II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sumberdaya Air Air adalah semua air yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah. Air dalam pengertian ini termasuk air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang dimanfaatkan di darat. Sedangkan pengertian sumberdaya air adalah air dan semua potensi yang terdapat pada air, sumber air, termasuk sarana dan prasarana pengairan yang dapat dimanfaatkan, namun tidak termasuk kekayaan hewani yang ada di dalamnya (Sunaryo, 2004). Menurut Middleton (2008) dalam Sunaryo (2004) air merupakan elemen yang paling melimpah di atas bumi, yang meliputi 70 persen permukaannya dan berjumlah kira-kira 1.4 ribu juta kilometer kubik. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003 persen. Sebagian besar air, kira-kira 97 persen, ada dalam samudera, laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi. 2.2 Manfaat Sumberdaya Air Air merupakan unsur utama bagi makhluk hidup di planet ini. Manusia mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air ia akan mati dalam beberapa hari saja. Air tidak hanya berfungsi untuk kehidupan saja namun juga untuk keseimbangan ekosistem. Beberapa karakteristik dasar dari sumberdaya air dinyatakan antara lain oleh aliran yang dapat mencakup beberapa wilayah administratif sehingga air sering kali disebut sebagai sumberdaya dinamis yang mengalir (dynamic flowing resource). Selain itu, air pun dimanfaatkan oleh berbagai sektor, tidak hanya untuk keperluan domestik seperti minum dan mencuci, namun juga untuk usaha di bidang pertanian, industri, pembangkitan 7 daya listrik, peternakan hewan, serta transportasi. Oleh karena sifat air yang selalu mengalir, maka dengan sendirinya ada keterkaitan yang sangat erat antara kuantitas dan kualitas, hulu dengan hilir, in-stream dengan off-stream, air permukaan dengan air bawah tanah. Air memerlukan sifat kelanggengan ketika dipergunakan atau dimanfaatkan baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang (Sunaryo, 2004). 2.3 Pengelolaan Sumberdaya Air Menurut Sunaryo (2004) berbagai persoalan tentang sumberdaya air yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya menyadarkan semua pihak bahwa persoalan air perlu dilakukan dengan tindakan yang tepat sehingga menghasilkan solusi yang optimal. Diperlukan pengelolaan sumberdaya air terpadu, menyeluruh dan berwawasan lingkungan agar sumberdaya air dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air. Adapun visi dan misi pengelolaan sumberdaya air adalah mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air bagi kesejahteraan seluruh rakyat dan konservasi sumberdaya air yang adil untuk berbagai kebutuhan masyarakat. Salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya air adalah mendukung pembangunan regional dan nasional yang berkelanjutan dengan mewujudkan keberlanjutan sumberdaya air (Sunaryo, 2004). 2.4 Air Sungai Sebagai Common Property Resources Air sungai merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan bersifat common property. Air sungai dapat dikatakan sumberdaya yang 8 memiliki sifat common property karena setiap orang dapat memanfaatkannya, namun yang memanfaatkannya tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas atau prospek air sungai tersebut sehingga tidak ada kendali untuk membuat keputusan investasi dan efisiensi alokasi, akibatnya terjadi eksternalitas pada air sungai (Putri, 2008). 2.5 Pengertian Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Mikrohidro adalah istilah yang digunakan untuk instalasi pembangkit listrik yang mengunakan energi air atau yang biasa dikenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). PLTMH merupakan pembangkit listrik kecil yang menggunakan tenaga air di bawah kapasitas 100 kW yang dapat berasal dari saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjun (head) dan debit air. Kondisi air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya (resources) penghasil listrik adalah memiliki kapasitas aliran dan ketinggian tertentu dan instalasi. Semakin besar kapasitas aliran maupun ketinggiannya dari instalasi maka semakin besar energi yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik (Guntoro, 2008). Mikrohidro dibangun berdasarkan adanya air yang mengalir di suatu daerah dengan kapasitas dan ketinggian yang memadai. Mikrohidro juga dikenal sebagai white resources atau energi putih, karena menggunakan sumber daya yang telah disediakan oleh alam dan ramah lingkungan. Dengan teknologi sekarang maka energi gravitasi dapat diubah menjadi energi listrik. 