TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (Kajian Atas Putusan PN Depok) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : MIFTAHU CHAIRINA NIM. 105045101492 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (Kajian Atas Putusan PN Depok) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : MIFTAHU CHAIRINA 105045101492 Pembimbing: Dr. Hj. ISNAWATI RAIS, MA NIP. 150222235 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur dalam Pandangan Hukum Pidana Islam (Kajian Atas Putusan PN Depok)”. Telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam. Jakarta, 12 Juni 2009 Mengesahkan Dekan, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA.MH NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN MUNAQASAH Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. (………………… ) NIP. 150 210 422 Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (……………….... ) NIP. 150 282 403 Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, MA (………………… ) NIP. 150 222 235 Penguji I : Prof. Dr. H. M. Abduh Malik (……………….... ) NIP. 150 094 391 Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………………….) NIP. 150 282 403 KATA PENGANTAR Tidak ada hentinya penulis panjatakan puja-puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan pertolanggan, kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan, kesabaran dalam menghadapinnya. Atas rahmat dan karuniamu penulis dapat menyelesakan skripsi ini dan tidak pula lupa salawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Di mana skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk memeperoleh gelar sarjan (S1) jurusan Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan judul skripsi “Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur dalam Pandangan Hukum Pidana Islam (Kajian Atas Putusan PN.Depok)” Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Asmawi, M.Ag, ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Sri Hidayati, M.Ag, sekretaris Program Studi Jinayah siyasah atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertannyaan penulis. Kepada para dosen yang telah memberikan ilmu, tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini, serta tidak lupa staf perpustakaan Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. 3. Kepada pembimbing skripsi, yang penulisa hormati Ibu Hj. Isnawati Rais, MA. yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang sanggat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Kepada kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai, Ayahanda H. Chairul bin H. Arwen dan Ibunda Hj. Ernawati binti Muir, yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan secara materi dan do’a yang tidak pernah putus dan juga telah memberikan kepercayaan yang amat besar bagi penulis. 5. Kepada adik-adik ku tercinta, Rahmat Hidayat dan Raudhatul Jannah yang telah memberikan semangat dalam pembuatan skrisi ini. 6. Kepada kakak ku M. Ibnu Faisal yang telah banyak mengorban waktunya untuk memeberikan bantuan, semangat, dukungan dan motivasi dalam pembuatan sripsi ini. 7. Kepada saudara-saudara sepupu ku yang telah memberikan suport dan do’a dalam pembuatan skripsi ini. 8. Kepada teman-teman jurusan Pidana Islam ’05 dan: Dewi, wit2, Nafis, terima kasih atas bantuannya baik kecil maupun besar tetapi semuanyna sangat berarti bagi penulis, khusus untuk mpok Lela terima kasih atas bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Dan untuk seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Demikian ucapan terima kasih dari penulis, penulis berharap semoga Allah SWT yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi pendidikan bagi pembaca. Jakarta, 4 Juni 2009 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8 D. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 9 E. Metode Penelitian ...................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................ 12 TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR A. Pengertian Pemerkosaan Terhadap Anak .................................... 14 1. Istilah Perkosaan dan Pemerkosaan ...................................... 14 a. Pemerkosaan dalam KUHP ............................................ 17 b. Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Islam ...................... 19 2. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam 20 a. Batasan Usia Anak Menurut KUHP ................................ 21 b. Batasan Usia Anak Menurut UUPA ................................ 21 c. Batasan Usia Anak Menurut Konvensi Hak Anak ........... 22 d. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Islam ..................... 23 B. Faktor Penyebab Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak.... 25 C. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Positif ........................................................................................ 29 D. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Islam .............................................................................. BAB III 33 PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR A. Kronologi Perkara ...................................................................... 39 B. Putusan dan Pertimbangan Hakim .............................................. 51 1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan ............................ 53 2. Hal Yang Memberatkan dan Meringankan ........................... 57 3. Mengadili ............................................................................. 58 BAB IV ANALISA PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN A. Analisa Pertimbangan Hakim ..................................................... 60 B. Analisa Putusan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok ........................................................................................ BAB V 63 PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 72 B. Saran ......................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau Tindak pidana merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, mengapa tindak pidana dapat terjadi dan bagaimana memberantasnya merupakan persoalan yang tiada hentinya diperdebatkan. Tindak pidana merupakan problema manusia, yang mana terjadi pada seorang yang tidak menggunakan akal serta ditambah dengan dorongan hawa nafsu dalam bertindak, sehingga terjadilah kejahatan yang melampaui batas seperti kejahatan seksual. Kejahatan seksual sekarang ini merebak dengan segala bentuk. Khususnya pada kasus pemerkosaan, pelakunya tidak lagi mengenal status, pangkat, pendidikan, jabatan dan usia korban. Semua ini akan dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan hawa nafsunya. Demikian juga dengan usia pelaku yang tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anakanak sampai kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan pemerkosaan. Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga yang menjadi korban, Allah juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan. Banyak kasus pemerkosaan yang sering kita temui dalam masyarakat, surat kabar dan berita, di mana yang dijadikan korban pemerkosaan adalah anak di bawah umur dan pelaku biasanya adalah orang yang dikenal dekat atau 1 2 bertempat tinggal berdekatan dengan korban, seperti tetangga, teman, ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, dan saudara laki-laki sendiri. Pemerkosaan biasanya juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki iman yang kuat dan pengetahuan yang dangkal, sehingga akal mereka tidak dapat mengalahkan hawa nafsu, akibatnya akal mereka lepas. Seperti dalam hadis Nabi saw. dikatakan: tidak akan berzina orang yang berzina manakala dia beriman pada waktu dia berzina. (Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah). ا هة أن ا ص م ل ا ا . ا "رى#$ أ: وه Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan di sini tidak hanya dewasa tetapi banyak pula anak-anak. Pemerkosaan dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan korban. Kerugian ini dapat berupa rasa terauma atau rasa malu kepada keluarga atau masyarakat.1 Rasa terauma dan malu yang dialami korban dapat berpengaruh dalam kehidupannya hingga kelak ia dewasa. Karena semakin banyaknya pemerkosaan terhadap anak yang terjadi pada saat ini, sudah semestinya pelaku mendapatkan sanksi hukum yang seimbang dengan perbuatannya. Hukum pidana di Indonesia telah mengatur sanksi terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dimuat dalam Pasal 287 ayat 1 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: PT.Refika Aditama, 2001), cet. Ke-1, hal.53. 3 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak. Secara formil hukum pidana di Indonesia telah menetapkan hukuman maksimal yaitu hukuman penjara 9 tahun. Pasal 287 ayat (1) menyatakan: “barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Sedangkan Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan sanksi bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak sebagai berikut: “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkai kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) ”. Dalam hukum pidana positif, akibat hukum tindak pidana pemerkosaan dalam bentuk hukuman pokok adalah dipenjara maksiamal 9 (sembilan) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun. Dasar hukumnya terdapat dalam pasal 287 KUHP karena korbannya adalah anak di bawah umur. Sedangkan dalam hukum Islam, akibat jarimah perkosaan (zina) dibagi dua, yaitu: jika pelaku masih bujang, maka ia dikenai hukuman had dengan hukuman dera 100 (seratus) kali dan pengasingan. Jika pelaku telah beristri atau bersuami, maka hukumannya adalah dirajam. Adapun perbedaan antara hukuman zina dengan hukum pemerkosaan adalah: bahwa hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak (laki-laki dan 4 permpuan), sedangkan hukuman pemerkosaan hanya diberikan kepada pelaku pemerkosaan saja dan tidak dikenakan kepada korban, sebagaimana dalam firman Allah Q.S An-Nuur: 2 &ُُْ*ْآ+َ-َََةٍ و/ْ0َ$ َ1َ2َ َ3ُ4ْ5 ٍ/ِ وَا78ُُوا آ/ِ0ْ$َ9 :ِا7 ُ وَا1َِا7 ا َِِ;ُُِْْنَ ِ<ِ وَا َْْمِ ا- ْ&ُ=ُ دِِ ا<ِ إِن آ:ِ9 ٌ1َ9َْ رَأ3ِ4ِ (2/24 :َُِِْ )ا ر3ْ َ ا5 ٌ1َAِ2BَC َ3ُ4َْ َ*َا/َ4ْDَْ َو Artinya: ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. Menurut mayoritas pandangan ulama bahwa dalam kasus pemerkosaan, pihak pelaku dapat ditempatkan (diposisikan) status hukumnya dengan jarimah zina. Sedangkan pihak korban status hukumnya menjadi seseorang yang terpaksa berhubungan seks atau berbuat sesuatu diluar kehendaknya. Jadi korban ditempatkan layaknya sebagai alat dan objek untuk memenuhi hasrat seks pelaku. Di mana pelaku dapat berbuat sesuai kehendaknya yang jelas-jelas tidak mengindahkan hak asasi korban. Hukum Islam telah mengatur segala macam perbuatan yang terjadi di muka bumi ini, khususnya perbuatan yang merugikan orang lain. Contohnya seseorang yang melakukan kejahatan pemerkosaan atau dalam hukum Islam disebut dengan perbutan zina yang dilakukan secara paksa, maka pelaku akan dikenakan sanksi atau hukuman yang telah ditetapkan dalam nash. Hukuman bagi 5 pelaku pemerkosaan lebih berat, karena selain hukuman yang telah ditetapkan sebagai pelaku perbuatan zina, ia juga mendapat hukuman tambahan karena melakukan pemaksaan terhadap korban, pelaku mendapat hukuman tambahan berupa ta’zir. Dari berbagai kasus pemerkosaan yang diajukan ke Pengadilan, hanya beberapa yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana pemerkosaan, karena seseorang baru dapat dikatakan diperkosa apabila orang tersebut mendapatkan kekerasan, paksaan, acaman dari pelaku dan perbuatan ini tidak berdasarkan persetujuan perempuan. Apabila pasangan pria dan wanita melakukan hubungan suami istri di luar nikah atau zina, kemudian si wanita hamil dan si pria tidak mau bertanggung jawab, lalu ia mengadukan bahwa si pria telah memperkosannya, maka aduannya tidak dapat diterima karena sebelumnya ia melakukan dengan pasangannya, berdasarkan rasa suka sama suka tanpa ada rasa disakiti. Oleh karena itu hal ini tidak dapat dikatakan sebagai pemerkosaan. Untuk itu penulis mengambil contoh kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok di Jl. Rawa Sari Rt 01 Rw 06 kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas. Yang diketahui bahwa yang menjadi korban Yeni Sofiayanti binti Romadon adalah anak perempuan yang berusia belum cukup umur 15 tahun atau perempuan itu belum masanya untuk kawin. Pemerkosaan itu terjadi di rumah terdakwa Rozali bin Bahusin. Pelaku adalah seorang pria berusia 66 tahun, 6 seorang Purnawirawan TNI. Tindak pidana tersebut dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.00 WIB pada saat di rumah pelaku sedang sepi. 2 Menimbang berdasarkan dakwaan yang dibuat Penuntut Umum dakwaan disusun secara Alternatif, yaitu: Kesatu: Primair: Pasal 287 ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 290 ayat (2) KUHP; Kedua: Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak; Setelah hakim melihat petimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Mengadili bahwa Rozali bin Bahusin dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana “Melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya belum berusia 15 (lima belas) tahun”. Maka majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa Rozali bin Bahusin dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Pemerkosaan pada anak di bawah umur bukan merupakan hal yang baru pada saat ini. Perbuatan keji ini akan semakin berkembang apabila tidak dihadapi dan diselesaikan secara hukum yang tegas dan adil. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur berdasarkan analisa data Putusan Pengadilan Negeri Depok (No.475/PID/B/2008/PN.DPK), dengan 2 Putusan Pengadilan Negeri Depok, (tertanggal 21 Agustus 2008) NO..REG.785/PID/B/ 2008/PN.DPK Tentang Tindak Pidana Pemrkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur. 7 judul TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (Kajian Atas Putusan PN Depok). B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam masyarakat sering sekali kita melihat dan membaca berita dalam surat kabar dan lainnya mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang di lakukan oleh orang dewasa. Namun, selain orang dewasa yang menjadi pelaku ada pula anak-anak dan orang tua yang lanjut usia, seperti dalam skripsi ini, penulis mengangkat judul tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dalam pandangan hukum pidana islam. Untuk itu penulis hanya memfokuskan pada sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemerkosaan anak di bawah umur dalam kajian Pengadilan Negeri Depok menurut pandangan hukum Islam. 2. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Depok Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak di bawah Umur ? 8 2. Bagaimana Pandangan Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok dengan No Perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK Tentang Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur ? 3. Adakah ketimpangan hukuman dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok dalam Pandangan Hukum Pidana Islam ? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu: a. Untuk mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Depok Terhadap Tindak Pindana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur. b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok dengan No perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK Tentang Pemerkosaan Anak di Bawah Umur. c. Untuk mengetahui ketimpangan hukum yang terjadi pada putusan Pengadilan Negeri Depok dalam pandangan Hukum Pidana Islam. Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu : a. Secara Akademis Manfaat dari penulisan ini dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pembaca dan khususnya penulis mengenai tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, beserta ketentuan-ketentuan hukuman yang diberikan kepada pelaku sesuai dari sebab perbuatannya dan pengurangan hukuman akibat faktor lainnya. 9 b. Secara Praksis Dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana pemerkosan terhadap anak di bawah umur, terutama mengetahui sanksi hukum yang dapat diterima oleh pelaku, sehingga dapat dijadikan sebuah pembelajaran terhadap masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan tersebut. Dan dapat juga memberikan masukan atau rekomendasi atas delik perkosaan dalam KUHP terhadap elemen kejahatan maupun sistematikanya. D. Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap tindak pidana pemerkosaan akhir-akhir ini menjadi pembahasan aktual dan fenomenal dimasyarakat, sehingga banyak penelitian yang dilakukan dari berbagai tingkat akademis yang berbeda, seperti skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Bagi Pelaku Kejahatan Pemerkosaan Akibat Gangguan Kejiwaan yang ditulis oleh Bustimi. Dalam skripsi tersebut ia berhasil menjelaskan tentang masalah Tindak Pidana Perkosaan dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif, dimana ia mengambil kesimpulan bahwa dalam hukum Islam pelaku perkosaan terhadap anak dikenakan hukuman hadd, akan tetapi karena pelaku mengalami gangguan jiwa maka dikenakan sanksi ta’zir. Sedangkan penelitian yang lainnya berkaitan dengan judul buku, seperti Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, karya DR. Muhammad 10 Abduh Malik, dalam buku ini penulis menjelaskan mengenai zina dan hukumannya menurut pandangan Hukum Islam dan KUHP. Di mana dia menjelaskan mengenai sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku Zina dalam Hukum Islam dikenakan dengan hukuman hadd, sedangkan dalam Hukum Positif perbuatan perkosaan (zina) yang dilakukannya dengan kekerasan atau memaksa, dikenakan sanksi hukum Pasal 287 KUHP mengenai kejahatan kesusilaan. Walaupun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan masalah tindak pidana permerkosaan sudah bannyak, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan dari penelitian tersebut pada intinya belum menyentuh tentang masalah pemerkosaan anak di bawah umur dalam Kajian Putusan Pengadilan Negeri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang membahas Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur dalam kajian Putusan Pengadilan Negeri, dengan kasus Pengadilan Negeri Depok. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti, berupa mengupas dan mencermati secara ilmiah mengenai Putusan Pengadilan Negeri Depok mengenai Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di Bawah Umur. 11 2. Tekhnik Pengumpulan Data Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu berupa studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data yang terdapat di Pengadilan Negeri Depok berupa Putusan Majelis Hakim (No.475/PID/B/2008/PN.DPK) Sedangkan jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder, yang terdiri dari: 1. Data primer meliputi Dokumen Putusan Pengadilan Negeri Depok, Perundang-undangan yakni KUHP dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan ketentuan-ketentuan fiqh yang mengatur permasalahan yang ada. 2. Data sekunder meliputi buku-buku Jinayah seperti Tasyri al Jinaiy’al-Islami, media massa, artikel-artikel, situs internet dan data tertulis lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 3. Data tersier yang berupa kamus-kamus dan ensiklopedi. 3. Tekhnik Analisis Data Adapun cara yang digunakan dalam menganalisis data, adalah dengan Deskriptif Analitis atau penelitian yang menggambarkan secermat mungkin tentang hal-hal yang diteliti, dengan jalan mengumpulkan data melalui metode penelitian kepustakaan atau metode penelitian lapangan yang berkaitan dengan apa yang diteliti, dan tekhnik yang digunakan adalah tekhnik content analysis, 12 yaitu menganalisis masalah pokok yang diteliti menurut isinya. Dalam hal ini masalah pokoknya adalah Sanksi Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak di bawah Umur Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam. Adapun tekhnik penulisan ini, penulis menggunakan bimbingan skripsi dengan berpedoman pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi ”, yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan pemahaman yang terarah komperhensif dalam pembahasan masalah ini, penulis merumuskan sistematika penulisan dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut: Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab kedua, pada bab ini membahas tinjauan umum tentang tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur meliputi istilah perkosaan dan pemerkosaan dalam kuhp, hukum islam. Batasan usia anak menurut kuhp, uupa, konvensi hak anak, hukum islam, faktor penyebab tindak pidana pemerkosaan terhadap anak, Sanksi pidana pemerkosaan menurut hukum positif, sanksi pidana pemerkosaan menurut hukum pidana islam. 13 Bab ketiga, pada bab ini dibahas analisa putusan pengadilan negeri depok tentang tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di bawah umur meliputi kronologi perkara, putusan dan pertimbangan hakim. Bab keempat, pada bab ini dibahas analisa pandangan hukum pidana islam terhadap putusan pengadilan negeri depok tentang tindak pidana pemerkosaan meliputi analisa pertimbangan hakim, analisa putusan hakim terhadap putusan pengadilan negeri depok. Bab kelima, bab ini merupakan bab penutup. Pada bab ini penulis akan menarik kesimpulan dan saran-saran mengenai apa yang diambil dalam judul skripsi ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR A. Pengertian Pemerkosaan Terhadap Anak 1. Istilah Perkosaan dan Pemerkosaan Perkosaan berasal dari kata dasar ”perkosa” yang berarti paksa, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa, melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses cara perbuatan memperkosa dengan kekerasan. Dengan demikian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia perkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita. 1 Perkosaan tidak hanya terjadi kepada wanita yang dewasa tetapi sering pula terjadi pada anak-anak. Jadi perkosaan menurut yuridis adalah perbuatan memaksa seseorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.2 Dalam buku karangan Suryono Ekotama tentang Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, dia mengutip beberapa pengertian perkosaan dalam Black’ 1 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), h.673 2 Suryono Ekotama et al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 2001), cet.Ke-1, h.96 14 15 Low Dictionary dijelaskan bahwa ada tiga kalimat yang hampir sama tapi unsurunsurnya berbeda. Perkosaan bisa diartikan sebagai: 1. Suatu hubungan kelamin dengan seorang wanita yang dilarang dan tanpa persetujuan wanita tersebut. 2. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak wanita yang bersangkutan. 3. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan di bawah kondisi ancaman lainnya. 3 Jika dilihat secara makna, perkosaan dan pemerkosaan memiliki arti yang sama, yaitu berasal dari arti kata perkosa. Akan tetapi kata perkosaan dan pemerkosaan memiliki penjelasan yang berbeda. Perkosaan adalah perbuatan persetubuhan dengan seorang wanita yang bukan isterinya dengan cara paksaan, sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses cara perbuatan memperkosa dengan kekerasan. Berdasarkan perbuatan secara paksa sebagaimana yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ada empat unsur yang dominan pada perbuatan kekerasan, yakni: 1. Orang yang melakukan paksaan. 2. Orang yang dipaksa. 3 Ibid, h.99 16 3. Ancaman yang diberikan si pemaksa kepada orang yang dipaksa. 4. Ucapan atau perbuatan yang dilarang oleh syara’. Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur atau disebut juga pencabulan, dikenal dengan istilah “Pedophilia”, yang berasal dari kata “Pais atau Paidos” yang berarti anak, kata “Phileo atau Philos” yang berarti mencinta. Pedophilia secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelampiasan nafsu seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai instrumen atau sasaran dari tindakan itu. Kartini kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, mengartikan pedophilia sebagai rasa gejala orang dewasa untuk tertarik dan mendapatkan kepuasan seksual dengan melakukan persetubuhan dengan anak-anak. Tindakan pedophilia yang dilakukan oleh pria yang sudah menikah dan memiliki kelainan heteroseksual, biasanya tertarik untuk melakukan kekerasan seksual pada anak-anak perempuan yang berusia 8-12 tahun, hal ini disebabkan adanya masalah pekerjaan dan kerusakan dalam rumah tangga. Sehingga memandang anak-anak perempuan sebagai pengganti orang dewasa dalam melakukan hubungan seks. Pria heteroseksual juga biasanya senang bergaul dengan anak-anak perempuan, dengan kedekatannya terhadap anak perempuan secara berangsurangsur, maka ia mencoba merayu dan membujuk dengan memberikan sesuatu imbalan, sehingga ia dapat melakukan perbuatan seksual dengan anak tersebut. 