1 POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN UMUM 2014 DI KABUPATEN KAYONG UTARA (Studi Kasus Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Kecamatan Sukadana) Diteliti dan disusun oleh: Tim Peneliti KPU Kabupaten Kayong Utara KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA 2015 2 Susunan Tim Peneliti Pengarah: Dedy Efendy, SH Penanggung Jawab: Ya’ Muhamad Ikhsan, SH Ketua: Rudi Handoko, S.Sos Sekretaris: F.M. Nainggolan, SE Anggota-anggota: Burhanuddin, S.Pd.I Bujang Asnan, SE Effian Noer, S.Ag Karnaen Syarifah Alifiah, S.IP 3 KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenanNya laporan kegiatan penelitian oleh KPU Kabupaten Kayong Utara dengan tema Politik Uang dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Kayong Utara dapat kami selesaikan. Tujuan utama dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui proses politik uang serta bagaimana pengaruhnya terhadap pilihan politik dari pemilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Kayong Utara. Laporan kegiatan ini semoga dapat menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara guna peningkatan sistem kedepan yang lebih demokratis dan meminimalisir berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, serta menciptakan pemilih yang cerdas dan rasional dalam setiap peristiwa demokrasi baik tingkat nasional maupun lokal. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam pelaksanaan penelitian ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai setiap usaha kita dalam menciptakan demokrasi yang bersih, jujur dan adil. Sukadana, Juli 2015 Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara Dedy Efendy, S.H. 4 Pengantar Tim Peneliti Politik uang, suatu istilah yang sering didengar, sangat marak apabila menjelang momen-momen politik, baik pemilu, pilkada bahkan pilkades. Meskipun diketahui sering terjadi, pembuktian menjadi amat sulit dan walaupun diketahui sebagai kegiatan yang dilarang, tapi acapkali menjadi pilihan utama bagi para pihak untuk memenangkan persaingan politik. Banyak hal yang membuat praktik ini makin membudaya, diantaranya yaitu ambisi politik dari calon, baik calon legislatif pada pemilu, kandidat kepala daerah pada pilkada dan di even-even lainnya. Para calon tentu memiliki ambisi untuk dapat menduduki jabatan politik. Tentu saja karena bayangan bahwa itu merupakan jabatan prestisius yang akan menaikkan status sosial dan pastinya status ekonomi (kekayaan). Ambisi pribadi ini membuat para calon akan bersaing ketat dan mungkin saja akan melakukan apapun demi meraih posisi tersebut, termasuk melakukan politik uang. Kemudian faktor ekonomi, semisal kemiskinan, meski belum tentu membuat orang gelap mata, namun membuka peluang bagi masyarakat untuk menerima apa saja yang diberikan pada saat pesta demokrasi, seperti politik uang yang dilakukan oleh para calon. Secara budaya, seringkali terdengar masyarakat kerap mengatakan bahwa kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak makan duitnya sekarang, kapan lagi?” Entah sejak kapan, bahasa seperti ini seakan membudaya secara faktual di tiap momen-momen pemilihan. Mungkin semua itu terjadi dan timbul karena masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada figur pemimpin, karena mereka menganggap janji-janji setiap calon adalah sekadar janji, maka mereka menilai secara pragmatis saja, yakni siapa dan mampu memberi apa. Masyarakat semakin pragmatis dalam memilih dan permisif terhadap tindakan menyimpang seperti politik uang. Jika sudah demikian adanya, maka sanksi sosial terhadap pelaku politik uang itupun sudah tiada lagi. Selanjutnya, perihal rendahnya pendidikan dan kesadaran politik. Maraknya kebiasaan-kebiasaan politik uang yang membudaya ini boleh jadi disebabkan masih rendahnya pendidikan masyarakat, sehingga memungkinkan mereka tidak menilai secara rasional dan obyektif dalam memilih. Kemudian diakui atau tidak, masih rendahnya kesadaran berpolitik akibat rendahnya atau kurangnya pendidikan politik juga akan mempengaruhi, maka hal-hal seperti politik uang tersebut dianggap biasa dan kewajaran. Sedangkan jika bicara regulasi, aturan tentang pelarangan politik uang telah ada, namun pelanggaran politik uang seringkali susah dilarang, susah diungkap, susah dibuktikan, dan rendahnya sanksi dalam regulasi membuat politik uang tetap menjadi pilihan untuk mempengaruhi pemilih guna memperoleh dukungan. Diakui atau tidak, dengan adanya politik uang, akan membawa dampak buruk baik bagi pelaku yakni para calon, yang terpilih atau tidak, maupun terhadap masyarakat. Bagi calon yang jadi atau terpilih, maka berdampak memunculkan perilaku menyimpang. Sebab jika sudah mengeluarkan biaya yang besar dengan politik uang untuk memperoleh dukungan dan meraih kemenangan, 5 maka tentunya akan berupaya mengembalikan modal dan mencari untung setelah berkuasa. Akhirnya akan berperan mempengaruhi perilaku koruptif memanfaatkan kekuasaannya, bukan lagi memaknai jabatan sebagai amanah, tapi kesempatan untuk memperkaya diri dan memuluskan kepentingan pribadi serta kelompok. Bagi para calon yang gagal, akan membuat status perekonomian menjadi lemah, karena habis biaya untuk melakukan politik uang. Sedangkan bagi masyarakat, memunculkan dan menumbuh suburkan budaya pragmatis, permisif dan oportunis. Memilih bukan lagi karena pertimbangan dan penilaian obyektif, karena kemampuan, kompetensi dan integritas para calon, tapi karena uang. Oleh karena itu, tim peneliti mencoba mengurai proses, pola dan bentuk politik uang yang terjadi selama pemilu 2014 di Kabupaten Kayong Utara, khususnya dengan studi kasus di enam desa di Kecamatan Sukadana. Semoga hasil penelitian ini dapat menjelaskan tentang proses, pola dan bentuk politik uang serta dapat menjadi masukan bagi upaya-upaya meminimalisir praktik politik uang, agar pemilu menjadi bersih, jujur, adil dan berkualitas. Penelitian bukanlah yang pertama dalam dunia akademis-ilmiah, tapi memang mungkin yang pertama di Kabupaten Kayong Utara. Karenanya, jika terdapat kekurangan dan kelemahan, maka segala saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan oleh tim peneliti. Sukadana, Juli 2015 Tim Peneliti 6 DAFTAR ISI Kata Pengantar Ketua KPU Kabupaten Kayong Utara Pengantar Tim Peneliti Daftar Isi Daftar Tabel BAB I. Pendahuluan ………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang …...…................................................................. 1 B. Rumusan Masalah …...…............................................................7 C. Tujuan Penelitian …………….………………………………... 7 D. Manfaat Penelitian …………...………………………………... 7 E. Tinjauan Literatur ………………………………………….….. 8 1. Pengertian Politik Uang …………………………………... 8 2. Pengertian Pemilih ………………………………………... 11 3. Pengertian Pemilu ……………………………………...…. 12 F. Kerangka Konsep ………………………………………….….. 12 G. Metode Penelitian …………………………………………….. 16 1. Jenis Penelitian …………………………………………… 16 2. Teknik Pengumpulan Data………………………………… 19 3. Alat Pengumpulan Data …………………………………... 20 4. Subyek Penelitian ………………………………………… 21 5. Teknik Pengolahan Data ………………………………….. 24 6. Teknik Analisis Data …...…………………………………..25 7. Waktu dan Tempat Penelitian ……..…………………...…. 26 BAB II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………….. 27 A. Gambaran Wilayah KKU……………... ...……………………. 27 B. Luas Wilayah KKU……………... ...………………..………… 29 C. Profil Kependudukan …..………………...…………………… 29 D. Profil Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU.…………….. 30 E. Daftar Pemilih Tetap KKU……………………………………. 30 F. Gambaran Umum Desa-Desa Lokasi Penelitian ...……………. 31 BAB III. Hasil dan Pembahasan Penelitian ……………………………..... A. Proses Politik Uang ……………………………………..…….. B. Politik Uang dalam Mempengaruhi Pilihan Politik …………... C. Politik Uang di Wilayah Urban, Rural dan Transisi …....…….. 33 33 41 43 BAB IV. Penutup …………………………………………………………. 46 A. Kesimpulan ……………………………………………………. 46 B. Saran …………………………………………………………... 48 C. Rekomendasi ……………...…………………………………... 49 Daftar Pustaka …………………………………………………………….. 52 Lampiran 7 DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar 1 Peta Administratif Kabupaten Kayong Utara ………………….. 28 Tabel 1 Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU …………………….…. 30 Tabel 2 Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU ……………………………….. 30 Tabel 3 Responden yang Mengaku Menerima dan Tidak Menerima …….. 34 Tabel 4 Pola Pemberian Uang/Barang atau Praktik Politik Uang ……….... 35 Tabel 5 Bentuk Pemberian dalam Politik Uang ………….………………... 36 Tabel 6 Pelaku/Aktor Pemberi dalam Praktik Politik Uang ………………. 37 Tabel 7 Tahu atau Tidak Tahu Politik Uang Dilarang .…………………… 39 Tabel 8 Alasan Menerima Pemberian Praktik Politik Uang ………………. 40 Tabel 9 Pengaruh Pemberian Terhadap Pilihan Politik ………...…………. 41 Tabel 10 Alasan Terpengaruh dan Tidak Terpengaruh ………………….... 42 Tabel 11 Jumlah Sampel dan Yang Menerima Pemberian Uang/Barang .... 44 Tabel 12 Pola Pemberian dan Lokasi dalam Praktik Politik Uang ...…….... 44 Tabel 13 Bentuk Politik Uang …………………………...……………….... 44 Tabel 14 Pengaruh Terhadap Pilihan ……………………………....…….... 