merupakan
salah
satu
bentuk
kekerasan
terhadap
perempuan. Perempuan di sini tidak hanya dewasa tetapi banyak pula anak-anak.
Pemerkosaan dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan korban.
Kerugian ini dapat berupa rasa terauma atau rasa malu kepada keluarga atau
masyarakat.1 Rasa terauma dan malu yang dialami korban dapat berpengaruh
dalam kehidupannya hingga kelak ia dewasa.
Karena semakin banyaknya pemerkosaan terhadap anak yang terjadi pada
saat ini, sudah semestinya pelaku mendapatkan sanksi hukum yang seimbang
dengan perbuatannya. Hukum pidana di Indonesia telah mengatur sanksi terhadap
pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dimuat dalam Pasal 287 ayat
1
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: PT.Refika Aditama, 2001), cet. Ke-1, hal.53.
3
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 82 Undang-undang
Perlindungan Anak. Secara formil hukum pidana di Indonesia telah menetapkan
hukuman maksimal yaitu hukuman penjara 9 tahun.
Pasal 287 ayat (1) menyatakan:
“barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,bahwa belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Sedangkan Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyatakan sanksi bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak sebagai berikut:
“setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkai kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) ”.
Dalam hukum pidana positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan
dalam bentuk hukuman pokok adalah dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun
dan minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 287 KUHP
karena korbannya adalah anak di bawah umur. Sedangkan dalam hukum Islam,
akibat jarimah perkosaan (zina) dibagi dua, yaitu: jika pelaku masih bujang, maka
ia dikenai hukuman had dengan hukuman dera 100 (seratus) kali dan
pengasingan. Jika pelaku telah beristri atau bersuami, maka hukumannya adalah
dirajam. Adapun perbedaan antara hukuman zina dengan hukum pemerkosaan
adalah: bahwa hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak (laki-laki dan
4
permpuan), sedangkan hukuman pemerkosaan hanya diberikan kepada pelaku
pemerkosaan saja dan tidak dikenakan kepada korban, sebagaimana dalam firman
Allah Q.S An-Nuur: 2
&ُ‫ُْ*ْآ‬+َ-ََ‫َةٍ و‬/ْ0َ$ َ1َ2َ َ3ُ4ْ5 ٍ/ِ‫ وَا‬78ُ‫ُوا آ‬/ِ0ْ$َ9 :ِ‫ا‬7
‫ُ وَا‬1َِ‫ا‬7
‫ا‬
َِِ;ْ‫ُُِْنَ ِ<ِ وَا
َْْمِ ا‬- ْ&ُ=ُ‫ دِِ ا<ِ إِن آ‬:ِ9 ٌ1َ9ْ‫َ رَأ‬3ِ4ِ
(2/24 :‫َُِِْ )ا
ر‬3ْ
‫َ ا‬5 ٌ1َAِ2BَC َ3ُ4َ‫ْ َ*َا‬/َ4ْDَْ
َ‫و‬
Artinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Menurut mayoritas pandangan ulama bahwa dalam kasus pemerkosaan,
pihak pelaku dapat ditempatkan (diposisikan) status hukumnya dengan jarimah
zina. Sedangkan pihak korban status hukumnya menjadi seseorang yang terpaksa
berhubungan seks atau berbuat sesuatu diluar kehendaknya. Jadi korban
ditempatkan layaknya sebagai alat dan objek untuk memenuhi hasrat seks pelaku.
Di mana pelaku dapat berbuat sesuai kehendaknya yang jelas-jelas tidak
mengindahkan hak asasi korban.
Hukum Islam telah mengatur segala macam perbuatan yang terjadi di
muka bumi ini, khususnya perbuatan yang merugikan orang lain. Contohnya
seseorang yang melakukan kejahatan pemerkosaan atau dalam hukum Islam
disebut dengan perbutan zina yang dilakukan secara paksa, maka pelaku akan
dikenakan sanksi atau hukuman yang telah ditetapkan dalam nash. Hukuman bagi
5
pelaku pemerkosaan lebih berat, karena selain hukuman yang telah ditetapkan
sebagai pelaku perbuatan zina, ia juga mendapat hukuman tambahan karena
melakukan pemaksaan terhadap korban, pelaku mendapat hukuman tambahan
berupa ta’zir.
Dari berbagai kasus pemerkosaan yang diajukan ke Pengadilan, hanya
beberapa yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana pemerkosaan, karena
seseorang baru dapat dikatakan diperkosa apabila orang tersebut mendapatkan
kekerasan, paksaan, acaman dari pelaku dan perbuatan ini tidak berdasarkan
persetujuan perempuan. Apabila pasangan pria dan wanita melakukan hubungan
suami istri di luar nikah atau zina, kemudian si wanita hamil dan si pria tidak
mau
bertanggung
jawab,
lalu
ia
mengadukan
bahwa
si
pria
telah
memperkosannya, maka aduannya tidak dapat diterima karena sebelumnya ia
melakukan dengan pasangannya, berdasarkan rasa suka sama suka tanpa ada rasa
disakiti. Oleh karena itu hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pemerkosaan.
Untuk itu penulis mengambil contoh kasus Putusan Pengadilan Negeri
Depok di Jl. Rawa Sari Rt 01 Rw 06 kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan
Pancoran Mas. Yang diketahui bahwa yang menjadi korban Yeni Sofiayanti binti
Romadon adalah anak perempuan yang berusia belum cukup umur 15 tahun atau
perempuan itu belum masanya untuk kawin. Pemerkosaan itu terjadi di rumah
terdakwa Rozali bin Bahusin. Pelaku adalah seorang pria berusia 66 tahun,
6
seorang Purnawirawan TNI. Tindak pidana tersebut dilakukan pada sore hari
sekitar pukul 15.00 WIB pada saat di rumah pelaku sedang sepi. 2
Menimbang berdasarkan dakwaan yang dibuat Penuntut Umum dakwaan
disusun secara Alternatif, yaitu:
Kesatu: Primair: Pasal 287 ayat (1) KUHP;
Subsidair: Pasal 290 ayat (2) KUHP;
Kedua: Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak;
Setelah hakim melihat petimbangan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan. Mengadili bahwa Rozali bin Bahusin dinyatakan bersalah telah
melakukan tindak pidana “Melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan
seorang perempuan, yang diketahuinya belum berusia 15 (lima belas) tahun”.
Maka majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa Rozali bin Bahusin
dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Pemerkosaan pada anak di bawah umur bukan merupakan hal yang baru
pada saat ini. Perbuatan keji ini akan semakin berkembang apabila tidak dihadapi
dan diselesaikan secara hukum yang tegas dan adil.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan
tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur berdasarkan analisa
data Putusan Pengadilan Negeri Depok (No.475/PID/B/2008/PN.DPK), dengan
2
Putusan Pengadilan Negeri Depok, (tertanggal 21 Agustus 2008) NO..REG.785/PID/B/
2008/PN.DPK Tentang Tindak Pidana Pemrkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur.
7
judul TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH
UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (Kajian Atas
Putusan PN Depok).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam masyarakat sering sekali kita melihat dan membaca berita dalam
surat kabar dan lainnya mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang
di lakukan oleh orang dewasa. Namun, selain orang dewasa yang menjadi pelaku
ada pula anak-anak dan orang tua yang lanjut usia, seperti dalam skripsi ini,
penulis mengangkat judul tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur dalam pandangan hukum pidana islam. Untuk itu penulis hanya
memfokuskan pada sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
pemerkosaan anak di bawah umur dalam kajian Pengadilan Negeri Depok menurut
pandangan hukum Islam.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah dalam skripsi ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Depok Terhadap Tindak Pidana
Pemerkosaan Anak di bawah Umur ?
8
2. Bagaimana Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Depok dengan No Perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK Tentang Tindak
Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur ?
3. Adakah ketimpangan hukuman dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok
dalam Pandangan Hukum Pidana Islam ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Depok Terhadap Tindak
Pindana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur.
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Pidana Islam terhadap putusan
Pengadilan Negeri Depok dengan No perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK
Tentang Pemerkosaan Anak di Bawah Umur.
c. Untuk mengetahui ketimpangan hukum yang terjadi pada putusan Pengadilan
Negeri Depok dalam pandangan Hukum Pidana Islam.
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu :
a. Secara Akademis
Manfaat dari penulisan ini dapat memberikan tambahan pengetahuan
bagi pembaca dan khususnya penulis mengenai tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur, beserta ketentuan-ketentuan hukuman yang
diberikan kepada pelaku sesuai dari sebab perbuatannya dan pengurangan
hukuman akibat faktor lainnya.
9
b. Secara Praksis
Dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang dampak
yang ditimbulkan dari tindak pidana pemerkosan terhadap anak di bawah
umur, terutama mengetahui sanksi hukum yang dapat diterima oleh pelaku,
sehingga dapat dijadikan sebuah pembelajaran terhadap masyarakat lain agar
tidak melakukan perbuatan tersebut. Dan dapat juga memberikan masukan
atau rekomendasi atas delik perkosaan dalam KUHP terhadap elemen
kejahatan maupun sistematikanya.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap tindak pidana pemerkosaan akhir-akhir ini menjadi
pembahasan aktual dan fenomenal dimasyarakat, sehingga banyak penelitian yang
dilakukan dari berbagai tingkat akademis yang berbeda, seperti skripsi dengan
judul Tinjauan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Bagi Pelaku
Kejahatan Pemerkosaan Akibat Gangguan Kejiwaan yang ditulis oleh Bustimi.
Dalam skripsi tersebut ia berhasil menjelaskan tentang masalah Tindak Pidana
Perkosaan dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, dimana ia
mengambil kesimpulan bahwa dalam hukum Islam pelaku perkosaan terhadap
anak dikenakan hukuman hadd, akan tetapi karena pelaku mengalami gangguan
jiwa maka dikenakan sanksi ta’zir.
Sedangkan penelitian yang lainnya berkaitan dengan judul buku, seperti
Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, karya DR. Muhammad
10
Abduh Malik, dalam buku ini penulis menjelaskan mengenai zina dan
hukumannya menurut pandangan Hukum Islam dan KUHP. Di mana dia
menjelaskan mengenai sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku Zina dalam
Hukum Islam dikenakan dengan hukuman hadd, sedangkan dalam Hukum Positif
perbuatan perkosaan (zina) yang dilakukannya dengan kekerasan atau memaksa,
dikenakan sanksi hukum Pasal 287 KUHP mengenai kejahatan kesusilaan.
Walaupun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan masalah tindak
pidana permerkosaan sudah bannyak, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian
yang penulis dapatkan dari penelitian tersebut pada intinya belum menyentuh
tentang masalah pemerkosaan anak di bawah umur dalam Kajian Putusan
Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang
membahas Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur dalam
kajian Putusan Pengadilan Negeri, dengan kasus Pengadilan Negeri Depok.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari
fenomena yang diteliti, berupa mengupas dan mencermati secara ilmiah
mengenai Putusan Pengadilan Negeri Depok mengenai Tindak Pidana
Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur.
11
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu berupa
studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data yang terdapat di Pengadilan
Negeri Depok berupa Putusan Majelis Hakim (No.475/PID/B/2008/PN.DPK)
Sedangkan jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder, yang terdiri dari:
1. Data primer meliputi Dokumen Putusan Pengadilan Negeri Depok,
Perundang-undangan yakni KUHP dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, serta dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadist, dan ketentuan-ketentuan fiqh yang mengatur permasalahan
yang ada.
2. Data sekunder meliputi buku-buku Jinayah seperti Tasyri al Jinaiy’al-Islami,
media massa, artikel-artikel, situs internet dan data tertulis lainnya yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Data tersier yang berupa kamus-kamus dan ensiklopedi.
