PENDAHULUAN Penyakit kronis merupakan permasalahan kesehatan serius dan penyebab kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2008, penyakit kronis menyebabkan kematian pada 36 juta orang di seluruh dunia atau setara dengan 36 % jumlah kematian di dunia (WHO, 2013). Berdasarkan hasil temuan Riskesdas pada tahun 2013, penyakit kronis merupakan sepuluh penyebab utama kematian di Indonesia (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Mattson (dalam Bradford, 2002) menjelaskan bahwa penyakit kronis adalah suatu penyakit menahun yang dapat berlangsung lama dan fatal, penyakit ini diasosiasikan dengan kerusakan atau penurunan fungsi fisik dan mental. Salah satu jenis penyakit kronis yang merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia, terutama pada negara berkembang, adalah penyakit jantung (WHO, 2013). Penyakit jantung merupakan kondisi fatal pada jantung yang menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi memompa darah dengan benar (Hocaoglu, Yeloglu, & Polat, 2011). Beberapa macam penyakit jantung yaitu Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Jantung Hipertensi, dan Infarksi Miokardia. Penyebab utama penyakit jantung adalah kurangnya pasokan oksigen ke jantung, yang disebabkan oleh atheorosklerosis koroner yaitu penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, akibat timbunan kolesterol atau akibat penyempitan pembuluh darah (Davison, Neale, & Kring, 2006; Hocaoglu, dkk., 2011). Adanya permasalahan atau kekacauan pada peredaran darah ke seluruh tubuh inilah yang dapat membahayakan dan menyebabkan kematian yang mendadak pada pasien penyakit jantung. Berdasarkan data The World Health Organization (WHO) tercatat bahwa pada tahun 2003 terdapat 16,7 juta orang meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah (Hocaoglu, dkk., 2011). Selain itu, fakta terbaru WHO (2013) menemukan bahwa 48 % dari angka kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah. Di Indonesia, berdasarkan catatan Yayasan Jantung Indonesia, prevalensi penyakit jantung mencapai 7-12 % per tahun. Artinya, minimal terdapat 16,8 juta penduduk dari 240 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit jantung dan 50 % diantaranya berusia produktif, yaitu usia 3050 tahun (Republika, 2013). Data RISKESDAS pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi penyakit jantung, seperti gagal jantung, terjadi di DI Yogyakarta yaitu 0,25 %, melebihi Jawa Timur (0,19 %) dan Jawa Tengah (0,18 %) (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Begitu pula hasil pencatatan dan pelaporan rutin rumah sakit di DI Yogyakarta menemukan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir penyakit jantung dan pembuluh darah tergolong 10 penyebab kematian di DI Yogyakarta dengan jumlah kasus yang semakin meningkat setiap tahunnya. Data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah seperti gagal jantung menjadi penyebab kematian nomor 4 di DI Yogyakarta dengan jumlah kematian sebanyak 253 orang, kemudian penyakit jantung iskemik lainnya pada urutan nomor 6 (233 orang), dan penyakit infarksi miokardial akut dengan jumlah kematian sebanyak 182 orang pada urutan ke 9 dari 10 besar penyebab kematian di Rumah Sakit DI Yogyakarta (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan penyakit yang membutuhkan perhatian dan penanganan khusus di DI Yogyakarta. Penyakit Jantung dengan potensi kematian yang mendadak menjadikan penderitanya sangat rentan mengalami gangguan mental. Kondisi ini sering disebut sebagai psychocardiology (Hocaoglu, dkk., 2011). Secara psikologis, akan muncul kesedihan yang dirasakan pasien ketika didiagnosa menderita penyakit jantung. Kübler-Ross (2009) menjelaskan terdapat lima tahap kesedihan yang dialami pasien dengan penyakit kronis yang mematikan yaitu: 1) Denial¸ yaitu menolak kondisinya dengan menyangkal diagnosa yang diberikan padanya, mencari kebenaran kepada banyak dokter, dan ingin segera meninggalkan rumah sakit; 2) Anger, pada tahap ini penolakan pada kondisi berubah menjadi perasaan marah, iri hati, cemburu