Politik Uang dalam Pemilihan Umum (KPU Kab. Kayong Utara)

advertisement
1
POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN UMUM 2014
DI KABUPATEN KAYONG UTARA
(Studi Kasus Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Kecamatan Sukadana)
Diteliti dan disusun oleh:
Tim Peneliti KPU Kabupaten Kayong Utara
KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN KAYONG UTARA
2015
2
Susunan Tim Peneliti
Pengarah:
Dedy Efendy, SH
Penanggung Jawab:
Ya’ Muhamad Ikhsan, SH
Ketua:
Rudi Handoko, S.Sos
Sekretaris:
F.M. Nainggolan, SE
Anggota-anggota:
Burhanuddin, S.Pd.I
Bujang Asnan, SE
Effian Noer, S.Ag
Karnaen
Syarifah Alifiah, S.IP
3
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenanNya laporan kegiatan
penelitian oleh KPU Kabupaten Kayong Utara dengan tema Politik Uang dalam
Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Kayong Utara dapat kami selesaikan.
Tujuan utama dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui proses politik
uang serta bagaimana pengaruhnya terhadap pilihan politik dari pemilih dalam
Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Kayong Utara.
Laporan kegiatan ini semoga dapat menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara
guna peningkatan sistem kedepan yang lebih demokratis dan meminimalisir
berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, serta menciptakan
pemilih yang cerdas dan rasional dalam setiap peristiwa demokrasi baik tingkat
nasional maupun lokal.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam pelaksanaan penelitian ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai setiap usaha kita dalam menciptakan demokrasi yang
bersih, jujur dan adil.
Sukadana,
Juli 2015
Ketua Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Kayong Utara
Dedy Efendy, S.H.
4
Pengantar Tim Peneliti
Politik uang, suatu istilah yang sering didengar, sangat marak apabila menjelang
momen-momen politik, baik pemilu, pilkada bahkan pilkades. Meskipun
diketahui sering terjadi, pembuktian menjadi amat sulit dan walaupun diketahui
sebagai kegiatan yang dilarang, tapi acapkali menjadi pilihan utama bagi para
pihak untuk memenangkan persaingan politik.
Banyak hal yang membuat praktik ini makin membudaya, diantaranya
yaitu ambisi politik dari calon, baik calon legislatif pada pemilu, kandidat kepala
daerah pada pilkada dan di even-even lainnya. Para calon tentu memiliki ambisi
untuk dapat menduduki jabatan politik. Tentu saja karena bayangan bahwa itu
merupakan jabatan prestisius yang akan menaikkan status sosial dan pastinya
status ekonomi (kekayaan). Ambisi pribadi ini membuat para calon akan bersaing
ketat dan mungkin saja akan melakukan apapun demi meraih posisi tersebut,
termasuk melakukan politik uang.
Kemudian faktor ekonomi, semisal kemiskinan, meski belum tentu
membuat orang gelap mata, namun membuka peluang bagi masyarakat untuk
menerima apa saja yang diberikan pada saat pesta demokrasi, seperti politik uang
yang dilakukan oleh para calon.
Secara budaya, seringkali terdengar masyarakat kerap mengatakan bahwa
kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak makan duitnya
sekarang, kapan lagi?” Entah sejak kapan, bahasa seperti ini seakan membudaya
secara faktual di tiap momen-momen pemilihan. Mungkin semua itu terjadi dan
timbul karena masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada figur pemimpin,
karena mereka menganggap janji-janji setiap calon adalah sekadar janji, maka
mereka menilai secara pragmatis saja, yakni siapa dan mampu memberi apa.
Masyarakat semakin pragmatis dalam memilih dan permisif terhadap tindakan
menyimpang seperti politik uang. Jika sudah demikian adanya, maka sanksi sosial
terhadap pelaku politik uang itupun sudah tiada lagi.
Selanjutnya, perihal rendahnya pendidikan dan kesadaran politik.
Maraknya kebiasaan-kebiasaan politik uang yang membudaya ini boleh jadi
disebabkan masih rendahnya pendidikan masyarakat, sehingga memungkinkan
mereka tidak menilai secara rasional dan obyektif dalam memilih. Kemudian
diakui atau tidak, masih rendahnya kesadaran berpolitik akibat rendahnya atau
kurangnya pendidikan politik juga akan mempengaruhi, maka hal-hal seperti
politik uang tersebut dianggap biasa dan kewajaran.
Sedangkan jika bicara regulasi, aturan tentang pelarangan politik uang
telah ada, namun pelanggaran politik uang seringkali susah dilarang, susah
diungkap, susah dibuktikan, dan rendahnya sanksi dalam regulasi membuat politik
uang tetap menjadi pilihan untuk mempengaruhi pemilih guna memperoleh
dukungan.
Diakui atau tidak, dengan adanya politik uang, akan membawa dampak
buruk baik bagi pelaku yakni para calon, yang terpilih atau tidak, maupun
terhadap masyarakat. Bagi calon yang jadi atau terpilih, maka berdampak
memunculkan perilaku menyimpang. Sebab jika sudah mengeluarkan biaya yang
besar dengan politik uang untuk memperoleh dukungan dan meraih kemenangan,
5
maka tentunya akan berupaya mengembalikan modal dan mencari untung setelah
berkuasa. Akhirnya akan berperan mempengaruhi perilaku koruptif
memanfaatkan kekuasaannya, bukan lagi memaknai jabatan sebagai amanah, tapi
kesempatan untuk memperkaya diri dan memuluskan kepentingan pribadi serta
kelompok. Bagi para calon yang gagal, akan membuat status perekonomian
menjadi lemah, karena habis biaya untuk melakukan politik uang. Sedangkan bagi
masyarakat, memunculkan dan menumbuh suburkan budaya pragmatis, permisif
dan oportunis. Memilih bukan lagi karena pertimbangan dan penilaian obyektif,
karena kemampuan, kompetensi dan integritas para calon, tapi karena uang.
Oleh karena itu, tim peneliti mencoba mengurai proses, pola dan bentuk
politik uang yang terjadi selama pemilu 2014 di Kabupaten Kayong Utara,
khususnya dengan studi kasus di enam desa di Kecamatan Sukadana. Semoga
hasil penelitian ini dapat menjelaskan tentang proses, pola dan bentuk politik uang
serta dapat menjadi masukan bagi upaya-upaya meminimalisir praktik politik
uang, agar pemilu menjadi bersih, jujur, adil dan berkualitas.
Penelitian bukanlah yang pertama dalam dunia akademis-ilmiah, tapi
memang mungkin yang pertama di Kabupaten Kayong Utara. Karenanya, jika
terdapat kekurangan dan kelemahan, maka segala saran dan kritik konstruktif
sangat diharapkan oleh tim peneliti.
Sukadana,
Juli 2015
Tim Peneliti
6
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua KPU Kabupaten Kayong Utara
Pengantar Tim Peneliti
Daftar Isi
Daftar Tabel
BAB I. Pendahuluan ………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang …...…................................................................. 1
B. Rumusan Masalah …...…............................................................7
C. Tujuan Penelitian …………….………………………………... 7
D. Manfaat Penelitian …………...………………………………... 7
E. Tinjauan Literatur ………………………………………….….. 8
1. Pengertian Politik Uang …………………………………... 8
2. Pengertian Pemilih ………………………………………... 11
3. Pengertian Pemilu ……………………………………...…. 12
F. Kerangka Konsep ………………………………………….….. 12
G. Metode Penelitian …………………………………………….. 16
1. Jenis Penelitian …………………………………………… 16
2. Teknik Pengumpulan Data………………………………… 19
3. Alat Pengumpulan Data …………………………………... 20
4. Subyek Penelitian ………………………………………… 21
5. Teknik Pengolahan Data ………………………………….. 24
6. Teknik Analisis Data …...…………………………………..25
7. Waktu dan Tempat Penelitian ……..…………………...…. 26
BAB II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………….. 27
A. Gambaran Wilayah KKU……………... ...……………………. 27
B. Luas Wilayah KKU……………... ...………………..………… 29
C. Profil Kependudukan …..………………...…………………… 29
D. Profil Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU.…………….. 30
E. Daftar Pemilih Tetap KKU……………………………………. 30
F. Gambaran Umum Desa-Desa Lokasi Penelitian ...……………. 31
BAB III. Hasil dan Pembahasan Penelitian …………………………….....
A. Proses Politik Uang ……………………………………..……..
B. Politik Uang dalam Mempengaruhi Pilihan Politik …………...
C. Politik Uang di Wilayah Urban, Rural dan Transisi …....……..
33
33
41
43
BAB IV. Penutup …………………………………………………………. 46
A. Kesimpulan ……………………………………………………. 46
B. Saran …………………………………………………………... 48
C. Rekomendasi ……………...…………………………………... 49
Daftar Pustaka …………………………………………………………….. 52
Lampiran
7
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1 Peta Administratif Kabupaten Kayong Utara ………………….. 28
Tabel 1 Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU …………………….…. 30
Tabel 2 Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU ……………………………….. 30
Tabel 3 Responden yang Mengaku Menerima dan Tidak Menerima …….. 34
Tabel 4 Pola Pemberian Uang/Barang atau Praktik Politik Uang ……….... 35
Tabel 5 Bentuk Pemberian dalam Politik Uang ………….………………... 36
Tabel 6 Pelaku/Aktor Pemberi dalam Praktik Politik Uang ………………. 37
Tabel 7 Tahu atau Tidak Tahu Politik Uang Dilarang .…………………… 39
Tabel 8 Alasan Menerima Pemberian Praktik Politik Uang ………………. 40
Tabel 9 Pengaruh Pemberian Terhadap Pilihan Politik ………...…………. 41
Tabel 10 Alasan Terpengaruh dan Tidak Terpengaruh ………………….... 42
Tabel 11 Jumlah Sampel dan Yang Menerima Pemberian Uang/Barang .... 44
Tabel 12 Pola Pemberian dan Lokasi dalam Praktik Politik Uang ...…….... 44
Tabel 13 Bentuk Politik Uang …………………………...……………….... 44
Tabel 14 Pengaruh Terhadap Pilihan ……………………………....…….... 44
8
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) merupakan suatu proses penting dalam negara
demokrasi, karena pemilu merupakan ciri negara demokratis. Sebagai salah satu
instrumen demokrasi yang harus dijalankan, maka mensyaratkan ada dan
terselenggaranya kegiatan pemilihan umum yang bebas, adil dan bersih, sebagai
sarana politik bagi rakyat untuk mewujudkan kehendak rakyat dalam memilih
wakil-wakil mereka sebagai pelaksana (mandatory) dan pengelola kekuasaan baik
di eksekutif dan legislatif. Artinya, pemilu bagi suatu negara demokrasi
berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat. Pemilu
dapat dikatakan sebagai sebuah aktifitas politik, lembaga, sekaligus juga praktik
politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Di dalam negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu parameter untuk
mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara, yakni dengan menilik dari
proses perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut.
