Ritual Ibadah Kebaktian Umat Buddha Tantrayana Zhenfo Zong

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Agama Buddha
Secara etimologi kata agama berasal dari dua akar kata, yaitu a: tidak,
dan gama : kacau. Berdasarkan etimologi tersebut dapat dapatlah diketahui
apa fungsi agama, baik dalam aspek negatif maupun dalam aspek positif.
Dalam aspek negatif, agama menjauhkan umat atau penganutnya dari
kejahatan dan kekacauan. Aspek positifnya, agama membimbing umat atau
penganutnya ke jalan kebaikan dan kebenaran (Eddy Sadeli, 1999 : 6).
Menurut U.P. Suktadharmi dan U.P. Dharmanitya, dijelaskan bahwa
“Agama Buddha atau Buddha Dharma adalah ajaran-ajaran semua Buddha”
(Suktadharmi, 1986 : 1). Pengertian Buddha sendiri yaitu, “Buddha berarti
seseorang yang telah mencapai Kebijaksanaan Agung” (Suktadharmi, 1986 :
6).
Agama Buddha dalam pengertian luas adalah religi, mencakup juga
kitab-kitab, tatacara dan ritual, kebiasaan / tradisi, dan organisasi
komunitasnya. Agama Buddha dalam pengertian khusus adalah apa yang
diajarkan oleh Buddha. Namun dalam istilah teknis Buddhisme, agama
Buddha seharusnya disebut Buddha-dharma. Penjelasan mengenai Dharma
yang diberikan oleh agama Buddha adalah: “sesuai dengan sifat alaminya,
membentuk dirinya sendiri dan membuat dirinya dapat dikenali”. Ini berarti
7
segala sesuatu harus sesuai dengan karakteristik spesifik dan bentuknya
sendiri, sehingga orang dapat mengenalinya setelah melihatnya. Contohnya
air, yang tetap menunjukkan sifatnya sebagai cairan dan mempunyai tatanan
serta rumusan tertentu. Hal itulah yang membuat orang yang melihatnya
dapat mengenalinya sebagai air. Sebaliknya, konsep air tidak dapat muncul
apabila suatu benda tidak mempunyai sifat cairan, dan tatanan serta
rumusannya berbeda dari air. Agama Buddha menganggap segala sesuatu
sebagai Dharma. “Seluruh hal” dan “setiap hal” yang sering ditemukan
dalam kitab Buddhis menunjukkan keberadaan dan fenomena yang
universal. Sesuai dengan penjelasan secara Buddhis, ajaran yang
disampaikan oleh Buddha sendiri yang telah memahami segala sesuatu
sebagaimana adanya juga berfungsi untuk mempertahankan sifat alaminya
sendiri, membentuk dirinya sendiri, dan dapat mengerti, karena itulah
disebut juga Dharma (Mr. Zhao, 2007 : 1-2).
Berkaitan dengan umat beragama Buddha, keimanan yang dikenal
dengan saddha (sradha) menekankan kepada pemeluknya seperti yang
dikutip oleh Oka Diputhera, yaitu: “Selaku umat beragama Buddha kita
wajib mempunyai keyakinan atau iman, yang ada di dalam Agama Buddha
disebut saddha (sradha) yang berarti keyakinan. Kepercayaan yang dimiliki
oleh umat Buddha, berdasarkan atas pengertian yang benar, bukan
kepercayaan yang membuta yang tidak berdasarkan atas pengertian yang
benar” (Oka Diputhera, 1997 : 3).
8
Seseorang yang bercita-cita atau berkeinginan menjadi Buddha
(Bodhisatva) tentu saja tidak mudah. Seseorang yang betul-betul mengikuti
ajaran agama Buddha harus mempunyai sifat-sifat luhur yang disebut
paramita. Ada enam sifat luhur yang disebut sad-paramita, yang ada di
dalam hati nurani seorang Bodhisatva yang memberikan kebahagiaan (Oka
Diputhera, 1997 : 45).
