Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

advertisement
Bab Dua
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
Dalam suatu penelitian ilmiah diperlukan landasan pemikiran
secara teoretis untuk mengetahui sejauhmana ilmu yang berhubungan
dengan masalah penelitian telah dikembangkan. Selanjutnya pemikiran
teoretis yang dikembangkan dari literatur-literatur akan membantu
penulis untuk lebih kritis dan analitis dalam penelitian di lapangan
sampai dengan tahap penulisan hasil penelitian.
Pembatasan Arti Sebuah Istilah
Persoalan klasik yang senantiasa dihadapi ilmu sosial adalah
masalah pembatasan atau pemberian arti sebuah istilah. Dalam ilmu
sosial tidak pernah ada satu istilah pun yang memiliki arti tunggal.
Demikian pula dengan istilah Negara dan Civil Society tidak saja
pengertiannya bermacam-macam, tetapi juga kontroversial. Ini
merupakan konsekuensi logis dari realitas sosial yang selalu berubah;
beranekaragamnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik
masyarakat yang hendak dijelaskannya (positivisme), dipahaminya
(interpretatif), dan diubahnya (kritisisme); adanya hubungan timbalbalik antara realitas sosial (yang diteorikan) dengan teori sosial (yang
direalitaskan)8 dan khusus untuk konteks Indonesia adalah adanya
8
Menurut kubu teoretisi kritis Mazhab Frankfurt, jika teoretisi sosial berusaha
melepaskan; lebih tepatnya menutup mata dan menegasikan; kaitan antara
realitas sosial dan teori sosial, maka pada saat itulah ilmu sosial mengalami
krisis. Untuk menangani krisis, maka tugas utama teoretisi sosial adalah
melakukan kritik pada dua tataran sekaligus, yakni tataran teori sosial dan
realitas sosial. Pada tataran teori, dia harus mampu membongkar ideologi dan
kepentingan yang menyelubungi upaya pemurnian (semu) teori sosial dari
realitas sosial; sedangkan pada tataran realitas sosial dia harus mampu
menggunakan teori sosial sebagai alat bagi pembebasan (emansipasi) manusia
dari ketertindasan; dominasi kapitalisme.
13
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
persoalan kekurangtepatan perangkat teoretis yang berasal dari Barat
untuk menjelaskan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.9
Civil Society
Istilah civil society pertama kali dipakai di Eropa pada abad ke18 sebagai terjemahan dari bahasa Latin societas civilis yang untuk
beberapa bahasa pada waktu itu diartikan sebagai state dan political
society atau seluruh kenyataan yang menyangkut politik. Locke
menterjemahkan civil society sebagai civil government. Kant
menterjemahkannya sebagai burgerliche gesellschaft dan Rousseau
menterjemahkannya sebagai e’tat civil (Bottomore, 1993).
Munculnya konsep civil society di Eropa tidak dapat dilepaskan
dari munculnya konsep natural society. Konsep ini adalah suatu konsep
tentang masyarakat di mana mereka hidup secara alamiah yang belum
mengenal hukum, kecuali hukum alam. Untuk mengatasi hal yang
tidak menentu yang memungkinkan adanya pertentangan antar
kelompok atau antar individu kemudian rakyat menyerahkan
kekuatannya kepada suatu badan yang disebut sebagai negara. Badan
ini kemudian berkembang dan mempunyai kekuasaan yang sangat
besar yang mampu mengontrol semua kehidupan masyarakat.
Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan dan
hukum politik yang dikenal sebagai political society (Budiman, 1990).
Menurut teori kaum liberal, civil society bukanlah natural society dan
bukan pula political society, namun suatu tatanan masyarakat yang
didasarkan pada hak dari manusia (civil right), seperti hak untuk
hidup, hak untuk bebas, hak untuk memiliki, dan lain-lain (Budiman,
1990; Chandhoke, 1995).
9
Merujuk pada Alatas, kekurangtepatan itu meliputi segi kekurangaslian,
ketidaksesuaian antara asumsi dengan kenyataan; ketidakterapan (teori,
konsep dan cara Barat tidak bisa diterapkan dalam konteks masyarakat bukan
Barat; pengasingan (terjadinya pengasingan ilmu sosial dari konteksnya akibat
dari faktor pertama dan kedua), keremehan, kekeliruan, dan kesederhanaan.
Untuk lengkapnya. lihat Syed Farid Alatas, 2003.;Pengkajian Ilmu-ilmu Sosial:
Menuju ke Pembentukkan Konsep Tepat dalam Jurnal Antropologi Indonesia,
Th. XXVII, No. 72, Sep-Des 2003, hal 1-23
14
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
Konsepsi modern tentang civil society pertama kali dipakai
oleh Hegel dalam Philosophy of Right pada tahun 1821. Dia
menyebutkan bahwa “civil society is sphere of ethical life interposed
between the family and the state”. Definisi ini kemudian
dikembangkan oleh Larry Diamond (1994) yang mengartikan bahwa
“civil society is the realm of organized social life that is voluntary, selfgenerating, self-supporting, autonomous from the state, and bound by
legal order or set of shared rules”. Dengan demikian pandangan teori
liberal tentang civil society pada hakikatnya menginginkan adanya
suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari
hegemoni negara (Hikam, 1996).
Chandhoke (1995) mengemukakan suatu definisi, yang
nampaknya cocok untuk melihat perkembangan civil society di Rote,
bahwa civil society adalah suatu arena di mana masyarakat masuk ke
dalam hubungan dengan negara (“the site at which society enters into a
relationship with the state”). Chandhoke juga berpendapat bahwa civil
society menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana
rasional yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara (state acountability). Di dalam hal ini ada empat
persyaratan yang harus dipenuhi bagi keberadaan civil society yaitu:
Pertama, nilai dari civil society yang berupa partisipasi politik dan state
accountability. Kedua, institusi dari civil society yang berupa forum
yang representatif dan asosiasi-sosial. Ketiga, perlindungan dari civil
society adalah berhubungan dengan hak-hak individual secara umum.
Dan, keempat, anggota civil society adalah semua individu yang
dilindungi oleh hukum.
Berdasarkan pandangan Chandhoke, Schulte Nordholt (1999)
merangkum civil society ke dalam empat aspek utama, yaitu: Pertama,
adaya pertanggungjawaban negara. Kedua, keterbukaan atau
transparansi. Ketiga, pengakuan terhadap hak asasi manusia. Dan
Keempat, inklusivitas. Dengan demikian pandangan ini pada
hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai
kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Di dalam hal ini
memang dapat terjadi suatu situasi hegemoni yang dilawan dengan
counter hegemony, namun tidak berarti bahwa state and society harus
15
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
selalu bertentangan. Yang dituju adalah suatu bentuk keseimbangan
antara kekuasaan negara dengan kedaulatan rakyat.
Civil Society sebagai sesuatu yang berbasis pada realitas sejarah
pada dekade abad 20-an yang lalu, sering digunakan menuju ke aksi di
antara masyarakat, yang memampukan mereka untuk menolak negara
mereka yang tidak demokratis, dan hal itu diperjuangkan terus,
menuju ke demokratisasi. Terminologi civil society dihidupkan
kembali pada Tahun 1980-an hingga Tahun 1990-an, yang
menggambarkan bahwa (1) Perjuangan pro-demokrasi di Eropa Timur
terhadap negara sosialis yang otoriter; (2) Reaksi masyarakat terhadap
meningkatnya tekanan aturan komunis di Eropa Timur; (3) Transisi
aturan otoriter di Eropa Selatan dan Amerika Latin; (4) Bertumbuhnya
gerakan anti pemerintah, karena runtuhnya rejim otoriter, pada apa
yang disebut sebagai “Dunia Ketiga”; (5) Suatu alasan dari korporasi
negara berkembang di masyarakat barat; (6) Mobilisasi gerakangerakan yang serentak di Asia Tenggara, mulai dari “Manilas, people
power” Tahun 1986 di Filiphina, di Bangkok (“Tidak boleh lagi
Diktator”) pada Tahun 1992, di Thailand hingga ke Jakarta dan Kuala
Lumpur, yakni “Gerakan Reformasi” di Indonesia dan Malaysia.