3. Tekhnik Analisis Data
Adapun cara yang digunakan dalam menganalisis data, adalah dengan
Deskriptif Analitis atau penelitian yang menggambarkan secermat mungkin
tentang hal-hal yang diteliti, dengan jalan mengumpulkan data melalui metode
penelitian kepustakaan atau metode penelitian lapangan yang berkaitan dengan
apa yang diteliti, dan tekhnik yang digunakan adalah tekhnik content analysis,
12
yaitu menganalisis masalah pokok yang diteliti menurut isinya. Dalam hal ini
masalah pokoknya adalah Sanksi Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana
Pemerkosaan Terhadap Anak di bawah Umur Dalam Pandangan Hukum Pidana
Islam.
Adapun tekhnik penulisan ini, penulis menggunakan bimbingan skripsi
dengan berpedoman pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi
”, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pemahaman yang terarah komperhensif dalam
pembahasan masalah ini, penulis merumuskan sistematika penulisan dalam lima
bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab kedua, pada bab ini membahas tinjauan umum tentang tindak pidana
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur meliputi istilah perkosaan dan
pemerkosaan dalam kuhp, hukum islam. Batasan usia anak menurut kuhp, uupa,
konvensi hak anak, hukum islam, faktor penyebab tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak, Sanksi pidana pemerkosaan menurut hukum positif, sanksi pidana
pemerkosaan menurut hukum pidana islam.
13
Bab ketiga, pada bab ini dibahas analisa putusan pengadilan negeri depok
tentang tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur meliputi
kronologi perkara, putusan dan pertimbangan hakim.
Bab keempat, pada bab ini dibahas analisa pandangan hukum pidana islam
terhadap putusan pengadilan negeri depok tentang tindak pidana pemerkosaan
meliputi analisa pertimbangan hakim, analisa putusan hakim terhadap putusan
pengadilan negeri depok.
Bab kelima, bab ini merupakan bab penutup. Pada bab ini penulis akan
menarik kesimpulan dan saran-saran mengenai apa yang diambil dalam judul
skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN
TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Pemerkosaan Terhadap Anak
1.
Istilah Perkosaan dan Pemerkosaan
Perkosaan berasal dari kata dasar ”perkosa” yang berarti paksa, gagah,
kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa,
melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses
cara perbuatan memperkosa dengan kekerasan. Dengan demikian dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia perkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan
kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita. 1
Perkosaan tidak hanya terjadi kepada wanita yang dewasa tetapi sering
pula terjadi pada anak-anak. Jadi perkosaan menurut yuridis adalah perbuatan
memaksa seseorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.2
Dalam buku karangan Suryono Ekotama tentang Abortus Provocatus Bagi
Korban Perkosaan, dia mengutip beberapa pengertian perkosaan dalam Black’
1
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), h.673
2
Suryono Ekotama et al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta :
Universitas Atmajaya, 2001), cet.Ke-1, h.96
14
15
Low Dictionary dijelaskan bahwa ada tiga kalimat yang hampir sama tapi unsurunsurnya berbeda. Perkosaan bisa diartikan sebagai:
1. Suatu hubungan kelamin dengan seorang wanita yang dilarang dan tanpa
persetujuan wanita tersebut.
2. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang
dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak
wanita yang bersangkutan.
3. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita yang bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan
ketika wanita tersebut ketakutan di bawah kondisi ancaman lainnya. 3
Jika dilihat secara makna, perkosaan dan pemerkosaan memiliki arti yang
sama, yaitu berasal dari arti kata perkosa. Akan tetapi kata perkosaan dan
pemerkosaan memiliki penjelasan yang berbeda. Perkosaan adalah perbuatan
persetubuhan dengan seorang wanita yang bukan isterinya dengan cara paksaan,
sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses cara perbuatan memperkosa
dengan kekerasan.
Berdasarkan perbuatan secara paksa sebagaimana yang telah dipaparkan,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada empat unsur yang dominan pada
perbuatan kekerasan, yakni:
1. Orang yang melakukan paksaan.
2. Orang yang dipaksa.
3
Ibid, h.99
16
3. Ancaman yang diberikan si pemaksa kepada orang yang dipaksa.
4. Ucapan atau perbuatan yang dilarang oleh syara’.
Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur atau disebut juga pencabulan,
dikenal dengan istilah “Pedophilia”, yang berasal dari kata “Pais atau Paidos”
yang berarti anak, kata “Phileo atau Philos” yang berarti mencinta. Pedophilia
secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelampiasan nafsu
seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai instrumen atau sasaran dari
tindakan itu.
Kartini kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan Abnormalitas
Seksual, mengartikan pedophilia sebagai rasa gejala orang dewasa untuk tertarik
dan mendapatkan kepuasan seksual dengan melakukan persetubuhan dengan
anak-anak.
Tindakan pedophilia yang dilakukan oleh pria yang sudah menikah dan
memiliki kelainan heteroseksual, biasanya tertarik untuk melakukan kekerasan
seksual pada anak-anak perempuan yang berusia 8-12 tahun, hal ini disebabkan
adanya masalah pekerjaan dan kerusakan dalam rumah tangga. Sehingga
memandang anak-anak perempuan sebagai pengganti orang dewasa dalam
melakukan hubungan seks.
Pria heteroseksual juga biasanya senang bergaul dengan anak-anak
perempuan, dengan kedekatannya terhadap anak perempuan secara berangsurangsur, maka ia mencoba merayu dan membujuk dengan memberikan sesuatu
imbalan, sehingga ia dapat melakukan perbuatan seksual dengan anak tersebut.
17
Tindakan pedophilia dapat berupa perbuatan ekhshibionistis yaitu dengan
cara memperlihatkan alat kelamin pada anak-anak, membelai-belai, menciumi,
mendekap, menimang, dan manipulasi tubuh anak-anak lain-nya, ataupun dalam
tahapan senggama dengan anak-anak, merupakan unsur untuk merangsang atau
membujuk anak agar mau memegang alat kelamin orang tersebut.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
penyimpangan seksual terhadap anak-anak (pedophilia) adalah perilaku seksual
yang menyimpang dengan menjadikan anak-anak sebagai objek pemuasan hawa
nafsu dan perilaku ini dipandang menyimpang baik dilihat dari norma hukum dan
agama.
a. Pemerkosaan dalam KUHP
Diketahui bahwa perkosaan menurut konstruksi yuridis perundangundangan di Indonesia (KUHP) adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang
bukan istrinya untuk bersetubuh dengannya, dengan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan.
Pemaksaan
hubungan
kelamin
pada
wanita
yang
tidak
menghendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat, baik secara fisik maupun
psikhis pada wanita tersebut.4
Dalam hal perkosaan di atas, dalam aturan hukum di Indonesia yang
masih melestarikan KUHP warisan kolonial Belanda, pada prinsipnya tidak ada
ancaman hukuman bagi seseorang perawan dan bujangan yang melakukan
4
Ibid,. h.96
18
senggama, kecuali apabila salah satunya telah mempunyai pasangan, baik ia
sebagai suami atau pun sebagai istri maka ada ancaman hukuman bagi mereka
manakala istri atau suami yang seorang itu mengadukan kepada yang berwajib.
Oleh karena itu tim perumus RUU KUHP pada saat ini melakukan
perubahan mendasar dengan memperluas cakupan tindak pidana pemerkosaan.
Bahkan diperinci tindak pidana apa saja yang masuk kategori itu. Sebut misalnya,
oral seks dan sodomi yang sudah masuk kategori pemerkosaan.
Selain oral seks dan sodomi, paling tidak masih ada tujuh jenis tindak
pidana pemerkosaan lain. Sumber : Pasal 423 ayat (1) dan (2) RUU KUHP5.
Cakupan Tindak Pidana Perkosaan Menurut RUU KUHP
1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar
perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar
perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan
persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui
ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan
persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa
laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di
bawah 14 tahun, dengan persetujuannya;
6) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal
diketahuinya bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya;
5
http://www.hukumonline.com
19
7) Dalam keadaan seperti tercantum di atas, lalu laki-laki memasukkan alat
kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan;
8) Laki-laki memasukkan suatu benda yang buksan merupakan bagian tubuhnya
ke dalam vagina atau anus perempuan.
b. Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Islam
Dalam Hukum Islam perkosaan adalah terjadinya hubungan kelamin pria
dan wanita dalam keadaan terpaksa dan terjadi di luar pernikahan yang sah dan
dapat dikategorikan jarimah zina.
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, yang dikutip dalam kitabnya AtTasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Perkosaan adalah Tindak Pidana yang diancam
hukuman had karena dapat diartikan sebagai perbuatan zina. Menurut ulama
Hanafiyah mendifinisikan zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam
qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar
(tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang
kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak
ada subhat dalam miliknya, sedangkan menurut ulama Malikiah, yang diamaksud
dengan zina adalah hubungan senggama yang dilakukan oleh orang mukalaf
terhadap farji wanita yang bukan haknya dengan kesengajaan. 6
Perkosaan dalam Islam memang tidak diatur secara detail dalam AlQur’an, namun para ulama telah sepakat bahwa pelaku pemerkosaan dikenakan
hukuman had dan tidak ada hukuman had bagi wanita yang diperkosa, karena
6
h. 6-7.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-2,
20
hal ini adalah zina dengan pemaksaan ( ‫) اطء آا‬, sementara pengertian
paksaan secara bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak
disukainya secara paksa, sedangkan menurut fuqaha adalah menggiring orang lain
untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan baginya untuk
meninggalkan perbutan tersebut.7 Di mana keadaan tersebut dapat digolongkan
kepada keadaan darurat, yaitu seorang wanita yang menjadi korban dipaksa untuk
melakukan persetubuhan yang dilarang. Dengan demikian korban tidak dikenai
hukuman atau dengan kata lain terlepas dari pertanggungjawaban pidana. 8
Sebagaimana firman Allah
... ِ‫َن‬3ِJِْ KِLَ3ْMُ ُ#ُْ0ََ‫َ و‬Nِْ‫ َْ أُآ‬7ِ‫إ‬...
Artinya: Kecuali orang-orang yang dipaksa padahal hatinya tetap beriman. (QS.
An-Nahl: 106)
Dan disamping itu Nabi bersabda:
N‫ } روا‬#0 ‫ ها‬R=‫ن و اﺱ‬O
‫ء وا‬M"
‫ ا= ا‬Q9‫ر‬
{‫ا ن‬
Artinya: Terangkat (dihapuskan) dari umatku, kekeliruan, lupa dan
perbuatan yang dikerjakan dengan terpaksa. (HR. Ibnu Hibban)
2. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
7
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1984), Juz V,
8
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1962), cet. Ke-3, h.56
h.386
21
Anak adalah karunia illahi yang harus kita terima dan kita jaga. Orang tua
harus menjaga dan mendidik anak agar ia kelak menjadi anak yang berguna.
Perlindungan terhadap anak dalam lingkungan sekolah, masyarakat harus kita
perhatikan, jangan sampai terjadi pada anak atau keluarga kita suatu kejahatan
yang sering terjadi pada saat ini seperti kejahatan pemerkosaan anak di bawah
umur.
