Isi JVPV9N1JUNI2015.cdr - E

advertisement
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis Berbasis Molekuler
Mollecular Based Technique Application for Schistosomiasis Diagnosis
Anis Nurwidayati*
Balai Litbang P2B2 Donggala, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Jl. Masitudju No.58 Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia
INFO ARTIKEL
Article History:
Received: 7 Apr. 2015
Revised: 6 Jun. 2015
Accepted: 19 Jun 2015
Keywords:
Schistosomiasis,
DNA,
PCR,
LAMP,
Snails
Kata Kunci:
Schistosomiasis,
DNA,
PCR,
LAMP,
Keong
ABSTRACT/ABSTRAK
Schistosomiasis ranks second only to malaria in a public health problem in the world.
Schistosomiasis in Indonesia is endemic in Central Sulawesi, which is in Lindu, Napu and
Bada Highland. The disease is caused by trematodes worm, Schistosoma spp and requires
freshwater snails as the intermediate host. The World Health Organization (WHO)
recommends schistosomiasis research focus is the development and evaluation of new
strategies and tools for disease control. This paper aims to describe several molecular
techniques to detect schistosomiasis in human or intermediate snails. This paper
arranged by compiled based search journals and scientific articles related molecular
techniques for detecting schistosomiasis using PCR and LAMP. Molecular based
techniques for schistosomiasis diagnostic have been developed in several countries, such
as pcr and lamp. Several studies have compared the techniques of schistosomiasis
diagnosis in human by polymerase chain reaction (PCR) with the technique of loopmediated isothermal amplification (LAMP). Several studies show the results of pcr and
lamp applications to detect dna schistosoma on snails. Based on the results of various
studies, it is known applications, advantages and disadvantages of each - each technique.
Schistosomiasis menempati urutan kedua setelah malaria dalam masalah kesehatan
masyarakat di dunia. Schistosomiasis di Indonesia ditemukan endemis di Sulawesi
Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Penyakit ini disebabkan oleh
cacing Trematoda, Schistosoma spp dan membutuhkan keong air tawar sebagai hospes
perantaranya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan fokus penelitian
schistosomiasis adalah pengembangan dan evaluasi strategi dan alat baru untuk
pengendalian penyakit. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa teknik
molekuler untuk mendeteksi schistosomiasis baik pada manusia maupun keong
perantaranya. Tulisan disusun berdasarkan penelusuran jurnal dan artikel ilmiah
terkait teknik molekuler PCR dan LAMP untuk mendeteksi schistosomiasis. Teknik
diagnosis schistosomiasis berdasarkan molekuler telah banyak dikembangkan di
beberapa negara, diantaranya adalah PCR dan LAMP. Beberapa penelitian
membandingkan teknik diagnosis schistosomiasis dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR) dengan teknik Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP). Beberapa studi
menunjukkan hasil dari aplikasi teknik PCR dan LAMP untuk mendeteksi DNA
Schistosoma pada keong. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian tersebut, dapat
diketahui aplikasi, kelebihan dan kekurangan dari masing – masing teknik.
© 2015 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved
*Alamat Korespondensi : email : [email protected]
29
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
PENDAHULUAN
Schistosomiasis yang juga disebut
bilharziasis menempati urutan kedua setelah
malaria dalam masalah kesehatan masyarakat
di dunia.1 Schistosomiasis endemis di 74
negara berkembang terutama di daerah
pedesaan. Saat ini diperkirakan terdapat 650
juta orang tinggal di daerah endemis.
Schistosomiasis di Asia ditemukan di Asia
Timur (China dan Jepang) dan di Asia
Tenggara (Philipina, Indonesia, Vietnam, Laos,
Thailand, Kamboja). Schistosomiasis di Asia
disebabkan oleh cacing Schistosoma
japonicum yang hidup di vena porta hepatika,
sehingga penyakit ini dapat menyebabkan
pembesaran limfa maupun hepar
penderitanya.2
Schistosomiasis atau penyakit demam
keong di Indonesia diketahui terdapat di
Dataran Tinggi Lindu, Dataran Tinggi Napu
dan Bada, Sulawesi Tengah. Kasus penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Muller dan Tesch
(1937). Hospes perantara schistosomiasis
ditemukan tahun 1971 dan diidentifikasi
sebagai Oncomelania hupensis lindoensis.
