Bab Dua Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka Dalam suatu penelitian ilmiah diperlukan landasan pemikiran secara teoretis untuk mengetahui sejauhmana ilmu yang berhubungan dengan masalah penelitian telah dikembangkan. Selanjutnya pemikiran teoretis yang dikembangkan dari literatur-literatur akan membantu penulis untuk lebih kritis dan analitis dalam penelitian di lapangan sampai dengan tahap penulisan hasil penelitian. Pembatasan Arti Sebuah Istilah Persoalan klasik yang senantiasa dihadapi ilmu sosial adalah masalah pembatasan atau pemberian arti sebuah istilah. Dalam ilmu sosial tidak pernah ada satu istilah pun yang memiliki arti tunggal. Demikian pula dengan istilah Negara dan Civil Society tidak saja pengertiannya bermacam-macam, tetapi juga kontroversial. Ini merupakan konsekuensi logis dari realitas sosial yang selalu berubah; beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat yang hendak dijelaskannya (positivisme), dipahaminya (interpretatif), dan diubahnya (kritisisme); adanya hubungan timbalbalik antara realitas sosial (yang diteorikan) dengan teori sosial (yang direalitaskan)8 dan khusus untuk konteks Indonesia adalah adanya 8 Menurut kubu teoretisi kritis Mazhab Frankfurt, jika teoretisi sosial berusaha melepaskan; lebih tepatnya menutup mata dan menegasikan; kaitan antara realitas sosial dan teori sosial, maka pada saat itulah ilmu sosial mengalami krisis. Untuk menangani krisis, maka tugas utama teoretisi sosial adalah melakukan kritik pada dua tataran sekaligus, yakni tataran teori sosial dan realitas sosial. Pada tataran teori, dia harus mampu membongkar ideologi dan kepentingan yang menyelubungi upaya pemurnian (semu) teori sosial dari realitas sosial; sedangkan pada tataran realitas sosial dia harus mampu menggunakan teori sosial sebagai alat bagi pembebasan (emansipasi) manusia dari ketertindasan; dominasi kapitalisme. 13 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari Barat untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.9 Civil Society Istilah civil society pertama kali dipakai di Eropa pada abad ke18 sebagai terjemahan dari bahasa Latin societas civilis yang untuk beberapa bahasa pada waktu itu diartikan sebagai state dan political society atau seluruh kenyataan yang menyangkut politik. Locke menterjemahkan civil society sebagai civil government. Kant menterjemahkannya sebagai burgerliche gesellschaft dan Rousseau menterjemahkannya sebagai e’tat civil (Bottomore, 1993). Munculnya konsep civil society di Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society. Konsep ini adalah suatu konsep tentang masyarakat di mana mereka hidup secara alamiah yang belum mengenal hukum, kecuali hukum alam. Untuk mengatasi hal yang tidak menentu yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau antar individu kemudian rakyat menyerahkan kekuatannya kepada suatu badan yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan dan hukum politik yang dikenal sebagai political society (Budiman, 1990). Menurut teori kaum liberal, civil society bukanlah natural society dan bukan pula political society, namun suatu tatanan masyarakat yang didasarkan pada hak dari manusia (civil right), seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk memiliki, dan lain-lain (Budiman, 1990; Chandhoke, 1995). 9 Merujuk pada Alatas, kekurangtepatan itu meliputi segi kekurangaslian, ketidaksesuaian antara asumsi dengan kenyataan; ketidakterapan (teori, konsep dan cara Barat tidak bisa diterapkan dalam konteks masyarakat bukan Barat; pengasingan (terjadinya pengasingan ilmu sosial dari konteksnya akibat dari faktor pertama dan kedua), keremehan, kekeliruan, dan kesederhanaan. Untuk lengkapnya. lihat Syed Farid Alatas, 2003.;Pengkajian Ilmu-ilmu Sosial: Menuju ke Pembentukkan Konsep Tepat dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXVII, No. 72, Sep-Des 2003, hal 1-23 14 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka Konsepsi modern tentang civil society pertama kali dipakai oleh Hegel dalam Philosophy of Right pada tahun 1821. Dia menyebutkan bahwa “civil society is sphere of ethical life interposed between the family and the state”. Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Larry Diamond (1994) yang mengartikan bahwa “civil society is the realm of organized social life that is voluntary, selfgenerating, self-supporting, autonomous from the state, and bound by legal order or set of shared rules”. Dengan demikian pandangan teori liberal tentang civil society pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara (Hikam, 1996). Chandhoke (1995) mengemukakan suatu definisi, yang nampaknya cocok untuk melihat perkembangan civil society di Rote, bahwa civil society adalah suatu arena di mana masyarakat masuk ke dalam hubungan dengan negara (“the site at which society enters into a relationship with the state”). Chandhoke juga berpendapat bahwa civil society menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana rasional yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara (state acountability). Di dalam hal ini ada empat persyaratan yang harus dipenuhi bagi keberadaan civil society yaitu: Pertama, nilai dari civil society yang berupa partisipasi politik dan state accountability. Kedua, institusi dari civil society yang berupa forum yang representatif dan asosiasi-sosial. Ketiga, perlindungan dari civil society adalah berhubungan dengan hak-hak individual secara umum. Dan, keempat, anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum. Berdasarkan pandangan Chandhoke, Schulte Nordholt (1999) merangkum civil society ke dalam empat aspek utama, yaitu: Pertama, adaya pertanggungjawaban negara. Kedua, keterbukaan atau transparansi. Ketiga, pengakuan terhadap hak asasi manusia. Dan Keempat, inklusivitas. Dengan demikian pandangan ini pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Di dalam hal ini memang dapat terjadi suatu situasi hegemoni yang dilawan dengan counter hegemony, namun tidak berarti bahwa state and society harus 15 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote selalu bertentangan. Yang dituju adalah suatu bentuk keseimbangan antara kekuasaan negara dengan kedaulatan rakyat. Civil Society sebagai sesuatu yang berbasis pada realitas sejarah pada dekade abad 20-an yang lalu, sering digunakan menuju ke aksi di antara masyarakat, yang memampukan mereka untuk menolak negara mereka yang tidak demokratis, dan hal itu diperjuangkan terus, menuju ke demokratisasi. Terminologi civil society dihidupkan kembali pada Tahun 1980-an hingga Tahun 1990-an, yang menggambarkan bahwa (1) Perjuangan pro-demokrasi di Eropa Timur terhadap negara sosialis yang otoriter; (2) Reaksi masyarakat terhadap meningkatnya tekanan aturan komunis di Eropa Timur; (3) Transisi aturan otoriter di Eropa Selatan dan Amerika Latin; (4) Bertumbuhnya gerakan anti pemerintah, karena runtuhnya rejim otoriter, pada apa yang disebut sebagai “Dunia Ketiga”; (5) Suatu alasan dari korporasi negara berkembang di masyarakat barat; (6) Mobilisasi gerakangerakan yang serentak di Asia Tenggara, mulai dari “Manilas, people power” Tahun 1986 di Filiphina, di Bangkok (“Tidak boleh lagi Diktator”) pada Tahun 1992, di Thailand hingga ke Jakarta dan Kuala Lumpur, yakni “Gerakan Reformasi” di Indonesia dan Malaysia. Berdasarkan peristiwa historis tersebut, dan keterkaitannya dalam menggunakan terminologi civil society, ada 2 hal yang perlu dicatat. terminologi ini telah digunakan oleh para penulis