BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. GEMPA BUMI Negara Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik seperti terlihat pada gambar 2.1. Pulau Sumatera berada di batas lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Jenis Batas antara kedua lempeng ini adalah konvergen, dimana lempeng IndoAustralia adalah lempeng yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Selain itu di Indonesia bagian timur bertemu tiga lempeng sekaligus, yaitu lempeng Filipina, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Berdasarkan hal ini, tidak diherankan bahwa Negara Indonesia terutama Pulau Sumatera dipenuhi oleh jejeran gunung berapi yang terbentuk akibat gerakan konvergen lempeng tektonik dan sering sekali terjadi gempa bumi yang juga disertai tsunami. Gambar 2. 1. Peta Lempeng Tektonik Indonesia Menurut Daniel L. Schodek (1999), gempa bumi terjadi karena adanya getaran dengan kejutan pada kerak bumi. Faktor utama adalah benturan atau pergesekan kerak bumi yang mempengaruhi permukaan bumi. Gempa bumi ini menjalar dalam bentuk gelombang. Gelombang ini mempunyai suatu energi yang dapat menyebabkan permukaan bumi dan bangunan diatasnya menjadi bergetar. 7 Universitas Sumatera Utara Getaran ini nantinya akan menimbulkan gaya-gaya pada struktur bangunan karena struktur cenderung mempunyai gaya untuk mempertahankan dirinya dari gerakan. Secara umum, gempa bumi merupakan getaran yang terjadi pada permukaan tanah yang dapat disebabkan oleh aktivitas tektonik, vulkanis, peristiwa longsor bebatuan, dan ledakan dari bahan peledak. Dari semua penyebab di atas, gempa bumi yang disebabkan oleh peristiwa tektonik merupakan penyebab utama kerusakan struktur. Pergerakan antara lempeng tektonik yang satu dengan lainnya (plate boundaries) terbagi dalam 3 jenis berdasarkan arah pergerakan, yaitu divergen, konvergen, dan transform. 1. Batas Divergen Gambar 2.2. Batas Divergen Batas divergen terjadi pada tektonik yang bergerak saling menjauh seperti terlihat pada gambar 2.2. Ketika sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, sehingga membentuk batas divergen. Pematang Tengah Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika. 2. Batas Konvergen Gambar 2.3. Batas Konvergen 8 Universitas Sumatera Utara Batas konvergen terjadi apabila dua lempeng tektonik saling bertabrakan, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath another) seperti terlihat pada gambar 2.3. Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (sub-duction zones). Di zona tunjaman inilah sering terjadi gempa, terbentuknya pematang gunung api (volcanic ridge) dan parit samudra (oceanic trencehes) seperti halnya di pulau sumatera. 3. Batas Transform Gambar 2.4. Batas Transform Batas transform terjadi jika dua lempeng tektonik bergerak saling berpapasan, yaitu bergerak sejajar tetapi berlawanan arah. Keduanya tidak saling bertabrakan maupun saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan bentuk (transform fault). Batas transform umumnya berada di dasar laut, namun ada juga yang berada di daratan, salah satunya adalah Sesar San Andreas di Kalifornia, USA. Sesar ini merupakan pertemuan antara lempeng Amerika Utara yang bergerak ke arah tenggara, dengan lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat laut. 2.1.1. Hiposentrum dan Episentrum Hiposentrum adalah sumber atau pusat peristiwa tektonik, vulkanik, atau bongkah tanah roboh pertama kali terjadi yang menyebabkan gempa bumi. Letaknya di bagian dalam lapisan bumi. Jika penyebab gempa ialah patahan lempeng bumi maka hiposentrumnya berbentuk garis. Akan tetapi, jika gunung 9 Universitas Sumatera Utara api atau tanah roboh yang menjadi penyebab gempa maka hiposentrumnya berbentuk titik. Dari hiposentrum, gelombang primer dan sekunder dirambatkan ke segala arah, yakni ke atas, ke samping maupun ke bawah. Persebaran hiposentrum gempa di bumi seletak dengan pertemuan dua lempeng kerak bumi, terutama di tempat penujaman dan pemekaran dasar samudera yang disebut dengan episentrum. Hubungan episentrum dan hiposentrum dapat dilihat pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Hiposentrum dan Episentrum 2.1.2. Hubungan Gempa dan Bangunan Beban gempa yang akan ditanggung oleh struktur atau elemen struktur tidak selalu dapat diramalkan dengan tepat sebelumnya, maka dalam tahap perencanaan, seorang perencana dituntut untuk dapat memahami perancangan struktur tahan gempa dalam mendesain bangunan. Menurut Mc. Cormak (1995), hal yang perlu diperhatikan adalah kekuatan bangunan yang memadai untuk memberikan kenyamanan bagi penghuninya terutama lantai atas. Sebab semakin tinggi banguna, defleksi lateral yang terjadi juga semakin besar pada lantai atas. Berdasarkan UBC 1997, tujuan desain bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya kegagalan struktur dan kehilangan korban jiwa, dengan tiga kriteria standar sebagai berikut : 10 Universitas Sumatera Utara a. Tidak terjadi kerusakan sama sekali pada gempa kecil. b. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural tetapi bukan merupakan kerusakan struktural. c. Diperbolehkan terjadinya kerusakan sruktural dan non-struktural pada gempa kuat, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan bangunan runtuh. Menurut SNI-1726-2002 pasal 1.3 tujuan dilakukannya tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung ialah agar struktur gedung yang ketahanan gempanya direncanakan menurut standar dapat berfungsi : a. Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya gedung akibat gempa yang kuat. b. Membatasi kerusakan gedung akibat gempa ringan sampai sedang sehingga masih dapat diperbaiki. c. Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni gedung ketika terjadi gempa ringan sampai sedang. d. Mempertahankan setiap saat layanan vital dari fungsi gedung. Menurut applied technology council (ATC) – 40, kriteria-kriteria struktur tahan gempa adalah sebagai berikut : a. Immediate Occupancy (IO) Bila gempa terjadi, struktur mampu menahan gempa tersebut, struktur tidak mengalami kerusakan struktural dan tidak mengalami kerusakan non struktural sehingga dapat langsung dipakai. b. Life Safety (LS) Struktur gedung harus mampu menahan gempa sedang tanpa kerusakan struktur, walaupun ada kerusakan pada elemen non struktur. c. Collapse Pervention (CP) Struktur harus mampu menahan gempa besar tanpa terjadi keruntuhan struktural walaupun struktur telah mengalami rusak berat, artinya kerusakan struktur boleh terjadi tetapi harus dihindari adanya korban jiwa manusia. 11 Universitas Sumatera Utara Menurut Daniel L. Schodek (1999), apabila dikenakan beban pada struktur stabil, struktur tersebut akan mengalami perubahan bentuk (deformasi) yang lebih kecil dibandingkan struktur yang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena pada struktur yang stabil terdapat kekuatan dan kestabilan dalam menahan beban. Stabilitas merupakan hal sulit di dalam perencanaan struktur karena merupakan gabungan dari elemen-elemen. Untuk memperjelas mengenai stabilitas struktur akan diilustrasikan dalam gambar 2.6. (a) Susunan kolom dan balok (b) Ketidakstabilan terhadap beban horizontal (c) Tiga metode dasar untuk menjamin kestabilan struktur sederhana meliputi : Penopang diagonal, bidang geser dan titik hubung kaku 12 Universitas Sumatera Utara (d) setiap metode yang dipakai untuk menjamin kestabilan pada struktur harus dipasang secara simetris. Apabila tidak, dapat terjadi efek torsional pada struktur. Gambar 2.6. Kestabilan Struktur Portal Pada gambar 2.6a, struktur stabil karena struktur belum mendapatkan gaya dari luar. Apabila suatu struktur dikenakan gaya horizontal maka akan terjadi deformasi seperti yang terlihat pada gambar 2.6b. Hal ini disebabkan karena struktur tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk menahan gaya horizontal dan struktur tidak mempunyai kemampuan untuk mengembalikan bentuk struktur ke bentuk semula saat beban horizontal dihilangkan. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya simpangan horizontal yang berlebihan pada struktur yang dapat menyebabkan keruntuhan. Menurut Daniel L. Schodek (1999), terdapat beberapa cara untuk menjamin kestabilan struktur seperti pada gambar 2.6(c). Cara pertama dengan menambahkan elemen struktur diagonal pada struktur, sehingga struktur tidak mengalami deformasi menjadi jajaran genjang seperti pada Gambar 2.6(b). Hal ini disebabkan karena dengan menambahkan elemen struktur diagonal, gaya-gaya yang dikenakan pada sturktur akan disebarkan keseluruh bagian termasuk ke elemen diagonal. Gaya-gaya yang diterima masing-masing sturktur akan berkurang sehingga simpangan yang dihasilkan lebih kecil. Cara kedua adalah dengan menggunakan dinding geser. Elemennya merupakan elemen permukaaan bidang kaku, yang tentunya dapat menahan 13 Universitas Sumatera Utara deformasi akibat beban horizontal dan simpangan horizontal yang dihasilkan akan lebih kecil. Cara ketiga adalah dengan mengubah hubungan antara elemen struktur sedemikian rupa sehingga terbentuk perubahan sudut untuk suatu kondisi pembebanan tertentu. Hal ini dengan membuat titik hubung kaku diantara elemen struktur. Sebagai contoh, meja adalah struktur stabil karena adanya titik hubung kaku diantara setiap kaki meja dengan permukaan meja yang menjamin hubungan sudut konstan diantara elemen tersebut, sehingga struktur manjadi lebih kaku. Dalam menentukan letak bresing maupun dinding geser hendaknya simetris. Hal ini untuk menghindari efek torsional seperti digambarkan pada gambar 2.6d. 2. 2. KONSEP DASAR PERENCANAAN BANGUNAN 2.2.1. Mutu Material 2.2.1.1. Mutu Beton Beton adalah bagian dari konstruksi yang dibuat dari campuran beberapa material, sehingga mutunya akan sangat tergantung pada kondisi material pembentuk beton dan proses pembuatannya. Untuk mendapatkan mutu yang optimal maka bahan dan proses pelaksanaannya harus dikendalikan. Jika semua bahan pembentuk beton merupakan material dengan kualitas dan komposisi yang baik, maka hal lain yang mempengaruhi mutu beton adalah kadar airnya. Beton dengan kadar air yang rendah akan menghasilkan mutu beton yang lebih tinggi namun akan sulit dalam proses pengecorannya (work ability rendah), sedangkan beton dengan kadar air yang tinggi akan menghasilkan beton dengan mutu yang lebih rendah tetapi lebih mudah dalam proses pengecorannya (work ability tinggi). Dalam sebuah perencanaan bangunan untuk beton, biasanya output yang dihasilkan adalah fc’ dalam satuan Mpa. Namun dalam spesifikasi teknis suatu proyek, yang tercantumkan adalah mutu beton dengan menggunakan beton K. 14 Universitas Sumatera Utara Mutu beton K adalah kuat tekan karakteristik beton kg/cm2 dengan benda uji kubus sisi 15 cm. Kuat tekan karakteristik ialah kuat tekan dimana dari sejumlah besar hasilhasil pemeriksaan benda uji, kemungkinan adanya kekuatan tekan yang kurang dari itu terbatas sampai 5% saja. Yang diartikan dengan kuat tekan beton senantiasa ialah kuat tekan yang diperoleh dari pemeriksaan benda uji kubus yang bersisi 15 (+0,06) cm pada umur 28 hari. Sedangkan fc’ adalah kuat tekan beton yang disyaratkan (dalam Mpa), didapat berdasarkan hasil pengujian benda uji silinder berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Penentuan nilai fc’ boleh juga didasarkan pada hasil pengujian pada nilai fck yang didapat dari hasil uji tekan benda uji kubus bersisi 15 cm. Dalam hal ini fc’ didapat dari perhitungan konversi berikut ini: Fc’=(0,76+0,2 log fck/15) fck, Dimana : fck (2.1) = kuat tekan beton (dalam MPa), didapat dari benda uji kubus bersisi 15 cm. Perbandingan benda uji dengan kuat tekan dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Tabel Perbandingan Benda Uji Dan Kuat Tekan Benda Uji Perbandingan Kuat Tekan Kubus 15 x 15 x 15 1,00 kubus 20 x 20 x 20 0,95 silinder θ15 x 30 0,83 Sumber : PBI 1971 Untuk mempermudah dalam pendesainan, tabel 2.2 dan tabel 2.3 merupakan konversi kuat tekan fc’ ke kuat tekan K dan sebaliknya. Tabel 2.2. Tabel Konversi Kuat Tekan fc’ ke Kuat Tekan K Mutu Beton K = fc'/0,083 Mpa kg/cm2 fc' 5,00 K 60,24 fc' 10,00 K 120,48 fc' 12,00 K 144,58 15 Universitas Sumatera Utara fc' 15,00 K 180,72 fc' 16,00 K 192,77 fc' 20,00 K 240,96 fc' 22,50 K 271,08 fc' 25,00 K 301,20 fc' 30,00 K 361,45 fc' 35,00 K 421,69 fc' 40,00 K 481,93 Tabel 2.3. Tabel Konversi Kuat Tekan K ke Kuat Tekan fc’ Mutu Beton fc' = K*0,083 Kg/cm2 Mpa K 100 fc' 8,30 K 125 fc' 10,38 K 150 fc' 12,45 K 175 fc' 14,53 K 200 fc' 16,60 K 225 fc' 18,68 K 250 fc' 20,75 K 275 fc' 22,83 K 300 fc' 24,90 K 325 fc' 26,98 K 350 fc' 29,05 Dalam menentukan mutu beton ini diperlukan ketelitian karena jika salah dalam mengkonversikan, maka mutu beton yang terpasang pada struktur akan berbeda dengan mutu beton rencana. Jika mutu beton yang terpasang dilapangan lebih rendah dari yang direncanakan, maka ada dua pilihan : 1. Dengan terpaksa struktur harus dibongkar dan dikerjakan ulang (rework). 2. Dilakukan analisis pada kekuatan strukturnya dan dapat diperkuat dengan cara menambah balok dan kolom untuk memperkecil bentangan, balok dan kolom ini bisa dari bahan beton maupun baja atau memperbesar dimensi balok dan kolom tapi harus melalui perhitungan yang matang karena akan menambah beban struktur dan mengurangi ruang yang harusnya tersedia. 16 Universitas Sumatera Utara Untuk beton dengan berat isi antara 1500 kg/m3 sampai 2500 kg/m3, nilai modulus elastis beton : E c = 0,043 w c √f c ’ Dimana : (2.2) Ec = modulus elastisitas beton tekan (MPa) wc = berat isi beton (kg/m3) fc’ = kuat tekan beton (MPa). Sedangkan untuk beton normal dengan berat isi ± 2300 kg/m3, nilai modulus elastis beton dapat dihitung dengan rumus : E c = 4700√f c ’ Dimana : (2.3) Ec = modulus elastis beton tekan (MPa) Fc’ = kuat tekan beton (MPa) 2.2.1.2. Mutu Baja Tulangan Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami retak-retak. Agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur, perlu dibantu dengan memberinya perkuatan penulangan yang lebih erat akan bertugas untuk menahan gaya tarik yang akan timbul di dalam sistem. Agar baja tulangan dapat melekat lebih erat dengan beton maka selain batang polos berpenampang bulat (BJTP) juga digunakan batang deformasian (BJTD), yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur dengan pola tertentu, atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya. Pola permukaan yang dikasarkan atau pola sirip sangat beragam tergantung pada mesin giling atau cetak yang dimiliki oleh produsen, asal masih dalam batas-batas spesifikasi teknik yang diperkenankan oleh standar. Baja tulangan polos (BJTP) hanya digunakan untuk tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya. Sifat fisik batang tulangan baja yang paling penting untuk digunakan dengan perhitungan perencanaan beton bertulang ialah tegangan luluh (f y ) dan modulus elastis (E S ). Tegangan luluh (titik luluh) baja ditentukan melalui prosedur pengujian standar sesuai SII 0136-84 dengan ketentuan bahwa tegangan 17 Universitas Sumatera Utara luluh adalah tegangan baja pada saat mana meningkatnya tegangan tidak disertai lagi dengan peningkatan regangannya. Modulus elastis baja tulangan ditentukan berdasarkan kemiringan awal kurva tegangan-regangan di daerah elastis dimana antara mutu baja yang satu dengan lainnya tidak banyak bervariasi. Ketentuan SK SNI-T-15-1991-03 menetapkan bahwa elastisitas baja adalah 200000 MPa, sedangkan modulus elastis untuk tendon prategang harus dibuktikan dan ditentukan melalui pengujian atau dipasok oleh pabrik produsen. Umumnya untuk tendon prategang nilai modulusnya lebih rendah, sesuai dengan penetapan ASTM A416 biasanya dipakai nilai 186000 MPa. Menurut SII 0136-80, dilakukan pengelompokan baja tulangan untuk beton bertulang seperti tertera pada tabel 2.4 berikut, Tabel 2.4. Jenis dan Kelas Baja Tulangan JENIS KELAS SIMBOL 1 BJTP 24 2 BJTP 30 1 BJTD 24 2 BJTD 30 3 BJTD 35 4 BJTD 40 5 BJTD 50 BATAS ULIR MINIMUM N/mm2 (kgf/mm2) KUAT TARIK MINIMUM N/mm2 (kgf/mm2) 235 382 (24) (39) 294 480 (30) (49) 235 382 (24) (39) 294 480 (30) (49) 343 490 (35) (50) 392 559 (40) (57) 490 61 (50) (63) Polos Deformasi Sumber : Struktur Beton Bertulang, Istimawan, 1999 18 Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Pendimensian Elemen Struktur 2.2.2.1. Pelat Lantai dan Pelat Atap Pelat adalah struktur kaku pembentuk permukaan. Pelat biasanya digunakan secara horizontal dan memikul beban sebagai lentur, meneruskannya ke tumpuan. Pelat yang tidak direncanakan dengan baik bisa mengakibatkan lendutan dan getaran saat ada beban yang bekerja pada plat tersebut. Struktur pelat biasanya terbuat dari beton bertulang atau pelat baja. Dalam penelitian ini, struktur pelat yang ditinjau adalah pelat beton bertulang. Dalam perencanaan pelat diperlukan data-data mutu beton (fc’), sisi bentang terpanjang (ly), sisi bentang terpendek (lx), dan tegangan leleh baja tulangan (fy). Langkah-langkah perencanaan pelat sebagai berikut: • • Menentukan syarat-syarat batas dan bentang pelat. π½π½ = ππ π¦π¦ (2.4) ππ π₯π₯ Menentukan kekakuan pelat (berdasarkan SNI-03-2847-2002 pasal 15.3.6). πΌπΌππ = dimana : • πΈπΈππππ π₯π₯ πΌπΌππ πΈπΈππππ π₯π₯ πΌπΌππ αm > 1,00 E cb = modulus elastisitas balok Ib = inersia balok Ip = inersia pelat (2.5) = rasio kekakuan pelat Menentukan tebal pelat (berdasarkan SNI-03-2847-2002 pasal 11.5.3.3). Tebal