Proceeding report 1 Comprehensive Sexuality Education Fair 2015 2 Proceeding report Comprehensive Sexuality Education Fair 2015 Rutgers WPF Indonesia Tim Penyusun Penulis Farhanah Raka Ibrahim Editor Rinaldi Ridwan Layout : madebyactiv.com Foto cover : Jeroen van Loon Jl Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510. Indonesia e. [email protected] rutgerswpfindo.org 3 Daftar isi Daftar isi Pidato Pembukaan Monique Soesman - Direktur Rutgers WPF Indonesia Sambutan Pembuka Dr. Djaali – Rektor Universitas Negeri Jakarta 3 4 6 Sesi Plenary I CSE is Important, Why Wait? 8 Sesi Plenary II Everyday Sexuality 11 Sesi Paralel I Is Talking about Sexuality to Children, Possible? Bullying Pembelajaran CSE untuk Penyandang Disabilitas 14 17 20 Sesi Paralel II “Linking and and Learning CSE Programs From National and International Context” 23 Dokumentasi CSE Fair 26 4 4 5 Pesan dari penyelenggara Di Rutgers WPF Indonesia, kami bekerja dengan penuh semangat dan passion untuk pendidikan seksualitas komprehensif. Karena pendidikan seksualitas komprehensif sangatlah dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun belum dianggap penting untuk diadaptasi secara masif di seluruh sistem pendidikan Indonesia. Kami percaya pendidikan seksualitas komprehensif adalah kunci untuk membentuk pribadi yang positif, saling menghargai, dan jauh dari kekerasan. adalah jumlah peserta yang membludak dan munculnya ragam pendapat mulai dari yang suportif terhadap CSE hingga yang berlawanan. Kesemuanya menjadi masukan bagi kami agar CSE yang kami berikan dapat diakses oleh semua dan inklusif. Kami mengkonfirmasi hal ini ketika mengorganisir ‘Comprehensive Sexuality Education Fair 2015’. Sebagai penyelenggara, kami mendapat banyak sekali pembelajaran mulai dari mengkonseptualisasikan program, pemilihan narasumber, hingga publikasi kegiatan. Hal yang kami sambut dengan antusias Semua ini tidak mungkin bisa terwujud tanpa dukungan dari tim support Rutgers WPF Indonesia, tim UNJ, vendor, hingga relawan yang bekerja dengan penuh suka cita mensukseskan kegiatan ini. Pengalaman ini sangatlah berharga. Bertemu dengan pengajar dari berbagai provinsi yang mengajar tak kenal lelah, aktivis pendidikan, mahasiswa, orang tua, hingga penerima manfaat dari CSE itu sendiri. 6 6 Pembukaan Monique Soesman Direktur Rutgers WPF Indonesia Selamat pagi semua! Pada pagi hari yang berbahagia ini, izinkanlah saya untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap pelaksanaan CSE FAIR 2015 ini yang diselenggarakan berkat kerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta. Kami dari Rutgers WPF Indonesia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada UNJ untuk menjadi tuan rumah acara ini. Kami senang sekali acara ini bisa dilakukan bekerjasama dengan UNJ karena UNJ adalah salah satu tempat di mana calon guru-guru SD, SMP dan SMA mendapat ilmu dan keterampilan untuk nantinya mengajar generasi muda kita. Dalam hal ini UNJ dan Rutgers WPF Indonesia mempunyai kepedulian yang sama terkait pendidikan. Hal ini sesuai dengan amanat yang termaktub dalam RPJMN 2015-2019 di mana negara kita memiliki visi untuk meraih bonus demografi atau dengan kata yang sederhana, suatu konsentrasi penduduk di umur produktif mampu menghidupi penduduk usia non-produktif yang tergantung padanya. Dan bonus demografi diperkirakan terjadi dalam rentang tahun 2020-2030. Akan tetapi, ibu-ibu dan bapak-bapak, apakah kita akan menikmati bonus demografi di Indonesia atau tidak, semuanya tergantung pada kondisi dan mutu generasi muda pada masa tersebut. Semuanya tergantung pada kondisi apakah mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenyam pendidikan dan mengembangkan diri. Generasi muda Indonesia menjadi aktor penting dalam pembangunan, tidak sekadar menjadi obyek, namun juga subyek pembangunan manusia Indonesia untuk mendukung revolusi mental yang saat ini sedang digalakkan untuk mendorong perubahan positif. 7 Untuk mendukungnya, perlu adanya pendidikan seksualitas komprehensif atau comprehensive sexuality education (CSE). Namun, apakah kaitan antara pembangunan, bonus demografi, dan CSE? Pendidikan seksualitas komprehensif adalah suatu proses pembelajaran di mana dalam prosesnya kita mendapatkan informasi, pengetahuan dan keterampilan untuk menentukan sikap, norma, dan nilai tentang identitas diri, relasi dan keintiman. CSE mencakup pengetahuan dan keahlian mengenai gender, hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, HIV/AIDS, kekerasan, relasi, keberagaman dan juga pleasure. Dengan anak-anak dan remaja yang mendapatkan CSE, mereka bisa mengambil keputusan yang berdasarkan pengetahuan yang ilmiah dan terpercaya terkait kehidupan dan seksualitasnya. Dengan begitu, tidak lagi akan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja sekolah karena dipaksa oleh pacarnya yang kemudian tidak melanjutkan sekolah karena malu, tabu dan cemooh lingkungannya. Remaja tersebut lalu dia tidak bisa melanjutkan sekolah, pendidikan, sampai pendidikan tertinggi. Ia pun terpaksa harus melahirkan anak pada saat fisik dan mentalnya belum siap. CSE juga perlu bagi remaja untuk mengetahui hak– haknya. Banyak penelitian yang membuktikan remaja yang mendapatkan CSE akan cenderung menunda untuk melakukan hubungan seksual hingga di saat ia siap untuk melakukannya dengan aman dan nyaman. Aman dan nyaman diperlukan karena generasi muda Indonesia dihadapkan pada banyak tantangan, yakni infeksi HIV, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman (14 orang per hari) yang berkontribusi pada Angka Kematian Ibu yang tinggi (102 orang per hari) atau perkawinan dini dan tidak melanjutkan sekolah, kekerasan termasuk paksaan dalam pacaran, kekerasan berbasis gender dan seksualitas, dan bullying. Remaja juga menghadapi tantangan akses internet yang terbuka dan akses pada gambar dan film porno yang dapat memberi kesan yang keliru tentang seksualitas dalam kehidupan nyata. Fokus kami semua tertuju kepada remaja karena remaja memasuki masa perubahan dari anak ke dewasa dan sedang merasakan perubahan tubuhnya serta mulai menyadari seksualitasnya. Berbagai perubahan tersebut bisa sangat membingungkan kalau mereka tidak dibekali pengetahuan mengenai itu sebelumnya. Misalnya, ketika seorang remaja mimpi basah dan tidak memiliki pengetahuan sama sekali mengenai hal ini, tentunya ia akan panik dan tidak siap. Ibu-ibu dan bapak-bapak, kami berharap hari ini kita akan berbincang-bincang mengenai CSE, termasuk CSE yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Saya juga senang sekali karena pada acara CSE Fair ini kita pertama kali menggunakan kata seksualitas dalam konteks yang positif. Rutgers WPF sebagai pusat informasi dan pengetahuan dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas serta penanggulangan kekerasan berbasis gender, telah mengembangkan berbagai modul berdasarkan prinsip pendidikan seksualitas komprehensif bersama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lain. Dengan demikian kami mengembangkan tujuh modul untuk sekolah: DAKU!, DAKU Papua, Maju, Langkah Pastiku, Aku dan Kamu, SETARA, Seru untuk remaja di penjara, dan tiga modul berbasis komunitas bersama dengan PLAN Indonesia, termasuk modul untuk mencegah perkawinan anak. Sebagai penutup, besar harapan kami CSE bisa menjadi bagian dari kurikulum pendidikan kita. Ibuibu dan bapak-bapak dosen pun mampu mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sehingga kompetensi siswa meningkat bukan hanya di ranah seksualitas tapi juga kehidupannya. Sebagai pusat keahlian, Rutgers WPF Indonesia siap bekerja sama dengan lembaga pemerintah, sekolah, universitas dan lembaga lainnya untuk bersama-sama mengembangkan CSE, baik merupa modul maupun bentuk lainnya sesuai kebutuhan demi menciptakan generasi berikutnya yang hidup aman, nyaman, dan bahagia. Terima kasih! 