pada orang lain yang sehat, atau marah kepada tuhan yang biasanya muncul dalam pertanyaan “mengapa harus aku?”; 3) Bargaining, yaitu tahap pasien telah memiliki pemikiran yang logis bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan sehingga pasien hanya berharap untuk ditunda kematiannya dengan mulai mengubah pola hidup menjadi lebih baik; 4) Depression, tahap ini muncul ketika pasien menyadari bahwa usahanya tidak sepenuhnya menyembuhkan penyakitnya dan kembali teringat akan kematian yang ditandai dengan perasaan cemas, tertekan, putus asa, tidak berdaya, pendiam, dan bersedih; 5) Acceptance, ketika pasien telah mampu melewati masa kesedihannya, pada tahap ini, pasien telah mampu berdamai dan menyadari kondisi kesehatannya sehingga muncul pikiran yang positif pada dirinya. Selain adanya kesedihan akan penurunan kondisi kesehatan, ketakutan akan munculnya penyakit lain dan ancaman kematian mendadak merupakan tekanan (distress) tersendiri bagi pasien jantung. Hal ini dapat meningkatkan munculnya permasalahan psikologis yang lebih serius seperti kecemasan dan depresi. Kecemasan merupakan rasa takut dan khawatir pada individu yang disebabkan oleh adanya ancaman tidak nyata dan masih kabur, kesulitan-kesulitan yang belum jelas adanya, dan bahaya yang dianggap mengancam kesejahteraan hidupnya (Alloy, Riskind, & Manos, 2005). Kecemasan merupakan suatu reaksi normal yang ditunjukkan seseorang apabila berada dalam suatu tekanan, namun kecemasan yang patologis dapat menjadi suatu permasalahan tersendiri seperti permasalahan kesehatan mental. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gangguan mental dan psikologis yang terdapat pada pasien penyakit jantung adalah stres (Khan, 2006; Lipsky, Mendelson, Havas, & Miller, 2008), depresi (Wenger, 2003; Ziegelstein & Elfrey, 2011), dan kecemasan (DeJean, Giacomini, Vanstone, & Brundisini, 2013; Januzzi, Stern, & Pasternak, 2000; Pajak, Jankowski, Kotseva, Heidrich, Smedt, & Bacquer, 2013; Rothenbacher, Hahmann, Wüsten, Koenig, & Brenner, 2007). Davison, Neale, & Kring (2006) menjelaskan bahwa seseorang dengan gangguan psikologis dapat pula memenuhi kriteria diagnosis gangguan lainnya, yang disebut sebagai komorbiditas. Pada pasien penyakit jantung, kecemasan sering kali muncul sebagai komorbiditas. Penelitian Huffman, Celano, & & Januzzi (2010) menemukan bahwa terdapat peningkatan level kecemasan pada pasien penyakit jantung sebesar 16 % hingga 42 % dibandingkan individu pada umumnya. Kecemasan pada pasien penyakit jantung seringkali muncul akibat penurunan kondisi fisik yang dialaminya. Kondisi ini menyebabkan pasien kesulitan untuk beraktifitas secara normal, merasa tidak berdaya, takut akan kesulitan dalam berhubungan sosial, dan merasa bersalah pada orang-orang di sekelilingnya (DeJean, dkk., 2013). Penelitian Clarke & Currie (2009) dan Hocaoglu, dkk. (2011) menemukan penderita penyakit jantung memiliki simtom psikiatris, seperti kecemasan, depresi, perilaku bermusuhan, agresif, menolak pengobatan, dan delirium. Kondisi kecemasan pada pasien penyakit jantung menurut Januzzi, dkk. (2000) berisiko memperparah penyakitnya. Barth, Schumacher, & Hermann- Lingen (2004) dan Roest, Martens, de Jonge, & Denollet (2010) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan salah satu faktor risiko penyebab kematian pada pasien penyakit jantung. Penelitian Turner, Phillips, Hambridge, Baker, Bowman, & Colyvas (2010) menemukan bahwa pasien penyakit jantung dengan kecemasan akan lebih banyak dirawat di Rumah Sakit dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Begitu pula hasil penelitian Pajak, dkk. (2013) membuktikan bahwa kecemasan dan depresi berpengaruh terhadap rendahnya keinginan pasien penyakit jantung untuk mengubah gaya hidup sehingga proses penyembuhannya menjadi lebih lambat. Selain kecemasan muncul akibat menderita penyakit jantung, kecemasan juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penyakit jantung. Birkenaes (2008) menemukan pasien gangguan mental berat seperti kecemasan dan depresi berisiko