Abad 19, dan oleh Hegel, dalam pekerjaan/tugas dalam Hukum Alam, Ilmu Pengetahuan, dan elemen dari falsafah mengenai Hak, yang berhubungan dengan apa yang kini disebut sebagai “Negara” (Knox, 1967; Budiman, 1990), tidak menutup kemungkinan pada tingkat itu, konsep dari civil society, tidak dapat berbuat apa-apa, terhadap setiap komitmen ke arah Demokratisasi. Di Indonesia istilah civil society sulit diterjemahkan secara langsung. Sebagian pihak menterjemahkannya dengan istilah “masyarakat sipil” atau “masyarakat madani” atau “masyarakat kewargaan”. Namun terjemahan tersebut sebenarnya kurang pas dengan makna yang sesungguhnya. Istilah “masyarakat sipil” pada Era Pemerintahan Suharto sering digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk 16 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka mengurangi pengaruh peran militer yang pada waktu itu sangat besar. Namun penerjemahan ini menjadi salah karena istilah sipil di Indonesia diterjemahkan sebagai bukan militer (non militer), padahal arti civil atau burgerliche merupakan seluruh lapisan masyarakat yang bukan negara dan bukan keluarga. Burgerliche juga tidak dapat diterjemahkan sebagai borgeoise karena borjuis hanya merupakan salah satu kelas dalam masyarakat. Oleh karena itu maka Magnis Suseno (1992) menerjemahkannya sebagai masyarakat luas. Istilah civil society juga sering diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”. Istilah ini di Indonesia pertama kali dikemukakan oleh Nurkolis Madjid pada awal tahun 1990-an (Madjid, 1999). Istilah ini merupakan konsep yang menggambarkan suatu masyarakat yang sangat beradab pada masa Pemerintahan Nabi Muhamad (awal Abad ke VII) dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya, yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas. Pada masa itu telah disepakati adanya pengakuan keberbedaan dan toleransi yang dituangkan dalam suatu piagam yang disebut Piagam Madinah.10 Dalam kaitannya dengan keberadaan negara, konsep masyarakat madani mengambil makna yang lebih lunak, melengkapi, dan tidak konfrontatif (Ibrahim, 2006). Kelompok ini berpendapat bahwa civil society tidak akan berarti tanpa adanya negara yang kuat.11 Di sini makna masyarakat madani bukan merupakan alat perjuangan untuk mengembangkan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, nuansa dari pemaknaan civil society di sini lebih merupakan makna yang 10 Menurut piagam Madinah ada 10 prinsip pembangunan Masyarakat Madani yaitu (Sukidi, 1998): (1) Kebebasan agama; (2) Persaudaraan seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas yang tinggi terhadap sesama; (3) Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama; (4) Saling membantu, dan semua orang punya kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; (5) Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara; (6) Persamaan didepan hukum bagi setiap warga negara; (7) Penegakan hukum; (8) Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman kepada keadilan dan kebenaran; (9) Perdamaian dan kedamaian; dan (10) Pengakuan hak atas setiap orang atau individu. 11 Masyarakat Kristen menolak penggunaan istilah Masyarakat Madani karena adanya pemahaman Masyarakat Madani yang mengandung makna adanya supremasi kelompok muslim terhadap kelompok lain. 17 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote bersifat pelengkap atau complement bagi negara. Dengan demikian maka terjemahan istilah civil society dengan istilah masyarakat madani nampaknya perlu kehati-hatian di dalam penggunaannya karena adanya penggunaan istilah baku yang dipakai di Eropa sejak abad kesembilan belas. Beberapa pakar di Indonesia, menterjemahkan civil society dengan “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan”. Hikam (1996), mengartikan bahwa civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat oleh hukum yang berlaku. Dengan demikian pandangan ini pada hakekatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemony negara. Makna dari “masyarakat warga” mengandung konotasi adanya masyarakat yang beradab (civilized society) dan sadar akan hakhaknya, yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada kepada aturan yang bersifat otoriter yang menindas. Dengan demikian pandangan ini menganggap civil society sebagai suatu gerakan rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni negara. Berdasar perdebatan di atas maka paling tidak ada dua pembagian tentang makna civil society yaitu yang lebih menekankan kepada aspek vertikal yang lebih memaknainya pada adanya keotonomian dari negara dan pasar dan lebih banyak terkait dengan fenomena politik (Sujatmiko, 2003). Di sini civil society merupakan arena publik yang proses-proses di dalamnya banyak didukung oleh LSM yang melakukan kritik rasional terhadap negara. Tujuan dari proses dalam arena tersebut adalah untuk memberdayakan masyarakat yang bermuara pada demokratisasi dan mengurangi intervensi negara ke dalam aktivitas mereka. Konsep yang kedua, lebih menekankan kepada aspek horisontal dari budaya, yang lebih dekat dengan makna masyarakat yang beradab, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai masyarakat madani. Perkembangan konsep civil society di Indonesia sebenarnya lebih terkait dengan aspek vertikal yang terkait dengan perkembangan 18 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka politik pada Masa Orde Baru. Pada masa itu negara mampu melakukan kontrol dan intervensi keperbagai kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu maka konsep civil society menjadi lebih dihadapkan kepada semacam konsep "political society". Dengan demikian usaha untuk mewujudkan civil society sebenarnya sejalan dengan usaha untuk mengurangi kekuasaan negara. Dengan adanya masyarakat yang kuat dapat diharapkan menjadi satu prakondisi yang vital bagi adanya demokrasi. Berdasar pemikiran yang terakhir inilah salah satu pakar perempuan dari India, Chandhoke (1995) mengemukakan suatu definisi bahwa civil society adalah suatu tempat (arena) dimana masyarakat masuk ke dalam hubungan dengan negara ("the site at which society enters into a relationship with the state"). Dia juga berpendapat bahwa civil society menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana yang rasional yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungan jawab negara (state acountability). Di dalam hal ini ada empat persyaratan yang harus dipenuhi bagi keberadaan civil society yaitu: Nilai dari civil society yang berupa partisipasi politik dan state accountability; (2) Institusi dari civil society yang berupa forum yang representatif dan asosiasi sosial; (3) Perlindungan dari civil society adalah berhubungan dengan hak-hak individual secara umum; dan (4) Anggota civil society adalah semua individu yang dilindungi oleh hukum. Berdasar semua uraian di atas maka pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa suatu masyarakat dapat disebut sebagai (menjadi) civil society apabila memenuhi syarat berikut ini (Nordholt, 1999; Suwondo, 2004, 2005; Wiloso, 2009): (1) masyarakat memiliki kemandirian melakukan inisiatif dalam melakukan aktivitasnya yang bersumber dari masyarakat itu sendiri dan negara berperan sebagai fasilitator (regulasi, mengatur kompetisi, melindungi kepentingan publik); (2) masyarakat memiliki kebebasan/akses yang luas terhadap negara dalam menyampaikan apirasi mereka misalnya dalam bentuk contacting, unjuk rasa, dan berserikat/berorganisasi sepanjang tidak melanggar hukum dan mengganggu kepentingan umum. Dalam disertasi ini, Civil Society dipahami sebagai Ruang Publik (Public Sphere/Free Public Sphere) di mana ada ruang (space) bagi setiap individu atau kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dan 19 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijakan publik/kebijakan pembangunan dalam negara. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini: Negara (State) Free Public Sphere Masyarakat Gambar 2.1. Interaksi Negara dan Masyarakat Pembahasan tentang negara, civil society sebagai public sphere dan masyarakat dapat dilihat pada uraian berikut ini. Negara Negara adalah sebuah lembaga purba manusia yang telah ada sekitar 10.000 tahun yang lampau sejak masyarakat pertanian pertama muncul di Mesopotamia. (Fukuyama, 2005). Di Cina, sebuah negara dengan birokrasi yang sangat terlatih telah ada selama ribuan tahun. Di Eropa, negara modern, yang mempunyai pasukan besar, kekuasaan perpajakan, dan sebuah birokrasi terpusat yang dapat menjalankan otoritas tertinggi atas suatu wilayah luas, muncul lebih belakangan, sekitar empat atau lima ratus tahun sejak konsolidasi kerajaan-kerajaan Perancis, Spanyol dan Swedia. Munculnya negara-negara ini, dengan kemampuan mereka menyediakan keteraturan, keamanan, hukum dan jaminan hak milik, merupakan suatu hal yang memungkinkan munculnya dunia ekonomi modern (Fukuyama, 2005). Negara mempunyai fungsi yang sangat beragam, mulai dari yang paling baik hingga yang buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang memungkinkan mereka melindungi hak milik pribadi dan menciptakan keinginan publik juga memungkinkan mereka 20 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka mengambil alih hak milik pribadi dan melanggar hak-hak warga negara mereka. Dengan demikian, tugas politik modern adalah menjinakkan kekuasaan negara, mengarahkan kegiatannya ke arah dan tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya, dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum (Fukuyama, 2005). Menurut Chandoke (1995) Negara selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu politik atau negara telah berhasil mempesonakan imajinasi para teoretisi ilmu politik, karena telah menjadi berbagai pertanyaan sentral mereka sejak zaman Plato. Banyak teoretisi ilmu politik memperhitungkan studi tentang negara dan rasion ďêtre dari subyek ilmu politik. Konsekuensinya, teori politik sejak dahulu sampai sekarang sedikit banyak dipenuhi pertimbangan akan negara (Chandoke, 1995). Walaupun negara tetap menjadi perhatian, akan tetapi menurut perpektif Liberal-Pluralis maupun Marxis yang mendominasi teori politik tentang negara sampai tahun 1970-an, studi tentang negara tidaklah menjadi begitu penting. Sebab bagi perspektif tersebut “negara hanyalah arena tempat konflik kepentingan sosial ekonomi saling berbenturan satu sama lain”, atau “negara menjadi alat kelas dominan”. Studi tentang negara, baik negara dalam makna aparatur maupun dalam arti ideologi dalam rangka memperkuat hegemoni negara, tidak begitu menjadi perhatian utama. Perhatian lebih banyak terhadap masyarakat, khususnya apa yang dikenal dengan Civil Society. Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individuindividu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional (Fukuyama, 2005). 21 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara. Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya (Muukkonen, 2000) Sementara itu, menurut Marx, Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut (Shils, 1997). Negara dan Civil Society Dalam rangka memahami makna masyarakat sipil (Civil Society) itu perlu ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran terdahulu. Penelusuran pengertian Civil Society tidak bisa dilepaskan dari pemikiran negara karena keberadaan Civil Society erat terkait dengan konsep negara itu sendiri. Oleh karena itu setiap analisis mengenai Civil Society selalu berkaitan dengan negara. Penelusuran pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran Hegel, Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari Hegel kemudian Marx dan terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan berdasarkan kronologi sejarah itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan dicoba diperlihatkan pemikiran mana yang disangkal oleh pemikiran selanjutnya, pemikiran mana yang diterima atau dirumuskan kembali dengan pemikiran baru. Pada bagian akhir tulisan ini, diberikan kesimpulan yang berisi garis besar pembahasan tulisan dan kontribusi pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi pemaknaan demokrasi. 22 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka Pandangan Hegel tentang Negara dan Civil Society Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right, negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan negara sebagai sintesis (Muukkonen, 2000). Dialektika itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak. Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga mengandung antitesis yaitu ketika individuindividu (anak-anak) dalam keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan masuk dalam kelompok individuindividu yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat subyektif atau partikular (Stumpf et al, 1994). Meskipun logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak bermaksud demikian. Hegel memaksudkan bahwa dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis (Stumpf, 1994). Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan dari negara. Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme (McClelland, 1996). Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat di mana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal 23 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote karena negara dan Civil Society terpisahkan. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional (Stumpf, 1994) Pandangan Marx tentang Negara dan Civil Society Marx memandang Civil Society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless) (Shils, 1997). Pembagian struktur dalam masyarakat sipil itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi. Sistem hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia mengalami alienasi. Buruh terasing dari pekerjaannya karena pekerjaan itu tidak lagi mencerminkan tindakan paling luhur manusia tetapi menjadi sesuatu yang rutin, membosankan dan tanpa makna, demi mendapatkan upah. Buruh juga terasing dengan majikan karena masing-masing mencari kepentingan sendirisendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh karena mereka saling berebut pekerjaan (Suseno, 1991). Masyarakat sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh majikan. Buruh diperas tenaganya demi kepentingan majikan. Gambaran ini merupakan konsekuensi dari pandangan Marx atas Civil Society sebagai masyarakat kapitalis. 24 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya (Suseno, 1991).12 Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan bawah (base structure). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan. Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut. Pandangan Gramsci tentang Negara dan Civil Society Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral. 12 Lihat juga Daniel Nina, “Beyond the Frontier: Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992), hal. 63. 25 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote Gramsci membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat politik adalah aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara dengan pemaksaan, yang di dalamnya meliputi tentara, polisi, lembaga hukum, penjara, semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan pemaksaan. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga (Suseno, 1991). Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara (Suseno, 1991). Masyarakat sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu hubungan dasar antara pekerja dan pemodal, hubungan pemaksaan yang menjadi watak negara, dan hubungan sosial lainnya yang membentuk masyarakat sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan negara karena negara bersifat pemaksaan dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi tindakan pemaksaan pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz merumuskannya dengan mengatakan “Gramsci placed Civil Society between state and market and outside of the private sphere of family and friendship.” (Lipschutz, 2005) Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok buruh harus mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada 26 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka dengan tetap mempertahankan unsur-unsur penting dari masingmasing ideologi itu dan menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk kepentingan kelompok buruh sendiri. Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni dengan melakukan “perang posisi” melawan hegemoni negara yang telah menjadi blok historis. Pada saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok buruh harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis. Ketika kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun hubungan secara otonom, kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing) dan adanya disiplin diri masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok. Bagi Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara memiliki alat-alat pemaksaan yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan pemaksaan saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga memampukan negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat sipil. Itulah sebabnya, ia mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat politik dan masyarakat sipil. Pemikirannya mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil melahirkan gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara integral tidak bisa dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi 27 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan negara. Gramsci memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik. Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya transformasi komisi internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam kepengurusan komisi internal di Turin. Inti gagasannya mengenai transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dan administrasi sehingga komisi internal bisa menjadi sekolah politik dan administrasi bagi kaum pekerja. Gagasan itu diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang menjadi dewan pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas proses produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi. Dengan demikian, bagi Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik akan negara demokrasi langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya. Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas proses produksi berada di tangan kelompok buruh. Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara. Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel sebagai pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum, lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum buruh. Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi sehingga masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai alat di tangan kaum borjuis untuk 28 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka mempertahankan kedudukannya. Maka Marx mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga individu-individu mendapatkan kebebasan dan bekerja seturut kodratnya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan menghapus kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang teori ekonomistis Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri, negara juga tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara kelompok-kelompok itu. Negara di samping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni masyarakat sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat pemaksaan negara. Sumbangan pemikiran yang penting bagi perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga akan menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi (Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis terhadap negara (Gramsci) sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik dengan dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya (Hegel) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa penyalahgunaan lembaga-lembaga pemaksaannya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci). Dari uraian di atas, dalam konteks Rote masa kini (otonomi daerah), negara seharusnya berperan sebagai fasilitator dengan menghidupkan kembali pranata sosial yang hilang yaitu Nusak sebagai 29 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote sebuah lembaga perdamaian desa/lembaga adat.13 Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004) tampaknya memberi peluang untuk menghidupkan kembali pranata sosial yang sudah lama ada dalam kehidupan masyarakat Rote. Gerakan Protes Sosial (Social Protest Movement) Definisi “Protes Sosial” sangat bervariasi, tergantung pada tempat, waktu dan siapa yang melakukan observasi terhadap fakta. Konsep protes sosial sering tumpang tindih dengan konsep-konsep lainnya seperti pembakangan, pemberontakan, perilaku kolektif, aksi kolektif, demonstrasi, unjuk rasa, kekerasan sipil, gerakan sosial, perlawanan, dan lain-lain. Ahli gerakan sosial terkemuka, Charles Tilly (1981) rupanya lebih suka memakai istilah aksi kolektif ketimbang protes sosial, pembangkangan atau pemberontakan. Beberapa konsep yang terakhir itu, menurut Tilly, mencerminkan pendakwaan terhadap maksud dan posisi politik para aktor dari kacamata pemegang kekuasaan. Menurut Lofland (1996), ada tiga aspek yang harus dipertanyakan atau dikaji bila hendak mengetahui bangunan organisasi gerakan protes sosial secara utuh, yaitu: aspek kepercayaan (beliefs); aspek pengorganisasian (organization); dan aspek penyebab (causes). Secara substansial aksi kolektif sebenarnya tidak berbeda dengan protes sosial. Keduanya merupakan bentuk tindakan bersama massa untuk menantang (melawan) pemegang kekuasaan. Sydney Tarrow (1994) misalnya, mendefinisikan aksi kolektif sebagai perlawanan bersama oleh rakyat (people) dengan upaya bersama dan solidaritas dalam interaksi yang berlanjut dengan elite, musuhmusuhnya dan pemegang kekuasaan. Aksi kolektif bisa hadir dalam 13 Pranata sosial yang hilang yaitu: lembaga perdamaian desa/lembaga adat, sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1953. Namun dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1974 justru mematikan inisiatif masyarakat dalam bidang kelembagaan sosial. 