2.6 Fungsi dan Manfaat PLTMH Menurut Guntoro (2008) Pembangkit Listrik Tenaga Mikro hidro (PLTMH) memiliki peranan yang cukup penting bagi daerah pedesaan yang 9 terpencil. Karena daerah terpencil banyak memiliki keterbatasan salah satunya tersedianya aliran listrik. Dengan adanya PLTMH yang dibangun maka masyarakat desa dapat menggunakan energi listrik yang dihasilkan dari PLTMH untuk penerangan pada malam hari dan kebutuhan hidup sehari-hari. Fungsi dan manfaat PLTMH juga dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: Aspek Sosial Ekonomi Selain dapat menyediakan listrik untuk kebutuhan rumah tangga, kehadiran PLTMH juga dapat menyediakan energi yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan kegiatan-kegiatan produktif terutama pada siang hari ketika beban listrik rendah. Berdasarkan sudut pandang dari aspek sosial ekonomi PLTMH juga memiliki kelebihan untuk meningkatkan produktivitas dan aktivitas ekonomi masyarakat melalui munculnya atau meningkatnya produktivitas industri kecil rumah tangga, menciptakan lapangan-lapangan kerja baru di desa. Aspek Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Pengoperasian PLTMH menuntut adanya suatu lembaga tersendiri yang menjalankan fungsi-fungsi pengelolaan dan perawatan. Lembaga tersebut akan menambah keberadaan lembaga yang sudah ada di desa dan secara tidak langsung dapat menjadi media pengembangan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan kelembagaan dan pelayanan publik. Aspek Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) ramah terhadap lingkungan karena tidak menghasilkan polusi udara atau limbah lainnya dan tidak merusak ekosistem sungai. Penyediaan listrik menggunakan PLTMH akan mengurangi pemakaian bahan bakar yang berasal dari fosil (misalnya minyak 10 tanah dan solar) untuk penerangan dan kegiatan rumah tangga lainya. Selain itu tambahan manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dari sumberdaya air diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk memelihara daerah tangkapan air demi menjamin pasokan air bagi kelangsungan operasi PLTMH. Aspek Teknologi Berdasarkan aspek teknologi terdapat keuntungan dan kemudahan pada pembangunan dan pengelolaan PLTMH dibandingkan pembangkit listrik jenis lain. PLTMH memiliki konstruksi yang relatif sederhana, mudah dalam perawatan dan penyediaan suku cadang, serta dapat dioperasikan dan dirawat oleh masyarakat desa dengan biaya perawatan yang rendah. 2.7 Teori Kelembagaan Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom. Sampai saat ini masih belum terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari kelembagan (Yustika, 2006 dalam Suhana, 2008). Menurut Ostrom (1985) dalam Suhana (2008) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangement) dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. 11 Williamson (1985) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi dimana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi. Bardhan (1989) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang definisi kelembagaan, kelembagaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaurhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informasi yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni : 1. Aturan formal ( formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh relugasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi) 12 2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka. 3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. 2.7.1 Tiga Lapisan Kelembagaan Definisi kelembagaan dapat dilihat dari sudut pandang makro dan mikro. Terdapat tiga lapisan kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov, 2006 dalam Suhana, 2008). a) Kelembagaan Sebagai Norma-Norma dan Konvensi Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsensus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakan oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik. Namun jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat. 13 b) Kelembagaan Sebagai Aturan Main Bogason (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rule of the conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang. Aktifitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Pada level konstitusi kita diskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilam keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsipprinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi. Bromley (1989) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa institusi sebagai aturan main biasanya lebih formal (ditegakan oleh aparat pemerintah) dan bersifat tertulis. Namun, ada juga kelembagaan yang tidak tertulis secara formal atau tidak dikodifikasi. Yang paling dibutuhkan hanya seperangkat istilah yang membatasi sebuah struktur bagi interaksi manusia dan pemahaman bersama tentang alat-alat untuk menyelesaikan konflik di dalam struktur tersebut. c) Kelembagaan Sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan Sebagai pengatur hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen social yang mengatur : (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Delairnov 2006 dalam Suhana 2008). Alchian (1993) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari sumberdaya yang dimiliki, (3) hak 14 untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa pihak yang memiliki suatu sumberdaya,berhak mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut. Seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas barang yang dimilikinya, sebab bagaimana pun memperlakukan dan menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat. 2.8 Willingness To Pay (WTP) Willingness to pay (WTP) adalah kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penelitian terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan dalam memperbaiki kualitas lingkungan atau penghindaran dari kerusakan lingkungan. Konsep WTP atau kesediaan membayar menghasilkan nilai ekonomi yang didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. WTP juga dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu (Fauzi, 2004). Nilai WTP ini juga menggambarkan seberapa jauh kemampuan seorang individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai yang diinginkan dan secara berkelanjutan (Hanley dan Spash, 1993). Pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenuhi syarat: (1) WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif, (2) batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan , dan (3) adanya konsistensi antara keacakan (randomness) pendugaan dan keacakan perhitungannya. 15 Kesediaan membayar atau WTP yang didapatkan langsung dari responden secara lisan maupun tertulis merupakan salah satu kelompok dalam teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan. Salah satu teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang umum digunakan dalam kelompok ini adalah Contingen Valuation Method (CVM) (Fauzi, 2004). 2.9 Contingen Valuation Method (CVM) Pendekatan contingen valuation method (CVM) pertama kali dikenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan di miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumber daya alam. Metode valuasi kontingensi merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan dilakukannya estimasi nilai ekonomi sejumlah besar komoditi yang tidak diperjualbelikan di pasar, termasuk nilai ekonomi dari barang lingkungan (Hanley and Spash, 1993). Asumsi dasar CVM adalah individu benar-benar memahami pilihan masing-masing dan mengenal kondisi lingkungan yang dinilai. Selain itu, apa yang akan dikatakan individu adalah apa yang sungguh-sungguh akan dilakukan jika pasar untuk barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Tujuan CVM adalah mengetahui keinginan seseorang untuk membayar WTP, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan sebagainya) atau keinginan seseorang untuk menerima kerusakan lingkungan. CVM digunakan untuk pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besarnya maksimum kesediaan membayar (WTP) manfaat tambahan yang diperoleh dari penggunaan dan atau berapa besarnya kesediaan untuk menerima 16 (WTA) kompensasi dari penurunan kualitas barang lingkungan. Pada penelitian ini , sudut pandang pendekatan yang akan digunakan adalah WTP (Kurnia, 2010). 2.10 Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian mengenai Sistem Kelembagaan dan Nilai Kebersediaan Membayar Masyarakat terhadap Keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Cisalimar masih sulit ditemukan. Salah satu peneliti yang mengkaji tentang ekonomi kelembagaan dalam suatu pengelolaan yaitu Suhana Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. dari Sekolah Suhana (2008) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi”. Tujuan penelitian tersebut adalah mengidentifikasi dan menganalisa peran masing-masing kelembagaan yang ada di Teluk Palabuhan ratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan serta menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Hasil yang ditunjukkan bahwa aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, akademis dan aparat keamanan. Merryna (2009) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Willingness to Pay Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mencari nilai willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap instrument ekonomi yaitu pembayaran jasa lingkungan , faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinilai kesediaan tersebut. Hasil yang ditunjukkan oleh penelitian ini adalah nilai rataan WTP responden sebesar Rp. 101/liter/KK sedangkan nilai total WTP sebesar Rp. 17 83.835/liter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden dipengaruhi oleh penilaiaan kualitas air, jumlah kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air dan rata-rata pendapatan rumah tangga. 18