44 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (pemilu) merupakan suatu proses penting dalam negara demokrasi, karena pemilu merupakan ciri negara demokratis. Sebagai salah satu instrumen demokrasi yang harus dijalankan, maka mensyaratkan ada dan terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas, adil dan bersih, sebagai sarana politik bagi rakyat untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam memilih wakil-wakil mereka sebagai pelaksana (mandatory) dan pengelola kekuasaan baik di eksekutif dan legislatif. Artinya, pemilu bagi suatu negara demokrasi berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat. Pemilu dapat dikatakan sebagai sebuah aktifitas politik, lembaga, sekaligus juga praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan Umum, selanjutnya disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9 Di dalam negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu parameter untuk mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara, yakni dengan menilik dari proses perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Sejatinya, sistem pemilu, sistem kepartaian, dan sistem pemerintahan saling berkaitan erat. Sistem pemilu merupakan suatu prosedur yang diatur dalam suatu negara untuk memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan di lembaga suprastruktur politik (eksekutif dan legislatif). Sedangkan sistem kepartaian, merupakan infrastruktur politik yang mengatur tentang prosedur dan kelembagaan partai politik sebagai institusi yang memiliki fungsi agregasi-artikulasi politik, pendidikan politik, sosialisasi politik, dan tentunya seleksi-rekrutmen politik bagi individu-individu yang diproyeksikan menjadi wakil-wakil rakyat, untuk menjadi pelaksana dan pengelola kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara. Meskipun banyak variasinya, namun sistem pemilu biasanya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Dalam sistem distrik, keterwakilan dibagi atas dasar kesatuan wilayah geografis atau daerah, yang mendapat jatah keterwakilan yang sama dengan daerah lainnya. Sedangkan dalam sistem proporsional, maka suatu wilayah negara atau daerah dibagi dalam daerah pemilihan, yang mana di setiap daerah, jumlah wakilnya yang akan duduk dalam perwakilan akan berbeda, berdasarkan proporsi jumlah penduduk dan pemilih. Di Indonesia, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota menggunakan sistem proporsional (terbuka) dan untuk pemilihan 10 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik (berwakil banyak). Eksistensi bentuk sistem pemilu dan sistem kepartaian tidak terlepas dari sistem pemerintahan suatu negara. Sistem pemerintahan berupa bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan dan sebagainya akan mempengaruhi cara atau metode dalam pembagian kekuasaan politik dan prosedur legal-formal untuk memperoleh kekuasan politik, serta dalam melaksanakan dan mengelola kekuasaan politik tersebut. Pada sistem pemerintahan demokrasi, maka kekuasaan politik diperoleh melalui sistem pemilu dengan sistem kepartaian yang mengatur tentang partai-partai apa saja yang berhak terlibat dalam pemilu sebagai pengejawantahan kekuasaan berada di tangan rakyat. Sederhananya, sistem pemerintahan yang dianut suatu negara akan menentukan seperti apa sistem pemilunya, dan sistem pemilu akan menentukan seperti apa sistem kepartaian yang dipakai. Tiap negara berbeda siklus penyelenggaraan pemilunya. Di Indonesia, pelaksanaan pemilu baik untuk memilih perwakilan legislatif maupun pucuk pimpinan eksekutif, dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun sekali. Pemilu yang bebas, jujur, adil, rahasia, bersih dan berkualitas menjadi suatu cita-cita ideal untuk menghasilkan perwakilan rakyat dan pemimpin negara yang tentunya berkualitas serta bermartabat baik di legislatif maupun eksekutif. Di negeri ini, sudah sebelas kali pemilu dilaksanakan. Berbagai sistem, pola dan prosedur dalam pelaksanaan pemilu terus berganti dan berubah berdasarkan 11 kondisi dan tuntutan demokrasi. Indonesia sebagai negara yang mempunyai jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, serta beraneka ragam suku/etnis, agama dan berbagai golongan atau tingkatan strata kehidupan. Jika kita merefleksikan pada pelaksanaan pemilu terakhir (tahun 2014), dapat kita lihat berbagai dinamika yang mewarnai pelaksanaannya. Tentu saja dari kualitas pelaksanaan penyelenggaraan pemilu selalu diharapkan semakin menunjukkan peningkatan kualitas, baik dari sisi penyelenggaraan itu sendiri, partisipasi masyarakat, dan skala demokrasi. Meskipun demikian, tak dapat kita pungkiri bahwa masalah dan kendala dalam proses demokrasi itu masih menunjukkan adanya patologi demokrasi, seperti kegiatan politik uang yang sengaja dilakukan oleh berbagai pihak demi memperoleh dukungan dan suara. Politik uang ini telah lama menjadi pembahasan bersama dalam upaya menciptakan iklim demokrasi dan kepemiluan yang sesuai asas pemilu tersebut. Namun politik uang yang berkembang memang tampak semakin massif pada sistem pemilu yang dilaksanakan secara langsung, karena antara para calon dan warga masyarakat yang menjadi pemilih dapat berhubungan secara lebih intens. Dalam tahapan pemilu, masa kampanye dan minggu tenang menjadi masa yang rawan bagi terjadinya politik uang. Padahal politik uang merupakan bentuk pelanggaran kampanye.Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 32 ayat (1) huruf j disebutkan bahwa Pelaksana, 12 peserta dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. Politik uang umumnya berupa pemberian untuk menyuap seseorang atau kelompok supaya memilih sesuai dengan yang diinginkan. Kegiatan politik uang dilakukan oleh para calon, tim sukses, kader, simpatisan, bahkan oleh pengurus partai politik. Politik uang bisa dilakukan dengan bermacam-macam cara, pendistribusiannya pun bermacam-macam pula. Dengan semakin massifnya politik uang ini, bahkan ada yang menganggap bahwa politik uang dalam tiap pesta politik atau even demokrasi adalah kebiasaan yang telah membudaya. Sering terdengar ungkapan di kalangan masyarakat bahwa kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak makan duitnya sekarang, kapan lagi?” Tentu saja hal ini mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Meskipun faktanya politik uang itu terjadi, namun sulitnya pembuktian secara hukum dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan membuat politik uang seakan mendapat tempat di dalam masyarakat. Walaupun politik uang secara umum telah diketahui sebagai penyakit atau masalah, bahkan sudah begitu banyak elemen masyarakat mulai dari penyelenggara pemilu, kalangan organisasi pemerintahan, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, bahkan partai politik itu sendiri mengecam perilaku politik uang. Namun selalu muncul tanya mengapa politik uang yang dibenci ini tetap marak dilakukan oleh sebagian kalangan yang hendak bertarung dalam pesta 13 demokrasi di negeri ini? Banyak jawaban yang dapat diungkap. Mungkin karena tiada lagi rasa malu, lemahnya sanksi sosial, masyarakat yang semakin pragmatis dan permisif dengan hal-hal semacam itu, kemiskinan masyarakat, lemahnya regulasi dan pengawasan atau mungkin karena ambisi politik para calon yang menganggap politik uang sebagai salah satu cara paling cepat dan tepat untuk memperoleh dukungan dan meraup suara. Sehingga ada kecenderungan politik uang tidak bisa dipisahkan dalam tiap peristiwa politik. Meskipun tidak setiap praktik politik uang dapat memuluskan langkah menjadi anggota legislatif terpilih, namun sedikit banyak tentu dapat mempengaruhi pilihan pemilih dengan pertimbangan keuntungan finansial. Sehingga praktik politik uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagai para aktor politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Dari pemaparan di atas dapat diasumsikan, masyarakat kita masih perlu didorong dan dimotivasi untuk berpartisipasi, termasuk untuk menumbuhkan kesadaran politik masyarakat agar turut melakukan pengawasan dan pemantauan dalam pesta demokrasi, karena dengan adanya kesadaran warga masyarakat, maka akan mendorong proses menuju pemilihan yang menghasilkan pilihan cerdas, rasional dan demokratis. Jangan sampai mereka memandang pemilu tak lebih dari sekadar dagelan politik yang naif dan absurd. Dengan dasar asumsi itulah tim peneliti ingin meneliti secara langsung mengenai adanya politik uang pada pemilu melalui kesaksian-kesaksian warga 14 masyarakat sebagai pemilih, dengan sebuah judul penelitian, “Politik Uang pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara.” B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirancang penelitian ini dengan rumusan masalah: 1. Bagaimana proses politik uang yang terjadi pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara? 2. Apakah politik uang mempengaruhi pilihan politik pemilih pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan, yaitu: 1. Mengetahui proses politik uang yang terjadi pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di KecamatanKabupaten Kayong Utara. 2. Mengetahui pengaruh politik uang tersebut terhadap pilihan politik para pemilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kabupaten Kayong Utara. D. Manfaat Penelitian Dari pelaksanaan penelitian diharapkan bisa memberikan manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya : 1. Bagi Kalangan Penyelenggara Pemilihan Umum (KPU) Sebagai masukan yang berguna untuk memperbaiki sistem, pola dan prosedur pelaksanaan pemilihan umum sehingga lebih demokratis dan 15 dapat meminimalisir politik uang yang mencederai demokratisasi dan tak sesuai azas pemilu. 2. Bagi Kalangan Akademik Dengan adanya penelitian ini, hasilnya dapat dijadikan sebagai referensi, rujukan dan bahan pengayaan khazanah ilmu pengetahuan mengenai fenomena-fenomena politik faktual. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pijakan untuk melakukan penelitian akademis berikutnya. Sehingga diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial dan politik. 3. Bagi Masyarakat Dengan adanya penelitian ini semoga dapat menjadi pembelajaran untuk meningkatkan kesadaran politik, sehingga menjadi pemilih cerdas dan rasional dalam setiap peristiwa demokrasi, baik itu pemilu maupun pilkada dan sebagainya. E. Tinjauan Literatur 1. Pengertian Politik Uang Politik uang ialah upaya mempengaruhi pemilih baik dengan imbalan terutama berupa pemberian uang, maupun dengan imbalan pemberian barang dan jasa. Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang 16 dikutip oleh Indra Ismawan,1 kalau kasus money politic bisa dibuktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Tapi kalau penyumbang adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur (Ismawan, 1999:4). Penggunaan uang sebagai alat meraih tujuan kekuasaan politik sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ideologi yang membenarkan tindakan tersebut sudah ada sejak era Nicollo Machiavelli, ahli strategi politik asal Italia bad XV. Machiavelli pernah menulis bahwa untuk mencapai kekuasaan, segala cara bisa dilakukan (Ismawan, 1999:21). Indra Ismawan sendiri (1999:5-10) dalam bukunya Pengaruh Uang dalam Pemilu menyatakan, “politik uang biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Adapula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara.” Menurut Daniel Dhakidae (2011), politik uang ini merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik. Demokrasi perwakilan yang mengandalkan votes (suara) dengan mudah diubah menjadi sebuah komoditas, yang akan dijual pada saat sudah diperoleh dan dibeli saat belum 1 Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo, 1999, hal 4. 17 diperoleh. Dibeli waktu pemilihan umum dengan segala teknik dan dijual pula dengan segala teknik.2 Wahyudi Kumorotomo (2009) menyatakan bahwa setiap orang tahu bahwa kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam pemilu setelah reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam politik uang, warga akan segera bisa menunjuk bagaimana para calon itu menggunakan uang untuk “membeli suara” di daerah pemilihan mereka.3 Perilaku politik uang yang kerap mengambil bentuk sebagai kegiatan bantuan amal sering juga menimbulkan perubahan persepsi masyarakat terhadap praktik tersebut, sehingga dianggap lumrah. Kesulitan mengambil persepsi itupun terjadi di kalangan pemimpin, tokoh masyarakat bahkan agamawan. Meski sebagian agamawan menyatakan haram, namun sebagaimana dikutip oleh Ismawan, bahwa mantan Menteri Agama Malik Fadjar tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktik politik uang itu haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukumnya dengan dalil-dalil yang jelas berkaitan langsung dengan soal ini (Ismawan, 1999:2). Sehingga sulit dibedakan antara pemberian yang tergolong risywah atau suap dengan pemberian yang terkategori amal jariyah. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa politik uang sebagai suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak 2 3 Daniel Dhakidae, Makalah Melawan Politik Kartel dalam Demokrasi Indonesia, 2011. Wahyudi Kumorotomo, Makalah Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi, 2009. 18 menjalankan haknya untuk memilih, maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilu.4 Kegiatan politik uang seringkali terjadi di masa kampanye dan minggu tenang, padahal hal itu merupakan bentuk pelanggaran kampanye. Sebagaimana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pasal 86 ayat (1) huruf j menjelaskan bahwa pelaksana, peserta dan petugas kampanye dilarang untuk “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.” Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye terutama pada pasal 32 dan pasal 49 telah secara tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye beserta sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tersebut. 2. Pengertian Pemilih Pemilih adalah warga masyarakat yang telah memenuhi syarat secara perundang-undangan dan terdaftar sebagai pemilik suara yang berhak menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Dalam Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 2012 dijelaskan bahwa pemilih yaitu warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. 4 Id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang 19 3. Pengertian Pemilihan Umum Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penelitian ini, pemilihan umum yang dimaksud adalah Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014. F. Kerangka Konsep Dari berbagai pengertian di atas, secara sederhana untuk memahami politik uang adalah sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada seseorang atau massa secara berkelompok, untuk mendapatkan keuntungan politis yakni mempengaruhi pilihan pemilih agar memilih calon tertentu dalam pelaksanaan pemilihan. Sebagai konsekuensi dari huruf a Pasal 215 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak, maka persaingan yang dialami oleh para calon anggota legislatif bukan hanya dengan calon dari partai politik berbeda yang berlaga di daerah pemilihan yang sama, namun juga dengan calon anggota legislatif dari partai yang sama di daerah pemilihan tersebut. 20 Persaingan ini tentu saja sangat ketat, dan membuat para calon anggota legislatif memikirkan upaya-upaya agar dapat mendulang suara sebanyakbanyaknya. Cara yang dianggap efektif oleh para calon legislatif tersebut untuk mendulang suara adalah dengan membagi-bagikan uang/barang atau menjanjikan hal-hal tertentu kepada para pemilih, yang dikenal dengan istilah politik uang. Politik uang merupakan praktek ilegal dan memiliki konsekuensi hukum. Namun praktek ini masih tetap langgeng di dalam masyarakat karena memiliki hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Calon anggota legislatif merasa sudah ‘membeli’ suara dari masyarakat, dan dapat melakukan hitung-hitungan secara matematis dari besarnya modal yang telah dikeluarkan, terhadap harapan perolehan dukungan suara untuknya nanti. Namun, masyarakat yang menerima uang/barang atau janji tersebut, tidak selalu memilih calon yang bersangkutan. Caleg yang memiliki modal besar, belum tentu mendapat perolehan suara seperti yang dia harapkan, tapi tetap saja berpeluang besar meraup suara dengan permainan uang tersebut. Dengan demikian, untuk memudahkan penelitian ini, maka akan menyusun beberapa elemen-elemen yang ada dan terkait dalam praktik politik uang, diantaranya: 1. Pelaku atau Aktor Politik Uang Pelaku atau aktor politik uang dalam konteks ini adalah para pelaku yang memberikan dan menerima, maka yang termasuk dalam batasan ini 21 adalah para caleg dan timses serta pihak lainnya yang terlibat sebagai pemberi dan warga masyarakat pemilih sebagai penerima. Kedua belah pihak secara aktif terlibat sebagai pelaku atau aktor dalam praktik politik uang. 2. Model atau Bentuk Politik Uang Model atau bentuk politik uang bermacam-macam, misalnya pemberian uang atau iming-iming uang dari para calon kepada masyarakat pemilih agar bersedia memilihnya, atau pemberian itu tidak berupa uang, tapi berupa barang tapi dengan ajakan yang jelas agar memilih si pemberi. Contoh sederhana ialah pembagian sembako oleh partai politik atau para calon menjelang pemilu, pilkada bahkan di tingkat pilkades. Pembagian seperti ini akan berbeda maknanya bila dilakukan secara rutin di luar momen politik. Bentuk yang sudah jamak seperti memberikan mukena, jilbab dan kerudung oleh para calon kepada calon pemilih perempuan dan sarung kepada calon pemilih laki-laki. Kemudian pemberian alat-alat pertanian, pengeras suara, bahan bangunan dan sebagainya yang sudah biasa diberikan para calon atau oleh tim suksesnya kepada suatu kelompok yang tentu saja dengan harapan mempengaruhi pilihan para pemilih untuk memberikan suara kepadanya. 3. Pola Politik Uang Berbagai pola politik uang yang sering dilakukan adalah dengan caleg mendatangi sendiri rumah warga masyarakat sebagai pemilih atau tim sukses (timses) yang mendatangi rumah warga masyarakat, bahkan sudah 22 sering terdengar istilah serangan fajar yang mana para timses mendatangi tiap rumah pada dini hari sebelum hari H, dengan memberikan amplop berisi uang beserta foto dan nomor urut para calon. Demikian pula, pola mengajak kumpul makan-makan di rumah para calon atau tim sukses, kemudian biasanya diselipkan dengan pembagian uang jalan sebelum para pemilih pergi menuju ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Oleh karena itu, untuk menjelaskan kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Aktor Politik Uang 1. Caleg 2. Timses dan lainnya Bentuk-Bentuk Politik Uang 1. Uang 2. Barang 3. Uang + Barang Warga Masyarakat (Aktor) Sebagai Pemilih Efektifitas Politik Uang 1. Mempengaruhi pilihan politik pemilih 2. Tidak mempengaruhi pilihan politik pemilih Pola pemberian secara langsung oleh Caleg. Pola pemberian melalui Timses atau pihak lainnya. 