Bab III PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG MEMBENTUK HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 3.1. Kronologis Pengadopsian Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum humaniter yang ada sekarang ini berkembang dalam berbagai tahap, seringkali disusun setelah sebuah kejadian dimana Konvensi tersebut sangat dibutuhkan, untuk memenuhi perkembangan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan sebagai akibat dari berkembangnya persenjataan dan konflik jenis baru. 3.2. Asal Usul Konvensi Den Haag 1899 Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang 11 . Membicarakan Hukum Den Haag berarti membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907. Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei-29 Juli 1899) 12. Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holly Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prusia dan Rusia). Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prusia dan Inggris tanggal 20 September 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814-Juni 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814- Juni 1815 untuk 1 1 Arthur Nusbaum, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Bina Cipta, Bandung, 1970 disadur oleh Sam Suhaedi Atmawiria, hlm 158. 12 Dietrich Schindler, The Laws of Armed Conflicts, Henry Dunant Institute, Genewa, 1981, hlm 49. 11 mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo tanggal 18 Juni 181513. Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan menghasilkan tiga konferensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah: 1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional 2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat 3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Laut Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 1. Melarang penggunaan peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. 2. Peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. Konvensi –Konvensi Den Haag 1907 Konvensi-konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian ke II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian ke I tahun 1899 di Den Haag 14. Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1907 itu maka F Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula Hindia Belanda. Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka Hak dan Kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia melalui Persetujuan Peralian yang merupakan Lampira Induk Perjanjian KMB di Den Haag. 1 3 Marwati Djonoed Poeponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa 1815-1945, Erlangga, Jakarta, 1982, hlm 132-282. 14 Haryomataram, op.cit, 1994, hlm 18. 12 Ketika susunan negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia kesatuan, maka ketentuan peralihan UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu, demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur oleh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap Konvensi Den Haag 1907 tersebut15. 3.3. Asal Usul Konvensi Jenewa 1949 Pada tahun 1874 sebuah Konferensi Diplomatik diselenggarakan di Brussels atas inisiatif Kaisar Alexander II Rusia, mengadopsi sebuah Deklarasi Internasional mengenai hukum-hukum dan kebiasaan perang. Naskahnya tidak diratifikasi bagaimanapun juga karena beberapa negara yang hadir merasa berat untuk terikat dalam sebuah perjanjian. Walaupun demikian, Rancangan Brussels menandai sebuah tahap penting dalam pengkodifikasian hukum perang. Pada tahun 1934, Konferensi Internasional Palang Merah ke-15 berlangsung di Tokyo dan menyetujui naskah Konvensi Internasional mengenai kondisi dan perlindungan bagi penduduk sipil yang memiliki kewarganegaraan musuh yang kebetulan berada didaerah kekuasaan dari atau yang diduduki oleh salah satu negara yang berperang, yang rancangannya disusun oleh ICRC. Tidak ada aksi yang diambil terhadap rancangan naskah tersebut, pemerintah menolak untuk mengundang diadakannya konferensi diplomatik untuk memutuskan pengadopsiannya. Sebagai hasilnya rancangan Tokyo tidak diaplikasikan selama Perang Dunia Kedua dengan konsekuensi yang kita semua mengetahuinya. Empat konvensi Jenewa yaitu: 1. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan pertempuran darat. 2. Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang terluka, sakit dan korban karam. 3. Perlakuan terhadap tawanan perang. 1 5 F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992, hlm 183-184 13 4. Perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang (baru). 3.4. Asal usul Protokol 1977 Konvensi Jenewa 1949 menandai suatu kemajuan pesat pada perkembangan hukum humaniter. Setelah dekolonisasi, bgaimanapun juga ngara-negara baru mengalami kesulitan untuk terikat dalam seperangkat aturan tertentu dimana mereka sendiri belum merasa siap. Lebih jauh lagi, perjanjian yang mengatur perilaku pada waktu permusuhan tidak dikembangkan sejak perjanjian Den Haag tahun 1907. Karena perevisian Konvensi Jenewa mungkin menimbulkan ancaman bagi kemajuan-kemajuan yang dibuat tahun 1949, diputuskan untuk memperkuat perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dengan mengadopsi naskah baru dalam bentuk Protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa. 14