Sejatinya, sistem pemilu, sistem kepartaian, dan sistem pemerintahan saling
berkaitan erat. Sistem pemilu merupakan suatu prosedur yang diatur dalam suatu
negara untuk memilih sejumlah orang untuk menduduki jabatan di lembaga
suprastruktur politik (eksekutif dan legislatif). Sedangkan sistem kepartaian,
merupakan infrastruktur politik yang mengatur tentang prosedur dan kelembagaan
partai politik sebagai institusi yang memiliki fungsi agregasi-artikulasi politik,
pendidikan politik, sosialisasi politik, dan tentunya seleksi-rekrutmen politik bagi
individu-individu yang diproyeksikan menjadi wakil-wakil rakyat, untuk menjadi
pelaksana dan pengelola kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara.
Meskipun banyak variasinya, namun sistem pemilu biasanya dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional.
Dalam sistem distrik, keterwakilan dibagi atas dasar kesatuan wilayah geografis
atau daerah, yang mendapat jatah keterwakilan yang sama dengan daerah lainnya.
Sedangkan dalam sistem proporsional, maka suatu wilayah negara atau daerah
dibagi dalam daerah pemilihan, yang mana di setiap daerah, jumlah wakilnya
yang akan duduk dalam perwakilan akan berbeda, berdasarkan proporsi jumlah
penduduk dan pemilih. Di Indonesia, pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Provinsi dan
Kabupaten/Kota menggunakan sistem proporsional (terbuka) dan untuk pemilihan
10
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik (berwakil
banyak).
Eksistensi bentuk sistem pemilu dan sistem kepartaian tidak terlepas dari
sistem pemerintahan suatu negara. Sistem pemerintahan berupa bentuk
pemerintahan,
lembaga-lembaga
pemerintahan
dan
sebagainya
akan
mempengaruhi cara atau metode dalam pembagian kekuasaan politik dan prosedur
legal-formal untuk memperoleh kekuasan politik, serta dalam melaksanakan dan
mengelola kekuasaan politik tersebut. Pada sistem pemerintahan demokrasi, maka
kekuasaan politik diperoleh melalui sistem pemilu dengan sistem kepartaian yang
mengatur tentang partai-partai apa saja yang berhak terlibat dalam pemilu sebagai
pengejawantahan kekuasaan berada di tangan rakyat. Sederhananya, sistem
pemerintahan yang dianut suatu negara akan menentukan seperti apa sistem
pemilunya, dan sistem pemilu akan menentukan seperti apa sistem kepartaian
yang dipakai.
Tiap negara berbeda siklus penyelenggaraan pemilunya. Di Indonesia,
pelaksanaan pemilu baik untuk memilih perwakilan legislatif maupun pucuk
pimpinan eksekutif, dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun sekali. Pemilu
yang bebas, jujur, adil, rahasia, bersih dan berkualitas menjadi suatu cita-cita ideal
untuk menghasilkan perwakilan rakyat dan pemimpin negara yang tentunya
berkualitas serta bermartabat baik di legislatif maupun eksekutif.
Di negeri ini, sudah sebelas kali pemilu dilaksanakan. Berbagai sistem, pola
dan prosedur dalam pelaksanaan pemilu terus berganti dan berubah berdasarkan
11
kondisi dan tuntutan demokrasi. Indonesia sebagai negara yang mempunyai
jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, serta beraneka ragam suku/etnis, agama
dan berbagai golongan atau tingkatan strata kehidupan. Jika kita merefleksikan
pada pelaksanaan pemilu terakhir (tahun 2014), dapat kita lihat berbagai dinamika
yang
mewarnai
pelaksanaannya.
Tentu
saja
dari
kualitas
pelaksanaan
penyelenggaraan pemilu selalu diharapkan semakin menunjukkan peningkatan
kualitas, baik dari sisi penyelenggaraan itu sendiri, partisipasi masyarakat, dan
skala demokrasi. Meskipun demikian, tak dapat kita pungkiri bahwa masalah dan
kendala dalam proses demokrasi itu masih menunjukkan adanya patologi
demokrasi, seperti kegiatan politik uang yang sengaja dilakukan oleh berbagai
pihak demi memperoleh dukungan dan suara.
Politik uang ini telah lama menjadi pembahasan bersama dalam upaya
menciptakan iklim demokrasi dan kepemiluan yang sesuai asas pemilu tersebut.
Namun politik uang yang berkembang memang tampak semakin massif pada
sistem pemilu yang dilaksanakan secara langsung, karena antara para calon dan
warga masyarakat yang menjadi pemilih dapat berhubungan secara lebih intens.
Dalam tahapan pemilu, masa kampanye dan minggu tenang menjadi masa
yang rawan bagi terjadinya politik uang. Padahal politik uang merupakan bentuk
pelanggaran kampanye.Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01
Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 32 ayat (1) huruf j disebutkan bahwa Pelaksana,
12
peserta dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta kampanye.
Politik uang umumnya berupa pemberian untuk menyuap seseorang atau
kelompok supaya memilih sesuai dengan yang diinginkan. Kegiatan politik uang
dilakukan oleh para calon, tim sukses, kader, simpatisan, bahkan oleh pengurus
partai politik. Politik uang bisa dilakukan dengan bermacam-macam cara,
pendistribusiannya pun bermacam-macam pula.
Dengan semakin massifnya politik uang ini, bahkan ada yang menganggap
bahwa politik uang dalam tiap pesta politik atau even demokrasi adalah kebiasaan
yang telah membudaya. Sering terdengar ungkapan di kalangan masyarakat
bahwa kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak makan
duitnya sekarang, kapan lagi?” Tentu saja hal ini mengkhawatirkan bagi
perkembangan demokrasi di negeri ini.
Meskipun faktanya politik uang itu terjadi, namun sulitnya pembuktian
secara hukum dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan membuat
politik uang seakan mendapat tempat di dalam masyarakat.
Walaupun politik uang secara umum telah diketahui sebagai penyakit atau
masalah, bahkan sudah begitu banyak elemen masyarakat mulai dari
penyelenggara pemilu, kalangan organisasi pemerintahan, organisasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, bahkan partai politik itu sendiri mengecam perilaku
politik uang. Namun selalu muncul tanya mengapa politik uang yang dibenci ini
tetap marak dilakukan oleh sebagian kalangan yang hendak bertarung dalam pesta
13
demokrasi di negeri ini? Banyak jawaban yang dapat diungkap. Mungkin karena
tiada lagi rasa malu, lemahnya sanksi sosial, masyarakat yang semakin pragmatis
dan permisif dengan hal-hal semacam itu, kemiskinan masyarakat, lemahnya
regulasi dan pengawasan atau mungkin karena ambisi politik para calon yang
menganggap politik uang sebagai salah satu cara paling cepat dan tepat untuk
memperoleh dukungan dan meraup suara. Sehingga ada kecenderungan politik
uang tidak bisa dipisahkan dalam tiap peristiwa politik.
Meskipun tidak setiap praktik politik uang dapat memuluskan langkah
menjadi anggota legislatif terpilih, namun sedikit banyak tentu dapat
mempengaruhi pilihan pemilih dengan pertimbangan keuntungan finansial.
Sehingga praktik politik uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagai para aktor
politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu.
Dari pemaparan di atas dapat diasumsikan, masyarakat kita masih perlu
didorong dan dimotivasi untuk berpartisipasi, termasuk untuk menumbuhkan
kesadaran politik masyarakat agar turut melakukan pengawasan dan pemantauan
dalam pesta demokrasi, karena dengan adanya kesadaran warga masyarakat, maka
akan mendorong proses menuju pemilihan yang menghasilkan pilihan cerdas,
rasional dan demokratis. Jangan sampai mereka memandang pemilu tak lebih dari
sekadar dagelan politik yang naif dan absurd.
Dengan dasar asumsi itulah tim peneliti ingin meneliti secara langsung
mengenai adanya politik uang pada pemilu melalui kesaksian-kesaksian warga
14
masyarakat sebagai pemilih, dengan sebuah judul penelitian, “Politik Uang pada
Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara.”
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirancang
penelitian ini dengan rumusan masalah:
1.
Bagaimana proses politik uang yang terjadi pada Pemilihan Umum
2014 di Kabupaten Kayong Utara?
2.
Apakah politik uang mempengaruhi pilihan politik pemilih pada
Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong Utara?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan, yaitu:
1.
Mengetahui proses politik uang yang terjadi pada Pemilihan Umum
Legislatif 2014 di KecamatanKabupaten Kayong Utara.
2.
Mengetahui pengaruh politik uang tersebut terhadap pilihan politik
para pemilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kabupaten
Kayong Utara.
D.
Manfaat Penelitian
Dari pelaksanaan penelitian diharapkan bisa memberikan manfaat bagi
beberapa pihak, diantaranya :
1.
Bagi Kalangan Penyelenggara Pemilihan Umum (KPU)
Sebagai masukan yang berguna untuk memperbaiki sistem, pola dan
prosedur pelaksanaan pemilihan umum sehingga lebih demokratis dan
15
dapat meminimalisir politik uang yang mencederai demokratisasi dan
tak sesuai azas pemilu.
2.
Bagi Kalangan Akademik
Dengan adanya penelitian ini, hasilnya dapat dijadikan sebagai
referensi, rujukan dan bahan pengayaan khazanah ilmu pengetahuan
mengenai
fenomena-fenomena
politik
faktual.
Penelitian
ini
diharapkan dapat dijadikan pijakan untuk melakukan penelitian
akademis
berikutnya.
Sehingga
diharapkan
bermanfaat
bagi
perkembangan ilmu-ilmu sosial dan politik.
3.
Bagi Masyarakat
Dengan adanya penelitian ini semoga dapat menjadi pembelajaran
untuk meningkatkan kesadaran politik, sehingga menjadi pemilih
cerdas dan rasional dalam setiap peristiwa demokrasi, baik itu pemilu
maupun pilkada dan sebagainya.
E.
Tinjauan Literatur
1.
Pengertian Politik Uang
Politik uang ialah upaya mempengaruhi pemilih baik dengan imbalan
terutama berupa pemberian uang, maupun dengan imbalan pemberian
barang dan jasa.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza
Mahendra, definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa
pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang
16
dikutip oleh Indra Ismawan,1 kalau kasus money politic bisa dibuktikan,
pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan.
Tapi kalau penyumbang adalah figur anonim (merahasiakan diri) sehingga
kasusnya sulit dilacak, tindak lanjut secara hukum pun jadi kabur (Ismawan,
1999:4).