Sad-paramita atau enam sifat luhur itu meliputi:
a. Danaparamita, yaitu sifat luhur yang mendorong orang senang
beramal, beramal untuk orang lain terutama terhadap orang yang
menderita. Danaparamita itu sendiri terdiri atas empat macam,
yaitu : dharmadana, yang berarti amal kebajikan, pengorbanan
untuk kepentingan dharma, untuk kepentingan kebenaran atau
agama; attidana, yang berarti amal kebajikan, pengorbanan dalam
bentuk pengorbanan diri sendiri; mahatidana, yaitu pengorbanan
jiwa raga, demi kepentingan bangsa dan negara; dan amisadana,
yaitu pengorbanan, amal kebajikan dalam bentuk harta benda.
b. Silaparamita,yaitu sifat-sifat luhur yang ada di dalam hati nurani
kita yang senantiasa untuk berbuat baik. Perbuatan ini dapat
terlaksana karena kita mempunyai rasa malu dan rasa takut.
c. Viryaparamita, yaitu sifat luhur yang memberikan dorongan
kepada manusia untuk bersemangat, aktif, bekerja dan belajar.
d. Kshantiparamita, yaitu sifat luhur yang mendorong manusia untuk
tenang dan sabar menghadapi segala macam cobaan hidup.
9
e. Dhynaparamita, yaitu sifat luhur yang mendorong manusia untuk
mengheningkan cipta, bermeditasi.
f. Prajnaparamita, yaitu sifat luhur yang pencapaiannya setelah
manusia mempunyai kelima paramita tersebut, yaitu dorongan
berpikir, berkata dan berbuat yang bijaksana (Oka Diputhera, 1997
: 47).
Buddha sebagai salah satu agama tentu memberikan tuntunan kepada
pengikutnya tentang ajaran kebajikan, seperti halnya agama lainnya. Umat
beragama Buddha dituntut untuk berusaha memahami dan menghayati serta
mengamalkan Buddha Dharma dengan berpedoman kepada kitab sucinya.
Sebagai umat beragama Buddha dalam berupaya untuk dapat menghayati
dan mengamalkan Buddha Dharma secara bulat dan utuh, kita harus dapat
memahami ajaran agama Buddha, yang merupakan dasar agama Buddha
yakni ajaran tentang Sraddha (Saddha), Sila dan Bakti (Oka Diputhera,
1997 : 2).
a. Sraddha (Saddha)
Sraddha atau Saddha mempunyai arti keyakinan. Tanpa keyakinan,
seorang pemeluk suatu agama pasti tidak akan sepenuh hati
melaksanakan kewajiban-kewajibannya dengan sempurna. Begitu juga
umat Buddha, karena hal ini kaitannya dengan akal budi manusia. Selaku
umat Buddha wajib mempunyai keyakinan atau iman yang di dalam
agama Buddha disebut Sraddha (Saddha) yang berarti keyakinan,
kepercayaan yang dimiliki oleh umat Buddha, berdasarkan atas
10
pengertian yang benar, bukan kepercayaan yang membuta yang tidak
berdasarkan atas pengertian yang benar. Kebenaran ajaran agama dapat
terbukti melalui pengalaman yang terus menerus yang selanjutnya
tercermin dalam sikap dan tingkah laku. Ajaran Buddha mengenal enam
keyakinan, dan merupakan kewajiban bagi semua pemeluk agama
Buddha. Enam keyakinan tersebut dikenal dengan sebutan Sad-Saddha,
yang terdiri dari: (1) Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa;
(2) keyakinan terhadap Tri Ratna; (3) keyakinan terhadap Bodhisattva,
Arahat dan Buddha; (4) Keyakinan terhadap adanya Hukum Kasunyatan;
(5) Keyakinan terhadap Kitab Suci; dan (6) Keyakinan terhadap Nirvana
(Nibbana) (Oka Diputhera, 1997 : 4).
b. Sila
Sila adalah perbuatan baik, yang dilakukan melalui pikiran, ucapan
dan badan jasmani, yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Sebagai seorang penganut agama Buddha wajib memahami dan
melaksanakan perilaku dengan hati nurani yang luhur sehingga
perbuatannya tidak akan berakibat kepada sesuatu yang merugikan pihak
mana pun. Hal ini sesuai dengan ajaran Buddha bahwa manusia susila
menurut Buddha adalah manusia yang dapat berkata dan berbuat serta
berpenghidupan yang benar (Oka Diputhera, 1997 : 4).
c. Bhakti
Kerangka dasar yang ketiga dalam agama Buddha adalah bhakti.
Bhakti artinya ritual, puja bhakti, sembahyang (Oka Diputhera, 1997 : 5).