Berdasarkan peristiwa historis tersebut, dan keterkaitannya
dalam menggunakan terminologi civil society, ada 2 hal yang perlu
dicatat. terminologi ini telah digunakan oleh para penulis Abad 19, dan
oleh Hegel, dalam pekerjaan/tugas dalam Hukum Alam, Ilmu
Pengetahuan, dan elemen dari falsafah mengenai Hak, yang
berhubungan dengan apa yang kini disebut sebagai “Negara” (Knox,
1967; Budiman, 1990), tidak menutup kemungkinan pada tingkat itu,
konsep dari civil society, tidak dapat berbuat apa-apa, terhadap setiap
komitmen ke arah Demokratisasi.
Di Indonesia istilah civil society sulit diterjemahkan secara
langsung. Sebagian pihak menterjemahkannya dengan istilah “masyarakat sipil” atau “masyarakat madani” atau “masyarakat kewargaan”.
Namun terjemahan tersebut sebenarnya kurang pas dengan makna yang
sesungguhnya. Istilah “masyarakat sipil” pada Era Pemerintahan Suharto
sering digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk
16
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
mengurangi pengaruh peran militer yang pada waktu itu sangat besar.
Namun penerjemahan ini menjadi salah karena istilah sipil di Indonesia
diterjemahkan sebagai bukan militer (non militer), padahal arti civil atau
burgerliche merupakan seluruh lapisan masyarakat yang bukan negara
dan bukan keluarga. Burgerliche juga tidak dapat diterjemahkan sebagai
borgeoise karena borjuis hanya merupakan salah satu kelas dalam
masyarakat. Oleh karena itu maka Magnis Suseno (1992) menerjemahkannya sebagai masyarakat luas.
Istilah civil society juga sering diterjemahkan sebagai
“masyarakat madani”. Istilah ini di Indonesia pertama kali dikemukakan
oleh Nurkolis Madjid pada awal tahun 1990-an (Madjid, 1999). Istilah ini
merupakan konsep yang menggambarkan suatu masyarakat yang
sangat beradab pada masa Pemerintahan Nabi Muhamad (awal Abad ke
VII) dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya, yang sangat
menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas. Pada masa itu telah
disepakati adanya pengakuan keberbedaan dan toleransi yang
dituangkan dalam suatu piagam yang disebut Piagam Madinah.10 Dalam
kaitannya dengan keberadaan negara, konsep masyarakat madani
mengambil makna yang lebih lunak, melengkapi, dan tidak
konfrontatif (Ibrahim, 2006). Kelompok ini berpendapat bahwa civil
society tidak akan berarti tanpa adanya negara yang kuat.11 Di sini
makna masyarakat madani bukan merupakan alat perjuangan untuk
mengembangkan demokrasi atau kedaulatan rakyat. Dengan kata lain,
nuansa dari pemaknaan civil society di sini lebih merupakan makna yang
10
Menurut piagam Madinah ada 10 prinsip pembangunan Masyarakat Madani
yaitu (Sukidi, 1998): (1) Kebebasan agama; (2) Persaudaraan seagama dan
keharusan untuk menanamkan sikap solidaritas yang tinggi terhadap sesama; (3)
Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama; (4) Saling membantu, dan
semua orang punya kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat; (5)
Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara; (6) Persamaan
didepan hukum bagi setiap warga negara; (7) Penegakan hukum; (8)
Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman kepada keadilan dan
kebenaran; (9) Perdamaian dan kedamaian; dan (10) Pengakuan hak atas setiap
orang atau individu.
11
Masyarakat Kristen menolak penggunaan istilah Masyarakat Madani karena
adanya pemahaman Masyarakat Madani yang mengandung makna adanya
supremasi kelompok muslim terhadap kelompok lain.
17
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
bersifat pelengkap atau complement bagi negara. Dengan demikian maka
terjemahan istilah civil society dengan istilah masyarakat madani
nampaknya perlu kehati-hatian di dalam penggunaannya karena adanya
penggunaan istilah baku yang dipakai di Eropa sejak abad kesembilan
belas.
Beberapa pakar di Indonesia, menterjemahkan civil society
dengan “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan”. Hikam (1996),
mengartikan bahwa civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial
yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan
terbebas dari tekanan negara, yang terikat oleh hukum yang berlaku.
Dengan demikian pandangan ini pada hakekatnya menginginkan adanya
suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari
hegemony negara. Makna dari “masyarakat warga” mengandung konotasi
adanya masyarakat yang beradab (civilized society) dan sadar akan hakhaknya, yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan
sistem hukum daripada kepada aturan yang bersifat otoriter yang
menindas. Dengan demikian pandangan ini menganggap civil society
sebagai suatu gerakan rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni
negara.
Berdasar perdebatan di atas maka paling tidak ada dua
pembagian tentang makna civil society yaitu yang lebih menekankan
kepada aspek vertikal yang lebih memaknainya pada adanya keotonomian dari negara dan pasar dan lebih banyak terkait dengan fenomena
politik (Sujatmiko, 2003). Di sini civil society merupakan arena publik
yang proses-proses di dalamnya banyak didukung oleh LSM yang
melakukan kritik rasional terhadap negara. Tujuan dari proses dalam
arena tersebut adalah untuk memberdayakan masyarakat yang
bermuara pada demokratisasi dan mengurangi intervensi negara ke
dalam aktivitas mereka. Konsep yang kedua, lebih menekankan kepada
aspek horisontal dari budaya, yang lebih dekat dengan makna
masyarakat yang beradab, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai
masyarakat madani.
Perkembangan konsep civil society di Indonesia sebenarnya
lebih terkait dengan aspek vertikal yang terkait dengan perkembangan
18
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
politik pada Masa Orde Baru. Pada masa itu negara mampu melakukan
kontrol dan intervensi keperbagai kehidupan masyarakat. Oleh sebab
itu maka konsep civil society menjadi lebih dihadapkan kepada semacam
konsep "political society". Dengan demikian usaha untuk mewujudkan
civil society sebenarnya sejalan dengan usaha untuk mengurangi
kekuasaan negara. Dengan adanya masyarakat yang kuat dapat
diharapkan menjadi satu prakondisi yang vital bagi adanya demokrasi.
Berdasar pemikiran yang terakhir inilah salah satu pakar perempuan dari
India, Chandhoke (1995) mengemukakan suatu definisi bahwa civil
society adalah suatu tempat (arena) dimana masyarakat masuk ke dalam
hubungan dengan negara ("the site at which society enters into a
relationship with the state"). Dia juga berpendapat bahwa civil society
menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana yang rasional
yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungan jawab
negara (state acountability). Di dalam hal ini ada empat persyaratan yang
harus dipenuhi bagi keberadaan civil society yaitu: Nilai dari civil society
yang berupa partisipasi politik dan state accountability; (2) Institusi dari
civil society yang berupa forum yang representatif dan asosiasi sosial; (3)
Perlindungan dari civil society adalah berhubungan dengan hak-hak
individual secara umum; dan (4) Anggota civil society adalah semua
individu yang dilindungi oleh hukum.
Berdasar semua uraian di atas maka pada akhirnya dapat
dikemukakan bahwa suatu masyarakat dapat disebut sebagai (menjadi)
civil society apabila memenuhi syarat berikut ini (Nordholt, 1999;
Suwondo, 2004, 2005; Wiloso, 2009): (1) masyarakat memiliki
kemandirian melakukan inisiatif dalam melakukan aktivitasnya yang
bersumber dari masyarakat itu sendiri dan negara berperan sebagai
fasilitator (regulasi, mengatur kompetisi, melindungi kepentingan
publik); (2) masyarakat memiliki kebebasan/akses yang luas terhadap
negara dalam menyampaikan apirasi mereka misalnya dalam bentuk
contacting, unjuk rasa, dan berserikat/berorganisasi sepanjang tidak
melanggar hukum dan mengganggu kepentingan umum.