23 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data yang berisi uraian, paparan tentang suatu obyek sesuai dengan kriteria serta hal-hal yang diperlukan dalam pendataan dan penyajian. Dengan metode deskriptif ini, tim penulis ingin menggambarkan gejala-gejala mengenai bagaimana politik uang mempengaruhi pilihan politik pemilih pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara. Menurut Azwar (1988:7), “Penelitian deskriptif menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta serta karakteristik mengenai informan atau bidang tertentu, serta berusaha menggambarkan situasi atau kejadian yang nyata.” Soetarlinah Sukadji (2000:3) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif berkaitan dengan pengumpulan data untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan pertanyaan mengenai karakteristik/status masa kini subjeksubjek yang diteliti dalam masalah tertentu. Menurut Sumadi Suryabrata (2008:76) tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Hadari Nawawi (1987:62) mengemukakan bahwa, “Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan subyek atau obyek penelitian (seseorang, 24 lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang nampak.” Selanjutnya Nawawi (1987:63) menjelaskan bahwa, “Penelitian deskriptif dapat diwujudkan juga sebagai usaha memecahkan masalah dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengadakan klasifikasi gejala yang standar menetapkan hubungan antar gejala-gejala yang ditemukan.” Dalam penelitian deskriptif sebagaimana yang dikemukakan oleh Nawawi (2001:3) adalah usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya dengan memberikan gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki dan memberikan interprestasi-interprestasi yang akurat terhadap faktor-faktor yang di temukan. Metode deskriptif ini bertujuan mengubah kumpulan data mentah menjadi yang mudah dipahami dalam bentuk informasi yang lebih ringkas. Dikarenakan keterbatasan anggaran dan waktu, penelitian ini tidak bisa mencakup Kabupaten Kayong Utara secara keseluruhan. Sehingga, diambillah langkah untuk menjadikan penelitian ini sebagai suatu studi kasus. John C. Creswell (1997) dalam Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:72) menyebutkan bahwa studi kasus adalah sebuah eksplorasi mendalam mengenai sebuah sistem yang terikat. Bisa juga aktivitas, kejadian, proses ataupun individu, berdasarkan pengumpulan data yang 25 ekstensif. Terikat berarti kasus tersebut dipisahkan dari kasus serupa di tempat, waktu, konteks yang lain. Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:72) menyebutkan bahwa studi kasus merupakan kajian dengan memberi batasan yang tegas terhadap suatu objek dan subjek penelitian tertentu, melalui pemusatan perhatian pada satu kasus secara intensif dan rinci. Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami karakteristik studi kasus meliputi: a. Objek dan subjek yang menjadi sasaran penelitian dapat berupa manusia, peristiwa, latar dan dokumen. b. Kajian dilakukan secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar dan konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya. Lebih lanjut, Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:72) menyatakan bahwa berdasarkan pengelompokkan sasaran penelitian (objek dan subjek), studi kasus dapat dibedakan menjadi studi kasus: a. Studi historis Melihat secara mendalam tentang asal-muasal (historis) suatu unit tertentu yang dianalisis, berdasarkan kurun waktu tertentu. Peneliti menelusuri rekam jejak unit yang dianalisis dari berbagai sumber. b. Studi observasi Kajian memprioritaskan observasi dan partisipasi sebagai teknik pengumpulan data pada studi ini. Artinya data yang diamati adalah data yang terjadi saat ini. 26 c. Studi biografi Kajian yang dilakukan terhadap kisah hidup seseorang, baik yang menyangkut kehidupan historisnya maupun keadaannya saat penelitian dilakukan; serta cara pandangnya terhadap berbagai hal dalam kehidupan. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara (interview), yaitu suatu teknik pendekatan untuk mengumpulkan data dengan melakukan wawancara secara langsung dengan subjek penelitian. Sedangkan wawancara dalam proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden dengan alat yang dinamakan interview guide atau panduan wawancara (Arikunto, 1993 : 23). Alat yang di gunakan adalah pedoman wawancara. b. Studi dokumentasi, yaitu suatu cara untuk mencari, mengumpulkan dan mempelajari dokumen-dokumen, surat-surat, buku-buku dan laporan-laporan tertulis serta berhubungan dengan permasalahan yang di teliti. Nawawi (2001 : 133) mengatakan teknik atau studi dokumenter adalah “cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori dalil atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.” 27 3. Instrumen Penelitian atau Alat Pengumpulan Data Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Instrumen pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Instumen sebagi alat bantu dalam menggunakan metode pengumpulan data merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda, misalnya angket, perangkat tes, pedoman wawancara, pedoman observasi, skala dan sebagainya. Menurut Suharsimi Arikunto (2006:149) ada beberapa instrumen yang namanya sama dengan metodenya, antara lain adalah: 1. Instrumen untuk metode tes adalah tes atau soal tes. 2. Instrumen untuk metode angket atau kuesioner adalah angket atau kuesioner. 3. Instrumen untuk metode observasi adalah check-list. 4. Instrumen untuk metode observasi adalah pedoman observasi atau dapat juga check-list. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian pengumpulan data dan instrumen penelitian adalah suatu proses yang dilakukan untuk mengungkap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat dengan menggunakan berbagai cara dan metode agar proses ini berjalan secara sisitematis dan lebih dapat dipertanggung jawabkan kevaliditasnya. 28 Sesuai dengan metode yang digunakan, maka penelitian ini menggunakan kuesioner dan check-list sebagai instrumen penelitian. 4. Subyek Penelitian (Populasi dan Sampel) Subyek penelitian dalam penelitian ini yang dimaksud adalah informan peneliti yang berfungsi untuk menjaring sebanyak-banyaknya data dan informasi yang akan berguna bagi pembentukan konsep dan reposisi sebagai temuan peneliti (Bungin, 2003:206). Menurut Supranto (2007:8) populasi ialah kumpulan yang lengkap dari elemen-elemen yang sejenis akan tetapi dapat dibedakan karena karakteristiknya. Sedangkan sampel, atau contoh, ialah sebagian dari populasi. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa sampling ialah cara pengumpulan data kalau hanya elemen sampel yang diteliti, hasilnya merupakan data perkiraan atau estimate, jadi bukan data sebenarnya. Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:95) menjelaskan bahwa keputusan pengambilan sampel mengalir dari dua putusan yang dibuat dalam formasi hierarki tujuan penelitian, tingkat resiko yang dapat ditoleransi oleh peneliti, biaya, waktu, sumber daya yang tersedia, dan budaya yang berkembang. Secara umum, desain sampel dikelompokkan dalam dua jenis: probabilitas dan nonprobabilitas. Kunci perbedaan antara sampel porbabilitas dan nonprobabilitas adalah terletak pada peluang atau random. Random berarti pengambilan bagian dari keseluruhan dengan cara sistematik dan mekanik. 29 Lebih lanjut, Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:105) mengemukakan beberapa teknik sampling untuk nonprobabilitas, yaitu: 1. Sampel sengaja (purposive sampling) Yaitu sampel nonprobabilitas yang tidak dibatasi. Peneliti mempunyai kebebasan memilih siapa yang mereka temukan, sehingga dinamakan kemudahan. Hasilnya menyajikan bukti yang sangat banyak sehingga prosedur pengambilan sampel yang lebih kompleks tidak diperlukan. 2. Convenience Sampling Dalam teknik ini, peneliti memilih partisipan, dan partisipan menentukan narasumber, karena mereka lebih mengetahui keadaan di lokasi penelitian. Partisipan dipilih karena peneliti memiliki keterbatasan untuk memutuskan narasumber mana yang tepat menggambarkan populasi. 3. Sampel bertujuan Yaitu sampel nonprobabilitas yang memenuhi kriteria tertentu. 4. Sampel bola salju (Snowball Sampling) Pada snowball sampling, peneliti bertanya untuk mengidentifikasi yang lain untuk menjadi anggota sampel. Dengan menggunakan proses ini, peneliti dapat berhenti untuk mengetahui individu yang akan menjadi sampel dalam penelitian. Juga memungkinkan untuk mengeliminasi identifikasi individu yang tidak sesuai dengan 30 survei dan respon yang diberikan dan tidak dapat menggambarkan populasi yang peneliti cari. 5. Sampel tujuan khusus (Purposeful Sampling) Dalam purposeful sampling, peneliti secara intensif memilih partisipan dan individu untuk dijadikan narasumber dan tempattempat untuk diamati. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan strategi purposive sampling dan snowball sampling. Adapun sumber data yang digunakan adalah Data Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014 di Kabupaten Kayong Utara. Berikut data DPT ke-enam desa tempat pelaksanaan penelitian: NO 1 2 3 4 5 6 NAMA DESA Sedahan Jaya Sutera Gunung Sembilan Pangkalan Buton Pampang Harapan Riam Berasap Jaya Dengan penggunakan rumus Slovin: n = Dimana: n = jumlah sampel JUMLAH DPT 1.515 4.069 818 3.109 780 1.153 N n 1 + Nα2 N = jumlah populasi α = margin error (5%), dengan tingkat kepercayaan 95% 31 Maka jumlah sampel per-desa yang didapat adalah: NO 1 2 3 4 5 6 5. NAMA DESA Sedahan Jaya Sutera Gunung Sembilan Pangkalan Buton Pampang Harapan Riam Berasap Jaya Total Sampel JUMLAH SAMPEL 50 139 27 105 27 39 387 Teknik Pengolahan Data Menurut Supranto (2007:10), pengolahan data ialah suatu kegiatan untuk membuat data ringkasan berdasarkan data mentah dengan menggunakan rumus tertentu. Setelah data diperoleh dari lapangan terkumpul maka tahap berikutnya adalah mengolah data tersebut. Adapun teknik yang digunakan dalam pengolaan data sebagaimana yang disebutkan Moleong (2006:151) meliputi: 1. Editing Pada tahapan ini, data yang telah terkumpul melalui daftar pertanyaan (panduan wawancara) perlu dibaca kembali untuk melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban informan. Jadi, editing bertujuan untuk memperbaiki kualitas data dan menghilangkan keraguan data. 2. Interpretasi Setelah data yang terkumpul dianalisis dengan teknik statistik hasilnya harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar kesimpulan- 32 kesimpulan penting mudah ditangkap oleh pembaca. Interpretasi merupakan penjelasan terperinci tentang arti sebenarnya dari materi yang dipaparkan, selain itu juga dapat memberikan arti yang lebih luas dari penemuan penelitian. 