30 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka bentuk asosiasi kepentingan, gerakan protes sosial, pemberontakan, pembangkangan, atau revolusi. Dalam proposal disertasi ini penulis menggunakan konsep protes sosial (baca: perlawanan) ketimbang aksi kolektif meskipun keduanya bisa saling dipertukarkan. Mengapa? Pertama, dalam masyarakat selalu hadir penguasa dan rakyat yang dikuasai. Represi adalah sumberdaya yang dimiliki oleh penguasa, dan protes atau perlawanan adalah sumberdaya atau senjata milik rakyat (Scott, 2000). Kedua, dibanding dengan aksi kolektif, protes sosial tampaknya jauh lebih eksplisit, provokatif dan lebih membumi dalam konteks masyarakat lokal di Indonesia. Aksi kolektif barangkali bisa hadir sebagai perlawanan pasif, sedangkan protes sosial adalah perlawanan secara aktif dan terbuka. Ketiga, protes adalah gerakan massa yang lebih jelas, yang tidak semata-mata karena tidak puas atau emosi untuk merusak tatanan sosial-politik, melainkan gerakan yang rasional dan disengaja untuk mengawali perubahan politik. Di sisi lain, dalam berbagai literatur ditemukan sebuah pemahaman bahwa gerakan sosial tampil tidak sekadar protes, pembangkangan, pemberontakan dan sebagainya. Tetapi teori gerakan sosial “lama” yang sangat reduksionis dan dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural sama sekali tidak membedakan dengan tegas perbedaan antara protes sosial dan gerakan sosial. Protes sosial adalah strategi yang inheren dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sering dipahami sebagai aksi bersama nonkelembagaan yang memiliki komponen-komponen pasti seperti ideologi, program atau seperangkat tujuan, taktik-taktik untuk mencapai tujuan, dan aktor sebagai pemimpin, serta menawarkan perubahan atau perlawanan terhadap suatu perubahan dalam masyarakat (Ralph Turner dan Lewis Killian, 1972). Bahkan Herberle (1951) melihat gerakan sosial sebagai bentuk perilaku politik kolektif nonkelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Cara pandang yang reduksionis itu dikritisi oleh pendukung “teori baru” gerakan sosial. Para teoritisi baru telah merumuskan kerangka kerja yang memandang gerakan sebagai sesuatu yang 31 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote berkaitan dengan kelompok atau kepentingan sosial dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Touraine (1971), misalnya mencatat bahwa dalam masyarakat pascaindustri, gerakan kelas buruh atau gerakan serikat buruh tidak berada lagi di pusat konflik masyarakat. Kelas buruh, demikian tulis Touraine (1971), bukan lagi pelaku sejarah yang istimewa, bukan karena gerakan buruh lemah atau tunduk kepada strategi partai politik tertentu, ataupun karena pemimpin yang buruk; tetapi lebih dikarenakan penggunaan kekuasaan di dalam perusahaan kapitalis tidak lagi menempatkan seseorang pada pusat sistem ekonomi dan konflik sosialnya. Teori-teori baru gerakan sosial justru melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktek politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya atas analisis sosial yang didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling bertentangan secara tegas (borjuis dan proletar). Dalam situasi baru, keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang autonomi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi. Berdasarkan analisis dan pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak gerakan sosial maka gerakan sosial harus dipahami dan ditempatkan dalam konteks proses demokratisasi yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial atas aspekaspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik maupun aspek kehidupan lainnya. Baik mengikuti “teori lama” maupun “teori baru” gerakan sosial atau yang lebih dikenal dengan Gerakan Sosial Lama (GSL) dan Gerakan Sosial Baru (GSB)14. Protes sosial tetap merupakan strategi dan taktik yang inheren dalam gerakan sosial. Protes sosial bisa dikatakan sebagai gerakan sosial berskala rendah atau sebagai embrio dari gerakan sosial yang menyeluruh untuk mendorong transformasi (perubahan) sosial. Ini bukan karena setiap gerakan selalu tampil dengan wajah 14 Lihat Silaen. 2006. Gerakan Sosial Baru. Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta: IRE Press. 32 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka yang keras dan ekstrem, tetapi karena protes sosial merupakan sumberdaya yang utama sebagian besar orang untuk melawan musuhmusuhnya yang mempunyai perlengkapan lebih komplet. Setiap protes sosial pasti mempunyai jaringan sosial rakyat, punya wacana ideologi, dan perjuangan politik. Lingkaran protes sosial tentu tidak muncul begitu saja sebagai bentuk ekspresi spontan ketidakpuasan atau emosi yang meluap, melainkan mempunyai tahap-tahap yang sistematis untuk mencapai 15 sasarannya. Smelser menyatakan terdapat enam tahap dalam suatu perkembangan gerakan sosial. Pertama, stuctural conduciveness menunjukkan pada suatu kondisi atau keadaan yang memungkinkan munculnya suatu gerakan sosial, sebagai suatu contoh, masyarakat yang didominasi oleh kaum pria dimana kaum wanita dieksploitasi dan dijadikan warga kelas dua merupakan suatu kondisi awal bagi munculnya suatu gerakan perempuan. Kedua, structural strain terjadi apabila di dalam masyarakat yang secara struktural telah terkondusif bagi munculnya suatu gerakan, berlangsung perasaan tidak puas di kalangan anggota-anggotanya. Dalam hal ini warga masyarakat merasakan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya. Ketiga, growth an spread of generalized belief. Pada tahap ini di kalangan anggota masyarakat ditumbuhkan dan disebarkan keyakinan atau kepercayaan yang sifatnya umum. Adapun artinya, kepada anggota masyarakat diyakinkan bahwa kondisi yang ada di sekelilingnya tidak memuaskan dan perlu diadakan perubahan. Keempat, precipitating factors. Tahap ini menunjukkan adanya suatu peristiwa tertentu yang dapat mempercepat dan mengobarkan munculnya suatu gerakan sosial. Tahap ini dapat dinyatakan tahap yang memacu kemunculan suatu gerakan sosial. Kelima, mobilization of participants for action. Tahap ini terjadi setelah berlangsungnya suatu peristiwa yang menyulut sentimen dan rasa solidaritas massa. Dengan adanya peristiwa tersebut maka massa atau anggota masyarakat dibujuk untuk terlibat dalam suatu gerakan. Dalam hal ini peran yang 15 Lihat Protes Sosial dan Reformasi Politik (Artikel lepas di www.ireyogya.org oleh Sutoro Eko, hal. 8). Diunduh pada tanggal 30 Januari 2008. 33 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote dipunyai pemimpin untuk memobilisir dan mengorganisir massa sangatlah penting. Tanpa adanya pengaruh dari pemimpin terhadap anggota masyarakat untuk bergerak, maka akan mudah sekali rintisan munculnya suatu gerakan sosial dapat digagalkan. Keenam, application of social control. Kontrol sosial pada umumnya dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan terhadap gerakan. Persoalannya adalah apakah yang ada pada tangan penguasa digunakan untuk menghancurkan gerakan ataukah justru kontrol sosial tadi menjadikan gerakan sosial tersebut semakin berkembang dimana solidaritas pengikut gerakan semakin tinggi. Merujuk beberapa studi, mulai dari Smelser hingga Charles Tilly (1967) maupun Robert Ted Gurr (1970), setiap protes sosial melawati beberapa tahapan strategis. Tahap pertama, pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan sosial berawal ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada di sekelilingnya. Sebagian dari mereka kemudian mengelompokkan diri dan menyatakan pandangan tentang ketidak-puasannya. Dalam tahap ini suatu gerakan sosial menampakkan diri sebagai tindakan bersama yang sifatnya spontan. Fungsi yang penting dari tahap pertama ini adalah untuk menarik perhatian massa (publik) yang diharapkan dapat memberikan dukungan untuk berlangsungnya suatu gerakan sosial. Tahap