11
Seperti halnya agama yang lainnya yang mengenal atau melakukan
sembahyang, hal ini tidak lain adalah suatu bentuk kegiatan ritual
keagamaan yang tujuan utamanya adalah suatu bentuk nyata pendekatan
diri dengan Tuhan dengan segala pengharapan. Arti dari sembahyang itu
sendiri adalah pernyataan bakti dan memuliakan Allah dengan gerakangerakan badan dan perkataan-perkataan tertentu dimulai dengan takbir
dengan diakhiri dengan taslim atau permohonan (doa) kepada Tuhan
(Moeliono, 1988 : 806). Hanya saja istilah yang dipakai antara agama
yang satu dengan agama yang lain berbeda, tetapi asas dan tujuannya
sama yaitu pendekatan diri kepada Sang Pencipta.
2. Agama Buddha Tantrayana
Agama Buddha Tantrayana merupakan perkembangan lanjutan dari
agama Buddha Mahayana yang dianggap cukup memegang peranan penting
dalam penyebarannya di wilayah India hingga ke Asia sejak awal tahun 400
Masehi. Aliran agama Buddha Tantrayana ini menekankan pada hal akhir
tentang "keselamatan tertinggi / Nibbana" yang dapat dicapai melalui
berbagai macam metode meditasi dan visualisasi (segi pikiran), mantera
(segi ucapan) serta pembentukan mudra (segi jasmani) hasil observasi dan
analisa yang mendalam dari para Guru Akar, dimana hal-hal tersebut harus
dilakukan secara harmonis oleh seorang sadhaka dengan cara berusaha
memahami sifat jati diri ke-Tuhan-an yang absolut dan pemanfaatan
kekuatan alam semesta lewat bimbingan seorang guru spiritual Tantrayana
12
yang ahli (http://bodhi-cahyana.blogspot.com/2008/11/buddha-tantrayana.
html, diunduh tanggal 18 Juni 2014 pukul 20:18).
Aliran Tantrayana bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan
dari hati nurani, pikiran dan perbuatan badan jasmani. Dari semua bentuk
proses latihan-latihan yang dikembangkan dalam Tantrayana adalah untuk
mengikis karma buruk dan untuk meningkatkan kebijaksanaan, selanjutnya
akan terlahir sebagai seorang suci. Aliran Buddha Tantrayana Zhenfo Zong
Kasogatan mempercayai adanya bodhisattva (malaikat), darmapala
(pelindung dharma / ajaran) dan dewa-dewa (makhluk suci). pelaksanaan
ritual ibadah ajaran Buddha Kasogatan Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan
dilakukan secara rutin untuk menjalankan sadana (kebaktian), berdana,
membaca mantra-mantra suci. Mantra-mantra ini merupakan parita yang
dipadatkan. Untuk pemuka agama (guru besar) harus memiliki kekuatan
batin dan harus terkondisi dalam keberagaman kebaktian (aktif beribadah).
3. Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa
Arab) dan kretiozein, yang berarti mencampuradukkan unsur-unsur yang
saling bertentangan. Sinkretisme juga ditafsirkan berasal dari bahasa
Inggris, yaitu syncretism yang diterjemahkan campuran, gabungan, paduan
dan kesatuan. Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau
lebih, dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru
dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik
budaya lama. Terjadinya percampuran tersebut biasanya melibatkan
13
sejumlah perubahan pada tradisi-tradisi yang diikutsertakan. Pandangan
Koentjaraningrat (1984 : 310-311), sinkretisme merupakan watak asli
agama Jawi. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perjalanan hidup orang Jawa
sampai sekarang dan bahkan yang akan datang, orang Jawa akan selalu
menerima masukan pengaruh dari luar. Sujito (pendiri Universitas Gadjah
Mada), orang Jawa digambarkan seperti kerbau. Setiap hari, kerbau itu
makan rumput dan daun-daunan. Pada malam harinya, semua jenis makanan
yang telah ditelan dikunyah kembali sambil bertiduran. Gambaran kerbau
mengunyah itu diartikan sebagai unsur-unsur budaya asing yang masuk ke
Jawa, semuanya dapat diterima meskipun harus mengalami penyaringan
dahulu. Diterimanya unsur-unsur asing ke dalam budaya Jawa secara
integrasi inilah menimbulkan suburnya sinkretisme dalam budaya
masyarakat Jawa. Kebudayaan memang merupakan suatu integrasi, yaitu
terpadunya unsur-unsur atau sifat-sifat budaya yang berbeda-beda dalam
suatu kebudayaan. Tentu saja perpaduan ini bukan sekumpulan kebiasaankebiasaan yang terkumpul secara acak-acakan. Hal ini dikarenakan sifatsifat atau unsur-unsur yang berbeda tersebut dianggap bersumber pada sifat
adaptif dari kebudayaan (Sutiyono, 2010 : 41-43).