dua kali lipat terkena penyakit jantung dibandingkan yang tidak memiliki kecemasan dan depresi. Kondisi psikologis seperti stress, kecemasan, depresi, isolasi sosial, konflik sosial, kurangnya dukungan sosial, dan kondisi psikologis lainnya secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit jantung. Individu yang mengalami stress cenderung berperilaku yang berisiko menimbulkan penyakit jantung seperti merokok, kurang nutrisi, dan malas berolahraga (Morewitz & Goldstein, 2007). Selain itu, pengaruh langsung kecemasan terhadap munculnya penyakit jantung yaitu dengan meningkatnya neuroendocrine dan aktivasi platelet. Kecemasan akut menyebabkan hiperventilasi yang menyebabkan kejang pada urat jantung, atau dapat memicu episode aritmia ventrikel yang fatal seperti ritme jantung yang tidak normal (Hocaoglu, dkk., 2011). Frank & Smith (dalam Morewitz, 2006) menjelaskan bahwa efek stress pada jantung dapat dilihat dari interaksi antara central nervous system’s frontal cortex dan hypotalamus dengan fungsi kontrol kardiovaskular. Kondisi kecemasan juga menyebabkan kerja sistem syaraf simpatik menjadi berlebih sehingga menimbulkan reaksi fisik seperti keringat, palpitasi, tremor, nafas menjadi cepat dan dalam, kemudian berpengaruh pada kondisi kesehatan seperti munculnya penyakit jantung. Berdasarkan pemaparan di atas, hubungan kecemasan dan penyakit jantung memiliki pengaruh timbal balik. Penelitian Roy-Byrne, dkk. (2008) membuktikan bahwa kecemasan pada penyakit medis dapat sebagai faktor risiko, komorbiditas, atau muncul sebagai efek dari penyakit tersebut. Berbagai pengobatan medis yang diberikan untuk menurunkan kecemasan pada pasien penyakit jantung, yaitu Tricyclic antidepressants dan SSRIs. Dalam penerapannya, terdapat beberapa keraguan dalam pemberian obat tersebut pada pasien penyakit jantung (Glassman & Bigger, 2011). Pada tahun 1990-an hingga 2000-an, banyak peneliti yang meragukan pemberian obat antidepresan pada pasien jantung karena ditakutkan dapat memberikan efek negatif. Hal ini menyebabkan pemberian obat tersebut hanya akan dilakukan kepada pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi. Smoller, dkk. (2009) menemukan bahwa Tricyclic antidepressants dan SSRIs dapat meningkatkan risiko kematian, hemorhagic dan stroke, meskipun risikonya tidak sangat besar. Carney, Freedland, Veith, & Jaffe (1999) menjelaskan bahwa obat antidepresif seperti Tricyclic antidepressants terhadap pasien penyakit jantung dan pembuluh darah, terutama stroke, dapat menjadi penyebab permasalahan pada kardiovaskular dan menimbulkan efek cardiotoxic. Hal ini menunjukkan pentingnya pengembangan strategi screening dan intervensi pikologis terhadap kondisi kecemasan pasien penyakit jantung agar tidak memperparah kondisinya (Artinian, Artinian, & Saunders, 2004; Rothenbacher, dkk., 2007). Beberapa penelitian membuktikan bahwa intervensi psikologis yang efektif untuk menurunkan kecemasan pasien penyakit jantung yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT) (Carney, Freedland, Stein, Skala, Hoffman, & Jaffe, 2000; Carney & Freedland, 2011; Januzzi, dkk., 2000). Selain itu, penelitian lain juga membuktikan bahwa Acceptance and Commitment Therapy (ACT) yang merupakan pengembangan dari BT dan CBT efektif untuk menurunkan kecemasan pada pasien penyakit kronis (Feros, Lane, Ciarrochi, & Blackledge, 2013; Lowe, dkk., 2004; Robinson, Gregg, & Dahl, 2004). ACT adalah suatu pendekatan terapi yang menggunakan proses penerimaan dan mindfulness, proses berkomitmen dan mengubah perilaku untuk mencapai psychological flexibility. Individu yang memiliki psychological flexibility adalah individu yang fokus pada masa sekarang, penuh kesadaran dan keterbukaan, dan dapat mengubah atau mempertahankan perilaku sesuai dengan nilai yang dimilikinya (Hayes, Luoma, Bond, Masuda, & Lillis, 2006). Tritmen ACT pada kecemasan bertujuan membantu pasien penyakit kronis belajar menerima dan hidup bersama simtom kecemasannya, seperti pikiran akan kematian, ketakutan, sensasi tubuh yang dirasakan, dan