KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN

advertisement
KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI1)
Oleh :
Pratiwi2)
ABSTRAK
Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian
pohon/tumbuhan sisa hasil pemanenan hutan. Limbah ini sebagian masih layak
dimanfaatkan seperti untuk arang maupun produk-produk olahan yang lain berupa
balok atau papan. Sedangkan ranting-ranting dan serasah seringkali diabaikan
pemanfaatannya, padahal bagian-bagian ini masih dapat dimanfaatkan khususnya
dalam upaya konservasi tanah dan air dengan menerapkan teknik mulsa vertikal.
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal dari
serasah gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan
dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur
pada bidang tanah yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya
selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Secara ekologis teknik ini
terbukti dapat menurunkan laju aliran permukaan, erosi, dan kehilangan unsur
hara. Namun demikian konsekuensinya adalah diperlukan biaya dalam penerapan
teknik ini.
Kata kunci: Limbah hutan, lahan terdegradasi, konservasi tanah dan air
I.
PENDAHULUAN
Meningkatnya laju deforestasi di Indonesia dari tahun ke tahun menyebabkan
meningkat pula luas lahan terdegradasi. Diperkirakan laju deforestasi dari tahun
1990-1997 sebesar 1,6-2 juta ha/tahun (Menteri Kehutanan, 2000), dan tahun
1997-2000 untuk 5 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi,
dan Irian Jaya, di kawasan hutan sebesar 2,83 juta ha/th dan di luar kawasan
hutan 0,68 juta ha/th (Departemen Kehutanan, 2003). Sementara itu sejalan
dengan meningkatnya laju deforestasi, luas lahan terdegradasi tercatat mencapai
sekitar 48,5 juta ha, terdiri dari 26,6 juta ha lahan terdegradasi di dalam kawasan
hutan dan 21,9 juta ha lahan terdegradasi di luar kawasan hutan (Anonymous,
2000). Laporan lain menyebutkan bahwa luas lahan terdegradasi di dalam
kawasan hutan sekitar 54,6 juta ha dan di luar kawasan hutan sekitar 41,7 juta ha
(Departemen Kehutanan, 2002), serta tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan.
Adanya laju deforestasi yang cukup tinggi maka harus diupayakan beberapa
alternatif, agar fungsi hutan sebagai pengatur tata air dapat dikembalikan seperti
semula. Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dengan menerapkan teknik-teknik konservasi
tanah dan air, di samping teknik silvikultur jenis tanaman yang dikembangkan.
Keberhasilan penerapan teknik konservasi tanah dan air dalam rehabilitasi
hutan dan lahan terdegradasi sangat tergantung pada kesesuaian dan
kemampuan lahan, murah, dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip social forestry. Salah satu
1)
Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya
Hutan. Padang, 20 September 2006.
2)
Peneliti pada Kelti Konservasi Tanah dan Air, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
alternatif teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan adalah teknik
mulsa vertikal. Teknik ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh petani di pedesaan
yaitu dengan membuat saluran di dekat pohon utama dan memasukkan limbah
atau serasah yang ada di sekitarnya ke dalam saluran tersebut. Di bidang
kehutanan, teknik ini belum diterapkan, padahal dalam hutan dan lahan
terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan, yang dapat dikelola untuk percepatan
pertumbuhan tanaman.
Limbah hutan merupakan bagian-bagian pohon atau tumbuhan sebagai hasil
dari sistem pemanenan hutan. Limbah ini sebagian masih layak dimanfaatkan
seperti untuk arang maupun produk-produk olahan yang lain (balok, papan, dan
sebagainya). Sedangkan ranting-ranting kecil maupun serasah seringkali
diabaikan pemanfaatannya. Padahal bagian-bagian ini masih dapat dimanfaatkan
khususnya dalam upaya konservasi tanah dan air.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, tujuan penulisan artikel ini adalah
mensosialisasikan teknik konservasi tanah dan air (dalam hal ini teknik mulsa
vertikal) dalam kaitannya dengan upaya rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.
Diharapkan teknik ini dapat diterapkan dalam program-program konservasi tanah
dan air di lahan-lahan terdegradasi, sehingga fungsi hutan sebagai pengatur tata
air dapat kembali seperti semula.
II.