kedua, pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika beberapa individu menyatakan bahwa perubahan sosial yang diusulkan mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil. Individu-individu ini biasanya akan berperan sebagai pemimpin dan sebagai pemimpin mereka mulai memberikan arah bagi berlangsungnya gerakan. Fungsi yang penting dari tahap ini adalah diterimanya beberapa individu sebagai pimpinan gerakan. Tahap ketiga, transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan yang terorganisir. Tahap ini sering disebut sebagai periode pengorganisasian dan perencanaan. Pada tahap ini tindakan yang tidak terstruktur yang terjadi pada tahap pertama ditransformasikan menjadi suatu tindakan yang terorganisir. Sehubungan dengan hal tersebut maka peranan pimpinan gerakan menjadi sangat penting. Pimpinan harus mampu merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing 34 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka tercapainya tujuan akhir dari gerakan. Dalam hal ini memang pimpinan gerakan harus melakukan banyak pekerjaan sebelum tindakan yang bersifat spontan dan tidak terorganisir berubah menjadi suatu gerakan sosial yang teratur dan terarah dengan baik. Salah satu tugas para pimpinan gerakan yang penting adalah menjelaskan tujuan yang dicanangkan kepada para pengikutnya sehingga mereka dapar mengetahui dengan jelas ke arah mana mereka bergerak. Tahap keempat, konfrontasi dengan “musuh” gerakan. Pada tahap ini suatu gerakan sosial benar-benar dalam puncak keseriusan dan mengajukan tuntutannya dan berusaha sekuat mungkin demi diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam posisi berhadapan dengan “musuhnya”, yaitu pihak-pihak yang mengalami kerugian apabila kondisi “status quo” yang ada diguncang oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan tahap yang relatif singkat apabila gerakan dan “musuhnya” dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi dimungkinkan pula tahap ini merupakan periode yang relatif lama dan hal ini dapat berlangsung apabila gerakan dan “musuhnya” sama-sama mempunyai kekuatan yang seimbang dan tidak bersedia menyerah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Pada tahap ini kedua-belah pihak, gerakan dan musuhnya, berusaha sekuat tenaga untuk melakukan negosiasi dan untuk memecahkan masalah yang dihadapi demi keuntungan masing-masing pihak. Esensi dari tahap ini adalah dapat dinyatakan sebagai periode dimana gerakan berkonfrontasi dengan “musuhnya” dan memaksa “musuhnya” tadi untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya. Tahap kelima, Tahap ini merupakan tahap pencapaian hasil di mana orang menyaksikan apakah gerakan yang sudah dan tengah berlangsung mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan, masyarakat akan mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul dari persaingan antara gerakan dan “musuhnya”. Jika gerakan sukses biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk menyebarluaskan pola tindakan yang baru tadi ke seluruh lapisan masyarakat. Jika gerakan gagal, para partisipan membubarkan diri atau mungkin merumuskan 35 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote kembali tujuan yang telah ditetapkan dan mencoba meraihnya melalui gerakan yang baru. Beberapa tipe aksi kolektif dan perubahannya dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut ini: Tabel 2.1. Tipe Aksi Kolektif dan Perubahan TIPE AKSI PROTES SOSIAL GERAKAN SOSIAL Penyadaran dan penguatan masyarakat, pengorganisasian dan perlawanan kolektif REVOLUSI SOSIAL Radikalisasi, pengorganisasian yang matang, dan pemberontakan kelas bawah Strategi Perlawanan kolektif massa terhadap pemerintah (negara) Durasi Pendek dan spontan Jangka panjang, berkelanjutan Reformasi politik Transformasi Sosial Spontan dan frontal ketika kondisi obyektifnya sedang matang Revolusi Sasaran Hasil Perubahan Perubahan Perubahan gradual Perubahan mendasar kebijakan, dan mendasar struktur sosial dan runtuhnya terhadap struktur politik. penguasa, sosial, budaya dan perubahan politik. struktur politik Sumber: Protes Sosial dan Reformasi Politik (Artikel di www.ireyogya.or.id oleh Sutoro Eko, hal. 12 diunduh pada tanggal 30 Januari 2008). Protes sosial adalah bentuk konflik sosial, tetapi konflik yang terjadi bukanlah antara kelas buruh melawan kapitalisme, melainkan konflik elemen-elemen masyarakat melawan negara atau elemenelemen massa melawan kelompok elite. Dalam kerangka protes tersebut, kelompok massa melakukan perlawanan kolektif terhadap pemerintah, dalam tempo yang pendek dan spontan, untuk mencapai reformasi politik. Jika protes sosial tersebut sukses, maka akan diikuti dengan jatuhnya penguasa sampai dengan perubahan kebijakan dan struktur politik. Memahami protes sosial bukan sekadar perilaku menyimpang yang dilakukan secara kolektif oleh kumpulan orang-orang jalanan yang punya mental kerumunan (crowded mental), melainkan sebagai 36 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka bentuk konflik yang tumbuh dalam konteks sosial masyarakat. Argumen yang pertama ini menampik pandangan fungsionalisme struktural yang selalu menilai protes sebagai perilaku kolektif yang merusak tatanan sosial yang mapan, dan sebaliknya lebih banyak merujuk pada tradisi Marxis. Akan tetapi konflik dalam protes sosial itu tidak dipahami dalam kerangka teori konflik “lama” yang berpusat pada konflik kelas, melainkan dipahami dalam kerangka teori konflik “baru” yang difokuskan pada konteks konflik antara masyarakat dan negara. Konflik sosial ini tidak dimaksudkan untuk menghancurkan negara seperti dibayangkan oleh Marxisme ortodoks, melainkan sebagai upaya untuk reformasi politik, serta sebagai embrio gerakan sosial untuk mendorong demokratisasi, mengurangi hegemoni negara di hadapan masyarakat, dan penguatan elemen-elemen masyarakat sipil. Aktor-aktor strategis dalam masyarakat yang terlibat dalam konflik (protes sosial) tidak lagi berpusat pada buruh dan tani, melainkan berpusat pada elemen-elemen kelas menengah di perkotaan. Gerakan Protes Sosial dalam Wacana Civil Society Energi kolektif yang melahirkan praksis sosial dalam sejarah masyarakat itu tidak lain adalah perlawanan (resistensi). Aktualisasinya dapat muncul dalam berbagai bentuk gerakan sosial yang menerjang batas-batas struktural dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah perlawanan para Budak terhadap otoritas moral dan politik para Tuan yang pada akhirnya menjebol sistem perbudakan dan memunculkan formasi masyarakat feodal. Namun demikian energi kolektif tidak melulu merupakan respon struktural atas sistem sosial dimana perlakuan-perlakuan masyarakat diberikan. Ia bisa memiliki otoritas tersendiri berhubungan dengan proses dialektika ide dan kesadaran yang ada padanya, atau dalam bahasa Hegel adalah “gerak dialektis ke kebebasan yang semakin penuh” (Suseno, 1993). Meski begitu dialektika ide dan kesadaran ini tidak berlangsung dalam ruang kosong, melainkan dalam relasinya dengan kepentingan. Ia adalah kekuatan reflektif dalam diri manusia yang berlangsung atas nama pengetahuan 37 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote murni, namun sejatinya ia adalah kepentingan itu sendiri (Hardiman, et al, 1990). Dari sini diperoleh pemahaman bahwa perlawanan sebagai energi kolektif praksis sosial berkait erat dengan dimensi kesadaran kolektif masyarakat sebagai agen perubahan dan struktur-struktur sosial yang memberikan andil dalam proses refleksi-diri atas hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan kata lain, perlawanan memiliki basis sosial ganda yang terletak pada wilayah internal agen dan situasi eksternal yang mengitarinya. Aspek perlawanan itulah yang menjadi kunci dari munculnya gerakangerakan sosial yang kemudian gejalanya dimaknai sebagai Civil Society. Konsep koinonia politike Aristoteles dan societes civilis Cicero yang dianggap sebagai cikal bakal wacana Civil Society pada dasarnya merupakan gagasan perlawanan terhadap “alienasi politik dan ketidaktertiban sosial”. Proses alienasi politik terjadi di bawah monopoli pengambilan keputusan oleh Dewan Ecclesia negara-kota Yunani kuno yang tidak sejalan dengan sistem demokrasi langsung.16 dan karenanya diperlukan keterlibatan warga masyarakat yang luas (Aristoteles). Sementara bagi Cicero, sistem demokrasi langsung yang berlaku bagi negara-kota Yunani kuno meniscayakan pertarungan kepentingan di antara komunitas-komunitas dalam masyarakat, yang pada akhirnya akan memunculkan komunitas yang dominan, untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Kegagalan pengelolaan “medan pertarungan” itu akan mengakibatkan kekacauan dan ketidaktertiban sosial dalam masyarakat.17 Konsepsi Societes Civilis Cicero pada dasarnya melawan kecenderungan chaotik akibat pertarungan memperebutkan dominasi di antara komunitas-komunitas dalam masyarakat. 16 Lihat George H. Sabine, Teori-Teori Politik Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Terj. Soewarno Hadiatmodjo, (Bandung: Binacipta, 1992), khususnya Bab I-VII dari 13 bab yang ada. 17 Lihat Sabine (1992). 38 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka Jika kita cermati wacana Civil Society yang marak di Indonesia dewasa ini, dapat kita temukan berbagai bentuk penafsiran dan pemahaman orang yang hampir kesemuanya tidak memberikan tumpuan pada konsep tentang perlawanan yang secara genealogis bersemayam di dalamnya. Para peminat wacana Civil Society lebih menyukai mengedepankan konsep otonomi, kebebasan, kemandirian, kewarganegaraan, atau bahkan keberadaban.18 Tulisan ini tidak ingin menolak pemaknaan-pemaknaan semacam itu, melainkan sekedar menunjukkan bahayanya ketika dimensi perlawanan hilang dari wacana Civil Society. Dimensi perlawanan yang tidak hadir di dalam wacana Civil Society akan cenderung melemahkan elan-vitalnya dalam mengemansipasi masyarakat dalam proses perubahan sosial. Civil Society akan menjadi semacam “penjara” bagi kaum pasifis yang enggan mengorganisasi gerakan sosial dalam masyarakat. Akibatnya, Civil Society menjadi tidak punya kaitan sama sekali dengan upayaupaya untuk “mengkuasakan” masyarakat dalam arti yang sebenarbenarnya dan seluas-luasnya. Ketika perlawanan dominan dalam diri Civil Society maka masyarakat akan mengerti bahwa mengambil tindakan tegas atas berbagai bentuk dominasi dan hegemoni dari mana pun asalnya, merupakan keniscayaan politik sebagai warga negara. Tanpa “roh” perlawanan ini organisasi-organisasi maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat tidak mungkin mengembangkan dirinya secara genuine. Taruhlah misalnya dengan konsep tentang otonomi dan kebebasan dalam Civil Society. Bagaimana mungkin masyarakat 18 Sebagai contoh, di Indonesia relasi antara negara dan civil society kadangkadang menunjukkan kerjasama yang menarik. Hal ini terlihat dari adanya kerjasama antara organisasi civil society dengan pemerintah baik di dalam perencanaan kebijakan maupun di dalam usaha untuk melakukan perlawanan terhadap aspek tertentu (korupsi misalnya). Perkembangan relasi antara organisasi civil society dengan militer yang di negara demokrasi menunjukkan pemilahan antara peran militer dengan civil society namun di Indonesia hal tersebut kadang-kadang malah terjadi kerjasama. Sebagai contoh pada peristiwa penolakan Jenderal Wiranto (Mei 1998) untuk mengambil alih kepemimpinan nasional pada saat ada “kefakuman kekuasaan”, atau pada saat Pesiden Gus Dur mengundurkan diri (Juli 2001), militer juga tidak mengambil alih kekuasaan nasional (Nyman, 2009). 39 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote memiliki otonomi dan kebebasan tanpa ia punya semacam “the will to resist”? Karena otonomi bukanlah konsep eksklusif, yang memisahkan kita dari kelompok lain. Demikian juga dengan otonomi, kebebasan, kemandirian dan semacamnya tentu merupakan buah dari sikap perlawanan yang memberi spirit pada aktifitas praktis kita. Ia tidak diberikan oleh orang atau institusi di luar kita. Perlawananlah yang menghadirkannya sebagai bentuk pengakuan atas eksistensi sosial dan politik kita sebagai counterpart mereka dalam sebuah masyarakat. Tanpa roh perlawanan, kehidupan sosial hanyalah lapis-lapis beku yang menyengsarakan; tak lagi ada dinamika dan dialektika. Tidak bisa dielakkan bahwa perlawanan dalam keberhadapannya dengan dominasi dan hegemoni adalah energi utama proses humanisasi dunia. Kerangka Pemikiran Teoretis Beberapa kerangka pemikiran teoretis bisa bermanfaat di sini. Mulai dari teori negara, teori civil society, teori social movement dan teori strukturisasi. Teori negara, teori civil society dan teori gerakan sosial perlu disajikan karena unit analisis dalam disertasi ini adalah negara dan civil society sebagai the free public sphere. Teori Negara Sejak awal perkembangan Ilmu Politik, negara adalah obyek kajian yang penting dan sentral serta mengungguli tema-tema lainnya.19 Namun, memasuki akhir 1950-an sampai pertengahan 1970an konsep negara pernah hilang sama sekali dari perbendaharaan Ilmu Politik. Kala itu, konsep kelompok kepentingan partai politik, perilaku pemilih, birokrasi, pemerintah, perilaku legislatif, elit politik dan kepemimpinan, analisis kebijakan publik, dan pembangunan politik 19 Lihat Chandoke (1995) dan Gafar (2001) 40 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka lebih menarik perhatian para akademisi. Negara lebih dilihat sebagai arena persaingan kepentingan yang terlalu normatif.20 Ada banyak teori negara yang beredar dalam khazanah sosial dan politik.21 Namun, tidak semua relevan untuk menjelaskan watak negara Indonesia. Kondisi obyektif negara di Indonesia tidak dapat dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu teori negara saja. Ada bagian-bagian tertentu dalam karakter ini yang bisa menunjukkan berlakunya salah satu teori. Tapi bagian-bagian lain dari dinamika relasi negara-civil society tidak terjelaskan oleh teori yang sama. Tidaklah mudah menentukan teori mana yang bermanfaat dalam menganalisis dinamika dan posisi negara yang sifatnya kompleks. Untuk itu penulis mencoba menggunakan secara eklektik dan komplementer dua teori negara yang menjadi acuan di sini, yaitu Teori Negara Pluralis dan Teori Negara yang dikemukakan oleh Eric A. Nordlinger. Kedua teori ini menurut hemat penulis relatif relevan untuk menjelaskan dinamika dan posisi negara di Indonesia. Teori Negara Pluralis bisa dipakai untuk melihat pluralitas kekuatan politik dalam kompetisinya merebut kekuasaan institusi-institusi negara. Sedang Teori Negara Nordlinger berguna untuk melihat karakter negara di Indonesia. Teori Negara Pluralis sangat menekankan sistem politik yang terbuka dan demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok sosial bersaing menduduki negara. Prosedur politik untuk mewujudkan semual hal ini adalah melalui Pemilihan Umum (Budiman, 1996). 20 Lihat Ramlan Surbakti, “Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan Negara dan Masyarakat”, Jurnal Ilmu Politik, No 14, 1993 hal 3. 