125.660 SPESIMEN 125.660 Spesimen Sejarah Alam Galeri Salihara 15 Agustus — 15 September 2015 125660specimens.org 25 27 5 4 6 3 12 23 2 10 18 14 16 15 17 13 19 20 21 22 Galeri Salihara Jl. Salihara No. 16 Jakarta Selatan Indonesia Senin–Sabtu 11.00–20.00 WI B Minggu 11.00–15.00 WI B salihara.org Gambar poster atas izin: Fred Langford Edwards 1 8 11 9 24 26 7 125.660 spesimen SejArAh AlAm 3 Pengantar Kurator 4 Sambutan Salihara 5 Sambutan mZB/lIPI 6 Koleksi Pelat Kaca Negativ lIPI 8/15 _ 9 16 Fred Langford edwards 9/15 Perjalanan Wallace Wallace: Sebuah Kehidupan (Andrew Berry) 20 _ Kronik hidup Wallace (Andrew Berry) 15 26 28 Partisipan & Karya 32 40 Dukung Proyek Foto riset Kuratorial 42 47 49 menyingkap Iklim Panjang di Indonesia: Proyek Pengeboran Towuti (Satrio Wicaksono) Kurator Penerbit Publikasi / Ucapan Terima Kasih 56 Lokakarya Intensif “Bayangan Spesimen” (dengan laleh Torabi) Profil Schering Stiftung 57 59 58 Tim Pameran 125.660 spesimen Partisipan Indonesia 2 29 Ari Bayuaji 31 Theo Frids Hutabarat 36 Aprina Murwanti & Bharoto Yekti 38 Intan Prisanti 35 Lintang Radittya 31 farid rakun (EQUANORTH) 38 Ary Sendy 39 Andreas Siagian 39 Zenzi Suhadi (WALHI) 49 Satrio Wicaksono (Towuti Drilling Project) 44 Tintin Wulia 44 Mahardika Yudha Partisipan Internasional 28 Fred Langford Edwards 29 Shannon Castleman 30 Lucy Davis 30 Mark Dion 31 Sigrid Espelien (EQUANORTH) 34 Geraldine Juarez 34 Flora Lichtman & Sharon Shattuck 35 Cindy Lin 37 Edwin Scholes & Tim Laman 47 Laleh Torabi 45 Robert Zhao Renhui & The Institute of Critical Zoologists 125.660 SPESIMEN SEJARAH ALAM 125.660 Spesimen Sejarah Alam merupakan pameran seni dan sains tentang koleksi sejarah alam kolonial dan transformasi lingkungan yang dihasilkannya di Indonesia. Pameran ini menyusuri jejak Alfred russel Wallace (1823–1913), yang terutama dikenal karena (bersama Charles Darwin) menemukan teori evolusi melalui seleksi alam. Sejak 1854 hingga 1862, Wallace menjelajahi Nusantara melayu sembari mendokumentasikan keanekaragaman hayati wilayah tersebut dan membangun sebuah koleksi spesimen besar untuk museum-museum eropa. Pameran ini mengundang para seniman untuk menelusuri kembali, memanfaatkan ulang, dan menilai lagi ekspedisinya, dokumendokumennya, dan beragam artefaknya; para seniman dipersilakan untuk meneliti pergerakan pengetahuan kolonial dan transformasi lanskap Indonesia dari bermacam-macam perspektif dan melalui beraneka medium. Pameran ini menyajikan karya-karya 13 seniman Indonesia dan 13 seniman asing, berikut materi arsip dan spesimen zoologis dari Pusat Penelitian Biologi/lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong, Bogor, serta artefak-artefak sejarah yang terkait. Sebuah sorotan khusus mengenai 125.660 Spesimen adalah seleksi atas koleksi pelat kaca negatif LIPI yang bersejarah, yang mendokumentasikan perubahan lingkungan dan botanis kepulauan Indonesia pada pergantian abad kedua puluh. Pelat-pelat negatif ini belum pernah disajikan di hadapan publik dan merupakan satu-satunya dari koleksi sejenis yang ada di Indonesia. Selamat Anthroposen! Anna-Sophie Springer & etienne Turpin Kurator 3 125.660 spesimen SELAKU PEMBUKA Sejarah seni rupa pada dasarnya adalah kisah tentang perluasan kerja, media, dan wacana seni rupa. Tak terkecuali di Indonesia. Sejak paling tidak awal 1980-an, sejumlah senirupawan Indonesia sudah lazim mendasarkan penciptaan karya-karya mereka kepada riset, baik riset yang dikerjakan sendiri maupun riset para ilmuwan atau ahli di bidang-bidang yang bersangkutan. Ini bukan hanya reaksi terhadap arus besar penciptaan yang bertumpu kepada emosi dan ekspresi pribadi, tetapi juga upaya untuk terlibat ke dalam diskusi sosial dan gelombang perubahan yang seluas-luasnya. Seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai seni rupa yang mencoba memeluk kebudayaan ilmiah dan menghadirkan bentuk-bentuk yang melampaui seni lukis, seni patung dan seni-seni “konvensional” yang lain. Banyak karya bersifat konseptual, baik karena karya-karya tersebut menerjemahkan atau menyadur konsep tertentu (misalnya saja tanggapan kritis tentang lingkungan hidup, atau hasil temuan riset biokimia), maupun karena mereka mengerjakan representasi langsung atas konsep-konsep (misalnya saja pameran arsip seni rupa, atau pameran yang menyajikan riset sosial-budaya sang seniman untuk masalah tertentu). Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam hendak mendorong kecenderungan di atas lebih jauh lagi, mungkin juga lebih radikal. Ini bukan hanya pameran seni rupa, tapi 4 juga pameran ilmu; bukan hanya representasi seni berdasarkan temuan ilmiah, tetapi juga presentasi hasil kerja keilmuan itu sendiri. Di ruang pameran, kita menatap bukan hanya karya-karya kaum senirupawan, tapi juga karya-karya kaum ilmuwan, peneliti, dan pegiat lingkungan hidup—dari Indonesia maupun mancanegara; bukan hanya karya-karya seni atau terkemas-seni, tetapi juga spesimen dan dokumentasi ilmiah itu sendiri. Pameran ini hanya mungkin terselenggara berkat usul, gagasan, dan daya upaya pasangan kurator Anna-Sophie Springer dan etienne Turpin. Kekayaan pengalaman mereka, ketajaman sudut pandang mereka, dan luasnya wawasan mereka telah berhasil menarik para seniman, ilmuwan, peneliti, dan pegiat lingkungan terkait ke dalam langkah interpretasi, reinterpretasi, apropriasi, dan proyeksi yang kaya dan beragam atas jejak-jejak Wallace. Seraya memperluas makna dan cakupan seni rupa, pameran ini hendak mengingatkan kita kembali akan peran Nusantara sebagai situs penting bagi penelitian ilmu-ilmu kealaman, pelestarian lingkungan dan kelangsungan biodiversitas dunia. menatap ke depan, kita mengharapkan lebih banyak lagi pameranpameran di Indonesia yang bisa menggabungkan hasil-hasil kerja keilmuan dan kerja kesenian. Selamat menyaksikan. Nirwan Dewanto Komunitas Salihara MZB/LIPI Indonesia telah dikenal sebagai negara megadiversity di dunia. Data terkini mencatat bahwa tidak kurang dari 17.000 pulau di Indonesia merupakan rumah bagi sekitar 80.000 jenis kriptogram, 30.000-40.000 jenis flora berbiji, 8.157 jenis fauna vertebrate serta ribuan organisme lainnya yang tersebar di dalam 74 tipe ekosistem. Proses ilmiah pencatatan keanekaragaman hayati tersebut telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Manuskrip-manuskrip kuno dan relief-relief candi merupakan contoh-contoh media yang menggambarkan flora dan fauna yang ada pada saat itu. Pencatatan secara ilmiah dan sistematis baru dimulai sejak masuknya bangsa eropa ke Indonesia. eksplorasi alam Indonesia yang tercatat secara ilmiah kemungkinan besar dimulai oleh Georg eberhard rumphius (1627-1702) yang menelurkan sebuah karya jenius berjudul het Amboinsche Kruidboek (herbarium Amboinense). Buku tersebut berisi deskripsi dan ilustrasi sekitar 1200 jenis tumbuhan dari maluku. Setelah rumphius, tercatat nama-nama lain, seperti J.R. Forester, Sparrman, Thomas Horsfield, Salvadori, Gmelin, Muller, dan Finsch, menghiasi deskprisi flora dan fauna Indonesia. Namun dari sekian banyak ilmuwan dan naturalis tersebut hanya Alfred Russel Wallace yang membuat sintesis mengenai evolusi dari spesimen-spesimen yang dikumpulkannya sehingga dia dapat membuat batas-batas geografis maya dari komunitas fauna yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallacea. Perjalanan A.r. Wallace tersebut kemudian menginspirasi begitu banyak kalangan, ilmuwan atau bukan, tentang pentingnya eksplorasi dan penelitian alam. Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam ini digelar oleh Komunitas Salihara dalam rangka menapaktilasi perjalanan A.r. Wallace tersebut. Puslit Biologi-lIPI yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam penelitian dan pengembangan biologi mendukung acara ini. Apalagi, Puslit Biologi-lIPI merupakan pusat depository nasional keanekaragaman hayati Indonesia dimana spesimen-spesimen ilmiah dari flora, fauna dan mikroba disimpan di museum Zoologicum Bogoriense, herbarium Bogoriense dan Indonesia Culture Collection; untuk diteliti dan dikembangkan. Selain itu, Puslit BiologilIPI mungkin merupakan satu-satunya institusi pemerintah dengan ahli taksonomi terbanyak yang bertugas untuk menguak keanekaragaman hayati Indonesia. melalui pameran ini, kami berharap dapat turut menginspirasi para pengunjung terutama generasi muda sehingga terjadi suatu diseminasi ilmiah tentang pentingnya ilmu pengetahuan dasar hayati dan konservasi alam. Dengan demikian kekayaan alam Indonesia yang masih melimpah dapat digunakan dan dimanfaatkan secara lestari demi kemakmuran rakyat Indonesia. Cibinong, Kepala Bidang Zoologi (museum Zoologicum Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi-lIPI 5 125.660 spesimen F OTO - F O TO DA R I K O L E K S I P E L AT KACA N E G AT I F L I P I S E K I TA R 1 9 2 0 – 3 5 6 7 KoleKSI PelAT KACA NeGATIF lIPI 125.660 spesimen 8 Alfred Russel Wallace, 1862 Alfred Russel Wallace: Sebuah Kehidupan Andrew Berry Alfred Russel Wallace menggambarkan delapan tahun yang ia habiskan menjelajahi kepulauan Asia Tenggara sebagai “peristiwa utama yang menentukan” dalam hidupnya. Ketika ia berangkat ke sana pada 1854, ia adalah seorang kolektor-naturalis tak terkenal dengan reputasi ilmiah yang minim; ketika kembali, ia menjelma menjadi seorang ilmuwan yang diakui setelah bersama Charles Darwin menemukan teori evolusi melalui seleksi alam. Ia mungkin pemegang otoritas terbesar dalam bidang biologi tropis yang hidup pada masanya. Terbit pada 1869, tujuh tahun setelah kepulangannya, The Malay Archipelago adalah kisah Wallace tentang tahun-tahun yang menentukan itu. Dalam autobiografinya pada 1905, Wallace berkomentar bahwa buku itu “terus menjadi buku saya yang paling populer dan bahkan sekarang, tiga puluh enam tahun setelah penerbitan pertamanya, penjualannya mealmpaui semua penjualan yang lain.” Buku itu hingga hari ini merupakan tulisan Wallace yang paling mudah didapat dan paling banyak dibaca. Edisi kesepuluh dan terakhirnya terbit pada 1891, tetapi naskahnya tetap terbit dalam satu dan lain wujud sejak diterbitkan pertama kalinya. Lahir di Usk, Monmouthshire pada 1823, Wallace adalah anak kedelapan dari sembilan bersaudara dalam sebuah keluarga kelas menengah yang keuangannya sedang merosot drastis. Ayahnya, seorang pengacara yang tak pernah berpraktik, kehilangan banyak uang warisan akibat investasiinvestasi yang buruk. Sebagian besar kenangan terawal Wallace berkaitan dengan rasa rendah diri akibat kemiskinan. Ia meninggalkan sekolah pada usia 13 tahun dan lantas bekerja menjadi asisten kakaknya, seorang surveyor tanah. Tahun-tahun saat menyusuri pedesaan Inggris, dengan tongkat survei di tangan, membuat minatnya terhadap sejarah alam tumbuh, diiringi keingintahuan amatir tentang tanaman yang ia lihat. Ketertarikan pada sejarah alam ini kemudian berpijak pada landasan yang lebih kuat pada 1844 saat Wallace bertemu dengan seorang naturalis otodidak lain, Henry Walter Bates (1825-1892). Walaupun pada usia 19 saat itu—ia dua tahun lebih muda ketimbang Wallace, Bates telah menerbitkan makalah ilmiah tentang kumbang dan tanpa kesulitan membuat Wallace menjadi penggemar kumbang. Pada 1847, Wallace menyusun kontribusi pertamanya untuk kepustakaan ilmiah dengan menulis catatan pendek tentang kumbang. Namun Wallace dan Bates memiliki ambisi yang jauh melampaui kumbang Inggris. Dua bacaan yang khas telah memengaruhi mereka: kisah perjalanan ilmiah dan buku tentang spekulasi seputar evolusi. Kisah Charles Darwin tentang perjalanannya di atas Beagle pertama kali muncul pada 1839 dan Personal narrative of travels to the equinoctial regions of America, during the years 1799–1804 karya Alexander von Humboldt terbit di Inggris pada 1814. Von Humboldt bahkan menciptakan bentuk baru kisah perjalanan dengan narasinya, yang menguraikan perjalanan sekaligus menyajikan observasi ilmiah, etnografis, dan geografis. Pada 1844, Robert Chambers secara anonim menerbitkan The Vestiges of the Natural History of Creation, di mana ia mengajukan sebuah model tanpa argumen kuat tentang alam semesta dan bagaimana segala sesuatu di dalamnya telah mengalami perubahan progresif. Karya laris ini menyebarkan gagasan menyimpang dan bidah bahwa spesies tidaklah tetap sebagaimana kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian. Wallace terkesan dan menulis kepada Bates, “Pendapatku tentang Vestiges tampaknya lebih positif daripada pendapatmu. Aku tidak menganggap gagasannya sebagai generalisasi yang tergesagesa, tetapi sebuah hipotesis pintar yang didukung kuat oleh analogi dan fakta yang mencengangkan, meskipun tetap harus dibuktikan dengan lebih banyak fakta dan penjelasan tambahan yang mana dapat dilakukan penelitian untuk menjelaskan masalah tersebut.” Meskipun muda dan tak berpengalaman, Wallace dan Bates dengan berani memutuskan bahwa mereka sendiri dapat memasok “fakta dan penjelasan tambahan” itu melalui sebuah ekspedisi ilmiah. Mereka memilih Amazon sebagai tujuan dan mendanai perjalanan tersebut dengan penjualan spesimen tiruan ke museum-museum dan kolektorkolektor melalui Samuel Stevens, agen mereka yang berbasis di London. Wallace dan Bates berlayar menuju Brazil pada 1848. Setelah awalnya bekerja bersama, mereka kemudian berpisah, dengan Wallace yang berfokus pada Rio Negro, percabangan Amazon di 9 eSAI 125.660 spesimen 10 utara, semantara Bates pada Solimões di Selatan. Wallace berjuang hingga sampai di mata air sumber mata air Rio Negro yang terpencil sembari terus mengumpulkan spesimen, memetakan sungai, dan dengan hati-hati mencatat apa pun yang ia temui. Perjalanan ilmiah ini lalu mencapai tahapnya yang paling heroik dan sunyi; pada 1852 kesehatan Wallace memburuk dan ia harus bertolak pulang (Bates tetap tinggal di Amazon hingga 1859). Pada 12 Juli, Wallace, yang masih lemah oleh serangan demam yang berkepanjangan, berangkat ke Belém menumpang Helen. Di atas kapal itu terdapat spesimen senilai kurang-lebih dua tahun perjalanan (termasuk yang dari perairan hulu Rio Negro) dan beberapa lusin binatang hidup. Yang terakhir ini, dibawa melintasi benua oleh Wallace, adalah binatang peliharaan sekaligus harapannya, paspornya menuju lingkaran elite ilmuwan—bayangkan berjalan masuk ke salon ilmiah London dengan burung tukan bertengger di atas lengan! Namun, impian Wallace menjadi ilmuwan tersohor berakhir tragis di tengah Atlantik. Rupanya, karena kargo yang mudah terbakar dikemas dengan ceroboh, Helen terbakar pada 6 Agustus dan perintah pun dikeluarkan untuk meninggalkan kapal. Wallace, satu-satunya penumpang, hanya punya waktu untuk mencengkeram satu tas kecil berisi catatan dari kabin yang ia tinggali bersama sang kapten. Dalam keadaan lemah, ia tergesa-gesa dan kalang kabut turun ke perahu sekoci lewat sisi kapal dengan tali sehingga tangannya terkelupas parah. Kemudian terjadilah hal yang sudah tentu merupakan salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah ilmu pengetahuan: dengan harapan bahwa kapal terbakar itu akan menarik perhatian kapal lain, dua perahu sekoci mengelilingi api yang menjilat-jilat. Wallace menyaksikan hewanhewannya berlompatan dari kandang menghindari nyala api dan berusaha meloloskan diri dari kapal namun, satu demi satu, terbakar habis. Setelah sepuluh hari terombang-ambing di atas perahu terbuka di tengah Atlantik, Wallace dan awak Helen akhirnya diselamatkan. Wallace berhasil kembali ke Inggris setelah total 80 hari di tengah lautan (perjalanannya dengan Bates yang damai dan tenteram hanya berlangsung 29 hari). Untungnya, Stevens agennya telah mengasuransikan koleksi Wallace sehingga situasi keuangannya tidak separah apa yang terlihat. Masa depannya, sebaliknya, niscaya berbeda. Tanpa koneksi, pemasukan, atau prospek pekerjaan dalam ilmu pengetahuan, Wallace tidak lebih baik ketimbang saat ia dan Bates memulai perjalanan ke Brazil pada 1848. Ia cukup cepat menyadari bahwa jika ia hendak mewujudkan impiannya untuk menjadi bagian dari dunia ilmuwan, ia harus melakukannya dari awal lagi. Selama delapan belas bulan berikutnya, ia menulis beberapa makalah dan dua buku, satu tentang pohon palem di Amazon dan yang lainnya sebagai upaya untuk menghasilkan kisah perjalanan ala von Humboldt/Darwin, berjudul A Narrative of Travels on the Amazon and Rio Negro. Keduanya terbit pada 1853 sudah tentu dengan kualitas yang tak memuaskan karena banyaknya materi yang hilang. Namun, isu besarnya adalah ke mana sebaiknya Wallace pergi setelah itu. Ia mempertimbangkan beberapa kemungkinan, termasuk Filipina dan Andes, tetapi ia menghindari kawasan di mana kolektor lain bergerak aktif. Ia memilih Asia Tenggara karena kawasan itu tidak terwakili dengan baik di Museum Inggris. Alasan Wallace sebetulnya tidak jujur: penyebab utama sedikitnya bahan tentang Asia Tenggara di Inggris adalah karena kawasan itu terutama dikuasai oleh Belanda, yang tentunya menyimpan koleksi mereka di museum-museum Belanda tentunya. Selain itu, ada pula daya tarik Pulau Nugini yang jarang dikunjungi dan hingga saat itu menjanjikan kekayaan hayati yang belum dieksplorasi. Dan, mungkin yang lebih signifikan bagi Wallace, terdapat pula prospek pengumpulan spesimen yang memang menarik sekaligus dapat mendatangkan harga tinggi di pasar bursa sejarah alam. Setelah terbitnya Vestiges, gagasangagasan tentang transmutasi tengah marak beredar. Kedekatan yang jelas antara Kera Besar dan spesies kita sendiri tak pelak membuat makhluk tersebut menjadi pusat perhatian yang khusus. Peluang untuk mengamati Orangutan di alamnya pasti sangat memikat bagi Wallace, apalagi prospek finansial besar yang akan ia dapatkan dari penjualan materi terkait Orangutan di Eropa. Jika ditilik kembali, kita mendapati bahwa, dari sudut pandang ilmiah, Asia Tenggara sungguh kebetulan merupakan pilihan tepat bagi Wallace. Ia adalah seorang ahli hutan tropis basah Dunia Baru; di sini ia akan memperoleh kesempatan untuk mengeksplorasi alam tropis basah Dunia Lama, sebuah kawasan dengan iklim yang relatif serupa tetapi dihuni oleh tanaman dan hewan yang sangat berbeda. Terlebih lagi, dengan minatnya pada hubungan timbalbalik antara geografi dan ekologi, sebuah kepulauan adalah pilihan tujuan yang logis. Sebagian dari kunci pemahaman Darwin toh berasal dari Galapagos; Asia Tenggara maka memiliki potensi untuk menjadi Galapagos-nya Wallace. Terlepas dari hal-hal menarik di atas, Asia Tenggara bukanlah tanpa kekurangan. Ada masalah praktis, yaitu perolehan izin-izin yang tepat dan paspor dari pihak berwenang Belanda; dan, seperti perjalanan Wallace lainnyah, ada masalah terkait ongkos. Wallace mendekati Royal Geographical Society (RGS) guna mendapatkan bantuan bagi perjalanan awalnya ke Singapura. Setelah beberapa lama Wallace mondar-mandir, RGS mengatur supaya ia bepergian dengan kapal brig HMS Frolic di bawah komando Kapten Nolloth. Wallace bergabung dengan kapal itu di Portsmouth pada 1854 dan terkesan dengan sambutan ramah yang ia terima, pada kapten yang meluangkan waktu untuk tamunya di kabinnya sendiri. Dalam benak Wallace, mungkin Frolic dibandingkan dengan Beagle—ia seolah mengikuti jejak langkah salah seorang pahlawannya. Namun ternyata tidak. Peristiwa dunia ikut campur tangan dan Frolic diarahkan menuju Crimea, di mana perang telah meletus pada Oktober sebelumnya. Wallace yang frustrasi menimbang-nimbang pilihan yang ia punya dan akhirnya RGS mengatur supaya ia berlayar dengan kelas pertama di atas kapal uap P & O menuju Singapura. Ini mengangkat peluang yang tidak dimungkinkan oleh opsi kapal angkatan laut: Wallace dapat membawa asisten walaupun asisten ini harus berlayar di kelas dua. Wallace tampaknya menyambar kesempatan itu, ingat akan kesepian akut yang ia alami. Dengan pemberitahuan mendadak, ia merekrut Charles Allen, “seorang bocah London, anak tukang kayu yang telah bekerja membantu-bantu saudara perempuan saya; orangtuanya ingin agar dia pergi bersama saya untuk belajar menjadi kolektor.” Transportasi hanyalah satu dari banyak detail sebelum keberangkatan yang harus diurusi Wallace. Dalam hal koneksi bermanfaat yang harus didapatkan di Inggris sebelum berangkat ke Singapura, Sir James Brooke (1803-1868) menduduki peringkat atas. Brooke, yang dijuluki “Rajah Putih dari Sarawak”, telah mempertaruhkan suatu bentuk diplomasi yang aktif di bawah todongan senjata, hingga mendapatkan wilayah kekuasaannya sendiri di Sarawak. Ia terbukti menjadi pilar penyangga pada tahap pertama perjalanan Wallace. Wallace membalas jasanya, membela Brooke yang kemudian menghabiskan paruh terakhir kariernya untuk menangkis tuduhan bahwa, dengan alasan meredam bajak laut dan pengayauan, ia menggunakan kekerasan berlebihan terhadap pribumi. Wallace akrab dengan fauna Inggris dan Amazonia. Namun, pada era sebelum adanya panduan lapangan, bagaimana ia mengidentifikasi spesimen di Asia Tenggara? Ia membeli sebuah buku Lucien Bonaparte yang tebal, Conspectus Generum Avium, dan menyisir Museum Inggris untuk materi yang tidak diikutsertakan dalam daftar baru burung dunia edisi tersebut (1850). Untungnya, Bonaparte, keponakan sang kaisar, telah menyediakan margin yang luas di sekitar teksnya sehingga dapat mengakomodasi tambahan dan anotasi Wallace; buku ini menjadi “kawan setia di setiap perjalanan” Wallace. Tidak mengejutkan bahwa Wallace lalu mengangkut buku ini dan beberapa terbitan tebal lainnya, menggunakan kereta mengelilingi Asia Tenggara. Ia merancang gagasan mengenai panduan lapangan, setidaknya dalam bayangannya saja: apa “yang diperlukan kolektor di luar maupun dalam negeri adalah memiliki ikhtisar yang ringkas dan murah dengan apa ia dapat menyebutkan setidaknya spesies yang kerap ditandai, jika tidak semua.” Pemasukan utama Wallace rencananya adalah melalui penjualan spesimen via Stevens, tetapi ia juga berada pada posisi di mana ia dapat menjual laporan dari lapangan untuk diterbitkan. Di sini ia melakukan praktik yang ia ciptakan saat pertama kali pergi ke Brazil bersama Bates, perbedaannya adalah kali ini ia akan dibayar atas upayanya. Ia juga menyusun kesepakatan dengan Lovell Reeve, seorang bandar dalam spesimen sejarah alam, yang setuju untuk menerbitkan surat-surat Wallace dalam The Literary Gazette yang ia sunting dari 1850-1856. Alih-alih mengitari Tanjung Harapan, Wallace dan Allen mengambil rute yang lebih pendek melewati daratan di Suez, yang mencakup perjalanan dari Iskandariyah hingga Kairo diteruskan dengan menyeberangi gurun pasir Suez di ujung utara Laut Merah. Mereka tiba di Singapura pada malam hari tanggal 18 April 1854. Perjalanan Wallace ini merupakan keberhasilan yang mencengangkan baik dalam hal kontribusinya untuk pemikiran ilmiah sekaligus jumlah spesies menarik baru yang ditemukannya. Mari kita mulai dengan memahami alasan utama mengapa perjalanan ini dirayakan: identifikasi Wallace atas ketidaksinambungan biogeografis antara biota Asia dan Australia dan penemuannya, yaitu dua langkah evolusi melalui seleksi alam. Hebatnya—anehnya, bahkan—Wallace memilih untuk tidak menceritakan jalannya peristiwa yang berujung pada terobosan-terobosan tersebut dalam halaman-halaman The Malay Archipelago. 