6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis model interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman (1992:16), model ini terdiri dari tiga komponen yaitu: 1. Meringkas (reduksi) Hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan direduksi dalam bentuk rangkuman atau intisari kemudian dilakukan editing terbatas. Tujuannya adalah data yang dianalisis merupakan data yang benarbenar berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 2. Memaparkan (display) Hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan disajikan dalam bentuk catatan atau tulisan yang mudah dibaca sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data. 3. Menyimpulkan (verifikasi) Hasil wawancara dan dokumentasi yang telah diringkas dan di presentasikan kemudian diambil beberapa kesimpulan yang paling relevan dengan masalah yang diteliti. 33 7. Waktu dan Tempat Penelitian a. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2015. b. Tempat Penelitian Yang menjadi tempat penelitian adalah enam desa di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Dengan jumlah pemilih yang terdaftar sebesar 17.402 orang, Kecamatan Sukadana menjadi kecamatan dengan jumlah pemilih nomor dua terbesar di Kabupaten Kayong Utara. Kecamatan Sukadana memiliki 10 (sepuluh) desa; Riam Berasap Jaya, Simpang Tiga, Sejahtera, Pampang Harapan, Sutera, Pangkalan Buton, Gunung Sembilan, Sedahan Jaya, Benawai Agung, Harapan Mulia. Tim peneliti memilih 6 (enam) desa, yaitu Desa Sedahan Jaya, Desa Sutera, Desa Gunung Sembilan, Desa Pangkalan Buton, Desa Pampang Harapan, dan Desa Riam Berasap Jaya, dengan pertimbangan demografis yang terdiri dari masyarakat urban (perkotaan) rural (pedesaan), dan transisi (sedang dalam proses dari masyarakat rural ke urban). Selain itu, secara geografis, ke-enam desa tersebut relatif terjangkau. 34 BAB. II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kayong Utara (KKU) adalah daerah kabupaten ketiga-belas di Provinsi Kalimantan Barat. KKU adalah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ketapang berdasarkan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2007 dan Surat Mendagri Nomor 135/439/SJ Tanggal 27 Februari 2007. Secara kewilayahan luas wilayah Kabupaten Kayong Utara adalah 4.568,26 kilometer persegi. Luas wilayah ini relatif kecil jika dibandingkan wilayah Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat. Pada tahun 2013 KKU memiliki 6 kecamatan, 43 desa, 167 Dusun dan 628 RT. Tujuh desa diantaranya termasuk daerah sulit terjangkau yang tersebar masing-masing 2 desa di Kecamatan Simpang Hilir, 2 desa di Kecamatan Seponti dan 3 desa di Kecamatan Kepulauan Karimata. Secara geografis, Kabupaten Kayong Utara berada di sisi selatan Provinsi Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0 43’ 5,15” Lintang Selatan sampai dengan 1 46’ 35,21” Lintang Selatan dan 108 40’ 58,88” Bujur Timur sampai dengan 110 24’ 30,50” Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, batas wilayah Kabupaten Kayong Utara adalah sebagai berikut : ï‚· Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya, kabupaten Ketapang, dan Selat Karimata 35 ï‚· Sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Karimata dan Kabupaten Ketapang ï‚· Sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Karimata ï‚· Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Ketapang Wilayah Kabupaten Kayong Utara terdiri dari 6 Kecamatan. Di Mana kecamatan-kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan laut. Sedangkan Kecamatan Sukadana terletak pada 1 08’ 00” LS – 1 20’ 00” LS dan 109 52’ 24” BT – 110 09’ 48” BT dan Kecamatan Simpang Hilir terletak pada 0 50’ 00” LS – 1 17’ 12” LS dan 109 44” 48” BT – 110 23’ 12” BT. Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten Kayong Utara Sumber: BPS KKU. 36 B. Luas Wilayah Kabupaten Kayong Utara Kabupaten Kayong Utara merupakan kabupaten paling kecil di Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas wilayah mencapai 4.568,26 kilometer persegi. Luas wilayah Sukadana yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Kayong Utara mencapai 1.027,07 kilometer persegi atau 22,48 persen dari luas wilayah Kabupaten Kayong Utara. Sedangkan Kecamatan Simpang Hilir merupakan Kecamatan yang memiliki wilayah terluas 1.538,99 kilometer persegi atau 33,69 persen dari luas wilayah Kabupaten Kayong Utara. C. Profil Kependudukan Kabupaten Kayong Utara Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang ada di KKU pada tahun 2013 sebanyak 101.529 jiwa (51.581 jiwa berjenis kelamin lakilaki dan 49.948 jiwa berjenis kelamis perempuan). Jika dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Kayong Utara yaitu 4.568,26 kilometer persegi, maka kepadatan penduduk hanya sekitar 22 jiwa perkilometer persegi, terhitung masih sedikit. Dari enam kecamatan yang ada, Kecamatan Simpang Hilir memiliki jumlah penduduk terbanyak, yaitu 30,25% dari total penduduk KKU. Laju pertumbuhan penduduk di KKU sejak tahun 2000-2010 sebesar 1,94%. Pasca pemekaran menjadi kabupaten mandiri, memang turut berkontribusi terhadap terjadinya lonjakan pertumbuhan penduduk tersebut. 37 D. Profil Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD Pada Pemilu 2014, KKU terbagi dalam 4 daerah pemilihan (dapil), dua dapil diantaranya merupakan gabungan kecamatan. Adapun dapil dan kuota kursi DPRD KKU adalah: Tabel 1. Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU No 1 2 3 4 Nama Dapil Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Total Kursi Sumber: KPU KKU E. Kecamatan Sukadana Pulau Maya-Kep. Karimata Teluk Batang-Seponti Simpang Hilir Kuota Kursi 6 Kursi 3 Kursi 8 Kursi 8 Kursi 25 Kursi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU pada Pemilu 2014, tercatat secara keseluruhan 73.398 jiwa, terbagi pemilih laki-laki 37.662 jiwa dan perempuan 35.736 jiwa, sebagaimana tabel: Tabel 2. Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU No Nama Kecamatan 1 Kep. Karimata 2 Pulau Maya 3 Seponti 4 Simpang Hilir 5 Sukadana 6 Teluk Batang Total Sumber: KPU KKU Jumlah Desa 3 5 6 12 10 7 43 Jumlah TPS 10 38 28 73 58 41 248 Jumlah Pemilih L P 1.092 979 4.909 4.678 4.341 3.901 11.597 10.889 8.750 8.652 6.973 6.637 37.662 35.736 L+P 2.071 9.587 8.242 22.486 17.402 13.610 73.398 38 F. Gambaran Umum Desa-desa Lokasi Penelitian Dengan jumlah pemilih yang terdaftar sebesar 17.402 orang, Kecamatan Sukadana menjadi kecamatan dengan jumlah pemilih nomor dua terbesar di Kabupaten Kayong Utara. Kecamatan Sukadana memiliki 10 (sepuluh) desa; Riam Berasap Jaya, Simpang Tiga, Sejahtera, Pampang Harapan, Sutera, Pangkalan Buton, Gunung Sembilan, Sedahan Jaya, Benawai Agung, Harapan Mulia. Enam desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Sedahan Jaya, Desa Sutera, Desa Gunung Sembilan, Desa Pangkalan Buton, Desa Pampang Harapan, dan Desa Riam Berasap Jaya, dengan pertimbangan demografis yang terdiri dari masyarakat urban (perkotaan) rural (pedesaan), dan transisi (sedang dalam proses dari masyarakat rural ke urban). Selain itu, secara geografis, ke-enam desa tersebut relatif terjangkau. Yang termasuk kategori wilayah dengan karakteristik urban adalah Desa Sutera dan Desa Pangkalan Buton, karena terletak di jantung pemerintahan Kecamatan Sukadana. Desa Riam Berasap Jaya dan Sedahan Jaya dimasukkan ke dalam kategori rural, karena secara geografis, keduanya adalah desa dari Kecamatan Sukadana yang berbatasan langsung dengan desa kabupaten lain, dan terletak relatif jauh dari pusat pemerintahan Kecamatan Sukadana. Dua desa lainnya, yaitu Desa Gunung Sembilan dan Pampang Harapan merupakan wilayah transisi, maksudnya adalah desa yang secara geografis masih 39 agak dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, namun masyarakatnya lebih bercorak masyarakat rural. Selain itu, desa-desa di Kecamatan Sukadana ini dihuni oleh sebagian besar warga yang masih saling berkerabat antar warga masyarakatnya, sehingga menarik untuk dilihat bagaimana politik uang itu terjadi dan mempengaruhi pilihan pemilih selama Pemilu 2014. 40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Proses Politik Uang Dengan menggunakan teknik sampel sengaja (purposive sampling), tim peneliti secara random memilih informan di ke-enam desa yang menjadi lokasi wawancara. Kemudian, peneliti meminta kepada informan untuk memberitahu siapa yang lagi orang yang potensial untuk dijadikan informan selanjutnya, dalam hal ini yang dianggap mengetahui tentang kegiatan politik uang atau bahkan pernah menerima uang/barang/jasa dari timses/calon anggota legislatif sewaktu masa kampanye pemilihan umum legislatif (teknik bola salju/snowball sampling). Berbekal beberapa nama calon informan yang didapat dari informan sebelumnya, penelitian pun dilanjutkan. Namun pada kenyataanya, informan yang direkomendasikan tersebut belum tentu mau diwawancarai ataupun kalau mau belum tentu tahu tentang politik uang dan mengaku pernah menerima sesuatu dari timses atau calon anggota legislatif. Kemungkinan hal ini karena mereka khawatir jika jawaban mereka nanti akan berakibat negatif bagi diri mereka, atau mereka khawatir akan dilaporkan kepada pihak yang berwenang, walaupun peneliti sudah menjelaskan di awal sesi wawancara, bahwa tujuan wawancara adalah untuk semata untuk mengetahui fenomena politik uang dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, dan itu kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kayong 41 Utara. Bahkan sudah dijelaskan juga, bahwa nama mereka tidak akan dicantumkan dalam lembar kuesioner. Dari 387 sampel yang dijadikan responden, hanya 136 responden yang menyatakan pernah menerima pemberian uang/barang selama proses pemilu legislatif kemarin. Tabel 3. Jumlah Responden yang Mengaku Menerima dan Tidak Menerima No 1 2 Menerima atau Tidak Menerima Menerima Tidak Menerima Total Jumlah 136 251 387 Persentase 35 % 65 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Sehingga, dari 387 orang sampel, 136 orang yang mengaku menerima uang/barang dari tim sukses atau calon anggota legislatif inilah yang selanjutnya menjadi fokus dari penelitian. Dari 387 orang sampel yang didatangi oleh tim peneliti, hanya terdapat 42 orang perempuan, hal ini karena penelitian ini berbasis rumah tangga, sehingga yang ditemui pada umumnya di setiap rumah adalah kepala keluarga. Pun karena penelitian purposive sampling ini tidak menitikberatkan pada perimbangan gender. Selanjutnya dari 136 orang yang mengaku menerima pemberian tersebut, hanya ada 6 orang perempuan. Diasumsikan mengapa bukan kalangan perempuan yang lebih dominan didatangi karena terkait dengan pola dan lokasi pemberian uang/barang yang lebih banyak dilakukan dengan mendatangi/mengunjungi rumah warga. Artinya dapat diasumsikan pemberian dengan mengunjungi rumah warga maka akan lebih banyak bertemu dengan kepala keluarga. Hal ini dapat 42 disimpulkan juga bahwa pola pikir patriarkhi cukup dominan dalam proses politik uang yang mengasumsikan bahwa jika kepala keluarga yang didekati dan diberi, maka dengan sendirinya akan mampu mempengaruhi pilihan anggota keluarga lainnya. Adapun mengenai pola dan lokasi pemberian uang/barang dapat dilihat sebagaimana dalam tabel berikutnya. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah sekitar bentuk-bentuk pemberian, pola pemberian, pelaku pemberian, waktu pemberian, apakah pemberian tersebut mampu mengubah pilihan politik penerima atau tidak, alasan menerima pemberian tersebut, serta pengetahuan informan mengenai dilarang/tidaknya praktik politik uang. Dari hasil wawancara mengenai pola dan lokasi pemberian dalam praktik politik uang, didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 4. Pola dan Lokasi Pemberian Uang/Barang atau Praktik Politik Uang No 1 2 3 4 5 Pola Mengunjungi Rumah Warga Mengumpulkan Warga di Rumah Caleg Mengumpulkan Warga di Rumah Timses Bertemu di Tempat Umum Bertemu di Tempat Kerja Total Jumlah 106 1 Persentase 77,9 % 0,7 % 10 7,4% 17 2 136 12,5 % 1,5 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Dari tabel di atas terlihat bahwa pola mendatangi rumah warga menjadi pilihan yang paling banyak dilakukan oleh para caleg dan timsesnya untuk memberi atau membagikan uang/barang. Hal ini dapat dimafhumi karena 43 mendatangi langsung secara psikologis akan lebih mengena, apalagi kegiatan tersebut tidak akan terlalu nampak, bahkan seringkali dibungkus dengan modus silaturrahim dan pertemuan keluarga, sehingga tidak terlalu memunculkan banyak kecurigaan. Seterusnya pola mengunjungi rumah warga masyarakat inipun tidak dapat di-identifikasi secara utuh apakah dilakukan para caleg atau timses atau orang lainnya, karena ketika menjelang hari H, ada juga orang yang tidak ketahuan datangnya, tapi tiba-tiba ada uang/barang disertai tanda pengenal/alat peraga (berupa kartu nama dan contoh surat suara) yang diberikan di depan rumah warga masyarakat. Sedangkan bentuk politik uang yang paling banyak terjadi sebagaimana yang terungkap dalam penelitian ini adalah seperti tabel berikut ini: Tabel 5. Bentuk Pemberian dalam Politik Uang No 1 2 3 4 Bentuk Uang Barang Uang + Barang Jasa Total Jumlah 109 22 4 1 136 Persentase 80 % 16 % 2,9 % 1,1 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Dari gambaran tabel di atas, pemberian berbentuk uang jelas sangat dominan dalam praktik politik uang yang terjadi selama proses pemilu legislatif kemarin. Sederhana saja mengapa uang yang menjadi pilihan utama, tentu karena memberi uang akan lebih praktis, mudah dibawa dan mudah dilakukan. Dibandingkan pemberian berbentuk barang, pemberian berbentuk uang juga akan 44 lebih mengena, sebab warga yang menerima dianggap akan lebih mudah memanfaatkannya dan menggunakannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Adapun dalam praktik politik uang tersebut, pemberian uang dan barangpun bervariasi nilainya, mulai dari nilai uang Rp. 50.000 - Rp. 200.000, bahkan ada yang lebih besar, tapi dengan meminta agar warga masyarakat tersebut mau memasang spanduk atau baliho para caleg di depan rumahnya. Sedangkan untuk bentuk barang yang paling umum adalah pakaian (kain, kerudung, baju, dan lainnya), sembako (gula, beras, kopi, dan lainnya), rokok, bahan bangunan (seng, semen, dan lainnya), peralatan pertanian (racun, pupuk, dan lainnya). Untuk pelaku atau aktor praktik politik uang yang memberikan uang/barang selama proses pemilu legislatif kemarin, tim peneliti mendapatkan informasi tentang pihak-pihak mana saja yang mendatangi, yaitu: Tabel 6. Pelaku/Aktor Pemberi dalam Praktik Politik Uang No 1 Pelaku/Aktor Caleg 2 4 Timses Caleg+Timses 5 Pengurus Partai Politik 6 Lainnya Keterangan Tertentu saja, terutama terkait karena kekerabatan atau kenalan Paling sering mendatangi Biasanya timses sebagai kepala jalan bagi caleg untuk berkunjung ke rumah-rumah warga Dikenal warga sebagai pengurus partai politik setempat Orang yang tidak dapat di-identifikasi karena datangnya tidak diketahui, hanya memberikan uang/barang beserta alat pengenal/peraga caleg, umumnya sebelum hari H Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU 45 Durasi kedatangan memang sulit untuk dipersentasekan, karena kedatangan timses, para caleg dan lainnya seringkali dilakukan lebih dari satu kali dan bahkan tidak teridentifikasi (seperti didatangi sebelum hari H). Bahkan beberapa warga masyarakat yang didatangi, tidak hanya oleh satu atau dua orang timses dan caleg, tapi bisa lebih dari itu. Namun bahwa yang paling sering datang dan berulang kali mendatangi, menemui dan mengajak warga masyarakat adalah timses, kemudian para caleg dan pengurus partai, terkadang timses datang juga beserta para caleg. Dari informasi ini, diketahui bahwa para caleg beserta timsesnya termasuk pengurus partai politik (yang dimungkinkan juga menjadi timses caleg), merupakan pelaku atau aktor utama pelaku praktik politik uang. Timses menjadi ujung tombak utama para caleg dalam melakukan hal tersebut, karena dapat dimafhumi bahwa para caleg biasanya merekrut dan memiliki timses dari kalangan warga masyarakat di tiap desa masing-masing. Merekalah yang mengenal dan memetakan peta politik di masing-masing wilayah garapannya, dan merekalah yang bergerak secara langsung berhadapan dengan masyarakat pemilih untuk menyukseskan jagoannya masing-masing. Sedangkan kemungkinan para caleg memberikan langsung, jika para caleg tersebut kebetulan sedang turun kampanye atau mengadakan pertemuan atau mengundang warga masyarakat ke rumahnya. Hal seperti inipun biasanya dilakukan para caleg pada wilayah-wilayah dari mana mereka berasal, atau di wilayah mana mereka memiliki kekerabatan dengan warga masyarakatnya atau memiliki kenalan dekat dengan warga masyarakat pemilihnya. 46 Selanjutnya, berdasarkan pertanyaan terbuka tentang waktu terjadi atau kapan terjadinya praktik politik uang tersebut? Dari proses wawancara yang didapat bahwa waktu terjadinya pemberian uang/barang tersebut bervariasi, umumnya yakni pada waktu: 1. Masa Kampanye, 2. Masa Tenang, 3. Sebelum Hari H. Hal ini juga tidak dapat dipersentasekan, karena setiap warga yang menerima pemberian tersebut bisa didatangi lebih dari satu kali dan lebih dari satu atau dua caleg atau timsesnya. Selanjutnya, mengenai apakah warga masyarakat yang menerima mengetahui bahwa praktik politik uang itu dilarang, dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 7. Tahu atau Tidak Tahu Politik Uang Dilarang No 1 2 Tahu atau Dilarang Tahu Tidak Tahu Total Tidak Politik Uang Jumlah 110 26 136 Persentase 80 % 20 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Berdasarkan data di atas, memang sebagian besar warga masyarakat yang menerima pemberian itu mengetahui bahwa praktik politik uang dilarang dan tidak boleh dilakukan. Namun ajaibnya mereka masih tetap menerimanya. 47 Berbagai alasan dikemukakan sebagai argumen mengapa mereka mau menerima pemberian tersebut, sebagaimana dirangkum di dalam tabel: Tabel 8. Alasan Menerima Pemberian Praktik Politik Uang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Alasan Menerima Rezeki, tidak boleh ditolak, rugi jika ditolak, diberi tanpa diminta Karena masih keluarga, kerabat, orang dekat, kenal Disuruh keluarga, diajak teman Dianggap sebagai upah biaya pasang spanduk atau baliho di rumah responden Karena tergiur janji atau program yang dikatakan caleg (akses jalan ke sawah sepanjang, akses jalan lingkar desa, dan sebagainya) Kesempatan untuk mendapat uang (karena calegnya minta dicoblos) Kesempatan mendapat uang karena kurangnya perhatian anggota dewan jika sudah duduk Karena menganggap caleg yang bersangkutan dermawan dan baik Karena memang perlu dengan uang/barang yang diberi Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Dari berbagai alasan tersebut di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa praktik politik uang boleh jadi dianggap sebagai praktik yang dimaklumi, apalagi ditengah budaya masyarakat yang semakin permisif, sehingga hal seperti praktik politik uang bukanlah tabu lagi. Kemudian faktor aji mumpung menganggap bahwa pemberian tersebut sudah rezeki yang pantang ditolak, faktor kekerabatan, faktor persekawanan atau memandang momen politik sebagai kesempatan untuk mendapatkan uang/barang, sebab jika bukan sekarang kapan lagi, karena jika sudah terpilih belum tentu peduli dan karena faktor keperluan sehari-hari, membuat praktik politik uang dimafhumi dan membudaya. 