21 Dilihat dari perkembangan Ilmu Politik dan akar ideologisnya, kategori negara sekurangnya meliputi: Teori Negara Formal, Teori Negara Kapitalis Klasik, Teori Negara Marxis Klasik, Teori Negara Bonapartis, Teori Negara Pluralis, Teori Negara Korporatis, Teori Negara Strukturalis, dan Teori Negara Organis, (Lihat Eep Saefulloh Fatah, “Teori Negara dan Negara Orba”, Prisma Nomor 12 Desember 1994). Teori lain yang banyak menyita perhatian ilmuwan yaitu Teori Negara Otoritarian-Birokratis dan Teori Negara PascaKolonial yang merujuk pada pengalaman negara-negara Dunia Ketiga. (Lihat David Coller, The New Authoritarianism in Latin America, Princeton, New Jersey, Princeton University Press, 1979). 41 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote Mekanisme Pemilu berkala dan demokratis selain membuka persaingan antar semua kelompok dalam menguasai institusi negara, juga mencegah termanifestasinya anarkisme dalam berkompetisi dan berkonflik menguasai negara. Menurut Nordlinger, karakter negara bisa diketahui dengan melihat bagaimana derajat otonomi negara (state autonomy) serta dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state) tersebut, apakah tinggi, moderat atau malah rendah. Nordlinger lalu menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat (strong states), negara independen (independent states), negara responsif (responsive states) dan negara lemah (weak states) (Nordlinger, 1994). Negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan masyarakatnya tinggi. Negara bertindak berdasar preferensinya dan masyarakat selalu mendukung tindakan-tindfakannya itu. negara independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun dukungan masyarakatnya rendah. Seringkali negara bisa mewujudkan kepentingannya menjadi kebijakan publik, kendati berbeda dengan preferensi masyarakatnya. Negara responsif adalah negara yang derajat otonominya rendah tapi dukungan masyarakatnya tinggi. Sedang negara lemah ialah negara yang derajat otonomi dan dukungan masyarakat yang rendah (Nordlinger, 1994). Teori Masyarakat (Civil Society) Konsep masyarakat sering berada di bawah disiplin sosiologi. Sosiologi sendiri dimengerti sebagai ilmu tentang kehidupan masyarakat. Menurut definisi sosiologi, masyarakat merujuk pada kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang cukup lama dan mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama (Soekanto, 1994). Dalam politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik, yaitu apa yang disebut dengan Civil Society. Mengkaji masyarakat dengan rujukan politik sering kali membawa kita kepada diskursus civil society. Pemahaman tentang civil society menjadi penting ketika 42 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka negara dibicarakan, sebab teori negara dan civil society memiliki keterkaitan yang erat. Konsep civil society mungkin tampak sederhana, namun secara historis ia merupakan gagasan yang berbelit-belit dan sukar dimengerti. Seringnya civil society secara keliru dianggap sebagai lawan militer ialah bukti bahwa konsep ini tidak mudah dipahami. Rahardjo (1995) menginventarisir tiga bentuk pengertian civil society yang sekiranya cukup untuk memahami konsep ini. Pertama, civil society adalah suatu masyarakat politik (political society) yang punya lembaga-lembaga (misalnya, negara dan partai politik), tatanan hukum (legal code), tatanan sipil (civil code), dan budaya kota (urban civility). Kedua, civil society merupakan kolektifitas yang berbeda dengan negara. Civil Society adalah segala tatanan (arragement), aturan (code) dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara. Artinya, terdapat dikotomi antara negara dan civil society. Ini adalah pengertian yang paling banyak dipakai sekarang. Jika orang menyebut civil society, ia meletakan negara di luarnya atau di atasnya. Ketiga, civil society dilihat identik dengan masyarakat borjuis (buergerliche gesselcshaft). Pengertian ini muncul karena adanya kenyataan bahwa yang membentuk negara itu adalah kaum borjuis. Penulis menggunakan konsep civil society secara eklektik dan dalam konteks demokrasi, namun tetap berpijak pada perbedaan negara dan civil society sebagai dua entitas yang harus terpisah. Penulis bertolak dari proposisi bahwa negara dan masyarakat adalah dua entitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Derajat pengaruh ini banyak ditemukan oleh ada tidaknya keseimbangan antara keduanya. Jika keseimbangan antara keduanya tercipta, maksudnya sama-sama kuat, itu artinya demokrasi mungkin dihadirkan. Tapi kalau negara lebih kuat, maka umumnya masyarakat berada dalam posisi yang lemah, begitu pula sebaliknya. Akibatnya demokrasi menghadapi kendala serius untuk terwujud. 43 Relasi Negara dan Masyarakat di Rote Teori Gerakan Protes Sosial: Perspektif Moral Ekonomi Scottian Teori gerakan protes kaum petani di Asia dipelopori oleh James C. Scott (1976, 1985, 1989), Migdal (1974), dan Wolf (1969). Perspektif Teori Moral Ekonomi Scottian memandang model gerakan protes kaum petani sebagai model perlawanan “Gaya Asia”. Menurut Scott (1985) meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan mengakibatkan, pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan lapisan miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk protes kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan protes dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan protes menghadapi kaum kaya maupun negara. Gerakan protes yang dimaksudkan oleh Scott (1993) adalah: ..tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, dan penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutan sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.” Dari definisi Scott di atas, ada tiga hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, tidak ada keharusan bagi gerakan protes masyarakat untuk mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, protes sosial merupakan masalah yang sangat pelik. Ketiga, definisi ini mengakui apa yang dapat dinamakan protes (baca: perlawanan) simbolis atau ideologis (misalnya menolak membayar pajak) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas. Jika posisi negara masih begitu kuat dan represif, seperti gerakan protes masyarakat di Desa Bo'a pada Tahun 1932 dan Tahun 1960 dengan motif yang sama yaitu menolak membayar pajak (lihat Bab 4) boleh jadi situasinya tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Scott di atas. Namun, bentuk dan strategi gerakan 44 Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka petani model Scottian tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh gerakan protes masyarakat di Rote terutama di era reformasi yang sudah sangat terbuka, ekspresif, eksplosif, demonstratif, massal, dan ekspansif seperti gerakan protes masyarakat terkait dengan hasil Pemilihan Kepala Daerah Bupati Rote Ndao Tahun 2008 (lihat Bab 6). Kesimpulan Dari uraian pada bab ini, dapat penulis simpulkan bahwa titik temu antara negara dan masyarakat adalah adanya ruang (space) di mana masyarakat mempunyai ruang yang bebas (free public sphere) untuk melakukan segala aktivitasnya pada berbagai aspek dan memiliki akses yang luas terhadap negara/lembaga-lembaga negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) dan lembaga non negara seperti partai politik dan organisasi masyarakat sipil/organisasi non pemerintah (non government organization). Karena itu, Civil Society di dalam penelitian ini dipahami sebagai sebuah ruang interaksi antara negara dan masyarakat 45