pelat minimum yang menghubungkan tumpuan pada semua sisinya harus memenuhi ketentuan berikut : a. Untuk α m ≤ 0,2 ; tebal minimum pelat tanpa penebalan adalah 120 mm dan tebal minimum pelat dengan penebalan adalah 100 mm. b. Untuk 0,2 < α m ≤ 2,0 ; ketebalan pelat minimum harus memenuhi β= ππ π¦π¦ ππ ππ π₯π₯ οΏ½0,8+ 1500 οΏ½ (2.6) 36+5π½π½ (πΌπΌ ππ − 0,2) dan tidak boleh kurang dari 120 mm 19 Universitas Sumatera Utara c. Untuk α m > 0,2 ; ketebalan pelat minimum tidak boleh kurang dari β= ππ π¦π¦ ππ ππ π₯π₯ οΏ½0,8+ 1500 οΏ½ 36+9π½π½ (2.7) dan tidak boleh kurang dari 90 mm. • Melakukan checking terhadap lendutan yang diizinkan (berdasarkan SNI03-2847-2002 pasal 11.5.3) terlihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5. Lendutan Izin Maksimum Lendutan yang diperhitungkan Jenis Komponen Struktur Atap datar yang tidak menahan atau tidak disatukan dengan komponen nonstruktural yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Lendutan seketika akibat beban hidup (L) Lantai yang tidak menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Lendutan seketika akibat beban hidup (L) Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural yang mungkin tidak akan rusak oleh lendutan yang besar Bagian dari lendutan total yang terjadi setelah pemasangan komponen nonstruktural (jumlah dari lendutan jangka panjang, akibat semua beban tetap yang bekerja, dan lendutan seketika, akibat penambahan beban hidup)c Batas Lendutan ππ ππ 180 ππ 360 ππ ππ 480 ππ ππ 240 a. Batasan ini tidak dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan penggenangan air. Kemungkinan penggenangan air harus diperiksa dengan melakukan perhitungan lendutan, termasuk perhitungan lendutan tambahan akibat adanya penggenangan air tersebut, dalam mempertimbangkan pengaruh jangka panjang dari beban yang selalu bekerja, lawan lendut, toleransi konstruksi dan keandalan sistem drainase. b. Batas lendutan boleh dilampaui bila langkah pencegahan kerusakan terhadap komponen yang ditumpu atau yang disatukan telah dilakukan. c. Besarnya nilai lendutan ini harus ditentukan berdasarkan data teknis yang dapat diterima berkenaan dengan karakteristik hubungan waktu dan lendutan dari komponen struktur yang serupa dengan komponen struktur yang ditinjau. d. Tetapi tidak boleh lebih besar dari toleransi yang disediakan untuk komponen non 20 Universitas Sumatera Utara struktur. batasan ini boleh dilampaui bila ada lawan lendut yang disediakan sedemikian hingga lendutan total dikurangi lawan lendut tidak melebihi batas lendutan yang ada. Sumber : SNI 03-2847-2002 Pasal 11.5.3. 2.2.2.2. Balok Struktur terdiri dari elemen kaku horizontal (balok) yang diletakkan diatas elemen struktur kaku vertikal (kolom). Balok atau elemen kaku horizontal sering disebut sebagai elemen lentur yaitu memikul beban yang bekerja secara transversal dari panjangnya dan menstransfer beban tersebut ke kolom vertikal yang menumpunya. Perhitungan dimensi awal balok dihitung berdasarkan SK SNI 03-28472002 pasal 11.5.2, seperti terlihat pada tabel 2.6 : Tabel 2.6. Tebal Minimum Balok Non-Prategang atau Pelat Satu Arah Tebal Minimum (h) Komponen Struktur Dua Tumpuan Sederhana Satu Ujung Menerus Kedua Ujung Menerus kantilever Komponen yang tidak menahan atau disatukan dengan partisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Pelat masif satu arah β/20 β/24 β/28 β/10 Balok atau pelat rusuk satu arah β/16 β/18,5 β/21 β/8 Sumber : SNI 03 2847 2002 Pasal 11.5.2. 2.2.2.3. Kolom kolom adalah batang tekan vertikal dari struktur yang memikul beban dari balok. kolom merupakan suatu elemen struktur yang memegang peranan penting 21 Universitas Sumatera Utara dari suatu struktur, sehingga keruntuhan pada suatu kolom merupakan lokasi kritis yang dapat menyebabkan runtuhnya (collapse) lantai yang bersangkutan dan juga runtuh total (total collapse) seluruh struktur. Menurut SK SNI T-15-1991-03, kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tiga kali dimensi lateral terkecil. Selain itu, kolom juga berfungsi sebagai penerus beban seluruh bangunan ke pondasi. Perhitungan dimensi awal kolom dihitung berdasarkan SK SNI 03-28472002, dengan persamaan berikut : ΟP n(max) = 0,80 Ο [ 0,85 fc’ (A g – A st ) + f y A st ] dimana : ΟP n(max) (2.8) = Beban aksial maksimum Ag = Luas penampang kolom A st = 1,5% x A g 2.2.2.4. Dinding Dinding adalah bagian bangunan yang sangat penting perannya bagi suatu konstruksi bangunan. Dinding membentuk dan melindungi isi bangunan baik dari segi konstruksi maupun penampilan artistik dari bangunan. 2.2.2.4.1. Dinding Batu Bata Bahan bangunan ini terbuat dari tanah liat dan mineral-mineral lain yang dibentuk dalam ukuran tertentu, biasanya 24x12x6 cm. Dicetak dengan ukuran tersebut, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah melewati proses pengeringan, bata merah itu dibakar dalam tungku untuk membuatnya kuat dan tahan lama. Bata merah yang bagus akan keras, tahan api, tahan terhadap pelapukan, dan cukup murah, sehingga berperan penting dalam membuat dinding dan lantai. 22 Universitas Sumatera Utara Spesifikasi batu merah : • Berat jenis kering (ρ) : 1500 kg/m3 • Berat jenis normal (ρ) : 2000 kg/m3 • Kuat tekan : 2,5 – 25 N/mm² (SII-0021,1978) • Konduktifitas termis : 0,380 W/mK • Tebal spesi : 20 – 30 mm • Ketahanan terhadap api : 2 jam • Jumlah per luasan per 1 m2 : 70 - 72 buah dengan construction waste Kelebihan Bata Merah : • Tidak memerlukan keahlian khusus untuk memasang. • Ukurannya yang kecil memudahkan untuk pengangkutan. • Mudah untuk membentuk bidang kecil. • Murah harganya. • Mudah mendapatkannya. • Perekatnya tidak perlu yang khusus. • Tahan Panas, sehingga dapat menjadi perlindungan terhadap api. Kekurangan Bata Merah : • Sulit untuk membuat pasangan bata yang rapi. • Menyerap panas pada musim panas dan menyerap dingin pada musim dingin, sehingga suhu ruangan tidak dapat dikondisikan atau tidak stabil. • Siarnya besar-besar cenderung boros dalam penggunaan material perekatnya. • Kualitas yang kurang beragam dan juga ukuran yang jarang sama membuat waste-nya dapat lebih banyak. • Karena sulit mendapatkan pasangan yang cukup rapi, maka dibutuhkan pelsteran yang cukup tebal untuk menghasilkan dinding yang cukup rata. • Waktu pemasangan lebih lama dibandingkan bahan dinding lainnya. • Berat, sehingga membebani struktur yang menopangnya. 23 Universitas Sumatera Utara • Bata merah menimbulkan beban yang cukup besar pada struktur bangunan. 2.2.2.4.2. Dinding Celcon/Hebel Hebel adalah material yang menyerupai beton dan memiliki sifat kuat, tahan air dan api, awet (durable) yang dibuat di pabrik menggunakan mesin. Bata ini cukup ringan, halus dan memiliki tingkat kerataan permukaan yang baik. Bata ringan diciptakan dengan tujuan memperingan beban strukur dari sebuah bangunan konstruksi, mempercepat pelaksanaan, serta meminimalisasi sisa material yang terjadi pada saat proses pemasangan dinding berlangsung. Memiliki panjang 60 cm, tinggi 20-40 cm dan tebal 75, 100, 125, 150, 175, 200 cm. Adonannya terdiri dari pasir kwarsa, semen, kapur, sedikit gypsum, air, dan alumunium pasta sebagai bahan pengembang (pengisi udara secara kimiawi). Setelah adonan tercampur sempurna, nantinya akan mengembang selama 7-8 jam. Alumunium pasta yang digunakan dalam adonan tadi, selain berfungsi sebagai pengembang ia berperan dalam mempengaruhi kekerasan beton. Volume aluminium pasta ini berkisar 5-8 persen dari adonan yang dibuat, tergantung kepadatan yang diinginkan. Adonan beton aerasi ini lantas dipotong sesuai ukuran. Spesifikasi Hebel (Bata Ringan) : • Berat jenis kering : 520 kg/m3 • Berat jenis normal : 650 kg/m3 • Kuat tekan : > 4,0 N/mm2 • Konduktifitas termis : 0,14 W/mK • Tebal spesi : 3 mm • Ketahanan terhadap api : 4 jam • Jumlah per luasan per 1 m2 : 22 - 26 buah tanpa construction waste. 24 Universitas Sumatera Utara Kelebihan Hebel (Bata Ringan) : • Memiliki ukuran dan kualitas yang seragam sehingga dapat menghasilkan dinding yang rapi. • Tidak memerlukan siar yang tebal sehingga menghemat penggunaan perekat. • Lebih ringan dari pada bata biasa sehingga memperkecil beban struktur. • Pengangkutannya lebih mudah dilakukan. • Pelaksanaannya lebih cepat daripada pemakaian bata biasa. • Tidak diperlukan plesteran yang tebal, umumnya ditentukan hanya 2,5 cm saja. • Kedap air, sehingga kecil kemungkinan terjadinya rembesan air. • Mempunyai kekedapan suara yang baik. • Kuat tekan yang tinggi. • Mempunyai ketahanan yang baik terhadap gempa bumi. Kekurangan Hebel (Bata Ringan) : • Karena ukurannya yang besar, untuk ukuran tanggung, membuang sisa cukup banyak. • Perekatnya khusus. Umumnya adalah semen instan, yang saat ini sudah tersedia di lapangan. • Diperlukan keahlian khusus untuk memasangnya, karena jika tidak dampaknya sangat kelihatan. • Jika terkena air, maka untuk menjadi benar-benar kering dibutuhkan waktu yang lebih lama dari bata biasa. • Kalau dipaksakan diplester sebelum kering maka akan timbul bercak kuning pada plesterannya. • Harga relatif lebih mahal daripada bata merah. • Agak susah mendapatkannya. Hanya toko material besar yang menjual bata ringan ini dan penjualannya pun dalam volume besar. 