TEKNIK MULSA VERTIKAL
Konservasi tanah dan air merupakan upaya menempatkan setiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan
agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 1986). Salah satu teknik konservasi
tanah dan air adalah teknik mulsa vertikal.
Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari
bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang
maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam
saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan
(Pratiwi, 2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan
dengan pembuatan guludan.
A.
Penempatan Saluran
Teknik mulsa vertikal dapat dilakukan di lahan yang baru dibuka dengan
tanaman sampai berumur 3 tahun maupun di hutan tanaman dengan tanaman
utama yang telah membentuk tajuk (Pratiwi 2000 dan 2001). Perbedaannya
adalah, di lahan yang baru dibuka mulsa vertikal ditempatkan pada saluran dengan
jarak antara 5-6 meter pada lahan dengan kelerengan >15o atau dengan jarak
antara saluran 10-20 meter pada lahan dengan kelerengan <15o (Tabel 1).
Sedangkan di hutan tanaman, mulsa vertikal ditempatkan di bagian hilir individu
tanaman (Gambar 1 dan 2).
Tabel 1. Penerapan teknik mulsa vertikal dalam hutan tanaman
Lereng
o
< 15
o
> 15
82
Nama teras
Gulud
Kredit
Jarak antara saluran
(m)
10-20
5-6
Kedalaman saluran
(m)
0,60-0,80
040-0,60
Lebar saluran
(m)
0,25-1,00
0,20-0,50
Konservasi Tanah dan Air : Pemanfaatan Limbah Hutan dalam... (Pratiwi)
Pohon
Guludan
Bidang olah tanah
pertanian
5-10
m
Lereng > 150 (Teras
Kredit)
Gambar 1. Penempatan mulsa vertikal di lahan yang baru dibuka
B. Pembuatan Saluran
Pembuatan saluran dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Saluran ditempatkan di antara pohon
dengan jarak 10-20 m (kelerengan <
15o) atau 5-6 meter (kelerengan >15o)
(untuk areal baru dibuka) atau di bagian
hilir individu tanaman (jika tanaman
telah bertajuk).
2. Tanah digali pada jalur saluran tersebut Gambar 2. Penempatan mulsa vertikal
dengan kedalaman 40-80 cm dan lebar
di hutantanaman yang telah
20-100 cm, tergantung jumlah limbah
bertajuk
yang tersedia.
3. Tanah hasil galian dibuat guludan di bagian hulu di sepanjang saluran (jika
kemiringan lahan > 15o) atau diletakkan di bagian hilir di sepanjang saluran
(jika kemiringan < 15o).
4. Limbah dimasukan ke dalam saluran yang telah dibuat tersebut.
C. Bahan dan biaya yang diperlukan
Dari segi biaya, berdasarkan kebutuhan tenaga yang diperlukan untuk
merehabilitasi hutan seluas 1 hektar dengan menggunakan teknik mulsa vertikal
dengan jarak antara saluran 6 meter adalah sebesar Rp 400.000,-/ha. Sedangkan
untuk mulsa vertikal yang diletakkan di bagian hilir individu tanaman diperlukan
biaya sebesar Rp 600.000,-/ha.
Limbah hutan dalam keadaan basah yang diperlukan untuk penerapan mulsa
vertikal dengan jarak antara saluran 6 meter dan mulsa vertikal yang diletakkan di
bagian hilir individu tanaman untuk areal seluas 1 ha diperlukan masing-masing
250 kwintal dan 112,5 kwintal.
D. Peranan mulsa vertikal
Teknik mulsa vertikal mempunyai tiga komponen, yaitu pemanfaatan limbah
hutan (serasah), pembuatan saluran, dan guludan.
Limbah hutan (serasah) berfungsi sebagai (Siregar dan Pratiwi, 1999; Pratiwi,
2000):
1. Limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi dan
menghasilkan unsur-unsur hara penting bagi tanaman. Aktivitas mikroba
meningkat dalam proses penghancuran unsur-unsur hara penting bagi
83
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
tanaman. Aktivitas mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau
dekomposisi bahan organik;
2. Biomas segar yang telah terdekomposisi tersebut merupakan media yang
dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar, sehingga
penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien;
3. Bahan organik yang telah terdekomposisi di dalam saluran dapat diangkat dan
digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat memperbaiki
kesuburan tanah;
4. Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan niche
ecology bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan memanfaatkan energi
dan unsur hara di dalam mulsa dan akan menghasilkan senyawa organik yang
dapat memantapkan agregat tanah;
5. Limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi sebagai
penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen sehingga
air akan mudah meresap ke dalam saluran.