Dalam disertasi ini, Civil Society dipahami sebagai Ruang Publik
(Public Sphere/Free Public Sphere) di mana ada ruang (space) bagi setiap
individu atau kelompok dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dan
19
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijakan publik/kebijakan
pembangunan dalam negara. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 2.1
berikut ini:
Negara (State)
Free Public Sphere
Masyarakat
Gambar 2.1. Interaksi Negara dan Masyarakat
Pembahasan tentang negara, civil society sebagai public sphere dan
masyarakat dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Negara
Negara adalah sebuah lembaga purba manusia yang telah ada
sekitar 10.000 tahun yang lampau sejak masyarakat pertanian pertama
muncul di Mesopotamia. (Fukuyama, 2005). Di Cina, sebuah negara
dengan birokrasi yang sangat terlatih telah ada selama ribuan tahun. Di
Eropa, negara modern, yang mempunyai pasukan besar, kekuasaan
perpajakan, dan sebuah birokrasi terpusat yang dapat menjalankan
otoritas tertinggi atas suatu wilayah luas, muncul lebih belakangan,
sekitar empat atau lima ratus tahun sejak konsolidasi kerajaan-kerajaan
Perancis, Spanyol dan Swedia. Munculnya negara-negara ini, dengan
kemampuan mereka menyediakan keteraturan, keamanan, hukum dan
jaminan hak milik, merupakan suatu hal yang memungkinkan
munculnya dunia ekonomi modern (Fukuyama, 2005).
Negara mempunyai fungsi yang sangat beragam, mulai dari
yang paling baik hingga yang buruk. Kekuasaan untuk memaksa yang
memungkinkan mereka melindungi hak milik pribadi dan
menciptakan keinginan publik juga memungkinkan mereka
20
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
mengambil alih hak milik pribadi dan melanggar hak-hak warga
negara mereka. Dengan demikian, tugas politik modern adalah
menjinakkan kekuasaan negara, mengarahkan kegiatannya ke arah dan
tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya, dan
menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum (Fukuyama, 2005).
Menurut Chandoke (1995) Negara selalu menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari ilmu politik atau negara telah berhasil
mempesonakan imajinasi para teoretisi ilmu politik, karena telah
menjadi berbagai pertanyaan sentral mereka sejak zaman Plato. Banyak
teoretisi ilmu politik memperhitungkan studi tentang negara dan
rasion ďêtre dari subyek ilmu politik. Konsekuensinya, teori politik
sejak dahulu sampai sekarang sedikit banyak dipenuhi pertimbangan
akan negara (Chandoke, 1995). Walaupun negara tetap menjadi
perhatian, akan tetapi menurut perpektif Liberal-Pluralis maupun
Marxis yang mendominasi teori politik tentang negara sampai tahun
1970-an, studi tentang negara tidaklah menjadi begitu penting. Sebab
bagi perspektif tersebut “negara hanyalah arena tempat konflik
kepentingan sosial ekonomi saling berbenturan satu sama lain”, atau
“negara menjadi alat kelas dominan”. Studi tentang negara, baik negara
dalam makna aparatur maupun dalam arti ideologi dalam rangka
memperkuat hegemoni negara, tidak begitu menjadi perhatian utama.
Perhatian lebih banyak terhadap masyarakat, khususnya apa yang
dikenal dengan Civil Society.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem
kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan
stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja.
Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu,
negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional
sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan
pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individuindividu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas
manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan
manusia agar tidak bertindak irrasional (Fukuyama, 2005).
21
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu,
Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara. Di dalam
negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah
pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang
digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah
negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif,
Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan
sekaligus yang tertinggi dari semuanya (Muukkonen, 2000)
Sementara itu, menurut Marx, Negara muncul sebagai akibat
dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan
proses kapitalisme yang ada dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam
masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis
sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi
konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu
dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut
(Shils, 1997).
Negara dan Civil Society
Dalam rangka memahami makna masyarakat sipil (Civil
Society) itu perlu ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran
terdahulu. Penelusuran pengertian Civil Society tidak bisa dilepaskan
dari pemikiran negara karena keberadaan Civil Society erat terkait
dengan konsep negara itu sendiri. Oleh karena itu setiap analisis
mengenai Civil Society selalu berkaitan dengan negara.
Penelusuran pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran
Hegel, Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari
Hegel kemudian Marx dan terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan
berdasarkan kronologi sejarah itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan
dicoba diperlihatkan pemikiran mana yang disangkal oleh pemikiran
selanjutnya, pemikiran mana yang diterima atau dirumuskan kembali
dengan pemikiran baru. Pada bagian akhir tulisan ini, diberikan
kesimpulan yang berisi garis besar pembahasan tulisan dan kontribusi
pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi pemaknaan demokrasi.
22
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
Pandangan Hegel tentang Negara dan Civil Society
Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara
tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right, negara
dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu yaitu
keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan negara
sebagai sintesis (Muukkonen, 2000).
Dialektika itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga
merupakan tahap pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak
obyektif dalam keluarga itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak. Konsekuensinya, barang atau harta benda yang
semula milik dari masing-masing individu menjadi milik bersama.
Akan tetapi, keluarga mengandung antitesis yaitu ketika individuindividu (anak-anak) dalam keluarga telah tumbuh dewasa, mereka
mulai meninggalkan keluarga dan masuk dalam kelompok individuindividu yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat sipil (Civil
Society). Individu-individu dalam masyarakat sipil ini mencari
penghidupannya sendiri-sendiri dan mengejar tujuan hidupnya
sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi tertinggi mempersatukan
keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat
subyektif atau partikular (Stumpf et al, 1994).
Meskipun logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear,
namun Hegel tidak bermaksud demikian. Hegel memaksudkan bahwa
dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis (Stumpf,
1994). Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan
masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain,
masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan dari negara.
Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat
pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan
kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme (McClelland, 1996).
Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk
masyarakat di mana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa
saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka
mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada
anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal
23
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
karena negara dan Civil Society terpisahkan. Masyarakat sipil adalah
masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena
anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi
satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri
dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan
pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan
sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota
masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional (Stumpf,
1994)
Pandangan Marx tentang Negara dan Civil Society
Marx memandang Civil Society sebagai masyarakat yang
dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan
pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan
pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum
borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum
buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi
(propertyless) (Shils, 1997). Pembagian struktur dalam masyarakat sipil
itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi.
Sistem hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia mengalami alienasi. Buruh terasing dari
pekerjaannya karena pekerjaan itu tidak lagi mencerminkan tindakan
paling luhur manusia tetapi menjadi sesuatu yang rutin, membosankan
dan tanpa makna, demi mendapatkan upah. Buruh juga terasing
dengan majikan karena masing-masing mencari kepentingan sendirisendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh karena mereka saling
berebut pekerjaan (Suseno, 1991).
Masyarakat sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh
majikan. Buruh diperas tenaganya demi kepentingan majikan.
Gambaran ini merupakan konsekuensi dari pandangan Marx atas Civil
Society sebagai masyarakat kapitalis.
24
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis
untuk mempertahankan kepentingannya (Suseno, 1991).12 Pandangan
ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang
menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan
dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun
ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia
berada dalam bangunan bawah (base structure). Negara menjadi alat
kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap
kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari
usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral,
agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis”
berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang
dilakukan oleh kaum majikan.
Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis
untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam
dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil
dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam
masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme.
Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam
upaya yang akan menggagalkan proses tersebut.
Pandangan Gramsci tentang Negara dan Civil Society
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas
(super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil,
terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan
negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui
hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa
senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu
diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika
atau moral.
12
Lihat juga Daniel Nina, “Beyond the Frontier: Civil Society Revisited.”
Transformation 17 (1992), hal. 63.
25
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
Gramsci membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat
politik. Masyarakat politik adalah aparat negara yang melaksanakan
fungsi monopoli negara dengan pemaksaan, yang di dalamnya meliputi
tentara, polisi, lembaga hukum, penjara, semua departemen
administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan dan
sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara
kelompok tidak dilakukan dengan pemaksaan. Maka Gramsci
mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi
privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga
keluarga (Suseno, 1991).
Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam
masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik,
ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun
sering tidak kentara (Suseno, 1991).
Masyarakat sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat
kapitalis. Gramsci mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga
jenis hubungan yaitu hubungan dasar antara pekerja dan pemodal,
hubungan pemaksaan yang menjadi watak negara, dan hubungan sosial
lainnya yang membentuk masyarakat sipil. Maka bagi Gramsci,
masyarakat sipil bukan negara karena negara bersifat pemaksaan dan
bukan produksi karena dalam produksi terjadi tindakan pemaksaan
pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz merumuskannya
dengan mengatakan “Gramsci placed Civil Society between state and
market and outside of the private sphere of family and friendship.”
(Lipschutz, 2005)
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh
karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci
mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah
ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu
mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok
buruh harus mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada
26
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
dengan tetap mempertahankan unsur-unsur penting dari masingmasing ideologi itu dan menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru
yang mencakup semua termasuk kepentingan kelompok buruh sendiri.
Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok
buruh perlu melakukan kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok
buruh membangun hegemoni dengan melakukan “perang posisi”
melawan hegemoni negara yang telah menjadi blok historis. Pada
saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok buruh
harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis.
Ketika kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara,
masyarakat sipil harus sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur
dari kemampuan membangun hubungan secara otonom, kemampuan
mengatur dirinya sendiri (self-governing) dan adanya disiplin diri
masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan masyarakat sipil, maka
kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan yang kuat
terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh
karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar
masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif
individu dan kelompok.
Bagi Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat
sipil. Negara memiliki alat-alat pemaksaan yaitu lembaga-lembaga yang
disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata
melakukan pemaksaan saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia
sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan
hegemoni. Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang telah
terhegemoni oleh negara sehingga memampukan negara menjadi blok
historis berkat dukungan dari masyarakat sipil. Itulah sebabnya, ia
mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat politik dan
masyarakat sipil.
Pemikirannya mengenai negara sebagai masyarakat politik dan
masyarakan sipil melahirkan gagasan mengenai negara integral.
Pemahaman mengenai negara integral tidak bisa dilepaskan dari
gagasannya mengenai sifat kekuasaan. Kekuasaan dipahami oleh
Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi
27
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di
dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan sosial di antara
kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan
negara.
Gramsci memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam
gambaran Dewan Pabrik. Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan
gagasannya mengenai perlunya transformasi komisi internal yang ia
lontarkan saat ia duduk dalam kepengurusan komisi internal di Turin.
Inti gagasannya mengenai transformasi itu adalah agar komisi internal
sebagai organ kekuasaan proletarian menggantikan kelompok pemodal
dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dan administrasi
sehingga komisi internal bisa menjadi sekolah politik dan administrasi
bagi kaum pekerja. Gagasan itu diterima dengan cepat sehingga komisi
internal berkembang menjadi dewan pabrik. Dalam dewan pabrik ini,
pekerja dapat melakukan kontrol atas proses produksi, mengambil alih
fungsi manajemen dan administrasi. Dengan demikian, bagi Gramsci,
dewan pabrik membangun kesadaran politik akan negara demokrasi
langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya. Dengan
menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci
mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali
atas proses produksi berada di tangan kelompok buruh.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran
mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang surut dalam
perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil adalah
masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara.
Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas
yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak
dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel
sebagai pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum,
lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel
ini diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum
buruh. Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi
sehingga masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah
masyarakat dimana terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara
juga dipandang sebagai alat di tangan kaum borjuis untuk
28
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
mempertahankan kedudukannya. Maka Marx mencita-citakan sebuah
masyarakat tanpa kelas sehingga individu-individu mendapatkan
kebebasan dan bekerja seturut kodratnya sebagai manusia. Dalam
kondisi seperti ini, negara mati dengan sendirinya. Perwujudan utopi
itu dilakukan melalui revolusi yang akan menghapus kepemilikan alat
produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang teori ekonomistis
Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat sosialis harus
bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan oleh
kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat
sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri,
negara juga tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara
kelompok-kelompok itu. Negara di samping memiliki kekuatan untuk
membangun hegemoni masyarakat sipil, juga memiliki masyarakat
politik sebagai alat pemaksaan negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi perkembangan
demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan
masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga
akan menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan
kebebasan itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh
memperkuat demokrasi (Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis
terhadap negara (Gramsci) sehingga memungkinkan terciptanya
kehidupan yang lebih baik dengan dilandasi pada rationalitas dan
kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam hal ini harus terus menerus
menyandarkan diri dalam rasionalitasnya (Hegel) agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan berupa penyalahgunaan lembaga-lembaga
pemaksaannya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun penyalahgunaan
kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi atau
pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Dari uraian di atas, dalam konteks Rote masa kini (otonomi
daerah), negara seharusnya berperan sebagai fasilitator dengan
menghidupkan kembali pranata sosial yang hilang yaitu Nusak sebagai
29
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
sebuah lembaga perdamaian desa/lembaga adat.13 Kehadiran UU
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian
diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004) tampaknya memberi
peluang untuk menghidupkan kembali pranata sosial yang sudah lama
ada dalam kehidupan masyarakat Rote.
Gerakan Protes Sosial (Social Protest Movement)
Definisi “Protes Sosial” sangat bervariasi, tergantung pada
tempat, waktu dan siapa yang melakukan observasi terhadap fakta.
Konsep protes sosial sering tumpang tindih dengan konsep-konsep
lainnya seperti pembakangan, pemberontakan, perilaku kolektif, aksi
kolektif, demonstrasi, unjuk rasa, kekerasan sipil, gerakan sosial,
perlawanan, dan lain-lain. Ahli gerakan sosial terkemuka, Charles Tilly
(1981) rupanya lebih suka memakai istilah aksi kolektif ketimbang
protes sosial, pembangkangan atau pemberontakan. Beberapa konsep
yang terakhir itu, menurut Tilly, mencerminkan pendakwaan terhadap
maksud dan posisi politik para aktor dari kacamata pemegang
kekuasaan.
Menurut Lofland (1996), ada tiga aspek yang harus
dipertanyakan atau dikaji bila hendak mengetahui bangunan organisasi
gerakan protes sosial secara utuh, yaitu: aspek kepercayaan (beliefs);
aspek pengorganisasian (organization); dan aspek penyebab (causes).
Secara substansial aksi kolektif sebenarnya tidak berbeda
dengan protes sosial. Keduanya merupakan bentuk tindakan bersama
massa untuk menantang (melawan) pemegang kekuasaan. Sydney
Tarrow (1994) misalnya, mendefinisikan aksi kolektif sebagai
perlawanan bersama oleh rakyat (people) dengan upaya bersama dan
solidaritas dalam interaksi yang berlanjut dengan elite, musuhmusuhnya dan pemegang kekuasaan. Aksi kolektif bisa hadir dalam
13
Pranata sosial yang hilang yaitu: lembaga perdamaian desa/lembaga adat,
sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1953. Namun dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1974 justru mematikan
inisiatif masyarakat dalam bidang kelembagaan sosial.
30
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
bentuk asosiasi kepentingan, gerakan protes sosial, pemberontakan,
pembangkangan, atau revolusi.
Dalam proposal disertasi ini penulis menggunakan konsep
protes sosial (baca: perlawanan) ketimbang aksi kolektif meskipun
keduanya bisa saling dipertukarkan. Mengapa? Pertama, dalam
masyarakat selalu hadir penguasa dan rakyat yang dikuasai. Represi
adalah sumberdaya yang dimiliki oleh penguasa, dan protes atau
perlawanan adalah sumberdaya atau senjata milik rakyat (Scott, 2000).
Kedua, dibanding dengan aksi kolektif, protes sosial tampaknya jauh
lebih eksplisit, provokatif dan lebih membumi dalam konteks
masyarakat lokal di Indonesia. Aksi kolektif barangkali bisa hadir
sebagai perlawanan pasif, sedangkan protes sosial adalah perlawanan
secara aktif dan terbuka. Ketiga, protes adalah gerakan massa yang
lebih jelas, yang tidak semata-mata karena tidak puas atau emosi untuk
merusak tatanan sosial-politik, melainkan gerakan yang rasional dan
disengaja untuk mengawali perubahan politik.