25 Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Jenis Beban Beban yang akan ditanggung oleh suatu struktur atau elemen struktur tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya. Meski beban-beban tersebut telah diketahui dengan baik pada salah satu lokasi struktur tertentu, distribusi dari elemen yang satu ke elemen yang lain pada keseluruhan struktur masih membutuhkan asumsi dan pendekatan. Jenis beban yang biasa digunakan dalam bangunan gedung meliputi : a. Beban Lateral, yang terdiri atas : 1) Beban Gempa Besarnya simpangan horizontal (drift) bergantung pada kemampuan bangunan dalam menahan gaya gempa yang terjadi. Apabila bangunan memiliki kekakuan yang besar untuk melawan gaya gempa maka bangunan akan mengalami simpangan horizontal yang lebih kecil dibandingkan dengan bangunan yang tidak memiliki kekakuan yang cukup besar. Berdasarkan SNI 03-1729-2002 pasal 15.11.2.3, untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa rencana yang sembarang terhadap struktur bangunan baja, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama harus dianggap efektif 100% dan harus dianggap terjadi bersamaan dengan pengaruh gempa dalam arah tegak lurus pada arah utama tetapi efektifitasnya hanya sebesar minimal 30% tapi tidak lebih dari 70%. 2) Beban Angin Beban angin merupakan beban horizontal yang harus dipertimbangkan dalam mendesain bangunan. Beban angin pada bangunan terjadi karena adanya gesekan udara dengan permukaan bangunan dan perbedaan tekanan dibagian depan dan belakang bangunan. Pada daerah tertentu tekanan angin yang besar dapat merubuhkan bangunan. Menurut Daniel L. Schodek (1999), besarnya tekanan yang diakibatkan angin pada suatu titik akan tergantung kecepatan angin, rapat massa udara, lokasi yang ditinjau pada bangunan, perilaku permukaan bangunan, bentuk geometris bangunan dan dimensi bangunan. 26 Universitas Sumatera Utara b. Beban Gravitasi, yang terdiri atas : 1) Beban Hidup Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu bangunan dan kedalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan dan dapat diganti selama masa hidup gedung tersebut, sehingga mengakibatkan perubahan pembebanan pada lantai dan atap. Besarnya beban hidup pada suatu bangunan dapat berubah-ubah, tergantung pada fungsi bangunan tersebut seperti terlihat pada tabel 2.7. Beban hidup dapat menimbulkan lendutan pada struktur, sehingga harus dipertimbangkan menurut peraturan yang berlaku agar struktur tetap aman. Menurut Schueller (1998), beban yang disebabkan oleh isi benda-benda di dalam atau di atas suatu bangunan disebut beban penghunian (occupancy load). Beban ini mencakup beban peluang untuk berat manusia, perabot partisi yang dapat dipindahkan, lemari besi, buku, lemari arsip, perlengkapan mekanis dan sebagainya. Pada suatu bangunan bertingkat, kemungkinan semua lantai tingkat akan dibebani secara penuh oleh beban hidup adalah kecil, demikian juga kecil kemungkinannya suatu struktur bangunan menahan beban maksimum akibat pengaruh angin atau gempa yang bekerja secara bersamaan. Desain bangunan dengan meninjau beban-beban maksimum yang mungkin bekerja secara bersamaan tidak ekonomis sehingga pedoman-pedoman pembebanan mengizinkan untuk melakukan reduksi terhadap beban hidup yang dipakai. Reduksi beban dapat dilakukan dengan mengalikan beban hidup dengan suatu koefisien reduksi yang nilainya tergantung pada fungsi bangunan. Tabel 2.7. Beban hidup pada Lantai Gedung No 1. Lantai Gedung Lantai dan tangga rumah tinggal, kecuali yang disebut dalam no 2. Beban Satuan 200 Kg/m² 27 Universitas Sumatera Utara 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Lantai tangga rumah tinggal sederhana dan gudanggudang tidak penting yang bukan untuk toko, pabrik atau bengkel. Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, toko, toserba, restoran, hotel, asrama, dan rumah sakit. Lantai ruang olahraga. Lantai dansa. Lantai dan balkon dalam dari ruang-ruang untuk pertemuan yang lain dari yang disebut dalam no 1 s/d 5, mesjid, gereja, ruang pagelaran, ruang rapat, bioskop dan panggung penonton dengan tempat duduk tetap. Panggung penonton dengan tempat duduk tidak tetap atau untuk penonton berdiri Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam no 3. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam no 4,5,6 dan 7. lantai ruang pelengkap dari yang disebut dalam no 3,4,5,6 dan 7. Lantai untuk pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang arsip, toko buku, toko besi, ruang alat-alat, dan ruang mesin harus direncanakan terhadap beban hidup yang ditentukan tersendiri dengan minimum. Lantai gedung parkir bertingkat : → Untuk lantai bawah → Untuk lantai tingkat lainnya Balkon-balkon yang menjorok bebas keluar harus direncanakan terhadap beban hidup dari lantai yang berbatasan dengan minimum. 125 Kg/m² 250 Kg/m² 400 500 Kg/m² Kg/m² 400 Kg/m² 500 Kg/m² 300 Kg/m² 500 Kg/m² 250 Kg/m² 400 Kg/m² 800 400 Kg/m² Kg/m² 300 Kg/m² Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia 1983 Pasal 3.3. 2). Beban Mati Beban mati (DL) adalah berat dari semua bagian bangunan yang bersifat tetap. Menurut Salmon (1992), beban mati merupakan beban gaya berat pada suatu posisi tertentu. Disebut demikian karena ia bekerja terus menerus menuju arah bumi pada saat bangunan telah berfungsi. Beban mati terdiri dari dua jenis, yaitu berat bangunan itu sendiri dan superimpossed deadload (SiDL). Beban Superimpossed adalah beban mati tambahan yang diletakkan pada bangunan, 28 Universitas Sumatera Utara dimana dapat berupa lantai (ubin/keramik), peralatan mekanikal elektrikal, langitlangit, dan sebagainya. Perhitungan besarnya beban mati suatu elemen dilakukan dengan meninjau berat satuan material tersebut berdasarkan volume elemen. Berat satuan (unit weight) material secara empiris dapat dilihat pada tabel 2.8 dan 2.9. Tabel 2.8. Berat Sendiri Bahan Bangunan No Bahan Bangunan Beban Satuan 1. Baja 7850 kg/m³ 2. Batu Alam 2600 kg/m³ 3. Batu belah, batu bulat, batu gunung (berat tumpuk) 1500 kg/m³ 4. Batu karang (berat tumpuk) 700 kg/m³ 5. Batu pecah 1450 kg/m³ 6. Besi tuang 7250 kg/m³ 7. Beton (¹) 2200 kg/m³ 8. Beton bertulang (²) 2400 kg/m³ 9. Kayu (kelas 1) (³) 1000 kg/m³ 10. kerikil, Koral (kering udara sampai lembab, tanpa diayak) 1650 kg/m³ 11. Pasangan bata merah 1700 kg/m³ 12. Pasangan batu belah, batu bulat, batu gunung 2200 kg/m³ 13. Pasangan batu cetak 2200 kg/m³ 14. pasangan batu karang 1450 kg/m³ 15. Pasir (kering udara sampai lembab) 1600 kg/m³ 16. Pasir (jenuh air) 1800 kg/m³ 17. Pasir kerikil, koral (kering udara sampai lembab) 1850 kg/m³ 18. Tanah, lempung dan lanau (kering udara sampai lembab) 1700 kg/m³ 19. Tanah, lempung dan lanau (basah) 2000 kg/m³ 20. Timah hitam (timbel) 1140 kg/m³ Catatan : 1) Nilai ini tidak berlaku untuk beton pengisi. 2) Untuk beton getar, beton kejut, beton mampat dan beton padat lain sejenis, berat sendirinya harus ditentukan sendiri. 3) Nilai ini adalah nilai rata-rata; untuk jenis-jenis kayu tertentu lihat NI 5 Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia. Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia 1983 Pasal 2.2. 29 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.9. Berat Sendiri Komponen Gedung No Komponen gedung Beban Satuan → Dari semen 21 kg/m² → Dari kapur, semen merah atau tras 17 kg/m² Aspal, termasuk bahan-bahan mineral penambah, per cm tebal 14 kg/m² →Satu batu 450 kg/m² →Setengah batu 250 kg/m² β Tebal dinding 20 cm (HB 20) 200 kg/m² β Tebal dinding 10 cm (HB 10) 120 kg/m² β Tebal dinding 15 cm 300 kg/m² β Tebal dinding 10 cm 200 kg/m² → Semen asbes (eternity dan bahan lain sejenis), dengan tebal maksimum 4 mm. 11 kg/m² → Kaca, dengan tebal 3-4 mm. 10 kg/m² 6. Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang maksimum 5 m dan jarak s.k.s. Minimum 0,80 m. 40 kg/m² 7. Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m² bidang atap. 50 kg/m² 8. Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m² bidang atap. 40 kg/m² 9. Penutup atap seng gelombang (BWG 24) tanpa gording. 10 kg/m² 10. Penutup lantai dari ubin semen portland, teraso dan beton, tanpa adukan, per cm tebal. 