Proporsi kasus schistosomiasis di Lindu
tahun 2008 – 2012 yaitu 1,4%, 2,32%, 3,21%,
2,67%, 0,76%. Proporsi kasus schistosomiasis
di Napu tahun 2008 – 2012 yaitu 2,44%, 3,8%,
4,78%, 2,15%, 1,44%.3 Fluktuasi kasus terjadi
karena banyaknya faktor dalam penularan
schistosomiasis, di antaranya adalah adanya
hospes perantara schistosomiasis yaitu keong
O.h lindoensis. Infection rate pada keong tahun
2012 adalah sebesar 1,2%.
Badan Kesehatan Dunia (WHO)
merekomendasikan fokus penelitian
schistosomiasis adalah pengembangan dan
evaluasi strategi dan alat baru untuk
pengendalian penyakit. Teknik diagnosis
schistosomiasis berdasarkan molekuler telah
banyak dikembangkan di beberapa negara.
Teknik yang sudah cukup dikenal adalah
Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
dikembangkan sekitar ahun 1985. Teknik ini
menggunakan beberapa tingkatan suhu dan
dengan bantuan enzim Taq Polymerase untuk
mengamplifikasi / memperbanyak DNA
(Deoxy ribose nucleic acid). Deteksi urutan
DNA spesifik menggunakan PCR
menunjukkan hasil yang bagus dalam
diagnosis patogen berbagai penyakit infeksi.
30
Pe n e l i t i a n Ab a t h e t a l t a h u n 2 0 0 6
menunjukkan bahwa PCR cukup sensitif dan
spesifik mendeteksi S.mansoni, dan dapat juga
diaplikasikan untuk mendeteksi infeksi pada
keong, memantau lokasi penularan serta
infeksi pada manusia.4
Teknik molekuler lain yang mulai
berkembang sekitar tahun 2000 adalah LoopMediated Isothermal Amplification (LAMP).
Berbeda dengan PCR konvensional yang
menggunakan beberapa tingkatan suhu,
LAMP menggunakan suhu tertentu (60-65ºC)
yang konstan untuk amplifikasi DNA. LAMP
dapat digunakan sebagai alternatif untuk
mendeteksi penyakit tertentu. LAMP dapat
dikombinasikan dengan tahap reverse
transcription sehingga memungkinkan untuk
5
mendeteksi RNA (Ribose Nucleic Acid).
Beberapa penelitian membandingkan
teknik diagnosis schistosomiasis dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR)
konvensional dengan teknik Loop-Mediated
Isothermal Amplification (LAMP).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat
diketahui kelebihan dan kekurangan dari
masing – masing teknik.
Perkembangan cacing Schistosoma dalam
tubuh keong dipengaruhi oleh jumlah parasit
dan genetik keong perantaranya, sehingga
pengendalian keong berbasis genetik
memiliki peran yang penting dalam
pengendalian schistosomiasis. Pengendalian
keong berbasis genetik bertujuan untuk
mengubah strain keong yang rentan infeksi
menjadi strain yang resisten terhadap infeksi
Schistosomiasis. Pengendalian keong
diketahui merupakan salah satu upaya paling
efektif dan cepat dalam mengurangi
penularan schistosomiasis. Penelitian Lotfy
tahun 2005 menggunakan PCR dalam
mendeteksi keong Biomphalaria glabrata di
Mesir. Hasilnya menunjukkan bahwa spesies
keong tersebut tidak ditemukan di Mesir.
Adapaun keong yang ditemukan adalah
Biomphalaria alexandrina, dan diketahui tidak
6,7
terjadi persilangan dengan B.glabrata.
Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan
aplikasi teknik molekuler PCR dan LAMP
untuk mendeteksi schistosomiasis, baik pada
manusia maupun keong perantaranya yang
telah diteliti di beberapa negara. Informasi
yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
masukan bagi perkembangan penelitian
schistosomiasis di Indonesia.