11 eSAI 125.660 spesimen Garis Wallace 12 Dalam On the Physical Geography of SouthEastern Asia and Australia (1845), ahli geografi dan zoologi George Windsor Earl (1813-1865) mencatat bahwa pulau-pulau yang berdekatan dengan Australia, termasuk Nugini, dipisahkan oleh laut-laut yang dangkal dan memiliki biota dengan aspek-aspek yang sama di antara mereka, sedangkan pulau-pulau yang berdekatan dengan Semenanjung Melayu, termasuk Jawa, Sumatra, dan Borneo, samasama dipisahkan oleh laut-laut yang dangkal dan juga memiliki biota dengan aspek-aspek serupa di antara mereka. Maka, Earl menggarisbawahi secara longgar ketidaksinambungan biogeografis (dan geografis) yang batas persisnya diidentifikasi oleh Wallace dan selanjutnya disebut oleh Thomas Henry Huxley sebagai “Garis Wallace”. Sejak masih di London, Wallace telah mengetahui gagasangagasan Earl dan The Malay Archipelago sarat dengan pemikiran biogeografis seperti itu. Banyak dari bagian-bagian buku ini, yang bisa dibaca sekilas saja, mengungkapkan proses pergulatan Wallace dengan masalah-masalah yang akan membuatnya sibuk sepanjang karier ilmiahnya: apa yang menentukan spesies mana hidup di suatu lokasi? Berapa lama dua daratan telah saling terpisah? Apakah pernah ada penghubung yang kini tenggelam di antara pulaupulau itu? Seberapa efisienkah persebaran—Wallace menyebutnya “flotsam and jetsam theory”, teori barang-barang terapung—di antara pulau-pulau? Sebagaimana yang telah kita lihat, minatnya tentang topik-topik ini berumur panjang umur, mungkin karena, sebagai kolektor profesional, informasi mengenai distribusi adalah sesuatu yang penting baginya secara komersial: seberapa jauh ia harus bepergian untuk menemukan suatu bentuk yang sangat berbeda dari apa yang sudah ia miliki? Ia bisa mendapatkan uang lebih untuk dua spesies yang berbeda alih-alih dua varietas dari satu spesies. Dalam bab tinjauan pendahuluannya dalam The Malay Archipelago, Wallace menyebutkan ketidaksinambungan Asia/Australasia ini: Tidak ada tempat yang memperlihatkan kontras besar antara dua pembagian wilayah Nusantara ini dengan sedemikian mencolok kecuali saat kita melewati Pulau Bali ke Lombok, di mana dua daerah itu berjarak sangat dekat. Di Bali terdapat burung barbet, burung pengicau, dan burung pelatuk; beralih ke Lombok, semua itu tidak lagi terlihat, tetapi justru ada banyak kakatua, burung pengisap madu, dan sejenis kalkun, yang tak dikenal pula di Bali dan di pulau-pulau lebih jauh di sebelah barat. Selat di sini lebarnya 24 km sehingga kita bisa menyeberangi satu bagian besar bumi ke bagian besar lainnya dalam dua jam, namun perbedaan kehidupan hewannya begitu jauh bagaikan antara Eropa dan Amerika. Transisi biologis tegas yang digambarkan di sini antara dua pulau yang bertetangga, bagi Wallace, mengonfirmasikan bahwa determinan biogeografis sama-sama berlandaskan pada sejarah maupun adaptasi. Jelas, organisme beradaptasi dengan lingkungannya—penghuni gurun secara tipikal berbeda dengan penghuni hujan hutan tropis— tetapi ini hanya satu bagian dari cerita saja. Wallace memiliki pengalaman langsung di Dunia Tropis Baru maupun Dunia Tropis Lama. Berdasarkan iklimnya, pulau-pulau Asia Tenggara tidak terlalu jauh berbeda ketimbang Amazon, tetapi sungguh tidak ada yang sama sehubungan dengan spesies flora dan fauna dua kawasan tersebut. Lebih jauh lagi, walapun kondisi iklim antara Australia dan Nugini berbeda jauh, “fauna dua kawasan tersebut, walaupun pada umumnya beda spesies, secara karakter sangat mirip.” Argumen standar “teologi alam” waktu itu, yang memandang adanya bukti rancangan ilahi dalam alam, menyatakan bahwa kawasan-kawasan dengan iklim yang serupa pasti dihuni oleh serangkaian tanaman dan hewan yang serupa pula. Maka, “rancangan” saja tidak dapat menjelaskan apa yang disaksikan Wallace. Faktor-faktor sejarah—baik biologis (evolusioner) maupun geologis—mestinya memainkan peranan penting. Kesimpulan Wallace dengan gemilang didukung oleh geologi modern: kawasan Asia dan Australasia terletak di atas dua lempeng tektonik berbeda yang menyatu setelah terpisah jauh sebelumnya. Kedekatan Bali dan Lombok adalah peristiwa yang secara geologis terjadi baru-baru ini; jurang biologis antara keduanya adalah warisan dari masa lalu geologis yang sangat jauh. Evolusi Melalui Seleksi Alam Penemuan Garis Wallace jelas disajikan secara tidak menonjol dalam The Malay Archipelago, tetapi hal itu secara positif menjadi pusat perhatian sehubungan dengan kontribusinya yang bersifat ilmiah dan paling membuatnya terkenal, yang bersumber dari perjalanannya ke Asia Tenggara. Penemuan evolusi melalui seleksi alam bahkan tidak disebutsebut dalam The Malay Archipelago. Seperti yang telah kita lihat, Wallace tertarik dengan apa yang kerap disebut “Persoalan Spesies”—yang hari ini kita sebut evolusi—sejak membaca Vestiges pada 1845. Pada 1855, penerapan yang ajek selama satu dasawarsa memberinya ganjaran. Wallace mengenangnya dalam My Life: Saya pasti mengacu pada artikel yang saya tulis di Sarawak, yang membentuk kontribusi pertama saya terkait persoalan tentang asal-usul spesies…. Setelah selalu tertarik dengan persebaran geografis hewan dan tanaman, ... dan kini secara yakin menyadari secara kuat perbedaan mendasar antara negeri-negeri tropis Timur dan Barat; juga karena telah membaca buku-buku seperti “Conspectus”-nya Bonaparte, yang telah disebutkan, dan beberapa katalog serangga dan reptil di Museum Inggris (yang hampir semuanya saya hapal), yang menyediakan segudang fakta tentang distribusi hewan di seluruh dunia, terpikir oleh saya bahwa faktafakta ini belum pernah digunakan secara sepantasnya sebagai petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana spesies muncul. Karya besar Lyell bagi saya menyediakan sifat-sifat utama suksesi spesies pada suatu zaman dan, dengan mengombinasikan dua hal itu, saya pikir kesimpulan yang berharga dapat dicapai, ... yang secara singkat dapat dikatakan sebagai berikut: “Tiap spesies muncul secara bersamaan baik dalam ruang maupun waktu dengan spesies yang sudah ada dan terkait dekat.” Ini jelas mengarah pada semacam evolusi. Hal itu menyiratkan bila dan di mana kejadiannya dan bahwa hal itu hanya dapat terjadi melalui kemunculan alami, sebagaimana yang dinyatakan dalam Vestiges; tetapi bagaimananya masih merupakan rahasia yang baru disingkap beberapa tahun kemudian. Apa yang disebut “Hukum Sarawak” ini adalah makalah yang luar biasa. Sampai saat itu kontribusi Wallace secara solid bersifat empiris—observasi sejarah alam—tetapi kini ia muncul sepenuhnya sebagai pemikir sintentis, sebagai pencetus teori biologi. Ia mengajukan apa yang pada dasarnya merupakan separuh teori evolusi, yaitu apa yang disebut Darwin “keturunan dengan modifikasi”: gagasan bahwa munculnya suatu kebaruan biologis merupakan proses genealogis. Hal ini berlaku baik dalam ruang maupun waktu. Misalnya, kita menemukan banyak spesies kanguru di Australia karena pada masa lalu seekor nenek moyang kanguru muncul di Australia dan spesies yang ada kini merupakan keturunannya yang mengalami modifikasi. Wallace telah mengenali bahwa perubahan terjadi di alam dari generasi ke generasi; apa yang belum ia miliki adalah mekanisme yang akan membawa perubahan itu menghasilkan adaptasi—kesesuaian suatu organisme dengan lingkungannya. Wallace berharap bahwa makalahnya yang singkat dan berargumen tegas akan menyulut kontroversi di London. Gagasan-gagasan bidahnya, ia bayangkan, akan mengangkat derajatnya di mata para koleganya, dari sekadar kolektor menjadi ilmuwan. Tetapi ia dibuat kecewa. Bahkan Darwin, yang telah menggarap teorinya selama lebih dari 15 tahun dan dengan demikian berada dalam posisi untuk mengapresiasi makna penting makalah Wallace, awalnya hanya bergeming. Nyatanya, umpan balik pertama yang diterima Wallace adalah dari Stevens. “Segera setelah makalah ini muncul, Mr. Stevens menulis surat bahwa ia mendengar beberapa naturalis menyatakan ‘penyesalan’ mereka karena ‘aku sedang berteori sementara apa yang kami lakukan seharusnya adalah mengumpulkan lebih banyak fakta’.” Terlepas dari apa yang terlihat, tak semua orang besar dalam ilmu pengetahuan tak terkesan. Charles Lyell, sumber bagi banyak informasi paleontologis yang dipakai Wallace dalam makalahnya, membuka catatan baru tentang Persoalan Spesies dan mendesak kawannya, Darwin, untuk menerbitkan gagasannya sebelum ia didului. Namun, Wallace tak tahu apaapa soal ini dan menulis kepada Darwin bahwa “Saya mulai merasa sedikit kecewa karena makalah saya tidak menimbulkan perbincangan maupun pertentangan.” Tanggapan Darwin memberikan semangat. “Kaukatakan bahwa kau agak terkejut karena tidak ada perhatian yang dipusatkan pada makalahmu dalam Annals. Rasanya saya tidak terkejut; sebab, sangat sedikit naturalis yang peduli terhadap apa-apa yang semata-mata melampaui deskripsi spesies. Namun, jangan menyangka makalahmu tidak diperhatikan: dua orang yang sangat baik, Sir C. Lyell dan Mr. E. Blyth di Calcutta, secara khusus meminta perhatian saya mengenainya.” Wallace pun sadar bahwa Darwin tertarik dengan pokok permasalahan yang sama seiring kekecewaannya yang muncul karena Hukum Sarawak yang kurang berdampak. Maka, terjadilah salah satu tikungan paling aneh dan luar biasa dalam seluruh sejarah sains. Alih-alih langsung mengirimkan gagasan besar yang berikutnya ke sebuah jurnal, Wallace mengirimkannya ke Charles 13 eSAI 125.660 spesimen Darwin. Ini mungkin hal paling menguntungkan yang pernah terjadi pada Darwin. Kisah momen penemuan Wallace telah dikenal baik—tujuh versi penuturan Wallace tentang itu tercetak dalam buku-buku—tetapi sekali lagi Wallace menganggap The Malay Archipelago pentas yang tak sesuai untuk kisah tersebut. Berikut adalah versi yang ia paparkan dalam My Life: 14 Kesulitan besarnya adalah memahami bagaimana, jika satu spesies secara bertahap berubah menjadi yang lain, secara terusmenerus ada begitu banyak spesies yang berbeda, begitu banyak yang berbeda dari kerabat terdekatnya hanya berdasarkan ciriciri yang kecil namun pasti dan konstan. Logikanya adalah jika memang merupakan hukum alam bahwa spesies terus-menerus berubah sehingga menjadi spesies baru dan berbeda pada waktunya, dunia akan menjadi penuh dengan campuran rumit dari beragam bentuk-bentuk yang sedikit berbeda, sehingga spesies yang pasti dan konstan yang kita lihat tidak akan ada.... Masalahnya lalu tidak hanya bagaimana dan mengapa spesies berubah tetapi bagaimana dan mengapa spesies berubah menjadi spesies yang baru dan pasti, yang berbeda dari satu sama lain dalam banyak hal ... Suatu hari sesuatu mengingatkan saya pada “Principles of Population” karya Malthus, yang saya baca dua belas tahun sebelumnya. Saya memikirkan pemaparannya yang gamblang mengenai “hambatan positif ”—untuk meningkatkan penyakit, kecelakaan, perang, dan kelaparan—yang menjaga populasi suku liar tetap jauh lebih rendah ketimbang ratarata populasi masyarakat beradab. Lantas terpikir oleh saya bahwa semua penyebab ini atau penyebab serupa lainnya secara terus-menerus juga berlaku pada hewan.... Mengapa sebagian mati dan sebagian hidup? Jawabannya jelas bahwa secara keseluruhan yang paling sesuailah yang hidup. Dari efek penyakit, yang tersehatlah yang lolos; dari musuh, yang terkuat, tercepat, atau terlicin; dari kelaparan, pemburu yang terbaik atau mereka yang pencernaannya paling baik; dan seterusnya. Kemudian tiba-tiba dalam benak saya datang ilham bahwa proses yang berjalan sendiri ini niscaya akan memperbaiki ras karena, dalam tiap generasi, yang lemah tak pelak akan disingkirkan dan yang unggul akan bertahan—artinya, yang paling sesuailah yang akan bertahan.... Artinya, semua perubahan yang diperlukan bagi adaptasi spesies terhadap kondisi-kondisi yang berubah akan dihadirkan; ... Dengan demikian, tiap bagian dari organisasi hewan dapat dimodifikasi persis seperti yang dibutuhkan, dan persis dalam proses modifikasi inilah yang tak termodifikasikan akan lenyap sehingga ciri-ciri pasti dan keterpisahan tiap spesies yang baru akan terjelaskan. Semakin saya memikirkannya, semakin saya yakin bahwa akhirnya saya menemukan hukum alam yang telah lama dicari untuk memecahkan persoalan asal-usul spesies.... Malamnya saya menguraikannya secara cukup lengkap dan dua malam berikutnya menuliskannya secara hati-hati agar dapat saya kirimkan kepada Darwin lewat pos berikutnya, yang akan berangkat dalam sehari atau dua hari lagi. Di sinilah mekanisme evolusioner yang hilang itu— proses yang menyelaraskan perubahan dari generasike-generasi demi tujuan-tujuan adaptasi. Darwin telah memberinya nama “seleksi alam”, tetapi karya besar yang ia tulis mengenai topik permasalahan itu masih jauh dari tuntas. Surat Wallace yang berisi kejutan tiba di kediaman Darwin, Down House di Kent, pada 18 Juni 1858. Darwin, yang diam-diam telah memeram gagasannya segera setelah kembali dari perjalanan di atas Beagle pada 1836, terpukul atas hilangnya peluang menjadi pencetus gagasan pertama. Ia menulis kepada kawan yang ia percayai, Lyell, bahwa “seluruh karya asliku, entah apa jadinya nanti, akan hancur.” Darwin, lagilagi menulis kepada Lyell, bertekad akan melakukan yang terpuji: “Lebih baik kubakar seluruh bukuku daripada dia [Wallace] atau siapa pun mengira aku berlaku picik.” Namun, kolega Lyell dan Darwin dalam bidang botani, Joseph Dalton Hooker, datang menyelamatkan dengan sebuah rencana di mana mereka harap klaim Darwin atas prioritas dapat dijaga tanpa membahayakan hak Wallace. Mereka pun menyusun rencana dua kali presentasi teori dalam ajang pertemuan forum biologi akademik utama di London, Linnean Society, pada 1 Juli mendatang. Bersama makalah Wallace, mereka akan menyajikan tulisan panjang Darwin yang belum diterbitkan mengenai pokok soal tersebut. Teori evolusi melalui seleksi alam maka dipaparkan di Burlington House, Piccadilly, London pada 1 Juli 1858. Darwin memacu dirinya untuk menyegerakan On the Origin of Species yang terbit pada November 1859. Sejarawan sains memperdebatkan apakah Wallace diperlakukan secara adil atau tidak oleh Lyell dan Hooker dalam upaya mereka yang tergesa untuk menjaga preseden Darwin. Namun, satu hal sangat jelas: Wallace tidak memendam kekecewaan dan tidak merasa diperlakukan tak adil atas jalannya peristiwa yang terjadi. Dalam sepucuk surat yang ia tulis untuk ibunya pada Oktober 1858, “Aku sudah menerima surat-surat dari Mr. Darwin dan Dr. Hooker, dua dari naturalis-naturalis Inggris paling ternama, dan aku senang sekali. Aku mengirim sebuah esai untuk Mr. Darwin tentang permasalahan yang sedang ia tulis dan akan menjadi karya besarnya. Ia menunjukannya ke Dr. Hooker dan Sir C. Lyell, yang menganggapnya penting sekali dan membacakannya segera di hadapan Linnean Society. Aku yakin koneksi dengan orangorang terkemuka ini akan membantuku sepulangku nanti.” Setelah segala kekecewaan, segala frustrasi, segala kerja keras, ia akhirnya bermetamorfosis dari kolektor rendahan menjadi sosok berilmu. Adalah membingungkan bahwa, dengan makna penting peristiwa-peristiwa di atas dalam hidup Wallace, ia tidak memaparkannya dalam The Malay Archipelago. Mungkin alasan mengapa Wallace mengabaikan penemuan ilmiah ini dalam The Malay Archipelago adalah karena ia tak ingin membebani pembacanya dengan gagasan-gagasan ilmiah yang besar dan sulit. Ini toh buku kisah perjalanan, bukan buku pengetahuan. Namun, mungkin Wallace memang menghindari gagasan ilmiah teoretik: pemaparan empiris mengenai keberadaan dan ketiadaan hewan di pulau-pulau yang berbeda bisa saja pantas untuk dimasukkan, tetapi teori pemersatu yang besar (yang berlaku atas seluruh kehidupan, bukan Asia Tenggara saja) tidaklah tepat. Namun, toh Wallace tidak menghindari topik evolusi melalui seleksi alam dalam The Malay Archipelago; ia hanya menghindari penjelasan tentang bagaimana ia menemukannya. Misalnya, dalam sebuah pembahasan tentang mimikri di mana suatu spesies telah berevolusi untuk menyerupai spesies lain atau suatu benda dalam lingkungannya, Wallace menulis, Jika adaptasi yang sedemikian luar biasa seperti ini berdiri sendiri, akan sangat sulit ia dijelaskan; tetapi walaupun ini mungkin kasus paling sempurna yang telah diketahui mengenai imitasi untuk perlindungan, ada ratusan kemiripan serupa di alam dan dari semua ini adalah mungkin untuk mengerucutkannya menjadi sebuah teori tentang cara bagaimana mereka semua perlahan-lahan muncul. Prinsip variasi dan prinsip “seleksi alam”, atau yang paling mampu menyelaraskan dirilah yang lestari, sebagaimana diuraikan Mr. Darwin dalam Origin of the Species-nya yang dielu-elukan itu, menawarkan fondasi bagi teori seperti itu; dan saya sendiri telah berupaya untuk memberlakukannya pada semua kasus imitasi utama. Mungkin Wallace menghindari kontroversi. Lagi pula, pada 1869, saat The Malay Archipelago diterbitkan, On the Origin of Species baru berusia sepuluh tahun. Menariknya, penyebutan Wallace tentang proses evolusioner memang memicu reaksi-reaksi yang bertentangan. Sebuah ulasan anonim tentang The Malay Archipelago, misalnya, dalam British Quarterly Review edisi Juli 1869, mengkritik Wallace atas pretensi Darwiniannya: “Mr. Wallace telah lama dikenal sebagai salah satu pendukung terkemuka teori-teori Darwinian mengenai ‘variasi dan seleksi alam’; dan kegelisahannya yang tampak jelas untuk membuktikan teori-teori tersebut membangkitkan kecurigaan kita serta membawanya pada spekulasi yang sangat samar-samar.” Walaupun demikian, gagasan bahwa Wallace menarik diri dari kontroversi tidaklah mungkin. Sepanjang kariernya, ia intelektual yang berani. Darwin telah secara hati-hati menghindari topik evolusi manusia dalam On the Origin of Species, tetapi, dengan makalahnya pada 1864, “The Origin of Human Races and the Antiquity of Man Deduced From the Theory of Natural Selection,” Wallace menyasar langsung pada wilayah super-sensitif ini segera setelah ia kembali dari Asia Tenggara. Tampaknya, kesimpulan yang paling meyakinkan adalah bahwa Wallace semata-mata menganggap kisah tentang penemuan ilmiahnya tidak perlu ia gembar-gemborkan sendiri. Pada tiap-tiap penyebutannya tentang evolusi melalui seleksi alam dalam The Malay Archipelago, ia tak menyebutkan kontribusinya terhadap teori itu; selalu Mr. Darwin dan Mr. Darwin saja. Wallace memang mengidap penyakit rendah hati. Karya besarnya tentang evolusi ia beri judul Darwinism. Dan pada 1908, dalam acara untuk memperingati 50 tahun publikasi Darwin-Wallace, Wallace mengingatkan dunia bagaimana penyebutan jasanya harus dilakukan secara adil: “Saat itu saya (sejak itu pun masih sering) ‘anak muda yang tergesa-gesa’: dia (Darwin) mahasiswa yang bersusah-payah dan sabar, yang selalu berupaya mencari pembuktian penuh atas kebenaran yang ia temukan alih-alih mencapai kemasyhuran pribadi.” 