Batasan usia anak dalam hukum positif di Indonesia berbeda-beda, berikut
adalah aturan hukum positif yang mengatur batas usia anak:
a. Batasan Usia Anak Menurut KUHP
Dalam hukum pidana positif di Indonesia, umur bagi anak yang
dikatakan belum dewasa atau di bawah umur telah tertuang dengan jelas
dalam KUHP Pasal 45 yang menyatakan anak adalah seseorang yang belum
berusia 16 tahun. Alasan dalam KUHP menyatakan batasan umur anak adalah
seseorang yang belum berusia 16 tahun, karena anak yang di bawah usia 16
tahun belum dapat mempertanggung jawabkan pidana. 9 Dengan maksud anak
di bawah 16 belas tahun dapat dikatakan belum cakap hukum atau belum
dapat mempertanggung jawabkan perbutan yang ia lakukan dan belum dapat
berfikir mana yang baik dilakukan atau buruk apabila ia lakukan.
b. Batasan Usia Anak Menurut Undang-undang Perlindungan Anak No.23
Tahun 2002
9
Muljatno, Kitab-Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) cet. Ke-20
22
Dalam pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Alasan UUPA menyatakan batasan umur anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, karena menyesuaikan dengan
batasan usia anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak
Anak)10.
c. Batasan Usia Anak menurut Konvensi Hak Anak
Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai mereka yang
berusia di bawah 18 tahun, mereka berhak memperoleh pemeliharaan dan
bantuan khusus, karena ketidak matangan jasmani dan mentalnya. Mereka
memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan
hukum yang baik, sebelum dan sesudah kelahiran (Deklarasi Hak Anak).11
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pemerintah melalui
Keppres No. 36/1990, menyatakan anak adalah mereka yang berusia di bawah
18 tahun. Dengan istilah ‘anak’ yang dimaksud adalah orang yang belum
10
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Undang-undang Perlindunggan Anak, (Jakarta: Asa
Mandiri, 2007) cet. Ke-4
11
Siti Lestari dan Veronika, “Undang-undang Perlindungan Anak dan KPAI: Jalan
Kekerasan Terhadap Anak” Suara Apik, (Jakarta edisi 24 tahun 2004), h.4
23
dewasa, dalam arti belum memiliki kematangan rasional, emosional, sosial,
dan moral seperti orang dewasa.
Dengan demikian, hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak
harus dilihat sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa persetujuan atau consent
dari anak. Hubungan itu tidak dapat didefinisikan sebagai hubungan suka sama
suka. Bila orang dewasa melakukan pendekatan seksual, baik dengan
penganiayaan fisik ataupun melelui manipulasi dan eksploitasi anak dengan
perkembangan kognitif, moral, emosional, dan tidak dapat berpikir rasional serta
tidak dapat menolak pendekatan seksual tersebut, maka kejahatan seksual
terhadap anak akan dapat terjadi. Oleh karena itu, setiap kontak seksual yang
dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya sebagai
tindak kekerasan.
Dalam hal orang dewasa memperlakukan anak sebagai sasaran
pelampiasan pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukan anak
sebagai objek manipulasi atau mengeksploitasinya tanpa peduli anak belum
memiliki kesiapan untuk memahami apa yang terjadi, serta belum mampu
bertanggung jawab atas apa yang terjadi, sehingga menjadikan anak untuk tidak
menolak dalam melakukan hubungan seks karena keberadaan anak dalam posisi
sangat rentan, hal ini merupakan alasan pendekatan seksual yang dilakukan orang
dewasa pada anak.
d. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Islam
24
Adapun ukuran seorang anak dapat dikatakan sudah baligh apabila
pada dirinya sudah ada salah satu dari sifat di bawah ini yaitu:
1. Telah sampai berumur 15 tahun
2. Telah keluar mani bagi anak laki-laki
3. Telah keluar darah kotor (haidh) bagi anak perempuan
Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasul SAW:12
/ ,1 ‫ن‬A‫ ا ﺱ‬:# <‫ ا‬V‫ ر‬W9D
‫ل ا‬
ZV :‫ ل‬3 ‫ ا‬,Q9 ,YA 3 <‫ا‬
,‫د‬9 ‫ة‬D Q‫ و أ ا أر‬/‫ ا
ص م م أ‬0
‫ ز‬$ +9 ‫ة‬D Y3 ‫ق وأ ا‬/"
‫ م ا‬#0 ZV‫و‬
‫ ه*ا‬:3 ‫]ل‬9 W
‫ ا‬/ 3 # Z^/_9 :Q9 ‫ ل‬,
‫ا‬VA ‫ أن‬:#
3 ‫ ^& آ=` إ‬,10- ]3
‫ وا‬1‫ق ا
*ر‬9
.1‫ ا
*ر‬9 ‫ة‬D Q‫ و أر‬,10- ]3
‫ ا‬9 ‫ة‬D Y3 Artinya: Imam Syafi’I berkata: kami di kabarkan oleh sufyan ibn
Uyaynah, dari Abdillah ibn Umar ibn Hafshin dari Nafi dari ibn Umar,
berkata aku mendatangi (untuk ikut perang) Nabi SAW pada tahun Uhud, dan
aku ketika itu berusia empat belas tahun maka Rasulullah menolakku,
kemudian aku mendatangi Rasulullah kembali pada tahun Khandak, dan
usiaku sudah lima belas tahun, maka Rasulullah membolehkan aku untuk
berperang, Nafi berkata aku menceritakan hal itu kepada Umar ibn Abdil
Aziz, maka Umar berkata ini lah perbedaan antara anak kecil dan orang
dewasa (dalam hal peperangan) kemudian Umar mewajibkan kepada
pekerjanya agar mereka mewajibkan anak-anak mereka untuk turut
berperang pada usia lima belas tahun, dan sedangkan pada usia empat belas
tahun mereka termasuk anak-anak.
12
Al-Syafi’I, Al-Umm, (Beirut-Libanaon: Daar al-Wafa, 2005) Juz ke-5, cet. Ke-3, h. 371
(sama dalam hal pembahasan zina)
25
Mernurut para fuqaha, kemampuan berfikir pada anak dimulai sejak ia
berusia lima belas tahun. Apabila anak telah menginjak usia tersebut, ia
dianggap telah dewasa secara hukum. Imam Abu Hanifah membatasi
kedewasaan pada usia delapan belas tahun; menurut suatu riwayat sembilan
belas tahun bagi laki-laki dan tujuh belas tahun bagi perempuan. pendapat
popular dalam mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Abu Hanifah karena
mereka menentukan usia dewasa delapan belas tahun dan menurut sebagian
yang lain sembilan belas tahun. 13
B. Faktor Penyebab Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak
Dalam Islam perkosaan sudah jelas-jelas dilarang baik dalam al-Qur’an
maupun Hadist Nabi. Karunia Allah berupa hawa nafsu sering kali tidak dapat
dikendalikan dan justru malah berakibat merugikan, baik bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Dan Allah juga menghendaki agar manusia mau
mengendalikan hawa nafsu dengan akalnya, agar tidak terjadi suatu kejahatan
atau perbuatan buruk, contohnya seperti tindak pidana pemerkosaan. Selain hawa
nafsu yang menjadi faktor penyebab tindak pidana pemerkosaan, adapun
beberapa faktor lainnya, yakni:14
1. Faktor psikis dan kejiwaan
13
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, (Beirut
Libanon: Muassasah Ar-Risalah,1992), h. 253
14
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung : PT. Refika Aditama, 2001),cet. Ke-1, h. 66-67
26
Menurut seksolog Naek L. Thobing, faktor kejiwaan ini biasanya
merupakan refleksi dari terkombinasinya beberapa unsur dari pelaku secara
bersamaan, yakni:
27
a. Unsur Anger (amarah)
Amarah biasanya menimbulkan rasa dendam, maka seseorang sering kali
melakukan pembalasan dengan balas dendam yang menyakitkan yaitu
dengan cara memperkosa atau melakukan pencabulan dan lain-lain.
b. Unsur Power (kekuatan)
Penggunaan unsur kekuatan dalam kejahatan ini dapat terjadi di karenakan
adanya hubungan (relasi) yang tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi
karena adanya perasaan tertekan atau stres pada pelaku. Faktor kejahatan
ini terjadi karena pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang gagal
mengendalikan emosi dan naluri seksualnya secara wajar.
c. Unsur Pedophilia
Secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelampiasan
nafsu seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai instrument atau
sasaran dari tindakan itu.
2. Faktor merosotnya norma susila dan kontrol sosial
Kejahatan pencabulan dapat terjadi disebabkan adanya pergeseran
norma-norma susila yang dianut oleh masyarakat, serta semakin menipisnya
kontrol sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Fakor-faktor ini antara
lain, lemahnya iman dan pengendalian hawa nafsu serta kian banyaknya
stimulasi seksual.
28
3. Faktor interaksi dan situasi
Faktor interaksi dapat terjadi melalui hubungan dan komunikasi yang
lebih dekat dan terbuka, seperti sering tidur bersama dalam satu kamar dengan
orang yang bukan muhrimnya. Faktor situasi biasanya terjadi di karenakan
ada kesempatan yang membuat pelaku untuk berbuat kejahatan tersebut,
seperti jauh dari keramaian, suasana sepi dan ruangan yang tertutup, yang
memungkinkan pelaku leluasa menjalankan aksi-aksi kejahatanya.
4. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi juga dapat mempengaruhi seseorang melakukan
kejahatan seksual seperti pemerkosaan. Sebagai contoh: seorang pria yang
merasa kesepian setelah menduda ditinggal isteri dan tidak memiliki
pekerjaan, oleh karena itu ia akan selalu dirundung ketegangan seksual dan
kegelisahan, sehingga penyaluran seksual akan terjadi dengan cara apapun
termasuk dengan cara pemerkosaan, di mana seharusnya pelampiasan
ketegangan dan kegelisahan seksual tersebut dapat disalurkan dengan
kesibukan bekerja atau mencari uang demi mempertahankan hidup.
5. Faktor kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
Kemajuan IPTEK dan berkembanganya budaya yang tidak diimbangi
dengan peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam masyarakat akan
menimbulkan berbagai konflik dan kehancuran dalam masyarakat tersebut.
Berdasarkan film-film porno, gambar-gambar yang dapat merangsang
birahi dalam media massa. Atau maraknya majalah-majalah porno serta video
29
kaset yang berisikan hal-hal yang merangsang merupakan sarana yang
menjembatani kepada mudahnya mendapatkan kebebasan seks yang
merupakan faktor-faktor yang dapat merusak moral.
Akibat dari tindak pidana pornografi dan tindak pidana pornoaksi,
seperti yang sering dinyatakan oleh televisi maupun berita-berita melalui
madia cetak di Indonesia, adalah banyaknya kasus pemerkosaan, perzinaan,
aborsi, bahkan pembunuhan. Pemerkosaan akibat tindak pidana pornografi
maupun tindak pidana pornoaksi telah banyak dilakukan, meskipun pornografi
dan pornoaksi bukan satu-satunya peyebab terjadinya pemerkosaan.
Penulis mengambil kesimpulan bahwa hawa nafsu merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab tindak pidana pemerkosaan, di mana hawa nafsu
tersebut tidak dapat dikalahkan oleh akal dan telah terkombinasi dengan beberapa
unsur dari pelaku yang datang secara bersamaan seperti unsur amarah, kekuatan,
merosotnya norma susila dan ekonomi, sehingga menjadikan faktor tersebut
sebagai alasan kesempatan untuk melakukan kejahatan pemerkosaan.
Di dalam al-Qur’an Allah banyak menyinggung hukum yang mengenai
pengaturan nafsu seksual. Nafsu dan akal lah yang dapat membedakan antara
manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, di mana akal
sebagai pengendali hawa nafsu, sedangkan binatang hanya memiliki hawa nafsu
dan tidak dapat dikendalikan, karena tidak memiliki akal.
30
Dalam hukum Islam kita mengenal dua sumber hukum utama, yaitu AlQur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan penyaluran hawa
nafsu seksual tersebut, ada Hadits Nabi Riwayat Muslim yang menyatakan:
/‫ أ‬-+‫ و
ا رﺱل ا< أ‬،1/b &‫آ‬/‫ أ‬Qc :9‫و‬
‫ ام‬:9 4WV‫ ل ارء=& و‬،$‫ أ‬49 #
‫ن‬R‫ و‬#-4‫ﺵ‬
$‫ أ‬#
‫ل آن‬e_
‫ ا‬:9 4WV‫ اذا و‬g
*R9 ‫ وزر‬#0 ‫آن‬
(&0O N‫)روا‬
Artinya: “Dalam pernikahan baru kamu sekalian adalah shodaqoh. Bertanya
para sahabat kepada Rasullulah apakah seseorang yang memenuhi
syahwatnya memperoleh pahala? Beliau menjawab sebagaimana
pendapatmu jika dilaksanakan dengan cara haram maka ia berdosa,
dan jika ia memenuhinya dengan cara halal maka ia akan
memperoleh pahala”. (HR: Muslim)
Dengan demikian, hubungan kelamin dalam Islam tidak ditabukan, malah
akan dapat pahala jika cara melakukannya dengan cara halal, cara-cara hubungan
kelamin secara halal itu hanya dapat dilakukan dalam suatu lembaga perkawinan
yang akan mengikat pria dan wanita menjadi hubungan suami-istri dalam suatu
keluarga.
C. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak menurut Hukum Positif
Secara yuridis, pemerkosaan merupakan sebuah kejahatan yang membawa
dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Ancaman pidana berat
bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan untuk
memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup
31
normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain
agar tidak melakukan perbuatan serupa.15
Dari tindak pidana pemerkosaan terhadap anak atau penyimpangan
seksual terhadap anak telah ditentukan hukumannya dalam Pasal 287 KUHP :
Ayat (1)
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus di duga , bahwa
umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata,
bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun”.
Ayat (2)
“Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
tersebut pasal 291 dan pasal 294”.
Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsur paksaan
meskipun paksaan yang bersifat psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka
sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau belum cukup
lima belas (15) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu
belum masanya untuk kawin, karena itu masuk ke dalam ruang lingkup
pemerkosaan. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena perbuatan bersetubuh
tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun,
seharusya penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan
15
Suryono Ekotama,et al ,Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaaan, (Yogyakarta :
Universitas Atmajaya,2001), cet. Ke-1, h. 96
32
perbuatan bersetubuh yang dilakukan terhadap perempuan yang umurnya belum
sampai 12 tahun.16
Adanya
pemerkosaan
terhadap
anak
tersebut
didasarkan
pada
terbentuknya kejahatan dalam Pasal 287 KUHP, yang maksudnya memberi
perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatanperbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional apabila anak yang
telah menjadi korban dan dia dikenai pidana. Akan tetapi, apabila pada perbuatan
itu dilakukan berdasarkan suka sama suka dan padahal laki-laki itu telah beristri,
maka Pasal 27 BW berlaku bagi laki-laki tersebut, karena keadaan ini telah
diketahui oleh wanita pasangan yang bersetubuh itu.
Seperti perbuatan yang dijelaskan di atas, maka wanita tersebut tidak
boleh dipidana
karena berdasarkan pada Pasal 287 KUHP perbuatannya itu
kehilangan sifat melawan hukum. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di
luar undang-undang. Sementara itu, terhadap si pria yang telah beristri ini telah
melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284 KUHP
sebagai
pleger
(pembuat pelaksana) dan Pasal 287 KUHP sebagai dader
(pembuat tunggal).17
16
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta :
Bulan Bintang,)cet. Ke-1 h. 180-181.
17
Adami Chazawi, S.H, Tindak Pidana Mengenai Kwsopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h.71
33
Selain dalam pasal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga dalam
pasal lain, yakni Pasal 290 KUHP, yang menyatakan: Diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun;
Ayat (1)
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya”.
Ayat (2)
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin”.
Ayat (3)
“Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau persetubuhan di luar
pernikahan dengan orang lain”.
Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya dimuat dalam KUHP, melainkan
dalam undang-undang khusus juga dimuat, yaitu di dalam Pasal 81 dan Pasal 82
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 81 menyatakan:
Ayat (1)
“Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”.
34
Ayat (2)
“Ketentuan pidana sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan perstubuhan
dengannya atau dengan orang lain”.
Pasal 82 menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakuakan atau membiarkan untuk dilakuakan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah)”.
Dilihat dari kedua Hukum
Positif di atas yaitu KUHP dan Undang-
undang Perlindungan Anak, ancaman sanksi pidana pada Undang-undang
Perlindungan Anak lebih berat dibanding dengan sanksi pidana KUHP. Akan
tetapi pemerintah masih lebih mengunakan KUHP dalam memberikan putusan
kepada pelaku, sehingga pelaku tidak jera dari hukuman yang diberikan oleh
Majelis Hakim di persidangan.
D. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Islam
Tindak pidana kesusilaan seperti pemerkosaan (zina) termasuk dalam
salah satu kategori jarimah hudud. Hudud secara etimologi bentuk jamak dari kata
“hadd” membatasi.18 Hudud secara istilah yakni peraturan atau undang-undang
18
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta,
Multi Krya Grafika, 1998), cet. Ke-4, h. 696
35
dari Allah yang bersifat membatasi atau mencegah yang berkenaan dengan halhal yang boleh dan yang dilarang (haram).19 Dimana jarimah ini merupakan hak
Allah secara mutlak. Sanksi hukuman pelaku pemerkosaan selain dihukum seperti
pelaku zina, juga dihukum dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan
atas paksaan kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk mempelancar
perbuatan perkosaannya.
Dengan sangat tegas hukum Islam telah menentukan mengenai kejahatan
terhadap kesusilaan (zina). Pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan
merupakan kejahatan yang sangat peka, dikarenakan menyangkut kehormatan
manusia. Dalam pandangan Islam soal moral seks tidak sembarangan, maka
segala hal yang mendekati zina juga dilarang. Sebagaimana firman Allah SWT:
(32/17 :‫ﺱاء‬J‫ً )ا‬eَِ‫ءَ ﺱ‬Bَ‫ً وَﺱ‬1َDَِ9 َ‫ُ آَن‬#7ِ‫َ إ‬5
‫َ]َُْا ا‬-ََ‫و‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk ”.
(QS. Al-Isra’: 17/32)
Dalam Hukum Islam menjatuhkan suatu sanksi bagi pelaku pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur, diperlukannya minimal empat orang saksi laki-laki
yang adil dan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan orang yang melakukan
perbuatan tersebut harus mengakui secara terus terang. Contohnya Bayyinah atau
Hujjah ialah berupa petunjuk alat bukti.
19
h. 24
Ahmad hanafi, Azas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet.Ke-1,
36
Alat-alat bukti yang paling pokok atau hujjah syar’iyyah yang diperlukan
dalam sebuah pembuktian adalah:
1. Iqrar (pengakuan) yaitu hujjah bagi si pelaku memberi pengakuan sendiri.
2. Syahadah (kesaksian) yaitu hujjah yang mengenai orang lain.
3. Qarinah (qarinah yang diperlukan).20
Apabila kasus pemerkosaan itu betul-betul telah memenuhi syarat dan
dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana dalam ketentuan yang telah
ditetapkan, maka zina baru dapat dijatuhi sanksi dengan ketentuan hukum yang
telah ditetapkan dalam al-Qur’an bagi pelaku zina, sebagaimana Allah berfirman
dalam Q.S An-Nuur: 2
'() &% ☺ !"#$%
☺!2
,-./
*+
<= :; 7689 6 345
:;,
)<A@%"
">?@
FGHIJ
CDAE
☺ !2⌧)
!K9E
IP$%
3⌧MN;O
(2/24 :‫)ا
ر‬
)6Q@%"☺E
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman”.
20
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Muqoronan bil qanunil wad’iy, juz I,
(Beirut-Libanon: Muassasah Ar-Risalah, 1992), h. 441
37
Nabi Muhammad saw. Menyatakan:
‫ ل ل رﺱل ا< ص م *وا‬# <‫ ا‬V‫ ر‬Z l
‫ دة ا‬
1‫ ﺱ‬A‫ ءة و‬/0$ R
R
‫ ا‬e‫ ﺱ‬4
<‫ ا‬8W$ / ‫ *وا‬
.&0O N‫ روا‬:&$
‫ ءة وا‬/0$ `m
`m
‫وا‬
Artinya: “Dari ‘Ubadah bin As-samit r.a. ia berkata Rasulullah saw. Telah
bersabda: kutibla dari aku. Kutiblah dari aku, sesungguhnya Allah telah
menjadikan (menunjukkan) jalan, bikir dengan bikir dicambuk seratus kali
dan diasingkan selama satu tahun, dan saiyib dengan saiyib dicambuk
seratus kali dan rajam”. (H.R. Muslim)21
Berikut adalah penjelasan hukuman bagi pelaku zina:
1. Hukum dera dan pengasingan
Hukuman dera dilakukan sampai seratus kali cambukan dan
diasingkan selama satu tahun terhadap zina yang dilakukan oleh orang
yang belum beristri (ghairu muhsan) dan terhadap korban perkosaan tidak
diberikan sanksi karena dia mendapat paksaan beserta ancaman dari
pelaku.
Pengertian dera yang dikhususkan untuk pezina yang belum
menikah, dinyatakan oleh banyak periwayat, diantaranya seperti Ibnu
Abbas yang mendengar Umar Bin al-Khattab berkata, bahwa hukum
21
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta :
Bulan Bintang,)cet. Ke-1
38
rajam ditegakkan atas pria atau wanita yang berzina sedangkan mereka
telah menikah, baik itu dengan adanya bukti yang kuat berupa kehamilan
atau pengakuan (Ikhtilaf al-Hadits, 1985) Vol.I, h.221.
Dalam penambahan hukuman pengasingan ini para ulama berbeda
pendapat, yaitu:
a. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak mesti dihukum buang
atau di asingkan saat hukum pengasingan diserahkan kepada
pertimbangan yang memutuskan (hakim).
b. Menurut Imam Ahmad bahwa rasanya hukuman dera seratus kali
belum cukup, sehingga perlu ditambah dengan pengasingan
selama satu tahun.
c. Menurut
Imam
Malik
bahwa
yang
dikenakan
hukuman
pengasingan hanya pria saja, sedangkan bagi wanita tidak ada
sanksi apa-apa.
d. Menurut Imam Syafi’i, al-Qurtubi dan para khulafaurasyidin
mereka menyatakan bahwa perlu didera dan diisolasikan bagi para
pezina mukhson.22
2) Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari
dengan batu yang dikenakan kepada pelaku zina mukhsan (orang yang
22
As’ari Abdul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: Grafindo Utama, 1997), hal 43-44.
39
sudah beristri) baik pria maupun wanita para ulama berbeda pendapat
apakah hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) itu dijilid
seratus kali lalu dirajam ataukah hanya dirajam saja. Ada yang
menggabungkan kedua hukuman tersebut dengan alasan bahwa jilid itu
adalah hukuman pokok, sedangkan diasingkan setahun baik bikr (orang
yang belum menikah) dan rajam bagi tsayyib itu merupakan hukuman
tambahan.23
23
A. Djazuli, Fikh Jinayah Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Raja Grafindo, 1997), hal 43-44
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK PIDANA
PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
Sering kita jumpai dalam masyarakat berbagai macam kasus pelanggaran
kesusilaan seperti pemerkosaan. Korban tindak pidana pemerkosaan yang terjadi pada
saat ini tidak hanya pada orang dewasa bahkan juga pada anak-anak. Perbuatan keji
ini dilakukan mungkin tidak hanya sekali atau dua kali saja, seseorang yang telah
melakukan tindak pidana pemerkosaan tidak akan berhenti sebelum perbuatannya
diketahui oleh orang lain.
Seperti kejahatan yang dilakukan saudara Rozali bin Bahusin yang beralamat
Jalan Rawa sari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas
Kota Depok. Ia melakukan perbuatan bersetubuh dengan anak di bawah umur yaitu
Yeni Sofiayanti binti M.Romadon Yang masih berusia 11 tahun. Korban Yeni
Sofiayanti adalah tetangga dari saudara Rozali, mereka tinggal berdekatan dengan
jarak beberapa rumah. Perbuatan itu telah dilakukan kepada Yeni berulang kali
hingga terjadi tiga kali, Yeni yang sebagai korban mengadu kepada Ibunya bahwa ia
telah ditiduri oleh Pak Rozali yang tinggal berdekatan dengannya.
Korban Yeni adalah anak pertama dari keluarga Bapak M. Romadon dan Ibu
Susan. Yeni adalah seorang anak yang lugu dan mudah kenal dengan orang lain.