METODE
M e to d e p e n u l i s a n i n i m e n g g u n a ka n
penelusuran literatur dengan menelaah
artikel dan jurnal ilmiah terkait penelitian
diagnosis schistosomiasis berbasis molekuler,
terutama PCR dan LAMP.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Teknik LAMP
Loop-Mediated Isothermal Amplification
(LAMP) adalah teknik aplifikasi asam nukleat
isotermal menggunakan suhu konstan dan
tidak memerlukan mesin thermo cycler. Pada
teknik ini sekuen target diampplifikasi /
diperbanyak pada suhu konstan antara 60 –
65°C. Teknik ini menggunakan dua atau tiga
pasang primer dan enzim polimerase yang
memiliki fungsi pemindahan untai DNA
sebagai tambahan fungsi replikasi. Teknik
LAMP khas dengan empat primer yang
berbeda digunakan untuk mengidentifikasi
enam area berbeda pada gen target, sehingga
meningkatkan spesifisitasnya. Sepasang
p r i m e r ya n g d i s e b u t “ l o o p p r i m e r ”
ditambahkan untuk meningkatkan kecepatan
reaksi. Lama waktu proses LAMP adalah
sekitar 30 menit sampai 1 jam. Penambahan
primer tersebut juga dapat meningkatkan
jumlah DNA yang diamplifikasi lebih tinggi
daripada amplifikasi dengan PCR.8
Deteksi produk amplifikasi teknik LAMP
dapat ditentukan dengan fotometri atau
turbiditas karena adanya peningkatan jumlah
endapan magnesium pyrophosphate sebagai
produk sampingan LAMP.9,10 Hal tersebut
memudahkan pembacaan hasil dengan mata
langsung, khususnya untuk reaksi dengan
volume besar. Penambahan reagen pewarna /
dye seperti SYBR green dapat memunculkan
perubahan warna pada larutan sampel,
sehingga memudahkan pembacaan hasil
tanpa membutuhkan alat yang mahal. Molekul
reagen pewarna akan berinterkalasi / secara
langsung menempel pada DNA, sehingga
dapat dikorelasikan dengan jumlah copy DNA
11
yang dihasilkan.
Kelebihan Teknik LAMP.
LAMP adalah teknik amplifikasi DNA yang
relatif baru dan cukup sederhana, mudah
dibaca dan lebih hemat biaya, sehingga teknik
ini memiliki banyak kelebihan. Proses LAMP
memakan waktu yang relatif lebih singkat
dibanding PCR, yaitu sekitar 1 jam.8 LAMP
dapat digunakan sebagai alat untuk survei
skrining di lapangan atau di fasilitas
kesehatan di lapangan, karena LAMP lebih
bagus digunakan untuk diagnosis. LAMP
menggunakan suhu yang konstan yang tidak
memerlukan mesin thermo cycler, tetapi bisa
dilakukan dengan waterbath atau heating
block sehingga bisa lebih murah. LAMP dapat
juga mendeteksi secara real time seperti PCR
kuantitatif. Hasil amplifikasi LAMP lebih
efisien dan sensitif, serta mudah dibaca
dengan adanya perubahan warna yang
ditimbulkan oleh reagen pewarna SYBR
12
Green I. Beberapa studi menunjukkan LAMP
berhasil mendeteksi patogen pada sampel
yang diproses secara sederhana, seperti
sampel darah yang dipanaskan atau material
biologis lain.13
Keterbatasan Teknik LAMP
Teknik LAMP disebutkan kurang sensitif
daripada PCR untuk sampel yang kompleks,
karena perbedaan enzim polimerase yang
digunakan (pada LAMP digunakan Bst DNA
polymerase, dan Taq polymerase pada PCR).
Hal tersebut menyebabkan LAMP tidak dapat
digunakan untuk aplikasi molekuler yang
kompleks, seperti cloning, pembuatan
rekombinan, dan aplikasi lain yang dapat
12
dilakukan dengan PCR. LAMP menggunakan
4 atau 6 pasang primer untuk mendeteksi 6
atau 8 target sekuen gen, menyebabkan
penyusunan primer menjadi cukup rumit.12,14
Penelitian Diagnosis Schistosomiasis
Menggunakan LAMP
Pe n e l i t i a n Wa n g e t a l t a h u n 2 0 1 1
membandingkan aplikasi teknik PCR dan
LAMP dalam mendiagnosis schistosomiasis.