15 eSAI 125.660 spesimen 16 17 Fred Langford Edwards Re-Collecting Alfred Russel Wallace, 2007–15 Proyek fotografi dokumenter yang masih berjalan Dimensi bervariasi Atas izin seniman dan masingmasing The Linnean Society of London; World Museum Liverpool; National Museum Wales, Cardiff; Natural History Museum of London and Tring; Cambridge University Museum of Zoology. FreD lANGForD eDWArDS 125.660 spesimen 18 19 FreD lANGForD eDWArDS 125.660 spesimen 20 Perjalanan Wallace menghasilkan dua jenis baru pengetahuan ilmiah: teori, sebagaimana yang kita lihat, dan data. Yang terakhir ini datang dalam dua bentuk: spesies baru bagi ilmu pengetahuan dan informasi baru tentang persebaran spesies ini maupun spesies yang sudah digambarkan sebelumnya. Praktik pengumpulannya berbeda dengan masa kita. Bahwa suatu spesies itu langka—dalam bahasa hari ini, terancam punah—lebih merupakan rangsangan bagi pengumpulannya alih-alih sebaliknya. Dengan kepekaan modern kita, amatlah sulit untuk membaca kisah Wallace tentang pembunuhan brutal seekor Orangutan yang sangat gigih: “Kedua kakinya patah, sebelah sambungan pinggangnya dan bagian bawah tulang punggungnya hancur total, dan dua peluru pipih ditemukan di leher dan rahangnya! Tapi dia masih hidup saat jatuh.” Obyek-obyek Wallace sifatnya ilmiah—cara utama yang kita pakai mempelajari Orangutan adalah dengan meneliti spesimen mati— sekaligus komersial, karena spesimen tersebut akan dihargai sangat tinggi di London. Perbedaan antara waktu itu dan sekarang utamanya adalah perbedaan logistik. Karena kita dapat mengapalkan bahan keluarmasuk dengan relatif mudah, tiap masalah dapat diselesaikan dengan panggilan telepon dan kartu kredit. Wallace, sebaliknya, kerap mendapati upaya pengumpulannya tertunda atau gagal karena peralatan pentingnya—seperti jepitan untuk menempatkan serangga—yang dipesan dari Stevens berbulan-bulan sebelumnya lewat jaringan rumit kapal uap pos, terlambat atau bahkan tak pernah sampai. Pengawetan spesimen teramat sulit dalam kondisi yang kerap dialami Wallace. Upaya-upaya untuk mengeringkan materi dalam cuaca basah yang berkepanjangan akan berujung pada spesimen yang berjamur dan tak berguna, tetapi mungkin tantangan yang paling sukar datang dari spesies lain yang mengira bahwa spesimen Wallace yang sulit diperoleh adalah peluang menyantap makanan. Khususnya, bagi lalat blue bottle atau lalat hijau yang akan “mengerubungi kulit burung saat pertama kali dikeluarkan untuk dikeringkan dan memenuhi bulu-bulu burung itu dengan telur-telurnya, yang jika dibiarkan saja akan menghasilkan belatung esok harinya.” Anjing liar juga merupakan “musuh besar dan membuatku selalu berjaga-jaga. Jika anak buahku meninggalkan burung yang sedang dikuliti sebentar saja, sudah pasti burung itu akan digondol pergi. Segala sesuatu yang dapat dimakan harus digantungkan di atap, di luar jangkauan anjinganjing itu.” Bahwa Wallace dan orang-orangnya bahkan berhasil menciptakan koleksi yang signifikan dalam kondisi seperti itu adalah hal yang luar biasa. Belum lagi bajak laut dan bandit-bandit yang harus dipikirkan. Namun, mungkin musuhnya yang paling gigih dari semuanya adalah mikroba, khususnya dengan adanya kemungkinan luka atau terkena gigitan serangga, yang awalnya hanya berupa gatal-gatal kecil lalu dalam iklim yang basah dan panas itu berubah menjadi infeksi serius. Terlepas dari rangkaian rintangan yang fenomenal, koleksi Wallace memang menakjubkan. Ia mengumpulkan sejumlah total 125.660 spesimen— artinya, luar biasa, 44 spesimen per hari. Ingat pula bahwa angka tersebut tidak termasuk banyaknya spesimen yang dikumpulkan tetapi harus dibuang karena pengawetannya bermasalah. Dari 109.700 spesimen serangga yang dikumpulkan Wallace, diperkirakan 7.758 berhasil, via Stevens, mencapai koleksi Museum Inggris (kini Museum Sejarah Alam). Tetapi ada berapa banyak spesies berbeda yang direpresentasikan dalam 125.660 spesimen itu dan, dari spesies-spesies itu, ada berapa banyak yang baru bagi ilmu pengetahuan? Mari berfokus pada burung, yang pada umumnya digambarkan dengan cukup baik dan dengan demikian menandai batas bawah keampuhan Wallace sebagai kolektor. Ada kuranglebih 10.000 spesies burung yang diketahui; 212 di antaranya ditemukan di Asia Tenggara oleh Wallace— sekitar 2% dari semua spesies burung. Koleksi ilmiah Wallace bukan saja pencapaian yang luar biasa, melainkan keberhasilan dagang pula. Beberapa spesimen yang menonjol, khususnya, mendapatkan harga yang tinggi. Satu pengiriman tiga rangka dan kulit Orangutan, misalnya, dibeli oleh Museum Inggris dengan harga £96. Dan Wallace menerima lebih dari £1.000 atas koleksi Kepulauan Aru-nya. Sepanjang waktu ia selalu dilayani dengan baik oleh Stevens. Bagi Wallace, fase keamanan finansial ini terbukti berusia pendek karena tampaknya ia mewarisi ketidakcakapan ayahnya mengelola uang. Hanya ketetapan pemerintah tentang daftar pensiun sipil £200 per tahun sajalah, yang diurus oleh Darwin pada 1881, yang membantu meringankan kehidupan Wallace sehingga tak harus dibayangi kegelisahan finansial selamanya. Observasi Wallace mengenai Asia Tenggara tak terbatas pada sejarah alam saja, ia juga memiliki minat yang mendalam terhadap etnografi. Saat ini telah diajukan bahwa minatnya terhadap transisi manusia dari masyarakat Australonesia ke Melanesialah yang menjadi kunci pengembangan gagasannya mengenai seleksi alam. Namun, bagi Wallace, manusia bukanlah semata-mata hewan kajian yang lain. Ia menyusun observasi antropologis yang lengkap dan melakukan upaya penuh tekad untuk merekam banyak bahasa yang ia jumpai. Upayanya sebagai ahli bahasa, menurut pemaparannya sendiri, terhambat oleh kekurangannya dalam ranah ini: “Kelemahan lain yang lebih serius adalah dalam hal ingatan verbal yang, digabung dengan ketidakmampuan menghasilkan bunyi vokal, membuat penguasaan semua bahasa asing menjadi sangat sulit dan buruk sekali.” Maka, bahwa ia mampu mengakumulasi banyak informasi linguistik maka adalah hal yang justru mencengangkan. Setelah pengalamannya dengan Helen, dapat dimengerti bahwa Wallace gelisah tentang perjalanan pulangnya. Pada 1859, ia menulis kepada Bates saat ia mendengar bahwa Bates akhirnya kembali dari Amazon: “Izinkan aku mengucapkan selamat atas sampainya kau di rumah dengan selamat beserta segala harta karunmu; keberuntungan baik yang aku yakin kali ini akan ditakdirkan untukku.” Kepulangan Wallace ke Inggris dimajukan sekitar sebulan karena berita, yang ia terima saat mengumpulkan spesimen di Sumatra, bahwa Zoological Society of London (ZSL) akan menanggung biaya perjalanan pulangnya dari Singapura jika ia menemani dua burung cenderawasih hidup yang sedang dijual di Singapura ke London. Setibanya di Singapura, Wallace kecewa karena ia dibuat percaya bahwa pengaturan ZSL sifatnya menyeluruh sementara kenyataannya tidak demikian: instruksinya hanyalah bahwa ia harus mengurusi burung-burung itu. Bebas biaya perjalanan tidak disebut-sebut. Wallace maka harus menguras koceknya sebesar $552 (Singapura) untuk tiket kelas pertama ke Marseilles, dari mana ia akan berkereta menyeberangi Prancis. Nantinya ia akan mengklaim ongkos perjalanan dari ZSL. Ada beberapa momen genting, seperti saat Wallace dihadapkan dengan kelangkaan kecoa kapal—makanan kesukaan burungburung itu—di atas kapal uap P & O yang higienis dan nyaman, Ellora, di luar Iskandariyah. Lebih jauh lagi, penyebutan nama burung-burung itu dalam telegraf untuk ZSL entah bagaimana menjadi amburadul. Entah bagaimana para petugas ZSL menanggapi berita tentang “garadisi birds” (dari seharusnya, paradise birds). Wallace tiba di Folkestone pada 31 Maret 1862 setelah perjalanan lebih dari delapan tahun. Kontrasnya dengan kepulangannya yang sebelum itu—pasca-Helen—sangat jelas. Dulu ia korban selamat yang kurus kering dari sebuah kapal yang tenggelam, yang berduka atas hilangnya koleksinya; kini ia seorang tokoh ilmu pengetahuan yang sukses dan terkenal. Wallace langsung menceburkan diri dalam kehidupan London, jelas menikmati akses barunya pada kalangan terkemuka dalam lingkungan sains Inggris. Dalam beberapa bulan saja, ia telah bepergian untuk menemui Darwin maupun Lyell. Namun, prioritas Wallace adalah menggarap sains: menakjubkan bahwa ia produktif selama tahuntahun ini, menekuni koleksinya dan menuliskan observasinya. Ia juga menghabiskan waktu untuk membela gagasan-gagasan evolusioner dalam tulisan-tulisan—waktu itu ia beranggapan sebaiknya disebut sebagai “Darwinianisme”. Pada 1865, ia mengunjungi acara pertemuan roh yang pertama dan segera menjadi seorang spiritualis yang teguh. Pada 1866, ia menerbitkan pamflet pertamanya mengenai spiritualisme. Urusan pribadi juga berubah-ubah dengan cepat. Segera setelah kembali, ia berjumpa dengan seorang Miss Leslie lewat klub catur yang ia kunjungi. Mereka bertunangan dan tampaknya, dari perspektif Wallace, segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun Miss Leslie membatalkan pertunangan dan meninggalkan Wallace yang malang dalam keadaan hancur: “Belum pernah dalam hidup aku merasakan emosi yang sedemikian menyakitkan.” Namun, tak semua hancur berantakan: Wallace menikah dengan Annie Mitton pada 5 April 1866. Dengan segala sesuatu yang berlangsung saat itu, tak mengherankan bahwa The Malay Archipelago tidak muncul hingga tujuh tahun setelah ia kembali. Namun, ada alasan-alasan penundaan lain selain penuhnya jadwal Wallace. Dua bukunya tentang Amazon tidak mendapat sambutan baik—ini sebagian jelas karena hilangnya catatannya dan materi-materi lain di atas Helen—tetapi ia pasti juga bertanya-tanya apakah penulisannya sudah cukup bagus. Bukunya mengenai palem mendapat ulasan keras oleh pakar botani terkemuka saat itu, William Jackson Hooker, Direktur Kew Gardens: “Karya ini jelas lebih sesuai untuk meja ruang tamu ketimbang perpustakaan ahli botani.” Buku perjalanan Amazon mendapat ulasan yang lebih baik tetapi penjualannya buruk. Wallace mengenang dalam My Life: “Hanya 750 eksemplar yang dicetak dan saat saya pulang kembali dari Timur pada 1862, sekitar 250 eksemplar masih ada. Jadi, sama sekali tidak ada laba untuk dibagikan.” Ada pula unsur persaingan dalam kegelisahan Wallace mengenai penulisan The Malay Archipelago. Bates telah kembali dari Amazon pada 1859 dan 21 eSAI 125.660 spesimen 22 bukunya, The Naturalist on the River Amazons, pada 1863 telah muncul dengan sambutan meriah. Wallace sendiri menyebut, buku itu memiliki “kekuatan observasi dan ciri-ciri gaya yang menyenangkan.” Menulis kepada Darwin pada 1864, Wallace berterusterang, “Saya payah sekali kalau menulis sesuatu yang bercerita. Saya ingin sesuatu untuk diperdebatkan lalu saya pikir akan jauh lebih mudah kalau saya terus saja. Lebih baik saya menyerah daripada menulis buku sebagus Bates, walaupun saya rasa topik saya lebih bagus.” Selain itu, bagaimana ia dapat bersanding dengan tulisan-tulisan oleh von Humboldt dan Darwin? Darwin memberinya semangat dalam tanggapannya terhadap kegelisahan Wallace, “Dengan kekuatan penulisanmu, saya tidak ragu kau akan dapat menulis buku yang hebat”—tetapi Wallace hampir tak maju-maju. Proses penyusunan buku itu pelik karena Wallace memilih menghindari pendekatan kronologis. Ia lebih suka menyusun struktur penceritaannya berdasarkan geografi, melintasi kawasan itu dari barat ke timur karena perjalanannya yang memutar-mutar. Jika ditengok kembali, Wallace toh senang karena telah menunda menulis bukunya hingga ia menganalisis (dan menerbitkan) banyak materi yang ia bawa pulang. Hal ini membuatnya “mampu menuliskan buku yang tidak sekadar kisah perjalanan seorang musafir tetapi juga sebuah sketsa yang cukup lengkap tentang seluruh Nusantara Melayu yang besar dari sudut pandang seorang naturalis yang filosofis.” Ia menciptakan racikan dengan memanfaatkan karya-karya penerbitannya sendiri, informasi dari otoritas standar tentang kawasan itu, juga “sebuah jurnal utuh yang dapat ditoleransi” (catatan-catatan panjang yang ia buat di lapangan). Akhirnya, setelah Wallace “memperoleh jasa layanan para seniman dan pengukir kayu terbaik di London saat itu” untuk ilustrasinya, naskah itu diserahkan ke tangan penerbit dan yang harus dilakukan tinggal menyusun lembar persembahan. Pada 20 Januari 1869, Wallace menulis kepada Darwin: “Aku akan senang sekali jika kau mengizinkan aku mempersembahkan buku kecilku tentang Perjalanan Melayu ini untukmu, walaupun buku ini merupakan karya yang sangat kecil dan bersahaja untuk kehormatan seperti itu.” Darwin membalas dua hari kemudian, “Niatmu untuk mempersembahkannya untukku membuatku senang sekali dan aku menganggapnya sebagai kehormatan besar, demikianlah apa adanya kenyataannya.” The Malay Archipelago diterbitkan oleh Macmillan & Co. pada 9 Maret 1869 dalam dua volume oktavo (lipatan delapan). Jumlah cetakan pertamanya 1.500 eksemplar dan harga jualnya £1. Wallace dibayar sebesar £100 dengan royalti 7 shilling 6 penny per eksemplar setelah terjualnya 1.000 eksemplar pertama. Buku itu terjual dengan baik dan edisi keduanya sebanyak 750 eksemplar diedarkan pada Oktober tahun yang sama. Terjemahan Jerman dan Belanda masing-masing muncul pada 1869 dan 1870. Edisi ketiga bahasa Inggris (1.000 eksemplar), yang muncul pada Februari 1872, adalah terbitan Inggris pertama dalam volume gabungan. Strategi penulisan Wallace menciptakan dua masalah baginya. Pertama, kebijakannya untuk mencakupkan materi sejarah alam yang padat dan menambahkan bab-bab yang meringkas biologi dan geografi tiap kawasan berarti plot naratifnya tak pelak terganggu. Kedua, penolakannya terhadap penuturan kronologis—kerapkali ia harus merajut beberapa kunjungan terpisah ke suatu lokasi yang sama menjadi satu naratif tunggal—niscaya menghilangkan gaya penceritaan yang langsung dan mulus ala “ini, kemudian ini, kemudian itu” yang mencirikan kisahkisah perjalanan terbaik. Solusi Wallace adalah berfokus pada sketsa: peristiwa tertentu, spesimen tertentu, orang-orang tertentu. Pada momen-momen sorotan inilah The Malay Archipelago seolah hidup. Karena Wallace dapat memanfaatkan catatancatatan panjang yang ia buat di lapangan, prosanya menyimpan, bahkan tujuh tahun setelah peristiwanya, kesegaran kesan pertama. Sketsa-sketsanya cemerlang. Keistimewaan khususnya adalah apa yang bisa kita sebut “salindia Wallace”. Pemaparannya berawal kering dan ilmiah—membosankan, bahkan—tetapi mulai berirama seiring antusiasme Wallace mengalahkan dirinya sendiri hingga tulisannya turun derajat menjadi racauan-racauan yang paling tidak ilmiah. Penggambarannya tentang durian ini terkenal dan sudah selayaknya demikian: Durian tumbuh di pohon yang besar dan kokoh, agak menyerupai elm dalam karakternya secara umum tetapi dengan kulit pohon yang lebih halus dan bersisik. Buahnya bulat atau sedikit lonjong, kurang-lebih sebesar sebutir kelapa yang besar, berwarna hijau, dan seluruh permukaannya tertutup duri yang kuat pendek, yang dasarnya saling menyentuh satu sama lain sehingga menjadi agak bersegi enam, sementara ujungnya sangat kuat dan tajam. Buah ini dipersenjatai begitu lengkap sehingga jika dahan buahnya jatuh maka sulitlah untuk mengangkatnya dari tanah.... Kemudian daging buahnya itulah, yang halus, lengket, dan kaya, tanpa apa-apa lagi namun justru di situlah kenikmatannya. Rasanya tidak masam, tidak manis, tidak pula gurih, tapi tidak akan ada yang menginginkan semua rasa itu karena buah ini sempurna apa adanya. Buah ini tidak menimbulkan mual ataupun efek buruk lainnya, dan semakin banyak kau memakannya, semakin tak ingin kau berhenti. Memang, makan Durian adalah sensasi baru, senilai dengan perjalanan menuju ke Timur. The Malay Archipelago mendapat sambutan baik, baik dari para pengulas maupun kolega-kolega Wallace. Darwin khususnya sangat apresiatif. Ia menulis pada 5 Maret: Senang sekali saya menerima bukumu pagi ini. Keseluruhan perwajahan dan ilustrasinya yang dihiasi banyak ornamen indah sekali. Terberkatilah kau dan penerbitmu karena telah memotong dan menyepuh halaman buku. Tentang lembar persembahan, terlepas dari betapa jauhnya kata-katamu dari yang berhak kuterima, kurasa itulah ungkapan persembahan terbaik yang pernah kulihat ... hal yang bisa dibanggakan oleh anak-cucuku. Kemudian, pada 22 Maret, setelah membaca buku itu: “Menurutku bagus sekali, dan ... Dari semua kesan yang kudapatkan dari buku ini, yang terkuat adalah bahwa kegigihanmu atas nama ilmu pengetahuan heroik sekali.” Pada April 1869, John Lubbock, seorang kawan dan tetangga Darwin, mengulas buku itu untuk Macmillan’s Magazine, menyimpulkan, “bahwa karya Mr. Wallace, saya rasa, layak disejajarkan dengan kisah-kisah perjalanan terbaik yang pernah terbit.” Ulasan-ulasan yang negatif cenderung berfokus pada empat area. Satu, seperti yang telah kita lihat, berasal dari para pengulas yang memanfaatkan The Malay Archipelago sebagai kesempatan untuk menyerang teori evolusi. Kritik lain adalah tentang perhatian buku itu terhadap detail ilmiah. The Atlantic Monthly (Agustus 1869) mengungkapkannya dengan manis: “Mr. Wallace rupanya memeras habis catatan harian yang berlimpah-ruah untuk menghasilkan buku ini dan tampaknya telah bertekad untuk tidak meninggalkan apa pun.” Sebuah ulasan tanpa nama di British Quarterly Review (Juli 1869) meringkaskan dua area kritik utama: pembelaan Wallace terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan kutukannya terhadap degradasi moral masyarakat “beradab” jika dibandingkan dengan masyarakat “biadab”: Lagi dan lagi, dengan semangat membara, ia bela sistem kolonial Belanda.... Ia memuji rencana untuk mendorong debitur menjadi budak bagi krediturnya, menyesalkan perdagangan bebas, dan melihat adanya manfaat dalam monopoli, bahkan meminta maaf atas rusaknya “pepohonan pala dan semanggi di banyak pulau, demi membatasi budidayanya pada satu atau dua pulau, di mana monopoli dapat dijaga dengan mudah.” ... Kami lebih suka sejarah alamnya ketimbang politik ekonominya; khususnya demikian saat di antara kesimpulan observasinya ia berargumen atas keunggulan suku-suku biadab dengan siapa ia telah tinggal bersama dan menyesalkan kebejatan moral yang dihasilkan peradaban modern. Hubungan Wallace dengan masyarakat “biadab” merupakan paradoks. Ia amat mengagumi dunia komunal Rumah Panjang Dayak yang egaliter dan masyarakat pribumi lain, dan terkadang memberi kesan bahwa ia mendukung suatu versi doktrin “biadab yang mulia” di mana manusia secara asali baik namun rusak oleh tipu daya peradaban. Karena ia bergantung pada masyarakat “biadab” untuk bantuan dan keramahan sepanjang perjalanannya, ia memiliki perspektif yang tercerahkan yang tidak biasa pada era ketika rasisme masih menjadi norma. Bahkan kaum yang secara politis liberal progresif—kaum abolisionis garis keras—biasa memiliki pandangan rasis. Sebaliknya, Wallace menulis dari Sarawak pada 1855 bahwa, “Semakin jauh saya melihat masyarakat tak beradab ini, semakin saya yakin bahwa sifat manusia secara keseluruhan baik, dan perbedaan hakiki antara manusia biadab dan beradab seolah lenyap.” Perspektif ini akan berdampak besar terhadap pemikiran ilmiahnya karena berkontribusi dalam penolakannya, yang pertama kali diutarakan dalam sebuah artikel pada 1869, atas kecukupan seleksi alam untuk menjelaskan evolusi manusia. Ia menyadari bahwa orang “biadab” di Kepulauan Aru dengan siapa ia telah bekerja, misalnya, secara mental merupakan tandingan setara bagi lelaki terhormat yang paling canggih di London. Perbedaan yang ada terletak pada pendidikan saja. Tetapi bagaimana seleksi alam yang, berdasarkan definisinya, hanya merespons kebutuhan langsung saat kebutuhan itu mempengaruhi keberlangsungan dan reproduksi, dapat bertanggung jawab atas evolusi otak penduduk Kepulauan Aru? Wallace menyimpulkan, maka, bahwa pasti ada semacam kekuatan teleologis yang bekerja dalam evolusi manusia; ini mendemonstrasikan betapa kuatnya pemahamannya 23 eSAI 125.660 spesimen 24 akan mekanisme proses evolusi. Meski demikian, walaupun tercerahkan, tak perlu kita mengira bahwa Wallace membayangkan perspektif relativistik modern terhadap ras dan budaya. Prediksinya atas nasib masyarakat Nugini mengungkapkan dirinya sebagai seseorang dari zamannya: “Jika gelombang kolonisasi mencapai Nugini, hampir tak diragukan lagi ras Papua akan punah. Masyarakat yang suka berperang dan enerjik, yang tidak akan menyerah pada perbudakan nasional atau penghambaan domestik, akan lenyap di hadapan kulit putih seperti halnya serigala dan harimau.” Kritik terhadap antusiasme Wallace akan sistem kolonial Belanda mengambil dua wujud. Ada perbedaan-perbedaan ideologis antara kebijakan perekonomian kolonial Inggris dan Belanda. Perdagangan bebas dipandang sebagai kunci yang menyangga keberhasilan upaya semacam Singapura, yang pada dasarnya diciptakan Sir Thomas Stamford Raffles pada 1819. Sebaliknya, Belanda lebih menyukai monopoli yang dikendalikan secara hati-hati. Selain itu, ada pula isu apakah sistem kolonial Belanda, yang berusaha mengendalikan pertanian lokal melalui pajak, secara inheren cenderung sewenang-wenang. Dengan simpatinya (dan empatinya) seumur hidup terhadap pihak yang tidak diunggulkan, adalah hal yang mengejutkan bahwa Wallace memilih berpihak pada pemerintah kolonial. Mungkin apresiasinya atas keramahan James Brooke di Sarawak, diiringi hubungan pribadinya yang dekat dengan Brooke, membuatnya cenderung bersimpati dengan pemerintahan yang paternalistik. Keluhan kedua dalam British Quarterly Review adalah tentang halaman-halaman terakhir The Malay Archipelago di mana Wallace memuat sebuah kotak sabun untuk menyerang ketidakadilan dalam masyarakat industrial Inggris dibandingkan dengan masyarakat “biadab” egaliter yang ia jumpai dalam perjalanannya. Ini mengingatkan kembali akan kiasan yang muncul dalam buku Amazon-nya yang sebelumnya, dikutip di sini dalam sebuah bait yang ditulis oleh Wallace pada 1951: Haruskah jutaan mengalami kesengsaraan ini Dan sedikit orang memetik buahnya yang manis, Tidak adakah, terpenjara dalam padatnya kota, Tersebar di tanah-tanah kita yang paling kaya, Jutaan orang yang hidup lebih nestapa—Lebih nista fisiknya dan kesehatan moralnya—Ketimbang Indian merah di alam liar yang tak tersentuh ini? Sejak awal dalam hidupnya, Wallace terinspirasi oleh tokoh reformasi sosial dan proto-sosialis asal Wales, Robert Owen, dan akhirnya menyatakan diri sepenuhnya sebagai sosialis. Wallace sendiri mengenal kemiskinan dan selama hari-hari surveinya bekerja di kalangan miskin pedesaan sehingga sebagai pengamat yang ilmiah pasti memiliki perasaan pribadi yang mendalam tentang ketidakadilan masyarakat era Victoria. Dalam tanggapannya terhadap para pengulas The Malay Archipelago, Wallace mencicipi untuk pertama kali sebentuk kritik yang makin lama makin kerap ditujukan kepada dirinya seiring ia makin berpihak secara politis. Keterlibatannya dalam reformasi tanah membuatnya, pada 1881, menjadi presiden pertama Land Nationalization Society, yang menganggap kepemilikan tanah pribadi sebagai akar dari banyak penyakit masyarakat. Pada 1882, Wallace menerbitkan buku, Land Nationalization: Its Necessity and Its Aims, yang ia persembahkan untuk “Kaum Pekerja Inggris”. Ia terus menjadi juru kampanye yang penuh semangat tentang persoalan ini, seorang “radikal yang merah membara” dalam kalimatnya sendiri, sepanjang sisa hidupnya. Dampak The Malay Archipelago tidak hanya terbatas pada ranah politik. Tak mengejutkan, buku tersebut menginspirasi satu generasi musafir untuk menjelajahi kawasan tersebut. A Naturalist’s Wanderings in the Eastern Archipelago karya Henry Forbes pada 1883 dimulai dengan tribut untuk Wallace. Dan, memang, The Malay Archipelago terus bermanfaat bagi para ilmuwan kontemporer. Wallace begitu menyeluruh dalam survei biologinya dan teliti dalam pencatatannya sehingga pemaparannya berguna sebagai standar dalam mengevaluasi dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggundulan hutan, polusi, dan sebangsanya. Sebuah makalah tahun 2010 mampu mengukur penurunan populasi Orangutan menggunakan informasi dari Wallace pada tingkat ketika ia menjumpai hewan tersebut di hutan di Borneo pada 1855. Tak seperti buku yang ditulis oleh ilmuwan pada umumnya, The Malay Archipelago juga berdampak terhadap sastra. Baik Arthur Conan Doyle maupun Somerset Maugham memanfaatkannya sebagai sumber. Namun, pewaris sastrawi yang paling berutang pada Wallace adalah Joseph Conrad, yang baginya The Malay Archipelago adalah “buku favorit di sebelah tempat tidur”. Beberapa karya Conrad memanfaatkan sumber dari buku tersebut, tetapi gaung Wallace terdengar paling kuat dalam Lord Jim (1900), sebuah buku yang sebagian didasarkan atas kehidupan James Brooke. Conrad memilih dengan baik. Bagian mengenai Wallace ini diinspirasi langsung oleh kisahnya menangkap kupu-kupu birdwing, Ornithoptera croesus: Hari berikutnya, saya pergi ke tempat yang sama dan berhasil menangkap seekot Ornithoptera betina. Keesokan harinya, saya menangkap yang jantan. Kupu-kupu ini merupakan spesies baru dan sangat mengagumkan sebagai salahsatu kupu-kupu dengan warna terindah di dunia. Sayap spesimen jantan memiliki lebar lebih dari tujuh inci dan berwarna hitam beludru serta jingga kemerah-merahan. Kupu-kupu lain dari famili yang sama sayapnya berwarna hijau. Keelokan dan keindahan serangga ini tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Dan hanya seorang naturalis yang dapat memahami kegembiraan saya ketika akhirnya kupu-kupu ini berhasil tertangkap. Ketika mengeluarkannya dari jaring dan membuka sayapnya yang cantik, jantung saya berdegup kencang. Darah saya naik hingga ke kepala. Saya tiba-tiba merasa lebih lemas daripada ketika menghadapi kematian. Kepala saya sakit sepanjang hari. Terlampau besar kegembiraan yang saya alami, sementara bagi orang lain hal tersebut sangat remeh. Bagian tersebut memuat semuanya: sejarah alam yang cermat, drama yang dituturkan dengan baik, “salindia Wallace” dari observasi yang berjarak hingga keterlibatan yang penuh gairah, serta, akhirnya, sekilas gaya mengejek diri sendiri ala Wallace. Menulis pada 1863, setahun setelah Wallace kembali dari Asia Tenggara, Huxley—yang tak pernah berlebihan dalam memuji orang—menilai Wallace dan perjalanannya: “Sekali dalam satu generasi, mungkin dapat dijumpai seorang Wallace yang secara fisik, mental, dan moral terkualifikasi untuk berkelana tanpa cedera di seluruh hutan tropis liar Amerika dan Asia; menyusun koleksi yang menakjubkan ke mana ia pergi; dan lebih jauh lagi memikirkan secara jauh kesimpulan-kesimpulan yang disiratkan oleh koleksinya.” Menimbang-nimbang The Malay Archipelago, kita bisa menambahkan pada penilaian tersebut bahwa jarang pula semangat penjelajahan dan kecemerlangan ilmiah diiringi kemampuan yang ditakdirkan untuk menulis secara liris dan penuh hasrat sekaligus cermat tentang perjalanan-perjalanan yang penuh mara bahaya, lokasi-lokasi geografis yang memancing keingintahuan, spesies-spesies spektakuler, tempat-tempat yang tak terbayangkan, dan masyarakat-masyarakat yang luar biasa. Lahir di London, Andrew Berry memperoleh gelar dalam bidang Zoologi di Oxford University dan Phd untuk Genetika Evolusioner dari Princeton University. Pernah duduk sebagai Harvard Junior Fellow, kini ia mengajar Biologi Evolusioner dan Organisme di Harvard. Memadukan teknik biologi lapangan dengan biologi molekuler, riset Berry adalah penyelidikan untuk menemukan buktibukti teori seleksi alam Darwin pada tataran DNA. Ia telah mempublikasikan jurnal dengan beragam topik seperti tikus raksasa di Papua Nugini, tikus di Kepulauan Atlantik, kutu dari Timur Jauh, dan lalat buah. Di Harvard, ia turut mengajar dalam kelaskelas mengenai biologi evolusioner, perkembangan evolusi berpikir, dan basis fisik sistem biologi. Ia juga mengajar progam kuliah musim panas luar negeri di Queen’s College, Oxford, yang menggabungkan sejarah sains dengan ulasan tentang pemikiran terkini dalam biologi evolusioner. Ia telah mengadakan kuliah umum mengenai topik-topik evolusi dan sejarah biologi di depan peserta-peserta umum di seluruh dunia—dari Ankara hingga Antartika. Dalam sejarah sains, Berry tertarik dengan peran sejarah alam dalam perkembangan ide-ide tentang evolusi. Penekanan khususnya, dalam bidang itu, adalah pada hidup dan karya Alfred Russel Wallace, ahli biologi era Victoria, yang, bersama Charles Darwin, mencetuskan teori seleksi alam. Berry menyunting kumpulan tulisan Wallace (Infinite Tropics, Verso 2002) dan menulis kata sambutan untuk edisi Penguin Classics 2014 dari The Malay Archipelago, kisah Wallace tentang perjalanan ilmiahnya selama delapan tahun di Asia Tenggara. Berry juga menulis, bersama James D. Watson, kisah sejarah dan dampak genetika modern yang diterbitkan untuk memperingati 50 tahun penemuan si ulir ganda (DNA, Knopf 2003). Sebagai pengajar dan pembicara, Berry berusaha untuk meruntuhkan misteri seputar topik yang paling penting dan paling kerap disalahtafsirkan dari seluruh pemikiran dalam biologi: evolusi. 