Sedangkan saluran berfungsi sebagai:
1. Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran permukaan
yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air akan masuk ke
dalam saluran;
2. Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa oleh aliran
dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di bagian saluran
mulsa vertikal tersebut.
Guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan partikel-partikel
tanah sebelum tererosi ke bagian hilir. Dengan demikian partikel-partikel tanah
akan terhenti di bagian guludan tersebut.
III. PENUTUP
Penerapan teknik konservasi tanah dan air dalam kegiatan rehabilitasi hutan
dan lahan dengan memanfaatkan limbah hutan dengan teknik mulsa vertikal
diharapkan dapat membantu dalam upaya pengendalian erosi, aliran permukaan,
dan kehilangan unsur hara. Tanah akan terhindar dari kerusakan oleh erosi dan
air hujan yang mengalir di permukaan tanah. Air ini akan masuk ke dalam saluran
yang berisi mulsa (limbah hutan), kemudian meresap ke dalam profil tanah. Bahan
organik yang berupa mulsa ini merupakan media yang dapat menyerap dan
memegang massa air dalam jumlah besar, sehingga penyimpanan air dalam tanah
dapat berjalan efisien.
Secara teknis, teknik konservasi tanah dan air dengan memanfaatkan limbah
hutan ataupun serasah dengan teknik mulsa vertikal diharapkan dapat diterapkan
dalam upaya pengelolaan lahan terdegradasi. Namun pengalaman menunjukkan
rakitan teknologi konservasi tanah dan air yang terpilih yang diterapkan di
lapangan dengan skala lapangan (luas) telah ditemukan beberapa kelemahan,
sehingga teknologi tersebut tidak berkembang.
Teknik konservasi tanah dan air dengan teknik mulsa vertikal dengan
memanfaatkan limbah hutan ditinjau dari segi pembuatannya yang merupakan
gabungan dari saluran dan guludan diharapkan dapat mengurangi/memperkecil
kelemahan seperti yang ditemukan pada rakitan teknologi konservasi tanah dan air
yang lain seperti teras bangku.
84
Konservasi Tanah dan Air : Pemanfaatan Limbah Hutan dalam... (Pratiwi)
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on
the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification
(UNCCD). For Submission at the Fourth Session of Conference of the
Parties. Bonn, Germany.
Arsyad, S. 1986. Konservasi Tanah dan Air. Jurusan Tanah, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Departemen Kehutanan. 2001. Statistik Kehutanan 1996/1997. Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2002. Rencana Aksi Pengembangan Hutan Tanaman/HTI
dalam
rangka
Reboisasi.
http://www.dephut.go.id/
informasi/
ph/rencana_aksi_pengembangan.htm.2005.
Departemen Kehutanan. 2003. Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan
JICA. Jakarta.
Menteri Kehutanan. 2000. Arahan Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Rakernas
2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Pratiwi. 2000. Pemanfaatan Bahan Organik Sisa Tumbuhan untuk Mengurangi
Aliran Permukaan, Erosi dan Kehilangan Unsur Hara di Lahan Marginal
Muara Dua Lampung. Buletin Penelitian Hutan 624:39-50.
Pratiwi. 2001. Efektivitas Penempatan Mulsa Vertikal untuk Pengurangan Laju
Aliran Permukaan dan Sedimentasi serta Kehilangan Unsur Hara di Hutan
Tanaman Mahoni Afrika (Khaya anthoteca) Pasir Awi-Leuwiliang, Jawa
Barat. Buletin Penelitian Hutan 628:49-60.
Pratiwi. 2005. Aspek Konservasi Tanah dan Air dalam Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. 2005. Prosiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Palembang 15 Desember 2004. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor.
Siregar, C. A. dan Pratiwi. 1999. Pemanfaatan Bahan Organik dengan Teknik
Mulsa Vertikal untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah pada Hutan
Tanaman Industri. Makalah Utama Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian
Penerapan Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat
dalam Kegiatan Pengusahaan Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam, Bogor, 11 Februari 1999.
85
Download