Pada penelitian tersebut digunakan gen target
yang sama, yaitu SjR2 (301 bp). Hasil
penelitian menunjukkan kemampuan yang
berbeda dari setiap teknik untuk mendeteksi
plasmid rekombinan SjR2. LAMP dapat
mendeteksi plasmid pada konsentrasi 10-4
ng, sedangkan PCR dapat mendeteksi plasmid
31
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
dengan konsentrasi lebih tinggi, yaitu 10-2 ng.
Dengan demikian, LAMP lebih sensitif dalam
mendeteksi patogen, sehingga lebih sesuai
digunakan untuk skrining awal
schistosomiasis, atau pada daerah dengan
tingkat endemisitas yang rendah. Akan tetapi,
LAMP kurang sesuai untuk mendeteksi
parasit schistosomiasis setelah program
pengobatan, karena sensitivitasnya terlalu
tinggi, yaitu semua sampel serum terdeteksi
positif meskipun tidak terdapat telur cacing
Schistosoma lagi.15
Penelitian untuk mendeteksi infeksi
S.japonicum pada keong Oncomelania
hupensis menggunakan PCR dan LAMP juga
telah dilakukan. Penelitian menggunakan gen
28S rDNA S.japonicum (405 bp) sebagai target
amplifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kedua teknik tersebut dapat
mendeteksi gen 28S rDNA dari satu ekor
mirasidium. Penelitian tersebut juga
menyatakan bahwa PCR dapat mendeteksi
keberadaan S.japonicum tahap serkaria
bahkan pada sporocyst awal pada keong yang
diambil dari daerah endemis. Penggunaan
PCR dalam skala besar di lapangan kurang
praktis dan lebih mahal karena perlu mesin
thermal cycler. Teknik LAMP digunakan untuk
mendeteksi infeksi S.japonicum pada keong
dari lapangan. Hasilnya menunjukkan bahwa
LAMP dapat mendeteksi gen 28S rDNA
S.japonicum pada keong yang terinfeksi.16
Pengertian teknik PCR
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan teknik amplifikasi DNA dengan
target gen tertentu. PCR menggunakan suhu
yang bertingkat dan bantuan enzim Taq
polymerase untuk mengamplifikasi DNA.
Proses PCR menggunakan satu pasang primer
untuk amplifikasi DNA target. PCR meliputi
lima tahap dengan suhu dan waktu yang
berbeda – beda. Tahap pertama adalah predenaturasi, atau pemisahan rantai DNA awal
dengan enzim Taq polymerase pada suhu 94°C.
Tahap selanjutnya adalah denaturasi pada
suhu 94°C dengan waktu yang lebih lama.
Selanjutnya adalah tahap yang cukup kritis,
menentukan berhasil tidaknya PCR, yaitu
annealing. Annealing adalah tahap
penempelan primer pada gen target.
Annealing sangat tergantung pada suhu yang
32
optimum (55-60°C, dan komposisi primer),
apabila suhu terlalu tinggi, primer tidak dapat
menempel pada gen target, jika suhu terlalu
rendah maka primer akan menempel pada
gen bukan target. Tahap selanjutnya adalah
elongasi, yaitu perpanjangan rantai DNA yang
berlangsung pada suhu 72°C. Tahap kelima
adalah extention yaitu pemanjangan total
DNA, berlangsung pada suhu 72°C dengan
waktu yang lebih lama dari tahap elongasi.