48 B. Politik Uang dalam Mempengaruhi Pilihan Politik Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa politik uang memang terjadi dalam proses pemilu legislatif tahun 2014 di enam Desa di Kecamatan Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Berbagai pola dan bentuk praktik politik uang dilakukan oleh para pelaku atau aktornya yakni terutama timses dan para caleg guna mendapatkan simpati masyarakat pemilih (aktor penerima), dan tentu saja untuk mendulang suara pemilih. Namun apakah praktik politik uang tersebut mampu mempengaruhi pilihan politik warga masyarakat sebagai pemilih? Dari 136 orang informan yang menerima, yang mengaku jika pemberian yang mereka terima berpengaruh dan yang mengaku jika pemberian yang mereka terima tidak berpengaruh terhadap pilihan politik mereka, adalah seperti di bawah ini: Tabel 9. Pengaruh Pemberian Terhadap Pilihan Politik No 1 2 Pengaruh Pemberian Pilihan Politik Mempengaruhi Tidak Mempengaruhi Total Terhadap Jumlah 102 34 136 Persentase 75 % 25 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Dari tabel ini menjelaskan betapa dan mengapa praktik politik uang tersebut kerap menjadi pilihan yang paling dianggap praktis dan efektif untuk memperoleh simpati dan memenangkan persaingan politik? Karena politik uang akan dapat mempengaruhi pilihan politik masyarakat pemilih. Oleh karenanya 49 dalam tiap even politik, praktik politik uang tetap ada bahkan menunjukkan gejala tumbuh subur. Mengenai alasan para warga masyarakat baik yang terpengaruh maupun tidak setelah diberi pemberian uang/barang tersebut, terdapat berbagai macam alasan sebagai berikut: Tabel 10. Alasan Terpengaruh dan Tidak Terpengaruh Terpengaruh Masih kerabat Membalas budi atau merasa berhutang budi Karena sudah menerima uang/barang Karena berteman dengan caleg yang bersangkutan dan merasa dekat dengan caleg Kenal dengan caleg yang bersangkutan Paling besar nominal pemberiannya Sudah janji hendak memilih caleg tersebut Mengharapkan realisasi janji Caleg yang bersangkutan meminta untuk dipilih Karena caleg yang bersangkutan baik hati Tidak Terpengaruh Sudah memiliki pilihan sendiri Sebagai pelajaran, tidak semua bisa dibeli Kurang simpati dengan cara caleg yang bersangkutan dalam mencari dukungan Kurang suka dengan pribadi caleg Karena caleg yang bersangkutan bukan orang lokal datau dari luar Karena tidak kenal dan tidak akrab dengan caleg yang bersangkutan Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Dari alasan-alasan yang muncul seperti kekerabatan, balas budi, merasa kenal, berteman, karena nilai nominal pemberian, dan sebagainya menunjukkan bahwa masyarakat sebagai pemilih secara psikologis mudah terpengaruh dan 50 kehilangan obyektifitas dalam menentukan pilihan politik. Pemberian uang/barang kepada pemilih berpengaruh secara signifikan dalam mengubah preferensi pemilih. Karena hal seperti ini dianggap sebagai suatu kebiasaan bahkan membudaya, dan sebagai aktor penerima, warga masyarakat seringkali tidak pernah tersentuh secara hukum akibat praktik politik uang ini, maka mereka tetap mau menerima tawaran uang/barang yang diberikan oleh para caleg atau timsesnya. Warga masyarakat sebagai pemilih akhirnya hanya mempertimbangkan faktor keuntungan pribadi dan mengabaikan pertimbangan hal-hal lain dari diri para caleg yang akan dipilih. Tentu saja ini akan berdampak buruk terhadap kualitas proses dan hasil pemilu serta mencederai nilai-nilai demokrasi. C. Politik Uang di Wilayah Urban, Rural dan Transisi Dalam kaitannya dengan dengan kategori atau tipe masing-masing desa, dimana Desa Sutera dan Desa Pangkalan Buton masuk dalam tipe wilayah urban (perkotaan), Desa Riam Berasap Jaya dan Desa Sedahan Jaya masuk dalam tipe rural (pedesaan), serta Desa Pampang Harapan dan Desa Gunung Sembilan yang masuk dalam wilayah transisi (secara geografis dekat dengan ibukota kecamatan, namun karakteristik masyarakatnya adalah tipe masyarakat pedesaan), didapatkan tabel-tabel sebagai berikut: 51 Tabel 11. Jumlah Sampel dan Yang Menerima Pemberian Uang/Barang Tipe Wilayah Urban Rural Transisi Total Jumlah Sampel 244 89 54 387 Jumlah Yang Menerima 89 33 14 136 Persentase 36,5 % 37 % 25,9 % 100 % Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Tabel 12. Pola Pemberian dan Lokasi dalam Praktik Politik Uang Tipe Wilayah Urban Rural Transisi Pola dan Lokasi Praktik Politik Uang Rumah Rumah Rumah Warga Timses Caleg 66 4 1 30 3 10 3 - Tempat Umum 16 1 Tempat Kerja 2 - Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Tabel 13. Bentuk Politik Uang Tipe Wilayah Urban Rural Transisi Bentuk Politik Uang Uang Barang 82 5 20 12 7 5 Uang+Barang 2 2 1 Jasa 1 Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU Tabel 14. Pengaruh Terhadap Pilihan Tipe Wilayah Urban Rural Transisi Pengaruh Terhadap Pilihan Ya Tidak 68 21 20 13 14 - Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU 52 Dari tabel-tabel di atas, secara sederhana disimpulkan tidak terdapat perbedaan mencolok yang dipengaruhi oleh tipe wilayah urban, rural dan transisi terhadap pola, bentuk dan pengaruh pilihan. Misalkan jumlah yang menerima pemberian uang/barang dalam praktik politik uang, persentasenya tidak terlalu jauh berbeda. Adapun pola dan lokasi pemberian uang/barang, sebagian besar pola praktik politik uang yang terjadi yakni dengan pola mengunjungi rumah warga masyarakat. Kecuali tentang bentuk pemberian dalam praktik politik uang, pada tipe wilayah rural dan transisi, selain dominan berbentuk uang, pemberian berbentuk barang juga lumayan terjadi. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat bercorak rural dan transisi menganggap pemberian berbentuk barang sama praktis dan sama pentingnya dengan pemberian yang berbentuk uang. Selanjutnya terkait berpengaruh dan tidaknya terhadap pilihan, sebagian besar warga masyarakat yang menjadi informan di tiga tipe wilayah tersebut menyatakan berpengaruh. Meskipun demikian, di tipe wilayah urban dan rural menunjukkan ada yang tidak terpengaruh. 53 BAB. IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Politik uang adalah praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada seseorang atau massa secara berkelompok, untuk mendapatkan keuntungan politis yakni mempengaruhi pilihan pemilih agar memilih calon tertentu dalam pelaksanaan pemilihan. Tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku. 2. Dalam upaya dan proses pengembangan demokrasi, adanya kegiatan politik uang merupakan patologi demokrasi yang sengaja dilakukan oleh berbagai pihak demi memperoleh dukungan dan suara. Dengan semakin massifnya politik uang ini, bahkan ada yang menganggap bahwa politik uang dalam tiap pesta politik atau even demokrasi adalah kebiasaan yang telah membudaya. Sering terdengar ungkapan di kalangan masyarakat bahwa kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak makan duitnya sekarang, kapan lagi?” Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa praktik politik uang boleh jadi dianggap sebagai praktik yang dimaklumi, apalagi ditengah budaya masyarakat yang semakin permisif, sehingga politik uang bukanlah tabu lagi. Hal seperti ini tentu saja mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi. 3. Meskipun tidak setiap praktik politik uang dapat memuluskan langkah menjadi anggota legislatif terpilih, namun sedikit banyak tentu dapat mempengaruhi pilihan pemilih dengan pertimbangan keuntungan 54 finansial. Sehingga praktik politik uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagi para aktor politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu. 4. Faktor yang menganggap bahwa pemberian tersebut sudah rezeki yang pantang ditolak, faktor kekerabatan, faktor persekawanan, memandang momen politik sebagai kesempatan untuk mendapatkan uang/barang, sebab jika bukan sekarang kapan lagi, karena jika sudah terpilih belum tentu peduli dan karena faktor keperluan sehari-hari, membuat praktik politik uang dimafhumi dan membudaya. 5. Pemberian uang/barang kepada pemilih berpengaruh secara signifikan dalam mengubah preferensi pemilih. Alasan-alasan kekerabatan, balas budi, merasa kenal, berteman, karena nilai nominal pemberian, dan sebagainya, menunjukkan bahwa masyarakat sebagai pemilih secara psikologis mudah terpengaruh dan kehilangan obyektifitas dalam menentukan pilihan politik. 6. Karena hal seperti ini dianggap sebagai suatu kebiasaan, dan sebagai aktor penerima, warga masyarakat seringkali tidak pernah tersentuh secara hukum akibat praktik politik uang ini, maka mereka tetap mau menerima tawaran uang/barang yang diberikan oleh para caleg atau timsesnya. Warga masyarakat sebagai pemilih akhirnya hanya mempertimbangkan faktor keuntungan pribadi dan mengabaikan pertimbangan hal-hal lain dari diri para caleg yang akan dipilih. Tentu saja ini akan berdampak buruk terhadap kualitas proses dan hasil pemilu serta mencederai nilai-nilai demokrasi. 55 7. Politik uang terjadi pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara dengan studi kasus di enam desa di Kecamatan Sukadana. Meskipun hal ini tidak bisa digeneralisasi, namun dapat diasumsikan bahwa fenomena yang sama terjadi di desa-desa lainnya di tiap kecamatan di kabupaten ini. B. Saran 1. Bagi berbagai pihak baik unsur pemerintah dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, kemudian pihak penyelenggara untuk melakukan pendidikan politik secara terus menerus, bukan hanya jelang pemilu, pilkada dan pilkades, tapi sejak sebelum pemilu kepada masyarakat, tentang akibat atau dampak negatif dari politik uang. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kecerdasan politik masyarakat, sehingga dapat membentuk pandangan masyarakat bahwa politik uang memiliki dampakdampak yang tidak baik. Dengan pendidikan politik yang massif, diharapkan masyarakat dapat terbina untuk memilih secara obyektif, dengan pertimbangan rasional berdasarkan rekam jejak, kemampuan, kompetensi dan integritas, serta pertimbangan positif lainnya. 