Kebiasaan Yeni melewati rumah pak Rozali telah diperhatikan sejak lama, sehingga
pak Rozali tertarik dengan Yeni dan pikiranya ditutupi oleh hasutan setan berupa
40
41
nafsu. Sampai ia berani melakukan pemaksaan kepada Yeni agar mau ditidurinya,
setelah itu pak Rozali memberikan imbalan uang sebesar Rp. 20.000,- dengan
melarang Yeni untuk menceritakan hal tersebut kepada orang tuanya.
Berikut adalah kronologi perkara dan putusan hakim setelah pertimbangannya
terhadap kasus terdakwa Rozali yang diadili oleh Pengadilan Negeri Depok dengan
Nomor (No.Reg.475/PID/B/PN.DPK);
A. Kronologi Perkara
Bahwa ia Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN, pada hari selasa, tanggal 11
Maret 2008, sekira pukul 15.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu
lain dalam tahun 2008, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawa Sari , RT 01,
RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok,
Terdakwa telah melakukan perbuatan bersetubuh dengan perempuan yang bukan
isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur
perempuan itu belum cukup 15 tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa
perempuan itu belum masanya untuk kawin, yaitu terhadap Saksi korban yang
bernama YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, perbutan mana Terdakwa
lakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:
-
Bahwa Terdakwa melakukan perbuatannya, yaitu dengan cara antara lain
pada saat itu Saksi Korban YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, mau
main kerumah teman Saksi korban, dan Saksi korban meewati rumah
Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban), yang pada saat itu
Terdakwa sedang duduk di teras rumah Terdakwa, lalu Terdakwa
42
memanggil Saksi Korban YENI SOFIAYANTI binti ROMADON,
kemudian Saksi Korban menghampiri Terdakwa dan bertanya “mau ngepain
Pak Uban?” kemudian Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN bilang “udah
diam aja kamu” kemudian Saksi Korban diajak masuk ke kamar Terdakwa
dan di dalam kamar Terdakwa tersebut, Saksi Korban disuruh tiduran diatas
tikar, kemudianTerdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban) membuka
celana Saksi Korban dan memegang-megang kemaluan Saksi Korban, lalu
Terdakwa juga membuka celananya, KEMUDIAN Terdakwa menindih
Saksi Korban, dan Terdakwa memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan
Saksi Korban, kemudian Terdakwa mengerak-gerakkannya naik turun
hingga kurang lebih selam 3 (tiga) menit, sampai akhirnya kemaluan
Terdakwa mengeluarkan air mani (sperma), dan setelah nafsu Terdakwa
telah terpuaskan, kemudian Terdakwa memberikan uang kepada Saksi
Korban YENI SOFIAYATI binti M. ROMADON sebesar Rp.20.000,- (dua
puluh ribu rupiah), sambil berkata “jangan bilang sama mamak dan bapak
ya?” lalu Terdakwa menyuruh pergi Saksi Korban kemudian Saksi Korban
pergi;
-
Bahwa sesampainya di rumah, Saksi Korban menceritakan kepada Saksi
SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban), bahwa Saksi Korban telah diberi
uang oleh Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban) sebesar
Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah), kemudian Saksi SUSAN binti KOSIM
(Ibu Saksi Korban) bertanya kepada Saksi Korban “kamu kenapa diberi
43
uang?” kemudian Saksi Korban menjawab “aku tidak disuruh apa-apa”
namun Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban) berusaha
menanyakan kepada Saksi Korban, supaya Saksi Korban jujur kepada Saksi,
sehingga akhirnya Saksi Korban mengatakan bahwa Saksi Korban telah
dicabuli oleh Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban);
-
Bahwa atas keterangan Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban)
langsung mendatangi rumah Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak
Uban), dan menanyakan hal tersebut kepada Terdakwa, dan Terdakwa pun
mengakui perbuatannya, lalu Saksi melaporkan kejadian tersebut kepada
Saksi ACHMAD DJAELANI
(Ketua RT), dan kemudian melaporkan
perbuatan Terdakwa ke Polres Depok.
-
Bahwa berdasarkan Suarat Visum Et Repertum Puskesmas Pancoran Mas,
No.445.3/30 PKM, tanggal 13 Maret 2008, yang ditandatangani oleh dr.
Dece Feriyeni, menerangkan bahwa korban yang bernama YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON, dengan hasil pemerikasaan sebagai
berikut:
1. Pada pemeriksaan kemaluan tampak bekas sobekan pada selaput dara;
2. Pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua;
3. Pada jam dua disertai cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah;
44
Kesimpulan:
Ditemukan bekas robekan pada selaput darah pada posisi jam delapan, jam
sepuluh, jam dua; perbuatan Terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 287 ayat (1) KUHP;
Dalam hal ini Penuntut Umum juga mengajukan Saksi-saksi
yang
keterangannya di persidangkan sebagai berikut:
I. Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, (Saksi korban).
II. Saksi SUSAN binti M. KOSIM, (ibu saksi korban).
III. Saksi ACHMAD JAELANI. (ketua RT).
I. Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, keterangan tidak dibawah
sumpah karena menurut Pasal 171 huruf (a) KUHAP, yang boleh diperiksa untuk
memberi keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup lima
belas tahun dan belum pernah kawin, telah didengar dipersidangan
dan pada
pokoknya menerangkan sebagai berikut:
-
Bahwa Saksi menurut Surat Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008,
adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir
pada tanggal 07 Juli 1997;
-
Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, sekitar pukul 15.00 WIB,
bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan
Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi sehingga menyebabkan
selaput dara Saksi robek;
45
-
Bahwa pada waktu itu ketika Saksi mau pergi main, Saksi lewat dirumah
Terdakwa dan Terdakwa memanggil Saksi;
- Bahwa Saksi bertanya kepada Terdakwa lalu Saksi pun mengikutinya masuk
kedalam kamar dan Saksi disuruh berbaring di atas tikar;
-
Bahwa Terdakwa membuka celana Saksi dan memegang-megang alat kelamin
Saksi, lalu Terdakwa membuka celannya dan menindih Saksi juga memasukkan
alat kelaminnya kedalam alat kelamin Saksi, kemudian menggerak-gerakkannya
naik turun hingga kurang lebih selama 3 (tiga) menit sampai akhirnya Terdakwa
mengeluarkan air mani (sperma);
-
Bahwa Terdakwa lalu memberikan Saksi uang sebannyak Rp20.000,- (dua puluh
ribu rupiah) dan menyuruh Saksi pulang sambil mengancam Saksi agar tidak
mengatakan kejadian tersebut kepada mamak dan bapak Saksi;
-
Bahwa Saksi merasa kesakitan di daerah alat kelamin pada saat Saksi kencing
selama kurang lebih 2 (dua) hari dan terasa gatal di daerah alat kelamin Saksi;
-
Bahwa Saksi mengalami trauma dengan adanya kejadian ini;
-
Bahwa Saksi menurut hasil visum mengalami luka sobekan pada selaput dara;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON di atas, Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan;
II. Saksi SUSAN binti M. KOSIM, keterangannya dibawah sumpah sesuai dengan
agamanya telah didengar dipersidangan dan pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
46
-
Bahwa Saksi adalah Ibu kandung
dari Saksi YENI SOFIAYANTI binti
ROMADON;
-
Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON, menurut Surat
Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum
cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juli 1997;
-
Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, sekitar pukul 15.00 WIB,
bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan
Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOIAYANTI
binti M. ROMADHON sehingga menyebabkan selaput dara Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M.ROMADON robek;
-
Bahwa pada waktu itu Saksi heran melihat Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON memegang uang Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah), dan ketika
menanyakan Saksi menanyakan siapa yang memberi uang tersebut dan untuk apa,
Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON hanya menjawab uang tersebut
di dapatkan dari Terdakwa yang biasa dipanggil Pak Uban, dan Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON berkata tidak melakukan apa-apa;
-
Bahwa melihat kejanggalan tersebut, Saksi berusaha membuat Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON mengaku;
-
Bahwa setelah dipaksa, Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun
mengaku tadi Terdakwa memanggilnya dan menyuruhnya membuka celananya;
47
-
Bahwa mendengar hal tersebut Saksi pun berusaha meyakinkan diri dan Saksi
YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON bersumapah bahwa dia tidak
berbohong;
-
Bahwa Saksi tidak sempat memeriksa alat kelamin Saksi YENI SOFIAYANTI
binti M. ROMADON, Saksi langsung menuju rumah Terdakwa dan berbicara
baik-baik dengan Terdakwa;
-
Baha pada saat Saksi bertanya kepada Terdakwa mengenai uang Rp.20.000,- (dua
puluh ribu rupiah) yang diberikan kepada Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON tersebut, Terdakwa membenarkan uang tersebut dari Terdakwa;
-
Bahwa setelah Saksi menanyakan tentang kejadian Saksi YENI SOFIAYANTI
binti M. ROMADON yang ditiduri oleh Terdakwa, Terdakwa pun menjawab
“kalo iyah emang kenapa, anakmu udah gede”;
-
Bahwa Saksi pun marah mendengar hal tersebut dan mengadakan penawaran
dengan Terdakwa dengan cara damai tetapi harus menganti kerugian sebesar
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah);
-
Bahwa Terdakwa tidak mau menyanggupinya, hingga akhirnya Terdakwa mau
membayar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) tapi dengan syarat anak tersebut
harus jadi dinikahinya;
-
Bahwa Saksi menolak tawaran Terdakwa tersebut, karena Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON masih terlalu kecil untuk menikah;
-
Bahwa Saksi akhirnya pulang dan malamnya Saksi melaporkan hal tersebut ke
Ketua Rukun Tetangga yaitu Saksi ACHMAD JAELANI, dan setelah
48
dibicarakan, besoknya baru kami melaporkan hal tersebut ke Polsek lalu ke Polres
Depok dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun divisum, yang
hasinya terdapat robekan selaput dara;
-
Bahwa Terdakwa pun langsung ditangkap dan diproses;
-
Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON Mengalami trauma
dengan adanya kejadian ini;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi SUSAN binti M. KOSIM di atas,
Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan;
III. Saksi ACHMAD JAELANI. Keterangannya dibawah sumpah sesuai dengan
agamanya telah didengar dipersidangan dan pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
-
Bahwa Saksi adalah ketua Rukun Tetangga di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06,
Kelurahan Cipayung Jaya, Kecanatan Pancoran Mas, Kota Depok;
-
Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON, menurut Surat
Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum
cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juli 1997;
-
Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, skitar pukul 15.00 WIB,
bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan
Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOIAYANTI
binti M. ROMADHON sehingga menyebabkan selaput dara Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M.ROMADON robek;
49
-
Bahwa pada waktu itu Saksi sebagai Ketua Rukun Tetangga di wilayah tersebut
mendapat laporan dari Ibu Korban yaitu Saksi SUSAN binti M. KOSIM tentang
kejadian yang menimpa anaknya;
-
Bahwa Terdakwa tinggal sendirian di ruamah tersebut, Istrinya tinggal di daerah
lain, anaknya ada yang rumahnya tidak jauh dari rumah tersebut tetapi lain RT;
-
Bahwa mengenai perilaku Terdakwa di lingkungan Saksi, Terdakwa adalah orang
yang tertutup, suka marah, tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan, dan Saksi pun sebagai Ketua Rukun Tetangga jarang
berinteraksi dengan Terdakwa tersebut;
-
Bahwa setelah Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun divisum,
yang hasilnya terdapat robekan selaput dara;
-
Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON Mengalami trauma
dengan adanya kejadian ini;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi ACHMAD JAELANI di atas,
Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa yang
pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
-
Bahwa Terdakwa belum pernah di hukum;
-
Bahwa Terdakwa mengetahui Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON,
adalah anak-anak ynag belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya;
-
Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, skitar pukul 15.00 WIB,
bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan
50
Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah
memasukan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOFIAYANTI
binti ROMADON sehinga menyebabkan selaput dara Saksi YENI SPFIAYANTI
binti M. ROMADON robek;
-
Bahwa pada waktu itu ketika Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON
mua pergi main dan lewat di depan rumah Terdakwa lalu Terdakwa memanggil
Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON ;
-
Bahwa Terdakwa membuka menyuruh Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON masuk dalam kamar dan berbaring di atas tikar;
-
Bahwa Terdakwa membuka celana Saksi YENI SOFIAYANTI binti ROMADON
dan memegang-megang alat kelamin Saksi YENI SOFIAANTI binti M.