Produk PCR tidak dapat dilihat secara
langsung, melainkan harus dipisahkan
dengan alat elektroforesis. Penambahan
reagen pewarna seperti EtBR atau SYBR Green
akan membantu visualisasi gen target dengan
sinar UV dengan panjang gelombang 254 atau
360 nm.17
Kelebihan teknik PCR
PCR digunakan secara luas untuk
diagnosis berbasis molekuler, misalnya
deteksi virus, bakteri, protozoa, dan cacing
parasit. PCR juga dapat digunakan sebagai
alternatif gold standard apabila parasit yang
hidup tidak ditemukan dalam tubuh.12 DNA
hospes dan parasit memiliki urutan yang
berbeda, sehingga PCR dapat mendeteksi
keberadaan parasit dalam tubuh secara
spesifik. PCR dapat mendeteksi DNA parasit
dalam sampel yang berjumlah sedikit. PCR
dapat membedakan spesies parasit tunggal
dengan adanya primer spesifik untuk DNA
target. Primer yang digunakan di PCR relatif
lebih sederhana dibandingkan dengan LAMP,
karena hanya satu pasang primer forward dan
reverse untuk menempel pada gen target.17
Kekurangan teknik PCR
Pemeriksaan dengan PCR memiliki
kekurangan diantaranya adalah proses PCR
harus diawali dengan preparasi sampel yang
cukup rumit dan reagen yang mahal. Proses
PCR memerlukan mesin pengatur suhu
(thermal cycler) dan waktu relatif lebih lama
dari LAMP, yaitu sekitar 3 – 4 jam untuk 35
siklus. Hasil PCR tidak dapat dilihat secara
langsung, harus diproses lagi dengan
elektroforesis dan dilihat dengan alat gel
documentation. Pemeriksaan dengan PCR
tidak dapat membedakan apakah parasit
12,17
dalam tubuh masih hidup atau sudah mati.
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
Penelitian menggunakan PCR dalam
mendeteksi schistosomiasis
Driscoll tahun 2005 melakukan
penelitian menggunakan PCR untuk
mendeteksi serkaria S.japonicum, dengan gen
target SjR2 retrotransposon. Penelitian
tersebut berhasil mendeteksi satu ekor
serkaria S.japonicum dari keong O.hupensis
dengan PCR. Hasil penelitian tersebut
merekomendasikan bahwa PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi serkaria pada
sampel air dari daerah endemis
schistosomiasis. Dengan demikian, teknik ini
d a p a t d i g u n a ka n u n t u k m e n d u ku n g
penentuan risiko lingkungan, dan
mengidentifikasi tingkat risiko individu. 18,19
Penelitian untuk mengidentifikasi spesies
keong dan mendeteksi infeksi schistosomiasis
pada keong perantara sudah banyak
dilakukan di beberapa negara. PCR digunakan
untuk mengidentifikasi beberapa spesies
keong Biomphalaria dari wilayah Amazon
yang sulit dibedakan secara morfologi. Hasil
PCR menunjukkan adanya lima spesies keong
yang berbeda yaitu B. straminea, B. peregrina,
20
B. kuhniana, B. intermedia dan B. amazonia.
Penelitian oleh Chen et al. Tahun 2006
dalam Hamed (2010) menunjukkan bahwa
PCR sensitif dan spesifik dalam mendeteksi
infeksi S.japonicum pada O.hupensis dengan
gen 18S-rRNA S.japonicum (469 bp) sebagai
gen target. Pemeriksaan PCR menunjukkan
pita DNA gen 18S-rRNA S.japonicum pada
pemeriksaan keong O.hupensis yang
21
terinfeksi. Penelitian di Brazil juga
menunjukkan PCR dapat mendeteksi infeksi
S.mansoni pada keong Biomphalaria
menggunakan primer spesifik untuk gen
target Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2)
rDNA S.mansoni. 22
Berdasarkan beberapa penelitian yang
menggunakan PCR terhadap keong perantara
schistosomiasis, terlihat adanya variasi
genetik antara keong yang suseptibel dan
resisten terhadap infeksi schistosomiasis.23
Delapan gen diekspresikan secara berbeda
pada keong suseptibel dan resisten. Gen
tersebut diketahui berperan dalam proses
sitotoksik dalam melawan parasit. Pada strain
keong yang resisten, gen – gen penyandi
protein yang terlibat dalam sistem pengaturan
tubuh seperti ferritin, serrin-protease
diekspresikan lebih tinggi dibandingkan
strain yang suseptibel. 2 4 Para peneliti
menyatakan bahwa keberadaan nitrogen
oxide (NO) dan hidrogen peroksidase (H2O2)
dalam tubuh keong B. glabrata berperan
dalam hemocyte-mediated toxicity melawan S.
mansoni.25
KESIMPULAN
Teknik molekuler untuk mendeteksi
schistosomiasis pada manusia dan keong
dengan PCR dan LAMP memiliki kelebihan
dan kekurangan masing – masing. Pemilihan
teknik dapat didasarkan pada tujuan yang
akan dicapai, ketersediaan alat, dan alokasi
anggaran.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian dan
pengembangan terkait teknik molekuler
untuk diagnosis schistosomiasis yang dapat
diaplikasikan di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Mitra
Bestari dan reviewer Jurnal Vektor Penyakit
a t a s s a ra n ya n g m e m b a n g u n u n t u k
penyempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
WHO. Schistosomiasis Fact Sheet. (2010).
http://www.who.int; disitasi 11 Oktober
2010; 20.00.