2. Bagi pihak partai politik, pendidikan politik adalah salah satu fungsi utamanya, karenanya kegiatan ini harus dilakukan, terutama bagi kaderkader partai politik yang nantinya akan direkrut sebagai calon anggota legislatif dan yang juga berperan sebagai tim kampanye atau tim sukses, agar dapat membina kader-kader partai politik supaya berpolitik secara bersih, jujur dan adil. 56 3. Kelemahan regulasi dan lemahnya penegakan regulasi memang menjadi salah satu permasalahan mengapa politik uang tetap marak. Karena itu, diperlukan aturan yang jelas, yang menutup celah peluang untuk melakukan praktik politik uang, dan dengan sanksi yang tegas untuk diberlakukan kepada semua pelaku atau aktor praktik politik uang baik itu aktor pemberi yakni para caleg, timses dan pihak lainnya, maupun aktor penerima yakni masyarakat. Aturan seperti ini memang perlu disosalisasikan secara lebih luas, sebelum penegakannya dilakukan secara tegas. Ketegasan ini diperlukan, karena jelas bahwa praktik politik uang merupakan tindakan suap yang termasuk kategori korupsi. Sehingga dapat memberikan efek jera kepada baik pada para caleg atau kandidat dan tim sukses sebagai pemberi maupun masyarakat sebagai penerima. Sebab pemberi dan penerima sama salahnya dan sama-sama dapat dikenakan sanksi hukum. C. Rekomendasi 1. Pelaksanaan pendidikan politik menjadi salah satu cara untuk meminimalisir politik uang. Melalui pendidikan politik, diharapkan terbina masyarakat pemilih yang cerdas, rasional dan obyektif, yang memilih berdasarkan pertimbangan rekam jejak, kemampuan, kompetensi, integritas dan kapasitas pribadi yang positif lainnya. Oleh karena itu, pendidikan politik harus mendapat dukungan maksimal untuk dilaksanakan baik oleh pemerintah dari berbagai tingkatan, penyelenggara pemilu, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan partai politik. 57 Pelaksanaan pendidikan politik yang optimal dan menyentuh secara luas ke seluruh lapisan masyarakat ini harus juga disusun menjadi program nasional dan daerah, tentunya dengan sokongan dana dan sumber daya, serta dilakukan bukan hanya jelang pelaksanaan pemilu, tapi secara berkesinambungan. 2. Program pendidikan pemilih yang sering dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu harus semakin digiatkan, diperbanyak dan diperluas jangkauannya hingga mampu menjangkau lapisan masyarakat di tingkat desa. Program pendidikan pemilih ini sebagai bentuk diseminasi informasi mengenai kepemiluan sekaligus upaya pencerdasan dan meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Oleh karenanya, program pendidikan pemilih harus menjadi salah satu program prioritas bagi institusi penyelenggara pemilu atau KPU secara nasional. 3. Partai Politik harus menjalankan peran dan fungsinya secara optimal dan mendekati ideal terutama dalam fungsi rekrutmen dan seleksi politik dan edukasi politik. Partai harus dituntut betul-betul menjalankan rekrutmen dan seleksi kader secara benar dan berkualitas kemudian melakukan edukasi kepada kader-kadernya tersebut sehingga tersedia kader-kader yang terbaik, berkualitas, memiliki kompetensi, kemampuan dan integritas untuk dicalonkan sebagai calon-calon wakil rakyat dan calon-calon pemimpin. Sehingga mereka dalam berpolitik juga melakukan dengan cara-cara yang baik dan elegan serta menjauhi cara-cara yang tidak etis seperti politik uang. 58 4. Perbaikan regulasi yang mengatur tentang politik uang dan sanksinya harus dilakukan, tentu saja dengan memuat aturan-aturan yang lebih tegas dan mampu menutup celah-kelemahan peraturan sebelumnya, yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku praktik politik uang. Selanjutnya, aturan dan sanksi yang dibuat juga harus berlaku komprehensif dan menyeluruh serta mampu menjerat semua pihak yang terlibat, sehingga dapat memberikan efek jera pada para pelaku praktik politik uang. 5. Perlu penguatan kelembagaan dan penguatan kapasitas terhadap institusi pengawasan pemilu, sehingga dapat bekerja lebih optimal dalam mengawasi dan menegakkan aturan-aturan terhadap pelanggaran pemilu. 59 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Azwar, 1988, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Jakarta. Bungin, B., 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Indra, Ismawan, 2005, Politik Uang; Pengaruh Uang dalam Pemilu, Media Presindo, Yogyakarta. Indrawan, Rully dan Yaniawaty, Poppy, 2014, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan dan Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung. Nawawi, Hadari, 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial, UGM Press, Yogyakarta. Sanit, Arbi, 1986. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan, Rajawali, Jakarta. Sukadji, Soetarlinah, 2000, Menyusun dan Mengevaluasi Laporan Penelitian, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. Supranto, J., 2007, Teknik Sampling, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Suryabrata, Sumadi, 2008, Metodologi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 60 Referensi Lain: Buku Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. PKPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye. Dhakidae, Daniel, 2011, Melawan Politik Kartel dalam Demokrasi di Indonesia, Makalah Ilmiah, Fisipol UGM, Yogyakarta. Kumorotomo, Wahyudi, 2009, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi, Makalah Ilmiah, UNDIP, Semarang. Website id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang 61 KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR: 3 /Kpts/KPU-Kab-019.964828/2015 TENTANG PEMBENTUKAN TIM RISET PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI LINGKUNGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyusunan kebijakan rumusan strategi peningkatan partisipasi masyarakat yang lebih efektif dalam pemilihan umum, maka dilakukan penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan umum Nasional Tahun 2014; b. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dipandang perlu melakukan pembentukan tim riset partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum Tahun 2014 di lingkungan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara. 62 Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kayong Utara di Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4682); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 3. Undang-Undang tentang Nomor Keterbukaan 14 Tahun Informasi 2008 Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2010 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5149); 6. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan 63 Komisi Pemilihan Umum Nomor Umum Nomor 01 Tahun 2010; 7. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik; 8. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik; 9. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Pemilihan Umum; 10. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 06 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemilihan Sekretariat Umum, Jenderal Sekretariat Komisi Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2008; 11. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum; 12. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengelolaan Dan Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Komisi Pemilihan Umum. Memerhatikan : 1. Surat Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 155/KPU/IV/2015 perihal Pedoman Riset tentang Partisipasi dalam Pemilu. 64 MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN KOMISI KABUPATEN KAYONG PEMBENTUKAN PEMILIHAN UTARA TIM RISET UMUM TENTANG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI LINGKUNGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA. KESATU : Menetapkan personil tim riset di lingkungan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara sebagaimana terlampir dan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam rangkaian Surat Keputusan ini. KEDUA : Menetapkan tugas tim riset partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum Tahun 2014 sebagai berikut: 1. Melakukan koordinasi terkait tema riset yang akan diambil; 2. Merumuskan instrumen masalah, penelitian, menyiapkan menyusun jadwal penelitian; 3. Merumuskan finalisasi instrumen, data responden dan metodologi penelitian; 4. Melaksanakan penelitian di lapangan, wawancara dan dokumentasi; 5. Mengolah informasi yang telah diperoleh; 6. Menulis laporan hasil penelitian; 7. Mencetak, menyampaikan mempublikasikan, laporan hasil dan penelitian kepada KPU Provinsi Kalimantan Barat. 65 KETIGA : Segala biaya akibat dikeluarkannya keputusan ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara Tahun Anggaran 2015 Nomor 076.01.2.670337/2012 tanggal 05 Desember 2015. KEEMPAT : Keputusan ini berlaku selama 3 (tiga) bulan kegiatan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli Tahun 2015. KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Sukadana pada tanggal 8 Mei 2015 KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA, DEDY EFENDY 66 Lampiran : Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kayong Utara Nomor:3/Kpts/KPU-Kab019.964828/TAHUN 2015 Tanggal: 8 Mei 2015 NAMA-NAMA PERSONIL TIM RISET PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 NO. NAMA JABATAN KEDUDUKAN DALAM TIM 1. DEDY EFENDY, S.H. 2. YA’ MUHAMAD KETUA KPU PENGARAH SEKRETARIS PENANGGUNG IKHSAN, S.H. 3. RUDI HANDOKO, S.Sos. 4. F.M. NAINGGOLAN, S.E. 5. BURHANUDIN, S.Pd.I. JAWAB ANGGOTA KETUA KPU KASUBBAG SEKRETARIS TPP ANGGOTA ANGGOTA KPU 6. BUJANG ASNAN, S.E. ANGGOTA ANGGOTA KPU 7. EFFIAN NOER, S.Ag. ANGGOTA ANGGOTA KPU 8. KARNAEN KASUBBAG ANGGOTA UMUM, KEUANGAN & LOGISTIK 67 9. SYARIFAH ALIFIAH, S.IP STAF SUBBAG ANGGOTA TPP Ditetapkan di Sukadana pada tanggal 8 Mei 2015 KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA, DEDY EFENDY 68 69 70 DOKUMENTASI WAWANCARA 71 72 73 74 75 DOKUMENTASI RAPAT PENELITIAN POLITIK UANG PEMILU TAHUN 2014 DI KABUPATEN KAYONG UTARA 76 77