25 Esai dan kronik hidup di halaman berikut dipublikasikan dalam The Malay Archipelago oleh Alfred Russel Wallace, diedit oleh Andrew Berry (London: Penguin Books, 2014). Terjemahan disingkat oleh Ninus D. Andarnuswari. eSAI 125.660 spesimen Kronik Hidup Alfred Russel Wallace Andrew Berry 26 1823 1828 1837 Pada 8 Januari, Alfred Russel Wallace lahir di dekat Usk, monmouthshire, sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara. orangtuanya, Thomas Vere Wallace dan mary Anne Greenell pindah ke Usk untuk menghemat uang. mr. Wallace adalah seorang pengacara berizin yang tidak pernah berpraktik tetapi terkadang bekerja sebagai guru dan pustakawan. Ia menggantungkan hidupnya terutama pada warisan yang semakin menipis. Keluarga itu pindah ke Hertford, di rumah kerabat mrs. Wallace. Pada 1831, Wallace masuk ke Hertford Grammar School, di mana ia mendapatkan pendidikan klasik. Pada 1835, mr. Wallace ditipu orang sehingga sisa warisannya semakin menipis. Situasi finansial keluarga tersebut terjun bebas dan Wallace ditarik dari sekolah sekitar Natal 1836. Wallace pindah ke london selama sekitar enam bulan bersama kakaknya, john, seorang tukang kayu magang. Di sini Wallace mengenal ajaran utopis sosialis robert owen dan pemikiran radikal khas london mechanic’s Institute. Pada musim panas 1837, Wallace meninggalkan london dan pergi ke Bedfordshire untuk bergabung dengan kakaknya yang lain, William, dalam bisnis survei tanah secara berjalan kaki. Wallace belajar survei sendiri dari Survei Trigonometri Inggris. 1845 1847 1848 William mendadak meninggal; Wallace meninggalkan leicester dan mengambil alih bisnis William di Neath sembari terus memupuk minatnya terhadap kumbang dan sejarah alam secara umum lewat suratmenyurat dengan Bates. Wallace menerbitkan makalah ilmiahnya yang pertama (sebuah catatan tentang sejarah alam) dalam The Zoologist dan bersama Bates merencanakan sebuah ekspedisi ilmiah ke negeri-negeri tropis, yang akan mereka danai dari penjualan tiruan spesimen. Pilihan destinasi mereka terinspirasikan dari A Voyage up the Amazon karya W.h. edwards. Wallace dan Bates berangkat dari Inggris pada 25 April menuju Belém, Brazil. Setelah awalnya bekerja bersama, pada maret 1850 pasangan itu berpisah, dengan Bates berfokus pada Solimões, cabang selatan Amazon, dan Wallace pada sebelah utara rio Negro. Ia melakukan dua ekspedisi di sana, Agustus 1850-September 1851 dan oktober 1851 – mei 1852. 1858 1859 Pada Februari, saat tengah mengalami serangan demam malaria di Pulau halmahera, maluku, ia mendapat sekilas ilham tentang mekanisme adaptasi dalam evolusi (apa yang disebut Darwin “seleksi alam”). Wallace menulis “Ternate Manuscript” dan “On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type,” yang ia kirim ke Darwin agar diteruskan ke Sir Charles lyell. Pada 18 juni, surat dan naskahnya sampai di tangan Darwin yang tak dapat menentukan prioritas hingga keputusannya ditentukan oleh para koleganya, lyell dan joseph hooker. Dua orang ini kemudian menyajikan penemuan ganda mengenai seleksi alam dalam pertemuan linnean Society pada 1 juli, membacakan baik makalah Wallace maupun materi Darwin yang belum diterbitkan. Pada oktober, berita mengenai penerbitan gabungan itu mencapai Wallace yang girang. makalah mengenai apa yang nantinya dikenal sebagai “Garis Wallace”, “On the Zoological Geography of the Malay Archipelago” dibacakan di depan Linnean Society pada 3 November; On the Origin of Species karya Darwin diterbitkan pada 24 November. 1869 1870 1871 1875 The malay Archipelago terbit pada 9 maret, diikuti edisi keduanya setahun kemudian. Dalam Quarterly review edisi April, dalam sebuah tinjauan atas edisi Principles of Geology lyell yang terbaru, Wallace menyatakan kesimpulannya bahwa seleksi alam saja tidak dapat menjelaskan evolusi manusia. menerbitkan Contributions to the Theory of Natural Selection. Wallace menanggapi taruhan sebesar £500 dari ilmuwan eksentrik john hampden yang ingin membuktikan bahwa bumi tidak datar dengan sebuah demontrasi elegan, memanfaatkan keahlian surveinya. Sayangnya, hampden selanjutnya menjadi duri dalam daging karena memfitnah Wallace dalam upayanya untuk mendapatkan kembali uangnya. mulai bekerja sebagai penilai ujian, tugas yang ia teruskan hingga 1897. Ini biasanya menghabiskan waktu selama tiga minggu dalam setahun dan menghasilkan sekitar £50. on miracles and modern Spiritualism 1893 1898 1903 1905 1907 1908 Dipilih sebagai Fellow of the royal Society. The Wonderful Century man’s Place in the Universe My Life Is mars habitable? menerima medali Darwin-Wallace dari linnean Society di London; Medali Copley dari Royal Society; dan Order of Merit, penghargaan dari takhta kerajaan atas jasa luar biasa dalam angkatan bersenjata atau dalam ilmu pengetahuan, seni, sastra, atau promosi budaya. Order of Merit dianugerahkan secara terbatas hanya untuk dua puluh empat anggota. 1840 1844 Wallace dan William awalnya bergerak ke Kingston, dekat Hereford di perbatasan Wales, lalu ke Neath di Wales Selatan, di mana mereka lantas terlibat dalam pekerjaan teknik sipil di samping melakukan survei. minat Wallace terhadap tanamtanaman tumbuh seiring perjalanan-perjalanan mereka ke pedesaan. Ia menabung agar dapat membeli sebuah buku, Elements of Botany karya john lindley, hanya untuk menemukan bahwa buku itu merupakan risalah sistematika, bukan panduan mengenai tanaman Inggris yang ia cari. Pada 1842, pembelian buku yang lebih berhasil, yaitu Treatise on the Geography and Classification of Animals oleh William Swainson, menandai awal mula ketertarikan seumur hidup terhadap biogeografi. Saat bisnis survei William mengalami penurunan, Wallace menerima pekerjaan di leicester Collegiate School untuk mengajar khususnya survei, menggambar, dan sedikit aritmetika. Ia berjumpa dengan henry Walter Bates, dua tahun lebih muda, yang memperkenalkan Wallace pada kegiatan mengoleksi kumbang. Ia juga memperdalam bacaannya: Personal Narrative of Travels to the Equinoctial Regions of America karya Alexander von humboldt, perjumpaan pertamanya dengan perjalanan ke negeri tropis; Essay on the Principle of Population karya Thomas maltus, yang menjadi kunci ke pemikiran evolusionernya kemudian; dan polemik evolusioner Robert Chambers yang diterbitkan secara anonim, Vestiges of Natural History of Creation. Ia juga menghadiri kuliah dan demonstrasi tentang mesmerisme, yang menandai awal mula minatnya terhadap pendekatan alternatif terhadap pikiran manusia. 1852 1854 1855 Wallace meninggalkan Belém dan pergi ke Inggris dengan kapal helen pada 12 juli 1852. Pada 6 Agustus, helen terbakar dan tenggelam di tengah Atlantik. Sepuluh hari kemudian, kapal jordeson menyelamatkan Wallace dan awak helen. Kembali di london pada 1 oktober, Wallace menyelamatkan secuil dari serangkaian catatan ilmiah dan gambar yang bisa ia bawa dari helen. Setahun kemudian, ia menerbitkan Palm Trees of the Amazon dan A Narrative of Travels on the Amazon and rio Negro. Sempat berjumpa dengan Charles Darwin di ruang serangga di museum Inggris. Saat merencanakan sebuah ekspedisi baru, ia mendapatkan dukungan dari royal Geographic Society yang membantu mengurus transportasi gratis ke Singapura lewat kapal uap P & o. Berangkat dari Southampton menuju Singapura pada 4 maret. lihat “Malay Archipelago Timetable” untuk rencana perjalanan delapan tahun berikutnya. Di Sarawak, Borneo, ia menulis makalah teorinya yang pertama, “On the law Which has regulated the Introduction of New Species,” yang menyajikan bukti biogeografis dan stratigrafis untuk landasan genealogis dalam diversifikasi biologis. 1862 1864 1865 1866 Tiba di Folkestone pada 31 maret setelah lebih dari delapan tahun pergi jauh. Wallace menerbitkan dua makalah penting: yang satu tentang evolusi manusia, “The Origin of Human races Deduced From the Theory of ‘Natural Selection’,” dan satu lagi tentang pola variasi populasi alam, “On the Phenomena of Variation and Geographical Distribution as Illustrated by the Papilionidæ of the Malayan Region.” Ia mengikuti pertemuan roh untuk pertama kalinya, menjadi spiritualis, dan setahun kemudian menerbitkan yang pertama dari banyak makalah tentang “Aspek Ilmiah dari Hal-hal Supranatural.” Pada 5 April, Wallace menikahi Annie mitten, putri temannya, William mitten, seorang pakar lumut. Tiga anak lahir: herbert Spencer (1867–1874), Violet Isabel (1869–1945), dan William Greenell (1871–1951). Keluarga ini berpindah-pindah selama tahuntahun berikutnya: pada 1870, ke Barking, Essex; 1872, ke Grays, Essex; 1876, ke Dorking, Surrey; 1878, ke Croydon, Surrey; 1881, ke Godalming, Surrey; 1889, ke Parkstone, Dorset; dan pada 1902, ke Broadstone, Dorset. 1876 1880 1881 1886 1889 1890 mahakarya Wallace terbit: The Geographical Distribution of Animals, dan menjadi landasan dalam ranah biogeografi evolusioner. Island Life menjadi presiden pendiri The land Nationalisation Society. land Nationalisation: Its Necessity and its Aims menyusul pada 1882. Berkat upaya Darwin yang diamdiam meyakinkan pihak-pihak tertentu, Wallace menerima pensiun sipil sebesar £200 per tahun dari pemerintah Inggris. Berkeliling Amerika Serikat dan Kanada untuk memberikan kuliah, kembali pada musim panas 1887. Berjumpa dengan kakaknya, john, yang pergi ke California saat Demam emas 1849, dan tokoh-tokoh terkemuka seperti Presiden Grover Cleveland, john muir, dan oliver Wendell holmes. Karya besar Wallace tentang evolusi, Darwinism, terbit. Terinspirasi oleh tulisantulisan edward Bellamy, Wallace menyatakan diri sebagai sosialis. Bersaksi di hadapan royal Commission on Vaccination, berargumen bahwa bahaya vaksinasi cacar air melebihi manfaatnya. 1910 1913 1915 The World of Life Pada 7 November, Wallace meninggal di rumahnya, old orchard, Broadstone, Dorset. Ia dikebumikan di pemakaman Broadstone. Sebuah monumen berupa batang pohon fosil yang diambil dari lapisan fosil Purbeck, yang diperkirakan berasal dari 150 juta tahun yang lalu, didirikan. Pada 25 April, setelah rekan kerja Wallace berkampanye, sebuah medali untuk menghormati Wallace diluncurkan di Westminster Abbey, dekat makam Darwin. 27 KroNIK hIDUP WAllACe 125.660 spesimen Partisipan & Karya FR E D LANG FOR D E DWAR D S Re-Collecting Alfred Russel Wallace, 2007–15 Proyek fotografi dokumenter yang masih berjalan Dimensi bervariasi Atas izin seniman dan masing-masing The Linnean Society of London; World Museum Liverpool; National Museum Wales, Cardiff; Natural History Museum of London and Tring; Cambridge Univerity Museum of Zoology Kini hanya ada dua spesimen tunggal, dari koleksi berjumlah besar yang dihasilkan Alfred Russel Wallace antara 1854 dan 1862, yang ada di museum di Asia Tenggara—yaitu, burung Flycatcher di Museum Sejarah Alam Singapura dan satu kumbang tanduk panjang, yang baru dua tahun lalu dihadiahkan kepada Museum Sejarah Alam Kuching, Sarawak, oleh Daren Mann, Oxford University Museum of Natural History, Inggris. Spesimen lainnya disimpan dalam koleksi-koleksi museum sejarah alam di Inggris, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat. Namun toh “koleksi Wallace” tetap tak mudah dilacak keberadaannya. Walaupun menarik bagi sejarawan sains untuk mengetahui kolektor siapa sesungguhnya yang mengumpulkan spesimen apa, di museum-museum sejarah alam koleksi ini biasanya diarsipkan berdasarkan urutan taksonominya saja. Bagaimanapun, selama label aslinya masih menempel pada bendanya, adalah mungkin—walau melelahkan—untuk menelusurinya dalam suatu koleksi. 28 Salah satu sorotan pada acara 125.660 Spesimen Sejarah Alam adalah tampilnya foto-foto berformat besar setinggi 45 meter karya Fred Langford Edwards. Bekerja bersama Dr. George Beccaloni dari Museum Sejarah Alam London, fotografer asal Inggris ini telah mencurahkan beberapa tahun karier artistiknya untuk memetakan dan mendokumentasikan spesimen asli Wallace dalam koleksi zoologi Inggris, meliputi koleksi milik Natural History Museum of London and Tring, Cambridge University Museum of Zoology, World Museum Liverpool, juga Linnean Society of London yang menyimpan buku catatan asli Wallace. Secara teliti lagi cermat, Edwards memotret ratusan spesimen Wallace yang telah dikumpulkan di kepulauan Nusantara dengan peralatan format-medium sehingga foto yang diambil dapat diperbesar dimensinya jauh melebihi objek aslinya. Dengan mengeluarkan tiap spesimen, termasuk seekor kumbang dan kulit orangutan yang diperoleh Wallace di Sarawak, dari pengarsipan dan memotretnya sebagai objek yang unik, Edwards menekankan persamaan dan perbedaan mereka, yang menjadi sangat gamblang pada gambar-gambar berukuran poster. Wallace dan naturalis lainnya juga meneliti spesimen secara cermat dengan tujuan untuk mengidentifikasi spesies baru dan varietasnya. Berdasarkan observasi-observasi inilah Wallace, secara terpisah dari Darwin, selanjutnya mengemukakan kaitan yang amat penting antara varietas dan kesesuaiannya terhadap habitatnya. Inilah langkah mendasar menuju konsep mekanisme evolusi seperti yang kita ketahui sekarang—seleksi alam. Karya Fred Langford Edwards merupakan peninjauan yang berlapis-lapis dan berkesinambungan atas wacana-wacana pengetahuan. Praktiknya mencakup riset lapangan dan penggunaan baru koleksi artefak yang terakumulasi atas nama sains, kedokteran, antropologi, dan kebudayaan secara luas. Karyanya belum pernah dipamerkan di Indonesia. Fred Langford Edwards adalah seniman visual yang tinggal di Wales Utara, Inggris. Selama dua puluh tahun ia berpengalaman dalam kerja-kerja interdisipliner dan kolaborasi dengan banyak museum sains, lembaga farmasi, dan institusi pendidikan, menciptakan karya-karya seni kontemporer yang memanfaatkan sumber sejarah budaya dan disiplin-disiplin lain secara luas. Dengan karya-karya ini, Edwards tertarik untuk menjelajahi dan menciptakan referensi pada koleksi-koleksi akademik/khusus, cagar maupun pribadi, yang jarang diperlihatkan kepada publik sebagai arsip-arsip yang tersembunyi dari sejarah sains dan gagasan. Baru-baru ini, ia bekerja di lapangan untuk menyelidiki tanaman obat dan flora terkait di hutan hujan tropis dan hutan kabut Provinsi Napo, Ekuador, serta kontribusi naturalis Inggris Alfred Russel Wallace bagi pemikiran ilmiah kontemporer. A R I B AY U A J I Paradise Almost Lost (#1, #2, #3, #4), 2014 Kertas cetak digital dengan muka (face-mounted) akrilik bersih dan disangga panel komposit alumunium Opus 40 x 50 cm (2); 50 x 40 cm (2) Atas izin seniman Ari menyajikan sebuah karya yang terdiri atas empat foto yang diambil di daerah terpencil bernama Muntig Siokan di dekat Pantai Meetasari, Sanur, Bali. Saat mengunjungi daerah ini, ia menjumpai banyak sekali plastik sampah dengan bermacam jenis, ukuran, dan warna yang mengotori pantai dan juga pepohonan di sekitarnya. Yang sekilas terlihat seperti instalasi seni ini sebenarnya “lanskap plastik” malapetaka yang dihasilkan oleh manusia karena gaya hidup boros mereka: bukti yang tak bisa disangkal atas dampak terhadap daerah pantai saat banyak orang yang tinggal di Bali maupun berkunjung sebagai turis membuang sampah mereka ke sungai, lembah, laut, dan pantai. Tidak ada burung di pepohonan pada hari itu… hanya ada kantung-kantung plastik warna-warni yang membuat Ari teringat akan ilustrasi “Natives Shooting the Great Bird of Paradise” dari buku Wallace, The Malay Archipelago. Tetapi apa yang saya tangkap dengan kamera terlihat seperti situasi setelah penembakan dan perdagangan dari apa yang digambarkan Wallace hampir dua abad lalu. Ari Bayuaji lahir di Indonesia tahun 1975. Pindah untuk menetap di Kanada tahun 2005, ia mengambil kuliah Seni Murni di Concordia University sambil berkarya di studio miliknya di Montreal (Kanada) dan Bali. Karyanya telah dipamerkan dalam pameran bersama maupun tunggal di Denmark, Kanada, Singapura, dan Indonesia. Pada 2008, ia membuat instalasi yang ditampilkan di KBRI Ottawa, Kanada. Instalasi tersebut terbuat dari banyak ornamen arsitektur tradisional dan peralatan rumah tangga tua. Pada 2011, ia menyelenggarakan pameran tunggal besar di La Chapelle Notre-Dame-de-Bon-Secours, sebuah gereja katolik di Montreal. Pada 2014, The Esplanade Singapura menugaskan Bayuaji untuk membuat instalasi di ruang terbuka utama gedung tersebut secara bersamaan dengan acara Tapestry of Sacred Music Festival 2014. S HAN NON CASTLE MAN Tree Wounds, Muna Island, Sulawesi, 2010–11 5 Foto hitam-putih 44 x 34,5 cm setiap Atas izin seniman Serial Tree Wounds dimulai selama kunjungan pertama Shannon ke Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, saat ia pertama kali melihat kerusakan parah pada banyak pohon jati tua di hutan konservasi. Hutan konservasi di Muna adalah perkebunan kayu jati tua yang telah diberi status “Konservasi”—bukan karena keanekaragaman hayati (yang telah hancur karena penanaman kayu pada abad 19 dan abad 20) melainkan karena perkebunan yang terdahulu menjaga tingkat permukaan air di pulau tersebut. Ia diberitahu bahwa, karena penebangan pohon jati di area “Konservasi” adalah tindakan ilegal, warga sekitar yang melewati pohon jati besar dalam jangka waktu beberapa bulan akan mengapak pohon itu sedikit demi sedikit… hingga akhirnya pohon itu tumbang atau mati dan tidak ada yang bisa disalahkan. Beberapa bulan setelah kunjungan pertama, saya kembali ke pulau dengan selembar besar beledu hitam dan mengitari hutan untuk mengambil foto pohon-pohon rusak yang saya temui. Seleksi foto-foto ini adalah bagian dari karya yang lebih besar yang diproduksi untuk Migrant Ecologies Project (migrantecologies.org), sebuah kolaborasi dengan Lucy Davis yang juga tampil dalam pameran ini; filmnya, Jalan Jati, adalah bagian dari serial proyek Shannon yang sama dengan Tree Wounds. 29 Saat ini Shannon Castleman bekerja sebagai asisten profesor tamu di Virginia Commonwealth University di Richmond, Virginia. Ia merupakan anggota Migrant Ecologies Project, payung untuk inisiatif seni dan ekologi di Asia Tenggara. Dari 2006 hinga 2013, ia bekerja sebagai asisten profesor fotografi dan pencitraan digital di School of Art, Design and Media di Nanyang Technological University, Singapura. Tahun 2013, ia menjadi dosen tamu di School of Interdisciplinary Study di San Francisco Art Institute. Sebelum bekerja di Nanyang Technological University, ia mengajar fotografi di Dar Al Hekma College di Jeddah, Arab Saudi. Ia menerima Murphy & Cadogan Fine Arts Fellowship pada 2003 dan penghargaan Gary B. Fritz Imagemaker Award dari Society of Photographic Education pada 2012. Karyanya telah ditampilkan di beberapa pameran di Amerika Serikat, Eropa, dan seluruh Asia seperti, Singapore Art Museum; Asian Civilization Museum di Singapura; Royal Botanical Gardens di Edinburgh, Skotlandia; Yokohama Museum of Art dan Contemporary Art Museum of Kumamoto, keduanya di Jepang. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen MARK DION L U CY DAV I S Jalan Jati (Teak Road), 2012 Film animasi, 23 menit Sutradara/Animasi: Lucy Davis Tata suara: Zai Kuning & Zai Tang Atas izin seniman In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Orang Utan Attacked By Dyak), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Remarkable Beetles), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Female Orang Utan), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Strange Forest Tree), 2015 4 kolase kertas dengan pensil warna, penjepit spesimen, dan ilustrasi dari The Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace; rekonstruksi adeganadegan film animasi Davis, Together Again (Wood: Cut), 2009 21 x 29 cm setiap Atas perkenan seniman 30 Kisah-kisah “Dua Pulau Setelah Ledakan Bisnis Kayu”: Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, dan Singapura tampil dalam tarian antara ingatan genetis, sejarah, magis, dan ekologis pohon dan manusia ini dinarasikan bermacam rupa dengan kepastian yang utopian ala DNA; lewat firasat dukun Pulau Muna dan campur tangan seekor kakatua migran dan benih-benih beringin yang dibawanya. Pokok permasalahan utama/aktor utama film ini adalah kayu dari tempat tidur jati yang ditemukan di sebuah toko barang bekas dan tak terpakai di Singapura. Sebagian besar animasi ini dikompilasikan dari cetakan kayu tempat tidur ini yang dipotong-potong. Serangkaian kolase kertas ini dibuat berdasarkan ilustrasi asli dari buku Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago (1869). Karya kolase ini adalah bagian dari karya lebih besar yang menjelajahi kisah-kisah realis-magis tentang orang-orang dan hutan-hutan di kepulauan Asia Tenggara. Dalam karya-karya, ini Lucy menjelajahi bagaimana “kekuatan” hutan, hewan, tanaman, dan orang-orang dapat terwujud dan berubah di “pedalaman” Wallace yang bermasalah. Lucy Davis adalah seniman, penulis seni, dan Asisten Profesor di School of Art Design and Media (ADM), Nanyang Technological University Singapura. Ia adalah pendiri Migrant Ecologies Project. Beberapa praktiknya membahas alam dalam seni dan budaya visual, material, dan ingatan Asia Tenggara. Riset Migrant Ecologies adalah finalis French Prix COAL Art & Ecology awards (2011) dan dinominasikan untuk APBC Signature Asia Pacific Art Prize Singapore Art Museum (2011). Film pendeknya yang berjudul Jalan Jati diputar di berbagai belahan dunia dan memenangkan Promotion Award di Oberhausen ISFF (2012) dan dua Singapore Short Film Awards (2013). Anthropocene Monument, 2014 Pensil warna di atas kertas 32 x 42 cm Atas izin Galerie Nagel Draxler Berlin/Köln Mark Dion adalah seorang seniman Amerika yang terkenal akan penggunaan presentasi ilmiah dalam instalasinya. Dion tersohor di Eropa dan Amerika Serikat melalui instalasinya yang menggabungkan ketertarikannya akan arkeologi, ekologi, dan zoologi ke dalam karya yang mengeksplorasi representasi alam dalam kebudayaan. Seninya mengungkap struktur yang mengatur dunia alam, mengaburkan batasan antara alam dan budaya; dalam pandangannya, “alam adalah salahsatu arena paling mutakhir untuk menciptakan ideologi”. Karyanya seringkali berbentuk susunan semacam meja berisi objek berdasarkan cabinet of curiosity bersejarah. Instalasi ini mengomentari struktur kekuatan di balik definisi taksonomi. Selama 1990-an, karyanya menggabungkan fokus pada ekologi, seringkali berdasarkan kerja lapangan yang menyeluruh, dan sebuah penyidikan atas ideologi museum, terutama museum sejarah alam. Pada 1994 ia menciptakan instalasi, The Delirium of Alfred Russel Wallace. Dalam 125.660 Specimens Sejarah Alam, terjepit di antara aspal yang tercecer dan lempengan beton, kultur material yang tertangkap dalam Anthropocene Monument karya Mark Dion adalah sebuah onggokan tak beraturan atas objek-objek umum namun mendetail. Himpunan ini terdiri dari batu pasir, basal, granit, dan besi, sedikit meruncing menuju garis tipis yang menjadi dasarnya. Sebagai gambar, karya ini sebenarnya bukan merupakan monumen, melainkan sindiran bahwa monumen untuk Antroposen—sebuah kala geologi baru yang tengah diperdebatkan oleh Komisi Stratigrafi Internasional dan Perkumpulan Ilmu Geologi yang akan mengenali dampak dari aktivitas manusia terhadap catatan geologi bumi—mungkin berlebihan. Sebenarnya, monumen semacam apa yang dapat menggantikan segala macam sampah dan kotoran yang dikenal sebagai kultur material, ketika akumulasi besar ini secara tepat dan eksplisit adalah monumen dari Antroposen? Tentunya, monumen semacam itu hanya akan memperjelas kesia-siaan karena Antroposen itu sendiri menentang skala representasi yang menciptakan kesan monumental. Gambar dua dimensi Dion ini menawarkan sebuah skema abstrak atas kondisi Antroposen saat ini, yang secara definisi menantang agen manusia untuk menempatkan agensi mereka dalam skala waktu geologi dan menentukan aktivitasnya berdasarkan pemahaman atas dampak jangka panjang. Sebuah instalasi media campuran termasuk rangkaian objek yang disesuaikan dari berbagai koleksi sejarah alam, sekelompok instrumen dan alat untuk menghimpun koleksi, serta seekor anjing taksidermi yang menyiapkan buaian (mewakili figure Alfred Russel Wallace ketika demam malarianya mencapai puncak yang begitu hebat sampai-sampai ia “melihat” proses evolusi oleh seleksi alam). Dion telah mengadakan pameran secara internasional, diantaranya di dOCUMENTA 13, Jerman (2012). Karyanya juga telah dipamerkan di MoMA PS1 di New York; Guggenheim Bilbao; Minneapolis Institute of Art in Minnesota; Tate Gallery, London dan Museum of Modern Art, New York. Pada 2014 ia menggelar sebuah pameran solo besar berjudul The Academy of Things di tiga tempat di Dresden, Jerman, the Oktogon of the Academy of Visual Arts Dresden, the Galerie Neue Meister of the Albertinum dan the Grünes Gwölbe yang tersohor. EQUANORTH Kertiyasa: Reproducing Reproductions, 2015 Porselen berglasir putih dan bersepuh emas, fotokopi teks dan gambar Dimensi bervariasi Atas izin seniman Pada 1995, Yayasan Harapan Kita (YHK) meminta sebuah kantor konsultan asal Norwegia bernama GAS AS untuk mengembangkan sebuah rencana cindera mata wisata untuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Rencana ini batal di tengah jalan karena kematian mendadak pendiri YHK dan pencetus TMII, Ibu Tien Soeharto, satu tahun kemudian. Sudah jatuh tertimpa tangga pula: nasib buruk pun menimpa Sang Suami, Jenderal TNI Soeharto, yang tak lama kemudian terpaksa lengser takhta. Sebagai akibat, rencana dan rancangan satu seri cindera mata ini pun masuk peti dan tak pernah siapa pun bicarakan lagi. Tepat dua puluh tahun kemudian, di sebuah pasar loak di Oslo, pasangan seniman Norwegia-Indonesia EQUANORTH menemukan sebagian arsip penelitan milik GAS AS untuk rencana ini. Temuan mereka ini meliputi beberapa lembar sketsa tangan, koleksi teks dan gambar rujukan, serta maketmaket studi berbahan keramik porselen yang menunjukkan pendekatan modernis khas GAS AS. Sejak penemuan ini, EQUANORTH pun terobsesi untuk melengkapi koleksi penelitian TMII milik GAS AS. Mereka bertekad untuk tak berhenti berburu—sampai komplit. Bila TMII adalah sebuah usaha me-mini-kan “Indonesia” (dari wilayah yang luasnya hampir 200.000 hektar untuk muat dalam sebuah kawasan yang “hanya” seluas 145 hektar), maka rencana GAS AS meneruskan logika yang sama dengan memini-kan Taman yang sudah mini ini ke dalam skala barang kenang-kenangan. Lewat Kertiyasa: Reproducing Reproductions, EQUANORTH mencoba memutarbalikkan makna “logika serba mini” ini lewat proses tiru-meniru. Pada pameran kali ini, EQUANORTH tidak saja mempersembahkan koleksi buruan berharga mereka sampai sekarang, mereka juga menyajikan replika dari barang-barang temuan tersebut yang juga terbuat dari porselen—persis menyerupai aslinya. Tunggu apa lagi? Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lewat pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam koleksi cindera mata bersejarah ini dapat Anda miliki! Tidak cukup sampai di situ! Lewat memiliki dan menggunakan koleksi ini semaunya, Anda pun dapat terlibat dalam sebuah proses perubahan TMII: dari sebuah museum identitas bangsa milik penguasa, menjadi perpustakaan kesalahan milik bersama. Memang pada akhirnya, Anda pikir apa dan punya siapakah “Indonesia”? EQUANORTH adalah Sigrid Espelien dari Norwegia dan farid rakun dari Indonesia. Mereka bertemu mata di Cranbrook Academy of Art, Michigan, Amerika Serikat, dan tak lama kemudian memutuskan untuk menjalani hidup bersama. Sampai saat ini, secara terpisah, masing-masing dari mereka malang melintang tak keruan dan berkeliling ke berbagai belahan dunia lewat pameran, diskusi, bangunan, publikasi, tulisan, dan pembuatan fiksi. Pameran ini merupakan pameran pantas pertama yang mereka lakukan bersama. THEO FRIDS H U TA B A R AT Tracing Insulinde, 2015 Proyeksi video di atas lukisan 6:25 menit, 120 x 120 cm Atas izin seniman Re-tracing Insulinde, 2015 Print dan gambar di atas kertas buku tua 24 x 15,5 cm (6); 30 x 24 cm (1) Atas izin seniman Zeemansgid to Oost-Indische Archipel, 2015 Cover, peta, dan indeks dari buku teks Belanda tua 15,5 x 24 cm (cover dan indeks) dan 70 x 24 cm (peta) Atas izin seniman Peta merupakan hasil rekonstruksi akal manusia terhadap realitas yang dijelajahinya. Dengan demikian setiap peta merupakan hasil proyeksi dari tiap pembuat peta; masing-masing menggambarkan dunia sebagaimana yang dia bayangkan. Ketika wilayah Indonesia yang dulu dikenal melalui nama seperti Hindia Timur, Insulinde, atau Hindia Belanda mulai menarik perhatian para penjelajah, tidak aneh jika penggambarannya dalam peta berbeda-beda bentuknya. ‘Bentuk’ menjadi problematis, karena berkaitan langsung dengan praktek penaklukan dan kepemilikan. Karya ini memperlihatkan peta sebagai bentuk yang bertumpuk sebagai akumulasi pengetahuan. Pergeseran dalam penggambaran bentuk peta bisa dilihat sebagai pergeseran pengetahuan itu sendiri. Melalui gestur melukis dan drawing, perubahan ini ditelusuri jejaknya, berbarengan dengan dibentuknya jejak baru. Gestur ini membayangkan pendekatan lain dalam pembacaan (serta penulisan) arsip, seperti peta, dan secara aktif memaknai pengetahuan yang dibentuknya. Pada bagian lain, dihadirkan pula halaman-halaman sebuah buku cetakan tahun 1913 berjudul Zeemansgid voor den Oost-Indischen Archipel. Buku yang judulnya bisa diterjemahkan sebagai Panduan untuk Pelaut ke Kepulauan Hindia Timur ini secara langsung memperlihatkan bagaimana pengetahuan dibentuk dan dilegitimasi dalam sebuah buku panduan: sebuah pemandangan akan Hindia Timur yang terabstraksi menjadi deretan tulisan dan gambar. Melalui karya ini, Theo mengandaikan posisi sebagai ‘pelaut yang mengikuti panduan’, sembari terus menyadari bahwa Hindia Timur, atau Insulinde, atau Indonesia, sesungguhnya merupakan kenyataan yang terlalu ‘licin’ untuk bisa diikuti. 31 Theo Frids Hutabarat menyelesaikan studi di Studio Seni Lukis, FSRD ITB pada 2010 dan Program Magister Seni Rupa pada 2013 di fakultas yang sama. Theo banyak mengerjakan lukisan dan video instalasi dengan tema yang mempersoal wacana dan urgensi seni lukis kontemporer. Theo berpartisipasi pada beberapa pameran, antara lain Jakarta Biennale #14, Jakarta (2011); Pressing, Videoinsight Center, Turin (2013); S Manifesto #4, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2014); Artstage 2015, Singapura (2015). Selain aktif sebagai seniman, Theo juga bekerja sebagai guru seni rupa di sekolah swasta di Bandung. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen 32 Peta dari buku Wallace Kepulauan Nusantara (1869); garis hitam menandai perjalanannya, mulai dari Singapura di tahun 1854, dan menunjukkan Kepulauan Aru sebagai tujuan paling baratnya. 33 PerjAlANAN WAllACe 125.660 spesimen FLORA LICHTMAN & S H A R O N S H AT T U C K G E RALD I N E J UAR E Z Intercolonial Technogalactic, 2015 Instalasi media campuran menggunakan foto yang diapropriasi, kode, label arsip, benang, bingkai kipas angin dan esai Dimensi bervariasi Atas izin seniman 34 Intercolonial Technogalactic adalah arsip abu-abu tentang gelombang baru kolonisasi yang disulut oleh platform dan algoritme dengan misi “mengelola informasi dunia.” Karya ini membahas kehendak akuisisi yang bersifat ekonomis dan ilmiah serta mempertanyakan peran impuls-impuls kolonial ini dalam basis data korporat yang penuh dengan representasi koleksi kelembagaan dari seluruh dunia, termasuk Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Alfred Russel Wallace memproyeksikan impuls kolonialisme ke masa depan, Google Cultural Institute melakukan hal ini ke masa lalu, dan keduanya bergantung pada ide-ide konservasionis untuk menghimpun informasi demi laba—walaupun data dan hewan adalah spesies yang berbeda sehingga mendatangkan spesimen yang berbeda pula. Alammenjadi-budaya-menjadi-data. Pengelolaan informasi tak pernah bebas nilai. Siapa yang menjajah sang penjajah? Geraldine Juárez (México City, 1977) adalah seniman visual yang berkarya melalui pertunjukan, instalasi, dan media digital untuk memahami cara-cara sumber daya ekonomi dan budaya dimediasikan dan didistribusikan dalam jejaring masyarakat kontemporer. Ia sebelumnya merupakan anggota di Eyebeam’s Moving Image Studio dan anggota senior di lab produksi mereka, F.A.T Lab, serta merupakan salah satu penerima penghargaan Maker Muse Award dari Kindle Foundation pada 2010. Karyanya telah dipamerkan secara internasional di galeri-galeri dan museummuseum seperti Science Friction dan Fabrikken (Denmark); Alingsås Konsthall, Liljevachs, dan Bonniers Konsthallen (Swedia); Museum of Contemporary Art of Vovjina (Republik Serbia); Barbican di London, Furtherfield dan Northern Gallery for Contemporary Art (Inggris); Pan Pallazzo Art, Napoli (Italia); Centre for Canadian Architecture, Montreal (Kanada); MU (Belanda); dan festivalfestival seperti transmediale, Berlin (Jerman); Click (Denmark); Transitio (Meksiko); Piksel (Norwegia), dan Run Computer Run (Irlandia). Geraldine tinggal dan bekerja di Gothenburg, Swedia. The Animated Life of A.R. Wallace, 2013 D-Video, 7:50 menit Disutradarai, diproduseri, dan disunting oleh Flora Lichtman dan Sharon Shattuck Video atas izin Sweet Fern Productions Dalam rangka memperingati 100 tahun kematian Alfred Russel Wallace pada 7 November 1913, animasi boneka kertas berdurasi singkat ini merayakan kehidupan menakjubkan dan kontribusi ilmiah yang terus lestari dari sosok Wallace; peneliti sezaman yang sedikit lebih muda ketimbang Charles Darwin. Bersama Darwin, Wallace menemukan teori seleksi alam—proses evolusi di mana organisme yang beradaptasi lebih baik lebih cenderung bertahan hidup dan mewariskan ciri-ciri mereka ketimbang organisme dengan kemampuan adaptasi yang lebih buruk. Animasi ini dinarasikan oleh biologis evolusioner Dr. George Beccaloni dan Prof. Dr. Andrew Berry. Flora Lichtman adalah jurnalis video yang tinggal di New York. Karyanya telah ditampilkan di Science Friday di NPR (National Public Radio), Popular Science, dan New York Times, serta banyak media lainnya. Sharon Shattuck adalah animator dan pembuat film yang juga tinggal di New York. Karyanya telah ditampilkan di PBS (Public Broadcasting Service), Slate, dan Radiolab. Berdua, Flora dan Sharon menjalankan Sweet Fern Productions LLC, sebuah perusahaan multimedia yang membuat proyek-proyek jurnalisme sains, termasuk serial New York Times Op-Docs, Animated Life, yang menggunakan boneka kertas untuk menceritakan penemuanpenemuan ilmiah seperti penemuan Alfred Russel Wallace. CI N DY LI N & L I N TA N G R A D I T T YA Slimy Friction, 2015 4 Papan sirkuit cetak, spesimen Plectostoma wallacei wallacei 3 PCBs 8cm x 8cm; 1 PCB 12cm x 12cm Atas izin seniman; spesimen atas izin LIPI/MZB Penemuan, klasifikasi, dan kepunahan (segera) siput bergenus Plectostoma mengingatkan kita pada jejaring yang rumit dan kusut di mana manusia dan nonmanusia secara terus-menerus terjerat dan terkelindan. Pertama kali dinamai pada 1887 berdasarkan nama Alfred Russel Wallace oleh Ancey pada 1887, Plectostoma wallacei wallacei dan siput-siput kawan mereka memiliki ketergantungan yang hampir mutlak pada habitat batu kapur yang langka di Asia Tenggara—membangkitkan suatu gambaran baik mengenai dominasi ruang maupun kerentanan yang ekstrem. Dalam ayunan antara dominasi dan isolasi, nasib Plectostoma wallacei wallacei nampaknya ditentukan oleh beragam ekskavasi penambangan batu kapur di Asia Tenggara. Etsa siluet Plectostoma wallacei wallacei mempersoalkan ironi keprihatinan kita terhadap hewan nonmanusia yang akan segera lenyap ini. Diproduksi dengan substansi mineral yang diperoleh melalui ekstraksi sumber daya dalam operasi penambangan yang merusak lingkungan, teknologi seperti transistor dan papan sirkuit tertutup merepresentasikan hidup dan mati Plectostoma. 35 Cindy Lin adalah seorang peneliti yang mengabdikan diri pada kajian mengenai ruang ilmiah dan teknologi bersama, teknologi vernakuler, dan pertukaran pengetahuan antargenerasi di Global South. Ia akan menjadi mahasiswi PhD di School of Information, University of Michigan, Ann Arbor, musim gugur 2015 ini. Sebagai mahasiswi malam hari dan penggemar biologi, ia terobsesi dengan Grastropoda dan Rodensia, baik yang hidup maupun mati, juga dengan spesies asing invasif. Lintang Radittya adalah seniman multidisiplin yang lahir di Yogyakarta pada 1981. Karyanya berfokus pada seni interaktif, elektronika, synthesizer, suara sintetis, dan seni pertunjukan. Pada 2011, Lintang menjadi salah seorang pendiri KENALI RANGKAI PAKAI, kenalirangkaipakai.blogspot.com, sebuah proyek yang berfokus pada riset dan pengembangan synthesizer DIY di Indonesia, dan pada 2013 menggagas SYNTHESIA-ID, synthesia-ind.blogspot.com, sebuah proyek yang berupaya mendokumentasikan dan menciptakan pangkalan data (penciptaan dan pengembangan) budaya synthesizer di Indonesia. Pada 2014, Lintang bergabung dengan Sewon FoodLab, sebuah proyek yang berfokus pada seni-bio, pengembangan penanaman, dan media baru. Lintang aktif dalam pembuatan dan pengembangan lokakarya baik tentang seni elektronik maupun synthesizer sekaligus dalam skema musik eksperimental dan noise di Yogyakarta. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen APR I NA M U RWANTI & BHAROTO YETKI Obsessive Collecting, 2015 Instalasi mixed media, plastik, resin, kertas, cat enamel, cat aklirik, bordir di atas beludru Dimensi bervariasi Atas izin seniman 36 Instalasi duo seniman ini melihat spesimen Wallace sebagai artefak tindakan koleksi. Melalui pendekatan populer seperti pemasangan model spesimen yang dipilih, kotak bergambar, produksi bagian-bagian spesimen, instruksi manual, poster spesimen dan contoh pemodelan, praktik ini bertujuan untuk menggugah penonton sehingga dapat ikut menyelami perasaan Wallace sebagai kolektor yang obsesif. Modus obsesif-kolektif serupa Wallace dapat ditemui dalam pemodelan hobby kit. Instalasi ini memiliki tujuan untuk membang kit kan apresiasi pada tindakan Wallace dan memiliki misi untuk mengurangi kesenjangan antara biogeografi, seni dan budaya populer. Pembuatan model hobby kit spesimen Wallace pada instalasi secara simbolis menggarisbawahi mobilitas pengetahuan yang ditransfer melalui tindakan praktek. Aprina dan Bharoto menganggap bahwa adanya inisiatif untuk menyorot keindahan akan tindakan obsesif-kolektif dengan cara pandang kontemporer sangatlah penting untuk merepresentasikan aset intelektual yang dimiliki Wallace melalui spesimen temuannya. Pada praktiknya, pemodelan tidak hanya dilakukan oleh penyendiri, tetapi juga oleh orang-orang yang mendedikasikan waktu mereka dalam seni replikasi, memperhatikan detil, mengumpulkan elemen visual dan yang paling penting, untuk membuat modifikasi maupun versi mereka sendiri. Melalui duplikasi spesimen dalam praktik pemodelan hobby kit, audiens dapat menggali lebih dalam tentang biogeografi dan cerita penemuan Wallace, untuk kemudian menciptakan dan menemukan versi mereka dalam mengapresiasi Wallace. Ide untuk membuat replika model spesimen kit dimaksudkan untuk menyebarluaskan temuan berharga bagi biogeografi melalui cara yang ringan dan populer. Instalasi ini menawarkan perspektif untuk melihat obsesi dan koleksi sebagai tindakan yang cerdas dan strategis. Aprina dan Bharoto bergabung untuk mengintegrasi latar belakang keilmuan dan praktik mereka di berbagai bidang, antara lain: modeling komputer tiga dimensi, desain produk, desain kriya tekstil dan instalasi dalam konteks seni kontemporer. Aprina adalah seniman instalasi berlatar belakang praktik kriya tekstil. Selain melakukan praktik seni, Aprina bekerja sebagai akademisi seni di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan bekerja paruh waktu di beberapa proyek seni pemerintah maupun LSM. Aprina memiliki latar belakang studi bidang seni rupa dengan spesialisasi praktik kreatif instalasi dari University of Wollongong, Australia dan Kriya Tekstil ITB. Aprina memiliki pengalaman pameran solo di Wollongong Australia, dan pameran bersama di Yogyakarta, Wollongong, Malaysia dan Jakarta. Bharoto adalah seniman 3D virtual dan dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong yang terobsesi dengan proses dan teknik modeling. Terkadang, Bharoto bermain dengan keterampilan animasi dan kompetensi desain produk yang dimilikinya untuk mengoptimalkan presentasi model-model 3D yang dihasilkan. Bharoto baru saja menyelesaikan studinya dalam bidang animasi komputer tiga dimensi dari Bournemouth University, Inggris dan memiliki latar belakang pendidikan desain produk dari ITB. Bharoto pernah memenangkan beberapa penghargaan seperti Champion of Black Innovation Awards (2009), Hugocreate Poster Competition round 10,12,13,14 (2009–10), 1001 Mascot Design Central Park (2010), Automotive Styling Design Competition (2010) dan Vice-Chancellor’s Scholarship pada National Centre of Computer Animation, Bournemouth University, Inggris. Karya Bharoto dipublikasikan pada berbagai media nasional dan internasional, antara lain I.D. Magazine, Tuvie, NotCot, Kompas dan lain sebagainya. Aprina dan Bharoto bertemu lima belas tahun yang lalu ketika menempuh studi desain tingkat sarjana di ITB. Karya kolaborasi Aprina dan Bharoto pertama kali ditampilkan di Viva La Gong Festival, Wollongong, Australia tahun 2012. Instalasi ‘Obsessive Collecting’ merupakan debut mereka di Indonesia. Mulai 2015, Aprina dan Bharoto berjanji untuk melatih keterampilan dan memakai keahlian mereka secara interdisipliner untuk menawarkan model dan pendekatan baru dalam praktik seni kontemporer. EDWIN SCHOLES & TIM LAMAN Bulu-bulu cenderawasih telah menghiasi kostum dan riasan para kepala suku-kepala suku pribumi di kawasan timur Nusantara selama ribuan tahun. Di dunia Barat, keberadaan burung itu telah diketahui sejak awak Ferdinand Magellan menjumpainya pada abad 16. Wallace adalah naturalis Barat pertama yang mengamati perilaku cenderawasih di Kepulauan Aru dan Nugini di alam liar. Dalam sepucuk surat yang dikirim lewat pos pada 1857, ia menulis, “Sudah saya saksikan perilaku mereka saat memamerkan bulu-bulu mereka, saya yakin ini informasi baru; indah dan megah sekali.” Pada akhir ekspedisi ini, Wallace kembali ke London dengan sepasang burung hidup untuk sebuah aviari di Kew Gardens. Pada abad 20, pada era televisi, perilaku burung itu dipelajari lebih jauh dan muncullah keinginan untuk menyiarkan keunikannya kepada masyarakat yang jauh tanpa membunuh hewan itu. Perilaku, ukuran, bentuk, warna, dan bulunya “tak habis-habis ragamnya” di antara 39 spesies yang berkerabat dekat ini. Keanekaragamannya yang luar biasa—termasuk penyebab dan akibatnya—maka mencerminkan pentingnya seleksi seksual dalam proses evolusi. Habitat burung ini yang naik-turun dan terpencil, serta tempatnya bertengger untuk memamerkan bulu, sulit dijangkau sehingga memotretnya pun tak mudah. Namun, seorang Inggris yang lain, Sir David Attenborough, seratus tahun setelah perjumpaan Wallace pada 1957, untuk pertama kalinya menangkap dengan kamera tarian pinangan salah seekor cenderawasih untuk seri dokumenter BBC-nya, Zoo Quest. Adalah demi menyusuri jejak para naturalis terdahulu seperti Wallace dan Sir Attenborough ketika ahli biologi Ed Scholes dari Laboratorium Ornitologi Cornell di Amerika Serikat dan fotografer National Geographic Tim Laman menjelajahi Nusantara dari 2004–11. Tujuan mereka adalah menangkap gambar seluruh 39 spesies familia cenderawasih untuk yang pertama kalinya. Supaya berhasil, mereka mengadakan 18 ekspedisi ke 51 area lapangan yang berbeda serta mengambil 39.000 foto. Di samping foto, Ed dan Tim juga merekam banyak footage video dan audio burung itu. 125.660 Spesimen Sejarah Alam menyajikan serangkaian nyanyian burung yang langka ini dari Perpustakaan Macaulay di Laboratorium Ornitologi Cornell. Seleksi rekaman audio dipilih agar sesuai dengan kulit cenderawasih yang dipinjamkan kepada pameran ini oleh LIPI/MZB, dan mencakup teriakan Semioptera wallacei, Paradisaea apoda, and Paradisaea rubra—burung-burung yang ditulis oleh Wallace dalam Kepulauan Nusantara. Turut dipamerkan adalah buku Scholes dan Laman, Birds of Paradise – Revealing the Worlds Most Extraordinary Birds (2012). Dalam pameran, buku ini menyingkap sebuah pohon keluarga evolusioner dari burung cendrawasih dalam pohon keluarga burung. Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) 8 pejantan dewasa memamerkan gaya menarik betina Maluku Utara, Pulau Halmahera, Labi-labi lek (Indonesia) Lintang 1.45465 / Bujur 128.38135 Edwin Scholes, 2008, 12:27 menit Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) 8 pejantan dewasa memamerkan gaya menarik betina Maluku Utara, Pulau Halmahera, Labi-labi lek (Indonesia) Lintang 1.45465 / Bujur 128.38135 Edwin Scholes, 2008, 25:22 menit Cenderawasih Merah (Paradisaea rubra) 2 dewasa betina, 2 dewasa pejantan, 1 pejantan belum dewasa memamerkan gaya menarik betina Pulau Gam, Kepulauan Raja Ampat Lintang -0.44659 / Bujur 130.67616 Tim Laman, 2010, 45:31 menit Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda) 2 pejantan dewasa memanggil-manggil dan menyanyi Hutan Badi Gaki, Pulau Wokam, Kepulauan Aru (Indonesia) Lintang -5.87232 / Bujur 134.4618 Tim Laman, 2010, 1:54:02 menit 37 Semua rekaman atas izin Macaulay Library, Cornell Lab of Ornithology Tim Laman & Edwin Scholes, Birds of Paradise – Revealing the World’s Most Extraordinary Birds. Washington, D.C. / Ithaca, NY: National Geographic Society & The Cornell Lab of Ornithology, 2012. Buku, 227 halaman 31 x 25,7 cm Koleksi pribadi Edwin Scholes adalah seorang ahli ornitologi dan kurator video keanekaragaman hayati di Laboratorium Ornitologi Cornell, Cornell University, Ithaca, New York. Ia telah mempelajari cenderawasih selama lebih dari satu dasawarsa dan merupakan seorang pakar terkemuka mengenai evolusinya dan perilakunya. Tim Laman adalah seorang ahli biologi lapangan dan jurnalis foto kehidupan liar yang berafiliasi dengan Museum Zoologi Komparatif di Harvard University, Cambridge, MA. Ia adalah anggota International League of Conservation Photographers dan telah memotret lebih dari dua puluh artikel untuk majalah National Geographic. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen ARY S E N DY Sharing Anxieties, 2015 Instalasi TV dua channel Video HD dan suara Proyek ini adalah hasil kolaborasi dengan Heru Sukmadana S. I N TA N P R I S A N T I Svarna Nusantara – hinggap, 2015 Kulit kayu, organdi, indigo, secang, manik-manik 108 cm x 74 cm Atas izin seniman Svarna Nusantara – terbang pulang, 2015 Kulit kayu, organdi, indigo, secang, manik-manik 90 cm x 50 cm Atas izin seniman 38 Ilmuwan dan para penjelajah pada masa kolonialisme mencatat dan menggambarkan detail flora dan fauna yang mereka temui di sepanjang perjalanan mereka sebagai bagian dari hasil ekspedisi. Gambar pada catatan para ilmuwan tersebut menjadi inspirasi dalam pembuatan karya ini. Berbagai macam bunga yang hadir sebagai representasi dari berbagai wilayah di Indonesia mengajak kita untuk lebih mencermati keragaman fauna yang berada di dekatnya– kupu–kupu dalam karya ini. Visual dari beberapa pulau besar di Indonesia dihadirkan dalam motif acak yang dipadukan dengan kupu-kupu dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam proses pembuatan karya ini, Intan bereksperimen dengan kain kulit kayu dengan pewarna alam indigo dan secang serta proses cetak digital dan foiling pada kain organdi. Intan Prisanti mengenyam studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung jurusan Kriya Tekstil. Dalam tugas akhirnya, Intan melakukan eksplorasi kulit kayu saeh menggunakan pewarna alam indigo dan secang yang terinspirasi oleh tren pakaian pada tahun 60an. Ia juga memiliki ketertarikan pada bidang mode dan edukasi anak. Intan memiliki pengalaman bekerja di studio seorang desainer profesional dan juga sebagai desainer junior pada sebuah label lokal di Indonesia. Saat ini Intan bekerja sebagai fashion & beauty reporter sekaligus penata gaya di majalah gaya hidup Wanita. Di waktu luang, ia mencari inspirasi lewat petualangan kuliner, musik, dan traveling. Proyek ini melibatkan 5–10 ibu rumah tangga yang menghadiri audisi untuk peran di sebuah iklan televisi. Iklan ini bertujuan untuk memberikan beragam informasi tentang industri minyak kelapa sawit yang tidak diketahui oleh orang awam. Ibu rumah tangga memiliki peran krusial dalam menentukan pola konsumsi sebuah keluarga. Sayangnya, sering kali mereka tidak memahami hubungan antara konsumsi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pilihan konsumsi itu sendiri. Melalui narasi yang berbeda-beda, video ini menggunakan metode dan proses kreatif sebagaimana umumnya dipakai agen periklanan. Dengan kata lain, audisi ini menggunakan format yang sama persis dengan proses audisi dari produksi iklan sebenarnya, dan setiap ibu rumah tangga diminta untuk memeragakan naskah sebagaimana telah ditulis oleh copywriter. Sebagai penduduk, kita kurang kritis terhadap problematika yang kita hadapi bersama. Kita kurang aktif dalam mencari solusi alternatif karena tidak sedikit penduduk yang bahkan tidak menyadari keberadaan masalah tersebut. Sikap acuh terutama terlihat diantara warga kota yang hidup jauh dari perkebunan kelapa sawit. Selama penelitian untuk proyek ini, Ary menyadari bahwa akumulasi informasi yang ia himpun tidak akan dimiliki oleh orang lain jika mereka tidak berusaha mencari tahu. Ia ingin berbagi pengalaman (dan kekhawatirannya)–semakin banyak orang yang peduli akan isu-isu dalam industri kelapa sawit, semakin banyak dialog akan tercipta. Ary Sendy Trisdiyarto tinggal dan lahir di Jakarta, Ia belajar di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi, dengan fokus pada bidang studi Fotografi. Sebagai seorang seniman, ia bekerja dengan media foto dan video dan tertarik pada isu-isu seperti globalisasi, konsumsi, perencanaan kota, dan tantangan pembangunan di negara-negara berkembang melalui berbagai observasi terkait latar belakang sosial, sejarah, geografi, dan politik. Ia juga telah berpartisipasi dalam berbagai pameran seni rupa—di antaranya “REGENERASI”—ARTE Indonesia Art Festival di Jakarta International Convention Center, Jakarta (2014), “CITY_NET ASIA” di Seoul Museum of Art, Seoul (2011), “Post Psychedelia” di Selasar Sunaryo, Bandung (2010). “SLIMMER” merupakan pameran tunggal yang diproduksi oleh Ary Sendy pada 2008 dan telah dipresentasikan di RURU Gallery, ruangrupa, Jakarta. ANDREAS SIAGIAN Loreng: Kisah dari Jejak Citra Harimau Indonesia, 2015 Instalasi mixed media dan gambar arksip 240 x 60 cm Atas izin seniman Loreng adalah sebuah instalasi yang menuturkan kisah-kisah dari kompilasi arsip citra, teks dan obyek yang berkaitan dengan Harimau Indonesia. Karya ini berdasarkan sebuah proyek penelitian berbasis online oleh Andreas Siagian untuk topik Squarefocus: Tales of The Unforgotten di squaresolid.tumblr. com, sebuah blog khusus mengenai binatang yang dikerjakan oleh dirinya sejak awal tahun 2012. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan Harimau Bali (Panthera tigris balica), dua dari tiga sub-spesies Harimau di Indonesia dinyatakan punah pada pertengahan abad 20. Sedangkan satu-satunya sub-spesies yang tersisa yaitu Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) saat ini terancam punah, dengan jumlah spesies sekitar 400 ekor di alam liar. Teknologi pencitraan dan kondisi jaman penjajahan Belanda menyebabkan hanya sedikit dokumentasi visual mengenai Harimau Indonesia sebelum tahun 1950 dan dokumentasi tersebut terpencar di berbagai perpustakaan negara seperti Belanda dan Jerman. Karya Loreng menampilkan sejarah kebudayaan melalui jejak – jejak yang terdapat dari dokumentasi citra Harimau Indonesia. Loreng akan mengajak kita kembali mengamati fakta yang terungkap dari dokumentasi mengenai Harimau Indonesia dan sejarah yang terkait dari fakta tersebut. Instalasi ini dikumpulkan dari: Animals vs. Animals (Forum Yuku.com); Indonesia Visual Art Archive (IVAA), Yogyakarta, Indonesia; Leiden University Library, Belanda; Lifepatch – Citizen Initiative in Art, Science, and Technology; Squaresolid | Squarefocus: Tales of The Unforgotten; Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda; Wikimedia Dengan ucapan terima kasih kepada Koleksi Museum Zoologicum Bogoriense (LIPI/MZB). Andreas Siagian adalah seorang seniman lintas disiplin yang praktiknya berkembang mulai dari pemrograman kreatif dalam citra dan bunyi, elektronik berbasis swakriya hingga instrumen bunyi. Sejak tahun 2004, dia bekerja dengan inisiatif berbasis komunitas dan menciptakan beragam instalasi, lokakarya serta festival di Indonesia. Andreas juga terlibat sebagai salah satu pendiri beberapa inisiatif seperti lifepatch—inisiatif warga dalam seni, sains, dan teknologi. Andreas merupakan co-director HackteriaLab 2014, Yogyakarta. Z E N Z I SU HAD I / WALH I Pembalakan rawa gambut untuk kebun kelapa sawit di Provinsi Kalimantan, 2014 Atas izin Zenzi Suhadi dan WALHI Program Publik 29 Agustus 13–15.00 WIB Diskusi Keanekaragaman Hayati & Konservasi Bersama WALHI Galeri Salihara Kolaborasi antara biologis Zenzi Suhadi dan Kantor Nasional WALHI bertujuan untuk tujuan kolaborasi ini adalah penciptaan desain peta komprehensif yang memvisualisasikan kanebangan hutan di Nusantara, serta mempublikasikan data terkait dampak sosial dan biologis kasus-kasus tersebut. Dengan membantu untuk mensintesis dan mendesain koleksi informasi lengkap WALHI terkait status kontemporer ekosistem hutan Indonesia, pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam memberikan kontribusi yang penting dan berkelanjutan dalam menanamkan urgensi akan komunitas lokal yang berhubungan erat secara budaya dan sosial dengan ekologi hutan, serta mengindikasikan strategi untuk respon bermakna lewat seni, sains, dan teknologi serta partisipasi grassroot. Pameran ini menampilkan dua foto dari drone yang mendokumentasikan pembersihan lahan gambut di Kalimantan yang terpotret oleh WALHI pada Juli 2014. Pada 29 Agustus, Zenzi akan hadir di galeri untuk berdiskusi tentang keanekaragaman hayati dan konservasi sebagai bagian dari program publik mingguan. 39 Zenzi Suhadi adalah biologis dan aktivis lingkungan serta penggiat hutan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia / WALHI. Ia telah memicu beragam investigasi sebagai bagian dari organisasi, dan saat ini tengah membuat sebuah platform untuk membuat sistem laporan, pembagian informasi, dan jangkauan publik kampanye WALHI lebih baik lagi. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen 2. 1. 40 4. 5. 6. 3. 7. 1. Mount Santubong, Sarawak, Borneo. Foto oleh Etienne Turpin dan AnnaSophie Springer, 2014. 2. Burung spesimen Wallace. Foto oleh Etienne Turpin dan Anna-Sophie Springer, 2013; atas izin Natural History Museum London. 3. Tengkorak Babirusa. Foto oleh Etienne Turpin dan Anna-Sophie Springer, 2015; atas izin Oxford University Museum of Natural History. 4. Kumbang spesimen Wallace. Foto oleh Etienne Turpin, 2015; atas izin Oxford University Museum of Natural History. 5. Spesimen Panthera pardus No. 6044 di Museum Buitenzorg. Foto oleh Etienne Turpin, 2014; atas izin LIPI/MZB. 6. Wallace Notebook, 1855–59. Foto oleh Etienne Turpin, 2015; atas izin The Linnean Society of London. 7. Meja di koleksi herpetofauna, LIPI/MZB. Model untuk arsitektur pameran 125.660 Spesimen di Komunitas Salihara. Foto oleh Anna-Sophie Springer, 2015. 41 FoTo rISeT KUrATorIAl 125.660 spesimen 42 100 Days of Natural History Kampanye Penggalangan Dana Independen Dimulai sejak tanggal 8 Mei 2015 dan berlanjut selama 100 hari sampai pameran dibuka tanggal 15 Agustus 2015, kampanye online “100 Days of Natural History” setiap hari merilis satu karya fotografi yang dikumpulkan selama proses riset persiapan pameran dua tahun ke belakang. Setiap foto dijual sebagai sebuah edisi single untuk menggalang dana produksi bagi seniman yang saat ini tengah menyiapkan karya baru mereka untuk 125.660 Spesimen Sejarah Alam. Setiap cetakan berkualitas tinggi tersedia dengan donasi 100 Dolar AS melalui situs 125660specimens.org. Setiap pengiriman karya akan dilengkapi katalog pameran yang ditandatangani seluruh seniman. 43 125660SPeCImeNS.orG 125.660 spesimen MAHARDIKA YUDHA The Face of the Black River, 2013 Video HD satu channel, 9:30 menit Edisi tunggal Atas izin Singapore Art Museum TINTIN WULIA Still/Life, 2015 Instalasi (pertunjukan) dengan sebuah tabung kimia, labu Erlenmeyer, larva nyamuk, ikan cupang, kamera pengawas, komputer, dan monitor Dimensi bervariasi Atas izin seniman 44 Still/Life mungkin merupakan ekstraksi dari sebuah lengkungan kecil dalam siklus mangsa dan pemangsa yang membuat bumi berputar. Seekor ikan cupang cantik ditaruh di dalam sebuah tabung kimia selama pameran dan secara teratur diberi makan larva nyamuk. Akan tetapi, makanan hidup ini disediakan dalam jumlah banyak, sehingga larva yang bertahan hidup dapat kabur lewat pipa distilasi. Ujung pipa diarahkan ke sebuah labu Erlenmeyer untuk memberikan kesempatan bagi nyamuk yang telah dewasa dan memiliki sayap untuk kabur jika mereka cukup kuat. Sebuah kamera terus mengawasi proses makan dan kabur, namun seluruh instalasi ini—termasuk ruang dan waktu yang ditempati observer—memaknai konteks ruang dan waktu yang lebih besar. Seiring sebuah rekaman time-lapse diputar di monitor yang juga memotret dalam bingkai, sebuah video tanpa akhir bergema dan mengingatkan kita akan siklus lebih besar dalam kehidupan. Tintin Wulia tinggal di Brisbane, Australia, dan bekerja secara internasional. Karyanya menginvestigasi batas-batas geopolitik yang memisahkan dunia di tengah globalisasi, dengan melalukan riset multidisiplin dalam bidang seni dan geopolitik. Melalui metode interaktif dan partisipasi, ia melibatkan masyarakat dalam model hubungan sosiopolitik untuk memicu dialog- dialog kritis. Karyanya seringkali -process-based. Tintin telah berpartisipasi dalam berbagai biennale dan triennale termasuk Sharjah Biennale (2013), Jogja Biennale (2013), Asia Pacific Triennale (2012), Gwangju Biennale (2012), Jakarta Biennale (2009), Yokohama Triennale (2005), and Istanbul Biennale (2005). Karyanya telah dipamerkan secara ekstensif di berbagai grup pameran seperti Hiroshima Museum of Contemporary Art, ZKM Center for Art and Media, Haus der Kulturen der Welt, Witte de With, Vita kuben at Norlandsoperan, Centraal Museum, Museum of Contemporary Photography in Chicago, Espace culturel Louis Vuitton, Institute of Contemporary Arts in London, Institute of Contemporary Arts Singapore, Foundation for Art and Creative Technology, 4A Centre for Contemporary Asian Art, dan Galeri Nasional Indonesia, serta festival-festival terkemuka seperti International Film Festival Rotterdam, Clermont-Ferrand International Short Film Festival, Pusan International Film Festival and New York Underground Film Festival. Menangkap refleksi di permukaan Kali Angke, salah satu dari 13 sungai di Jakarta, video Mahardika Yudha merupakan sebuah komentar cerdik atas tekanan ekologi dan lingkungan urban. Namanya, yang memiliki arti “sungai merah”, merupakan saksi bisu atas pembunuhan massal kaum Cina oleh penjajah Belanda pada tahun 1740, yang meninggalkan sungai berwarna merah oleh darah. Hari ini, sungai tersebut telah berubah menjadi hitam pekat akibat kontaminasi limbah domestik dan pabrik; keadannya semakin memburuk setelah sistem kanal pemerintah lokal gagal. Akan tetapi, air yang stagnan, mati, dan beracun tersebut masih dipakai oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Refleksi dinamis dari sungai hitam dalam karya ini merupakan sebuah abstraksi puitis dari realita, masa lalu dan masa kini: sebuah pengingat akan sejarah kelamnya, dan sebuah komentar atas isu lingkungan dan ketidakcakapan legislatif saat ini. Mahardika (“Diki”) Yudha adalah koordinator riset pengembangan di Forum Lenteng Jakarta, sebuah forum seniman new media kolektif, dan merupakan anggota Divisi Pengembangan Seni Video di ruangrupa, sebuah inisiatif seniman berbasis di Jakarta. Terakhir, Diki ditunjuk sebagai penata artistik untuk OK Video Festival 2013, festival seni video terkemuka Indonesia yang telah diakui di dunia internasional. Diki telah terlibat dalam berbagai proyek riset dan pameran internasional, termasuk Sao Paolo International Short Film Festival, Brazil (2004); the Bilbao International Documentary Film Festival, Spain (2004); Gang Festival Australia (2006); International Festival for Experimental Film, India (2006); Seoul International New Media Festival dan Center for Art and Media ZKM, Jerman. Tahun lalu, karyanya juga dipamerkan di 8th SeMA Biennial MediaCity Seoul 2014, Seoul Museum of Art (SEMA) dan Sights and Sounds: Global Film and Video, The Jewish Museum, New York. ROBERT ZHAO RENHUI & THE INSTITUTE OF CR ITICAL ZOOLOG I STS A Guide to the Flora and Fauna of the World, 2013 55 Pelat dengan dokumen dan buklet dalam kotak arsip yang diukir dengan tangan 34cm x 24cm x 3cm Koleksi pribadi (pameran ini mencakup seleksi atas 8 pelat) Fotografer Robert Zhao Renhui mempelajari dan menyusun katalog tentang evolusi alam— sebagai hasil dari eksperimen, transformasi, dan dampak antropogenik. Bersama dengan A Guide to the Flora and Fauna of the World (2013) karya The Institute of Critical Zoologists, Zhao Renhui mengumpulkan 55 spesies hewan dan tanaman yang lebih sering terlihat seperti produk khayalan liar ketimbang kenyataan. Penemuan ini tidak mengejutkan karena semua spesies yang didokumentasikan adalah organisme dan spesies yang dimodifikasi secara buatan, yang beradaptasi dengan perubahan habitat mereka sebagai akibat interferensi manusia. Kendati semua contoh ini kenyataannya memang ada, objek-objek pasca-alam yang menarik ini, termasuk telur manusia, kecoa yang dikendalikan dari jarak jauh, dan ikas emas bertato, memicu rasa ketidakpastian mengenai hubungan antara fakta dan rekayasa. Mungkin kita dapat bertanya: Apa yang sesungguhnya kita ketahui tentang alam? Seberapa tepat waktu atau seberapa tertinggalkah pandangan kita tentang teori evolusi? Koleksi Institut ini mengguncang perspektif kita yang biasa mengenai spesies nonmanusia, lebih-lebih karena koleksi tersebut menyajikan serangkaian “quasi-naturalia” dalam tradisi klasifikasi ilmiah yang objektif. Dalam konteks pameran, A Guide to the Flora and Fauna of the World ini maka bertolak belakang dengan koleksi spesimen Wallace yang bersejarah. Walaupun aktivitas manusia akhir-akhir ini mengancam keanekaragaman hayati hutan-hutan hujan tropis, perusahaan-perusahaan seperti Panasonic telah mulai mengembangbiakkan herba berteknologi tinggi di bawah pencahayaan LED yang hemat energi. Pameran ini mempersembahkan seleksi sembilan spesies yang langsung berhubungan dengan kepulauan Asia Tenggara. 