Pinardi, Hadidjaja, Schistosomiasis di
Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. (1985)
hal: 12-12.
Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah.
Prevalensi Schistosomiasis di Sulawesi
Tengah. (2012).
Abath, F.G., A.L. Gomes, F.L. Melo, C.S. Barbosa
and R.P. Werkhuser. Molecular Approaches for
the detection of Schistosoma mansoni:
Possible applications in the detection of snail
infection, monitoring of transmission sites,
and diagnosis of human infection. Mem. Inst.
Oswaldo Cruz. 2006 (101): 145-148. diakses
pada: 20 Maret 2015.
Notomi T, Okayama H, Masubuchi, Yonekawa
T, Watanabe K, Amino N, Hase T. Loop-
33
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
34
Mediated Isothermal amplification of DNA.
Nucleic Acids Res. 2000. 28 (12): E63.
doi:10.1093/nar/28.12.e63.PMC 102748.
PMID 10871386. diakses pada: 20 Maret
2015.
Da Silva D, S. Sobral-Hamaguchi, R.G.M. Spada,
A.Z. Abdel Hamid and N.R.B. Zuim et al.,
Biomphalaria tenagophila: Genetic variability
between intermediate snail hosts susceptible
and resistant to Schistosoma mansoni
infection. Parasite. 2004 (11): 35-42. diakses
pada: 20 Maret 2015.
Lotfy, W.M., R.J. DeJong, B.S. Black and E.S.
Loker. Spesific identification of Egyptian
Biomphalaria species and possible hybrids
using the polymerase chain reaction r and
mitochondrbased on nuclear and
mitochondrial loci. Mol. Cell Prob. 2005 (19):
21-25. diakses pada: 20 Maret 2015.
Nagamine K, Hase T, Notomi T. Accelerated
reaction by loop-mediated isothermal
amplification using loop primers. Mol. Cell
Probes. 2002. 16 (3): 223-229. doi:
10.1006/mcpr.2002.0415. PMID 12144774.
diakses pada: 20 Maret 2015.
Mori Y, Nagamine K, Tomita N, Notomi T.
Detection of loop-mediated isothermal
amplification reaction by turbidity derived
from magnesium pyrophosphate formation.
Biochem. Biphys. Res. Commun. 2001. 289
(1): 150-154. doi:10.1006/bbrc.2001.5921.
PMID 11708792. diakses pada: 20 Maret
2015.
Mori Y, Kitao M, Tomita N, Notomi T. Real-time
turbidimetry of LAMP reaction for quantifying
template DNA. J. Biochem. Biophys. Methods.
2 0 0 4 . 5 9 ( 2 ) : 1 4 5 - 1 5 7 .
doi:10.1016/j.jbbm.2003.12.005. PMID
15163526. diakses pada: 20 Maret 2015.
Tomita N, Mori Y, Kanda H, Notomi T. Loopmediated isothemal amplification (LAMP) of
gene sequences and simple visual detection of
products. Nat. Protoc. 2008. 3 (5): 877-882.
doi:10.1038/nprot.2008.57. PMID 18451795.
diakses pada: 20 Maret 2015.
Parida M, Santosh S, Dash P.K, Rao P.V.L, Morita
K. Loop mediated isothermal amplification
(LAMP): a new generation of innovative gene
amplification technique; perspectives in
clinical diagnosis of infectious diseases. Rev.
Med. Virol. 2008; 18: 407-421.
w w w. i n t e r s c i e n c e . w i l e y. c o m .
doi:10.1002/rmv.593 diakses pada: 20 Maret
2015.
Curtis KA, Rudolph DL, Owen SM. Rapid
detection of HIV-1 by reverse-transcription,
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
loop-mediated isothermal amplification (RTLAMP). J. Virol. Methods. 2008. 151 (2): 264270.doi: 10.1016.j.jviromet.2008.04.011.