Penggunaan uang sebagai alat meraih tujuan kekuasaan politik
sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ideologi yang membenarkan tindakan
tersebut sudah ada sejak era Nicollo Machiavelli, ahli strategi politik asal
Italia bad XV. Machiavelli pernah menulis bahwa untuk mencapai
kekuasaan, segala cara bisa dilakukan (Ismawan, 1999:21).
Indra Ismawan sendiri (1999:5-10) dalam bukunya Pengaruh Uang
dalam Pemilu menyatakan, “politik uang biasa diartikan sebagai upaya
mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu.
Adapula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara
pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam
jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan
umum di suatu negara.”
Menurut Daniel Dhakidae (2011), politik uang ini merupakan mata
rantai dari terbentuknya kartel politik. Demokrasi perwakilan yang
mengandalkan votes (suara) dengan mudah diubah menjadi sebuah
komoditas, yang akan dijual pada saat sudah diperoleh dan dibeli saat belum
1
Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta, Penerbit Media Presindo,
1999, hal 4.
17
diperoleh. Dibeli waktu pemilihan umum dengan segala teknik dan dijual
pula dengan segala teknik.2
Wahyudi Kumorotomo (2009) menyatakan bahwa setiap orang tahu
bahwa kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam pemilu
setelah reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu
mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam politik uang, warga akan
segera bisa menunjuk bagaimana para calon itu menggunakan uang untuk
“membeli suara” di daerah pemilihan mereka.3
Perilaku politik uang yang kerap mengambil bentuk sebagai kegiatan
bantuan amal sering juga menimbulkan perubahan persepsi masyarakat
terhadap praktik tersebut, sehingga dianggap lumrah. Kesulitan mengambil
persepsi itupun terjadi di kalangan pemimpin, tokoh masyarakat bahkan
agamawan. Meski sebagian agamawan menyatakan haram, namun
sebagaimana dikutip oleh Ismawan, bahwa mantan Menteri Agama Malik
Fadjar tidak mau secara tegas mengatakan hukum praktik politik uang itu
haram. Dia mengaku sulit mengatakan hukumnya dengan dalil-dalil yang
jelas berkaitan langsung dengan soal ini (Ismawan, 1999:2). Sehingga sulit
dibedakan antara pemberian yang tergolong risywah atau suap dengan
pemberian yang terkategori amal jariyah.
Dalam Wikipedia disebutkan bahwa politik uang sebagai suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak
2
3
Daniel Dhakidae, Makalah Melawan Politik Kartel dalam Demokrasi Indonesia, 2011.
Wahyudi Kumorotomo, Makalah Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi, 2009.
18
menjalankan haknya untuk memilih, maupun supaya menjalankan haknya
dengan cara tertentu pada saat pemilu.4
Kegiatan politik uang seringkali terjadi di masa kampanye dan minggu
tenang, padahal hal itu merupakan bentuk pelanggaran kampanye.
Sebagaimana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pasal 86 ayat (1) huruf j
menjelaskan bahwa pelaksana, peserta dan petugas kampanye dilarang
untuk “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
peserta kampanye pemilu.”
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Peraturan KPU
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye terutama pada pasal 32
dan pasal 49 telah secara tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye beserta
sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tersebut.
2.
Pengertian Pemilih
Pemilih adalah warga masyarakat yang telah memenuhi syarat secara
perundang-undangan dan terdaftar sebagai pemilik suara yang berhak
menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya dalam pemilihan
umum. Dalam Pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 2012 dijelaskan bahwa pemilih
yaitu warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.
4
Id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang
19
3.
Pengertian Pemilihan Umum
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penelitian
ini, pemilihan umum yang dimaksud adalah Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014.
F.
Kerangka Konsep
Dari berbagai pengertian di atas, secara sederhana untuk memahami
politik uang adalah sebagai praktik pemberian uang atau barang atau
memberi iming-iming sesuatu, kepada seseorang atau massa secara
berkelompok, untuk mendapatkan keuntungan politis yakni mempengaruhi
pilihan pemilih agar memilih calon tertentu dalam pelaksanaan pemilihan.
Sebagai konsekuensi dari huruf a Pasal 215 Undang-Undang Nomor 08
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
yang menyebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh
suara terbanyak, maka persaingan yang dialami oleh para calon anggota
legislatif bukan hanya dengan calon dari partai politik berbeda yang berlaga
di daerah pemilihan yang sama, namun juga dengan calon anggota legislatif
dari partai yang sama di daerah pemilihan tersebut.
20
Persaingan ini tentu saja sangat ketat, dan membuat para calon anggota
legislatif memikirkan upaya-upaya agar dapat mendulang suara sebanyakbanyaknya. Cara yang dianggap efektif oleh para calon legislatif tersebut
untuk mendulang suara adalah dengan membagi-bagikan uang/barang atau
menjanjikan hal-hal tertentu kepada para pemilih, yang dikenal dengan
istilah politik uang.
Politik uang merupakan praktek ilegal dan memiliki konsekuensi
hukum. Namun praktek ini masih tetap langgeng di dalam masyarakat
karena memiliki hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Calon anggota legislatif merasa sudah ‘membeli’ suara dari masyarakat, dan
dapat melakukan hitung-hitungan secara matematis dari besarnya modal
yang telah dikeluarkan, terhadap harapan perolehan dukungan suara
untuknya nanti.
Namun, masyarakat yang menerima uang/barang atau janji tersebut,
tidak selalu memilih calon yang bersangkutan. Caleg yang memiliki modal
besar, belum tentu mendapat perolehan suara seperti yang dia harapkan, tapi
tetap saja berpeluang besar meraup suara dengan permainan uang tersebut.
Dengan demikian, untuk memudahkan penelitian ini, maka akan
menyusun beberapa elemen-elemen yang ada dan terkait dalam praktik
politik uang, diantaranya:
1.
Pelaku atau Aktor Politik Uang
Pelaku atau aktor politik uang dalam konteks ini adalah para pelaku
yang memberikan dan menerima, maka yang termasuk dalam batasan ini
21
adalah para caleg dan timses serta pihak lainnya yang terlibat sebagai
pemberi dan warga masyarakat pemilih sebagai penerima. Kedua belah
pihak secara aktif terlibat sebagai pelaku atau aktor dalam praktik politik
uang.
2.
Model atau Bentuk Politik Uang
Model atau bentuk politik uang bermacam-macam, misalnya pemberian
uang atau iming-iming uang dari para calon kepada masyarakat pemilih agar
bersedia memilihnya, atau pemberian itu tidak berupa uang, tapi berupa
barang tapi dengan ajakan yang jelas agar memilih si pemberi. Contoh
sederhana ialah pembagian sembako oleh partai politik atau para calon
menjelang pemilu, pilkada bahkan di tingkat pilkades. Pembagian seperti ini
akan berbeda maknanya bila dilakukan secara rutin di luar momen politik.
Bentuk yang sudah jamak seperti memberikan mukena, jilbab dan
kerudung oleh para calon kepada calon pemilih perempuan dan sarung
kepada calon pemilih laki-laki. Kemudian pemberian alat-alat pertanian,
pengeras suara, bahan bangunan dan sebagainya yang sudah biasa diberikan
para calon atau oleh tim suksesnya kepada suatu kelompok yang tentu saja
dengan harapan mempengaruhi pilihan para pemilih untuk memberikan
suara kepadanya.
3.
Pola Politik Uang
Berbagai pola politik uang yang sering dilakukan adalah dengan caleg
mendatangi sendiri rumah warga masyarakat sebagai pemilih atau tim
sukses (timses) yang mendatangi rumah warga masyarakat, bahkan sudah
22
sering terdengar istilah serangan fajar yang mana para timses mendatangi
tiap rumah pada dini hari sebelum hari H, dengan memberikan amplop
berisi uang beserta foto dan nomor urut para calon. Demikian pula, pola
mengajak kumpul makan-makan di rumah para calon atau tim sukses,
kemudian biasanya diselipkan dengan pembagian uang jalan sebelum para
pemilih pergi menuju ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Oleh karena itu,
untuk menjelaskan kerangka berpikir penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Aktor Politik Uang
1. Caleg
2. Timses dan lainnya
Bentuk-Bentuk Politik Uang
1. Uang
2. Barang
3. Uang + Barang
Warga Masyarakat (Aktor)
Sebagai Pemilih
Efektifitas Politik Uang
1. Mempengaruhi pilihan politik pemilih
2. Tidak mempengaruhi pilihan politik pemilih
Pola pemberian secara langsung oleh Caleg.
Pola pemberian melalui Timses atau pihak lainnya.
23
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif. Metode ini
dilakukan dengan mengumpulkan data yang berisi uraian, paparan tentang
suatu obyek sesuai dengan kriteria serta hal-hal yang diperlukan dalam
pendataan dan penyajian. Dengan metode deskriptif ini, tim penulis ingin
menggambarkan
gejala-gejala
mengenai
bagaimana
politik
uang
mempengaruhi pilihan politik pemilih pada Pemilihan Umum 2014 di
Kabupaten Kayong Utara. Menurut Azwar (1988:7), “Penelitian deskriptif
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta serta karakteristik
mengenai informan atau bidang tertentu, serta berusaha menggambarkan
situasi atau kejadian yang nyata.”
Soetarlinah Sukadji (2000:3) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif
berkaitan dengan pengumpulan data untuk menguji hipotesis atau menjawab
pertanyaan pertanyaan mengenai karakteristik/status masa kini subjeksubjek yang diteliti dalam masalah tertentu.
Menurut Sumadi Suryabrata (2008:76) tujuan penelitian deskriptif
adalah untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Hadari
Nawawi
(1987:62)
mengemukakan
bahwa,
“Penelitian
deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan subyek atau obyek penelitian (seseorang,
24
lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang nampak.”
Selanjutnya Nawawi (1987:63) menjelaskan bahwa, “Penelitian
deskriptif dapat diwujudkan juga sebagai usaha memecahkan masalah
dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan,
mengadakan klasifikasi gejala yang standar menetapkan hubungan antar
gejala-gejala yang ditemukan.”
Dalam penelitian deskriptif sebagaimana yang dikemukakan oleh
Nawawi (2001:3) adalah usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan
atau peristiwa sebagaimana adanya dengan memberikan gambaran secara
objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki dan
memberikan interprestasi-interprestasi yang akurat terhadap faktor-faktor
yang di temukan. Metode deskriptif ini bertujuan mengubah kumpulan data
mentah menjadi yang mudah dipahami dalam bentuk informasi yang lebih
ringkas.
Dikarenakan keterbatasan anggaran dan waktu, penelitian ini tidak bisa
mencakup Kabupaten Kayong Utara secara keseluruhan. Sehingga,
diambillah langkah untuk menjadikan penelitian ini sebagai suatu studi
kasus.