Di sisi lain, dalam berbagai literatur ditemukan sebuah
pemahaman bahwa gerakan sosial tampil tidak sekadar protes,
pembangkangan, pemberontakan dan sebagainya. Tetapi teori gerakan
sosial “lama” yang sangat reduksionis dan dipengaruhi oleh
fungsionalisme struktural sama sekali tidak membedakan dengan tegas
perbedaan antara protes sosial dan gerakan sosial. Protes sosial adalah
strategi yang inheren dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sering
dipahami sebagai aksi bersama nonkelembagaan yang memiliki
komponen-komponen pasti seperti ideologi, program atau seperangkat
tujuan, taktik-taktik untuk mencapai tujuan, dan aktor sebagai
pemimpin, serta menawarkan perubahan atau perlawanan terhadap
suatu perubahan dalam masyarakat (Ralph Turner dan Lewis Killian,
1972). Bahkan Herberle (1951) melihat gerakan sosial sebagai bentuk
perilaku politik kolektif nonkelembagaan yang secara potensial
berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan.
Cara pandang yang reduksionis itu dikritisi oleh pendukung
“teori baru” gerakan sosial. Para teoritisi baru telah merumuskan
kerangka kerja yang memandang gerakan sebagai sesuatu yang
31
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
berkaitan dengan kelompok atau kepentingan sosial dalam konteks
kemasyarakatan yang lebih luas. Touraine (1971), misalnya mencatat
bahwa dalam masyarakat pascaindustri, gerakan kelas buruh atau
gerakan serikat buruh tidak berada lagi di pusat konflik masyarakat.
Kelas buruh, demikian tulis Touraine (1971), bukan lagi pelaku sejarah
yang istimewa, bukan karena gerakan buruh lemah atau tunduk kepada
strategi partai politik tertentu, ataupun karena pemimpin yang buruk;
tetapi lebih dikarenakan penggunaan kekuasaan di dalam perusahaan
kapitalis tidak lagi menempatkan seseorang pada pusat sistem ekonomi
dan konflik sosialnya.
Teori-teori baru gerakan sosial justru melihat gerakan sosial
sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam
hakikat praktek politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri.
Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu ciri gerakan sosial baru
adalah penolakannya atas analisis sosial yang didasarkan kepada
pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling bertentangan
secara tegas (borjuis dan proletar). Dalam situasi baru, keberagaman
aktor sosial memapankan kehadiran ruang autonomi mereka dalam
lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi. Berdasarkan analisis
dan pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak
gerakan sosial maka gerakan sosial harus dipahami dan ditempatkan
dalam konteks proses demokratisasi yang sangat luas. Proses
demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial atas aspekaspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik maupun aspek kehidupan
lainnya.
Baik mengikuti “teori lama” maupun “teori baru” gerakan sosial
atau yang lebih dikenal dengan Gerakan Sosial Lama (GSL) dan
Gerakan Sosial Baru (GSB)14. Protes sosial tetap merupakan strategi dan
taktik yang inheren dalam gerakan sosial. Protes sosial bisa dikatakan
sebagai gerakan sosial berskala rendah atau sebagai embrio dari gerakan
sosial yang menyeluruh untuk mendorong transformasi (perubahan)
sosial. Ini bukan karena setiap gerakan selalu tampil dengan wajah
14
Lihat Silaen. 2006. Gerakan Sosial Baru. Perlawanan Komunitas Lokal pada
Kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta: IRE Press.
32
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
yang keras dan ekstrem, tetapi karena protes sosial merupakan
sumberdaya yang utama sebagian besar orang untuk melawan musuhmusuhnya yang mempunyai perlengkapan lebih komplet. Setiap protes
sosial pasti mempunyai jaringan sosial rakyat, punya wacana ideologi,
dan perjuangan politik.
Lingkaran protes sosial tentu tidak muncul begitu saja sebagai
bentuk ekspresi spontan ketidakpuasan atau emosi yang meluap,
melainkan mempunyai tahap-tahap yang sistematis untuk mencapai
15
sasarannya. Smelser menyatakan terdapat enam tahap dalam suatu
perkembangan gerakan sosial. Pertama, stuctural conduciveness
menunjukkan pada suatu kondisi atau keadaan yang memungkinkan
munculnya suatu gerakan sosial, sebagai suatu contoh, masyarakat yang
didominasi oleh kaum pria dimana kaum wanita dieksploitasi dan
dijadikan warga kelas dua merupakan suatu kondisi awal bagi
munculnya suatu gerakan perempuan. Kedua, structural strain terjadi
apabila di dalam masyarakat yang secara struktural telah terkondusif
bagi munculnya suatu gerakan, berlangsung perasaan tidak puas di
kalangan anggota-anggotanya. Dalam hal ini warga masyarakat
merasakan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang ada di
sekelilingnya. Ketiga, growth an spread of generalized belief. Pada
tahap ini di kalangan anggota masyarakat ditumbuhkan dan disebarkan
keyakinan atau kepercayaan yang sifatnya umum. Adapun artinya,
kepada anggota masyarakat diyakinkan bahwa kondisi yang ada di
sekelilingnya tidak memuaskan dan perlu diadakan perubahan.
Keempat, precipitating factors. Tahap ini menunjukkan adanya suatu
peristiwa tertentu yang dapat mempercepat dan mengobarkan
munculnya suatu gerakan sosial. Tahap ini dapat dinyatakan tahap
yang memacu kemunculan suatu gerakan sosial. Kelima, mobilization
of participants for action. Tahap ini terjadi setelah berlangsungnya
suatu peristiwa yang menyulut sentimen dan rasa solidaritas massa.
Dengan adanya peristiwa tersebut maka massa atau anggota masyarakat
dibujuk untuk terlibat dalam suatu gerakan. Dalam hal ini peran yang
15
Lihat Protes Sosial dan Reformasi Politik (Artikel lepas di www.ireyogya.org
oleh Sutoro Eko, hal. 8). Diunduh pada tanggal 30 Januari 2008.
33
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
dipunyai pemimpin untuk memobilisir dan mengorganisir massa
sangatlah penting. Tanpa adanya pengaruh dari pemimpin terhadap
anggota masyarakat untuk bergerak, maka akan mudah sekali rintisan
munculnya suatu gerakan sosial dapat digagalkan. Keenam, application
of social control. Kontrol sosial pada umumnya dilakukan oleh mereka
yang memegang kekuasaan terhadap gerakan. Persoalannya adalah
apakah yang ada pada tangan penguasa digunakan untuk
menghancurkan gerakan ataukah justru kontrol sosial tadi menjadikan
gerakan sosial tersebut semakin berkembang dimana solidaritas
pengikut gerakan semakin tinggi.
Merujuk beberapa studi, mulai dari Smelser hingga Charles
Tilly (1967) maupun Robert Ted Gurr (1970), setiap protes sosial
melawati beberapa tahapan strategis. Tahap pertama, pernyataan
spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan sosial berawal
ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada di
sekelilingnya. Sebagian dari mereka kemudian mengelompokkan diri
dan menyatakan pandangan tentang ketidak-puasannya. Dalam tahap
ini suatu gerakan sosial menampakkan diri sebagai tindakan bersama
yang sifatnya spontan. Fungsi yang penting dari tahap pertama ini
adalah untuk menarik perhatian massa (publik) yang diharapkan dapat
memberikan dukungan untuk berlangsungnya suatu gerakan sosial.
Tahap kedua, pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika
beberapa individu menyatakan bahwa perubahan sosial yang diusulkan
mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil. Individu-individu ini
biasanya akan berperan sebagai pemimpin dan sebagai pemimpin
mereka mulai memberikan arah bagi berlangsungnya gerakan. Fungsi
yang penting dari tahap ini adalah diterimanya beberapa individu
sebagai pimpinan gerakan.