8 8 Pembukaan Bapak Prof. Dr. Djaali, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 9 Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang luput dari persoalan seksualitas. Oleh karena itu, bagi Dr. Djaali, penting bagi guru dan orang tua untuk memahami betul pendidikan seksualitas yang komprehensif (CSE), sehingga bisa membekali diri dan murid dari perilaku seksual yang berisiko. Sebagai lembaga yang menghasilkan calon guru, CSE menjadi bekal penting bagi para dosen dan mahasiswa serta mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dosen UNJ, sebut Dr. Djaali, bukan dosen biasa. Sebagai pengajar para calon guru dan pendidik di masa depan, mereka tidak cukup sekedar memberikan ceramah tentang seksualitas pada mahasiswa dan mahasiswinya. Prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam CSE harus benar-benar dicontohkan oleh para pendidik kepada mahasiswa dan mahasiswinya, serta kepada masyarakat luas. Barulah kemudian, fungsi mereka sebagai pendidik dapat berjalan sebagaimana semestinya. Prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam CSE harus benar-benar dicontohkan oleh para pendidik kepada mahasiswa dan mahasiswinya, serta kepada masyarakat luas. 10 10 Sesi Plenary I: “CSE is important, why wait?” Moderator: Harry Kurniawan (Program Manager ASK – Access Service Knowledge) Pembicara: Jo Reinders (Technical expert youth and sexuality education, Rutgers WPF Belanda) Margaretha Sitanggang (National Program Officer Youth and ASRH, UNFPA) 11 Menurut sensus penduduk 2010, Remaja di Indonesia (usia 10-24) berjumlah sebanyak 65 juta orang. Artinya, 28% dari total penduduk atau sekitar 1 dari 3 orang penduduk Indonesia berada pada usia remaja. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda merupakan potensi besar untuk Indonesia, dan penentu arah masa depan bangsa dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya bangsa. Karena itu, bagi Margaretha Sitanggang, Indonesia harus berinvestasi sebaik-baiknya pada remaja untuk mempersiapkan periode emas di 2030. Tiga bidang penting yang perlu menjadi penerima curahan investasi pemerintah adalah kesehatan, kemampuan anak muda untuk bekerja, serta pendidikan anak muda. Dan salah satu bidang yang tak boleh luput dari perhatian adalah pendidikan seksualitas yang komprehensif bagi anak muda. Menurut data yang dipaparkan oleh Margaretha, sebanyak 37% dari seluruh persalinan terjadi di usia remaja. Angka kesuburan pada remaja pun meningkat dari 39/1000 kelahiran di 2007 menjadi 48/1000 pada tahun 2012. Dalam riset yang dilakukan pada tahun 2010, sebanyak 14% remaja laki-laki dan 7% perempuan mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Sayangnya, hanya 25% laki-laki dan 16% perempuan mengaku menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seksual. Hal ini terjadi pada anak muda yang berusia 15-24 tahun. Sedangkan pada 2013, 40% kasus HIV positif terdeteksi pada usia 20-29 tahun. Ini berarti mereka terinfeksi HIV sekitar 5-10 tahun sebelumnya, ketika mereka masih berusia sekitar 15 tahun. Data-data ini menunjukkan bahwa anak muda Indonesia tak hanya semakin bertambah jumlahnya – mereka juga semakin aktif secara seksual, namun tidak tahu bagaimana menghindarkan diri dari penyakit seksual menular dan perilaku seksual berisiko. Lebih tepatnya, mereka tidak diberikan pendidikan yang dapat menghindarkan mereka dari penyakit menular seksual dan perilaku seksual berisiko. Oleh karena itu, anak Kemampuan mengambil keputusan bertanggung jawab itu tidak mungkin ada jika remaja tidak mengenal dirinya sendiri dan tidak merasa bangga dan nyaman dengan tubuhnya sendiri. muda perlu pendidikan seksualitas komprehensif (CSE), yang bisa memberikan mereka kemampuan untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab terkait seksualitas dan tubuhnya sendiri. Selain itu, imbuh Jo Reinders, CSE membantu anak muda untuk mempunyai kehidupan yang lebih berkualitas – mampu mengambil keputusan secara mandiri berdasarkan informasi yang akurat, dan terhindar dari perilaku seksual berisiko dan penyakit menular seksual. Namun, penting untuk ditekankan bahwa pendidikan seks yang diberikan haruslah komprehensif. Bagi Jo, CSE bukan hanya bicara mengenai aspek kesehatan reproduksi seperti HIV atau kehamilan, namun juga bagaimana untuk mencegah atau bernegosiasi dengan pasangan untuk tidak melakukan hubungan seks, atau untuk melakukannya dengan aman. Oleh karena itu, CSE bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana cara mengatakan ‘tidak’, serta mengenal dan menghargai orang lain. CSE juga berbicara mengenai gender, hak, kekerasan, hubungan, keterampilan, dan sikap. Tentu saja, seksualitas adalah aspek yang sangat pribadi. Apa yang diajarkan dalam CSE kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa tentu harus berbeda. Dan dalam setiap aspek perkembangan, harus ada keterampilan atau pengetahuan tertentu yang menjadi titik fokus dari CSE. Misalnya untuk remaja yang mulai mengalami pubertas dan mengenal hubungan seperti pacaran, penting untuk menekankan kemampuan negosiasi agar mereka bisa menolak atau menegosiasikan perilaku seksual yang menurut mereka tidak aman, atau membuat mereka tidak nyaman. Namun, dalam setiap tahapan, penting untuk menekankan aspek pilihan. Seksualitas bukan sesuatu yang ngeri dan tabu, melainkan sesuatu yang alami, indah, namun harus ditanggapi secara bertanggung jawab. Di sinilah peran penting dari CSE, yakni menekankan pentingnya remaja mengambil keputusan yang bertanggung jawab dan positif berdasarkan 12 12 informasi yang akurat dan jelas. Bagi Jo, remaja harus bisa menentukan pilihannya sendiri dan bertanggung jawab terhadap tubuhnya, alih-alih selalu menurut pada keputusan orang lain seperti guru dan orang tua. Keputusan yang diambil oleh remaja berdasarkan kesadaran dan inisiatifnya sendiri dianggap lebih efektif dan menghargai remaja ketimbang keputusan sepihak yang tidak tertanam dalam diri remaja, dan belum tentu didasari alasan yang jelas. Oleh karena itu, remaja harus dapat mengenal dirinya sendiri agar dapat mengambil pilihan yang positif, dan bisa bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Kemampuan mengambil keputusan bertanggung jawab itu tidak mungkin ada jika remaja tidak mengenal dirinya sendiri dan tidak merasa bangga dan nyaman dengan tubuhnya sendiri. Menurut Jo, CSE tidak bertujuan mendorong perilaku seksual dalam remaja. Melainkan memberi bekal bagi remaja untuk mengenal dirinya sendiri, dan mengambil pilihan yang positif atas dasar informasi yang akurat, serta kesadarannya sendiri. Karena pilihan dan inisiatif adalah salah satu prinsip terpenting dari CSE, tentu tidak sembarangan cara bisa digunakan untuk menerapkannya dalam konteks ruang kelas. Guru perlu menjamin bahwa setiap orang dapat mengambil keputusannya sendiri. Oleh karena itu, guru tidak berfungsi sebagai pengajar, melainkan sebagai fasilitator yang mengajak murid mempelajari prosesnya masing-masing. Untuk mengangkat isu seksualitas dan gender, guru dapat melakukan diskusi kelompok atau menerapkan metode partisipatoris. Selain itu, guru perlu menghindari sikap menghakimi dan lebih bersifat inklusif dengan menerima berbagai sudut pandang dari murid. Guru pun harus menjamin bahwa tidak ada murid yang menjadi korban bullying, kekerasan, atau tekanan dari siapapun juga, sehingga semua murid dapat mempelajari seksualitasnya sendiri secara positif dan tanpa rasa takut. Dalam proses ini, guru juga perlu mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang pada mulanya terkesan sensitif, namun merupakan bagian dari keingintahuan alami murid. Misalnya, pertanyaan mengenai masturbasi, orientasi seksual, dan lainnya. Sejauh ini, UNFPA telah bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan untuk mengembangkan buku pegangan guru untuk memberikan materi tentang kesehatan reproduksi remaja. Buku ini, menurut Margaretha, telah dikembangkan berdasarkan International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE). Ke depannya, UNFPA berencana memastikan bahwa Kementerian Pendidikan betul-betul mengimplementasikan buku ini di semua sekolah. Bagi kedua pembicara, CSE tidak hanya penting bagi remaja, melainkan juga bagi negara. Karena, prinsip-prinsip yang diajarkan dalam CSE tidak hanya berlaku bagi masalah kesehatan, namun juga bagi pembangunan. 13 Diskusi Paralel 1 Everyday Sexuality: Konstruksi Sosial Moderator: Sri Agustine Pembicara: Argyo Demartoto "Ketika membicarakan seksualitas, biasanya yang pertama kali terpikirkan oleh orang-orang adalah hubungan seks.”, ujar Sri Agustine sebagai moderator di sesi paralel sore itu. Padahal sesungguhnya seksualitas itu jauh lebih luas dari sekadar aktivitas seksual. Membicarakan seksualitas sama saja dengan membicarakan diri kita, siapa kita, dan relasi kita. Selain itu, hal lain yang berkaitan dengan seksualitas di antaranya adalah kesehatan seksual dan reproduksi, jenis kelamin. Sejak lahir sampai dewasa, manusia akan selalu terkait dengan masalah seksualitas, sejak bangun tidur sampai tertidur lagi. Pada tahun 900-1000 M, di Candi Ceto dan Sukuh terdapat simbol lingga (penis) dan yoni (vagina). Simbol tersebut melambangkan kesuburan agraria bagi kebudayaan masyarakat di sana. Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas pun dapat dilihat melalui dimensi budaya. Selain candi, masih banyak sekali karya, karsa, dan cipta yang berkaitan dengan seksualitas. Ini semakin menjelaskan kepada kita bahwa seksualitas bukan sesuatu yang jauh, melainkan hal sehari-hari. Ketika seorang perempuan hamil, menyusui, dan menstruasi; sebagian masyarakat kita memiliki tradisi ritual yang dilakukan untuk momen-momen tersebut. Lihat saja acara empat bulanan, tujuh bulanan, sunatan, dan lain sebagainya. Banyak ritual yang dilakukan berkaitan erat dengan urusan seksualitas. Dengan kebudayaan yang begitu beragam di Indonesia, setiap daerah pun memiliki tatanan budaya yang berbeda untuk hal tersebut. Hal tersebut merupakan konstruksi budaya yang memiliki prosesnya sendiri. Di antaranya adalah proses eksternalisasi, yaitu di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Proses berikutnya adalah proses subyektivitas seseorang, yaitu penilaian secara individu terhadap konstruksi. Kemudian diakhiri dengan internalisasi. Contoh dari konstruksi budaya ini adalah sunatan yang kerap dilakukan perayaannya hingga sekarang. 14 Ini semakin menjelaskan 14 kepada kita bahwa seksualitas bukan sesuatu yang jauh, melainkan hal sehari-hari. Seksualitas juga bisa dilihat dari sisi seni. Seni nusantara misalnya memiliki tarian yang menampilkan laki-laki yang bertelanjang dada, yang mungkin bagi sebagian orang hari ini, di masyarakat kita yang malah terasa semakin tertutup, bisa saja dianggap pornografi. Seperti contoh lainnya adalah goyangan Inul Daratista yang dulu fenomenal. Sebagian orang menentang goyangan tersebut karena dianggap sebagai pornografi, sementara sebagiannya lagi menganggap itu biasa saja. Jadi, anggapan pornografi itu kembali pada yang meganggapnya, subyektivitas masingmasing. Konstruksi sosial di masyarakat membentuk anggapan dan pandangan bahwa goyang dangdut akan menggairahkan masyarakat. Padahal sejak zaman dahulu, kesenian Indonesia telah memiliki banyak hal yang berhubungan dengan seksualitas. Misalnya, Serat Centhini, sastra Jawa pada abad ke-19, yang menceritakan laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seksual. Selain itu, Argyo Demartoto juga memaparkan bahwa pada seni pertunjukan wayang, seksualitas perempuan dalam wayang menunjukkan adanya kaitan budaya dengan seksualitas. anak sedari kecil pun akan melalui banyak hal yang berhubungan dengan seksualitas. Salah satunya ketika anak-anak menanyakan kepada orang tuanya bagaimana mereka bisa lahir. Atau ketika seorang anak tidak tahu bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dipegang oleh orang lain sehingga mereka bisa mengetahui batas perilaku orang lain terhadapnya dan bisa melindungi diri mereka dari pelecehan seksual. Belum lagi perkembangan teknologi informasi hari ini yang kian pesat dan mudah digunakan memungkinkan anak-anak untuk mencari informasi lewat internet. Namun, jika mereka tidak memiliki bekal dan pemahaman dasar yang cukup dan bertanggung jawab, mereka akan menggunakan teknologi untuk hal yang tidak pas. Misalnya saja ketika anak-anak SD yang menonton video porno lewat HP milik orang tua, paman, tante, teman, bahkan milik mereka sendiri, seperti yang diutarakan oleh seorang peserta yang merupakan guru sekolah dasar. Tanpa bimbingan dan pendidikan seksualitas yang komprehensif, anak-anak ini akan mengolah informasi dari video porno begitu saja, serta menggunakan kata-kata kasar yang tidak pas. Tak hanya menceritakan hubungan seksual, budaya kita juga sudah lama akrab dengan konsep seksualitas yang cair, misalnya soal hubungan sesama jenis. Contohnya di Minangkabau, terdapat hubungan antara laki-laki dewasa (induk jawi) dengan remaja (anak jawi), serta di kehidupan di surau (mairilan dan amrot-amrotan) dalam ilmu silat. Selain itu, dalam Reog