John C. Creswell (1997) dalam Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati
(2014:72) menyebutkan bahwa studi kasus adalah sebuah eksplorasi
mendalam mengenai sebuah sistem yang terikat. Bisa juga aktivitas,
kejadian, proses ataupun individu, berdasarkan pengumpulan data yang
25
ekstensif. Terikat berarti kasus tersebut dipisahkan dari kasus serupa di
tempat, waktu, konteks yang lain.
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:72) menyebutkan bahwa
studi kasus merupakan kajian dengan memberi batasan yang tegas terhadap
suatu objek dan subjek penelitian tertentu, melalui pemusatan perhatian pada
satu kasus secara intensif dan rinci. Berdasarkan batasan tersebut dapat
dipahami karakteristik studi kasus meliputi:
a. Objek dan subjek yang menjadi sasaran penelitian dapat berupa
manusia, peristiwa, latar dan dokumen.
b. Kajian dilakukan secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai
dengan latar dan konteksnya masing-masing dengan maksud untuk
memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.
Lebih lanjut, Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:72)
menyatakan bahwa berdasarkan pengelompokkan sasaran penelitian (objek
dan subjek), studi kasus dapat dibedakan menjadi studi kasus:
a.
Studi historis
Melihat secara mendalam tentang asal-muasal (historis) suatu unit
tertentu yang dianalisis, berdasarkan kurun waktu tertentu. Peneliti
menelusuri rekam jejak unit yang dianalisis dari berbagai sumber.
b.
Studi observasi
Kajian memprioritaskan observasi dan partisipasi sebagai teknik
pengumpulan data pada studi ini. Artinya data yang diamati adalah
data yang terjadi saat ini.
26
c.
Studi biografi
Kajian yang dilakukan terhadap kisah hidup seseorang, baik yang
menyangkut kehidupan historisnya maupun keadaannya saat
penelitian dilakukan; serta cara pandangnya terhadap berbagai hal
dalam kehidupan.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Wawancara (interview), yaitu suatu teknik pendekatan untuk
mengumpulkan data
dengan melakukan wawancara
secara
langsung dengan subjek penelitian. Sedangkan wawancara dalam
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
bertanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
responden dengan alat yang dinamakan interview guide atau
panduan wawancara (Arikunto, 1993 : 23). Alat yang di gunakan
adalah pedoman wawancara.
b.
Studi dokumentasi, yaitu suatu cara untuk mencari, mengumpulkan
dan mempelajari dokumen-dokumen, surat-surat, buku-buku dan
laporan-laporan tertulis serta berhubungan dengan permasalahan
yang di teliti. Nawawi (2001 : 133) mengatakan teknik atau studi
dokumenter adalah “cara mengumpulkan data melalui peninggalan
tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku
tentang pendapat, teori dalil atau hukum dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penyelidikan.”
27
3.
Instrumen Penelitian atau Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh
peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi
sistematis dan dipermudah olehnya. Instrumen pengumpulan data adalah
cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.
Instumen sebagi alat bantu dalam menggunakan metode pengumpulan data
merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda, misalnya angket,
perangkat tes, pedoman wawancara, pedoman observasi, skala dan
sebagainya.
Menurut Suharsimi Arikunto (2006:149) ada beberapa instrumen yang
namanya sama dengan metodenya, antara lain adalah:
1.
Instrumen untuk metode tes adalah tes atau soal tes.
2.
Instrumen untuk metode angket atau kuesioner adalah angket atau
kuesioner.
3.
Instrumen untuk metode observasi adalah check-list.
4.
Instrumen untuk metode observasi adalah pedoman observasi atau
dapat juga check-list.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengertian pengumpulan
data dan instrumen penelitian adalah suatu proses yang dilakukan untuk
mengungkap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat dengan
menggunakan berbagai cara dan metode agar proses ini berjalan secara
sisitematis dan lebih dapat dipertanggung jawabkan kevaliditasnya.
28
Sesuai dengan metode yang digunakan, maka penelitian ini
menggunakan kuesioner dan check-list sebagai instrumen penelitian.
4.
Subyek Penelitian (Populasi dan Sampel)
Subyek penelitian dalam penelitian ini yang dimaksud adalah informan
peneliti yang berfungsi untuk menjaring sebanyak-banyaknya data dan
informasi yang akan berguna bagi pembentukan konsep dan reposisi sebagai
temuan peneliti (Bungin, 2003:206).
Menurut Supranto (2007:8) populasi ialah kumpulan yang lengkap dari
elemen-elemen
yang sejenis akan tetapi
dapat
dibedakan karena
karakteristiknya. Sedangkan sampel, atau contoh, ialah sebagian dari
populasi.
Lebih
lanjut,
dikemukakan
bahwa
sampling
ialah
cara
pengumpulan data kalau hanya elemen sampel yang diteliti, hasilnya
merupakan data perkiraan atau estimate, jadi bukan data sebenarnya.
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:95) menjelaskan bahwa
keputusan pengambilan sampel mengalir dari dua putusan yang dibuat
dalam formasi hierarki tujuan penelitian, tingkat resiko yang dapat
ditoleransi oleh peneliti, biaya, waktu, sumber daya yang tersedia, dan
budaya yang berkembang. Secara umum, desain sampel dikelompokkan
dalam dua jenis: probabilitas dan nonprobabilitas. Kunci perbedaan antara
sampel porbabilitas dan nonprobabilitas adalah terletak pada peluang atau
random. Random berarti pengambilan bagian dari keseluruhan dengan cara
sistematik dan mekanik.
29
Lebih lanjut, Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati (2014:105)
mengemukakan beberapa teknik sampling untuk nonprobabilitas, yaitu:
1. Sampel sengaja (purposive sampling)
Yaitu sampel nonprobabilitas yang tidak dibatasi. Peneliti
mempunyai kebebasan memilih siapa yang mereka temukan,
sehingga dinamakan kemudahan. Hasilnya menyajikan bukti yang
sangat banyak sehingga prosedur pengambilan sampel yang lebih
kompleks tidak diperlukan.
2. Convenience Sampling
Dalam teknik ini, peneliti memilih partisipan, dan partisipan
menentukan narasumber, karena mereka lebih mengetahui keadaan
di lokasi penelitian. Partisipan dipilih karena peneliti memiliki
keterbatasan untuk memutuskan narasumber mana yang tepat
menggambarkan populasi.
3. Sampel bertujuan
Yaitu sampel nonprobabilitas yang memenuhi kriteria tertentu.
4. Sampel bola salju (Snowball Sampling)
Pada snowball sampling, peneliti bertanya untuk mengidentifikasi
yang lain untuk menjadi anggota sampel. Dengan menggunakan
proses ini, peneliti dapat berhenti untuk mengetahui individu yang
akan menjadi sampel dalam penelitian. Juga memungkinkan untuk
mengeliminasi identifikasi individu yang tidak sesuai dengan
30
survei dan respon yang diberikan dan tidak dapat menggambarkan
populasi yang peneliti cari.
5. Sampel tujuan khusus (Purposeful Sampling)
Dalam purposeful sampling, peneliti secara intensif memilih
partisipan dan individu untuk dijadikan narasumber dan tempattempat untuk diamati.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan strategi purposive
sampling dan snowball sampling.
Adapun sumber data yang digunakan adalah Data Rekapitulasi Daftar
Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014 di Kabupaten Kayong
Utara. Berikut data DPT ke-enam desa tempat pelaksanaan penelitian:
NO
1
2
3
4
5
6
NAMA DESA
Sedahan Jaya
Sutera
Gunung Sembilan
Pangkalan Buton
Pampang Harapan
Riam Berasap Jaya
Dengan penggunakan rumus Slovin: n =
Dimana: n = jumlah sampel
JUMLAH DPT
1.515
4.069
818
3.109
780
1.153
N
n
1 + Nα2
N = jumlah populasi
α = margin error (5%), dengan tingkat kepercayaan 95%
31
Maka jumlah sampel per-desa yang didapat adalah:
NO
1
2
3
4
5
6
5.
NAMA DESA
Sedahan Jaya
Sutera
Gunung Sembilan
Pangkalan Buton
Pampang Harapan
Riam Berasap Jaya
Total Sampel
JUMLAH SAMPEL
50
139
27
105
27
39
387
Teknik Pengolahan Data
Menurut Supranto (2007:10), pengolahan data ialah suatu kegiatan
untuk membuat data ringkasan berdasarkan data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu.
Setelah data diperoleh dari lapangan terkumpul maka tahap berikutnya
adalah mengolah data tersebut. Adapun teknik yang digunakan dalam
pengolaan data sebagaimana yang disebutkan Moleong (2006:151) meliputi:
1. Editing
Pada tahapan ini, data yang telah terkumpul melalui daftar
pertanyaan (panduan wawancara) perlu dibaca kembali untuk
melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban
informan. Jadi, editing bertujuan untuk memperbaiki kualitas data
dan menghilangkan keraguan data.
2. Interpretasi
Setelah data yang terkumpul dianalisis dengan teknik statistik
hasilnya harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar kesimpulan-
32
kesimpulan penting mudah ditangkap oleh pembaca. Interpretasi
merupakan penjelasan terperinci tentang arti sebenarnya dari
materi yang dipaparkan, selain itu juga dapat memberikan arti yang
lebih luas dari penemuan penelitian.
6.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan analisis model interaktif (interactive model of
analysis). Menurut Miles dan Huberman (1992:16), model ini terdiri dari
tiga komponen yaitu:
1.
Meringkas (reduksi)
Hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan direduksi dalam
bentuk rangkuman atau intisari kemudian dilakukan editing terbatas.
Tujuannya adalah data yang dianalisis merupakan data yang benarbenar berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
2.
Memaparkan (display)
Hasil wawancara dan dokumentasi yang dilakukan disajikan dalam
bentuk catatan atau tulisan yang mudah dibaca sehingga memudahkan
dalam melakukan analisis data.
3.
Menyimpulkan (verifikasi)
Hasil wawancara dan dokumentasi yang telah diringkas dan di
presentasikan kemudian diambil beberapa kesimpulan yang paling
relevan dengan masalah yang diteliti.
33
7. Waktu dan Tempat Penelitian
a. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan April
sampai dengan bulan Juli 2015.
b. Tempat Penelitian
Yang menjadi tempat penelitian adalah enam desa di Kecamatan
Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Dengan jumlah pemilih yang
terdaftar sebesar 17.402 orang, Kecamatan Sukadana menjadi
kecamatan dengan jumlah pemilih nomor dua terbesar di Kabupaten
Kayong Utara.
Kecamatan Sukadana memiliki 10 (sepuluh) desa; Riam Berasap
Jaya, Simpang Tiga, Sejahtera, Pampang Harapan, Sutera, Pangkalan
Buton, Gunung Sembilan, Sedahan Jaya, Benawai Agung, Harapan
Mulia.