Menurut Suwardi Endraswara, sinkretisme adalah memadukan,
mencampur dan menyelaraskan dua keyakinan atau lebih. Hasil sinkretisme
adalah terbentuknya keyakinan baru yang lebih kental, dalam penggabungan
dapat saja menomorsatukan keyakinannya paling benar, tidak lepas dari
kenisbian, bersifat divergen, bersikap longgar, adaptif dan akomodatif.
14
“Penyatuan” dua keyakinan atau lebih. “Penyatuan” tidak harus manunggal,
melainkan hanya pemaduan beberapa unsur saja (Suwardi, 2006 : 78).
Dengan demikian, sinkretisme merupakan campuran, perpaduan, dan
penggabungan dua keyakinan atau lebih. Hasil sinkretisme dapat dilihat
dalam ritual ibadah kebaktian umat Buddha di Wihara Vajra Bumi
Honocoroko, yaitu adanya perpaduan antara keyakinan agama Buddha
dengan keyakinan masyarakat Jawa di Desa Bedono. Mantra-mantra yang
digunakan dalam ritual kebaktian untuk malam tertentu menggunakan
bahasa Jawa dan penentuan waktu pelaksanaan ibadah berdasarkan
perhitungan Jawa.
4. Ritual
Ritual merupakan “agama dalam tindakan”. Iman adalah bagian dari
ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan
makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari
pelaksanaan ritual tersebut (Adeng Muchtar Ghazali, 2011 : 50). Menurut
Oka Diputhera ritual artinya bhakti, puja bhakti, sembahyang (Oka
Diputhera, 1997 : 5).
Ritual merupakan agama dalam tindakan dapat dilihat dalam ritual di
Kelenteng Ban Eng Bio Adiwerna. Masyarakat yang terlibat dalam ritual di
Kelenteng Ban Eng Bio mempunyai sikap dan jiwa religi yang tinggi, yaitu
dengan melaksanakan ritual perayaan Imlek dan kebaktian pada nabi
Konghucu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Komponen-komponen tersebut tercermin dalam ritual perayaan Imlek dan
15
kebaktian pada nabi Konghucu seperti berdoa kepada Tuhan, para dewa dan
nabi Konghucu, bersaji dengan menyiapkan beberapa sesaji yang diperlukan
dalam ritual, makan bersama seperti menjelang detik-detik Imlek dan
bersujud yaitu melakukan sembahyang di depan meja abu dan altar
(http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2308,
diunduh tanggal 2 Oktober 2013 pukul 13:12).
5. Ibadah
Ibadah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (Hasan Alwi, 2007 : 415).
Ibadah umat Buddha meliputi penghormatan di depan patung Buddha
dan mendaraskan doa-doa suci. Tubuh, bahasa, dan pikiran merupakan
unsur integral dalam ibadah umat Buddha maka meditasi yang hening,
ajaran, pemberian persembahan, dan puji-pujian dilakukan. Sebelum
memasuki ruangan pemujaan, yang dilengkapi dengan patung Buddha, para
peserta ibadah menanggalkan sepatu mereka. Mereka mengatur tangannya
sebelum bersujud dengan posisi berlutut bagi umat Buddha Theravada atau
dalam posisi berdiri bagi umat Buddha Tibet. Ada tiga persembahan pokok
yang dapat dipersembahkan, yaitu: persembahan bunga sebagai peringatan
akan kehidupan yang tidak kekal, persembahan lilin untuk mengusir
kegelapan, dan persembahan dupa sebagai peringatan akan keabadian
harumnya ajaran Buddha. Setelah persembahan dilakukan, Tiga Tempat
Perlindungan “Buddha, Dharma, dan Sangha dan Lima Aturan”
16
didaraskan, kemudian beberapa mantra diucapkan lalu dilanjutkan dengan
meditasi. Biasanya juga ada pengajaran sebelum ibadat selesai (Michael
Keene, 2006 : 79).
6. Kebaktian
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebaktian adalah rasa
tunduk dan khidmat, perbuatan (pekerjaan) bakti, kesetiaan dan perbuatan
baik seperti berdoa dan menyanyikan puji-pujian (Hasan Alwi, 2007 : 94).