Tahap ketiga, transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi
tindakan yang terorganisir. Tahap ini sering disebut sebagai periode
pengorganisasian dan perencanaan. Pada tahap ini tindakan yang tidak
terstruktur yang terjadi pada tahap pertama ditransformasikan menjadi
suatu tindakan yang terorganisir. Sehubungan dengan hal tersebut
maka peranan pimpinan gerakan menjadi sangat penting. Pimpinan
harus mampu merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing
34
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
tercapainya tujuan akhir dari gerakan. Dalam hal ini memang
pimpinan gerakan harus melakukan banyak pekerjaan sebelum
tindakan yang bersifat spontan dan tidak terorganisir berubah menjadi
suatu gerakan sosial yang teratur dan terarah dengan baik. Salah satu
tugas para pimpinan gerakan yang penting adalah menjelaskan tujuan
yang dicanangkan kepada para pengikutnya sehingga mereka dapar
mengetahui dengan jelas ke arah mana mereka bergerak.
Tahap keempat, konfrontasi dengan “musuh” gerakan. Pada
tahap ini suatu gerakan sosial benar-benar dalam puncak keseriusan
dan mengajukan tuntutannya dan berusaha sekuat mungkin demi
diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam
posisi berhadapan dengan “musuhnya”, yaitu pihak-pihak yang
mengalami kerugian apabila kondisi “status quo” yang ada diguncang
oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan tahap yang relatif singkat
apabila gerakan dan “musuhnya” dapat dengan segera menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi dimungkinkan pula tahap ini
merupakan periode yang relatif lama dan hal ini dapat berlangsung
apabila gerakan dan “musuhnya” sama-sama mempunyai kekuatan
yang seimbang dan tidak bersedia menyerah dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Pada tahap ini kedua-belah pihak,
gerakan dan musuhnya, berusaha sekuat tenaga untuk melakukan
negosiasi dan untuk memecahkan masalah yang dihadapi demi
keuntungan masing-masing pihak. Esensi dari tahap ini adalah dapat
dinyatakan sebagai periode dimana gerakan berkonfrontasi dengan
“musuhnya” dan memaksa “musuhnya” tadi untuk memenuhi
tuntutan-tuntutannya.
Tahap kelima, Tahap ini merupakan tahap pencapaian hasil di
mana orang menyaksikan apakah gerakan yang sudah dan tengah
berlangsung mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan,
masyarakat akan mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul
dari persaingan antara gerakan dan “musuhnya”. Jika gerakan sukses
biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk menyebarluaskan pola
tindakan yang baru tadi ke seluruh lapisan masyarakat. Jika gerakan
gagal, para partisipan membubarkan diri atau mungkin merumuskan
35
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
kembali tujuan yang telah ditetapkan dan mencoba meraihnya melalui
gerakan yang baru. Beberapa tipe aksi kolektif dan perubahannya dapat
dilihat pada Tabel 2.1. berikut ini:
Tabel 2.1. Tipe Aksi Kolektif dan Perubahan
TIPE AKSI
PROTES SOSIAL
GERAKAN
SOSIAL
Penyadaran dan
penguatan masyarakat,
pengorganisasian dan
perlawanan kolektif
REVOLUSI
SOSIAL
Radikalisasi,
pengorganisasian
yang matang, dan
pemberontakan kelas
bawah
Strategi
Perlawanan
kolektif massa
terhadap
pemerintah
(negara)
Durasi
Pendek dan
spontan
Jangka panjang,
berkelanjutan
Reformasi politik
Transformasi Sosial
Spontan dan frontal
ketika kondisi
obyektifnya sedang
matang
Revolusi
Sasaran
Hasil
Perubahan
Perubahan
Perubahan gradual
Perubahan mendasar
kebijakan,
dan mendasar
struktur sosial dan
runtuhnya
terhadap struktur
politik.
penguasa,
sosial, budaya dan
perubahan
politik.
struktur politik
Sumber: Protes Sosial dan Reformasi Politik (Artikel di www.ireyogya.or.id oleh
Sutoro Eko, hal. 12 diunduh pada tanggal 30 Januari 2008).
Protes sosial adalah bentuk konflik sosial, tetapi konflik yang
terjadi bukanlah antara kelas buruh melawan kapitalisme, melainkan
konflik elemen-elemen masyarakat melawan negara atau elemenelemen massa melawan kelompok elite. Dalam kerangka protes
tersebut, kelompok massa melakukan perlawanan kolektif terhadap
pemerintah, dalam tempo yang pendek dan spontan, untuk mencapai
reformasi politik. Jika protes sosial tersebut sukses, maka akan diikuti
dengan jatuhnya penguasa sampai dengan perubahan kebijakan dan
struktur politik.
Memahami protes sosial bukan sekadar perilaku menyimpang
yang dilakukan secara kolektif oleh kumpulan orang-orang jalanan
yang punya mental kerumunan (crowded mental), melainkan sebagai
36
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
bentuk konflik yang tumbuh dalam konteks sosial masyarakat.
Argumen yang pertama ini menampik pandangan fungsionalisme
struktural yang selalu menilai protes sebagai perilaku kolektif yang
merusak tatanan sosial yang mapan, dan sebaliknya lebih banyak
merujuk pada tradisi Marxis. Akan tetapi konflik dalam protes sosial itu
tidak dipahami dalam kerangka teori konflik “lama” yang berpusat
pada konflik kelas, melainkan dipahami dalam kerangka teori konflik
“baru” yang difokuskan pada konteks konflik antara masyarakat dan
negara. Konflik sosial ini tidak dimaksudkan untuk menghancurkan
negara seperti dibayangkan oleh Marxisme ortodoks, melainkan
sebagai upaya untuk reformasi politik, serta sebagai embrio gerakan
sosial untuk mendorong demokratisasi, mengurangi hegemoni negara
di hadapan masyarakat, dan penguatan elemen-elemen masyarakat
sipil. Aktor-aktor strategis dalam masyarakat yang terlibat dalam
konflik (protes sosial) tidak lagi berpusat pada buruh dan tani,
melainkan berpusat pada elemen-elemen kelas menengah di perkotaan.
Gerakan Protes Sosial dalam Wacana Civil Society
Energi kolektif yang melahirkan praksis sosial dalam sejarah
masyarakat itu tidak lain adalah perlawanan (resistensi). Aktualisasinya
dapat muncul dalam berbagai bentuk gerakan sosial yang menerjang
batas-batas struktural dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah
perlawanan para Budak terhadap otoritas moral dan politik para Tuan
yang pada akhirnya menjebol sistem perbudakan dan memunculkan
formasi masyarakat feodal. Namun demikian energi kolektif tidak
melulu merupakan respon struktural atas sistem sosial dimana
perlakuan-perlakuan masyarakat diberikan. Ia bisa memiliki otoritas
tersendiri berhubungan dengan proses dialektika ide dan kesadaran
yang ada padanya, atau dalam bahasa Hegel adalah “gerak dialektis ke
kebebasan yang semakin penuh” (Suseno, 1993). Meski begitu
dialektika ide dan kesadaran ini tidak berlangsung dalam ruang kosong,
melainkan dalam relasinya dengan kepentingan. Ia adalah kekuatan
reflektif dalam diri manusia yang berlangsung atas nama pengetahuan
37
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
murni, namun sejatinya ia adalah kepentingan itu sendiri (Hardiman,
et al, 1990).
Dari sini diperoleh pemahaman bahwa perlawanan sebagai
energi kolektif praksis sosial berkait erat dengan dimensi kesadaran
kolektif masyarakat sebagai agen perubahan dan struktur-struktur
sosial yang memberikan andil dalam proses refleksi-diri atas
hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Dengan kata lain,
perlawanan memiliki basis sosial ganda yang terletak pada wilayah
internal agen dan situasi eksternal yang mengitarinya. Aspek
perlawanan itulah yang menjadi kunci dari munculnya gerakangerakan sosial yang kemudian gejalanya dimaknai sebagai Civil Society.