Tim peneliti memilih 6 (enam) desa, yaitu Desa Sedahan Jaya, Desa
Sutera, Desa Gunung Sembilan, Desa Pangkalan Buton, Desa Pampang
Harapan, dan Desa Riam Berasap Jaya, dengan pertimbangan
demografis yang terdiri dari masyarakat urban (perkotaan) rural
(pedesaan), dan transisi (sedang dalam proses dari masyarakat rural ke
urban). Selain itu, secara geografis, ke-enam desa tersebut relatif
terjangkau.
34
BAB. II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kayong Utara
Kabupaten Kayong Utara (KKU) adalah daerah kabupaten ketiga-belas di
Provinsi Kalimantan Barat. KKU adalah kabupaten hasil pemekaran dari
Kabupaten Ketapang berdasarkan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2007 dan
Surat Mendagri Nomor 135/439/SJ Tanggal 27 Februari 2007. Secara
kewilayahan luas wilayah Kabupaten Kayong Utara adalah 4.568,26 kilometer
persegi. Luas wilayah ini relatif kecil jika dibandingkan wilayah Kabupaten/Kota
di Kalimantan Barat.
Pada tahun 2013 KKU memiliki 6 kecamatan, 43 desa, 167 Dusun dan 628
RT. Tujuh desa diantaranya termasuk daerah sulit terjangkau yang tersebar
masing-masing 2 desa di Kecamatan Simpang Hilir, 2 desa di Kecamatan Seponti
dan 3 desa di Kecamatan Kepulauan Karimata.
Secara geografis, Kabupaten Kayong Utara berada di sisi selatan Provinsi
Kalimantan Barat atau berada pada posisi 0 43’ 5,15” Lintang Selatan sampai
dengan 1 46’ 35,21” Lintang Selatan dan 108 40’ 58,88” Bujur Timur sampai
dengan 110 24’ 30,50” Bujur Timur.
Sedangkan secara administratif, batas wilayah Kabupaten Kayong Utara
adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya, kabupaten
Ketapang, dan Selat Karimata
35

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Karimata dan Kabupaten Ketapang

Sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Karimata

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Ketapang
Wilayah Kabupaten Kayong Utara terdiri dari 6 Kecamatan. Di Mana
kecamatan-kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan laut. Sedangkan
Kecamatan Sukadana terletak pada 1 08’ 00” LS – 1 20’ 00” LS dan 109 52’ 24”
BT – 110 09’ 48” BT dan Kecamatan Simpang Hilir terletak pada 0 50’ 00” LS –
1 17’ 12” LS dan 109 44” 48” BT – 110 23’ 12” BT.
Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten Kayong Utara
Sumber: BPS KKU.
36
B.
Luas Wilayah Kabupaten Kayong Utara
Kabupaten Kayong Utara merupakan kabupaten paling kecil di Provinsi
Kalimantan Barat, dengan luas wilayah mencapai 4.568,26 kilometer persegi.
Luas wilayah Sukadana yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Kayong Utara
mencapai 1.027,07 kilometer persegi atau 22,48 persen dari luas wilayah
Kabupaten Kayong Utara. Sedangkan Kecamatan Simpang Hilir merupakan
Kecamatan yang memiliki wilayah terluas 1.538,99 kilometer persegi atau 33,69
persen dari luas wilayah Kabupaten Kayong Utara.
C.
Profil Kependudukan Kabupaten Kayong Utara
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang ada di
KKU pada tahun 2013 sebanyak 101.529 jiwa (51.581 jiwa berjenis kelamin lakilaki dan 49.948 jiwa berjenis kelamis perempuan). Jika dibandingkan dengan luas
wilayah Kabupaten Kayong Utara yaitu 4.568,26 kilometer persegi, maka
kepadatan penduduk hanya sekitar 22 jiwa perkilometer persegi, terhitung masih
sedikit. Dari enam kecamatan yang ada, Kecamatan Simpang Hilir memiliki
jumlah penduduk terbanyak, yaitu 30,25% dari total penduduk KKU.
Laju pertumbuhan penduduk di KKU sejak tahun 2000-2010 sebesar 1,94%.
Pasca pemekaran menjadi kabupaten mandiri, memang turut berkontribusi
terhadap terjadinya lonjakan pertumbuhan penduduk tersebut.
37
D.
Profil Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD
Pada Pemilu 2014, KKU terbagi dalam 4 daerah pemilihan (dapil), dua dapil
diantaranya merupakan gabungan kecamatan. Adapun dapil dan kuota kursi
DPRD KKU adalah:
Tabel 1. Daerah Pemilihan dan Kursi DPRD KKU
No
1
2
3
4
Nama Dapil
Dapil 1
Dapil 2
Dapil 3
Dapil 4
Total Kursi
Sumber: KPU KKU
E.
Kecamatan
Sukadana
Pulau Maya-Kep. Karimata
Teluk Batang-Seponti
Simpang Hilir
Kuota Kursi
6 Kursi
3 Kursi
8 Kursi
8 Kursi
25 Kursi
Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014
Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU pada Pemilu 2014,
tercatat secara keseluruhan 73.398 jiwa, terbagi pemilih laki-laki 37.662 jiwa dan
perempuan 35.736 jiwa, sebagaimana tabel:
Tabel 2. Daftar Pemilih Tetap (DPT) KKU
No Nama
Kecamatan
1
Kep. Karimata
2
Pulau Maya
3
Seponti
4
Simpang Hilir
5
Sukadana
6
Teluk Batang
Total
Sumber: KPU KKU
Jumlah
Desa
3
5
6
12
10
7
43
Jumlah
TPS
10
38
28
73
58
41
248
Jumlah Pemilih
L
P
1.092
979
4.909
4.678
4.341
3.901
11.597 10.889
8.750
8.652
6.973
6.637
37.662 35.736
L+P
2.071
9.587
8.242
22.486
17.402
13.610
73.398
38
F.
Gambaran Umum Desa-desa Lokasi Penelitian
Dengan jumlah pemilih yang terdaftar sebesar 17.402 orang, Kecamatan
Sukadana menjadi kecamatan dengan jumlah pemilih nomor dua terbesar di
Kabupaten Kayong Utara.
Kecamatan Sukadana memiliki 10 (sepuluh) desa; Riam Berasap Jaya,
Simpang Tiga, Sejahtera, Pampang Harapan, Sutera, Pangkalan Buton, Gunung
Sembilan, Sedahan Jaya, Benawai Agung, Harapan Mulia.
Enam desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Sedahan Jaya, Desa
Sutera, Desa Gunung Sembilan, Desa Pangkalan Buton, Desa Pampang Harapan,
dan Desa Riam Berasap Jaya, dengan pertimbangan demografis yang terdiri dari
masyarakat urban (perkotaan) rural (pedesaan), dan transisi (sedang dalam proses
dari masyarakat rural ke urban). Selain itu, secara geografis, ke-enam desa
tersebut relatif terjangkau.
Yang termasuk kategori wilayah dengan karakteristik urban adalah Desa
Sutera dan Desa Pangkalan Buton, karena terletak di jantung pemerintahan
Kecamatan Sukadana.
Desa Riam Berasap Jaya dan Sedahan Jaya dimasukkan ke dalam kategori
rural, karena secara geografis, keduanya adalah desa dari Kecamatan Sukadana
yang berbatasan langsung dengan desa kabupaten lain, dan terletak relatif jauh
dari pusat pemerintahan Kecamatan Sukadana.
Dua desa lainnya, yaitu Desa Gunung Sembilan dan Pampang Harapan
merupakan wilayah transisi, maksudnya adalah desa yang secara geografis masih
39
agak dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, namun masyarakatnya lebih
bercorak masyarakat rural.
Selain itu, desa-desa di Kecamatan Sukadana ini dihuni oleh sebagian besar
warga yang masih saling berkerabat antar warga masyarakatnya, sehingga
menarik untuk dilihat bagaimana politik uang itu terjadi dan mempengaruhi
pilihan pemilih selama Pemilu 2014.
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A.
Proses Politik Uang
Dengan menggunakan teknik sampel sengaja (purposive sampling), tim
peneliti secara random memilih informan di ke-enam desa yang menjadi lokasi
wawancara.
Kemudian, peneliti meminta kepada informan untuk memberitahu siapa
yang lagi orang yang potensial untuk dijadikan informan selanjutnya, dalam hal
ini yang dianggap mengetahui tentang kegiatan politik uang atau bahkan pernah
menerima uang/barang/jasa dari timses/calon anggota legislatif sewaktu masa
kampanye pemilihan umum legislatif (teknik bola salju/snowball sampling).
Berbekal beberapa nama calon informan yang didapat dari informan
sebelumnya, penelitian pun dilanjutkan. Namun pada kenyataanya, informan yang
direkomendasikan tersebut belum tentu mau diwawancarai ataupun kalau mau
belum tentu tahu tentang politik uang dan mengaku pernah menerima sesuatu dari
timses atau calon anggota legislatif.
Kemungkinan hal ini karena mereka khawatir jika jawaban mereka nanti
akan berakibat negatif bagi diri mereka, atau mereka khawatir akan dilaporkan
kepada pihak yang berwenang, walaupun peneliti sudah menjelaskan di awal sesi
wawancara, bahwa tujuan wawancara adalah untuk semata untuk mengetahui
fenomena politik uang dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014, dan itu
kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh KPU Kabupaten Kayong
41
Utara. Bahkan sudah dijelaskan juga, bahwa nama mereka tidak akan
dicantumkan dalam lembar kuesioner.
Dari 387 sampel yang dijadikan responden, hanya 136 responden yang
menyatakan pernah menerima pemberian uang/barang selama proses pemilu
legislatif kemarin.
Tabel 3. Jumlah Responden yang Mengaku Menerima dan Tidak Menerima
No
1
2
Menerima atau Tidak Menerima
Menerima
Tidak Menerima
Total
Jumlah
136
251
387
Persentase
35 %
65 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Sehingga, dari 387 orang sampel, 136 orang yang mengaku menerima
uang/barang dari tim sukses atau calon anggota legislatif inilah yang selanjutnya
menjadi fokus dari penelitian.