21 kg/m² 11. Semen asbes gelombang (tebal 5 mm) 11 kg/m² Adukan, per cm tebal : 1. 2. Dinding pasangan bata merah : 3. Dinding pasangan batako : → Berlubang : 4. → Tanpa lubang : 5. Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-rusuknya, tanpa penggantung langit-langit atau pengaku), terpadu dari : Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia 1983 Pasal 2.2. 30 Universitas Sumatera Utara 2.2.4. Penentuan Beban Angin Beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif (desakan) dan tekanan negatif (isapan) yang bekerja tegak lurus pada bidangbidang yang ditinjau. Besarnya tekanan positif dan tekanan negatif ini dinyatakan dalam kg/m2 dan ditentukan berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia 1983 Pasal 4.2 sebagai berikut : 1) Tekanan tiup harus diambil minimum 25 kg/m2, kecuali yang ditentukan dalam ayat-ayat (2), (3), dan (4). 2) Tekanan tiup di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/m2, kecuali yang ditentukan dalam ayat (3) dan (4). 3) Untuk daerah-daerah di dekat laut dan daerah-daerah lain tertentu dimana terdapat kecepatan-kecepatan angin yang mungkin menghasilkan tekanan tiup yang lebih besar dari pada yang ditentukan dalam ayat (1) dan (2), tekanan tiup (P) harus dihitung dengan Persamaan 2.1: ππ = ππ 2 16 οΏ½ πππποΏ½ ππ2 οΏ½ (2.9) dengan P dalam kg/m2 dan V adalah kecepatan angin dalam m/det, yang harus ditentukan oleh instansi yang berwenang. 4) Pada cerobong, tekanan tiup dalam kg/m2 harus ditentukan dengan rumus (42.5+0,6h), dimana h adalah tinggi cerobong seluruhnya dalam meter, diukur dari lapangan yang berbatasan. 5) Apabila dapat di jamin suatu gedung terlindung efektif terhadap angin dari suatu jurusan tertentu oleh gedung-gedung lain, hutan-hutan pelindung atau penghalang-penghalang lain, maka tekanan tiup dari jurusan itu menurut ayat (1) s/d (4) dapat dikalikan dengan koifisien reduksi sebesar 0,5. 31 Universitas Sumatera Utara 2.2.5. Kombinasi Pembebanan Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 11.2, kombinasi beban yang dipakai dalam penelitian ini yaitu : a. U = 1,4 D b. U = 1,2 D + 1,6 L c. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W d. U = 0,9 D ± 1,6 W Dimana : U = Kuat perlu D = Beban mati L = Beban hidup W = Beban angin 2.2.6. Defleksi Lateral Besarnya simpangan horizontal (drift) harus dipertimbangkan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu kinerja batas layan struktur dan kinerja batas ultimit. Menurut Mc.Cormac (1981), simpangan struktur dapat dinyatakan dalam bentuk Drift Indeks seperti pada Gambar 2.7 dibawah ini. Gambar 2.7. Defleksi Lateral 32 Universitas Sumatera Utara Drift Indeks dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.2 : Drift Indeks = Dimana : π₯π₯ (2.10) π»π» Δ = Besar defleksi maksimum yang terjadi (m) H = Ketinggian struktur portal (m) Besarnya drift Indeks tergantung pada besarnya beban-beban yang dikenakan pada bangunan. Berdasarkan AISC 2005, besarnya drift indeks berkisar antara 0,01 sampai dengan 0,0016. Kebanyakan, besar nilai drift indeks yang digunakan antara 0,0025 sampai 0,002. 2. 3. KONSEP PERENCANAAN BANGUNAN TAHAN GEMPA Bangunan tahan gempa adalah bangunan atau struktur yang tahan terhadap gaya gempa. Dalam perencanan bangunan tahan gempa, bangunan yang didesain harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Dibawah gempa ringan (gempa dengan periode ulang 50 tahun dengan probabilitas 60% dalam kurun waktu umur gedung) struktur harus dapat berespon elastik tanpa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktural (balok, kolom, dan pondasi) maupun elemen non struktural (dinding, platfond dan lain-lain). b. Dibawah gempa sedang (gempa dengan periode ulang 50-100 tahun) struktur bangunan boleh mengalami kerusakan ringan pada lokasi yang mudah diperbaiki yaitu pada ujung-ujung balok dimuka kolom, yang diistilahkan dengan sendi plastis. Struktur pada tahap ini disebut tahap First Yield yang merupakan parameter penting karena merupakan batas antara kondisi elastik (tidak rusak) dan kondisi plastik (rusak) tetapi tidak roboh atau disingkat sebagai kondisi batas antara beban gempa ringan dan gempa kuat. c. Dibawah gempa kuat (gempa dengan periode ulang 200-500 tahun dengan probabilitas 20%-10% dalam kurun waktu umur gedung) resiko kerusakan 33 Universitas Sumatera Utara harus dapat diterima tapi tanpa kerusakan struktur. Jadi, kerusakan struktur pada saat gempa kuat terjadi harus didesain pada tempat-temapt tertentu sehingga mudah diperbaiki setelah gempa kuat terjadi. 2.3.1. Prinsip Dasar Perancangan Prinsip-prinsip dasar perlu diperhatikan dalam perencanaan dan pelaksanaan bangunan tahan gempa yaitu : 1. Sistem struktur yang digunakan haruslah sesuai dengan tingkat kerawanan daerah dimana struktur bangunan tersebut berada terhadap gempa. 2. Aspek kontinuitas dan integritas struktur perlu diperhatikan. Dalam pendetailan penulangan dan sambungan-sambungan, unsur-unsur struktur bangunan harus terikat secara efektif menjadi satu kesatuan untuk meningkatkan struktur secara menyeluruh. 3. Konsistensi sistem struktur yang diasumsikan dalam desain dengan sistem struktur yang dilaksanakan harus terjaga. 4. Materi beton yang digunakan haruslah memiliki daya tahan yang tinggi dilingkungannya. 5. Unsur-unsur arsitektural yang memiliki masa yang besar harus terikat dengan kuat pada sistem portal utama dan harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap sistem struktur. 6. Metode pelaksanaan, sistem quality control dan quality assurance dalam tahapan konstruksi harus dilaksanakan dengan baik dan harus sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah besarnya gaya gempa yang diterima bangunan pada dasarnya dipengaruhi oleh karakteristik gempa yang terjadi, karakteristik tanah dimana bangunan berada dan karakteristik bangunan itu sendiri. Karakteristik bangunan yang berpengaruh diantaranya ialah bentuk bangunan, massa bangunan, beban gravitasi yang bekerja, dan kekakuan bangunan. 34 Universitas Sumatera Utara 2.3.2. Sistem Struktur Stabilitas atau kemampuan suatu bangunan untuk menahan gaya lateral yang disebabkan oleh angin dan gempa adalah hal yang terpenting dalam mendesain bangunan karena gaya lateral mempengaruhi elemen-elemen vertikal dan horizontal bangunan. Beban angin berkaitan pada pendesainan ketinggian bangunan, sedangkan beban gempa berkaitan pada pendesainan massa bangunan. Jika bangunan tinggi tidak didesain mampu bertahan terhadap gaya-gaya lateral, maka akan timbul tegangan yang sangat tinggi serta getaran dan goyangan ke samping ketika gaya-gaya lateral terjadi. Akibatnya tidak hanya mengakibatkan ketidaknyamanan pada penghuninya, namun juga menimbulkan kerusakan parah pada bangunan. Jenis sistem struktur dasar yang ditetapkan dalam peraturan perencanaan gempa Indonesia (SNI 03-1726-2002) ada 4 jenis sistem, yaitu : 1. Sistem Dinding Penumpu Dinding penumpu sering juga disebut sebagai dinding geser. Dinding geser membentang pada keseluruhan jarak vertikal antar lantai. Jika dinding ditempatkan secara hati-hati dan simetris dalam perencanaannya, dinding geser sangat efisien dalam menahan beban vertikal maupun lateral dan tidak mengganggu persyaratan arsitektural. Dinding geser ini memikul hampir seluruh beban lateral, beban gravitasi juga ditahan dinding ini sebagai dinding struktural. 2. Sistem Rangka Gedung Pada sistem ini terdapat rangka ruang lengkap yang memikul beban-beban gravitasi, sedangkan beban lateral dipikul oleh dinding struktural. Walaupun dinding struktural direncanakan memikul seluruh beban gempa, balok dan kolom harus diperhitungkan terhadap efek simpangan lateral dinding struktural oleh beban gempa rencana, mengingat rangka tersebut di tiap lantai masih menyatu dengan dinding struktur melalui lantai-lantai. Efek ini dinamakan syarat kompatibilitas deformasi. Dalam SNI 03-28472002 pasal 23.9 menetapkan bahwa komponen struktur yang semula bukan merupakan struktur pemikul beban lateral harus sanggup tetap memikul 35 Universitas Sumatera Utara beban gravitasi bila terkena deformasi lateral yang disebabkan oleh beban gempa rencana. Dalam pasal 23.9 telah ditentukan bahwa detail gempa khusus diperlukan untuk komponen-komponen non struktur pemikul beban lateral. 3. Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) Rangka pemikul Momen terdiri dari komponen (subsistem) horizontal berupa balok dan komponen (subsistem) vertikal berupa kolom yang dihubungkan secara kaku. Kekakuan portal tergantung pada dimensi balok dan kolom, serta proposional terhadap jarak lantai ke lantai dan jarak kolom ke kolom. Menurut tabel 3 SNI 03-1726-2002 tercantum 3 jenis Sistem rangka Pemikul Momen yaitu a. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa b. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah c. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus 4. Sistem Ganda (Dual Sistem) Tipe sistem struktur ini memiliki 3 ciri dasar, yaitu : a. Rangka ruang lengkap berupa sistem rangka pemikul momen yang penting berfungsi memikul beban gravitasi. b. Pemikul beban lateral dilakukan oleh dinding struktural dan sistem rangka pemikul momen dimana yang tersebut terakhir ini harus secara tersendiri sanggup memikul sedikitnya 25 % dari beban dasar geser nominal. c. Dinding struktural dan sistem rangka pemikul momen direncanakan untuk menahan beban dasar geser nominal (V) secara proposional berdasarkan kekakuan relatifnya. Sistem Ganda (Dual Sistem) dapat memberikan hasil yang baik untuk memperoleh daktilitas dan kekakuan sistem struktur. 36 Universitas Sumatera Utara Untuk lebih jelas mengenai keempat sistem diatas dapat dilihat pada gambar 2.8. selain keempat sistem struktur diatas, dalam SNI 03-1726-2002 juga mengenalkan 3 sistem struktur lain yaitu : a. Sistem struktur gedunf kolom kantilever (sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral) b. Sistem interaksi dinding geser dengan rangka c. Kelompok (subsistem) tunggal adalah kelompok (subsistem) struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan. Gambar 2.8. Sistem Struktur Penahan Gempa 2.3.3. Struktur Gedung Beraturan dan Tidak Beraturan Kekuatan bangunan harus seragam dan menerus. bangunan yang seragam dan menerus diperoleh dengan cara sebagai berikut : a. Beban-beban gravitasi didukung oleh balok dan kolom secara merata. b. Semua kolom dan dinding geser menerus dari lantai teratas sampai terbawah. 37 Universitas Sumatera Utara c. Tampang balok dan kolom tidak berubah secara mendadak dan ukuran kedua sisi kolom tidak terlalu berbeda jauh. d. Sumbu balok dan kolom saling berpotongan. e. Bagian - bagian bangunan merupakan bangunan statik tak tentu dan satu kesatuan monolit. Keteraturan konfigurasi gedung akan sangat mempengaruhi kinerja gedung sewaktu kena gempa rencana. Bangunan dibedakan dalam dua golongan yaitu yang beraturan dan yang tidak beraturan berdasarkan konfigurasi denah dan elevasi bangunan. Pada SNI 03-1726-2002 pasal 4 mengatur 9 tipe bangunan gedung yang beraturan. Gedung ditetapkan sebagai gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Tinggi gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 m. b. Denah gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah gedung dalam arah tonjolan tersebut. c. Denah gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah gedung dalam arah sisi coakan tersebut. d. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah gedung secara keseluruhan. e. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% ukuran terbesar denah gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka. f. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Tingkat lunak adalah suatu tingkat, dengan 38 Universitas Sumatera Utara kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat. g. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini. h. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut. i. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh lebih dari 20% jumlah lantai tingkat seluruhnya. Untuk gedung beraturan, pengaruh gempa rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa statik ekuivalen, sehingga menurut standar ini analisisnya dapat dilakukan berdasarkan analisis statik ekuivalen. Struktur gedung yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas ditetapkan sebagai gedung tidak beraturan. Untuk gedung tidak beraturan, pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respons dinamik. 39 Universitas Sumatera Utara 2.3.4. Analisis Dinamik Secara umum analisis struktur terhadap beban gempa dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisis struktur dimana pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban statik horizontal yang diperoleh dengan hanya memperhitungkan respon ragam getar yang pertama. Biasanya distribusi gaya geser tingkat ragam getar yang pertama ini di sederhanakan sebagai segitiga terbalik. 2. Analisis dinamik adalah analisis struktur dimana pembagian gaya geser gempa di seluruh tingkat diperoleh dengan memperhitungkan pengaruh dinamis gerakan tanah terhadap struktur. Analisis dinamik terbagi menjadi 2, yaitu : a. Analisis ragam respon spektrum dimana total respon didapat melalui superposisi dari respon masing-masing ragam getar. b. Analisis riwayat waktu adalah analisis dinamis dimana pada model struktur diberikan suatu catatan rekaman gempa dan respon struktur dihitung langkah demi langkah pada interval tertentu. Analisis dinamik untuk perancangan struktur tahan gempa dilakukan jika diperlukan evaluasi yang lebih akurat dari gaya-gaya gempa yang bekerja pada struktur, serta untuk mengetahui perilaku dari struktur akibat pengaruh gempa. Pada struktur bangunan tingkat tinggi atau struktur dengan bentuk atau konfigurasi yang tidak teratur. Analisis dinamik dapat dilakukan dengan cara elastis maupun inelastis. Pada cara elastis dibedakan Analisis Ragam Riwayat Waktu (Time History Modal Analysis), dimana pada cara ini diperlukan rekaman percepatan gempa dan Analisis Ragam Spektrum Respon (Respons Spectrum Modal Analysis), dimana pada cara ini respon maksimum dari tiap ragam getar yang terjadi didapat dari Spektrum Respon Rencana (Design Spectra). Pada analisis dinamis elastis digunakan untuk mendapatkan respon struktur akibat pengaruh gempa yang sangat kuat dengan cara integrasi langsung (Direct Integration Method). Analisis dinamik elastis lebih sering digunakan karena lebih sederhana. 40 Universitas Sumatera Utara Untuk struktur gedung yang tidak beraturan yang tidak memenuhi struktur gedung beraturan, pengaruh gempa rencana terhadap struktur gedung tersebut harus ditentukan melalui analisis respon dinamik 3 dimensi. Untuk mencegah terjadinya respon struktur gedung terhadap pembebanan gempa yang dominan dalam rotasi dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, paling tidak gerak ragam pertama (fundamental) harus dominan dalam translasi. (SNI 03-1726-2002) Analisis dinamik adalah untuk menentukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisis ragam spektum respon. Pembagian gaya geser tingkat tersebut adalah untuk menggantikan pembagian beban geser dasar akibat gempa sepanjang tinggi gedung pada analisis beban statik ekuivalen. Pada analisis ragam spektum respon, sebagai spektrum percepatan respon gempa rencana harus dipakai diagram koefisien gempa dasar (C) untuk wilayah masing-masing gempa. Nilai C tersebut tidak berdimensi sehingga respon masing-masing ragam merupakan respon relatif. Untuk stuktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu-waktu getar alami yang berdekatan harus dilakukan dengan metoda yang dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic Combination atau CQC). Waktu getar alami harus dianggap berdekatan, apabila selisih nilainya kurang dari 15%. Untuk struktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu getar alami yang berjauhan, penjumlahan respon ragam tersebut dapat dilakukan dengan metoda yang dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Squares atau SRSS) (SNI 03-1726-2002) Perbedaan antara Beban Statik dan Dinamik (Widodo 2000) Pada ilmu statika, keseimbangan gaya-gaya didasarkan atas kondisi statik, artinya gaya-gaya tersebut tetap intesitasnya, tetap tempatnya dan tetap arah/ garis kerjanya. Gaya-gaya tersebut dikategorikan sebagai beban statik. Kondisi seperti ini akan berbeda dengan beban dinamik dengan pokok-pokok perbedaan sebagai berikut ini : 41 Universitas Sumatera Utara a. Beban dinamik adalah beban yang berubah-ubah menurut waktu (time varying) sehingga beban dinamik merupakan fungsi dari waktu. b. Beban dinamik umumnya hanya bekerja pada rentang waktu tertentu. Untuk gempa bumi maka rentang waktu tersebut kadang-kadang hanya beberapa detik saja. Walaupun hanya beberapa detik saja namun beban angin dan beban gempa misalnya dapat merusakkan struktur dengan kerugian yang sangat besar. c. Beban dinamik dapat menyebabkan timbulnya gaya inersia pada pusat massa yang arahnya berlawanan dengan arah gerakan. d. Beban dinamik lebih kompleks dibanding dengan beban statik, baik dari bentuk fungsi bebannya maupun akibat yang ditimbulkan. Asumsi-asumsi kadang perlu diambil untuk mengatasi ketidakpastian yang mungkin ada pada beban dinamik. e. Karena beban dinamik berubah-ubah intensitasnya menurut waktu, maka pengaruhnya terhadap struktur juga berubah-ubah menurut waktu. Oleh karena itu penyelesaian masalah dinamik harus dilakukan secara berulangulang bersifat penyelesaian tunggal (single solution), maka penyelesaian problem dinamik bersifat penyelesaian berulang-ulang (multiple solution). f. Sebagai akibat penyelesaian yang berulang-ulang maka penyelesaian struktur dengan beban dinamik akan lebih mahal dan lebih lama. 2.3.5. Ketentuan Umum Bangunan Gedung dalam Pengaruh Gempa 2.3.5.1. Faktor Keutamaan Untuk berbagai kategori gedung seperti terlihat pada tabel 2.10 bergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan bangunan gedung selama umur gedung yang diharapkan. Pengaruh gempa rencana terhadap bangunan gedung harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan (I). Faktor keutamaan (I) bangunan tergantung kategori bangunan itu sendiri seperti terlihat pada tabel 2.11. 