Ponorogo, hubungan warok dengan gamblak menggambarkan homoseksualitas yang dilembagakan untuk mencari kesaktian dan sakralitas. Meskipun kini banyak masyarakat yang enggan menerima seksualitas yang lebih dari heteroseksualitas, namun rekam jejak budaya Indonesia menunjukkan hal yang lain. Moderator, Sri Agustine, menceritakan sebuah contoh kasus di Vietnam. Di Vietnam, pendidikan seksualitas telah masuk ke kurikulum. Setelah beberapa waktu pendidikan ini dijalani, ternyata ada perubahan yang terjadi. Siswa-siswa tersebut menjadi tidak tertarik menonton film porno, angka kehamilan tidak diinginkan (KTD) menurun, begitu juga kekerasan dalam pacaran, dan kebanyakan dari mereka memilih untuk menunda melakukan hubungan seksual. Seksualitas yang kental dalam seni dan budaya, juga mengingatkan kita kembali bahwa masalah seksualitas bukan hanya urusan dan milik orang dewasa. Anak- Transformasi sosial kini begitu cepat dan luas terjadi. Saking cepatnya, banyak sekali hal-hal yang sulit dibendung, tak terkecuali soal seksualitas. Kita berada di era perubahan yang begitu dinamis, baik dari segi ekonomi, budaya, dan sosial. Internet tak hanya mengubah cara kita berinteraksi namun juga mengubah cara kita berhubungan (melalui kencan online), bahkan 15 cara kita memenuhi kebutuhan seksual. Meskipun Gang Doli, salah satu lokalisasi terbesar di Indonesia, ditutup, namun e-Doli (electroni Doli) muncul. Ini membuktikan bahwa pelarangan, penutupan, sampai pemblokiran pun bukanlah cara yang cocok dalam menyelesaikan masalah seksualitas di masyarakat. Lagi-lagi, pendidikan seksualitas yang komprehensif adalah solusinya. Dengan informasi yang begitu membanjiri internet, masalah seksualitas yang dianggap begitu tabu nyatanya hanya berjarak beberapa ketikan dan tombol enter di mesin pencari. Apalagi dengan anak-anak sekarang yang kebanyakan begitu melek internet. Maka, mentabukan urusan seksualitas bagi mereka bukanlah langkah yang tepat. Dalam konteks kehidupan seharihari, perlu bagi kita untuk memberi pengertian kepada anak-anak mengenai apa itu seks, apa itu seksualitas, apa itu gender, mengapa seseorang bisa menstruasi, dan lain sebagainya. Sudah sifat dasar bagi seorang anak yang semakin dilarang semakin penasaran. Jalan satu-satunya adalah mereka harus diberi penjelasan yang tidak samar-samar. Selain modul dan kurikulum pendidikan seksualitas, kunci penting bagi pendidikan seksualitas yang komprehensif adalah guru-guru yang juga mendapatkan pendidikan seksualitas secara komprehensif. Karena sering kali permasalahannya adalah guru-guru yang seharusnya mengajarkan tidak memiliki kapasitas yang memadai. Menurut Argyo Demartoto, selain guru, aspek lain yang perlu diperbaiki adalah orang tua, komite sekolah, dan kebijakan sekolah. Sri Agustine menambahkan bahwa kita malah melupakan peran dari guru UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Padahal sebenarnya masalah kesehatan seksualitas jadi bagian dari tugas yang perlu diselesaikan juga oleh guru UKS, bukan hanya guru bimbingan konseling (BK). Kesulitan yang umum dihadapi oleh orang tua maupun Kesulitan yang umum dihadapi oleh orang tua maupun guru adalah ketika anak murid menanyakan hal-hal terkait seksualitas. guru adalah ketika anak murid menanyakan hal-hal terkait seksualitas. Seperti yang dialami oleh guru PAUD dalam program ‘You and Me’ yang sempat kebingungan ketika seorang anak bertanya mengenai 'bencong' itu apa. Masalahnya adalah orang tua dan masyarakat belum tentu menerima ketika seorang anak diberi penjelasan yang komprehensif mengenai apa itu 'bencong' (waria). Tentunya cara menjelaskan kepada anak-anak akan berbeda tergantung umurnya. Apakah itu PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah akan mendapatkan metode penjelasan yang berbedabeda pula. Misalnya ketika seorang anak lima tahun bertanya apa itu 'banci', perlu dijelaskan bahwa lebih baik menyebut mereka 'waria'. Akan lebih baik jika kita menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat laki-laki, perempuan, dan juga waria. Identitas sebutan nama ('waria' bukan 'bencong' atau 'banci') ini penting agar tidak menjadi negatif. Wajah dan ekspresi kita ketika menjelaskan hal tersebut kepada anak juga harus diperhatikan agar tidak terkesan lucu, konyol, atau menghina, sehingga si anak pun menangkapnya bukan sebagai hal yang tidak biasa. Menurut Argyo Demartoto, sekaligus menutup sesi paralel “Everyday Sexuality: Konstruksi Sosial” hari itu, tempat, waktu, dan kepada siapa kita menjelaskan masalah seksualitas perlu kita sesuaikan kondisinya dengan menentukan bagaimana cara menyapaikan yang tepat. 16 16 Sesi Diskusi Paralel 1 “Is talking sexuality to children possible?” Moderator: Henny Supolo – Yayasan Cahaya Guru Pembicara: Ninin Suhertin (TK Latihan YBBSU Balikpapan) Irnida Terana (PPTT Seruni Semarang) 17 Banyak yang masih ragu untuk membuka percakapan seputar tubuh dan seksualitas kepada anak-anak. Masa kanak-kanak dianggap terlalu dini untuk memulai pendidikan seksual yang komprehensif. Bahkan, kadang orang tua dan guru ragu untuk mengenalkan tubuh dan seksualitas pada anak karena menganggapnya sebagai sesuatu yang kotor, tidak pantas, dan tabu bagi masyarakat umum – apalagi bagi anak. Padahal, menurut Irnida Terana, pengetahuan mengenai tubuh dan seksualitas diperlukan anak sebagai salah satu cara mencegah kekerasan seksual. Ketika anak diajarkan mengenai konsep tubuh dan seksualitasnya sendiri, anak pun diajarkan untuk memahami bahwa tubuhnya adalah otoritasnya, dan ada batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilangkahi oleh siapapun. Tidak sembarangan orang berhak melakukan kontak fisik dengan anak, apalagi di daerah seputar alat kelamin. Ketika anak diberikan pemahaman mengenai otoritas tubuhnya sendiri, ia pun diajarkan untuk menghormati otoritas tubuh orang lain. Pemahaman dasar ini penting untuk dipegang teguh anak, karena kebanyakan pelaku kekerasan atau pelecehan seksual adalah orang-orang terdekat yang ada di sekitar anak – seperti orang tua, saudara, dan tetangga. Selain itu, penting juga untuk digarisbawahi bahwa yang memberikan konotasi porno dan menyematkan tabu pada tubuh dan seksualitas adalah orang dewasa, bukan anak itu sendiri. Keingintahuan alamiah anak mengenai tubuhnya sendiri – dan tubuh orang lain yang berbeda dengannya – tidak menyimpan maksudmaksud mesum atau berkonotasi tidak pantas. Irnida mengambil contoh kasus seorang anak berusia enam tahun yang terpergok memasukkan jari ke kemaluan temannya. Bagi orang dewasa, perbuatan anak ini bisa dianggap cabul dan tidak pantas. Namun, anak itu sendiri tidak melakukan hal tersebut karena nafsu birahi. Dengan memasukkan jari ke dalam kemaluan temannya, ia sedang bereksperimen dan Konotasi porno dan menyematkan tabu pada tubuh dan seksualitas adalah orang dewasa, bukan anak itu sendiri. mengeksplorasi bentuk tubuh yang menurutnya berbeda. Ia didorong oleh rasa ingin tahu yang polos, bukan nafsu. Justru, mengajarkan anak