PMID 18524393. diakses pada: 20 Maret
2015.
Torres C, Vitalis E A, Baker BR, Gardner SN, et
al. LAVA: an open-source approach to
designing LAMP (loop-mediated isothermal
amplification) DNA signatures. 2011. BMC
Bioinformatics. 2011. 12: 240.
doi:10.1186/1471-2105-12-240. PMC
3213686. PMID 21679460.
Wang C, Chen L, Yin X, Hua W, Hou M, et al.
Application of DNA-based diagnosis in
detection of schistosomal DNA in early
infection and after drug treatment. Parasites &
Ve c t o r s . 2 0 1 1 , 4 : 1 6 4 .
www.parasitesandvectors.com/content/4/1
/164-173. doi: 10.1186/1756-3305-4-164.
diakses pada: 20 Maret 2015.
Kumagai T, Shimogawara R.F, Ohmae H, Wang
T.P, et al. Detection of early and sigle infection
of Schistosoma japonicum in the intermediate
host snail, Oncomelania hupensis, by PCR and
Loop-mediated isothermal amplification
(LAMP) Assay. Am.J.Trop.Med.Hyg. 2010.
83(3): 542-548. doi: 10.4269/ajtmh.2010.100016. diakses pada: 20 Maret 2015.
Sudjadi. Bioteknologi Kesehatan. Kanisius.
Yogyakarta. 2008: 131-135.
Driscoll J, Kyle J.L, and Remais J. Development
a novel assay capable of detecting a single
Schistosoma japonicum cercaria recovered
from Oncomelania hupensis. Parsitology. 2005.
1 3 1 :
4 9 7 - 5 0 0 .
d o i :
10.1017/S0031182005007961. diakses
pada: 19 Maret 2015.
Worrell C, Xiao N, Vidal J.E, Chen L, et al,. Field
Detection of Schistosoma japonicum cercariae
in environmental water samples by
quantitative PCR. Applied and Environmental
Microbiology.2011. 11: 2192-2195. http:
aem.asm.org. doi: 10.1128/AEM/01561-10.
diakses pada: 19 Maret 2015.
Velasquez, L.E, R.L. Caldeira, V. Estrada and O.S
Carvalho. Morphological and polymerase
chain reaction-restriction fragment lenght
polymorphism characterization of
Biomphalaria kuhniana and Biomphalaia
amazonia from Colombia. Mem. Inst. Oswaldo
Cruz. 2002. 97: 997-1004. diakses pada: 19
Maret 2015.
Hamed, M.A. Strategic Control of Intermediate
Host. Asian J. Epidemiol. 2010. 3 (3): 123-140.
Diakses pada: 19 Maret 2015.
Janotti-Passos, L.K., K.G Magalhaes, O.S.
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
Carvalho and T.H Vidigal. Multiplex PCR for
both identification of Brazilian Biomphalaria
species (Gastropoda: Planorbidae) and
diagnosis of infection by Schistosoma mansoni
(Trematoda: Schistosomatidae). J. Parasitol.
2006. 85: 253-258. diakses pada: 19 Maret
2015.
23. Abdel-Hamid, Z.A., S.M. Rawi and A.F Arafa.
Identification of genetic marker associated
with the resistance to Schistosoma mansoni:
Possible application in the detection of snail
infection, monitoring of transmission sites,
and diagnosis of human infection. Mem. Inst.
Oswaldo Cruz. 2006. 101: 145-148. diakses
pada: 19 Maret 2015.
24. Lockyer A.E., J. Sprinks, L.R. Noble, D.
Rollinson and C.S. Jones. Identification of
genes involved in interactions between
Biomphalaria glabrata and Schistosoma
mansoni by suppression subtractive
hybridization. Mol. Biochem. Parasitol. 2007.
151: 18-27. diakses pada: 19 Maret 2015.
25. Hahn, U.K., R.C. Bender, J.K. Brooks and C.J.
Bayne. Involvement of nitric oxide in killing of
S ch i s to s o m a m a n s o n i s p o ro c ys t s by
hemocytes from resistant Biomphalaria
glabrata. J. Parasitol. 2001. 87: 778-785.
diakses pada: 19 Maret 2015.
35
Download