ketidaknyamanan, dengan latihan mindfulness, bukan berusaha untuk menghilangkan dan menekannya (Hayes, Strosahl, & Wilson, 2003). Penelitian Ehlers & Steil (dalam Soo, Tate, & Lane-Brown, 2011) membuktikan bahwa penolakan atau memendam pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dapat meningkatkan kecemasan. Dalam penelitiannya, McCraken, Sato, & Taylor (2013) menguji penerapan terapi yang menggunakan konsep penerimaan, komitmen, dan aksi dengan model brief dan diberikan secara kelompok pada 72 pasien penyakit kronis yang dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hasil penelitian menemukan bahwa kelompok yang diberi intervensi menunjukkan adanya penurunan disabilitas, menurunnya depresi dan kecemasan, dan ada adanya penerimaan terhadap kondisi kesehatan. Berdasarkan kebutuhan pasien penyakit jantung dengan kecemasan, yaitu menerima kondisi kesehatan, menghilangkan pikiran negatif akan kondisi seperti perasaan tidak berdaya dan pikiran akan kematian, menumbuhkan harapan, dan meningkatkan keinginan pasien penyakit jantung untuk mengubah gaya hidup, maka konsep-konsep yang terdapat dalam ACT dinilai cocok untuk diterapkan pada pasien penyakit jantung. Oleh karena itu, peneliti merancang sebuah program yang dikembangkan dari konsep ACT dengan nama Program “Pasien PANDAI” (Pasien dengan PenerimaAN Dan AksI). Kata PANDAI merupakan singkatan dari PenerimaAN Dan AksI. Kata PANDAI dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pintar, terampil, mampu, atau berilmu (Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Indonesia, 2008), sehingga makna PANDAI dari “Pasien PANDAI” dapat berarti pasien yang pintar menyadari peristiwa yang terjadi di dalam diri, kemudian mampu dan terampil dalam mengelola diri baik emosi, pikiran, dan perilaku. Program “Pasien PANDAI” disusun secara integratif dengan menggabungkan proses penerimaan, mindfulness, proses berkomitmen, dan mendorong adanya perubahan perilaku secara nyata pada pasien. Melalui program ini, pasien jantung dibantu untuk dapat menerima kondisinya, lebih mendapatkan ketenangan batin, mampu menetapkan tujuan dalam menghadapi penyakitnya, membangun komitmen untuk berubah secara lebih positif, dan melaksanakan komitmennya secara nyata melalui proses perubahan perilaku. Program “Pasien PANDAI” dilaksanakan dalam 4 (empat) sesi yaitu sesi sharing dan latihan relaksasi; sesi mengenal diri dan menerima; sesi menemukan tujuan hidup dan berkomitmen; dan sesi aksi. Setiap sesi dilaksanakan dengan berbasis mindfulness. Hal ini didasari pada penelitian Davidson (2003), Holzel, Lazar, Gard, Oliver, Vago, & Ott (2011) dan, Teper & Inzlicht (2013) yang membuktikan bahwa proses penerimaan dan mindfulness dapat mempengaruhi kinerja otak dan menurunkan kecemasan. Proses penerimaan dan mindfulness mengaktivasi anterior otak sebelah kiri dan hipocampus sehingga meningkatkan kesadaran diri, kemampuan belajar, mengingat, introspeksi, dan mengenali emosi lebih dalam. Kondisi ini menjadikan seseorang dapat melakukan regulasi emosi yang baik sehingga distress dan perasaan negatif dapat diatasi. Kemampuan individu dalam mengatasi kondisi ini dapat mempengaruhi kinerja sistem endokrin, yaitu menurunkan hormon cortisol yang dapat meningkatkan kerja sistem parasimpatetik dan sistem imunitas tubuh (Holzel, dkk., 2011; Passer & Smith, 2008). Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa mindfulness dapat menurunkan hormon cortisol yang berpengaruh terhadap penurunan kecemasan pada seseorang. Hasil penelitian Merkes (2010) terhadap 15 (lima belas) buah jurnal penelitian terkait Program Mindfulness-based Stress Reduction kepada pasien penyakit kardiovaskular dan penyakit kronis lainnya, membuktikan bahwa mindfulness dapat meningkatkan kemampuan coping pasien, well-being dan kualitas hidup. Penelitian Bohlmeijer, Prenger, Taal, & Cuijpers (2010) menemukan bahwa terapi yang berbasis mindfulness terbukti dapat menurunkan depresi, kecemasan, dan psychological distress. Penelitian ini menggunakan metode systematic review dan meta-analysis