sejak dini mengenai tubuh dan seksualitasnya dapat membantu anak memandang kedua isu tersebut di luar konotasi porno. Pengetahuan mengenai seksualitas menjadi satu lagi wawasan yang tak ditutup-tutupi dan membuat penasaran. Bahkan menurut Irnida, justru dengan membuka wawasan anak mengenai seksualitas sejak dini, rasa penasaran anak terhadap materi pornografi semakin minim. Tentu saja, masih banyak orang tua yang akan merasa canggung bila harus membicarakan tubuh dan seksualitas pada anaknya. Bagi Ninin Suhertin, kondisi tersebut terbilang wajar, dan orang tua tak perlu memaksakan diri sebelum ia sendiri siap berbicara dengan anaknya. Namun, penting untuk diingat bahwa anak yang tumbuh dewasa tanpa mengetahui apaapa mengenai tubuh dan seksualitasnya cenderung lebih mudah panik dan susah memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Selain itu, lebih baik anak dikenalkan pada topik ini oleh orang tua sendiri, ketimbang dari sumber tidak jelas yang pasti akan ditemui anak di kemudian hari. Orang tua bisa menanamkan berbagai nilai tentang tubuh dan seksualitas, yang dapat membentengi anak dari pelecehan dan kekerasan seksual nantinya. Tentu saja, pengenalan yang dilakukan oleh orang tua harus terjadi secara bertahap. Menurut Ninin, orang tua dapat memulai dengan menjelaskan tentang berbagai organ dan anggota tubuh serta fungsinya, termasuk mengenai alat kelamin anak-anak. Penting sekali untuk mengemas pengetahuan mengenai alat kelamin sebagai pengetahuan dan wawasan umum, sama halnya ketika orang tua menjelaskan anggota tubuh lain. Ini akan membantu anak untuk memahami alat kelaminnya dari sudut pandang yang tidak porno, melainkan dari sudut pandang ilmiah. 18 18 Meskipun begitu, guru yang memberikan pengenalan mengenai tubuh dan seksualitas pada anak harus terus berkomunikasi dan memberitahukan pada orang tua, juga sebaliknya. Ini harus dilakukan karena belum tentu orang tua dan guru menanggapi pengenalan ini dengan positif, sementara anak tidak boleh menerima informasi yang rancu atau bertabrakan mengenai seksualitasnya. Bagi Ninin, orang tua perlu menyiapkan jawaban yang benar dan jujur mengenai seksualitas, dan memberi pembekalan yang komplit bagi anak. Seiring anak beranjak dewasa, sekedar mengajarkan apa bedanya vagina dan penis tidak akan cukup. Selain itu, orang tua juga bisa mulai mengenalkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, serta memberi pemahaman dasar mengenai hak gender. Selanjutnya, orang tua atau guru bisa memberi pemahaman yang sederhana namun jelas mengenai dari mana anak berasal. Secara sederhana, jelaskan mengenai proses pembuahan, kehamilan, dan kelahiran anak. Terakhir, anak dapat diajarkan mengenai otoritas tubuhnya dan tubuh orang lain: bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain, apa yang harus dilakukan jika disentuh orang lain, dan mengajak anak untuk jujur dan mau bercerita pada orang tua jika ada yang menyentuh anak secara tidak pantas. Bagi Ninin, metode yang digunakan untuk menjelaskan semua ini juga harus diperhatikan. Salah satu cara yang efektif adalah menggunakan boneka yang lengkap menggambarkan tubuh anak kecil dan orang dewasa – seperti ada puting, alat kelamin, pusar, bulu ketiak, dan anggota tubuh lainnya. Perilaku orang tua terhadap boneka tersebut juga perlu diperhatikan. Secara tidak sadar, anak mencontoh bagaimana kita memperlakukan boneka tersebut. Maka, penting untuk membuka baju boneka tersebut secara perlahan, serta tidak membuka sembarang baju atau celana secara paksa. Ini dapat membantu anak mendapat persepsi yang baik tentang bagaimana ia semestinya memperlakukan tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. 19 Sesi Diskusi Panel 2 “Bullying” Moderator: Enny Nadia Simanjorang (PKBI Lampung) Pembicara: Fabelyn Baby Walean (Sudah Dong! Anti-bullying Movement) Hendri Yulius (UNDP, penulis buku Coming Out) Bullying telah lama menjadi masalah bersama yang harus ditangani. Mulai dari ranah sekolah, keluarga, hingga lingkar pertemanan, bullying dalam berbagai bentuk dapat menyebabkan korbannya merasa terasing, tidak nyaman, dan terpinggirkan. Salah satu jenis bullying yang umum terjadi – namun, karena berbagai alasan, kadang kita anggap lumrah – adalah bullying berbasis gender. Ada berbagai jenis bullying yang dapat terjadi, tutur Fabelyn dari komunitas Sudah Dong. Di antaranya adalah bullying verbal, fisik, relasional, serta cyber bullying. Bullying pun dapat dilakukan oleh individu ke kelompok, kelompok ke kelompok, atau kelompok ke individu. Dalam konteks sekolah, lingkungan menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan bullying bisa terus terjadi. Sekolah yang minim pengawasan, memiliki tingkat kompetisi antar murid yang terlalu tinggi, serta memiliki budaya senior dan junior adalah ruang-ruang yang rentan kasus bullying. Karena bullying seringkali mungkin terjadi dimana terdapat celah yang disediakan oleh kultur dan pergaulan sekolah, kadang baik pelaku maupun orang-orang yang ada di sekitar yang keburu menganggap bahwa apa yang mereka lakukan termasuk wajar. Selain karena ketidaktahuan, kultur ini kadang malah membuat kita secara implisit mendukung terjadinya bullying tersebut – terutama bila kasus bullying yang dimaksud memiliki dimensi dengan gender. Menurut Hendri Yulius, gender adalah salah satu isu yang kerap dijadikan alasan bullying atau kekerasan. Ekspresi gender seseorang bisa jadi bahan rundungan oleh teman-teman di sekitar korban, melahirkan ejekan dan panggilan miring seperti ‘bencong’ dan ‘banci.’ Walau seringkali ucapan tersebut dianggap sebagai lelucon, tak banyak yang tahu bahwa dalam konteks yang salah, candaan tersebut justru bisa sangat menyakiti korban dan menjadi salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. 20 Enny Nadia Simanjorang " Bullying, tak dapat dilepaskan dari elemen ketimpangan kuasa." Fabelyn Baby Walean 20 Bullying, lanjut Fabelyn, tak dapat dilepaskan dari elemen ketimpangan kuasa. Pelaku selalu memiliki keuntungan tertentu dari korban yang membuatnya mampu melakukan, bahkan melanggengkan, perbuatannya. Dalam kasus bullying berbasis gender, misalnya, hegemoni maskulinitas menjadi salah satu faktor utama yang membuat masyarakat gagal paham bahwa yang sedang dilakukan oleh pelaku ke korban adalah bullying. Maskulinitas, tutur Hendri, masih ditinggikan dan dianggap sebagai tipe ideal dari konstruksi gender, sehingga ekspresi gender yang dianggap maskulin menjadi tolok ukur penting apakah seseorang bertingkah laku ‘sesuai’ atau menyimpang. Perempuan yang maskulin belum tentu akan dicemooh sebagai ‘bencong’. Namun sebaliknya, laki-laki yang feminin akan dicerca oleh teman-temannya. Bahkan untuk menegaskan posisi dominan maskulinitas tersebut, laki-laki kadang merendahkan perempuan. Akarnya terletak pada ketidaktahuan kita bahwa gender bukanlah konsep yang kaku. Ia perlu dibedakan dengan jenis kelamin, yang merupakan kondisi alami dan tak terelakkan. Pandangan umum bahwa