Dari 387 orang sampel yang didatangi oleh tim peneliti, hanya terdapat 42
orang perempuan, hal ini karena penelitian ini berbasis rumah tangga, sehingga
yang ditemui pada umumnya di setiap rumah adalah kepala keluarga. Pun karena
penelitian purposive sampling ini tidak menitikberatkan pada perimbangan
gender. Selanjutnya dari 136 orang yang mengaku menerima pemberian tersebut,
hanya ada 6 orang perempuan. Diasumsikan mengapa bukan kalangan perempuan
yang lebih dominan didatangi karena terkait dengan pola dan lokasi pemberian
uang/barang yang lebih banyak dilakukan dengan mendatangi/mengunjungi
rumah warga. Artinya dapat diasumsikan pemberian dengan mengunjungi rumah
warga maka akan lebih banyak bertemu dengan kepala keluarga. Hal ini dapat
42
disimpulkan juga bahwa pola pikir patriarkhi cukup dominan dalam proses politik
uang yang mengasumsikan bahwa jika kepala keluarga yang didekati dan diberi,
maka dengan sendirinya akan mampu mempengaruhi pilihan anggota keluarga
lainnya. Adapun mengenai pola dan lokasi pemberian uang/barang dapat dilihat
sebagaimana dalam tabel berikutnya.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah sekitar bentuk-bentuk
pemberian, pola pemberian, pelaku pemberian, waktu pemberian, apakah
pemberian tersebut mampu mengubah pilihan politik penerima atau tidak, alasan
menerima
pemberian
tersebut,
serta
pengetahuan
informan
mengenai
dilarang/tidaknya praktik politik uang.
Dari hasil wawancara mengenai pola dan lokasi pemberian dalam praktik
politik uang, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4. Pola dan Lokasi Pemberian Uang/Barang atau Praktik Politik Uang
No
1
2
3
4
5
Pola
Mengunjungi Rumah Warga
Mengumpulkan Warga di Rumah
Caleg
Mengumpulkan Warga di Rumah
Timses
Bertemu di Tempat Umum
Bertemu di Tempat Kerja
Total
Jumlah
106
1
Persentase
77,9 %
0,7 %
10
7,4%
17
2
136
12,5 %
1,5 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Dari tabel di atas terlihat bahwa pola mendatangi rumah warga menjadi
pilihan yang paling banyak dilakukan oleh para caleg dan timsesnya untuk
memberi atau membagikan uang/barang. Hal ini dapat dimafhumi karena
43
mendatangi langsung secara psikologis akan lebih mengena, apalagi kegiatan
tersebut tidak akan terlalu nampak, bahkan seringkali dibungkus dengan modus
silaturrahim dan pertemuan keluarga, sehingga tidak terlalu memunculkan banyak
kecurigaan. Seterusnya pola mengunjungi rumah warga masyarakat inipun tidak
dapat di-identifikasi secara utuh apakah dilakukan para caleg atau timses atau
orang lainnya, karena ketika menjelang hari H, ada juga orang yang tidak
ketahuan datangnya, tapi tiba-tiba ada uang/barang disertai tanda pengenal/alat
peraga (berupa kartu nama dan contoh surat suara) yang diberikan di depan rumah
warga masyarakat.
Sedangkan bentuk politik uang yang paling banyak terjadi sebagaimana
yang terungkap dalam penelitian ini adalah seperti tabel berikut ini:
Tabel 5. Bentuk Pemberian dalam Politik Uang
No
1
2
3
4
Bentuk
Uang
Barang
Uang + Barang
Jasa
Total
Jumlah
109
22
4
1
136
Persentase
80 %
16 %
2,9 %
1,1 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Dari gambaran tabel di atas, pemberian berbentuk uang jelas sangat
dominan dalam praktik politik uang yang terjadi selama proses pemilu legislatif
kemarin. Sederhana saja mengapa uang yang menjadi pilihan utama, tentu karena
memberi uang akan lebih praktis, mudah dibawa dan mudah dilakukan.
Dibandingkan pemberian berbentuk barang, pemberian berbentuk uang juga akan
44
lebih mengena, sebab warga yang menerima dianggap akan lebih mudah
memanfaatkannya dan menggunakannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari
mereka.
Adapun dalam praktik politik uang tersebut, pemberian uang dan
barangpun bervariasi nilainya, mulai dari nilai uang Rp. 50.000 - Rp. 200.000,
bahkan ada yang lebih besar, tapi dengan meminta agar warga masyarakat
tersebut mau memasang spanduk atau baliho para caleg di depan rumahnya.
Sedangkan untuk bentuk barang yang paling umum adalah pakaian (kain,
kerudung, baju, dan lainnya), sembako (gula, beras, kopi, dan lainnya), rokok,
bahan bangunan (seng, semen, dan lainnya), peralatan pertanian (racun, pupuk,
dan lainnya). Untuk pelaku atau aktor praktik politik uang yang memberikan
uang/barang selama proses pemilu legislatif kemarin, tim peneliti mendapatkan
informasi tentang pihak-pihak mana saja yang mendatangi, yaitu:
Tabel 6. Pelaku/Aktor Pemberi dalam Praktik Politik Uang
No
1
Pelaku/Aktor
Caleg
2
4
Timses
Caleg+Timses
5
Pengurus Partai Politik
6
Lainnya
Keterangan
Tertentu saja, terutama terkait karena
kekerabatan atau kenalan
Paling sering mendatangi
Biasanya timses sebagai kepala jalan bagi caleg
untuk berkunjung ke rumah-rumah warga
Dikenal warga sebagai pengurus partai politik
setempat
Orang yang tidak dapat di-identifikasi karena
datangnya tidak diketahui, hanya memberikan
uang/barang beserta alat pengenal/peraga caleg,
umumnya sebelum hari H
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
45
Durasi
kedatangan
memang
sulit
untuk
dipersentasekan,
karena
kedatangan timses, para caleg dan lainnya seringkali dilakukan lebih dari satu kali
dan bahkan tidak teridentifikasi (seperti didatangi sebelum hari H). Bahkan
beberapa warga masyarakat yang didatangi, tidak hanya oleh satu atau dua orang
timses dan caleg, tapi bisa lebih dari itu. Namun bahwa yang paling sering datang
dan berulang kali mendatangi, menemui dan mengajak warga masyarakat adalah
timses, kemudian para caleg dan pengurus partai, terkadang timses datang juga
beserta para caleg.
Dari informasi ini, diketahui bahwa para caleg beserta timsesnya termasuk
pengurus partai politik (yang dimungkinkan juga menjadi timses caleg),
merupakan pelaku atau aktor utama pelaku praktik politik uang. Timses menjadi
ujung tombak utama para caleg dalam melakukan hal tersebut, karena dapat
dimafhumi bahwa para caleg biasanya merekrut dan memiliki timses dari
kalangan warga masyarakat di tiap desa masing-masing. Merekalah yang
mengenal dan memetakan peta politik di masing-masing wilayah garapannya, dan
merekalah yang bergerak secara langsung berhadapan dengan masyarakat pemilih
untuk menyukseskan jagoannya masing-masing. Sedangkan kemungkinan para
caleg memberikan langsung, jika para caleg tersebut kebetulan sedang turun
kampanye atau mengadakan pertemuan atau mengundang warga masyarakat ke
rumahnya. Hal seperti inipun biasanya dilakukan para caleg pada wilayah-wilayah
dari mana mereka berasal, atau di wilayah mana mereka memiliki kekerabatan
dengan warga masyarakatnya atau memiliki kenalan dekat dengan warga
masyarakat pemilihnya.
46
Selanjutnya, berdasarkan pertanyaan terbuka tentang waktu terjadi atau
kapan terjadinya praktik politik uang tersebut? Dari proses wawancara yang
didapat bahwa waktu terjadinya pemberian uang/barang tersebut bervariasi,
umumnya yakni pada waktu:
1. Masa Kampanye,
2. Masa Tenang,
3. Sebelum Hari H.
Hal ini juga tidak dapat dipersentasekan, karena setiap warga yang
menerima pemberian tersebut bisa didatangi lebih dari satu kali dan lebih dari satu
atau dua caleg atau timsesnya.
Selanjutnya, mengenai apakah warga masyarakat yang menerima
mengetahui bahwa praktik politik uang itu dilarang, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 7. Tahu atau Tidak Tahu Politik Uang Dilarang
No
1
2
Tahu atau
Dilarang
Tahu
Tidak Tahu
Total
Tidak
Politik
Uang Jumlah
110
26
136
Persentase
80 %
20 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Berdasarkan data di atas, memang sebagian besar warga masyarakat yang
menerima pemberian itu mengetahui bahwa praktik politik uang dilarang dan
tidak boleh dilakukan. Namun ajaibnya mereka masih tetap menerimanya.
47
Berbagai alasan dikemukakan sebagai argumen mengapa mereka mau menerima
pemberian tersebut, sebagaimana dirangkum di dalam tabel:
Tabel 8. Alasan Menerima Pemberian Praktik Politik Uang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Alasan Menerima
Rezeki, tidak boleh ditolak, rugi jika ditolak, diberi tanpa diminta
Karena masih keluarga, kerabat, orang dekat, kenal
Disuruh keluarga, diajak teman
Dianggap sebagai upah biaya pasang spanduk atau baliho di rumah
responden
Karena tergiur janji atau program yang dikatakan caleg (akses jalan ke
sawah sepanjang, akses jalan lingkar desa, dan sebagainya)
Kesempatan untuk mendapat uang (karena calegnya minta dicoblos)
Kesempatan mendapat uang karena kurangnya perhatian anggota dewan
jika sudah duduk
Karena menganggap caleg yang bersangkutan dermawan dan baik
Karena memang perlu dengan uang/barang yang diberi
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Dari berbagai alasan tersebut di atas, secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa praktik politik uang boleh jadi dianggap sebagai praktik yang dimaklumi,
apalagi ditengah budaya masyarakat yang semakin permisif, sehingga hal seperti
praktik politik uang bukanlah tabu lagi.
Kemudian faktor aji mumpung menganggap bahwa pemberian tersebut
sudah rezeki yang pantang ditolak, faktor kekerabatan, faktor persekawanan atau
memandang momen politik sebagai kesempatan untuk mendapatkan uang/barang,
sebab jika bukan sekarang kapan lagi, karena jika sudah terpilih belum tentu
peduli dan karena faktor keperluan sehari-hari, membuat praktik politik uang
dimafhumi dan membudaya.
48
B. Politik Uang dalam Mempengaruhi Pilihan Politik
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa politik uang memang
terjadi dalam proses pemilu legislatif tahun 2014 di enam Desa di Kecamatan
Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Berbagai pola dan bentuk praktik politik
uang dilakukan oleh para pelaku atau aktornya yakni terutama timses dan para
caleg guna mendapatkan simpati masyarakat pemilih (aktor penerima), dan tentu
saja untuk mendulang suara pemilih. Namun apakah praktik politik uang tersebut
mampu mempengaruhi pilihan politik warga masyarakat sebagai pemilih?