Kebaktian umat Buddha merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah menciptakan langit dan bumi. Menghormati, mengabdikan
diri dan berbakti kepada Sang Buddha, Bodhisattva, Dharmapala dan para
Arya dengan membaca mantra-mantra suci dan bermeditasi.
B. Penelitian Yang Relevan
Jurnal yang ditulis oleh Titin Listiyani pada tahun 2011 dengan judul
“Partisipasi Masyarakat Sekitar dalam Ritual di Kelenteng Ban Eng Bio
Adiwerna” ini membahas tentang pelaksanaan ritual yang dilakukan di
Kelenteng Ban Eng Bio oleh masyarakat Desa Adiwerna. Pelaksanaan ritual di
Kelenteng Ban Eng Bio ini berbeda dengan pelaksanaan ritual di Wihara Vajra
Bumi Honocoro Desa Bedono.
Masyarakat yang terlibat dalam ritual di Kelenteng Ban Eng Bio terbagi
dalam dua kelompok, yaitu masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu
maupun yang beragama Kristen. Masyarakat yang beragama Kristen yaitu
masyarakat Tionghoa yang sudah masuk agama Kristen, namun untuk memuja
leluhur mereka melakukan pemujaan di Kelenteng Ban Eng Bio. Masyarakat
17
yang terlibat dalam ritual di Kelenteng Ban Eng Bio mempunyai sikap dan jiwa
religi yang tinggi, yaitu dengan melaksanakan ritual perayaan Imlek dan
kebaktian pada nabi Konghucu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Komponen-komponen tersebut tercermin dalam ritual
perayaan Imlek dan kebaktian pada nabi Konghucu seperti berdoa kepada
Tuhan, para dewa dan nabi Konghucu, bersaji dengan menyiapkan beberapa
sesaji yang diperlukan dalam ritual, makan bersama seperti menjelang detikdetik Imlek dan bersujud yaitu melakukan sembahyang di depan meja abu dan
altar.
(http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2308,
diunduh tanggal 2 Oktober 2013 pukul 13:12).
Masyarakat yang terlibat dalam ritual ibadah kebaktian di Wihara Vajra
Bumi Honocoroko Desa Bedono, yaitu masyarakat yang seluruhnya beragama
Buddha dan tinggal di Desa Bedono. Ritual ibadah kebaktian di Wihara Vajra
Bumi Honocoroko dilaksanakan setiap hari Selasa malam dengan komponen
ritual ibadah kebaktian seperti berdoa dengan membaca mantra-mantra suci,
berdana dengan memberikan persembahan kepada wihara dalam bentuk barang
seperti minyak, lilin, buah yang bisa dimanfaatkan dan memainkan gamelan
(karawitan). Pelaksanaan ritual ibadah kebaktian dilakukan di depan altar yang
terdapat sebuah rupaan Buddha (patung Buddha) yaitu merupakan obyek
meditasi yang paling utama.
Perbedaan ritual di Kelenteng Ban Eng Bio Adiwerna dengan ritual di
Wihara Vajra Bumi Honocoroko Desa Bedono dapat dilihat dari segi
keyakinan. Kelenteng Ban Eng Bio Adiwerna ada perpaduan antara masyarakat
18
Tionghoa yang beragama Konghucu dengan beragama Kristen. Masyarakat
beragama Kristen yaitu mereka masyarakat Tionghoa yang sudah masuk
agama Kristen, namun untuk memuja leluhur mereka melakukan pemujaan di
kelenteng Ban Eng Bio. Sedangkan di Wihara Vajra Bumi Honocoroko adanya
perpaduan antara keyakinan agama Buddha dengan keyakinan masyarakat
Jawa di Desa Bedono. Mantra-mantra yang digunakan dalam ritual kebaktian
untuk malam tertentu menggunakan bahasa Jawa, memainkan gamelan
(karawitan) sebelum ritual ibadah dimulai dan penentuan waktu pelaksanaan
ibadah berdasarkan perhitungan Jawa.
19
C. Kerangka Berpikir
Perkembangan Agama Buddha di Indonesia
Perkembangan Agama Buddha di Wihara Vajra Bumi Honocoroko
Komunitas
Ritual
Sekte/Aliran
Ibadah Kebaktian Selasa Malam
malam
Sinkretisme Buddha-Jawa
Umat
Ibadah
Waktu
Ibadah
Peralatan
Ibadah
Sarana
Ibadah
Tata
Urutan
Ibadah
20
Download