gender seseorang sudah pasti akan mengikuti konvensi atau norma tertentu justru menciptakan lingkungan yang rentan pada bullying berbasis gender. Kita jadi terbiasa mudah menilai seseorang bersikap patut atau tidak patut sesuai gendernya, dan secara tidak langsung melanggengkan bullying dan kekerasan berbasis gender. Padahal gender adalah konstruksi sosial, sehingga tentu semua orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan identitasnya. Sikap menghargai perbedaan inilah yang menjadi titik tolak kunci untuk meretas siklus bullying dan kekerasan berbasis gender. Semua elemen harus bergerak dari pemahaman bersama bahwa tidak seorangpun boleh mengalami kekerasan atas dasar apapun juga. Selain itu, terdapat siklus menyeramkan di mana bullying diterima secara implisit sebagai bagian dari 21 Pergeseran pemahaman ini pun harus didukung dengan adanya mekanisme dukungan yang jelas bagi korban dan pelaku. status quo. Bullying, terang Fabelyn, seringkali telah menjadi kebiasaan di lingkungan tersebut. Dan demi untuk beradaptasi dan mengaktualisasi diri, pihakpihak yang baru masuk lingkungan tersebut beresiko melanjutkan siklus bullying tersebut atas dasar ikutikutan. Ini yang menjelaskan, misalnya, kenapa sekolah dengan budaya senior-junior yang kental menjadi rentan bullying. Bullying menjadi semacam tren yang harus diikuti dan dilakukan lagi oleh orang lain agar ia tidak terlihat aneh dan di luar kebiasaan. Karena itulah, menurut Fabelyn, penting untuk menekankan bahwa bullying “sudah tidak keren” dan tidak relevan dengan kehidupan anak muda masa kini. Namun, selain menekankan pesan keberagaman dan perdamaian, penting juga untuk memastikan bahwa korban dan pelaku bullying mendapatkan dukungan institusional yang sesuai. Bagi kedua narasumber, paradigma dan perspektif guru dan murid mengenai bullying dan seksualitas perlu digeser. Karena itu, meningkatkan kesadaran guru dan murid mengenai jenis-jenis bullying, bahayanya, serta pemahaman mengenai isu seksualitas – seperti gender, keberagaman, dan kesehatan reproduksi – sangat penting dilakukan. Ketika anak atau murid menjadi korban bullying, maka siapapun yang hadir untuk mendengarnya – terutama guru – harus bisa mendengar tanpa menghakimi, apapun alasan dan latar belakang korban. Pergeseran pemahaman ini pun harus didukung dengan adanya mekanisme dukungan yang jelas bagi korban dan pelaku. Siapa yang bisa menerima laporan murid jika terjadi bullying? Peraturan dan kebijakan sekolah apa yang dapat melindungi murid dari bullying? Siapa yang berwenang untuk memediasi atau menyelesaikan kasus bullying, dan mengangkat terus pemahaman bahwa bullying, dalam segala bentuknya, tidak pantas dilakukan? Semua ini harus bisa dijawab oleh pengelola sekolah agar bullying, dalam konteks sekolah, bisa benar-benar diminimalisir. " Gender adalah salah satu isu yang kerap dijadikan alasan bullying atau kekerasan. " Hendri Yulius 22 22 Paralel 3 “CSE for Disabled People” Moderator Bahrul Fuad (Pusat Kajian Disabilitas UI) Pembicara: Windarto Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Siti Rahayu Yayasan Santi Rama Isti Siswi SLB Santi Rama 23 Pendidikan seksualitas komprehensif bagi semua merupakan tantangan bagi pendidikan kita. Bagi semua tentu juga dengan memperhatikan kebutuhan siswa penyandang disabilitas. Dalam sesi ini, Bahrul Fuad dari Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia memoderasi diskusi bersama dengan Windarto dari Panti Sosial Bina Netra (PSBN), Siti Rahayu dari Yayasan Santi Rama, dan Isti, siswi Sekolah Luar Biasa Santi Rama, berbagi mengenai pendidikan seksualitas komprehensif bagi remaja penyandang disabilitas. Tentu tak ada perbedaan isi dari pelajaran dalam modul pendidikan seksualitas komprehensif bagi siswa-siswi penyandang disabilitas. Perbedaan adalah dari alat dan metode penyampaian pelajaran. Seperti yang dijelaskan oleh Windarto dari Panti Sosial Bina Netra, bahwa dalam menjelaskan pada penyandang disabilitas tunanetra, mereka menggunakan laptop dan komputer karena seorang tunanetra hanya cenderung mengandalkan pendengarannya. Tak hanya itu, alat pembelajaran lainnya adalah boneka, gunting, benang wool. Dengan benda-benda tersebut, ia membuat permainan sehingga menarik perhatian siswa. Penggunaan alat peraga juga sangat membantu, terutama karena alat peraga bisa diraba sehingga mereka memahami bentuk alat reproduksi. Alat tersebut berupa boneka yang menjelaskan perbedaan organ seksual laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan, alat peraga juga dapat menjelaskan perkembangan janin dan proses melahirkan. Penting bagi mereka mendapatkan materi melalui alat peraga yang dapat diraba karena sulit bagi mereka jika dijelaskan melalui kata-kata. Pengetahuan ini penting bagi siswa perempuan yang nantinya mungkin melahirkan, juga bagi siswa laki-laki agar dapat berempati terhadap perempuan. Tak hanya materi seputar reproduksi, pendidikan seksualitas komprehensif bagi mereka juga melingkupi materi mengenai masa depan. Materi ini bertujuan agar Remaja penyandang disabilitas ini jangan dikasihani, melainkan diberi kesempatan. mereka dapat memiliki rencana masa depan, apakah mau melanjutkan sekolah, kejuruan, atau bekerja. Di akhir tahun ajaran, para siswa akan ditugaskan untuk membuat alat peraga perempuan dan laki-laki. Ada perubahan positif yang telah terbukti dari CSE bagi penyandang disabilitas selama ini. Sebelum mengikuti pelajaran, siswa merasa minder karena merasa kondisi fisik mereka yang tidak sempurna dibanding anak yang tanpa disabilitas. Anak dengan disabilitas penglihatan atau tunanetra sering merasa bingung akan kondisi tubuhnya yang berubah saat pubertas, seperti saat menstruasi, mimpi basah, mereka banyak yang tak tahu cara menghadapinya. Banyak yang memiliki persepsi bercinta itu artinya meraba, bercumbu, dan sebagainya. Banyak juga di antara mereka yang tidak mengetahui konsekuensi dari hubungan seks. Banyak di antara mereka yang percaya mitos-mitos dan tidak memahami bagaimana kehamilan bisa terjadi. Banyak juga di antara mereka yang tidak mengetahui jenis-jenis infeksi menular seksual. Namun, sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, menurut Siti Rahayu, mereka menjadi lebih percaya diri dengan memahami bahwa setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masingmasing. Mereka sudah mengetahui bagaimana cara menghadapi perubahan yang terjadi pada diri mereka saat mereka pubertas, sehingga tidak kaget. Mereka pun lebih terbuka dan berani bertanya apabila terjadi perubahan perubahan yang dianggap aneh. Mereka juga mengetahui arti cinta, saling memahami, dan mengasihi. Mereka bisa lebih berhati-hati dan tidak sembarangan melakukan suatu hubungan. Karena anak tunanetra biasanya berisiko lebih tinggi terkena pelecehan seksual. Setelah mereka mengetahui selukbeluk seksualitas, diharapkan mereka bisa membuat rencana masa depannya. Tahu akan hak-hak mereka sebagai warga negara dan tidak lagi menjadi korban pelecehan seksual. 