42 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.10. Kategori Resiko Bangunan Gedung dan Struktur Lainnya untuk Beban Gempa kategori resiko Jenis Pemanfaatan Gedung dan struktur lainnya yang memiliki resiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk tidak dibatasi untuk: 1. 2. 3. 4. Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan Fasilitas sementara Gedung penyimpanan Rumah jaga dan struktur kecil lainnya I Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori resiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. • Perumahan Rumah toko dan rumah kantor Pasar Gedung perkantoran Gedung apartemen/rumah susun Pusat perbelanjaan/mall Bangunan industri Fasilitas manufaktur Pabrik II Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk tapi tidak dibatasi untuk: 1. 2. 3. 4. Bioskop Gedung pertemuan Stadion Fasilitas kesehatan yang tak memiliki unit bedah & unit gawat darurat 5. Fasilitas penitipan anak 6. Penjara 7. Bangunan untuk orang jompo • III Gedung dan non gedung tidak termasuk dalam kategori resiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk tetapi tidak dibatasi untuk: 1. 2. 3. 4. Pusat pembangkit listrik biasa Fasilitas penanganan air Fasilitas penanganan limbah Pusat telekomunikasi 43 Universitas Sumatera Utara • Gedung dan non gedung yang tidak termasuk kedalam kategori resiko IV, (termasuk tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses penanganan penyimpanan, penggunaan atau tempat penyimpanan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak), yang mengandung bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran • Gedung dan non gedung yang ditunjukan sebagai fasilitas yang penting, tetapi tidak dibatasi untuk: 1. Bangunan-bangunan monumental 2. Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan 3. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat 4. Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans dan kantor polisi serta garasi kendaraan darurat 5. Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai dan tempat perlindungan darurat lainnya 6. Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat 7. Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat 8. Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang diisyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat. • IV Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori resiko IV Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 4.1.2. Tabel 2.11.Faktor Keutamaan I untuk Berbagai Kategori Gedung & Bangunan Kategori Resiko Bangunan Ic I atau II 1,00 III 1,25 IV 1,50 Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 4.1.2. 44 Universitas Sumatera Utara 2.3.5.2. Faktor Reduksi Maksimum Faktor reduksi (R m ) adalah nilai faktor reduksi gempa yang maksimum dapat dikerahkan oleh bangunan gedung tersebut dan yang nilainya ditetapkan SNI untuk berbagai sistem struktur bangunan seperti pada tabel 2.12 dibawah ini. Tabel 2.12.Klasifikasi Sistem Struktur, Sistem Pemikul Beban Gempa, R, Ω 0 , Cd Koefisien Modifikasi Respon (R) Faktor kuat Lebih Sistem (ΩβαΆ’) Faktor besaran Defleksi (C d b) 1. Rangka momen baja khusus 8 3 5,5 2. Rangka momen rangka batang baja khusus 7 3 5,5 3. Rangka momen baja menengah 4,5 3 4 4. Rangka momen baja biasa 3,5 3 3 5. Rangka momen beton bertulang khusus 8 3 5,5 6. Rangka momen beton bertulang menengah 5 3 4,5 7. Rangka momen beton bertulang biasa 3 3 2,5 8. Rangka momen baja dan beton komposit khusus 8 3 5,5 9. Rangka momen komposit menengah 5 3 4,5 10. Rangka momen terkekang posisi komposit 6 3 5,5 11. Rangka momen komposit biasa 3 3 2,5 3,5 3α΅ 3,5 Sistem Penahan Gaya Seismik C. Sistem Rangka Penahan Momen 12. Rangka momen Cold Form khusus dengan baut Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 7.2.2 2.3.5.3. Wilayah Gempa Didalam peta hazard gempa Indonesia 2010 terdapat peta percepatan puncak (PGA) dan respon spektra percepatan di batuan dasar (S B ) untuk perioda pendek 0.2 detik (Ss) dan untuk periode 1.0 detik (S 1 ) dengan redaman 5% mewakili tiga level hazard gempa yaitu 500, 1000 dan 2500 tahun atau memiliki kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10% dalam 100 tahun, dan 2% dalam 50 tahun. 45 Universitas Sumatera Utara Definisi batuan dasar S B adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser (Vs) mencapai 750 m/detik dan tidak ada lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang geser yang kurang dari itu. Pada tugas akhir ini direncanakan ruko tiga lantai di wilayah gempa yang disusun berdasarkan peta respon spektrum percepatan untuk periode pendek 0,2 detik di batuan dasar S B untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun. Gambar 2.9. Peta respon spektra percepatan 0.2 detik (S S ) di batuan dasar (S B ) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun Sumber : Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 46 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.10. Peta respon spektra percepatan 1.0 detik (S 1 ) di batuan dasar (S B ) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun Sumber : Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 2.3.5.4. Jenis Tanah Setempat Perambatan gelombang Percepatan Puncak Efektif Batuan Dasar (PPEBD) melalui lapisan tanah di bawah bangunan diketahui dapat memperbesar gempa rencana di muka tanah tergantung pada jenis lapisan tanah. Pengaruh gempa rencana di muka tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke muka tanah dengan menggunakan gerakan gempa masukan dengan percepatan puncak untuk batuan dasar (SNI 03-17262002). SNI 03-1726-2012 menetapkan jenis-jenis tanah di Indonesia menjadi 4 kategori, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah Khusus yang identik dengan Jenis Tanah versi UBC berturut-turut S C , S D , S E , dan S F . Jenis tanah ditetapkan sebagai tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel 2.13 dibawah ini. 47 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.13. Klasifikasi Tanah Sifat tanah rata-rata untuk 30 m teratas Kelas Situs SA (Batuan Keras) Kecepatan rambat gelombang (m/s) > 1500 hasil uji penetrasi standar Kuat geser tak terdrainase Diasumsikan tidak ada di Indonesia SB (Batuan) 750 - 1500 SC (Tanah keras, sangat padat dan batuan lunak) 350 - 750 > 50 ≥ 100 SD (Tanah sedang 175 - 350 15 - 50 50 - 100 < 175 < 15 < 50 SE (Tanah lunak) atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Indeks Plastisitas, PI > 20, 2. Kadar Air, w ≥ 40 %, 3. Kuat geser niralir, Sα΅€ < 25 KPa. Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik seperti : SF (Tanah khusus yang membutuhkan investigasi geoteknik dan analisis respons spesifik) 1. Rawan dan berpotensi gagal terhadap beban gempa seperti mudah likuifaksi, tanah lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah. 2. Lempung organik tinggi dan/atau gambut (dengan ketebalan > 3 m). 3. Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan PI > 75). 4. Lapisan Lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan H > 35 m dengan S U < 50 KPa. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 5.3. 48 Universitas Sumatera Utara 2.3.5.5. Faktor Respon Gempa Faktor respon gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi, besarnya nilai faktor respon gempa diperoleh dari perhitungan S S dan S 1 . Tabel 2.14. Koefisien Situs, F a Kelas Situs Parameter respon spektral percepatan gempa (MCE R ) terpetakan pada periode pendek, T = 0,2 detik, S S S ≤ 0,25 S = 0,5 S = 0,75 S = 1,0 S ≥ 1,25 SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 SE 2,5 1,7 1,2 SSB 0,9 0,9 SF Catatan : 1. Untuk nilai-nilai antara S S dapat dilakukan interpolasi linier 2. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respon situs-spesifik. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.2. Tabel 2.15. Koefisien Situs, F v Kelas Situs Parameter respon spektral percepatan gempa (MCE R ) terpetakan pada periode pendek, T = 1 detik, S 1 S ≤ 0,1 S = 0,2 S = 0,3 S = 0,4 S ≥ 0,5 SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 SD 2,5 2,0 1,8 1,6 1,5 SE 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4 SF SS B Catatan : 1. Untuk nilai-nilai antara S 1 dapat dilakukan interpolasi linier 2. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respon situs-spesifik. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.2. 49 Universitas Sumatera Utara Parameter spektrum respons percepatan pada perioda pendek (S MS ) dan perioda 1 detik (S M1 ) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, ditentukan dengan perumusan berikut ini: • • ππππππ = πΉπΉππ π₯π₯ ππππ (2.11) ππππ1 = πΉπΉππ π₯π₯ ππ1 (2.12) Parameter percepatan spektral desain untuk perioda pendek (S DS ) dan pada periode 1 detik (S D1 ) harus ditentukan dengan perumusan berikut ini: • • πππ·π·π·π· = πππ·π·1 = 2 3 2 3 π₯π₯ ππππππ (2.13) π₯π₯ ππππ1 (2.14) Kurva spektrum respons desain harus dikembangkan dengan mengikuti ketentuan di bawah ini : 1. Untuk periode yang lebih kecil dari T 0 , spektrum respon percepatan desain (S a ) harus diambil dari persamaan berikut: ππππ = πππ·π·π·π· οΏ½0,4 + 0,6 ππ ππ0 οΏ½ (2.15) 2. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan T 0 dan lebih kecil dari atau sama dengan T S , spektrum respons percepatan desain (S a ) sama dengan S DS . 3. Untuk periode lebih besar dari T S , spektrum respons percepatan desain (S a ) diambil dari persamaan berikut: Keterangan : S DS ππππ = πππ·π· 1 (2.16) ππ = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek S D1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik T = periode getar fundamental struktur T0 = 0,2 π₯π₯ TS = πππ·π· 1 πππ·π· 1 πππ·π·π·π· πππ·π·π·π· 50 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.11. Sektrum Respons Desain Sumber : SNI-03-1726-2012 Pasal 6.4 2.3.5.6. Kategori Desain Gempa Kategori desain gempa dievaluasi berdasarkan parameter respon percepatan periode pendek dan berdasarkan parameter respon percepatan periode 1,0 detik. Tabel 2.16.Kategori Desain Gempa berdasarkan parameter respon percepatan pada periode pendek Kategori Resiko Bangunan Nilai S DS S DS < 0,167 I atau II atau III A IV A 0,167 ≤ S DS < 0,33 B C 0,330 ≤ S DS < 0,50 C D D D 0,500 ≤ S DS Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.5. 51 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.17.Kategori Desain Gempa berdasarkan parameter respon percepatan pada periode 1 detik Kategori Resiko Bangunan Nilai SD1 S D1 < 0,067 I atau II atau III A IV A 0,067 ≤ S D1 < 0,133 B C 0,1330 ≤ S D1 < 0,20 C D D D 0,200 ≤ S D1 Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.5. Tabel 2.18.Kategori Desain Gempa dan Resiko Kegempaan KODE RSNI 1726-201X Tingkat Resiko Kegempaan Rendah Menengah Tinggi KDG A,B SRPM B/M/K SDS B/K KDG C SRPM M/K SDS B/K KDG D,E,F SRPM K SDS K Catatan : 1. SRPM = Sistem Rangka Pemikul Momen 2. SDS = Sistem Dinding Struktur 3. B / M / K = Biasa / Menengah / Khusus Sumber : RSNI 1726-201X 2.3.5.7. Arah Pembebanan Gempa Arah penerapan beban gempa yang digunakan dalam desain harus merupakan arah yang akan menghasilkan pengaruh beban paling kritis. Untuk struktur bangunan yang dirancang untuk kategori desain seismik B, gaya gempa desain diijinkan untuk diterapkan secara terpisah dalam masing-masing arah dari dua arah ortogonal dan pengaruh interaksi ortogonal diijinkan untuk diabaikan. Pembebanan yang diterapkan pada struktur bangunan yang dirancang untuk kategori desain seismik C harus, minimum, sesuai dengan persyaratan dalam kategori desain seismik B. Struktur yang mempunyai ketidakberaturan 52 Universitas Sumatera Utara sistem nonparalel yang didefenisikan ada jika elemen penahan gaya lateral vertikal tidak paralel atau simetris terhadap sumbu-sumbu ortogonal utama sistem penahan gaya gempa harus menggunakan salah satu dari prosedur berikut: a. Prosedur kombinasi ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan prosedur analisis gaya lateral ekivalen, prosedur analisis spektrum respons ragam, atau prosedur riwayat respons linier, dengan pembebanan yang diterapkan secara terpisah dalam semua dua arah ortogonal. Pengaruh beban paling kritis akibat arah penerapan gaya gempa pada struktur dianggap terpenuhi jika komponen dan fondasinya didesain untuk memikul kombinasi beban-beban yang ditetapkan berikut: 100% gaya untuk satu arah ditambah 30% gaya untuk arah tegak lurus. Kombinasi yang mensyaratkan kekuatan komponen maksimum harus digunakan. b. Prosedur penerapan serentak gerak tanah ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan prosedur riwayat respons linier atau prosedur riwayat respons nonlinier dengan pasangan ortogonal riwayat percepatan gerak tanah yang diterapkan secara serentak. Struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, atau F harus, minimum, sesuai dengan kategori desain seismik C. Sebagai tambahan, semua kolom atau dinding yang membentuk bagian dari dua atau lebih sistem penahan gaya gempa yang berpotongan dan dikenai beban aksial akibat gaya gempa yang bekerja sepanjang baik sumbu denah utama sama atau melebihi 20% kuat desain aksial kolom atau dinding harus didesain untuk pengaruh beban paling kritis akibat penerapan gaya gempa dalam semua arah. Baik prosedur kombinasi ortogonal maupun prosedur penerapan serentak gerak tanah ortogonal, diijinkan untuk digunakan untuk memenuhi persyaratan pada kategori desain seismik D, E, atau F. 53 Universitas Sumatera Utara 2.3.6. Gaya Lateral Ekivalen 2.3.6.1. Gaya Geser akibat Gempa Koefisien respon gempa (C S ) ditentukan sesuai dengan persamaan berikut: Keterangan : S DS πΆπΆππ = πππ·π·π·π· (2.17) π π πΌπΌ ππ = parameter percepatan spektrum respons desain rentang periode pendek R = faktor modifikasi respons Ie = faktor keutamaan gempa Gaya geser gempa (V) ditentukan sesuai dengan persamaan berikut: Keterangan : ππ = πΆπΆππ π₯π₯ ππ (2.18) CS = koefisien respons gempa W = berat gempa efektif 2.3.6.2. Periode Fundamental Periode fundamental struktur (T) harus diperoleh menggunakan properti struktur dan karateristik deformasi elemen penahan dalam analisis yang teruji. Periode fundamental struktur (T) tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan atas pada periode yang dihitung (C u ) dan periode fundamental pendekatan (T a ) yang ditentukan. Pada pelaksanaan analisis untuk menentukan perioda fundamental struktur (T) diijinkan secara langsung menggunakan periode bangunan pendekatan (T a ). Periode fundamental pendekatan (T a ) dalam detik ditentukan dari persamaan berikut: ππππ = πΆπΆπ‘π‘ π₯π₯ βπππ₯π₯ (2.19) 54 Universitas Sumatera Utara Keterangan : hn = ketinggian struktur dalam meter di atas dasar sampai tingkat tertinggi struktur Tabel 2.19.Nilai Parameter Periode pendekatan C t dan x tipe struktur Ct x Sistem rangka pemikul momen dimana rangka memikul 100 persen gaya gempa yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau dihubungkan dengan komponen yang lebih kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi jika dikenai gaya gempa: Rangka baja pemikul momen Rangka beton pemikul momen 0,0724a 0,8 a 0,9 a 0,75 a 0,75 a 0,75 0,0466 Rangka baja dengan bresing eksentris 0,0731 Rangka baja dengan bresing terkekang terhadap tekuk Semua sistem struktur lainnya 0,0731 0,0488 Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 7.8.2.1. Tabel 2.20.Koefisien untuk Batas Atas pada Periode yang Dihitung Parameter Percepatan Respons Spektral Desain pada 1 Detik (SD1) koefisien C u ≥ 0,4 1,4 0,3 1,4 0,2 1,5 0,15 1,6 ≤ 0,1 1,7 Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 7.8.2.1. 2.3.6.3. Distribusi Gaya Gempa Gaya gempa lateral (F x ) dalam KN yang timbul di semua tingkat harus ditentukan dari persamaan berikut: πΉπΉπ₯π₯ = πΆπΆπ£π£π£π£ π₯π₯ ππ πΆπΆπ£π£π£π£ = (2.20) dan πππ₯π₯ π₯π₯ β π₯π₯ππ ∑ππππ=1 ππππ π₯π₯ β ππππ (2.21) 55 Universitas Sumatera Utara Keterangan : C vx = faktor distribusi V = gaya lateral desain total atau geser di dasar struktur, dinyatakan dalam kilonewton (KN) W i dan W x = bagian berat gempa efektif total struktur (W) yang ditempatkan atau dikenakan pada tingkat i atau x h i dan h x = tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x, dinyatakan dalam meter (m) k = eksponen yang terkait dengan periode struktur sebagai berikut : • Untuk struktur yang mempunyai periode sebesar 0,5 detik atau kurang, k = 1 • Untuk struktur yang mempunyai periode sebesar 2,5 detik atau lebih, k = 2 • Untuk struktur yang mempunyai periode antara 0,5 dan 2,5 detik, k harus sebesar 2 atau harus ditentukan dengan interpolasi linier antara 1 dan 2 56 Universitas Sumatera Utara