45 Robert Zhao Renhui adalah seniman dari Singapura yang bekerja terutama dengan fotografi tetapi kerap mengadopsi pendekatan multidisiplin dengan menyajikan foto-foto bersama dokumen dan objek lain. Pamerannya baru-baru ini meliputi Busan Biennale (2014); Daegu Photo Biennale (2014); Moscow International Biennale of Young Art (2014); PhotoIreland (2014); Singapore Biennale (2013); President’s Young Talents (2013); The Institute of Critical Zoologists, Chapter Arts Centre, Inggris (2012). Karyanya telah mendapatkan Deutsche Bank Award in Photography, University of the Arts, London (2011) dan beberapa penghargaan lain. Ia juga telah tampil dalam sorotan utama di ArtAsiaPacific, Artforum International, ArtInfo, Fotografia, dan Punctum. The Institute of Critical Zoologists (Singapura) bertujuan untuk mengembangkan pendekatan kritis terhadap pandangan zoologis, atau bagaimana manusia memandang hewan. Masyarakat urban tinggal secara relatif terisolasi dari hewan; namun, tuntutan dan pandangan kita terhadap hewan telah berkembang besar sepanjang satu abad terakhir. Tak dapat disangkal bahwa memandang hewan dianggap hal yang menyenangkan dan diinginkan dalam masyarakat. Meski demikian, hubungan antara hewan dan manusia telah mencapai keadaan yang mengerikan di mana hewan dieksploitasi baik secara visual maupun sebagai komoditas. Belum lagi ancaman budaya, ekologis, dan lingkungan dari kebun binatang, pameran museum sejarah alam, dan memorabilia hewan, di mana antropomorfisme memainkan peranan kunci. PArTISIPAN & KArYA 125.660 spesimen 46 Bengkel kerja wayang kulit; foto atas izin koleksi pelat kaca negatif LIPI Lokakarya Intensif Bayangan Spesimen DENGAN LALEH TORABI 9–11 September 2015, 16.00–18.00 WIB tiga hari Galeri Komunitas Salihara Untuk maks. 10 anak 7–12 tahun Gratis dengan RSVP ke [email protected] selama kapasitas masih tersedia Pertunjukan wayang kulit adalah tradisi Indonesia yang berumur ratusan tahun. Melalui desain dan sosok simbolisnya, jenis seni ini merepresentasikan dunia fisik maupun spiritual, membangun hubungan antara yang hidup dengan leluhur. Bayangan yang dihadirkan oleh wayang kulit merepresentasikan dunia-dunia tersebut dan pertunjukannya membawa dunia bayangan menjadi hidup. Lewat perwujudannya sebagai sosok-sosok bayangan, jiwa-jiwa leluhur menubuh dan hadir di sebuah kerajaan yang secara historis nyata sekaligus merupakan mitos. Dalam “Lokakarya Bayangan Spesimen” untuk anak sekolah dan remaja sebagai rangkaian acara pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam, kami mengembalikan spesimen zoologis Alfred Russel Wallace ke dunia asli mereka, menghidupkan mereka kembali dalam segala keanekaragaman mereka. Katak terbang dan burung cenderawasih, segala jenis kupu-kupu dan kumbang, reptilia dan mamalia; semuanya akan berkembang biak dan menjumpai kita di tempat ini. Sembari membayangkan vegetasi yang kaya dalam hutan-hutan dan pulau-pulau di mana dulunya spesimen-spesimen ini hidup, ruang yang kita bagi bersama pun akan tumbuh. Dengan interaksi yang sarat permainan dan keaktifan, pengunjung muda pameran di Galeri Salihara ini akan mendapatkan akses ke konten pameran dan konteks sejarah. Anak-anak dan remaja diajak dan didampingi oleh seniman dan ahli boneka teater asal Berlin, Laleh Torabi, untuk membuat boneka bayangan sendiri. Hewan dan tumbuhan dari koleksi Wallace akan menjadi inspirasi kita. Karakter hewan akan muncul keluar dari bayangan sejarah, membawa banyak spesies kembali hidup. Teori Wallace mengenai evolusi akan memandu peserta untuk mengembangkan proses kreatif sendiri hingga tentunya spesies-spesies baru akan lahir pula. Pada akhir lokakarya, kita akan berkesempatan untuk bersama-sama membuat pertunjukan dengan boneka bayangan yang telah kita buat, yang akan ditampilkan di bawah bermacam jenis pencahayaan. Menggunakan kardus, kertas, kawat, bambu, dan bahan-bahan temuan, peserta lokakarya akan membuat boneka bayangan hewan mereka sendiri dan menjelajahi sifat-sifat beragam spesies. Objek, gambar, dan spesimen hewan dari cerita Wallace menawarkan landasan riset yang inspiratif bagi para naturalis muda. Selain itu, karya-karya oleh para seniman Indonesia dan internasional yang merespons koleksi Wallace akan memberikan perspektif baru bagi anak-anak. Dalam lokakarya kami akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana paruh burung dan kulit luar kumbang berevolusi? Bagaimana habitat kupu-kupu dapat memengaruhi besarnya ukuran kupu-kupu tersebut, bagaimana sayap mereka yang indah dapat terbentuk, dan bagaimana cantiknya mereka terbang? Pola, gambar, dan struktur internal apa dari boneka bayangan klasik yang mengikuti bentuk-bentuk yang dapat dijumpai di alam? Dan bentuk dan dekorasi baru seperti apa yang bisa diciptakan dan belum pernah terlihat sebelumnya? 47 Dalam karyanya, seniman grafis Laleh Torabi memadukan unsur tradisional Asia dengan pengaruh Eropa kontemporer sambil menemukan bahasanya sendiri. Sebagai seniman boneka bayangan, ia terpesona oleh budaya dan seni Indonesia serta menafsirkan bahasa formal dan teknik pertunjukan wayang kulit dengan cara yang unik dan luar biasa. Boneka-bonekanya telah menarik perhatian beberapa ahli boneka bayangan yang lantas menjadikan boneka-boneka itu sebagai koleksi mereka. Dalam lima tahun ini, Laleh Torabi semakin terlibat dengan pengajaran dan pendidikan seni. Ia juga mempelajari teknik pertunjukan bayangan Eropa dari para master boneka bayangan Jerman dan Turki. loKAKArYA INTeNSIF 125.660 spesimen P E R J UA N G A N AKAN K E K AYA A N DA N HA S I L N YA YA N G M E N Y E D I H K A N . . . T E L A H D I S E RTA I D E N G A N K E HA N C U R A N T E R S I M PA N KO N YO L DI ALAM, PRODUKPRODUK YA N G YA N G LEBIH BAHKAN M E N Y E D I H K A N L A G I K A R E NA S E M UA I T U TA K DA PAT D I P U L I H K A N . T I DA K HA N YA H U TA N B E RU M U R R AT U S A N TA H U N DENGAN 48 YA N G HILANG, B E N C A NA , YA N G T E TA P I SERINGKALI S E LU RU H DIIKUTI KANDUNGAN M I N E R A L YA N G A DA D I P E R M U K A A N B U M I , HA S I L DA R I P E RU B A HA N L A M B AT E O NA N TA H U N YA N G TELAH H I L A N G DA N P E RU BA HA N G E O L O G I S , T E L A H DA N M A S I H T E RU S D I HA B I S K A N HINGGA TA R A F YA N G B E LU M P E R NA H D I C A PA I S E B E LU M N YA , DA N M U N G K I N DA L A M J U M L A H YA N G TA K DA PAT D I S A M A I DA R I S E LU RU H Z A M A N YA N G M E N DA H U LU I S E JA R A H M A N U S IA . — Alfred Russel Wallace, “The plunder of the earth,” 1898 Menyingkap Iklim Panjang di Indonesia: Proyek Pengeboran Towuti satrio Wicaksono (sW) dalam percakapan dengan Anna-sophie springer (As) dan etienne Turpin (eT) Lanskap Indonesia bagian tengah yang kaya dan beranekaragam memberi inspirasi bagi Alfred Russel Wallace untuk mencetuskan teori-teori seleksi alam dan biogeografi, tetapi sejarah lingkungan dan iklim jangka panjang kawasan ini belum banyak diketahui. Dari Mei hingga Juli 2015, Proyek Pengeboran Towuti (PPT)—proyek pengeboran danau pertama di Asia Tenggara—mengadakan ekspedisi ilmiah internasional untuk mengebor ke dalam sedimen di dasar Danau Towuti di Sulawesi Selatan. Inti bor yang didapatkan akan digunakan untuk merekonstruksi evolusi iklim dan lingkungan Indonesia tengah selama 650.000 tahun yang lalu melalui analisis biogeokimia dan fisika. Secara bersamaan, penelitian ini menyoroti proses alam yang membantu membentuk lanskap yang disaksikan Wallace selama ekspedisinya sendiri antara 1854 hingga 1862. Kami bertemu Satrio Wicaksono, Koordinator Proyek Pengeboran Towuti dan mahasiswa Brown University, Amerika Serikat, untuk pertama kalinya dalam Konferensi Timur Laut Mengenai Indonesia yang ke-12 di Cornell University pada musim gugur 2014. Setelah korespondensi surat elektronik yang berlangsung mengenai proyek unik itu, dan gagalnya sebuah kunjungan ke Danau Towuti pada Juni 2015, kami berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Satrio tentang riset tersebut. As: Dapatkah Anda jelaskan tentang asal-usul Proyek Pengeboran Towuti? Apa yang mengawali riset Anda di kawasan Sulawesi? Mengapa area ini penting? Dan apa tujuan keseluruhan proyek ini? s W : Kepulauan Indonesia dan lautan yang mengelilinginya adalah sumber utama panas dan uap air global sehingga memainkan peranan penting dalam sistem iklim global. Pemahaman yang lebih baik, tentang mekanisme presipitasi dan konveksi di sekitar kepulauan ini seiring waktu, tidak hanya akan memberikan kita pengertian yang lebih baik tentang bagaimana presipitasi Indonesia di masa depan tetapi juga memberikan kita wawasan yang lebih mendalam tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan sistem iklim global. Sayangnya, data iklim yang tersedia di Indonesia terbatas. Berdasarkan penelitian kami sebelumnya, Danau Towuti, yang berlokasi di jantung kepulauan Indonesia, mengandung ratusan meter sedimen yang dapat digunakan untuk merekonstruksikan perubahan lingkungan dan iklim selama ~800.000 tahun terakhir. Inilah satusatunya dokumentasi semacam itu yang ada di kawasan ini. Proyek Pengeboran Towuti adalah proyek pengeboran ilmiah yang pertama di Asia Tenggara, dan berdasarkan perspektif paleoklimatik, lokasinya sempurna. Pembimbing PhD saya di Brown, Dr. James Russell, pertama kali membayangkan PPT sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat ia tengah mulai bekerja di kawasan Indonesia. Sebagai pakar mengenai iklim tropis masa lalu maupun ekosistem danau, ia tertarik dengan rekonstruksi dan penguraian informasi 49 INTerVIU 125.660 spesimen lingkungan dan iklim yang terkandung dalam lapisanlapisan lumpur yang terkubur di bawah danau-danau tropis. Bersama dengan Profesor Satria Bijaksana dari Institut Teknologi Bandung, James memulai penelitian pendahuluan di Danau Towuti dan danau-danau sekitarnya pada 2007. Setelah sesi-sesi kerja lapangan dan analisis data awal, keduanya, bersama dengan para kolaborator mereka, mulai menulis proposal untuk proyek pengeboran pada 2012. e T: Anda menyebutkan sebelumnya bahwa Anda telah melakukan penelitian di kawasan ini sebelum proyek ini—dapatkah Anda jelaskan lebih jauh tentang persiapan Anda? 50 s W : Kami melaksanakan ekspedisi seismik pada 2007, 2010, dan 2013, juga ekspedisi pengintian (coring) pada 2010. Analisis seismik dibutuhkan untuk memindai sedimen di bawah danau. Data refleksi seismik diperoleh melalui sistem peluru udara (air-gun), yang mirip dengan ultrasuara yang kerap dipakai untuk perempuan hamil. Sistem ini memungkinkan kami mendeteksi ketebalan lumpur yang telah berakumulasi di atas dasar danau selama hampir satu juta tahun. Menggunakan data ini, kami mampu mengidentifikasi situs yang potensial untuk pengintian/pengeboran. Ekspedisi pengintian pada 2010 menghasilkan beberapa piston inti dari Danau Towuti. Masingmasingnya berukuran kira-kira 12 meter dan dasarnya bertitimangsa kira-kira 60.000 tahun yang lalu. Kami telah melakukan beragam analisis kimia, biologi, dan fisika pada inti-inti ini dan hasilnya menyatakan bahwa perubahan-perubahan iklim serta lingkungan besar di kawasan ini terjadi pada periode tersebut. Hasilnya mengonfirmasikan pendapat kami bahwa Danau Towuti adalah situs penting sebagai tempat untuk mempelajari perubahan iklim dan lingkungan di Indonesia. Sekarang, dengan inti-inti yang baru kami dapatkan dari PPT, kami berharap dapat menyingkap dan memahami perubahanperubahan besar yang mungkin telah terjadi lebih jauh sebelumnya. e T: Pada masanya, yang diperlukan Alfred Russell Wallace adalah selembar surat dari Belanda untuk mengumpulkan spesimennya di Nusantara; lebih dari 150 tahun kemudian, persyaratan legal Anda jauh lebih banyak. Persiapan untuk proyek pengeboran seperti ini juga sangat rumit. Dapatkah Anda memberi gambaran tentang logistik yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian seperti ini? s W : Karena PPT adalah upaya internasional, sampai dengan dua puluh lima peneliti terlibat dalam operasi pengeboran yang sesungguhnya. Kami harus melengkapi banyak dokumen untuk beragam lembaga pemerintahan dan di berbagai tingkat pemerintahan. Pertama-tama, untuk memasuki Indonesia semua peneliti asing harus memohon visa penelitian. Untuk mendapatkan visa itu, proyek ini pertama-tama harus mendapatkan stempel persetujuan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dokumen aplikasi visa itu terdiri atas proposal penelitian, CV, surat keterangan sehat, foto, dan beraneka surat pendukung; semuanya diserahkan secara online. Pada awal Maret, kami telah menerima persetujuan dari Kementerian, yang secara teori memberikan kami cukup waktu untuk menerima visa sebelum jadwal keberangkatan kami pada awal Mei. Sayangnya, sistem kuota untuk penerbitan visa di kantor pusat imigrasi, berikut masalah dalam sistem elektronik mereka, membuat beberapa anggota kami berisiko menunda keberangkatan. Diperlukan kunjungan bolak-balik ke kantor-kantor pemerintahan Indonesia, juga panggilan telepon untuk beberapa kedutaan dan konsulat Indonesia di luar negeri, demi menghindari penundaan berkepanjangan. Setelah beberapa panggilan telepon tengah malam, para anggota proyek kami berhasil mengamankan visa mereka dan tiba di Indonesia sesuai jadwal. Tapi, bagi banyak di antara mereka, ini artinya menerima paspor dan visa hanya sehari sebelum keberangkatan. Begitu para anggota proyek dari luar negeri telah tiba, mereka harus melapor ke kantor Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Jakarta Pusat. Setelah kunjungan itu, ada berkas lebih banyak lagi yang harus dilengkapi dan diserahkan di berbagai kantor, seperti Mabes Polri, Kementerian Dalam Negeri, kantor imigrasi provinsi, badan konservasi sumber daya alam provinsi, sekaligus kantor-kantor urusan dalam negeri di tingkat kota. Kunjungan pribadi oleh para peneliti asing tidak diperlukan di beberapa kantor ini, jadi para anggota Indonesia dan agen-agen kami di Jakarta dan Makassar mengunjungi kantor-kantor ini untuk memproses berkas atas nama seluruh kelompok. Kami juga mendatangkan peti kemas dan peralatan pengeboran besar serta penelitian dari AS dan Jerman. Peti kemas-peti kemas dan rig pengeborannya cukup besar, dan hanya ada sedikit kendaraan serta derek yang bisa dipakai untuk mengangkut barang- barang itu ke dok kami begitu tiba di Sulawesi. Kami harus berkoordinasi dengan bermacam-macam kontraktor transportasi dan pengapalan untuk membantu pergerakan peralatan tersebut. Karena ada kesulitan teknis di tengah-tengah proyek, proyek harus diperpanjang selama dua minggu dan kami mendatangkan suku cadang untuk pompa hidrolik kami dari AS. Barang-barang ini tidak mudah ditemukan tapi akhirnya tiba dengan selamat di Sulawesi meskipun perjalanannya pun bukannya tanpa sandungan. Akhirnya, keberangkatan kami yang tertunda dari Sulawesi menimbulkan masalah lebih lanjut karena kami harus menjadwalkan ulang pembongkaran peralatan kami dan memesan ulang tiket pulang. Keduanya bukan hal yang mudah dilakukan karena keberangkatan kami yang terakhir berdekatan dengan Idul Fitri, hari libur besar di Indonesia. dapat membantu mereka memahami tingkat evolusi biologis sekaligus kepekaan serta ketahanan ekosistem hutan hujan dan akuatik Towuti terhadap perubahanperubahan lingkungan dan iklim. Terakhir, beberapa ahli biogeokimia juga terlibat dalam proyek ini. Danau Towuti adalah salah satu danau terbesar yang kaya akan bijih besi di dunia. Lapisan bebatuan ofiolit yang mengitari danau memasok logam yang menggerakkan proses-proses biogeokimiawi yang penting. Inti bor memungkinkan kami untuk meluaskan pemahaman tentang proses-proses ini, juga untuk mempelajari secara dekat dampak perubahan iklim terhadap kimia lingkungan. Dengan melakukannya, kami harap kami dapat memperbaiki pengetahuan kita tentang cara yang berkesinambungan untuk mempertahankan ekosistem Towuti terkait perubahan-perubahan dalam iklim dan penggunaan lahan oleh manusia akhir-akhir ini. As: Anda bukan satu-satunya ilmuwan yang saat ini bekerja di situs pengeboran Towuti. Dapatkan Anda bercerita tentang tim Anda? Bidang ilmu apa yang menjadi keahlian kolega-kolega Anda dan apa yang mereka cari? Lebih khusus lagi, apa yang paling Anda harapkan untuk dapat ditemukan? As: Dengan skala proyek ini dan terpencilnya area tempat Anda bekerja, pasti ada banyak perhatian. Apakah ada perhatian dari penduduk di daerah sana terhadap proyek ini? Apa yang dipikirkan masyarakat tentang proyek ini? s W : Ada sekitar tiga puluh ilmuwan yang bekerja di Towuti, baik di situs pengeboran maupun di laboratorium di wilayah pantai selama proyek pengeboran ini. Para ilmuwan, dipimpin oleh Dr. James Russell dan Prof. Satria Bijaksana, berasal dari lima negara dan memiliki latar ilmu yang berbedabeda. Sebagian dari kami, seperti saya sendiri, tertarik dengan persoalan-persoalan iklim. Bagaimana sejarah curah hujan berevolusi sejak danau itu terbentuk? Apa yang menjadi penyebab variasi pola curah hujan? Bagaimana respons lingkungan terhadap perubahan dalam iklim seiring waktu? Kami menggunakan beragam data proksi yang disarikan dari inti sedimen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Beberapa ilmuwan yang terlibat dalam PPT tertarik dengan proses-proses geologis yang membentuk danau. Mereka ingin menentukan usia danau, begitu juga perubahan bentuk fisiknya seiring waktu. Misalnya, kami melihat sekuen tanah, sedimen sungai, gambut, dan sedimen danau di beberapa situs pengeboran yang memungkinkan kami melakukan deduksi mengenai perubahan geologis danau sekaligus bagaimana tingkat air mungkin bervariasi seiring waktu. Kami juga menemukan beberapa lapisan abu vulkanis yang tebal, yang mungkin berasal dari ledakan-ledakan vulkanis di utara Sulawesi. Jika bisa dikaitkan dengan lapisan abu vulkanis yang sudah diidentifikasi sebelumnya dari kawasan ini, lapisanlapisan ini bisa digunakan sebagai penanda cakrawala waktu. Danau Towuti juga merupakan rumah bagi banyak spesies endemis dan dikelilingi salah satu hutan hujan tropis yang paling beragam di muka bumi. Para pakar biologi di antara kami khususnya tertarik untuk menemukan mikrofosil dari sedimen. Hal ini akan s W : Kami mendapatkan banyak perhatian tidak hanya dari media lokal dan nasional, tetapi juga dari mereka yang tinggal di sekitar danau. Warga lokal khususnya terkejut melihat derek-derek besar dan peralatan berat diangkut melewati desa mereka menuju dok proyek, di mana peralatan itu dirakit menjadi tongkang pengeboran. Warga kebingungan dan mengira bahwa peralatan itu adalah milik PT Vale Indonesia, sebuah perusahaan penambangan nikel yang beroperasi tak jauh dari sana, yang kerap terlibat dalam perselisihan dengan warga lokal. Sialnya bagi kami, kata-kata “pengeboran” dan “proyek” mengandung konotasi negatif. Dalam beberapa hari setelah proyek dimulai, rumor palsu tentang tujuan kami segera beredar luas. Beberapa orang yang kami jumpai mengira kami sedang melakukan eksplorasi minyak dan gas. Yang lain sangat prihatin tentang kemungkinan dampak lingkungan proyek ini; banyak yang bertanya kepada kami apakah bencana lumpur seperti Lapindo1 dapat terjadi karena proyek ini. Puncaknya adalah demonstrasi yang dilaksanakan sekitar 100 warga lokal dan LSM-LSM dua minggu setelah proyek berjalan. Kami mendengarkan mereka, menjawab pertanyaan mereka, dan bekerja keras untuk menjelaskan apa sesungguhnya PPT ini. Kami cukup terkejut dengan gerakan-gerakan yang menentang proyek ilmiah ini karena Dr. Russell dan Prof. Bijaksana sudah mengadakan pertemuan dengan camat dan para pemimpin setempat dua bulan sebelum pengeboran dimulai. Selain itu, bupati juga sudah mengetahui proyek ini sejak 2012 saat masih dalam tahap perencanaan, tetapi informasi itu rupanya tidak bergulir ke bawah menuju warga sekitar danau. Tahun 2015 memang tahun yang sibuk dalam politik; pemilihan bupati dan kepala daerah sudah 51 INTerVIU 125.660 spesimen membayang-bayangi sehingga ada dimensi rumit yang lain dalam proyek ini. Kami telah berencana menjangkau mereka selama kami tinggal di Sulawesi, tetapi miskomunikasi dengan warga lokal memaksa kami untuk total dan bekerja lebih keras dalam melakukan kegiatan itu. Kami mengadakan banyak pertemuan dengan bermacammacam pemangku kepentingan: para pemimpin lokal, pejabat pemerintahan, anggota dewan perwakilan setempat, begitu juga perwakilan LSM. Kami juga mengunjungi banyak sekolah dasar dan sekolah menengah. Selain itu, kami memfasilitasi kunjungan ke tongkang oleh para pejabat pemerintahan maupun warga setempat, termasuk anak-anak sekolah, agar mereka memiliki pemahaman lebih baik tentang pekerjaan kami. Pada akhirnya, kami gembira sekali mengetahui bahwa kebanyakan warga setempat memandang positif proyek kami; banyak di antara mereka yang menyatakan dukungan secara terbuka. e T: Sehubungan dengan pengeborannya itu sendiri, berapa panjang inti individual yang Anda ekstraksi dari dasar danau? Dalam kondisi apa Anda mengekstraksinya (basah/kering? Keras/lunak? Dll.)? Dan apa yang akan Anda lakukan dengan materi ini berikutnya untuk mempelajari percontoh yang dikumpulkan? 52 s W : Kami ingin mengebor sedimen lurus ke bawah hingga dekat dengan permukaan dasar danau. Kedalaman air Danau Towuti kurang-lebih 200 meter dan sedimen yang ada di bawah air serta melapisi bagian atas dasar danau memiliki kedalaman sekitar 180 meter. Untuk melakukan pengeboran, kami harus menghubungkan beberapa batang bor atau pipa bor sepanjang lima meter. Saat peralatan pengintian atau pengeboran yang sesungguhnya diturunkan ke bawah melalui bagian dalam pipa ini, di dalamnya diturunkan juga pelapis inti dari plastik sepanjang tiga meter. Inti sedimen yang dibor diambil di dalam pelapis itu dan ditahan agar tidak jatuh dengan penangkap inti saat diangkat naik. Begitu pelapis keluar di atas tongkang, para ilmuwan di tongkang memotongnya menjadi kepingankepingan yang lebih kecil (panjang maksimal: 1,5 meter), memasangkan penutup di kedua ujung pelapis, kemudian melabelinya. Inspeksi visual memperlihatkan bahwa sedimen basah hasil pengeboran di dalam pelapis inti tersebut terdiri atas fasies-fasies yang berbeda (yaitu tubuh batu dengan ciri-ciri khusus yang merepresentasikan lingkungan pengendapan jenis tertentu), persis seperti yang telah kami perkirakan. Kami pun mampu melihat materi-materi yang didominasi tanah liat, materi yang didominasi pasir, lapisan yang didominasi kerikil, lapisan gambut, begitu juga tefra (lapisan abu vulkanis). Inti sedimen yang dilabeli kemudian dibawa ke pantai saat pergantian sif, yang berlangsung dua kali sehari. Inti-inti itu lalu dicatat kerentanan magnetisnya dan ciri-ciri fisik lainnya menggunakan mesin pencatat (logger) yang kami bawa dari Brown University, kemudian untuk sementara disimpan di laboratorium lapangan. Kami juga menyaring sedimen yang tersisa dalam penangkap inti dan menganalisis sampel-sampel kecil ini di bawah mikroskop. Inti-inti sedimen saat ini sedang dalam perjalanan menuju penyimpanan inti lakustrin nasional AS di Minnesota, di mana para ilmuwan yang terlibat dalam proyek ini akan membelahnya menjadi dua nantinya selama periode pembelahan-inti dan pengambilan percontoh tahun ini. Pekerjaan pembelahan ini akan difoto dan berbagai ciri fisiknya dicatat menggunakan peralatan yang lebih canggih dan akhirnya akan dipakai lagi sebagai sampel analisis selanjutnya oleh para ilmuwan yang berbeda di laboratorium mereka masing-masing. Sementara itu, inti yang diarsipkan tak akan disentuh dan disimpan di tempat penyimpanan di Minnesota. e T: Dalam surat-menyurat kita dan pertemuan sebelum ini, Anda menyebutkan bahwa sampel inti yang Anda kumpulkan dari Danau Towuti akan menyediakan hingga 650.000 tahun sejarah iklim. Dapatkah Anda jelaskan lebih khusus bagaimana pengetahuan iklim ini diekstrasi dari sampel? Ilmu pengetahuan apa yang terlibat dalam proses paleoklimatologi seperti itu? s W : Paleoklimatologi adalah kajian tentang perubahan dalam iklim yang diambil pada skala sepanjang sejarah bumi. Baru beberapa abad belakangan manusia mulai mengumpulkan data curah hujan secara sistematis dengan alat pengukur curah hujan dan data suhu dari termometer. Untuk mendapatkan data iklim dari zaman yang jauh di masa lalu, kita dapat menggunakan beraneka metode proksi yang dipinjam dari ilmu-ilmu pengetahuan lain tentang kehidupan dan bumi, yang dapat memberitahu kita jumlah curah hujan atau suhu di suatu daerah selama suatu periode tertentu di masa lalu. Ciri kimiawi, biologis, dan fisika sedimen Danau Towuti menawarkan petunjuk bagi kita mengenai sejarah iklim kuno, serta dapat membantu kita memahami keseluruhan pola perubahan iklim dan membantu kita memperkirakan bagaimana iklim bisa berubah di masa depan. Misalnya, mineralogi tanah liat dapat memberitahu kita jenis-jenis material yang mudah terkikis dan masuk ke dalam danau, khususnya saat jumlah curah hujan sedang tinggi. Selama periode-periode saat tingkat titanium di