24 24 Sedangkan tantangan pada anak dengan disabilitas pendengaran atau tunarungu kondisinya berbeda lagi. Kecenderungan miskin bahasa pada anak-anak tunarungu membutuhkan metode tersendiri. Bagi tunarungu yang tidak mengetahui kosakata dan aturan tata bahasa, jika omongan lawan bicara terlalu cepat atau terlalu tinggi, mereka tak akan memahaminya. Menurut Siti Rahayu dari Yayasan Panti Rama, dalam mendidik siswa tunarungu, kita harus mengandaikan perilaku seorang ibu yang mengembangkan bahasa anaknya yang masih bayi. Harus perlahan-lahan, sabar, dan penuh kasih sayang. Dibutuhkan latihan terprogram dan berkesinambungan. Melalui modul pendidikan kespro dari Rutgers WPF Indonesia yang terdiri dari 15 bab, Siti Rahayu mengajarkannya kepada remaja tunarungu dengan menggunakan metode berbasis komputer. Dengan permainan menggunakan komputer, mereka lebih cepat memahami. Selain alat bantu ajar, cara guru mengajarkan dan memposisikan diri yang terbuka sehingga lebih terasa seperti teman pun efektif membuat siswa lebih membuka diri. Istiqomah adalah seorang siswi tunanetra di SLB Santi Rama yang merasakan manfaat dari pendidikan kespro. Meski baru mendapatkan pendidikan kespro di usia 20 tahun, namun Isti senang akhirnya bisa mendapatkannya. Sejak kecil Isti tak paham apa itu kumis, jenggot, jakun, dan sebagainya. Setelah mendapatkan pendidikan seksualitas komprehensif, ia pun jadi mengetahui hal-hal kecil yang ternyata penting. Seperti orang tua kebanyakan, orang tua Isti pun menganggap hal ini tabu. “Kamu jangan tahu itu, kamu masih kecil.” Padahal tentu ini salah, banyak hal penting yang harus diketahui sejak dini. Isti mengakui, setelah mendapatkan CSE, ia menjadi orang yang lebih kritis, lebih mempertimbangkan efek negatif dan positif dari banyak hal. Ia juga jadi memiliki rencana ke depannya, kapan ia harus menikah, dengan siapa, dan sebagainya. Namun, yang mengherankan baginya adalah ketika ia pulang ke kampungnya dan bertemu dengan teman yang tanpa disabilitas. Ia heran melihat mereka malah tidak mendapatkan pendidikan seksualitas. Mendapatkan kenyataan tersebut, Isti pun ingin dapat menyampaikan pendidikan seksualitas ke orang-orang di pedesaan. Meskipun begitu, masih ada sejumlah kendala yang dihadapi dalam menyampaikan pendidikan seksualitas komprehensif bagi remaja penyandang disabilitas. Winarto menjelaskan contohnya ketika harus menjelaskan soal narkoba. Sulit untuk mengadakan alat peraga soal itu, pembelian alat pun terbatas oleh dana. Menjelang akhir sesi, Siti Rahayu menambahkan hal penting yang harus diingat: remaja penyandang disabilitas ini jangan dikasihani, melainkan diberi kesempatan. 25 Paralel 4 “Linking and Learning CSE Programs From National and International Context Moderator: Andre Susanto Program Manager Rutgers WPF Indonesia Pembicara: Nur Aida Hayati pelaksana Program SEPERLIMA dari RAHIMA Mawar Anita Pohan Program Hidup Sehat Bersama Sahabat (HEBAT) Jo Reinders Technical Expert Youth and Sexuality Education, Rutgers Belanda Sesi ini berusaha merangkai pembelajaran dari berbagai program terkait CSE baik dalam konteks nasional maupun internasional. Mawar Pohan mengawali sesi dengan bercerita tentang program HEBAT yang telah dikembangkan sejak tahun 20092010 sebagai bentuk kolaborasi dengan Dinas Kota Bandung, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi, dan Universitas Padjajaran. Sebelumnya, pada 2008-2009, sebagai dasar, dilakukan terlebih dahulu identifikasi masalah terkait penyalahgunaan narkoba terhadap guru dan pelajar sekolah menengah pertama (SMP). Hal ini ditujukan sebagai referensi dalam merancang program. Dari sinilah, dirancang sebuah program yang diharapkan komprehensif, berkelanjutan, dan diutamakan dilakukan pada lembaga formal. Program advokasi pun dilakukan agar Universitas Padjajaran, Pemerintah Kota Bandung, serta penasihat dari Rutgers WPF agar dapat menjalankan program ini secara rutin di sekolah, khususnya sekolahsekolah negeri di Bandung sebagai prioritas awal. Diluncurkanlah program HEBAT ini, yakni sebuah kurikulum pencegahan penularan HIV yang dikembangkan sesuai dengan kondisi aktual di Kota Bandung. Program ini mengkombinasikan pendidikan mengenai pencegahan penyalahgunaan narkoba dan kesehatan reproduksi. Pada perkembangannya, program ini berjalan hingga sekarang dengan tujuan pengembangan kemampuan, sikap serta keahlian hidup dari sasaran program. Adapun pendekatan yang diterapkan adalah berupa intervention mapping yang fokus pada perilaku terkait narkoba dan kesehatan reproduksi. Sasaran dari program HEBAT adalah siswa sekolah menengah pertama kelas 8 sebagai prioritasnya, dengan paparan materi mengenai narkoba pada semester ganjil dan kesehatan reproduksi pada semester genap (total 1 tahun). Selain itu, program ini melibatkan guru bimbingan konseling (BK) sebagai penanggung jawab 26 dan dilakukan dalam satu jam pelajaran (40 menit), satu minggu sekali sebagai pengganti jam mata pelajaran BK atau pelajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH). Konten dari pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan konteks sekolah. Contohnya seperti pada sekolah internasional, pendidikan yang dilakukan menggunakan bahasa pengantar yang sesuai dan keadaan siswa/i di sekolah tersebut. Konten materi yang diajarkan diawali dengan tujuan program HEBAT sebagai pengantar dan pembahasan perilaku merokok sebagai masalah yang dianggap sebagai faktor di tingkat hulu, baru dilanjutkan dengan masalah hilir, yaitu penyalahgunaan narkoba tersebut. Program HEBAT juga meliputi bagaimana cara menghadapi pengaruh teman dan idola mereka, dengan mengingatkan siswa dan siswi akan keberadaan keluarga di sisi mereka dengan peran dukungan mereka. Materi atau topik di setiap semester diakhiri dengan review dan pendeklarasian diri atau capaian dan cita-cita dari masing-masing siswa untuk menolak tawaran narkoba dan hal negatif lainnya disertai tips mengenai hal positif yang dapat mereka lakukan ketika berteman. Mawar menambahkan bahwa media dari program ini berupa tiga jenis buku atau modul yaitu buku bacaan guru, buku bacaan untuk siswa, dan lembar kerja siswa yang dilengkapi narasi yang menarik dalam bentuk komik. Sedangkan konten materi dengan topik kesehatan reproduksi meliputi pembahasan mengenai bagaimana hal itu dikaitkan dengan dimensi biologis, psikologis dan sosial, disertai kegiatan diskusi bagaimana ketika menghadapi pengaruhpengaruh yang buruk dengan mengajarkan siswa untuk memandang hal itu secara kritis. Hingga saat ini, program HEBAT sudah terdapat di 40 sekolah menengah pertama (SMP) negeri, dan dalam waktu lima tahun telah melatih banyak guru hingga 26 adanya 26 master teacher, serta rencananya akan dilaksanakan pada 80 sekolah pada tahun mendatang. Tak hanya pengembangan kapasitas bagi pengajar, monitoring dan evaluasi juga dilakukan setiap semester dengan melakukan observasi kelas (random sampling) melalui pretest dan post-test di setiap