Dari 136 orang informan yang menerima, yang mengaku jika pemberian
yang mereka terima berpengaruh dan yang mengaku jika pemberian yang mereka
terima tidak berpengaruh terhadap pilihan politik mereka, adalah seperti di bawah
ini:
Tabel 9. Pengaruh Pemberian Terhadap Pilihan Politik
No
1
2
Pengaruh
Pemberian
Pilihan Politik
Mempengaruhi
Tidak Mempengaruhi
Total
Terhadap Jumlah
102
34
136
Persentase
75 %
25 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Dari tabel ini menjelaskan betapa dan mengapa praktik politik uang
tersebut kerap menjadi pilihan yang paling dianggap praktis dan efektif untuk
memperoleh simpati dan memenangkan persaingan politik? Karena politik uang
akan dapat mempengaruhi pilihan politik masyarakat pemilih. Oleh karenanya
49
dalam tiap even politik, praktik politik uang tetap ada bahkan menunjukkan gejala
tumbuh subur.
Mengenai alasan para warga masyarakat baik yang terpengaruh maupun
tidak setelah diberi pemberian uang/barang tersebut, terdapat berbagai macam
alasan sebagai berikut:
Tabel 10. Alasan Terpengaruh dan Tidak Terpengaruh
Terpengaruh
Masih kerabat
Membalas budi atau merasa berhutang
budi
Karena sudah menerima uang/barang
Karena berteman dengan caleg yang
bersangkutan dan merasa dekat dengan
caleg
Kenal dengan caleg yang bersangkutan
Paling besar nominal pemberiannya
Sudah janji hendak memilih caleg
tersebut
Mengharapkan realisasi janji
Caleg yang bersangkutan meminta
untuk dipilih
Karena caleg yang bersangkutan baik
hati
Tidak Terpengaruh
Sudah memiliki pilihan sendiri
Sebagai pelajaran, tidak semua bisa
dibeli
Kurang simpati dengan cara caleg
yang bersangkutan dalam mencari
dukungan
Kurang suka dengan pribadi caleg
Karena caleg yang bersangkutan
bukan orang lokal datau dari luar
Karena tidak kenal dan tidak akrab
dengan caleg yang bersangkutan
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Dari alasan-alasan yang muncul seperti kekerabatan, balas budi, merasa
kenal, berteman, karena nilai nominal pemberian, dan sebagainya menunjukkan
bahwa masyarakat sebagai pemilih secara psikologis mudah terpengaruh dan
50
kehilangan obyektifitas dalam menentukan pilihan politik. Pemberian uang/barang
kepada pemilih berpengaruh secara signifikan dalam mengubah preferensi
pemilih.
Karena hal seperti ini dianggap sebagai suatu kebiasaan bahkan
membudaya, dan sebagai aktor penerima, warga masyarakat seringkali tidak
pernah tersentuh secara hukum akibat praktik politik uang ini, maka mereka tetap
mau menerima tawaran uang/barang yang diberikan oleh para caleg atau
timsesnya.
Warga
masyarakat
sebagai
pemilih
akhirnya
hanya
mempertimbangkan faktor keuntungan pribadi dan mengabaikan pertimbangan
hal-hal lain dari diri para caleg yang akan dipilih. Tentu saja ini akan berdampak
buruk terhadap kualitas proses dan hasil pemilu serta mencederai nilai-nilai
demokrasi.
C. Politik Uang di Wilayah Urban, Rural dan Transisi
Dalam kaitannya dengan dengan kategori atau tipe masing-masing desa,
dimana Desa Sutera dan Desa Pangkalan Buton masuk dalam tipe wilayah urban
(perkotaan), Desa Riam Berasap Jaya dan Desa Sedahan Jaya masuk dalam tipe
rural (pedesaan), serta Desa Pampang Harapan dan Desa Gunung Sembilan yang
masuk dalam wilayah transisi (secara geografis dekat dengan ibukota kecamatan,
namun karakteristik masyarakatnya adalah tipe masyarakat pedesaan), didapatkan
tabel-tabel sebagai berikut:
51
Tabel 11. Jumlah Sampel dan Yang Menerima Pemberian Uang/Barang
Tipe Wilayah
Urban
Rural
Transisi
Total
Jumlah Sampel
244
89
54
387
Jumlah Yang Menerima
89
33
14
136
Persentase
36,5 %
37 %
25,9 %
100 %
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Tabel 12. Pola Pemberian dan Lokasi dalam Praktik Politik Uang
Tipe
Wilayah
Urban
Rural
Transisi
Pola dan Lokasi Praktik Politik Uang
Rumah
Rumah
Rumah
Warga
Timses
Caleg
66
4
1
30
3
10
3
-
Tempat
Umum
16
1
Tempat
Kerja
2
-
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Tabel 13. Bentuk Politik Uang
Tipe
Wilayah
Urban
Rural
Transisi
Bentuk Politik Uang
Uang
Barang
82
5
20
12
7
5
Uang+Barang
2
2
1
Jasa
1
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
Tabel 14. Pengaruh Terhadap Pilihan
Tipe Wilayah
Urban
Rural
Transisi
Pengaruh Terhadap Pilihan
Ya
Tidak
68
21
20
13
14
-
Sumber: Diolah dari data penelitian KPU KKU
52
Dari tabel-tabel di atas, secara sederhana disimpulkan tidak terdapat
perbedaan mencolok yang dipengaruhi oleh tipe wilayah urban, rural dan transisi
terhadap pola, bentuk dan pengaruh pilihan. Misalkan jumlah yang menerima
pemberian uang/barang dalam praktik politik uang, persentasenya tidak terlalu
jauh berbeda.
Adapun pola dan lokasi pemberian uang/barang, sebagian besar pola
praktik politik uang yang terjadi yakni dengan pola mengunjungi rumah warga
masyarakat. Kecuali tentang bentuk pemberian dalam praktik politik uang, pada
tipe wilayah rural dan transisi, selain dominan berbentuk uang, pemberian
berbentuk barang juga lumayan terjadi. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat
bercorak rural dan transisi menganggap pemberian berbentuk barang sama praktis
dan sama pentingnya dengan pemberian yang berbentuk uang.
Selanjutnya terkait berpengaruh dan tidaknya terhadap pilihan, sebagian
besar warga masyarakat yang menjadi informan di tiga tipe wilayah tersebut
menyatakan berpengaruh. Meskipun demikian, di tipe wilayah urban dan rural
menunjukkan ada yang tidak terpengaruh.
53
BAB. IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Politik uang adalah praktik pemberian uang atau barang atau memberi
iming-iming sesuatu, kepada seseorang atau massa secara berkelompok,
untuk mendapatkan keuntungan politis yakni mempengaruhi pilihan
pemilih agar memilih calon tertentu dalam pelaksanaan pemilihan.
Tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku.
2. Dalam upaya dan proses pengembangan demokrasi, adanya kegiatan
politik uang merupakan patologi demokrasi yang sengaja dilakukan oleh
berbagai pihak demi memperoleh dukungan dan suara. Dengan semakin
massifnya politik uang ini, bahkan ada yang menganggap bahwa politik
uang dalam tiap pesta politik atau even demokrasi adalah kebiasaan yang
telah membudaya. Sering terdengar ungkapan di kalangan masyarakat
bahwa kalau “calon sudah duduk, belum tentu ingat lagi. Kalau tidak
makan duitnya sekarang, kapan lagi?” Secara sederhana dapat disimpulkan
bahwa praktik politik uang boleh jadi dianggap sebagai praktik yang
dimaklumi, apalagi ditengah budaya masyarakat yang semakin permisif,
sehingga politik uang bukanlah tabu lagi. Hal seperti ini tentu saja
mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi.
3. Meskipun tidak setiap praktik politik uang dapat memuluskan langkah
menjadi anggota legislatif terpilih, namun sedikit banyak tentu dapat
mempengaruhi
pilihan
pemilih
dengan
pertimbangan
keuntungan
54
finansial. Sehingga praktik politik uang tetap menjadi pilihan yang
menarik bagi para aktor politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu.
4. Faktor yang menganggap bahwa pemberian tersebut sudah rezeki yang
pantang ditolak, faktor kekerabatan, faktor persekawanan, memandang
momen politik sebagai kesempatan untuk mendapatkan uang/barang,
sebab jika bukan sekarang kapan lagi, karena jika sudah terpilih belum
tentu peduli dan karena faktor keperluan sehari-hari, membuat praktik
politik uang dimafhumi dan membudaya.
5. Pemberian uang/barang kepada pemilih berpengaruh secara signifikan
dalam mengubah preferensi pemilih. Alasan-alasan kekerabatan, balas
budi, merasa kenal, berteman, karena nilai nominal pemberian, dan
sebagainya, menunjukkan bahwa masyarakat sebagai pemilih secara
psikologis mudah terpengaruh dan kehilangan obyektifitas dalam
menentukan pilihan politik.
6. Karena hal seperti ini dianggap sebagai suatu kebiasaan, dan sebagai aktor
penerima, warga masyarakat seringkali tidak pernah tersentuh secara
hukum akibat praktik politik uang ini, maka mereka tetap mau menerima
tawaran uang/barang yang diberikan oleh para caleg atau timsesnya.
Warga masyarakat sebagai pemilih akhirnya hanya mempertimbangkan
faktor keuntungan pribadi dan mengabaikan pertimbangan hal-hal lain dari
diri para caleg yang akan dipilih. Tentu saja ini akan berdampak buruk
terhadap kualitas proses dan hasil pemilu serta mencederai nilai-nilai
demokrasi.
55
7. Politik uang terjadi pada Pemilihan Umum 2014 di Kabupaten Kayong
Utara dengan studi kasus di enam desa di Kecamatan Sukadana. Meskipun
hal ini tidak bisa digeneralisasi, namun dapat diasumsikan bahwa
fenomena yang sama terjadi di desa-desa lainnya di tiap kecamatan di
kabupaten ini.
B. Saran
1.
Bagi berbagai pihak baik unsur pemerintah dari tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa, kemudian pihak penyelenggara untuk melakukan
pendidikan politik secara terus menerus, bukan hanya jelang pemilu,
pilkada dan pilkades, tapi sejak sebelum pemilu kepada masyarakat,
tentang akibat atau dampak negatif dari politik uang. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kecerdasan politik masyarakat, sehingga dapat
membentuk pandangan masyarakat bahwa politik uang memiliki dampakdampak yang tidak baik. Dengan pendidikan politik yang massif,
diharapkan masyarakat dapat terbina untuk memilih secara obyektif,
dengan pertimbangan rasional berdasarkan rekam jejak, kemampuan,
kompetensi dan integritas, serta pertimbangan positif lainnya.
2.
Bagi pihak partai politik, pendidikan politik adalah salah satu fungsi
utamanya, karenanya kegiatan ini harus dilakukan, terutama bagi kaderkader partai politik yang nantinya akan direkrut sebagai calon anggota
legislatif dan yang juga berperan sebagai tim kampanye atau tim sukses,
agar dapat membina kader-kader partai politik supaya berpolitik secara
bersih, jujur dan adil.
56
3.