17 Tindakan pedophilia dapat berupa perbuatan ekhshibionistis yaitu dengan cara memperlihatkan alat kelamin pada anak-anak, membelai-belai, menciumi, mendekap, menimang, dan manipulasi tubuh anak-anak lain-nya, ataupun dalam tahapan senggama dengan anak-anak, merupakan unsur untuk merangsang atau membujuk anak agar mau memegang alat kelamin orang tersebut. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyimpangan seksual terhadap anak-anak (pedophilia) adalah perilaku seksual yang menyimpang dengan menjadikan anak-anak sebagai objek pemuasan hawa nafsu dan perilaku ini dipandang menyimpang baik dilihat dari norma hukum dan agama. a. Pemerkosaan dalam KUHP Diketahui bahwa perkosaan menurut konstruksi yuridis perundangundangan di Indonesia (KUHP) adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengannya, dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat, baik secara fisik maupun psikhis pada wanita tersebut.4 Dalam hal perkosaan di atas, dalam aturan hukum di Indonesia yang masih melestarikan KUHP warisan kolonial Belanda, pada prinsipnya tidak ada ancaman hukuman bagi seseorang perawan dan bujangan yang melakukan 4 Ibid,. h.96 18 senggama, kecuali apabila salah satunya telah mempunyai pasangan, baik ia sebagai suami atau pun sebagai istri maka ada ancaman hukuman bagi mereka manakala istri atau suami yang seorang itu mengadukan kepada yang berwajib. Oleh karena itu tim perumus RUU KUHP pada saat ini melakukan perubahan mendasar dengan memperluas cakupan tindak pidana pemerkosaan. Bahkan diperinci tindak pidana apa saja yang masuk kategori itu. Sebut misalnya, oral seks dan sodomi yang sudah masuk kategori pemerkosaan. Selain oral seks dan sodomi, paling tidak masih ada tujuh jenis tindak pidana pemerkosaan lain. Sumber : Pasal 423 ayat (1) dan (2) RUU KUHP5. Cakupan Tindak Pidana Perkosaan Menurut RUU KUHP 1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; 2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut; 3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; 4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; 5) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya; 6) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahuinya bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; 5 http://www.hukumonline.com 19 7) Dalam keadaan seperti tercantum di atas, lalu laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; 8) Laki-laki memasukkan suatu benda yang buksan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. b. Pemerkosaan dalam Hukum Pidana Islam Dalam Hukum Islam perkosaan adalah terjadinya hubungan kelamin pria dan wanita dalam keadaan terpaksa dan terjadi di luar pernikahan yang sah dan dapat dikategorikan jarimah zina. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, yang dikutip dalam kitabnya AtTasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Perkosaan adalah Tindak Pidana yang diancam hukuman had karena dapat diartikan sebagai perbuatan zina. Menurut ulama Hanafiyah mendifinisikan zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada subhat dalam miliknya, sedangkan menurut ulama Malikiah, yang diamaksud dengan zina adalah hubungan senggama yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji wanita yang bukan haknya dengan kesengajaan. 6 Perkosaan dalam Islam memang tidak diatur secara detail dalam AlQur’an, namun para ulama telah sepakat bahwa pelaku pemerkosaan dikenakan hukuman had dan tidak ada hukuman had bagi wanita yang diperkosa, karena 6 h. 6-7. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-2, 20 hal ini adalah zina dengan pemaksaan ( ) اطء آا, sementara pengertian paksaan secara bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak disukainya secara paksa, sedangkan menurut fuqaha adalah menggiring orang lain untuk berbuat sesuatu yang tidak disukainya dan tidak ada pilihan baginya untuk meninggalkan perbutan tersebut.7 Di mana keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat, yaitu seorang wanita yang menjadi korban dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang. Dengan demikian korban tidak dikenai hukuman atau dengan kata lain terlepas dari pertanggungjawaban pidana. 8 Sebagaimana firman Allah ... َِن3ِJِْ KِLَ3ْMُ ُ#ُْ0َََ وNِْ َْ أُآ7ِإ... Artinya: Kecuali orang-orang yang dipaksa padahal hatinya tetap beriman. (QS. An-Nahl: 106) Dan disamping itu Nabi bersabda: N } روا#0 هاR=ن و اﺱO ء واM" ا= اQ9ر {ا ن Artinya: Terangkat (dihapuskan) dari umatku, kekeliruan, lupa dan perbuatan yang dikerjakan dengan terpaksa. (HR. Ibnu Hibban) 2. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam 7 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Daar al-Fikr, 1984), Juz V, 8 A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1962), cet. Ke-3, h.56 h.386 21 Anak adalah karunia illahi yang harus kita terima dan kita jaga. Orang tua harus menjaga dan mendidik anak agar ia kelak menjadi anak yang berguna. Perlindungan terhadap anak dalam lingkungan sekolah, masyarakat harus kita perhatikan, jangan sampai terjadi pada anak atau keluarga kita suatu kejahatan yang sering terjadi pada saat ini seperti kejahatan pemerkosaan anak di bawah umur. Batasan usia anak dalam hukum positif di Indonesia berbeda-beda, berikut adalah aturan hukum positif yang mengatur batas usia anak: a. Batasan Usia Anak Menurut KUHP Dalam hukum pidana positif di Indonesia, umur bagi anak yang dikatakan belum dewasa atau di bawah umur telah tertuang dengan jelas dalam KUHP Pasal 45 yang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun. Alasan dalam KUHP menyatakan batasan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 16 tahun, karena anak yang di bawah usia 16 tahun belum dapat mempertanggung jawabkan pidana. 9 Dengan maksud anak di bawah 16 belas tahun dapat dikatakan belum cakap hukum atau belum dapat mempertanggung jawabkan perbutan yang ia lakukan dan belum dapat berfikir mana yang baik dilakukan atau buruk apabila ia lakukan. b. Batasan Usia Anak Menurut Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 9 Muljatno, Kitab-Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) cet. Ke-20 22 Dalam pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Alasan UUPA menyatakan batasan umur anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, karena menyesuaikan dengan batasan usia anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak)10. c. Batasan Usia Anak menurut Konvensi Hak Anak Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun, mereka berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus, karena ketidak matangan jasmani dan mentalnya. Mereka memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang baik, sebelum dan sesudah kelahiran (Deklarasi Hak Anak).11 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pemerintah melalui Keppres No. 36/1990, menyatakan anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan istilah ‘anak’ yang dimaksud adalah orang yang belum 10 Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Undang-undang Perlindunggan Anak, (Jakarta: Asa Mandiri, 2007) cet. Ke-4 11 Siti Lestari dan Veronika, “Undang-undang Perlindungan Anak dan KPAI: Jalan Kekerasan Terhadap Anak” Suara Apik, (Jakarta edisi 24 tahun 2004), h.4 23 dewasa, dalam arti belum memiliki kematangan rasional, emosional, sosial, dan moral seperti orang dewasa. Dengan demikian, hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak harus dilihat sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa persetujuan atau consent dari anak. Hubungan itu tidak dapat didefinisikan sebagai hubungan suka sama suka. Bila orang dewasa melakukan pendekatan seksual, baik dengan penganiayaan fisik ataupun melelui manipulasi dan eksploitasi anak dengan perkembangan kognitif, moral, emosional, dan tidak dapat berpikir rasional serta tidak dapat menolak pendekatan seksual tersebut, maka kejahatan seksual terhadap anak akan dapat terjadi. Oleh karena itu, setiap kontak seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak harus dianggap dengan sendirinya sebagai tindak kekerasan. Dalam hal orang dewasa memperlakukan anak sebagai sasaran pelampiasan pemenuhan kebutuhannya, yang artinya telah memperlakukan anak sebagai objek manipulasi atau mengeksploitasinya tanpa peduli anak belum memiliki kesiapan untuk memahami apa yang terjadi, serta belum mampu bertanggung jawab atas apa yang terjadi, sehingga menjadikan anak untuk tidak menolak dalam melakukan hubungan seks karena keberadaan anak dalam posisi sangat rentan, hal ini merupakan alasan pendekatan seksual yang dilakukan orang dewasa pada anak. d. Batasan Usia Anak Menurut Hukum Islam 24 Adapun ukuran seorang anak dapat dikatakan sudah baligh apabila pada dirinya sudah ada salah satu dari sifat di bawah ini yaitu: 1. Telah sampai berumur 15 tahun 2. Telah keluar mani bagi anak laki-laki 3. Telah keluar darah kotor (haidh) bagi anak perempuan Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasul SAW:12 / ,1 نA ا ﺱ:# < اV رW9D ل ا ZV : ل3 ا,Q9 ,YA 3 <ا ,د9 ةD Q و أ ا أر/ ا ص م م أ0 ز$ +9 ةD Y3 ق وأ ا/" م ا#0 ZVو ه*ا:3 ]ل9 W ا/ 3 # Z^/_9 :Q9 ل, اVA أن:# 3 ^& آ=` إ,10- ]3 وا1ق ا *ر9 .1 ا *ر9 ةD Q و أر,10- ]3 ا9 ةD Y3 Artinya: Imam Syafi’I berkata: kami di kabarkan oleh sufyan ibn Uyaynah, dari Abdillah ibn Umar ibn Hafshin dari Nafi dari ibn Umar, berkata aku mendatangi (untuk ikut perang) Nabi SAW pada tahun Uhud, dan aku ketika itu berusia empat belas tahun maka Rasulullah menolakku, kemudian aku mendatangi Rasulullah kembali pada tahun Khandak, dan usiaku sudah lima belas tahun, maka Rasulullah membolehkan aku untuk berperang, Nafi berkata aku menceritakan hal itu kepada Umar ibn Abdil Aziz, maka Umar berkata ini lah perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa (dalam hal peperangan) kemudian Umar mewajibkan kepada pekerjanya agar mereka mewajibkan anak-anak mereka untuk turut berperang pada usia lima belas tahun, dan sedangkan pada usia empat belas tahun mereka termasuk anak-anak. 12 Al-Syafi’I, Al-Umm, (Beirut-Libanaon: Daar al-Wafa, 2005) Juz ke-5, cet. Ke-3, h. 371 (sama dalam hal pembahasan zina) 25 Mernurut para fuqaha, kemampuan berfikir pada anak dimulai sejak ia berusia lima belas tahun. Apabila anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia delapan belas tahun; menurut suatu riwayat sembilan belas tahun bagi laki-laki dan tujuh belas tahun bagi perempuan. pendapat popular dalam mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Abu Hanifah karena mereka menentukan usia dewasa delapan belas tahun dan menurut sebagian yang lain sembilan belas tahun. 13 B. Faktor Penyebab Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Dalam Islam perkosaan sudah jelas-jelas dilarang baik dalam al-Qur’an maupun Hadist Nabi. Karunia Allah berupa hawa nafsu sering kali tidak dapat dikendalikan dan justru malah berakibat merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Dan Allah juga menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan akalnya, agar tidak terjadi suatu kejahatan atau perbuatan buruk, contohnya seperti tindak pidana pemerkosaan. Selain hawa nafsu yang menjadi faktor penyebab tindak pidana pemerkosaan, adapun beberapa faktor lainnya, yakni:14 1. Faktor psikis dan kejiwaan 13 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, (Beirut Libanon: Muassasah Ar-Risalah,1992), h. 253 14 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung : PT. Refika Aditama, 2001),cet. Ke-1, h. 66-67 26 Menurut seksolog Naek L. Thobing, faktor kejiwaan ini biasanya merupakan refleksi dari terkombinasinya beberapa unsur dari pelaku secara bersamaan, yakni: 27 a. Unsur Anger (amarah) Amarah biasanya menimbulkan rasa dendam, maka seseorang sering kali melakukan pembalasan dengan balas dendam yang menyakitkan yaitu dengan cara memperkosa atau melakukan pencabulan dan lain-lain. b. Unsur Power (kekuatan) Penggunaan unsur kekuatan dalam kejahatan ini dapat terjadi di karenakan adanya hubungan (relasi) yang tidak seimbang. Hal ini dapat terjadi karena adanya perasaan tertekan atau stres pada pelaku. Faktor kejahatan ini terjadi karena pelaku menjadi gambaran sosok manusia yang gagal mengendalikan emosi dan naluri seksualnya secara wajar. c. Unsur Pedophilia Secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan pelampiasan nafsu seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai instrument atau sasaran dari tindakan itu. 2. Faktor merosotnya norma susila dan kontrol sosial Kejahatan pencabulan dapat terjadi disebabkan adanya pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh masyarakat, serta semakin menipisnya kontrol sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Fakor-faktor ini antara lain, lemahnya iman dan pengendalian hawa nafsu serta kian banyaknya stimulasi seksual. 