ROMADON, lalu Terdakwa membuka celanya dan menindihnya juga
memasukkan alat kelamin Terdakwa kadalam alat kelamin Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON, kemudian mengerak-gerakannya naikturun
hingga kurang lebih 3 (tiga) menit sampai akhirnya Terdakwa mengeluakan air
mani (sperma);
-
Bahwa Terdakwa lalu memberikan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON uang sebanyak Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan menyuruh
Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pulang sambil mengancam
Saski YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON agar tidak mengatakan kejadian
tersebut kepada mamak dan bapak Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON ;
51
-
Bahwa Ibi kandung dari Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, yaitu
Saksi SUSAN binti M. KOSIM DAN Saksi ACMAD JAELANI mendatangi
rumahnya, Terdakwa pun mengakui perbuatannya dan bersedia bertanggung
jawab untuk menikahi Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON;
-
Bahwa Terdakwa telah melakukannya kurang lebih 3 (tiga) kali, yang pertama
Terdakwa lakukan sekitar sebulan sebelum kejadian ini, pokoknya selang tiap
1(satu) minggu Terdakwa melakukan hal tersebut, Terdakwa lalu memberinya
uang Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah);
-
Bahwa Terdakwa melakukan pebuatan tersebut di rumahnya sendiri;
-
Bahwa yang pertama dan kedua Terdakwa lakukan di atas tempat tidur di ruang
makan, dan yang ketiga Terdakwa lakukan di atas tikar di kamar Terdakwa, dan
terdakwa selalu berkata kepadanya jagan bilang siapa-siapa, dan Saksi YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun menurutinya hingga akhirnya Saksi
YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON mengadukan hal ini kepada
mamaknya yaitu Saksi SUSAN binti M. KOSIM;
-
Bahwa Terdakwa sudah 8 (delapan) tahun berpisah dengan orang lain, sehingga
Terdakwa mengurus diri sendiri dari uang pensiunan yang Terdakwa dapatkan
tiap bulan dari anak Terdakwa, sebesar Rp.700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah);
-
Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON menurut hasil visum
mengalami luka sobekan pada selaput dara;
-
Bahwa Terdakwa sangat menyesali perbuatannya;
52
Menimbang bahwa selain keterangan Saksi dan keterangan Terdakwa diatas,
juga diajukan barang bukti berupa:
-
1 (satu) potong baju warna coklat;
-
1 (satu) potong celana kotak-kotak warna coklat;
-
1 (satu) potong celana dalam warna putih;
-
Uang tunai sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah);
Barang bukti tersebut telah disita sesuai denga ketentuan hukum yang berlaku,
sehingga dapat dipertimbangkan dalam perkara ini sebagai barang bukti yang sah
menurut hukum;
Menimbang,
bahwa
terhadap
barang
bukti
di
atas,
Terdakwa
membenarkannya dan demikian juga Saksi-saksi telah membenarkan bahwa barang
bukti tersebut pernah diambil dari Terdakwa;
B. Putusan dan Pertimbangan Hakim
Dalam memberikan putusan, hakim melihat beberapa hal yang dapat dijadikan
pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara dengan setegas-tegasnya dan
seadil-adilnya. Hal tersebut meliputi:
1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan.
2. Hal yang Memberatkan dan Meringgankan.
3. Mengadili.
53
Dalam kasus ini Pengadilan Negeri Depok yang mengadili perkara-perkara
pidana pada tingkat pertama yang diperiksa secara biasa, telah menjatuhkan
putusan sebagaimana tersebut dibawah ini dalam perkara Terdakwa:
Nama Lengkap
: ROZALI bin BAHUSIN;
Tempat Lahir
: Lahat;
Umur/ Tgl. Lampir
: 66 Tahun;
Jenis Kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat Tinggal
: Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung
Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Purnawirawan TNI;
Pendidikan
: SMP Kelas II;
Bahwa Terdakwa oleh Penuntut Umum telah di dakwa dengan dakwaan yang
disusun secara Alterentif, yaitu:
- Kesatu : Primair: Pasal 287 ayat (1) KUHP;
Subsidair: Pasal 290 ayat (2) KUHP;
- Kedua : Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena dakwaan disusun secara Alternatif dan merupakan kesatuan yang
utuh dalam tuntutan pidana maka Majelis Hakim akan terlebih dahulu
54
mempertimbangkan salah satu dakwaan yang dipandang lebih mendekati faktafakta yang didapat di persidangan, yaitu dakwaan Kesatu;
1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan
Bahwa dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 287 ayat (1) KUHP,
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1.
Barang siapa melakukan persetubuhan di luar perkawinan;
2.
Dengan seseorang perempuan;
3.
Diketahuinya atau secara patut harus dapat diduga:
-
Perempuan tersebut belum berumur 15 tahun atau.
-
Jika tidak dapat diketahui dari umurnya, perempuan itu belum
waktunya dikawin.
1. Tentang Unsur “Barang siapa melakuakan persetubuhan diluar perkawianan”
Bahwa yang diamksud dengan unsur “barang siapa”, dalam
pengertian hukum ialah setiap subyek hukum pendukung hak dan kewajiban
baik berupa badan hukum maupun orang perorangan (persoon), yang
mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya;
Bahwa Terdakwa (ROZALI bin BAHUSIN) adalah merupakan
subjek hukum pendukung hak dan kewajiban perorangan (persoon) yang
sehat jasmani dan rohani dan mampu bertanggung jawab di depan hukum di
Indonesia. Sehingga bilamana pada saat ini Terdakwa diajukan ke muka
persidangan Pengadilan Negeri Depok oleh Penuntut Umum karena
didakwa melakukan suatu perbutan pidana, maka unsur barang siapa yang
55
dimaksud oleh aturan hukum adalah diri Terdakwa yang berdasar
pemeriksaan di persidangan adalah benar sebagai orang yang di dakwa telah
melakukan pidana dalam perkara ini;
Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan
air mani.
Berdasarkan Suarat Visum ET Repertum Puskesmas Pancoran Mas,
No.445.3/30 PKM, tanggal 13 Maret 2008, yang ditandatangani oleh dr.
Dece Feriyeni, menerangkan bahwa korban yang bernama YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON, dengan hasil pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Pada pemeriksaan kemaluan tampak bekas sobekan pada selaput dara;
2. Pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua;
3. Pada jam dua disertai cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah;
Kesimpulan:
Ditemukan bekas robekan pada selaput darah pada posisi jam delapan, jam
sepuluh, jam dua;
Sehingga dengan demikian unsur barang siapa melakukan persetubuhan di
luar perkawinan, yang dimaksudkan dalam pasal ini telah terpenuhi;
56
2. Tentang Unsur “Dengan seorang perempuan
Berdasarkan Surat Keterangan Kelahiran, Nomor 474.1/04/III/2008,
yang ditandatangani oleh Kepala Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan
Pancoran Mas, Kota Depok, atas nama Lurah Cipayung Jaya, Sekretaris
Kelurahan, SUGIONO, S.Sos, tertanggal 14 Maret 2008, menerangkan
berdasarkan Buku Induk Kependudukan YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON terdaftar sebagai seorang perempuan;
Sehingga dengan demikian unsur dengan seorang perempuan, yang
dimaksudkan dalam Pasal ini telah dipenuhi;
3. Tentang Unsur “Diketahuinya atau secara patut harus dapat di duga,
perempuan
tersebut belum berumur 15 tahun jika tidak dapat diketahui
dari umurnya, perempuan itu belum waktunya dikawin”:
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap keterangan dari Saksi-Saksi
dan pengakuan Terdakwa serta barang bukti yang diajukan di persidangan
jika dihubungkan antara satu dengan lainnya, maka telah ditemukan faktafakta sebagai berikut:
Bahwa
benar
adalah
Terdakwa
tetangga
dari
Saksi
YENI
SOFIAYANTI binti M. ROMADON, yang mengetahui secara pasti bahwa
Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, adalah Siswi Kelas IV
Sekolah Dasar, yang diketahui belum berumur 15 tahun dan belum
waktunya untuk kawin dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.
ROMADON,
menurut
Surat
Keterangan
Kelahiran,
Nomor
57
474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas)
tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juni 1997;
Sehingga unsur tersebut telah terpenuhi;
Berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka semua unsur dari
Dakwaan Kesatu: Primair yaitu Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut di atas
telah terpenuhi maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan ditambah
keyakinan Majelis Hakim bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana seperti dalam dakwaan tersebut dan oleh karenanya Terdakwa harus
di jatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya;
Menimbang, bahwa karena Dakwaan Kesatu: Primair telah terbukti,
maka Dakwaan Kedua yaitu Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, tidak perlu
dipertimbangkan lagi;
Menimbang, bahwa sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak
terbukti adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan Terdakwa yaitu
berupa alasan-alasan pembesar atau alasan pemaaf, dan tidak pula terdapat
faktor-faktor yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa,
sehingga Terdakwa harus bertanggung jawab atas pebuatannya atau
Terdakwa harus dijatuhi pidana;
Menimbang,
bahwa
sebelum
menjatuhkan
hukuman
kepada
Terdakwa, akan terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan
58
dan yang meringankan guna penerapan hukum yang adil dan setimpal
dengan perbuatan Terdakwa yang telah terbukti tersebut:
2. Hal yang Memberatkan dan Meringankan
Dalam hal yang memberatkan dan meringgankan hakim melihat
persaksian-persaksian saksi, dan pengakuan pelaku bahwa ia menerima segala
dakwaan yang diajukan kepadanya bahwa ia benar telah melakukan hal
tersebut.
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbutan Terdakwa sangat meresahkan masyarakat terutama bagi anakanak perempuan;
2. Perbuatan Terdakwa telah merugiakan orang lain;
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga mempelancar jalannya
pesidangan;
2. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi perbuatannya;
3. Terdakwa belum pernah ditahan;
4. Terdakwa sudah berusia lanjut dan ingin bertobat kembali kejalan yang
benar;
5. Bahwa Keluarga Korban sudah memaafkan perbuatan Terdakwa tersebut;
59
6. Bahwa sudah ada perdamaian antara pihak Keluarga Korban dengan
Terdakwa;
7. Bahwa Pihak Keluaraga Korban sudah memberikan pernyataan tertulis di
persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon yang seringanringannya untuk Terdakwa;
3. Mengadili
Setelah hakim melihat unsur-unsur yang telah terlaksana dari
perbutannya tersebut dan hal-hal yang memberatkan dan meringanakan
pelaku maka hakim mengadili dengan selayaknya.
MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan
persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang
diketahuinya belum berusia 15 (lima belas) tahun;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN dengan
pidana penjara selama 2 (dua) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) potong baju warna
coklat, 1 (satu) potog celana kotak-kotak warna coklat, 1 (satu) potong
60
celana dalam warna putih dan uang tunai sebesar Rp 20.000,- (dua puluh
ribu rupiah), dikembalikan kepada Saksi Korban YENI SOFIAYANTI
binti M. ROMADHON;
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp 1.000,- (seribu rupiah);
Demikian diputus dalam rapat pemusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Depok, pada hari Kamis, tanggal 21 Agustus 2008, oleh
kami H. SUWDYA, SH, LLM, sebagai Hakim Ketu Majelis, FAUZIAH
HANUM HARAHAP, SH, Dan RONALD SALNOFRI BYA, SH, MH,
masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis, putusan tersebut pada hari itu
juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 1
1
Putusan Pengadilan Negeri Depok No. Perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK. Tentang Tindak
Pidana Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur
BAB IV
ANALISA PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG
PEMERKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR
Untuk menganalisa bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan
Pengadilan Negeri Depok, penulis membuat beberapa bagian yang dapat dianalisa
dalam bab ini sebagai kekurangan dari hukum positif dalam memberikan hukuman
pada pelaku pemerkosaan.