Kelemahan regulasi dan lemahnya penegakan regulasi memang menjadi
salah satu permasalahan mengapa politik uang tetap marak. Karena itu,
diperlukan aturan yang jelas, yang menutup celah peluang untuk
melakukan praktik politik uang, dan dengan sanksi yang tegas untuk
diberlakukan kepada semua pelaku atau aktor praktik politik uang baik itu
aktor pemberi yakni para caleg, timses dan pihak lainnya, maupun aktor
penerima
yakni
masyarakat.
Aturan
seperti
ini
memang
perlu
disosalisasikan secara lebih luas, sebelum penegakannya dilakukan secara
tegas. Ketegasan ini diperlukan, karena jelas bahwa praktik politik uang
merupakan tindakan suap yang termasuk kategori korupsi. Sehingga dapat
memberikan efek jera kepada baik pada para caleg atau kandidat dan tim
sukses sebagai pemberi maupun masyarakat sebagai penerima. Sebab
pemberi dan penerima sama salahnya dan sama-sama dapat dikenakan
sanksi hukum.
C. Rekomendasi
1. Pelaksanaan
pendidikan
politik
menjadi
salah
satu
cara
untuk
meminimalisir politik uang. Melalui pendidikan politik, diharapkan terbina
masyarakat pemilih yang cerdas, rasional dan obyektif, yang memilih
berdasarkan
pertimbangan
rekam
jejak,
kemampuan,
kompetensi,
integritas dan kapasitas pribadi yang positif lainnya. Oleh karena itu,
pendidikan
politik
harus
mendapat
dukungan
maksimal
untuk
dilaksanakan baik oleh pemerintah dari berbagai tingkatan, penyelenggara
pemilu, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan partai politik.
57
Pelaksanaan pendidikan politik yang optimal dan menyentuh secara luas
ke seluruh lapisan masyarakat ini harus juga disusun menjadi program
nasional dan daerah, tentunya dengan sokongan dana dan sumber daya,
serta dilakukan bukan hanya jelang pelaksanaan pemilu, tapi secara
berkesinambungan.
2. Program pendidikan pemilih yang sering dilakukan oleh KPU sebagai
penyelenggara pemilu harus semakin digiatkan, diperbanyak dan diperluas
jangkauannya hingga mampu menjangkau lapisan masyarakat di tingkat
desa. Program pendidikan pemilih ini sebagai bentuk diseminasi informasi
mengenai kepemiluan sekaligus upaya pencerdasan dan meningkatkan
kesadaran politik masyarakat. Oleh karenanya, program pendidikan
pemilih harus menjadi salah satu program prioritas bagi institusi
penyelenggara pemilu atau KPU secara nasional.
3. Partai Politik harus menjalankan peran dan fungsinya secara optimal dan
mendekati ideal terutama dalam fungsi rekrutmen dan seleksi politik dan
edukasi politik. Partai harus dituntut betul-betul menjalankan rekrutmen
dan seleksi kader secara benar dan berkualitas kemudian melakukan
edukasi kepada kader-kadernya tersebut sehingga tersedia kader-kader
yang terbaik, berkualitas, memiliki kompetensi, kemampuan dan integritas
untuk dicalonkan sebagai calon-calon wakil rakyat dan calon-calon
pemimpin. Sehingga mereka dalam berpolitik juga melakukan dengan
cara-cara yang baik dan elegan serta menjauhi cara-cara yang tidak etis
seperti politik uang.
58
4. Perbaikan regulasi yang mengatur tentang politik uang dan sanksinya
harus dilakukan, tentu saja dengan memuat aturan-aturan yang lebih tegas
dan mampu menutup celah-kelemahan peraturan sebelumnya, yang kerap
dimanfaatkan oleh pelaku praktik politik uang. Selanjutnya, aturan dan
sanksi yang dibuat juga harus berlaku komprehensif dan menyeluruh serta
mampu menjerat semua pihak yang terlibat, sehingga dapat memberikan
efek jera pada para pelaku praktik politik uang.
5. Perlu penguatan kelembagaan dan penguatan kapasitas terhadap institusi
pengawasan pemilu, sehingga dapat bekerja lebih optimal dalam
mengawasi dan menegakkan aturan-aturan terhadap pelanggaran pemilu.
59
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Azwar, 1988, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Jakarta.
Bungin, B., 2003, Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Indra, Ismawan, 2005, Politik Uang; Pengaruh Uang dalam Pemilu, Media
Presindo, Yogyakarta.
Indrawan, Rully dan Yaniawaty, Poppy, 2014, Metodologi Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan dan
Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung.
Nawawi, Hadari, 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial, UGM Press,
Yogyakarta.
Sanit, Arbi, 1986. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik,
dan Pembangunan, Rajawali, Jakarta.
Sukadji, Soetarlinah, 2000, Menyusun dan Mengevaluasi Laporan Penelitian,
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.
Supranto, J., 2007, Teknik Sampling, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Suryabrata, Sumadi, 2008, Metodologi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
60
Referensi Lain:
Buku Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD.
PKPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye.
Dhakidae, Daniel, 2011, Melawan Politik Kartel dalam Demokrasi di Indonesia,
Makalah Ilmiah, Fisipol UGM, Yogyakarta.
Kumorotomo, Wahyudi, 2009, Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi,
Makalah Ilmiah, UNDIP, Semarang.
Website id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang
61
KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN KAYONG UTARA
KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN KAYONG UTARA
NOMOR: 3 /Kpts/KPU-Kab-019.964828/2015
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM RISET PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 DI LINGKUNGAN
KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA
KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA,
Menimbang : a. bahwa
dalam rangka penyusunan kebijakan
rumusan
strategi
peningkatan
partisipasi
masyarakat yang lebih efektif dalam pemilihan
umum, maka dilakukan penelitian tentang peran
serta masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan
umum Nasional Tahun 2014;
b. bahwa
berdasarkan
ketentuan
sebagaimana
dimaksud
pada huruf a, dipandang perlu
melakukan pembentukan
tim riset partisipasi
masyarakat dalam Pemilihan Umum Tahun 2014
di lingkungan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Kayong Utara yang pelaksanaannya ditetapkan
dengan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Kayong Utara.
62
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Kayong Utara di
Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4682);
2. Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4843);
3. Undang-Undang
tentang
Nomor
Keterbukaan
14
Tahun
Informasi
2008
Publik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4846);
4. Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
2009
tentang Layanan Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
14
Tahun
2008
tentang
Keterbukaan
Informasi Publik (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 2010 Nomor 99, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor
5149);
6. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 05
Tahun
2008
tentang
Tata
Kerja
Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum
Provinsi,
dan
Komisi
Pemilihan
Umum
Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan
63
Komisi Pemilihan Umum Nomor Umum Nomor
01 Tahun 2010;
7. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun
2010
tentang
Standar
Layanan
Informasi
Publik;
8. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun
2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
Informasi Publik;
9. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun
2014 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
Informasi Pemilihan Umum;
10. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 06
Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
Tata
Kerja
Pemilihan
Sekretariat
Umum,
Jenderal
Sekretariat
Komisi
Komisi
Pemilihan Umum Provinsi, dan Sekretariat
Komisi
Pemilihan
Umum
Kabupaten/Kota
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun
2008;
11. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23
Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum;
12. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01
Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengelolaan
Dan
Pelayanan
Informasi
Publik
di
Lingkungan Komisi Pemilihan Umum.
Memerhatikan :
1. Surat Ketua Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor
155/KPU/IV/2015 perihal Pedoman Riset
tentang Partisipasi dalam Pemilu.
64
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN
KOMISI
KABUPATEN
KAYONG
PEMBENTUKAN
PEMILIHAN
UTARA
TIM
RISET
UMUM
TENTANG
PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN
2014
DI
LINGKUNGAN
KOMISI
PEMILIHAN
UMUM KABUPATEN KAYONG UTARA.
KESATU
:
Menetapkan personil tim riset di lingkungan
Komisi
Pemilihan
Umum
Kabupaten
Kayong
Utara sebagaimana terlampir dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dalam rangkaian Surat
Keputusan ini.
KEDUA
:
Menetapkan
tugas
tim
riset
partisipasi
masyarakat dalam pemilihan umum Tahun 2014
sebagai berikut:
1. Melakukan koordinasi terkait tema riset yang
akan diambil;
2. Merumuskan
instrumen
masalah,
penelitian,
menyiapkan
menyusun
jadwal
penelitian;
3. Merumuskan
finalisasi
instrumen,
data
responden dan metodologi penelitian;
4. Melaksanakan
penelitian
di
lapangan,
wawancara dan dokumentasi;
5. Mengolah informasi yang telah diperoleh;
6. Menulis laporan hasil penelitian;
7. Mencetak,
menyampaikan
mempublikasikan,
laporan
hasil
dan
penelitian
kepada KPU Provinsi Kalimantan Barat.
65
KETIGA
:
Segala biaya akibat dikeluarkannya keputusan
ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Kayong Utara Tahun Anggaran 2015 Nomor
076.01.2.670337/2012
tanggal
05
Desember
2015.
KEEMPAT :
Keputusan ini berlaku selama 3 (tiga) bulan
kegiatan pada bulan Mei sampai dengan bulan
Juli Tahun 2015.
KELIMA
:
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Sukadana
pada tanggal 8 Mei 2015
KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN KAYONG UTARA,
DEDY EFENDY
66
Lampiran : Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Kayong Utara
Nomor:3/Kpts/KPU-Kab019.964828/TAHUN 2015
Tanggal: 8 Mei 2015
NAMA-NAMA PERSONIL TIM RISET PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014
NO.
NAMA
JABATAN
KEDUDUKAN
DALAM TIM
1.
DEDY EFENDY, S.H.
2.
YA’ MUHAMAD
KETUA KPU
PENGARAH
SEKRETARIS
PENANGGUNG
IKHSAN, S.H.
3.
RUDI HANDOKO,
S.Sos.
4.
F.M. NAINGGOLAN,
S.E.
5.
BURHANUDIN, S.Pd.I.
JAWAB
ANGGOTA
KETUA
KPU
KASUBBAG
SEKRETARIS
TPP
ANGGOTA
ANGGOTA
KPU
6.
BUJANG ASNAN, S.E.
ANGGOTA
ANGGOTA
KPU
7.
EFFIAN NOER, S.Ag.
ANGGOTA
ANGGOTA
KPU
8.
KARNAEN
KASUBBAG
ANGGOTA
UMUM,
KEUANGAN &
LOGISTIK
67
9.
SYARIFAH ALIFIAH,
S.IP
STAF SUBBAG
ANGGOTA
TPP
Ditetapkan di Sukadana
pada tanggal 8 Mei 2015
KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM
KABUPATEN KAYONG UTARA,
DEDY EFENDY
68
69
70
DOKUMENTASI WAWANCARA
71
72
73
74
75
DOKUMENTASI RAPAT PENELITIAN POLITIK UANG
PEMILU TAHUN 2014 DI KABUPATEN KAYONG UTARA
76
77
Download