semester dan focus group discussion (FGD) bersama para guru. Sebagai bentuk evaluasi, HEBAT juga melibatkan orang tua untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka mengenai perubahan dan perkembangan seksual yang dialami anak. Evaluasi tersebut dilakukan dengan memberikan surat sebagai bentuk komunikasi dan ditekankan pada bagaimana pemahaman mereka. Surat tersebut diberikan dari anak kepada orang tua dan sebaliknya. Dalam 5 tahun, program HEBAT mulai berdampak yang nyata bagi masyarakat dan terus memperbaiki kualitasnya dari tahun ke tahun. Jika HEBAT menjalankan programnya di sekolahsekolah negeri, RAHIMA dalam program SEPERLIMA menjalankannya bagi santri di sejumlah pesantren Jawa Timur. Program yang dijalankan oleh RAHIMA adalah pendidikan kesehatan reproduksi (PKRS) di beberapa pesantren daerah Jawa Timur, yang menyesuaikan kurikulum yang ada di pesantren tersebut termasuk bahasa dalam pendidikan yang diberikan. Memang program ini mungkin sensitif untuk dilaksanakan di pesantren, namun dengan keinginan yang kuat dari para pendiri program, dan dengan bukti bahwa dalam Kitab Kuning yang dipelajari para santri, dibuka dengan isu reproduksi. Hal-hal seperti mandi basah, masturbasi, pada dasarnya dijelaskan dalam kitab-kitab tersebut, hanya saja disampaikan dalam yang berbeda. Program ini dilakukan dengan pendekatan: memegang otoritas dan memperhatikan konteks penggunakan bahasa yang bisa digunakan oleh mereka dan penyesuaian dengan tipe pesantren. 27 Yang dilakukan sejak 2012 oleh RAHIMA di antarnya adalah seri pendidikan dengan teman-teman guru, santri, pelatihan santri dan guru setiap dua bulan sekali dengan modul yang disusun sendiri yang berbeda untuk guru dan siswa. Selain itu, advokasi juga terus dilakukan dalam tingkat sekolah dan kabupaten agar terdapat payung hukum untuk kesehatan produksi bagi remaja serta menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang terkait dengan persepsi bahwa pesantren itu tertutup. Hingga saat ini, program ini telah memiliki luaran dengan para siswa yang membuat sendiri pelatihan dari uang saku dan dana yang mereka kumpulkan, hingga akhirnya muncul koperasi yang juga bekerja sama dengan pihak dinas. Sampai tahun ini , PKRS telah menjadi kurikulum di salah satu pesantren bernama Al-Ghozaliyah untuk sasaran siswa dalam tiga tahun SMA dan telah berjalan selama dua tahun disertai dengan modul. Tantangan yang ditemukan berada pada otoritas pengasuh yang ada di pesantren, misalnya dengan menolak berbagai pendekatan yang telah dilakukan. Akan tetapi, independensi pesantren yang berada di bawah naungan negara menjadi peluang bagi program ini untuk terus menjalani programnya. Persepsi yang ingin diubah oleh program yang sudah terdapat di 50 pesantren di Banyuwangi ini adalah bahwa remaja yang ada di sekolah berbasis pesantren juga membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi. Selanjutnya, Jo Reinders memaparkan sejumlah pembelajaran yang ia dapati selama menangani CSE di berbagai negara dalam konteks internasional. Menurutnya, di manapun ia bekerja, ia menemukan bahwa isu yang diangkat adalah keterbukaan di mana semua orang mulai sadar dan mempermasalahkan HIV, ditambah dengan maraknya kasus atau isu kekerasan seksual pada anak. Idola yang menjadi role model bagi Isu yang diangkat adalah keterbukaan di mana semua orang mulai sadar dan mempermasalahkan HIV, ditambah dengan maraknya kasus atau isu kekerasan seksual pada anak. anak-anak saat ini dengan mudahnya menanamkan bahwa seks merupakan hal yang wajar. Hal ini mendorong remaja untuk terlibat dalam perilaku seks yang tidak bertanggung jawab. Melihat hal-hal tersebut, dibutuhkanlah program pendidikan seksual yang berkembang dalam tiga bentuk berikut: 1. Life skill education, seperti ilmu komunikasi, negosiasi dan berpikir kritis seperti di negara Pakistan. 2. Abstinence-only education, di mana banyak negara fokus pada bagaimana cara untuk mengatakan “tidak” dalam pendidikan tetapi tidak menjelaskan secara mendalam tentang hal tersebut seperti di Afrika. Akan tetapi dari banyaknya riset yang dilakukan menganggap program ini tidak efektif karena sudah banyak remaja yang aktif secara seksual sebelum menikah. 3. Lalu muncullah bentuk ketiga yaitu, Comprehensive Sexuality Education yang menganggap pendidikan ini dibutuhkan untuk mempersiapkan mereka sebelum aktif secara seksual. Program ini melibatkan kelompok guru dan siswa yang saling memberikan pendapat kritis dan persepsi masing-masing untuk menyatukan pendapatnya. 28 Suasana CSE Fair Universitas Negeri Jakarta 28 29 Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang luput dari persoalan seksualitas. 30 Media memegang peranan penting demi mendukung kesuksesan CSE Fair 2015. Sebelum dan selama pelaksanaan CSE Fair 2015, kami melibatkan penuh media di seluruh tahapannya agar publik dapat mengakses kegiatan ini baik secara online maupun offline. 1.Media sosial Penyebaran informasi melalui media sosial direncanakan mencakup 3 hal penting, yakni: Membangun awareness atau kesadaran masyarakat mengenai pentingnya Pendidikan Seksualitas Komperhensif bagi anak dan remaja Twitter snapshot Facebook snapshot 30 Mempromosikan Rutgers WPF sebagai institusi yang secara aktif menjalankan CSE di Indonesia Menyebarkan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti Program Pendidikan Seksualitas Komprehensif, Senin, 30 November 2015. Untuk mencapai tujuan tersebut media sosial yang digunakan mencakup Facebook. Twitter, Instagram, serta Thunderclap. Selain itu, social media officer juga memanfaatkan jejaring sosial lain seperti WhatsApp dan LINE untuk menyebarkan informasi acara. Dalam mempersiapkan kampanye media sosial, officer pertama kali mempersiapkan konten dan membuat daftar LSM dan komunitas yang telah berjejaring dengan Rutgers WPF. 31 Instagram Melalui instagram.com/ rutgerswpfindo social media officer menyebarkan informasi yang bertujuan untuk mendorong awareness akan Pendidikan Seksualitas Komperhensif. Cara yang digunakan adalah dengan mengutip liputan media, bagaimana peran Pendidikan Seksualitas bagi remaja di Papua. Thunderclap Untuk meningkatkan awareness netizen, tidak cukup dengan tiga media sosial yang ada. Thunderclap juga dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi pentingnya Pendidikan Seksualitas Komperhensif. 2. Microsite CSE Fair 2015 Demi menyediakan informasi yang lengkap seputar kegiatan, kami membuat microsite khusus di http://csefair2015.rutgerswpfindo.org/ 4. Konferensi pers 5. Liputan media 3. Live streaming Selama kegiatan, publik bisa mengakses kegiatan melalui live streaming di youtube. 32 Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF Indonesia mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan lakilaki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia. Head office Jl Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510. Indonesia e. [email protected] rutgerswpfindo.org csefair2015.rutgerswpfindo.org