Konsep koinonia politike Aristoteles dan societes civilis Cicero
yang dianggap sebagai cikal bakal wacana Civil Society pada dasarnya
merupakan gagasan perlawanan terhadap “alienasi politik dan
ketidaktertiban sosial”. Proses alienasi politik terjadi di bawah
monopoli pengambilan keputusan oleh Dewan Ecclesia negara-kota
Yunani kuno yang tidak sejalan dengan sistem demokrasi langsung.16
dan karenanya diperlukan keterlibatan warga masyarakat yang luas
(Aristoteles). Sementara bagi Cicero, sistem demokrasi langsung yang
berlaku bagi negara-kota Yunani kuno meniscayakan pertarungan
kepentingan di antara komunitas-komunitas dalam masyarakat, yang
pada akhirnya akan memunculkan komunitas yang dominan, untuk
memperebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Kegagalan
pengelolaan “medan pertarungan” itu akan mengakibatkan kekacauan
dan ketidaktertiban sosial dalam masyarakat.17 Konsepsi Societes
Civilis Cicero pada dasarnya melawan kecenderungan chaotik akibat
pertarungan memperebutkan dominasi di antara komunitas-komunitas
dalam masyarakat.
16
Lihat George H. Sabine, Teori-Teori Politik Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangannya, Terj. Soewarno Hadiatmodjo, (Bandung: Binacipta, 1992),
khususnya Bab I-VII dari 13 bab yang ada.
17
Lihat Sabine (1992).
38
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
Jika kita cermati wacana Civil Society yang marak di Indonesia
dewasa ini, dapat kita temukan berbagai bentuk penafsiran dan
pemahaman orang yang hampir kesemuanya tidak memberikan
tumpuan pada konsep tentang perlawanan yang secara genealogis
bersemayam di dalamnya. Para peminat wacana Civil Society lebih
menyukai mengedepankan konsep otonomi, kebebasan, kemandirian,
kewarganegaraan, atau bahkan keberadaban.18 Tulisan ini tidak ingin
menolak pemaknaan-pemaknaan semacam itu, melainkan sekedar
menunjukkan bahayanya ketika dimensi perlawanan hilang dari
wacana Civil Society. Dimensi perlawanan yang tidak hadir di dalam
wacana Civil Society akan cenderung melemahkan elan-vitalnya dalam
mengemansipasi masyarakat dalam proses perubahan sosial. Civil
Society akan menjadi semacam “penjara” bagi kaum pasifis yang
enggan mengorganisasi gerakan sosial dalam masyarakat. Akibatnya,
Civil Society menjadi tidak punya kaitan sama sekali dengan upayaupaya untuk “mengkuasakan” masyarakat dalam arti yang sebenarbenarnya dan seluas-luasnya.
Ketika perlawanan dominan dalam diri Civil Society maka
masyarakat akan mengerti bahwa mengambil tindakan tegas atas
berbagai bentuk dominasi dan hegemoni dari mana pun asalnya,
merupakan keniscayaan politik sebagai warga negara. Tanpa “roh”
perlawanan ini organisasi-organisasi maupun kelompok-kelompok
dalam masyarakat tidak mungkin mengembangkan dirinya secara
genuine. Taruhlah misalnya dengan konsep tentang otonomi dan
kebebasan dalam Civil Society. Bagaimana mungkin masyarakat
18
Sebagai contoh, di Indonesia relasi antara negara dan civil society kadangkadang menunjukkan kerjasama yang menarik. Hal ini terlihat dari adanya
kerjasama antara organisasi civil society dengan pemerintah baik di dalam
perencanaan kebijakan maupun di dalam usaha untuk melakukan perlawanan
terhadap aspek tertentu (korupsi misalnya). Perkembangan relasi antara
organisasi civil society dengan militer yang di negara demokrasi menunjukkan
pemilahan antara peran militer dengan civil society namun di Indonesia hal
tersebut kadang-kadang malah terjadi kerjasama. Sebagai contoh pada
peristiwa penolakan Jenderal Wiranto (Mei 1998) untuk mengambil alih
kepemimpinan nasional pada saat ada “kefakuman kekuasaan”, atau pada saat
Pesiden Gus Dur mengundurkan diri (Juli 2001), militer juga tidak mengambil
alih kekuasaan nasional (Nyman, 2009).
39
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
memiliki otonomi dan kebebasan tanpa ia punya semacam “the will to
resist”? Karena otonomi bukanlah konsep eksklusif, yang memisahkan
kita dari kelompok lain.
Demikian juga dengan otonomi, kebebasan, kemandirian dan
semacamnya tentu merupakan buah dari sikap perlawanan yang
memberi spirit pada aktifitas praktis kita. Ia tidak diberikan oleh orang
atau institusi di luar kita. Perlawananlah yang menghadirkannya
sebagai bentuk pengakuan atas eksistensi sosial dan politik kita sebagai
counterpart mereka dalam sebuah masyarakat. Tanpa roh perlawanan,
kehidupan sosial hanyalah lapis-lapis beku yang menyengsarakan; tak
lagi ada dinamika dan dialektika. Tidak bisa dielakkan bahwa
perlawanan dalam keberhadapannya dengan dominasi dan hegemoni
adalah energi utama proses humanisasi dunia.
Kerangka Pemikiran Teoretis
Beberapa kerangka pemikiran teoretis bisa bermanfaat di sini.
Mulai dari teori negara, teori civil society, teori social movement dan
teori strukturisasi. Teori negara, teori civil society dan teori gerakan
sosial perlu disajikan karena unit analisis dalam disertasi ini adalah
negara dan civil society sebagai the free public sphere.
Teori Negara
Sejak awal perkembangan Ilmu Politik, negara adalah obyek
kajian yang penting dan sentral serta mengungguli tema-tema
lainnya.19 Namun, memasuki akhir 1950-an sampai pertengahan 1970an konsep negara pernah hilang sama sekali dari perbendaharaan Ilmu
Politik. Kala itu, konsep kelompok kepentingan partai politik, perilaku
pemilih, birokrasi, pemerintah, perilaku legislatif, elit politik dan
kepemimpinan, analisis kebijakan publik, dan pembangunan politik
19
Lihat Chandoke (1995) dan Gafar (2001)
40
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
lebih menarik perhatian para akademisi. Negara lebih dilihat sebagai
arena persaingan kepentingan yang terlalu normatif.20
Ada banyak teori negara yang beredar dalam khazanah sosial
dan politik.21 Namun, tidak semua relevan untuk menjelaskan watak
negara Indonesia. Kondisi obyektif negara di Indonesia tidak dapat
dijelaskan hanya dengan merujuk pada salah satu teori negara saja. Ada
bagian-bagian tertentu dalam karakter ini yang bisa menunjukkan
berlakunya salah satu teori. Tapi bagian-bagian lain dari dinamika
relasi negara-civil society tidak terjelaskan oleh teori yang sama.
Tidaklah mudah menentukan teori mana yang bermanfaat dalam
menganalisis dinamika dan posisi negara yang sifatnya kompleks.
Untuk itu penulis mencoba menggunakan secara eklektik dan
komplementer dua teori negara yang menjadi acuan di sini, yaitu Teori
Negara Pluralis dan Teori Negara yang dikemukakan oleh Eric A.
Nordlinger. Kedua teori ini menurut hemat penulis relatif relevan
untuk menjelaskan dinamika dan posisi negara di Indonesia. Teori
Negara Pluralis bisa dipakai untuk melihat pluralitas kekuatan politik
dalam kompetisinya merebut kekuasaan institusi-institusi negara.
Sedang Teori Negara Nordlinger berguna untuk melihat karakter
negara di Indonesia.
Teori Negara Pluralis sangat menekankan sistem politik yang
terbuka dan demokratis, dan memungkinkan kelompok-kelompok
sosial bersaing menduduki negara. Prosedur politik untuk mewujudkan
semual hal ini adalah melalui Pemilihan Umum (Budiman, 1996).
20
Lihat Ramlan Surbakti, “Perspektif Kelembagaan Baru Mengenai Hubungan
Negara dan Masyarakat”, Jurnal Ilmu Politik, No 14, 1993 hal 3.