28 3. Faktor interaksi dan situasi Faktor interaksi dapat terjadi melalui hubungan dan komunikasi yang lebih dekat dan terbuka, seperti sering tidur bersama dalam satu kamar dengan orang yang bukan muhrimnya. Faktor situasi biasanya terjadi di karenakan ada kesempatan yang membuat pelaku untuk berbuat kejahatan tersebut, seperti jauh dari keramaian, suasana sepi dan ruangan yang tertutup, yang memungkinkan pelaku leluasa menjalankan aksi-aksi kejahatanya. 4. Faktor ekonomi Faktor ekonomi juga dapat mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan seksual seperti pemerkosaan. Sebagai contoh: seorang pria yang merasa kesepian setelah menduda ditinggal isteri dan tidak memiliki pekerjaan, oleh karena itu ia akan selalu dirundung ketegangan seksual dan kegelisahan, sehingga penyaluran seksual akan terjadi dengan cara apapun termasuk dengan cara pemerkosaan, di mana seharusnya pelampiasan ketegangan dan kegelisahan seksual tersebut dapat disalurkan dengan kesibukan bekerja atau mencari uang demi mempertahankan hidup. 5. Faktor kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan Kemajuan IPTEK dan berkembanganya budaya yang tidak diimbangi dengan peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam masyarakat akan menimbulkan berbagai konflik dan kehancuran dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan film-film porno, gambar-gambar yang dapat merangsang birahi dalam media massa. Atau maraknya majalah-majalah porno serta video 29 kaset yang berisikan hal-hal yang merangsang merupakan sarana yang menjembatani kepada mudahnya mendapatkan kebebasan seks yang merupakan faktor-faktor yang dapat merusak moral. Akibat dari tindak pidana pornografi dan tindak pidana pornoaksi, seperti yang sering dinyatakan oleh televisi maupun berita-berita melalui madia cetak di Indonesia, adalah banyaknya kasus pemerkosaan, perzinaan, aborsi, bahkan pembunuhan. Pemerkosaan akibat tindak pidana pornografi maupun tindak pidana pornoaksi telah banyak dilakukan, meskipun pornografi dan pornoaksi bukan satu-satunya peyebab terjadinya pemerkosaan. Penulis mengambil kesimpulan bahwa hawa nafsu merupakan faktor utama yang menjadi penyebab tindak pidana pemerkosaan, di mana hawa nafsu tersebut tidak dapat dikalahkan oleh akal dan telah terkombinasi dengan beberapa unsur dari pelaku yang datang secara bersamaan seperti unsur amarah, kekuatan, merosotnya norma susila dan ekonomi, sehingga menjadikan faktor tersebut sebagai alasan kesempatan untuk melakukan kejahatan pemerkosaan. Di dalam al-Qur’an Allah banyak menyinggung hukum yang mengenai pengaturan nafsu seksual. Nafsu dan akal lah yang dapat membedakan antara manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, di mana akal sebagai pengendali hawa nafsu, sedangkan binatang hanya memiliki hawa nafsu dan tidak dapat dikendalikan, karena tidak memiliki akal. 30 Dalam hukum Islam kita mengenal dua sumber hukum utama, yaitu AlQur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan penyaluran hawa nafsu seksual tersebut, ada Hadits Nabi Riwayat Muslim yang menyatakan: / أ-+ و ا رﺱل ا< أ،1/b &آ/ أQc :9و ام:9 4WV ل ارء=& و،$ أ49 # نR و#-4ﺵ $ أ# ل آنe_ ا:9 4WV اذا وg *R9 وزر#0 آن (&0O N)روا Artinya: “Dalam pernikahan baru kamu sekalian adalah shodaqoh. Bertanya para sahabat kepada Rasullulah apakah seseorang yang memenuhi syahwatnya memperoleh pahala? Beliau menjawab sebagaimana pendapatmu jika dilaksanakan dengan cara haram maka ia berdosa, dan jika ia memenuhinya dengan cara halal maka ia akan memperoleh pahala”. (HR: Muslim) Dengan demikian, hubungan kelamin dalam Islam tidak ditabukan, malah akan dapat pahala jika cara melakukannya dengan cara halal, cara-cara hubungan kelamin secara halal itu hanya dapat dilakukan dalam suatu lembaga perkawinan yang akan mengikat pria dan wanita menjadi hubungan suami-istri dalam suatu keluarga. C. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak menurut Hukum Positif Secara yuridis, pemerkosaan merupakan sebuah kejahatan yang membawa dampak buruk bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Ancaman pidana berat bagi pelaku pemerkosaan dimaksudkan agar Negara memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap dan perilaku terpidana agar tidak berbahaya lagi dan hidup 31 normal di dalam masyarakat serta memberi peringatan kepada masyarakat lain agar tidak melakukan perbuatan serupa.15 Dari tindak pidana pemerkosaan terhadap anak atau penyimpangan seksual terhadap anak telah ditentukan hukumannya dalam Pasal 287 KUHP : Ayat (1) “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus di duga , bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Ayat (2) “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pasal 291 dan pasal 294”. Pasal 287 KUHP ini juga terdapat di dalamnya semacam unsur paksaan meskipun paksaan yang bersifat psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena usia perempuan itu belum cukup umurnya atau belum cukup lima belas (15) tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, karena itu masuk ke dalam ruang lingkup pemerkosaan. Oleh karena itu pula dalam hal ini karena perbuatan bersetubuh tersebut dipandang salah dan dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun, seharusya penuntutan dilakukan tidak atas dasar pengaduan. Sama halnya dengan 15 Suryono Ekotama,et al ,Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaaan, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya,2001), cet. Ke-1, h. 96 32 perbuatan bersetubuh yang dilakukan terhadap perempuan yang umurnya belum sampai 12 tahun.16 Adanya pemerkosaan terhadap anak tersebut didasarkan pada terbentuknya kejahatan dalam Pasal 287 KUHP, yang maksudnya memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatanperbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional apabila anak yang telah menjadi korban dan dia dikenai pidana. Akan tetapi, apabila pada perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka dan padahal laki-laki itu telah beristri, maka Pasal 27 BW berlaku bagi laki-laki tersebut, karena keadaan ini telah diketahui oleh wanita pasangan yang bersetubuh itu. Seperti perbuatan yang dijelaskan di atas, maka wanita tersebut tidak boleh dipidana karena berdasarkan pada Pasal 287 KUHP perbuatannya itu kehilangan sifat melawan hukum. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di luar undang-undang. Sementara itu, terhadap si pria yang telah beristri ini telah melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284 KUHP sebagai pleger (pembuat pelaksana) dan Pasal 287 KUHP sebagai dader (pembuat tunggal).17 16 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta : Bulan Bintang,)cet. Ke-1 h. 180-181. 17 Adami Chazawi, S.H, Tindak Pidana Mengenai Kwsopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.71 33 Selain dalam pasal yang telah disebutkan di atas, terdapat juga dalam pasal lain, yakni Pasal 290 KUHP, yang menyatakan: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; Ayat (1) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya”. Ayat (2) “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”. Ayat (3) “Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau persetubuhan di luar pernikahan dengan orang lain”. Tindak pidana pemerkosaan tidak hanya dimuat dalam KUHP, melainkan dalam undang-undang khusus juga dimuat, yaitu di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 menyatakan: Ayat (1) “Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”. 34 Ayat (2) “Ketentuan pidana sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan perstubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Pasal 82 menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakuakan atau membiarkan untuk dilakuakan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”. Dilihat dari kedua Hukum Positif di atas yaitu KUHP dan Undang- undang Perlindungan Anak, ancaman sanksi pidana pada Undang-undang Perlindungan Anak lebih berat dibanding dengan sanksi pidana KUHP. Akan tetapi pemerintah masih lebih mengunakan KUHP dalam memberikan putusan kepada pelaku, sehingga pelaku tidak jera dari hukuman yang diberikan oleh Majelis Hakim di persidangan. D. Sanksi Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Islam Tindak pidana kesusilaan seperti pemerkosaan (zina) termasuk dalam salah satu kategori jarimah hudud. Hudud secara etimologi bentuk jamak dari kata “hadd” membatasi.18 Hudud secara istilah yakni peraturan atau undang-undang 18 Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta, Multi Krya Grafika, 1998), cet. Ke-4, h. 696 35 dari Allah yang bersifat membatasi atau mencegah yang berkenaan dengan halhal yang boleh dan yang dilarang (haram).19 Dimana jarimah ini merupakan hak Allah secara mutlak. Sanksi hukuman pelaku pemerkosaan selain dihukum seperti pelaku zina, juga dihukum dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atas paksaan kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk mempelancar perbuatan perkosaannya. Dengan sangat tegas hukum Islam telah menentukan mengenai kejahatan terhadap kesusilaan (zina). Pada dasarnya kejahatan terhadap kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, dikarenakan menyangkut kehormatan manusia. Dalam pandangan Islam soal moral seks tidak sembarangan, maka segala hal yang mendekati zina juga dilarang. Sebagaimana firman Allah SWT: (32/17 :ﺱاءJً )اeَِءَ ﺱBًَ وَﺱ1َDَِ9 َُ آَن#7َِ إ5 َ]َُْا ا-ََو Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk ”. (QS. Al-Isra’: 17/32) Dalam Hukum Islam menjatuhkan suatu sanksi bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, diperlukannya minimal empat orang saksi laki-laki yang adil dan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan orang yang melakukan perbuatan tersebut harus mengakui secara terus terang. Contohnya Bayyinah atau Hujjah ialah berupa petunjuk alat bukti. 19 h. 24 Ahmad hanafi, Azas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet.Ke-1, 36 Alat-alat bukti yang paling pokok atau hujjah syar’iyyah yang diperlukan dalam sebuah pembuktian adalah: 1. Iqrar (pengakuan) yaitu hujjah bagi si pelaku memberi pengakuan sendiri. 2. Syahadah (kesaksian) yaitu hujjah yang mengenai orang lain. 3. Qarinah (qarinah yang diperlukan).20 Apabila kasus pemerkosaan itu betul-betul telah memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka zina baru dapat dijatuhi sanksi dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an bagi pelaku zina, sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S An-Nuur: 2 '() &% ☺ !"#$% ☺!2 ,-./ *+ <= :; 7689 6 345 :;, )<A@%" ">?@ FGHIJ CDAE ☺ !2⌧) !K9E IP$% 3⌧MN;O (2/24 :)ا ر )6Q@%"☺E Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. 20 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Muqoronan bil qanunil wad’iy, juz I, (Beirut-Libanon: Muassasah Ar-Risalah, 1992), h. 441 37 Nabi Muhammad saw. Menyatakan: ل ل رﺱل ا< ص م *وا# < اV رZ l دة ا 1 ﺱA ءة و/0$ R R اe ﺱ4 < ا8W$ / *وا .&0O N روا:&$ ءة وا/0$ `m `m وا Artinya: “Dari ‘Ubadah bin As-samit r.a. ia berkata Rasulullah saw. Telah bersabda: kutibla dari aku. Kutiblah dari aku, sesungguhnya Allah telah menjadikan (menunjukkan) jalan, bikir dengan bikir dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, dan saiyib dengan saiyib dicambuk seratus kali dan rajam”. (H.R. Muslim)21 Berikut adalah penjelasan hukuman bagi pelaku zina: 1. Hukum dera dan pengasingan Hukuman dera dilakukan sampai seratus kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun terhadap zina yang dilakukan oleh orang yang belum beristri (ghairu muhsan) dan terhadap korban perkosaan tidak diberikan sanksi karena dia mendapat paksaan beserta ancaman dari pelaku. Pengertian dera yang dikhususkan untuk pezina yang belum menikah, dinyatakan oleh banyak periwayat, diantaranya seperti Ibnu Abbas yang mendengar Umar Bin al-Khattab berkata, bahwa hukum 21 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta : Bulan Bintang,)cet. Ke-1 38 rajam ditegakkan atas pria atau wanita yang berzina sedangkan mereka telah menikah, baik itu dengan adanya bukti yang kuat berupa kehamilan atau pengakuan (Ikhtilaf al-Hadits, 1985) Vol.I, h.221. Dalam penambahan hukuman pengasingan ini para ulama berbeda pendapat, yaitu: a. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa tidak mesti dihukum buang atau di asingkan saat hukum pengasingan diserahkan kepada pertimbangan yang memutuskan (hakim). b. Menurut Imam Ahmad bahwa rasanya hukuman dera seratus kali belum cukup, sehingga perlu ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. c. Menurut Imam Malik bahwa yang dikenakan hukuman pengasingan hanya pria saja, sedangkan bagi wanita tidak ada sanksi apa-apa. d. Menurut Imam Syafi’i, al-Qurtubi dan para khulafaurasyidin mereka menyatakan bahwa perlu didera dan diisolasikan bagi para pezina mukhson.22 2) Rajam Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu yang dikenakan kepada pelaku zina mukhsan (orang yang 22 As’ari Abdul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta: Grafindo Utama, 1997), hal 43-44. 39 sudah beristri) baik pria maupun wanita para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi tsayyib (orang yang sudah menikah) itu dijilid seratus kali lalu dirajam ataukah hanya dirajam saja. Ada yang menggabungkan kedua hukuman tersebut dengan alasan bahwa jilid itu adalah hukuman pokok, sedangkan diasingkan setahun baik bikr (orang yang belum menikah) dan rajam bagi tsayyib itu merupakan hukuman tambahan.23 23 A. Djazuli, Fikh Jinayah Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Raja Grafindo, 1997), hal 43-44 BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR Sering kita jumpai dalam masyarakat berbagai macam kasus pelanggaran kesusilaan seperti pemerkosaan. Korban tindak pidana pemerkosaan yang terjadi pada saat ini tidak hanya pada orang dewasa bahkan juga pada anak-anak. Perbuatan keji ini dilakukan mungkin tidak hanya sekali atau dua kali saja, seseorang yang telah melakukan tindak pidana pemerkosaan tidak akan berhenti sebelum perbuatannya diketahui oleh orang lain. Seperti kejahatan yang dilakukan saudara Rozali bin Bahusin yang beralamat Jalan Rawa sari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Ia melakukan perbuatan bersetubuh dengan anak di bawah umur yaitu Yeni Sofiayanti binti M.Romadon Yang masih berusia 11 tahun. Korban Yeni Sofiayanti adalah tetangga dari saudara Rozali, mereka tinggal berdekatan dengan jarak beberapa rumah. Perbuatan itu telah dilakukan kepada Yeni berulang kali hingga terjadi tiga kali, Yeni yang sebagai korban mengadu kepada Ibunya bahwa ia telah ditiduri oleh Pak Rozali yang tinggal berdekatan dengannya. Korban Yeni adalah anak pertama dari keluarga Bapak M. Romadon dan Ibu Susan. Yeni adalah seorang anak yang lugu dan mudah kenal dengan orang lain. Kebiasaan Yeni melewati rumah pak Rozali telah diperhatikan sejak lama, sehingga pak Rozali tertarik dengan Yeni dan pikiranya ditutupi oleh hasutan setan berupa 40 41 nafsu. Sampai ia berani melakukan pemaksaan kepada Yeni agar mau ditidurinya, setelah itu pak Rozali memberikan imbalan uang sebesar Rp. 20.000,- dengan melarang Yeni untuk menceritakan hal tersebut kepada orang tuanya. Berikut adalah kronologi perkara dan putusan hakim setelah pertimbangannya terhadap kasus terdakwa Rozali yang diadili oleh Pengadilan Negeri Depok dengan Nomor (No.Reg.475/PID/B/PN.DPK); A. Kronologi Perkara Bahwa ia Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN, pada hari selasa, tanggal 11 Maret 2008, sekira pukul 15.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2008, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawa Sari , RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah melakukan perbuatan bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun, kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, yaitu terhadap Saksi korban yang bernama YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, perbutan mana Terdakwa lakukan dengan cara antara lain sebagai berikut: - Bahwa Terdakwa melakukan perbuatannya, yaitu dengan cara antara lain pada saat itu Saksi Korban YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, mau main kerumah teman Saksi korban, dan Saksi korban meewati rumah Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban), yang pada saat itu Terdakwa sedang duduk di teras rumah Terdakwa, lalu Terdakwa 42 memanggil Saksi Korban YENI SOFIAYANTI binti ROMADON, kemudian Saksi Korban menghampiri Terdakwa dan bertanya “mau ngepain Pak Uban?” kemudian Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN bilang “udah diam aja kamu” kemudian Saksi Korban diajak masuk ke kamar Terdakwa dan di dalam kamar Terdakwa tersebut, Saksi Korban disuruh tiduran diatas tikar, kemudianTerdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban) membuka celana Saksi Korban dan memegang-megang kemaluan Saksi Korban, lalu Terdakwa juga membuka celananya, KEMUDIAN Terdakwa menindih Saksi Korban, dan Terdakwa memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan Saksi Korban, kemudian Terdakwa mengerak-gerakkannya naik turun hingga kurang lebih selam 3 (tiga) menit, sampai akhirnya kemaluan Terdakwa mengeluarkan air mani (sperma), dan setelah nafsu Terdakwa telah terpuaskan, kemudian Terdakwa memberikan uang kepada Saksi Korban YENI SOFIAYATI binti M. ROMADON sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah), sambil berkata “jangan bilang sama mamak dan bapak ya?” lalu Terdakwa menyuruh pergi Saksi Korban kemudian Saksi Korban pergi; - Bahwa sesampainya di rumah, Saksi Korban menceritakan kepada Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban), bahwa Saksi Korban telah diberi uang oleh Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban) sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah), kemudian Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban) bertanya kepada Saksi Korban “kamu kenapa diberi 43 uang?” kemudian Saksi Korban menjawab “aku tidak disuruh apa-apa” namun Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban) berusaha menanyakan kepada Saksi Korban, supaya Saksi Korban jujur kepada Saksi, sehingga akhirnya Saksi Korban mengatakan bahwa Saksi Korban telah dicabuli oleh Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban); - Bahwa atas keterangan Saksi SUSAN binti KOSIM (Ibu Saksi Korban) langsung mendatangi rumah Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN (Pak Uban), dan menanyakan hal tersebut kepada Terdakwa, dan Terdakwa pun mengakui perbuatannya, lalu Saksi melaporkan kejadian tersebut kepada Saksi ACHMAD DJAELANI (Ketua RT), dan kemudian melaporkan perbuatan Terdakwa ke Polres Depok. - Bahwa berdasarkan Suarat Visum Et Repertum Puskesmas Pancoran Mas, No.445.3/30 PKM, tanggal 13 Maret 2008, yang ditandatangani oleh dr. Dece Feriyeni, menerangkan bahwa korban yang bernama YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, dengan hasil pemerikasaan sebagai berikut: 1. Pada pemeriksaan kemaluan tampak bekas sobekan pada selaput dara; 2. Pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua; 3. Pada jam dua disertai cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah; 44 Kesimpulan: Ditemukan bekas robekan pada selaput darah pada posisi jam delapan, jam sepuluh, jam dua; perbuatan Terdakwa tersebut diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 287 ayat (1) KUHP; Dalam hal ini Penuntut Umum juga mengajukan Saksi-saksi yang keterangannya di persidangkan sebagai berikut: I. Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, (Saksi korban). II. Saksi SUSAN binti M. KOSIM, (ibu saksi korban). III. Saksi ACHMAD JAELANI. (ketua RT). I. Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, keterangan tidak dibawah sumpah karena menurut Pasal 171 huruf (a) KUHAP, yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin, telah didengar dipersidangan dan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: - Bahwa Saksi menurut Surat Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juli 1997; - Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, sekitar pukul 15.00 WIB, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi sehingga menyebabkan selaput dara Saksi robek; 45 - Bahwa pada waktu itu ketika Saksi mau pergi main, Saksi lewat dirumah Terdakwa dan Terdakwa memanggil Saksi; - Bahwa Saksi bertanya kepada Terdakwa lalu Saksi pun mengikutinya masuk kedalam kamar dan Saksi disuruh berbaring di atas tikar; - Bahwa Terdakwa membuka celana Saksi dan memegang-megang alat kelamin Saksi, lalu Terdakwa membuka celannya dan menindih Saksi juga memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin Saksi, kemudian menggerak-gerakkannya naik turun hingga kurang lebih selama 3 (tiga) menit sampai akhirnya Terdakwa mengeluarkan air mani (sperma); - Bahwa Terdakwa lalu memberikan Saksi uang sebannyak Rp20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan menyuruh Saksi pulang sambil mengancam Saksi agar tidak mengatakan kejadian tersebut kepada mamak dan bapak Saksi; - Bahwa Saksi merasa kesakitan di daerah alat kelamin pada saat Saksi kencing selama kurang lebih 2 (dua) hari dan terasa gatal di daerah alat kelamin Saksi; - Bahwa Saksi mengalami trauma dengan adanya kejadian ini; - Bahwa Saksi menurut hasil visum mengalami luka sobekan pada selaput dara; Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON di atas, Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan; II. Saksi SUSAN binti M. KOSIM, keterangannya dibawah sumpah sesuai dengan agamanya telah didengar dipersidangan dan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 46 - Bahwa Saksi adalah Ibu kandung dari Saksi YENI SOFIAYANTI binti ROMADON; - Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON, menurut Surat Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juli 1997; - Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, sekitar pukul 15.00 WIB, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOIAYANTI binti M. ROMADHON sehingga menyebabkan selaput dara Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON robek; - Bahwa pada waktu itu Saksi heran melihat Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON memegang uang Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah), dan ketika menanyakan Saksi menanyakan siapa yang memberi uang tersebut dan untuk apa, Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON hanya menjawab uang tersebut di dapatkan dari Terdakwa yang biasa dipanggil Pak Uban, dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON berkata tidak melakukan apa-apa; - Bahwa melihat kejanggalan tersebut, Saksi berusaha membuat Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON mengaku; - Bahwa setelah dipaksa, Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun mengaku tadi Terdakwa memanggilnya dan menyuruhnya membuka celananya; 47 - Bahwa mendengar hal tersebut Saksi pun berusaha meyakinkan diri dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON bersumapah bahwa dia tidak berbohong; - Bahwa Saksi tidak sempat memeriksa alat kelamin Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, Saksi langsung menuju rumah Terdakwa dan berbicara baik-baik dengan Terdakwa; - Baha pada saat Saksi bertanya kepada Terdakwa mengenai uang Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) yang diberikan kepada Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON tersebut, Terdakwa membenarkan uang tersebut dari Terdakwa; - Bahwa setelah Saksi menanyakan tentang kejadian Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON yang ditiduri oleh Terdakwa, Terdakwa pun menjawab “kalo iyah emang kenapa, anakmu udah gede”; - Bahwa Saksi pun marah mendengar hal tersebut dan mengadakan penawaran dengan Terdakwa dengan cara damai tetapi harus menganti kerugian sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah); - Bahwa Terdakwa tidak mau menyanggupinya, hingga akhirnya Terdakwa mau membayar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) tapi dengan syarat anak tersebut harus jadi dinikahinya; - Bahwa Saksi menolak tawaran Terdakwa tersebut, karena Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON masih terlalu kecil untuk menikah; - Bahwa Saksi akhirnya pulang dan malamnya Saksi melaporkan hal tersebut ke Ketua Rukun Tetangga yaitu Saksi ACHMAD JAELANI, dan setelah 48 dibicarakan, besoknya baru kami melaporkan hal tersebut ke Polsek lalu ke Polres Depok dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun divisum, yang hasinya terdapat robekan selaput dara; - Bahwa Terdakwa pun langsung ditangkap dan diproses; - Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON Mengalami trauma dengan adanya kejadian ini; Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi SUSAN binti M. KOSIM di atas, Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan; III. Saksi ACHMAD JAELANI. Keterangannya dibawah sumpah sesuai dengan agamanya telah didengar dipersidangan dan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: - Bahwa Saksi adalah ketua Rukun Tetangga di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecanatan Pancoran Mas, Kota Depok; - Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON, menurut Surat Keterangan Kelahiran, nomor 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juli 1997; - Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, skitar pukul 15.00 WIB, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOIAYANTI binti M. ROMADHON sehingga menyebabkan selaput dara Saksi YENI SOFIAYANTI binti M.ROMADON robek; 49 - Bahwa pada waktu itu Saksi sebagai Ketua Rukun Tetangga di wilayah tersebut mendapat laporan dari Ibu Korban yaitu Saksi SUSAN binti M. KOSIM tentang kejadian yang menimpa anaknya; - Bahwa Terdakwa tinggal sendirian di ruamah tersebut, Istrinya tinggal di daerah lain, anaknya ada yang rumahnya tidak jauh dari rumah tersebut tetapi lain RT; - Bahwa mengenai perilaku Terdakwa di lingkungan Saksi, Terdakwa adalah orang yang tertutup, suka marah, tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan, dan Saksi pun sebagai Ketua Rukun Tetangga jarang berinteraksi dengan Terdakwa tersebut; - Bahwa setelah Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun divisum, yang hasilnya terdapat robekan selaput dara; - Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON Mengalami trauma dengan adanya kejadian ini; Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi ACHMAD JAELANI di atas, Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan; Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: - Bahwa Terdakwa belum pernah di hukum; - Bahwa Terdakwa mengetahui Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, adalah anak-anak ynag belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya; - Bahwa pada hari Selasa, tanggal 11 Maret 2008, skitar pukul 15.00 WIB, bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan 50 Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Terdakwa telah memasukan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Saksi YENI SOFIAYANTI binti ROMADON sehinga menyebabkan selaput dara Saksi YENI SPFIAYANTI binti M. ROMADON robek; - Bahwa pada waktu itu ketika Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON mua pergi main dan lewat di depan rumah Terdakwa lalu Terdakwa memanggil Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON ; - Bahwa Terdakwa membuka menyuruh Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON masuk dalam kamar dan berbaring di atas tikar; - Bahwa Terdakwa membuka celana Saksi YENI SOFIAYANTI binti ROMADON dan memegang-megang alat kelamin Saksi YENI SOFIAANTI binti M. ROMADON, lalu Terdakwa membuka celanya dan menindihnya juga memasukkan alat kelamin Terdakwa kadalam alat kelamin Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, kemudian mengerak-gerakannya naikturun hingga kurang lebih 3 (tiga) menit sampai akhirnya Terdakwa mengeluakan air mani (sperma); - Bahwa Terdakwa lalu memberikan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON uang sebanyak Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dan menyuruh Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pulang sambil mengancam Saski YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON agar tidak mengatakan kejadian tersebut kepada mamak dan bapak Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON ; 51 - Bahwa Ibi kandung dari Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, yaitu Saksi SUSAN binti M. KOSIM DAN Saksi ACMAD JAELANI mendatangi rumahnya, Terdakwa pun mengakui perbuatannya dan bersedia bertanggung jawab untuk menikahi Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON; - Bahwa Terdakwa telah melakukannya kurang lebih 3 (tiga) kali, yang pertama Terdakwa lakukan sekitar sebulan sebelum kejadian ini, pokoknya selang tiap 1(satu) minggu Terdakwa melakukan hal tersebut, Terdakwa lalu memberinya uang Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah); - Bahwa Terdakwa melakukan pebuatan tersebut di rumahnya sendiri; - Bahwa yang pertama dan kedua Terdakwa lakukan di atas tempat tidur di ruang makan, dan yang ketiga Terdakwa lakukan di atas tikar di kamar Terdakwa, dan terdakwa selalu berkata kepadanya jagan bilang siapa-siapa, dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON pun menurutinya hingga akhirnya Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON mengadukan hal ini kepada mamaknya yaitu Saksi SUSAN binti M. KOSIM; - Bahwa Terdakwa sudah 8 (delapan) tahun berpisah dengan orang lain, sehingga Terdakwa mengurus diri sendiri dari uang pensiunan yang Terdakwa dapatkan tiap bulan dari anak Terdakwa, sebesar Rp.700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah); - Bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON menurut hasil visum mengalami luka sobekan pada selaput dara; - Bahwa Terdakwa sangat menyesali perbuatannya; 52 Menimbang bahwa selain keterangan Saksi dan keterangan Terdakwa diatas, juga diajukan barang bukti berupa: - 1 (satu) potong baju warna coklat; - 1 (satu) potong celana kotak-kotak warna coklat; - 1 (satu) potong celana dalam warna putih; - Uang tunai sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah); Barang bukti tersebut telah disita sesuai denga ketentuan hukum yang berlaku, sehingga dapat dipertimbangkan dalam perkara ini sebagai barang bukti yang sah menurut hukum; Menimbang, bahwa terhadap barang bukti di atas, Terdakwa membenarkannya dan demikian juga Saksi-saksi telah membenarkan bahwa barang bukti tersebut pernah diambil dari Terdakwa; B. Putusan dan Pertimbangan Hakim Dalam memberikan putusan, hakim melihat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara dengan setegas-tegasnya dan seadil-adilnya. Hal tersebut meliputi: 1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan. 2. Hal yang Memberatkan dan Meringgankan. 3. Mengadili. 53 Dalam kasus ini Pengadilan Negeri Depok yang mengadili perkara-perkara pidana pada tingkat pertama yang diperiksa secara biasa, telah menjatuhkan putusan sebagaimana tersebut dibawah ini dalam perkara Terdakwa: Nama Lengkap : ROZALI bin BAHUSIN; Tempat Lahir : Lahat; Umur/ Tgl. Lampir : 66 Tahun; Jenis Kelamin : Laki-laki; Kebangsaan : Indonesia; Tempat Tinggal : Jalan Rawasari, RT 01, RW 06, Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok; Agama : Islam; Pekerjaan : Purnawirawan TNI; Pendidikan : SMP Kelas II; Bahwa Terdakwa oleh Penuntut Umum telah di dakwa dengan dakwaan yang disusun secara Alterentif, yaitu: - Kesatu : Primair: Pasal 287 ayat (1) KUHP; Subsidair: Pasal 290 ayat (2) KUHP; - Kedua : Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. Oleh karena dakwaan disusun secara Alternatif dan merupakan kesatuan yang utuh dalam tuntutan pidana maka Majelis Hakim akan terlebih dahulu 54 mempertimbangkan salah satu dakwaan yang dipandang lebih mendekati faktafakta yang didapat di persidangan, yaitu dakwaan Kesatu; 1. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerkosaan Bahwa dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 287 ayat (1) KUHP, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Barang siapa melakukan persetubuhan di luar perkawinan; 2. Dengan seseorang perempuan; 3. Diketahuinya atau secara patut harus dapat diduga: - Perempuan tersebut belum berumur 15 tahun atau. - Jika tidak dapat diketahui dari umurnya, perempuan itu belum waktunya dikawin. 1. Tentang Unsur “Barang siapa melakuakan persetubuhan diluar perkawianan” Bahwa yang diamksud dengan unsur “barang siapa”, dalam pengertian hukum ialah setiap subyek hukum pendukung hak dan kewajiban baik berupa badan hukum maupun orang perorangan (persoon), yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya; Bahwa Terdakwa (ROZALI bin BAHUSIN) adalah merupakan subjek hukum pendukung hak dan kewajiban perorangan (persoon) yang sehat jasmani dan rohani dan mampu bertanggung jawab di depan hukum di Indonesia. Sehingga bilamana pada saat ini Terdakwa diajukan ke muka persidangan Pengadilan Negeri Depok oleh Penuntut Umum karena didakwa melakukan suatu perbutan pidana, maka unsur barang siapa yang 55 dimaksud oleh aturan hukum adalah diri Terdakwa yang berdasar pemeriksaan di persidangan adalah benar sebagai orang yang di dakwa telah melakukan pidana dalam perkara ini; Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Berdasarkan Suarat Visum ET Repertum Puskesmas Pancoran Mas, No.445.3/30 PKM, tanggal 13 Maret 2008, yang ditandatangani oleh dr. Dece Feriyeni, menerangkan bahwa korban yang bernama YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut: 1. Pada pemeriksaan kemaluan tampak bekas sobekan pada selaput dara; 2. Pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua; 3. Pada jam dua disertai cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah; Kesimpulan: Ditemukan bekas robekan pada selaput darah pada posisi jam delapan, jam sepuluh, jam dua; Sehingga dengan demikian unsur barang siapa melakukan persetubuhan di luar perkawinan, yang dimaksudkan dalam pasal ini telah terpenuhi; 56 2. Tentang Unsur “Dengan seorang perempuan Berdasarkan Surat Keterangan Kelahiran, Nomor 474.1/04/III/2008, yang ditandatangani oleh Kepala Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, atas nama Lurah Cipayung Jaya, Sekretaris Kelurahan, SUGIONO, S.Sos, tertanggal 14 Maret 2008, menerangkan berdasarkan Buku Induk Kependudukan YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON terdaftar sebagai seorang perempuan; Sehingga dengan demikian unsur dengan seorang perempuan, yang dimaksudkan dalam Pasal ini telah dipenuhi; 3. Tentang Unsur “Diketahuinya atau secara patut harus dapat di duga, perempuan tersebut belum berumur 15 tahun jika tidak dapat diketahui dari umurnya, perempuan itu belum waktunya dikawin”: Berdasarkan fakta hukum yang terungkap keterangan dari Saksi-Saksi dan pengakuan Terdakwa serta barang bukti yang diajukan di persidangan jika dihubungkan antara satu dengan lainnya, maka telah ditemukan faktafakta sebagai berikut: Bahwa benar adalah Terdakwa tetangga dari Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, yang mengetahui secara pasti bahwa Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, adalah Siswi Kelas IV Sekolah Dasar, yang diketahui belum berumur 15 tahun dan belum waktunya untuk kawin dan Saksi YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADON, menurut Surat Keterangan Kelahiran, Nomor 57 474.1/04/III/2008, adalah anak-anak yang belum cukup 15 (lima belas) tahun umurnya dan lahir pada tanggal 07 Juni 1997; Sehingga unsur tersebut telah terpenuhi; Berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka semua unsur dari Dakwaan Kesatu: Primair yaitu Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut di atas telah terpenuhi maka Terdakwa telah terbukti secara sah dan ditambah keyakinan Majelis Hakim bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana seperti dalam dakwaan tersebut dan oleh karenanya Terdakwa harus di jatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya; Menimbang, bahwa karena Dakwaan Kesatu: Primair telah terbukti, maka Dakwaan Kedua yaitu Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, tidak perlu dipertimbangkan lagi; Menimbang, bahwa sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak terbukti adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan Terdakwa yaitu berupa alasan-alasan pembesar atau alasan pemaaf, dan tidak pula terdapat faktor-faktor yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa, sehingga Terdakwa harus bertanggung jawab atas pebuatannya atau Terdakwa harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa, akan terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan 58 dan yang meringankan guna penerapan hukum yang adil dan setimpal dengan perbuatan Terdakwa yang telah terbukti tersebut: 2. Hal yang Memberatkan dan Meringankan Dalam hal yang memberatkan dan meringgankan hakim melihat persaksian-persaksian saksi, dan pengakuan pelaku bahwa ia menerima segala dakwaan yang diajukan kepadanya bahwa ia benar telah melakukan hal tersebut. Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbutan Terdakwa sangat meresahkan masyarakat terutama bagi anakanak perempuan; 2. Perbuatan Terdakwa telah merugiakan orang lain; Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga mempelancar jalannya pesidangan; 2. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; 3. Terdakwa belum pernah ditahan; 4. Terdakwa sudah berusia lanjut dan ingin bertobat kembali kejalan yang benar; 5. Bahwa Keluarga Korban sudah memaafkan perbuatan Terdakwa tersebut; 59 6. Bahwa sudah ada perdamaian antara pihak Keluarga Korban dengan Terdakwa; 7. Bahwa Pihak Keluaraga Korban sudah memberikan pernyataan tertulis di persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon yang seringanringannya untuk Terdakwa; 3. Mengadili Setelah hakim melihat unsur-unsur yang telah terlaksana dari perbutannya tersebut dan hal-hal yang memberatkan dan meringanakan pelaku maka hakim mengadili dengan selayaknya. MENGADILI 1. Menyatakan Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahuinya belum berusia 15 (lima belas) tahun; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ROZALI bin BAHUSIN dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) potong baju warna coklat, 1 (satu) potog celana kotak-kotak warna coklat, 1 (satu) potong 60 celana dalam warna putih dan uang tunai sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah), dikembalikan kepada Saksi Korban YENI SOFIAYANTI binti M. ROMADHON; 6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah); Demikian diputus dalam rapat pemusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok, pada hari Kamis, tanggal 21 Agustus 2008, oleh kami H. SUWDYA, SH, LLM, sebagai Hakim Ketu Majelis, FAUZIAH HANUM HARAHAP, SH, Dan RONALD SALNOFRI BYA, SH, MH, masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis, putusan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 1 1 Putusan Pengadilan Negeri Depok No. Perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK. Tentang Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur BAB IV ANALISA PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK TENTANG PEMERKOSAAN ANAK DI BAWAH UMUR Untuk menganalisa bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok, penulis membuat beberapa bagian yang dapat dianalisa dalam bab ini sebagai kekurangan dari hukum positif dalam memberikan hukuman pada pelaku pemerkosaan. A. Analisa Pertimbangan Hakim 1. Analisa Hukum Pidana Islam Dalam Hal Memberatkan dan Meringankan pelaku tindak pidana, merupakan wewenang Hakim Berdasarkan pada bab III yang menjelaskan bentuk pemerkosaan (zina), menurut Jaksa Penuntut Umum terdakwa Rozali bin Bahusin dikenakan dakwaan pasal 287 KUHP. Yang kemudian Majelis Hakim menimbang dakwan tersebut apakah sesuai dengan perbuatan terdakwa Rozali bin Bahusin, dan kemudian Majelis Hakim menyatakan perbuatan Rozali bin Bahusin terbukti bersalah dan sesuai dengan dakwaan penjara selama 2 (dua) tahun, ini semua berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, yang berisikan hal-hal sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbutan Terdakwa sangat meresahkan masyarakat terutama bagi anak- anak perempuan; 2. Perbuatan Terdakwa telah merugikan orang lain; 61 62 Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga mempelancar jalannya persidangan; 2. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; 3. Terdakwa belum pernah ditahan; 4. Terdakwa sudah berusia lanjut dan ingin bertobat kembali kejalan yang benar; 5. Bahwa Keluarga Korban sudah memaafkan perbuatan Terdakwa tersebut; 6. Bahwa sudah ada perdamaian antara pihak Keluarga Korban dengan Terdakwa; 7. Bahwa Pihak Keluaraga Korban sudah memberikan pernyataan tertulis di persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon yang seringanringannya untuk Terdakwa; Menurut hukum positif, hukuman yang akan diputuskan masih dapat dirubah atau seorang hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan sanksi hukum terhadap dakwaan yang diberikan kepada terdakwa, yang dilihat dari segi hal yang memberatkan dan hal yang meringankan. Dalam perkara (No.475/PID/B/2008/PN.DPK) sepertinya majelis hakim tidak melihat kepada keadilan dan lebih banyak memberikan hal-hal yang meringankan terhadap terdakwa dengan beberapa poin di atas. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok sepertinya belum memberikan hukuman yang pantas kepada terdakwa. Padahal berdasarkan persaksian yang diberikan para saksi di hadapan persidangan, terdakwa telah 63 terbukti secara sah bersalah telah melakukan persetubuhan dengan seorang anak perempuan yang diketahuinya belum berusia 15 (lima belas tahun). Yeni Sofiayanti yang menjadi koraban memberikan kesaksian bahwa ia telah di tiduri oleh pak Uban (Rozali bin Bahusin) sebanyak tiga kali, dan yang ketiga kalinya Yeni menceritakan kepada Susan binti Bahusin (ibu korban). Dalam Putusan Pengadilan Negeri Depok (No.475/PID/B/2008/PN.DPK), dikatakan bahwa sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak terbukti adanya faktor-faktor yang mengahapuskan kesalahan terdakwa yaitu berupa alasan-alasan pembesar atau pemaaf, dan tidak pula terdapat faktor-faktor yang menghapus sifat melawan hukum perbutan terdakwa. Padahal telah diketahu dalam kesaksian para saksi yaitu saksi Susan binti M. Kosim sebagai ibu korban melakukan penawaran dengan terdakwa dengan cara damai tetapi harus mengganti kerugian sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta), dan di dalam pertimbangan Majelis hakim pada halhal yang meringankan bahwa kelurga korban sudah memaafkan perbuatan terdakwa dan sudah adanya perdamaian. Oleh karena itu perkara dengan (No.475/PID/B/2008/PN.DPK) penulis merasakan ketidak sesuaian dengan apa pertimbangan majelis hakim dalam halhal yang meringankan yang dapat mengurangi hukuman terhadap terdakwa. Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, perbuatan zina dapat dikenakan sanksi hukuman hudud atau (had), di mana hukuman had tidak dapat diubah atau dengan kata lain seorang hakim tidak dapat memiliki kewenangan untuk merubah hukuman yang telah disyari’atkan. Begitu pula dengan hukuman bagi pelaku 64 pemerkosaan, ia melakukannya dengan paksaan dan seharusnya hukuman bagi pelaku lebih berat dari pelaku zina. Dalam hukum Islam tidak ada hal yang menjelaskan adanya pemaafan atau pengganti dari hukuman had. Apabila sesorang yang telah melakukan kejahatan yang telah ditentukan hukumannya di Al-Qur’an maka seorang hakim tidak dapat membuat putusan lain terhadap hukuman yang akan diberikan kepada pelaku. Tindak pidana yang dilakukan Rozali bin Bahusin adalah perbuatan jarimah zina ditambah lagi ia melakukannya dengan kekerasan, dimana dalam hukum Islam jarimah zina tersebut mendapatkan hukuman had, selain itu perbutannya juga dapat merugikan orang lain, sebagai korban akan merasa sedikit terganggu kejiwaan karena merasa trauma dari apa yang telah dialaminya. Maka pada hukum Islam sanksi yang akan dikenakan adalah hukuman hudud yang tidak ada pengampunan, akad damai, pembebasan, pengurangan atau penggantian. B. Analisa Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok Berdasarkan uraian di Bab III mengenai hal-hal kronologi serta unsurunsur pasal yang didakwakan terhadap terdakwa Rozali bin Bahusin dapat dikatakan telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum, maka Jaksa Penuntut Umum berpendapat dan berkeyakinan sesuai apa yang ia ketahui bahwa terdakwa Rozali bin Bahusin secara sah bersalah melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang diketahui belum berusia 15 (lima 65 belas) tahun. Dan sesuai dakwaan yang disusun alternatif yang telah diberikan Penuntut Umum terhadap Tedakwa, Majelis Hakim Mempertimbangkan salah satu dakwaan yang dipandang lebih mendekati dari fakta-fakta yang didapatkan di persidangan yaitu pasal 287 (ayat 1) KUHP. Berdasarkan analisa yuridis, fakta-fakta yang ada berupa barang bukti serta visum et repertum yang dikeluarkan puskesmas Pancoran Mas No.445.3/30/PKM, tanggal 13 Maret 2008 yang menyatakan bahwa pada pemeriksaan ditemukan adanya bekas sobekan pada selaput darah pada kemaluan korban, pada posisi jam delapan, jam sepuluh dan jam dua. Pada jam dua disertai cairan keputihan sedikit, tidak tampak darah. maka telah terbukti dari hasil visum telah terjadi tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh terdakwa Rozali bin Bahusin pada hari selasa, tanggal 11 Maret 2008 di tempat tinggal terdakwa. Bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 287 (ayat 1) KUHP sebagai dakwaan kesatu primair, dan pasal 290 KUHP sebagai dakwaan kesatu subsidair. Di tambah dengan pasal 82 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai dakwaan kedua. Berdasarkan pemeriksaan dakwaan ini terdakwa tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dipandang dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan terdakwa, oleh karena itu terhadap apa yang diyatakan terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya. Dengan demikian sudah sepantasnya terdakwa dijatuhi hukuman pidana yang 66 setimpal dari perbuatannya yang telah merugikan orang lain sebagai korban serta keluarga korban. Pada hukum positif di Indonesia yang masih menggunakan hukum warisan kolonial Belanda, Majelis Hakim melihat dari beberapa hal yang dapat memberatkan atau meringankan terdakwa. Dari kedua hal tersebut lebih banyak hal yang meringankan terdakwa dibanding dengan hal yang memberatkan. Hal yang meringankan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. terdakwa mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan; 2. terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; 3. terdakwa belum pernah ditahan; 4. terdakwa telah berusia lanjut dan ingin bertobat kembali kejalan yang benar; 5. bahwa keluarga korban sudah memaafkan perbuatan terdakwa tersebut; 6. bahwa sudah ada perdamaian antara pihak kelurga korban dengan terdakwa; 7. bahwa pihak keluarga korban sudah memberikan pernyataan tertulis di persidangan untuk mencabut Laporan Polisi dan memohon yang seringan-ringannya untuk terdakwa. Dengan melihat akhir putusan dari Majelis Hakim, terdakwa Rozali dikenai pasal 287 (ayat 1) KUHP, dalam pasal tersebut menjelaskan hukuman maksimal 9 (sembilan) tahun. Akan tetapi, berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan Majelis Hakim dalam hal yang meringankan, Majelis Hakim memutuskan terdakwa Rozali bin Bahusin dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. 67 Menyimak hasil putusan dari tindak pidana yang dilakukan Rozali bin Bahusin, bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah merupakan putusan maksimal, dikarenakan adanya beberapa hal yang meringankan terdakwa, terutama dengan adanya perdamaian atau pemberian maaf keluarga korban terhadap terdakwa sebelum terjadinya proses persidangan dengan adanya penawaran dari terdakwa dengan orang tua korban, sebagaimana yang diminta oleh pihak keluarga korban. Serta adanya pernyataan tertulis di persidangan untuk mencabut Laporan Polisi. Di sini dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan yakni perbedaan sanksi yang diberlakuakan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif. Efek dari kedua sanksi tersebut jelaslah berbeda. Dalam pelaksanaan hukuman had tidak ada penghapusan, pengurangan dan pergantian hukuman. Kewenagan melaksanakan hukuman berada ditangan Imam Kepala Negara atau pada saat ini pemerintah atau presiden yang memiliki wewenang. Dalam hal adanya perdamaian atau pemberian maaf keluarga korban terhadap terdakwa sebelum terjadinya proses persidangan dengan adanya penawaran dari terdakwa dengan orang tua korban, sebagaimana yang diminta oleh pihak keluarga korban. Di dalam hukum Islam tidak ada perdamaian atau pemberian maaf terhadap terdakwa sehingga dapat mengurangi hukuman yang akan diberikan kepadanya. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat An-Nuur ayat 2 dan Hadis Riwayat HR. Abu Daud dari Ibnu Umar: 68 8$دّ ا< وV /]9 <ون ا/_ ّ/ دون#=A ﺵZ (3 : ا داود اN)روا “Barang siapa yang pertolongannya dapat menghalangi pelaksaan hukuman (had) dari hukuman-hukumanya (yang ditentukan) Allah, maka benar-benar ia melawan Allah Azza Wajalla. (HR.Abu Daud dari Ibnu Umar)”. Sedangkan adanya penawaran terdakwa dengan orang tua korban, sebagaimana yang diminta oleh pihak keluarga korban dalam hukum Islam tidak dibolehi. Akan tetapi pernah terjadi pada zaman nabi, ada seorang wanita dipaksa oleh seorang pria untuk berzina. Nabi membebaskan wanita tersebut dari hukuman had. Pernah terjadi di seorang wanita mengadu kepada Umar bin Khattab bahwa dia (dalam keadaan sangat haus) minta air pada seorang pengembala. Tapi pengembala itu tidak mau memberinya air kaecuali dia memberi kesempatan pada pria itu untuk menzinainya, maka dia tepaksa menuruti kemauan pria itu. Umar bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, bagaimana pendapatmu? Ali mengatakan wanita itu terpaksa. Umar kemudian memberinnya hadiah dan membebaskannya. Tetapi bagi pria yang melakukan persetubuhan dengan seorang wanita dengan cara kekerasan atau dipaksa dengan mengunakan kekerasan secara fisik atau dengan ancaman, menurut Imam Malik dan Asy-Syafii berpendapat wajib si pria memberikan sesuatu pemberian (sadaq) kepada si wanita itu. Abu Hanifah berpendapat tidak ada hak bagi wanita tersebut untuk mendapatkan pemberian. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan penafsiran apakah sadaq itu 69 merupakan ganti/imbalan dari hubungan seks atau merupakan pemberian mahar/mas kawin. Ulama yang berpendapat sadaq itu merupakan ganti rugi/imbalan maka diwajibkan bagi si pria itu memberikannya. Jika sadaq itu merupakan mas kawin, maka sadaq itu hanya diwajibkan bagi si suami yang menikahinya.1 Walaupun ada pengantian sebagai gati/rugi, hukuman had harus dilakukan kepada pelaku, karena hukuman had adalah hak Allah yang tidak bisa dikurangi, diganti dengan siapa pun. Dalam hukum pidana Islam, perbutan bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya dengan ancaman kekerasan dan akan memberikan imbalan kepada korban atau (perzinahan dengan kekerasan) pelaku harus di kenai hukuman hudud yaitu rajam, selain itu pelaku harus membaerikan sadaq sebagai ganti rugi ke pada korban atau keluarga korban yang telah dirugikan sebagai pengganti (imbalan materi). Dari hukuman yang diberikan majelis hakim sangat tidak seimbang dengan perbuatan yang ia lakukan terhadap korban. Sebagai korban mungkin ia akan merasakan depresi yang berat sampai ia tumbuh dewasa, sedangkan hukuman yang diberikan kepada terdakwa sangat singkat dan mungkin saja setelah ia lepas dari hukuman ia akan mengulangi perbutannya kembali karena ia tidak merasa jera dari hukuman yang diberikan hanya selama 2 (dua) tahun. Berbeda dengan hukum Islam, dimana menurut hukum Islam pelaku pemerkosaan bisa dikenakan hukuman hudud (had) karena dianggap telah 1 Muhammad Abduh Malik, op.cit, h. 144 70 melakukan perbuatan zina dengan paksaan. Di mana pengertian paksaan secara bahasa adalah membawa orang kepada sesuatu yang tidak disukainya secara paksa.2 Di jatuhinya hukuman yaitu dari sisi tindak pidana dan dari sisi dampak terhadap korban dan masyarakat. Dari sisi tindak pidana, perkosaan mengandung unsur perzinaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan pada dampak yang ditimbulkan terhadap anak yang dijadikan korban akan berdampak trauma. Walaupun dalam putusan pengadilan tersebut dinyatakan telah terjadinya perdamaian antara pihak keluarga korban dengan terdakwa, tetap saja dimata hukum Islam, ini merupakan perbuautan buruk dan bahkan sangat buruk karena menimbulkan mudharat yang sangat besar kepada korban. Demikianlah Hukum Islam memandang bahwa perkosaan adalah perbuatan zina yang dilakukan dengan paksaan yang mengakibatakan rusaknya masa depan anak yang menjadi korban dan akan menjadi aib dalam dirinya dan keluarga. Perbuatan zina yang dilakukan baik dengan dasar suka sama suka maupun disertai dengan paksaan, pelakunya tetap harus dihukum had yaitu hukuman rajam bagi pezina muhson, dera 100 kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina ghoiru muhson. Dengan kata lain, bagi Terdakwa Rozali bin Bahusin seharusnya dikenai hukuman rajam karena ia telah beristri walaupun sekarang ini ia berstatus sebagai seorang duda. Hukuman rajam bagi pezina muhson dan dan dera bagi pezina ghairu mohson adalah sebagai hukuman hudud (had) bagi pelaku zina, dengan kata lain 2 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yogyakarta: FH UII,1995), cet.ke-1, h.80 71 yaitu hukuman yang sudah ditentukan. Karenanya hakim tidak berhak mengurangi atau menambah hukuman dengan alasan apa pun atau karena kondisi apa pun. Hakim juga tidak berhak menghentikan pelaksanaan hukuman atau menggantinya dengan hukuman lain. penguasa negara juga tidak memiliki wewenang apa pun (untuk mengganti, menambah, atau mengurangi) dan tidak berhak mengampuni sebagian atau seluruh hukuman perbuatan zina tersebut. Dalam hukuman hudud, tidak ada pengampunan, akad damai, pembebasan, pengurangan, atau penggantian. Hukum positif menganggap hukuman perbuatan zina sebagai hak masyarakat karena ada kepentingan umum di dalamnya. Sangat berbeda prinsip dari makna hukuman hudud dalam hukum Islam dan hukuman hudud dalam hukum positif. Hukuman hudud dalam hukum Islam adalah hukuman yang tidak bisa diganti, sedangkan hukuman dalam hukum Positif bisa dimaafkan dan diganti. Hukuman hudud dianggap sebagai hukuman Allah karena ia tidak bisa dimaafkan dan diganti. Individu dan masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengampuni hak Allah dan mereka juga tidak berhak mengganti apa yang Allah perintahkan. Jika hukman hudud sebagai hak masyarakat, maka pemeritah atau tokoh negara dapat memberi ampunan atau mengganti dengan yang lain. sebaliknya dengan hukuman hudud dalam hukum Islam, yaitu hukuman yang sudah ditentukan yang disyariatkan sebagai hak masyarakat. untuk kepentingan umum dan dianggap 72 Dalam surat an-Nur ayat 2 menjelaskan hukuman bagi pezina, Allah SWT memerintahkan, agar dalam melaksanakan hukuman, jangan ada rasa belas kasihan kepada pelaku zina apa lagi sampai membatalkan pelaksanaan syariat Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kepala negara dan pemerintah menegakkan hukum yang lebih membut jera seperti hukum Islam bagi pelaku kejahatan dan untuk masyarakat lain untuk tidak meniru perbutan tersebut agar tidak akan terulang dan merebaknya kejahatan dalam kehidupan masyarakat seperti saat ini. Sehingga terciptanya masyarakat yang memiliki moral dan kehidupan yang harmoni. 73 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam menyelesaikan perkara pemerkosaan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok tidak konsekwen terhadap pernyataan yang ada dalam putusan pengadilan, yang mana di dalam putusan dikatakan: menimbang, bahwa sepanjang pemeriksaan persidangan tidak terbukti adanya faktor-faktor yang menghapuskan kesalahan terdakwa yaitu berupa alasan-alasan pembenar atau alasan pemaaf, dan tidak pula terdapat faktor-faktor yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan terdakwa, sehingga terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya atau terdakwa harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Akan tetapi pertimbangan hakim terhadap hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan perbuatannya di karenakan, sebelum menjatuhkan hukuman memberatkan dan majelis hakim mempertimbangkan hal yang yang meringankan. Namun dalam pertimbangannya majelis hakim lebih banyak memberikan hal yang meringankan ketimbang hal yang memberatkan, sehingga hukuman yang diputuskan terhadap pelaku tidak sesuai dengan apa yang diperbuatnya. 2. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Depok No perkara 475/PID/B/2008/PN.DPK majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Rozali bin Bahusin dengan pidana penjara 2 (dua) tahun tidak 74 sesuai dengan apa yang ia lakukan terhadap Yeni Sofiayanti binti Romadon. Dakwaan yang diberikan kepada Terdakwa semestinya dakwaan kedua yaitu Pasal 82 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena hukuman yang diberikan lebih berat dan lebih membuat jera dari dakwaan yang di berikan yaitu Pasal 287 KUHP. 2. Dalam hukum Islam perbuatan zina (perkosaan) adalah tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum Islam dimana si pelaku dihukum dengan hukuman had dan kejahatan itu harus ditindak atau dituntut oleh imam (penguasa) bukan karena adanya pengaduan dari orang atau keluarga yang dirugikan tapi menjadi kewajiban dari penguasa setelah mengetehui telah terjadi perbuatan zina (perkosaan), meskipun tidak ada pengaduan dari pihak orang atau keluarga yang dirugikan. 4. Jika kita lihat dari putusan Majelis Hakim terhadap terdakwa Rozali Bin Bahusin, yang memberikan hukuman kurungan selama 2 (dua) tahun tidaklah sesuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Apabila terdakwa sudah memenuhi syarat untuk dilakukan hukuman had seperti yang telah dipaparkan di bab sebelumnya maka hukuman harus dilaksanakan. 5. Apabila kita perhatikan masih banyak kekurangan Pengadilan Negeri Depok dalam memberikan putusan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pemerkosaan seperti dalam kasus permerkoaan terhadap anak dibawah umur yang sedang dibahas dalam sekripsi ini, dalam pertimbangan majelis hakim hal yang meringankan keluarga korban sudah memaafkan perbuatan terdakwa, 75 adanya perdamaian antara keluarga koraban dengan terdakwa dan pencabutan laporan polisi dan memohon hukuman yang seringan-ringannya terhadap terdakwa. Apabila di kaitkan pada hukum Islam sangat berbeda dalam hukum Islam dikenakan hukuman had Hukuman had ditetapkan sebagai hak Allah, yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat seluruhnya dan untuk menjaga kepentingan umum. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaannya tidak boleh ada yang membatalkan atau menggugurkan hukuman had ini, baik aparat penegak hukum, orang per-orang, maupun keluarga korban. Yang seharusnya aparat penegak hukum tidak boleh menghalangi, menggugurkan, atau mengurangi, meringankan pelaksanaan hukuman. 76 B. Saran-saran 1. Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa hukum Islam lebih luas dalam membahas masalah perkosaan ini. Segala jenis dan bentuk hukuman apapun dapat dibenarkan selama mampu mewujudkan tujuan pensyari’atan hukum pidana Islam. Al-Qur’an menerapkan wahyu illahi yang diturunkan di bumi sebagai pencerahan bagi manusia. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agar manusia senantiasa berbuat kebajikan, menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Manusia di hadapan Allah tidak dibeda-bedakan laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. 2. Untuk para penegak hukum diharapkan dapat memberikan keadilan dengan seadil-adilnya tanpa ada yang merasa dizalimi atau terjadinya ketimpangan hukum terhadap korban, keluarga korban, maupun pelaku. Seperti halnya kejahatan perkosaan yang banyak terjadi pada masyarakat kita, penegakan hukum dalam Indonesia belum sampai membuat rasa jera bagi pelaku kejahatan. Sudah seharusnya pemerintah memberikan ketegasan hukum bagi pelaku kejahatan perkosaan karena perbuatan ini tidak hanya meresahkan orang sebagai korban saja tetapi keluarga juga masyarakat di sekitarnya. Bagi pemerintah atau RT harus lebih mawasi atau mengetahui bagaimana keadaan atau keamanan lingkungan warga, seharusnya kejahatan pemerkosaan tidak hanya sebagai delik aduan, yang mana akan ada perkara atau pemeriksaan apabila ada pengaduan dari keluaraga atau korban. 77 3. Untuk masyarakat khususnya orang tua, agar lebih memperhatikan anak dalam pergaulan di lingkungan masyarakat supaya tidak terjadi hal-hal yang membahayakan anak khususnya agar tidak terjadi tindak pidana pemerkosaan terhadap anak. Sebagai orang tua harus merawat dan melindunggi anak dari ancaman kejahatan yang akan menimpannya, Dengan kata lain orang tua memberikan nasihat-nasihat kepada anak agar tertanam pada dirinya agar ia menjadi seorang yang baik dan tidak akan melakukan perbuatan kejahatan. 78