terhadap 8 (delapan) buah jurnal penelitian tentang penerapan Mindfulness-based Stress Reduction pada pasien penyakit kronis. Melalui mindfulness dalam Program “Pasien PANDAI”, diharapkan pasien dapat lebih menyadari emosinya, meningkatkan kesadaran diri, dan memberikan ketenangan sehingga pasien dapat berpikir positif dan lebih mudah untuk mencapai penerimaan diri (Davis, 2007). Hasil penelitian Khaerani (2008) yang dilakukan pada pasien penyakit jantung di Yogyakarta membuktikan bahwa terapi dengan menggunakan mindfulness dapat efektif menurunkan kecemasan pasien. Program “Pasien PANDAI” akan dilaksanakan secara brief intervention dan dirancang dalam setting kelompok. Berdasarkan penelitian McCraken, Sato, & Taylor (2013), penggunaan brief group-based dalam primary care setting pada pasien kronis efektif dalam menurunkan gejala depresi. Group-based Therapy memberikan efek terapeutik yang dapat mendukung terjadinya proses perubahan dalam kelompok yang disebut sebagai faktor terapeutik. Faktor ini terdiri atas menanamkan harapan, universalitas, menyampaikan informasi, altruisme, pengikhtisaran kelompok keluarga dasar, pengembangan teknik sosialisasi, imitasi perilaku, pembelajaran interpersonal, kohesivitas kelompok, katarsis dan faktor eksistensial (Yalom & Leszcz, 2005). Selain itu, Walser & Pistorello (2004) menjelaskan bahwa penerapan terapi dengan penerimaan dan komitmen secara kelompok memberikan keuntungan bagi setiap anggota yaitu saling memberi dukungan dan berbagi pengalaman, saling memberi informasi, saling memberi umpan balik dengan lebih objektif, dan dapat membuat komitmen bersama untuk menghilangkan ketakutan dan pikiran negatif yang selama ini mampu menimbulkan kecemasan. Menurut Morewitz (2006), kondisi kecemasan yang dimiliki pasien jantung, salah satunya merupakan dampak dari kondisi psikososial yaitu kurangnya dukungan sosial. Oleh sebab itu, melalui Program “Pasien PANDAI” secara kelompok diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan tersebut. Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah Program “Pasien PANDAI” dapat menurunkan kecemasan pada penderita penyakit jantung. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam pengembangan teori kecemasan pada pasien jantung. Secara praktis, modul maupun materi program diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para praktisi dalam melakukan penanganan terkait kondisi kecemasan pasien penyakit jantung. Hipotesis dari penelitian ini adalah Program “Pasien PANDAI” mampu menurunkan kecemasan pada pasien penyakit jantung. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Program ”Pasien PANDAI”: Upaya Menurunkan Depresi Pasien Kronis”. Penelitian lain dalam payung Program ”Pasien PANDAI” ini antara lain upaya meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan pasien diabetes tipe II, upaya meningkatkan optimisme pasien kanker dan upaya peningkatan post traumatic growth pasien pasca stroke. Kecemasan Pasien Penyakit Jantung Meningkat 1. 2. 3. 4. Kondisi - Merasa kesulitan untuk berhubungan sosial - Mengeluh tidak mendapat dukungan dan sarana berbagi - Penolakan terhadap kondisi - Perasaan tertekan, marah, rasa bersalah, merasa tidak berguna, perasaan tidak berdaya - Ketakutan akan kematian dan tidak memiliki harapan - Kesulitan dalam memanajemen diri dan mengubah gaya hidup (minum obat teratur, diet, dan pola hidup sehat) - Sulit untuk melakukan perubahan Kecemasan Menurun 1. Menerima emosi dan berbagai kondisi diri yang terjadi di dalam diri 2. Bersemangat menjalani hidup, memiliki pandangan yang positif dalam menghadapi penyakit 3. Berkomitmen untuk menjalankan pengobatan dengan rutin dan mengatur pola hidup menjadi lebih baik. Ket: : : Area intervensi : Menyasar Bagan 1. Kerangka Pemikiran “PROGRAM PASIEN PANDAI” 1. Sharing 2. Penerimaan dan mindfullness (Menerima emosi, pikiran, memori, dan sensasi tubuh berkaitan dengan penyakit) 3. Menentukan tujuan hidup dan berkomitmen 4. Aksi (melaksanakan aksi nyata dan komitmen yang konsisten sesuai dengan nilai hidup)