21
Dilihat dari perkembangan Ilmu Politik dan akar ideologisnya, kategori
negara sekurangnya meliputi: Teori Negara Formal, Teori Negara Kapitalis
Klasik, Teori Negara Marxis Klasik, Teori Negara Bonapartis, Teori Negara
Pluralis, Teori Negara Korporatis, Teori Negara Strukturalis, dan Teori Negara
Organis, (Lihat Eep Saefulloh Fatah, “Teori Negara dan Negara Orba”, Prisma
Nomor 12 Desember 1994). Teori lain yang banyak menyita perhatian
ilmuwan yaitu Teori Negara Otoritarian-Birokratis dan Teori Negara PascaKolonial yang merujuk pada pengalaman negara-negara Dunia Ketiga. (Lihat
David Coller, The New Authoritarianism in Latin America, Princeton, New
Jersey, Princeton University Press, 1979).
41
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
Mekanisme Pemilu berkala dan demokratis selain membuka persaingan
antar semua kelompok dalam menguasai institusi negara, juga
mencegah termanifestasinya anarkisme dalam berkompetisi dan
berkonflik menguasai negara.
Menurut Nordlinger, karakter negara bisa diketahui dengan
melihat bagaimana derajat otonomi negara (state autonomy) serta
dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state)
tersebut, apakah tinggi, moderat atau malah rendah. Nordlinger lalu
menggolongkan empat tipe negara, yakni negara kuat (strong states),
negara independen (independent states), negara responsif (responsive
states) dan negara lemah (weak states) (Nordlinger, 1994).
Negara kuat adalah negara yang tingkat otonomi dan dukungan
masyarakatnya tinggi. Negara bertindak berdasar preferensinya dan
masyarakat selalu mendukung tindakan-tindfakannya itu. negara
independen yaitu negara yang tingkat otonominya tinggi namun
dukungan masyarakatnya rendah. Seringkali negara bisa mewujudkan
kepentingannya menjadi kebijakan publik, kendati berbeda dengan
preferensi masyarakatnya. Negara responsif adalah negara yang derajat
otonominya rendah tapi dukungan masyarakatnya tinggi. Sedang
negara lemah ialah negara yang derajat otonomi dan dukungan
masyarakat yang rendah (Nordlinger, 1994).
Teori Masyarakat (Civil Society)
Konsep masyarakat sering berada di bawah disiplin sosiologi.
Sosiologi sendiri dimengerti sebagai ilmu tentang kehidupan
masyarakat. Menurut definisi sosiologi, masyarakat merujuk pada
kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dalam waktu yang
cukup lama dan mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu
kesatuan dalam suatu sistem hidup bersama (Soekanto, 1994). Dalam
politik, masyarakat sering dipahami secara lebih spesifik, yaitu apa
yang disebut dengan Civil Society. Mengkaji masyarakat dengan
rujukan politik sering kali membawa kita kepada diskursus civil
society. Pemahaman tentang civil society menjadi penting ketika
42
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
negara dibicarakan, sebab teori negara dan civil society memiliki
keterkaitan yang erat.
Konsep civil society mungkin tampak sederhana, namun
secara historis ia merupakan gagasan yang berbelit-belit dan sukar
dimengerti. Seringnya civil society secara keliru dianggap sebagai
lawan militer ialah bukti bahwa konsep ini tidak mudah dipahami.
Rahardjo (1995) menginventarisir tiga bentuk pengertian civil society
yang sekiranya cukup untuk memahami konsep ini. Pertama, civil
society adalah suatu masyarakat politik (political society) yang punya
lembaga-lembaga (misalnya, negara dan partai politik), tatanan hukum
(legal code), tatanan sipil (civil code), dan budaya kota (urban civility).
Kedua, civil society merupakan kolektifitas yang berbeda dengan
negara. Civil Society adalah segala tatanan (arragement), aturan (code)
dan kelembagaan yang terpisah atau berada di luar negara. Artinya,
terdapat dikotomi antara negara dan civil society. Ini adalah pengertian
yang paling banyak dipakai sekarang. Jika orang menyebut civil
society, ia meletakan negara di luarnya atau di atasnya. Ketiga, civil
society dilihat identik dengan masyarakat borjuis (buergerliche
gesselcshaft). Pengertian ini muncul karena adanya kenyataan bahwa
yang membentuk negara itu adalah kaum borjuis.
Penulis menggunakan konsep civil society secara eklektik dan
dalam konteks demokrasi, namun tetap berpijak pada perbedaan negara
dan civil society sebagai dua entitas yang harus terpisah. Penulis
bertolak dari proposisi bahwa negara dan masyarakat adalah dua
entitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Derajat pengaruh ini
banyak ditemukan oleh ada tidaknya keseimbangan antara keduanya.
Jika keseimbangan antara keduanya tercipta, maksudnya sama-sama
kuat, itu artinya demokrasi mungkin dihadirkan. Tapi kalau negara
lebih kuat, maka umumnya masyarakat berada dalam posisi yang
lemah, begitu pula sebaliknya. Akibatnya demokrasi menghadapi
kendala serius untuk terwujud.
43
Relasi Negara dan Masyarakat di Rote
Teori Gerakan Protes Sosial: Perspektif Moral Ekonomi Scottian
Teori gerakan protes kaum petani di Asia dipelopori oleh James
C. Scott (1976, 1985, 1989), Migdal (1974), dan Wolf (1969). Perspektif
Teori Moral Ekonomi Scottian memandang model gerakan protes
kaum petani sebagai model perlawanan “Gaya Asia”. Menurut Scott
(1985) meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan
mengakibatkan, pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan
kaya dan lapisan miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin
semakin miskin. Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk
protes kaum lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun
negara. Kedua, munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk
kesadaran melakukan protes dalam berbagai bentuk yang merupakan
pembelotan kultural. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan protes
menghadapi kaum kaya maupun negara.
Gerakan protes yang dimaksudkan oleh Scott (1993) adalah:
..tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan
maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan
(misalnya sewa, pajak, dan penghormatan) yang dikenakan
pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan
tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau
untuk mengajukan tuntutan-tuntutan sendiri (misalnya
pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap
kelas-kelas atasan ini.”
Dari definisi Scott di atas, ada tiga hal yang perlu ditegaskan di
sini. Pertama, tidak ada keharusan bagi gerakan protes masyarakat
untuk mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, protes sosial merupakan
masalah yang sangat pelik. Ketiga, definisi ini mengakui apa yang dapat
dinamakan protes (baca: perlawanan) simbolis atau ideologis (misalnya
menolak membayar pajak) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perlawanan berdasarkan kelas.
Jika posisi negara masih begitu kuat dan represif, seperti
gerakan protes masyarakat di Desa Bo'a pada Tahun 1932 dan Tahun
1960 dengan motif yang sama yaitu menolak membayar pajak (lihat
Bab 4) boleh jadi situasinya tidak jauh berbeda dengan apa yang
digambarkan oleh Scott di atas. Namun, bentuk dan strategi gerakan
44
Negara dan Civil Society: Tinjauan Pustaka
petani model Scottian tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh gerakan
protes masyarakat di Rote terutama di era reformasi yang sudah sangat
terbuka, ekspresif, eksplosif, demonstratif, massal, dan ekspansif seperti
gerakan protes masyarakat terkait dengan hasil Pemilihan Kepala
Daerah Bupati Rote Ndao Tahun 2008 (lihat Bab 6).
Kesimpulan
Dari uraian pada bab ini, dapat penulis simpulkan bahwa titik
temu antara negara dan masyarakat adalah adanya ruang (space) di
mana masyarakat mempunyai ruang yang bebas (free public sphere)
untuk melakukan segala aktivitasnya pada berbagai aspek dan memiliki
akses yang luas terhadap negara/lembaga-lembaga negara (eksekutif,
yudikatif, legislatif) dan lembaga non negara seperti partai politik dan
organisasi masyarakat sipil/organisasi non pemerintah (non
government organization). Karena itu, Civil Society di dalam penelitian
ini dipahami sebagai sebuah ruang interaksi antara negara dan
masyarakat
45
Download