A. Analisa Pertimbangan Hakim
1. Analisa Hukum Pidana Islam Dalam Hal Memberatkan dan Meringankan
pelaku tindak pidana, merupakan wewenang Hakim
Berdasarkan pada bab III yang menjelaskan bentuk pemerkosaan (zina),
menurut Jaksa Penuntut Umum terdakwa Rozali bin Bahusin dikenakan dakwaan
pasal 287 KUHP. Yang kemudian Majelis Hakim menimbang dakwan tersebut
apakah sesuai dengan perbuatan terdakwa Rozali bin Bahusin, dan kemudian
Majelis Hakim menyatakan perbuatan Rozali bin Bahusin terbukti bersalah dan
sesuai dengan dakwaan penjara selama 2 (dua) tahun, ini semua berdasarkan
pertimbangan Majelis Hakim, yang berisikan hal-hal sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbutan Terdakwa sangat meresahkan masyarakat terutama bagi anak- anak
perempuan;
2. Perbuatan Terdakwa telah merugikan orang lain;
61
62
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga mempelancar jalannya persidangan;
2. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi
lagi perbuatannya;
3. Terdakwa belum pernah ditahan;
4. Terdakwa sudah berusia lanjut dan ingin bertobat kembali kejalan yang benar;
5. Bahwa Keluarga Korban sudah memaafkan perbuatan Terdakwa tersebut;
6. Bahwa sudah ada perdamaian antara pihak Keluarga Korban dengan
Terdakwa;
7. Bahwa Pihak Keluaraga Korban sudah memberikan pernyataan tertulis di
persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon yang seringanringannya untuk Terdakwa;
Menurut hukum positif, hukuman yang akan diputuskan masih dapat dirubah
atau seorang hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan sanksi
hukum terhadap dakwaan yang diberikan kepada terdakwa, yang dilihat dari segi
hal
yang
memberatkan
dan
hal
yang
meringankan.
Dalam
perkara
(No.475/PID/B/2008/PN.DPK) sepertinya majelis hakim tidak melihat kepada
keadilan dan lebih banyak memberikan hal-hal yang meringankan terhadap
terdakwa dengan beberapa poin di atas.
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok sepertinya belum
memberikan hukuman yang pantas kepada terdakwa. Padahal berdasarkan
persaksian yang diberikan para saksi di hadapan persidangan, terdakwa telah
63
terbukti secara sah bersalah telah melakukan persetubuhan dengan seorang anak
perempuan yang diketahuinya belum berusia 15 (lima belas tahun). Yeni
Sofiayanti yang menjadi koraban memberikan kesaksian bahwa ia telah di tiduri
oleh pak Uban (Rozali bin Bahusin) sebanyak tiga kali, dan yang ketiga kalinya
Yeni menceritakan kepada Susan binti Bahusin (ibu korban).
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok (No.475/PID/B/2008/PN.DPK),
dikatakan bahwa sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak terbukti adanya
faktor-faktor yang mengahapuskan kesalahan terdakwa yaitu berupa alasan-alasan
pembesar atau pemaaf, dan tidak pula terdapat faktor-faktor yang menghapus sifat
melawan hukum perbutan terdakwa. Padahal telah diketahu dalam kesaksian para
saksi yaitu saksi Susan binti M. Kosim sebagai ibu korban melakukan penawaran
dengan terdakwa dengan cara damai tetapi harus mengganti kerugian sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta), dan di dalam pertimbangan Majelis hakim pada halhal yang meringankan bahwa kelurga korban sudah memaafkan perbuatan
terdakwa dan sudah adanya perdamaian.
Oleh karena itu perkara dengan (No.475/PID/B/2008/PN.DPK) penulis
merasakan ketidak sesuaian dengan apa pertimbangan majelis hakim dalam halhal yang meringankan yang dapat mengurangi hukuman terhadap terdakwa.
Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, perbuatan zina dapat dikenakan
sanksi hukuman hudud atau (had), di mana hukuman had tidak dapat diubah atau
dengan kata lain seorang hakim tidak dapat memiliki kewenangan untuk merubah
hukuman yang telah disyari’atkan. Begitu pula dengan hukuman bagi pelaku
64
pemerkosaan, ia melakukannya dengan paksaan dan seharusnya hukuman bagi
pelaku lebih berat dari pelaku zina.
Dalam hukum Islam tidak ada hal yang menjelaskan adanya pemaafan atau
pengganti dari hukuman had. Apabila sesorang yang telah melakukan kejahatan
yang telah ditentukan hukumannya di Al-Qur’an maka seorang hakim tidak dapat
membuat putusan lain terhadap hukuman yang akan diberikan kepada pelaku.
Tindak pidana yang dilakukan Rozali bin Bahusin adalah perbuatan jarimah
zina ditambah lagi ia melakukannya dengan kekerasan, dimana dalam hukum
Islam jarimah zina tersebut mendapatkan hukuman had, selain itu perbutannya
juga dapat merugikan orang lain, sebagai korban akan merasa sedikit terganggu
kejiwaan karena merasa trauma dari apa yang telah dialaminya. Maka pada
hukum Islam sanksi yang akan dikenakan adalah hukuman hudud yang tidak ada
pengampunan, akad damai, pembebasan, pengurangan atau penggantian.
B. Analisa Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Depok
Berdasarkan uraian di Bab III mengenai hal-hal kronologi serta unsurunsur pasal yang didakwakan terhadap terdakwa Rozali bin Bahusin dapat
dikatakan telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum, maka Jaksa
Penuntut Umum berpendapat dan berkeyakinan sesuai apa yang ia ketahui bahwa
terdakwa Rozali bin Bahusin secara sah bersalah melakukan persetubuhan diluar
perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahui belum berusia 15 (lima
65
belas) tahun. Dan sesuai dakwaan yang disusun alternatif yang telah diberikan
Penuntut Umum terhadap Tedakwa, Majelis Hakim Mempertimbangkan salah
satu dakwaan yang dipandang lebih mendekati dari fakta-fakta yang didapatkan di
persidangan yaitu pasal 287 (ayat 1) KUHP.
Berdasarkan analisa yuridis, fakta-fakta yang ada berupa barang bukti
serta visum et
repertum yang dikeluarkan puskesmas Pancoran Mas
No.445.3/30/PKM, tanggal 13 Maret 2008 yang menyatakan bahwa pada
pemeriksaan ditemukan adanya bekas sobekan pada selaput darah pada kemaluan
korban, pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua. Pada jam dua disertai
cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah. maka telah terbukti dari hasil visum
telah terjadi tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh terdakwa Rozali bin
Bahusin pada hari selasa, tanggal 11 Maret 2008 di tempat tinggal terdakwa.
Bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
disusun secara alternatif. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 287 (ayat 1) KUHP
sebagai dakwaan kesatu primair, dan pasal 290 KUHP sebagai dakwaan kesatu
subsidair. Di tambah dengan pasal 82 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagai dakwaan kedua.
Berdasarkan pemeriksaan dakwaan ini terdakwa tidak ditemukan adanya
alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dipandang dapat menghilangkan
sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan terdakwa, oleh karena itu
terhadap apa yang diyatakan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya.
Dengan demikian sudah sepantasnya terdakwa dijatuhi hukuman pidana yang
66
setimpal dari perbuatannya yang telah merugikan orang lain sebagai korban serta
keluarga korban.
Pada hukum positif di Indonesia yang masih menggunakan hukum
warisan kolonial Belanda, Majelis Hakim melihat dari beberapa hal yang dapat
memberatkan atau meringankan terdakwa. Dari kedua hal tersebut lebih banyak
hal yang meringankan terdakwa dibanding dengan hal yang memberatkan. Hal
yang meringankan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. terdakwa mengaku terus
terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; 2. terdakwa sangat
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; 3.
terdakwa belum pernah ditahan; 4. terdakwa telah berusia lanjut dan ingin
bertobat kembali kejalan yang benar; 5. bahwa keluarga korban sudah memaafkan
perbuatan terdakwa tersebut; 6. bahwa sudah ada perdamaian antara pihak kelurga
korban dengan terdakwa; 7. bahwa pihak keluarga korban sudah memberikan
pernyataan tertulis di persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon
yang seringan-ringannya untuk terdakwa.
Dengan melihat akhir putusan dari Majelis Hakim, terdakwa Rozali
dikenai pasal 287 (ayat 1) KUHP, dalam pasal tersebut menjelaskan hukuman
maksimal 9 (sembilan) tahun. Akan tetapi, berdasarkan hal-hal yang
dipertimbangkan Majelis Hakim dalam hal yang meringankan, Majelis Hakim
memutuskan terdakwa Rozali bin Bahusin dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
67
Menyimak hasil putusan dari tindak pidana yang dilakukan Rozali bin
Bahusin, bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah merupakan
putusan maksimal, dikarenakan adanya beberapa hal yang meringankan terdakwa,
terutama dengan adanya perdamaian atau pemberian maaf
keluarga korban
terhadap terdakwa sebelum terjadinya proses persidangan dengan adanya
penawaran dari terdakwa dengan orang tua korban, sebagaimana yang diminta
oleh pihak keluarga korban. Serta adanya pernyataan tertulis di persidangan untuk
mencabut Laporan Polisi.
Di sini dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan yakni
perbedaan sanksi yang diberlakuakan antara hukum pidana Islam dengan hukum
pidana positif. Efek dari kedua sanksi tersebut jelaslah berbeda. Dalam
pelaksanaan hukuman had tidak ada penghapusan, pengurangan dan pergantian
hukuman. Kewenagan melaksanakan hukuman berada ditangan Imam Kepala
Negara atau pada saat ini pemerintah atau presiden yang memiliki wewenang.
Dalam hal adanya perdamaian atau pemberian maaf keluarga korban
terhadap terdakwa sebelum terjadinya proses persidangan dengan adanya
penawaran dari terdakwa dengan orang tua korban, sebagaimana yang diminta
oleh pihak keluarga korban. Di dalam hukum Islam tidak ada perdamaian atau
pemberian maaf terhadap terdakwa sehingga dapat mengurangi hukuman yang
akan diberikan kepadanya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nuur
ayat 2 dan Hadis Riwayat HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:
68
8$‫دّ ا< و‬V /]9 <‫ون ا‬/_ ّ/ ‫ دون‬#=A‫ ﺵ‬Z
(3 :‫ ا داود ا‬N‫)روا‬
“Barang siapa yang pertolongannya dapat menghalangi pelaksaan
hukuman (had) dari hukuman-hukumanya (yang ditentukan) Allah, maka
benar-benar ia melawan Allah Azza Wajalla. (HR.Abu Daud dari Ibnu
Umar)”.
Sedangkan adanya penawaran terdakwa dengan orang tua korban,
sebagaimana yang diminta oleh pihak keluarga korban dalam hukum Islam tidak
dibolehi. Akan tetapi pernah terjadi pada zaman nabi, ada seorang wanita dipaksa
oleh seorang pria untuk berzina. Nabi membebaskan wanita tersebut dari
hukuman had.
Pernah terjadi di seorang wanita mengadu kepada Umar bin Khattab
bahwa dia (dalam keadaan sangat haus) minta air pada seorang pengembala. Tapi
pengembala itu tidak mau memberinya air kaecuali dia memberi kesempatan pada
pria itu untuk menzinainya, maka dia tepaksa menuruti kemauan pria itu. Umar
bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, bagaimana pendapatmu? Ali mengatakan
wanita itu terpaksa. Umar kemudian memberinnya hadiah dan membebaskannya.
Tetapi bagi pria yang melakukan persetubuhan dengan seorang wanita
dengan cara kekerasan atau dipaksa dengan mengunakan kekerasan secara fisik
atau dengan ancaman, menurut Imam Malik dan Asy-Syafii berpendapat wajib si
pria memberikan sesuatu pemberian (sadaq) kepada si wanita itu. Abu Hanifah
berpendapat tidak ada hak bagi wanita tersebut untuk mendapatkan pemberian.
Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan penafsiran apakah sadaq itu
69
merupakan ganti/imbalan dari hubungan seks atau merupakan pemberian
mahar/mas kawin. Ulama yang berpendapat sadaq itu merupakan ganti
rugi/imbalan maka diwajibkan bagi si pria itu memberikannya. Jika sadaq itu
merupakan mas kawin, maka sadaq itu hanya diwajibkan bagi si suami yang
menikahinya.1 Walaupun ada pengantian sebagai gati/rugi, hukuman had harus
dilakukan kepada pelaku, karena hukuman had adalah hak Allah yang tidak bisa
dikurangi, diganti dengan siapa pun.
Dalam hukum pidana Islam, perbutan bersetubuh dengan wanita yang
bukan istrinya dengan ancaman kekerasan dan akan memberikan imbalan kepada
korban atau (perzinahan dengan kekerasan) pelaku harus di kenai hukuman hudud
yaitu rajam, selain itu pelaku harus membaerikan sadaq sebagai ganti rugi ke
pada korban atau keluarga korban yang telah dirugikan sebagai pengganti
(imbalan materi).
Dari hukuman yang diberikan majelis hakim sangat tidak seimbang
dengan perbuatan yang ia lakukan terhadap korban. Sebagai korban mungkin ia
akan merasakan depresi yang berat sampai ia tumbuh dewasa, sedangkan
hukuman yang diberikan kepada terdakwa sangat singkat dan mungkin saja
setelah ia lepas dari hukuman ia akan mengulangi perbutannya kembali karena ia
tidak merasa jera dari hukuman yang diberikan hanya selama 2 (dua) tahun.
Berbeda dengan hukum Islam, dimana menurut hukum Islam pelaku
pemerkosaan bisa dikenakan hukuman hudud (had) karena dianggap telah
1
Muhammad Abduh Malik, op.cit, h. 144
70
melakukan perbuatan zina dengan paksaan. Di mana pengertian paksaan secara
bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak disukainya secara
paksa.2 Di jatuhinya hukuman yaitu dari sisi tindak pidana dan dari sisi dampak
terhadap korban dan masyarakat. Dari sisi tindak pidana, perkosaan mengandung
unsur perzinaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan pada
dampak yang ditimbulkan terhadap anak yang dijadikan korban akan berdampak
trauma. Walaupun dalam putusan pengadilan tersebut dinyatakan telah terjadinya
perdamaian antara pihak keluarga korban dengan terdakwa, tetap saja dimata
hukum Islam, ini merupakan perbuautan buruk dan bahkan sangat buruk karena
menimbulkan mudharat yang sangat besar kepada korban.
Demikianlah Hukum Islam memandang bahwa perkosaan adalah
perbuatan zina yang dilakukan dengan paksaan yang mengakibatakan rusaknya
masa depan anak yang menjadi korban dan akan menjadi aib dalam dirinya dan
keluarga. Perbuatan zina yang dilakukan baik dengan dasar suka sama suka
maupun disertai dengan paksaan, pelakunya tetap harus dihukum had yaitu
hukuman rajam bagi pezina muhson, dera 100 kali dan pengasingan selama satu
tahun bagi pezina ghoiru muhson. Dengan kata lain, bagi Terdakwa Rozali bin
Bahusin seharusnya dikenai hukuman rajam karena ia telah beristri walaupun
sekarang ini ia berstatus sebagai seorang duda.
Hukuman rajam bagi pezina muhson dan dan dera bagi pezina ghairu
mohson adalah sebagai hukuman hudud (had) bagi pelaku zina, dengan kata lain
2
Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: FH UII,1995), cet.ke-1, h.80
71
yaitu hukuman yang sudah ditentukan. Karenanya hakim tidak berhak
mengurangi atau menambah hukuman dengan alasan apa pun atau karena kondisi
apa pun. Hakim juga tidak berhak menghentikan pelaksanaan hukuman atau
menggantinya dengan hukuman lain. penguasa negara juga tidak memiliki
wewenang apa pun (untuk mengganti, menambah, atau mengurangi) dan tidak
berhak mengampuni sebagian atau seluruh hukuman perbuatan zina tersebut.
Dalam
hukuman
hudud,
tidak
ada pengampunan,
akad
damai,
pembebasan, pengurangan, atau penggantian. Hukum positif menganggap
hukuman perbuatan zina sebagai hak masyarakat karena ada kepentingan umum
di dalamnya. Sangat berbeda prinsip dari makna hukuman hudud dalam hukum
Islam dan hukuman hudud dalam hukum positif. Hukuman hudud dalam hukum
Islam adalah hukuman yang tidak bisa diganti, sedangkan hukuman dalam hukum
Positif bisa dimaafkan dan diganti.
Hukuman hudud dianggap sebagai hukuman Allah karena ia tidak bisa
dimaafkan dan diganti. Individu dan masyarakat tidak mempunyai wewenang
untuk mengampuni hak Allah dan mereka juga tidak berhak mengganti apa yang
Allah perintahkan. Jika hukman hudud sebagai hak masyarakat, maka pemeritah
atau tokoh negara dapat memberi ampunan atau mengganti dengan yang lain.
sebaliknya dengan hukuman hudud dalam hukum Islam, yaitu hukuman yang
sudah ditentukan yang disyariatkan
sebagai hak masyarakat.
untuk kepentingan umum dan dianggap
72
Dalam surat an-Nur ayat 2 menjelaskan hukuman bagi pezina, Allah SWT
memerintahkan, agar dalam melaksanakan hukuman, jangan ada rasa belas
kasihan kepada pelaku zina apa lagi sampai membatalkan pelaksanaan syariat
Allah.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kepala negara dan pemerintah
menegakkan hukum yang lebih membut jera seperti hukum Islam bagi pelaku
kejahatan dan untuk masyarakat lain untuk tidak meniru perbutan tersebut agar
tidak akan terulang dan merebaknya kejahatan dalam kehidupan masyarakat
seperti saat ini. Sehingga terciptanya masyarakat yang memiliki moral dan
kehidupan yang harmoni.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam menyelesaikan perkara pemerkosaan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Depok tidak konsekwen terhadap pernyataan yang ada dalam putusan
pengadilan, yang mana di dalam putusan dikatakan: menimbang, bahwa
sepanjang pemeriksaan persidangan tidak terbukti adanya faktor-faktor yang
menghapuskan kesalahan terdakwa yaitu berupa alasan-alasan pembenar atau
alasan pemaaf, dan tidak pula terdapat faktor-faktor yang menghapus sifat
melawan hukum perbuatan terdakwa, sehingga terdakwa harus bertanggung
jawab atas perbuatannya atau terdakwa harus dijatuhi hukuman yang setimpal
dengan perbuatannya. Akan tetapi pertimbangan hakim terhadap hukuman
yang diberikan tidak sesuai dengan perbuatannya di karenakan, sebelum
menjatuhkan
hukuman
memberatkan dan
majelis
hakim
mempertimbangkan
hal
yang
yang meringankan. Namun dalam pertimbangannya
majelis hakim lebih banyak memberikan hal yang meringankan ketimbang hal
yang memberatkan, sehingga hukuman yang diputuskan terhadap pelaku tidak
sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
2. Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Depok
No
perkara
475/PID/B/2008/PN.DPK majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa Rozali bin Bahusin dengan pidana penjara 2 (dua) tahun tidak
74
sesuai dengan apa yang ia lakukan terhadap Yeni Sofiayanti binti Romadon.
Dakwaan yang diberikan kepada Terdakwa semestinya dakwaan kedua yaitu
Pasal 82 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena hukuman yang
diberikan lebih berat dan lebih membuat jera dari dakwaan yang di berikan
yaitu Pasal 287 KUHP.
2. Dalam hukum Islam perbuatan zina (perkosaan) adalah tindak pidana atau
perbuatan melanggar hukum Islam dimana si pelaku dihukum dengan
hukuman had dan kejahatan itu harus ditindak atau dituntut oleh imam
(penguasa) bukan karena adanya pengaduan dari orang atau keluarga yang
dirugikan tapi menjadi kewajiban dari penguasa setelah mengetehui telah
terjadi perbuatan zina (perkosaan), meskipun tidak ada pengaduan dari pihak
orang atau keluarga yang dirugikan.
4. Jika kita lihat dari putusan Majelis Hakim terhadap terdakwa Rozali Bin
Bahusin, yang memberikan hukuman kurungan selama 2 (dua) tahun tidaklah
sesuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Apabila terdakwa
sudah memenuhi syarat untuk dilakukan hukuman had seperti yang telah
dipaparkan di bab sebelumnya maka hukuman harus dilaksanakan.
5. Apabila kita perhatikan masih banyak kekurangan Pengadilan Negeri Depok
dalam memberikan putusan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku
pemerkosaan seperti dalam kasus permerkoaan terhadap anak dibawah umur
yang sedang dibahas dalam sekripsi ini, dalam pertimbangan majelis hakim
hal yang meringankan keluarga korban sudah memaafkan perbuatan terdakwa,
75
adanya perdamaian antara keluarga koraban dengan terdakwa dan pencabutan
laporan polisi dan memohon hukuman yang seringan-ringannya terhadap
terdakwa. Apabila di kaitkan pada hukum Islam sangat berbeda dalam hukum
Islam dikenakan hukuman had Hukuman had ditetapkan sebagai hak Allah,
yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat seluruhnya dan untuk
menjaga kepentingan umum. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaannya
tidak boleh ada yang membatalkan atau menggugurkan hukuman had ini, baik
aparat penegak hukum, orang per-orang, maupun keluarga korban. Yang
seharusnya aparat penegak hukum tidak boleh menghalangi, menggugurkan,
atau mengurangi, meringankan pelaksanaan hukuman.
76
B. Saran-saran
1. Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa hukum Islam lebih luas dalam
membahas masalah perkosaan ini. Segala jenis dan bentuk hukuman apapun
dapat dibenarkan selama mampu mewujudkan tujuan pensyari’atan hukum
pidana Islam. Al-Qur’an menerapkan wahyu illahi yang diturunkan di bumi
sebagai pencerahan bagi manusia. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agar
manusia senantiasa berbuat
kebajikan,
menjunjung tinggi nilai-nilai
kesetaraan dan keadilan. Manusia di hadapan Allah tidak dibeda-bedakan
laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah
SWT.
2. Untuk para penegak hukum diharapkan dapat memberikan keadilan dengan
seadil-adilnya tanpa ada yang merasa dizalimi atau terjadinya ketimpangan
hukum terhadap korban, keluarga korban, maupun pelaku. Seperti halnya
kejahatan perkosaan yang banyak terjadi pada masyarakat kita, penegakan
hukum dalam Indonesia belum sampai membuat rasa jera bagi pelaku
kejahatan. Sudah seharusnya pemerintah memberikan ketegasan hukum bagi
pelaku kejahatan perkosaan karena perbuatan ini tidak hanya meresahkan
orang sebagai korban saja tetapi keluarga juga masyarakat di sekitarnya. Bagi
pemerintah atau RT harus lebih mawasi atau mengetahui bagaimana keadaan
atau keamanan lingkungan warga, seharusnya kejahatan pemerkosaan tidak
hanya sebagai delik aduan, yang mana akan ada perkara atau pemeriksaan
apabila ada pengaduan dari keluaraga atau korban.
77
3. Untuk masyarakat khususnya orang tua, agar lebih memperhatikan anak
dalam pergaulan di lingkungan masyarakat supaya tidak terjadi hal-hal yang
membahayakan anak khususnya agar tidak terjadi tindak pidana pemerkosaan
terhadap anak. Sebagai orang tua harus merawat dan melindunggi anak dari
ancaman kejahatan yang akan menimpannya, Dengan kata lain orang tua
memberikan nasihat-nasihat kepada anak agar tertanam pada dirinya agar ia
menjadi seorang yang baik dan tidak akan melakukan perbuatan kejahatan.
78
Download