Danau Towuti lebih tinggi ketimbang biasanya, misalnya, kita dapat menyimpulkan bahwa periode itu adalah periode yang relatif basah. Menggunakan serbuk sari yang diekstrasi dari sedimen lalu diobservasi dan dihitung di bawah mikroskop, kita dapat mempelajari jenis-jenis tanaman yang hidup di daerah aliran sungai. Berdasarkan analisis isotop karbon lapisan lilin daun dan serbuk sari pada inti sedimen 12 meter dari ekspedisi 2010, kami tahu bahwa ekosistem yang dominan di wilayah sekitar danau antara 33.000 hingga 16.000 tahun yang lalu selama zaman es yang terakhir adalah sabana. Ini mengindikasikan bahwa iklimnya jauh lebih kering saat itu. Kami berharap bisa memperoleh informasi iklim dan lingkungan lebih jauh pada waktunya nanti menggunakan inti bor yang lebih panjang dari PPT. Salah satu tujuan kami adalah menguji apakah iklim di daerah ini juga kering selama zaman-zaman es yang sebelumnya, dan jika demikian, mengapa. s W : Dalam makalah mereka baru-baru ini tentang Antroposen, ilmuwan-ilmuwan Inggris Simon Lewis dan Mark Maslin menekankan hubungan antara waktu dan keadaan Bumi. Bagaimana rasanya berpikir dalam kerangka waktu yang sedemikian besar, hampir 700.000 tahun ke masa lalu? Apakah Anda pernah membayangkan situs penelitian Anda dalam keadaan prasejarahnya? Akan terlihat seperti apa tempat itu? s W : Dalam skema besar skala waktu geologis, 700.000 tahun masa lalu sesungguhnya agak singkat. Ilmuwan percaya bahwa bumi terbentuk sekitar 4,6 miliar juta tahun yang lalu. Ilmuwan bumi seperti saya biasa menyentuh dan mengamati sampel sedimen dan bebatuan yang usianya jutaan tahun. Bagi kami, benda-benda itu bukan sekadar peninggalan masa lalu melainkan juga mengandung informasi ilmiah penting tentang masa kini dan masa depan sehingga memang sangat berharga. Sebagai contoh, kajian kami memungkinkan kami memahami variasi alami lingkungan dan iklim sebelum manusia mulai berkembangbiak di daerah tersebut. Danau ini hari ini telah mengalami perubahanperubahan penting dalam hal ukuran dan geokimia, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan iklim dan geologis. Berdasarkan data awal kami dari lapangan, kami tahu sekarang bagaimana tingkat variasi danau. Pengeboran di beberapa situs kami menghasilkan bagian-bagian non-danau, seperti unit-unit gambut dan sungai. Seperti yang telah disebutkan, lanskap di sekitar Towuti tidaklah selalu berupa hutan hujan tropis yang lebat. Selama periode yang lebih kering dan musiman, kita mungkin akan melihat ekosistem sabana. Anda bisa membayangkan hamparan luas padang rumput dengan sedikit pohon di sana-sini, mirip dengan Nusa Tenggara hari ini, selama periode kering. Bersamaan dengan itu, permukaan danau pasti lebih rendah dan danau itu lebih kecil. Gambaran yang amat berbeda memang. e T: Apakah Anda berharap tim ini dapat menemukan bukti dalam sampel-sampel ini yang akan menyumbang dalam perdebatan Antroposen? Menurut Skala Waktu Geologi, Kala Holosen bermula pada 11.650 SM, persis sama dengan skala waktu yang Anda teliti. Apakah ada kemungkinan Anda dapat menemukan perubahan ekologis yang disebabkan manusia dalam sampel Anda? Atau, mungkin bahkan calon demarkasi Global Stratotype Section & Point (GSSA) untuk Antroposen? s W : Karena tingkat sedimentasi alami yang lambat di danau itu (rata-rata 0.02 cm/tahun), agak sulit untuk menemukan bukti perubahan ekologis antropogenik dalam sampel kami. Bukti arkeologis dan bukti berdasarkan serbuk sari menyatakan bahwa ada sedikit gangguan dari manusia hingga akhir abad lalu, saat manusia mulai secara aktif mengubah lanskap sekitar danau. Saya percaya bahwa tingkat penebangan hutan di sekeliling Danau Towuti telah meningkat secara signifikan selama dasawarsa terakhir. Tidak hanya penebangan hutan untuk mengambil kayu yang semakin intensif, pembukaan lahan untuk pertanian lada juga semakin meluas. Mungkin dalam beberapa dasawarsa lagi bukti akan aktivitas-aktivitas ini akan menjadi jelas dalam sedimen. As: Anda juga menyebutkan hubungan antara Danau Towuti dan Garis Wallace saat Anda memberitahu kami bahwa Anda sedang meneliti “refugia iklim” di area tersebut. Dapatkah Anda jelaskan tentang refugia ini sehubungan dengan penelitian Wallace mengenai evolusi, spesiasi, dan biogeografi? Akan menarik pula untuk mempelajari lebih jauh tentang istilah “refugium iklim” itu sendiri. s W : Dalam sebuah makalah yang saya terbitkan baru-baru ini 2, saya menyimpulkan bahwa elevasi memainkan peranan penting dalam menentukan manifestasi ekologis perubahan iklim di Indonesia. Berdasarkan dua rangkaian data proksi lingkungan dan iklim dari Danau Towuti serta sebuah danau lain yang berlokasi di elevasi yang lebih tinggi (Danau Matano), ada perbedaan besar dalam hal curah hujan dan ekosistem tanaman yang mengitari dua danau itu di masa lalu. Selama zaman es yang terakhir, saat iklim di Indonesia tengah pada umumnya lebih kering dan lebih musiman, daerah-daerah dengan elevasi tinggi seperti Daerah Aliran Sungai Danau Matano lebih basah dan memiliki persentase takson hutan hujan tropis yang lebih tinggi ketimbang daerah-daerah dengan elevasi rendah. Karena daerah-daerah dengan elevasi tinggi itu menjadi rumah bagi hutan hujan tropis di tengah ekspansi padang rumput yang didorong oleh iklim yang mengering, kita bisa menyebutnya “refugia iklim”. Ketika iklim menjadi semakin menguntungkan (misalnya, lebih basah), hutan hujan tropis bisa mengembang, menduduki daerah-daerah dengan elevasi lebih rendah dan menelan padang rumput. Karena banyaknya dataran tinggi di Sulawesi, juga di pulau-pulau Indonesia yang lain, mungkin ada beberapa “refugia iklim” selama periode kering. Data kami menunjuk pada beberapa siklus kering dan basah di masa lalu ini menyiratkan bahwa serangkaian siklus ekspansi dan kontraksi hutan hujan tropis dapat terjadi di sekitar refugia. Ekspansi hutan hujan tropis dari dataran-dataran tinggi terdekat dapat memainkan peranan penting dalam evolusi tanaman. Puncak-puncak refugia yang berbeda bisa saja mengandung spesies tanaman yang berbeda karena mengalami sejarah biologi dan iklim yang berbeda. Maka, saat ekspansi terjadi selama periode-periode yang lebih basah, dan spesies-spesies yang berbeda namun masih berkerabat berbaur, spesies tanaman baru bisa saja dihasilkan. Kami lantas mengajukan 53 INTerVIU 125.660 spesimen hipotesis bahwa kehadiran refugia iklim di Sulawesi memainkan peranan penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati yang tinggi di kawasan itu. As: Kami membayangkan bahwa selama 700.000 tahun telah banyak perubahan signifikan yang terjadi di Sulawesi dan danau kuno yang Anda pelajari. Namun, kami bertanya-tanya apakah perubahanperubahan yang lebih mutakhir pada hutan hujan tropis Indonesia, keanekaragaman hayati, dan penggunaan lahan telah berlangsung lebih ekstrem walaupun dalam jangka waktu singkat. Mengubah arah pemikiran kita untuk sejenak saja, akan seperti apakah masa depan jika praktik penggunaan lahan di Indonesia saat ini terus berlangsung? Dalam 100.000 tahun yang akan datang, apa yang akan ditemukan jika Proyek Pengeboran Towuti dilaksanakan lagi di situs yang sama? 54 s W : Jika Anda melihat lanskap di sekitar Towuti saat ini, Anda akan menyaksikan petak-petak lahan yang gundul karena pembukaan lahan. Tidaklah sulit untuk menunjuk apa biang keladinya. Hampir setiap hari, dan ini memuncak pada akhir pekan, Anda bisa melihat asap yang berasal dari bukit-bukit yang mengelilingi danau. Para petani terus membuka lahan untuk membudidayakan lada yang akhir-akhir ini merupakan panen yang menguntungkan, jadi mereka menyulut api dan pada dasarnya menghancurkan semua pohon pada area-area tanah tertentu. Ada pula penebang pohon liar yang menebang pepohonan di sekitar danau. Para penebang pohon ini sedikit lebih ramah lingkungan daripada petani lada, mereka secara selektif memilih pohon-pohon besar. Dua aktivitas ini tentunya mengkhawatirkan menimbang adanya potensi dampak yang terlampau besar terhadap ekosistem danau. Hal itu juga menyedihkan karena Danau Towuti sebetulnya area konservasi di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan dan Perhutanan. Jika kita akan mengebor sedimen danau di situs yang sama 100.000 tahun lagi, kita akan bisa menemukan inti yang memiliki tingkat sedimentasi jauh lebih tinggi selama Kala Antroposen ketimbang Holosen karena adanya peningkatan erosi. Ada kemungkinan pula bahwa pada saat itu Danau Towuti akan jauh lebih dangkal ketimbang hari ini. Pupuk kimia yang digunakan dalam perkebunan lada bisa meningkatkan jumlah nitrat dan fostrat yang pada gilirannya meningkatkan biomassa fitoplankton dan alga. Sebagai akibatnya, inti sedimen yang diekstraksi di masa depan mungkin akan memiliki persentase materi organik yang jauh lebih besar daripada yang kita temukan pada 2015. Akhirnya, kita juga akan melihat banyak sampah yang dibuang manusia di dekat atau sekitar danau. Kantung plastik, botol, dan materi tak terurai lainnya dapat ditemukan dengan mudah dalam inti sedimen di masa depan. Catatan 1. Lumpur Lapindo (juga dikenal sebagai Lusi) adalah letusan lumpur vulkanis yang terus-menerus di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur vulkanis terluas di dunia ini telah menenggelamkan lusinan desa, memaksa 30.000 warga untuk mengungsi, dan membuat rute jalan-jalan tol besar ditutup serta dialihkan sejak awal erupsinya pada Mei 2006. Kontroversi mengenai peristiwa ini terus berlangsung. Beberapa pihak beranggapan bahwa bencana letusan dipicu oleh manusia, tepatnya ledakan sumur gas alam dalam pengeboran oleh PT Lapindo Brantas di area tersebut. 2. Wicaksono, S. A.; Russell, J. M.; Bijaksana, S. 2015. “Compound-specific stable isotope records of vegetation and hydrologic change in central Sulawesi since 53,000 yr BP.” Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 430:4756, DOI:10.1016/j. palaeo.2015.04.016. Satrio A. Wicaksono adalah koordinator proyek untuk Proyek Pengeboran Towuti, proyek pengeboran kontinental internasional pertama di Asia Tenggara. Sejak Mei hingga Juli 2015, proyek ini berupaya memperoleh salah satu seksi sedimentasi darat yang terpanjang di Indonesia, yang akan dipakai untuk merekonstruksi sejarah lingkungan dan iklim kawasan setempat sejak 650.000 tahun yang lalu. Satrio saat ini tengah menuntaskan studi doktornya tentang variabilitas ekologi darat dan presipitasi lintas skala waktu sejarah dan geologis di Brown University di Rhode Island, AS. Berasal dari Jakarta, Satrio selalu menaruh minat pada isu-isu lingkungan (terutama perubahan iklim) sejak masih duduk di bangku SMA. Ia menempuh pendidikan tinggi di Wesleyan University di Connecticut, AS, di mana ia mendapat gelar Bachelor of Arts dalam Geologi (dengan penghargaan) dan Kajian Lingkungan, dan sertifikat dalam Hubungan Internasional. Saat tidak sibuk di dalam laboratorium, turun ke lapangan, atau bekerja untuk Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Satrio dapat dijumpai kala bermain gamelan dan berlatih tari Jawa. Lokakarya Awal Riset Interdisiplin di Pusat Penelitian Biologi LIPI/MZB 55 Pada Mei 2015, 8 seniman Indonesia dan partisipan dalam pameran 125.660 Spesimen mendapat kesempatan untuk bertemu dengan ahli zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI/MZB Cibinong, Bogor, untuk lokakarya awal dan diskusi. Tujuan dari lokakarya ini adalah memberikan kesempatan bagi para seniman kontemporer Indonesia yang bekerja dalam berbagai media untuk mengembangkan proyek mereka dalam pameran ini melalui dialog langsung dengan lingkungan riset ilmiah di LIPI/MZB. Hasilnya mungkin tidak dapat dilihat secara langsung, namun para kurator berkomitmen untuk mendorong lahirnya penemuan baru, kolaborasi, dan riset seni. Kelompok ini merupakan kelompok seniman pertama yang mendapatkan akses dan panduan profesional ke dalam koleksi ilmiah LIPI/MZB. Hasilnya adalah karya dalam pameran. Foto-foto oleh Etienne Turpin. FoTo rISeT 125.660 spesimen SCHERING STIFTUNG 56 Berdiri pada tahun 2002 di Berlin, yayasan independen dan nirlaba ernst schering Foundation memiliki tujuan untuk mempromosikan seni dan ilmu pengetahuan. Di samping seni visual kontemporer dan seni pertunjukan seperti tarian dan musik, Schering juga fokus pada ilmu pengetahuan alam. Selain itu, yayasan ini juga mempromosikan pendidikan ilmu pengetahuan dan budaya untuk anak-anak dan remaja serta dialog antara ilmu pengetahuan dan masyarakat. Penekanan khusus ernst Schering Foundation adalah pada proyek-proyek di ranah perbatasan, khususnya wajah persinggungan antara seni dan ilmu pengetahuan. Yayasan ini mengelola diskusi dan simposium serta mendukung proyek-proyek interdisipliner. Wajah persinggungan seni dan ilmu pengetahuan juga menjadi fokus bangsal proyeknya yang berbasis di Berlin Unter den linden, di mana pertunjukan oleh seniman eksperimental muda diselenggarakan, juga kuliah umum dan lokakarya. Bangsal itu pun menjadi platform yang menyediakan ruang bagi dialog interdisipliner antara ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan masyarakat. Etienne Turpin Anna-Sophie Springer Anna-Sophie Springer adalah kurator independen, penulis, editor, dan co-editor (bersama Charles Stankievech) untuk K. Verlag, sebuah proyek publikasi inSdependen berbasis di Berlin yang mengeksplorasi peran buku sebagai situs pembuatan pameran. Praktik-praktiknya menggabungkan ketertarikan kuratorial, editorial, dan artistik dengan menstimulasi hubungan cair antara gambar, artefak, dan tulisan untuk menciptakan kedekatan geografis, fisik, dan koginitif yang baru, seirngkali dalam kaitannya dengan arsip bersejarah. Sebelumnya ia telah bekerja sebagai Associate Editor untuk publikasi 8th Berlin Biennale for Contemporary Art dan Editor untuk penerbit pionir Merve Verlag, Berlin, sebelum meluncurkan K. pada tahun 2011. Anna-Sophie juga merupakan anggota Haus der Kulturen’s (HKW) SYNAPSE International Curators’ Network dimana bersama Etienne Turpin ia menjadi editor seri buku intercalations: paginated exhibition yang diterbitkan bersama K. dalam kerangka kerja Anthropocene Project HKW. Sebagai kurator, pameran-pameran sebelumnya (seringkali kolaborasi) adalah Ha Ha Road (UK, 2011–12), tentang kekuatan subversif humor; The Subjective Object (GRASSI Ethnographic Museum Leipzig, 2012) tentang praktik-praktik display arsip; serta serial EX LIBRIS (Galerie Wien Lukatsch, Berlin dan lokasi lain, 2013) yang mengeksplorasi berbagai perpustakaan sebagai ruang kuratorial. Anna-Sophie menerima gelar M.A. dalam bidang Teori Seni Kontemporer dari Goldsmith College, University of London, dan gelar M.A. dalam Studi Kuratorial dari Hochschule für Grafik und Buchkunst, Leipzig. Pada tahun 2014, ia menjalani residensi melalui program Craig-Kade Visiting Scholar in Residence di Rutgers University, New Jersey. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian doktornya di Centre for Research Architecture, Goldsmiths College, London. Etienne Turpin adalah filsuf yang meneliti, mendesain, menjadi kurator, dan menulis tentang sistem urban kompleks, unsur politik-ekonomi data dan infrastruktur, estetika dan budaya visual, dan sejarah kolonial-ilmiah Asia Tenggara. Di University of Wollongong, Australia, ia merupakan Vice-Chancellor’s Postdoctoral Research Fellow di SMART Infrastructure Facility, Faculty of Engineering and Information Science, dan Associate Research Fellow di Australian Center for Cultural Environmental Research, Department of Geography and Sustainable Communities. Di Jakarta, Indonesia, ia merupakan direktur anexact office dan salah satu investigator utama PetaJakarta.org. bersama Dr. Tomas Holderness. Ia juga merupakan anggota SYNAPSE International Curators’ Network of the Haus der Kulturen der Welt in Berlin, Germany, dimana bersama Anna-Sophie Springer ia menjadi editor seri buku intercalations: paginated exhibition sebagai bagian dari Das Anthropozän Projekt. Ia telah mengajar budaya visual, desain, dan teori desain di College of Environmental Design, University of California Berkeley; Taubman College of Architecture and Urban Planning, University of Michigan; dan Daniels Faculty of Architecture, Landscape and Design, University of Toronto. 57 KUrATor 125.660 spesimen 125,660 Specimens of Natural History adalah sebuah proyek kuratorial yang masih terus berjalan oleh Anna-Sophie Springer dan etienne Turpin. Iterasi jakarta, 125.660 Spesimen Sejarah Alam, diwujudkan melalui kemitraan dengan pusat seni Komunitas Salihara dan museum Zoologicum Bogoriense/lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (MZB/LIPI), bekerjasama dengan Schering Stiftung serta didukung oleh Goethe-Institut dan OCA – The Office for Contemporary Art Norway, dan The British Council. Penelitian di Anna-Sophie Springer untuk proyek ini berhasil atas dukungan Goethe-Institut research Travel Grant untuk para kurator. Tim pAmeRAn KOmUniTAs sALiHARA Kurator Anna-Sophie Springer Dr. etienne Turpin Tim salihara Dian Ina mahendra, manajer Galeri Komunitas Salihara Asikin hasan, Kurator Seni Kontemporer Komunitas Salihara Nirwan Dewanto, Direktur Program Komunitas Salihara partner Riset ilmiah Pusat Penelitian Biologi, lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (lIPI/mZB), Cibinong 58 Tim Kurator ilmiah Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah, M.Phil., Head of Zoology Section, Museum Zoologicum Bogoriense Dr. Awit Suwito, Kepala Sub-seksi manajemen Koleksi Dr. Amir Hamidy, Kurator Herpetofauna Ir. maharadatunkamsi, m.Sc., Kurator mammalia Dr. Djunijati Peggie, m.Sc., Kurator Serangga mohammad Irham, m.Sc., Kurator Burung Tim produksi pameran Sonja Dahl, Koordinator Proyek Alex Berceanu, Art Director Alifa Rachmadia Putri, Asisten Kurator & Stategi Media robin hartanto, Asisten riset Desain Widya ramadhani, Asisten riset Tatyana Kusumo, Asisten Desain Pameran supporters collections fabricators LIPI media partners peneRBiT pUBLiKAsi Publikasi ini diterbitkan sebagai bagian dari pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam (15 Agustus – 15 September 2015), Komunitas Salihara, jakarta, Indonesia. editor Anna-Sophie Springer & etienne Turpin Desain Alexandra Berceanu managing editor dan Pemeriksa Naskah Anna-Sophie Springer Asisten editorial Alifa Rachmadia Putri Penerjemah Ninus D. Andarnuswari, Selly Nur Fadhillah, Alifa Rachmadia Putri Koreksi Alifa Rachmadia Putri, Dian Ina Mahendra Percetakan Cano © 2015 setiap editor, seniman, desainer, dan co-editor ISBN 978-0-9939074-7-0 UcApAn TeRimA KAsiH Terima kasih kepada Dian Ina mahendra, seluruh seniman, ilmuwan, dan kontributor, serta seluruh staf Komunitas Salihara. Para kurator ingin mengucapkan terima kasih kepada: lauren Allen, Bergit Arends, Franz Xaver Augustin, Angeline Basuki, Dr. Annette Bhagwati, Dr. George Beccaloni, Prof. Dr. Andrew Berry, Dr. Heinrich Blömeke, Lynda Brooks, Irma Chantily, Elaine Charwat, Yantri Dewi, Nirwan Dewanto, Errol Fuller, Prof. Dr. Matthias Glaubrecht, Anita hermannstädter, Sam hodgson, Tomas holderness, Dr. Darren mann, Dr. Charles leh, Jeffrey T. Malecki, Erik Meijaard, Heike Catherina Mertens, Uwe Moldrzyk, Ening Nurjanah, Ho Tzu Nyen, Richard Pell, Jeffrey Petersen, Dr. Robert Prys-Jones, farid rakun, Felix Sattler, Anthony Sebastian, Katrin Sohns, Charles Stankievech, Dr. renate Sternagel, Fitria Sudirman, Jolyon Sutcliffe, Dr. Pim Westerkamp, Matthew Young, LIPI/MZB, SYNAPSE International Curators’ Network dan Australian Centre for Cultural Environmental Research dari University of Wollongong. Dan semua orang yang telah membeli foto dari 100 Days of Natural History untuk mendukung kampanye pameran di 125660specimens.org. 59 125.660 spesimen sejarah Alam Galeri Salihara 15 Agustus — 15 September 2015 125660specimens.org Gratis untuk umum galeri salihara jl. Salihara No. 16 jakarta Selatan Indonesia Informasi untuk pers: [email protected] 15 AgUsTUs Senin–Sabtu 11.00–20.00 WIB minggu 11.00–15.00 WIB salihara.org 16.00 WIB Pembukaan Pameran untuk Pers dan Kolektor 19.00 WIB Pembukaan Pameran untuk Publik 19.45 WIB The Slave Pianos, Punkasila, mark von Schlegell & Iwank Celenk present: “Sometimes — History Needs A Push” Performance by The Lepidopters Trio: Terra Bajraghosa, Iwank Celenk & Danius Kesminas 19 AgUsTUs 19.00 WIB Bincang Kurator 22 AgUsTUs 13–15.00 WIB lokakarya Taksidermi Bersama Ahli Zoologi lIPI/mZB 15–17.00 WIB Diskusi ekologi Urban & jelajah Pemukiman Pasar minggu 10–12.00 WIB Lokakarya Dengan Fotografer Fred Langford Edwards 13–15.00 WIB Fred Langford Edwards Artist Talk 13–15.00 WIB lokakarya Papercuts Untuk Anak-Anak Bekerja Sama Dengan Club Kembang 15–17.00 WIB Diskusi Keanekaragaman hayati & Konservasi Bersama WAlhI 9–11 sepTemBeR 16–18.00 WIB (tiga hari) Lokakarya Intensif “Spesimen Bayangan” Buat Wayang Binatangmu Sendiri Bersama Seniman Boneka Teater laleh Torabi, Berlin, jerman 12 sepTemBeR 13.00 WIB Wisata museum Zoologicum Bogoriense, Bersama Kurator mZB 29 AgUsTUs 15 sepTemBeR Penutupan Pameran Seluruh kegiatan dibuka gratis untuk umum dan dilaksanakan di Galeri Salihara kecuali jika disebutkan lokasi lain. Untuk mendaftar silakan hubungi [email protected]. Daftar Karya Meja 10 Meja 1 Burung Cendrawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda) Taksidermi pajangan yang sebelumnya dipamerkan di Museum Zoologicum Bogoriense Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Burung Cendrawasih Kuning-Kecil (Paradisaea minor) Taksidermi pajangan yang sebelumnya dipamerkan di Museum Zoologicum Bogoriense Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Flora Lichtman & Sharon Shattuck The Animated Life of A.R. Wallace, 2013 D-Video, 7:50 menit Disutradarai, diproduseri, dan disunting oleh Flora Lichtman dan Sharon Shattuck Video atas izin Sweet Fern Productions Meja 2 Kupu-kupu di Kepulauan Nusantara Dua kotak berisi contoh spesies kupu-kupu yang dikoleksi oleh Alfred Russel Wallace Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) “Kodok Terbang Wallace” (Rhacophorus nigropalmatus) Spesimen basah ilmiah dalam botol bersejarah Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Meja 3 Cetakan jejak Badak (Rhinoceros sondaicus) Spesiman ilmiah 42 x 41 x 8 cm Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Tengkorak Orangutan (Pongo), betina dewasa (no. 6660) dan bayi (no. 6652) Spesimen ilmiah dalam koleksi tulang-belulang Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) “Mias—Times seen—” Halaman dalam Species Notebook (1855-1859) oleh A.R. Wallace Faksimili atas izin The Linnean Society of London Meja 4 & 5 EQUANORTH (farid rakun & Sigrid Espelien) Kertiyasa: Reproducing Reproductions, 2015 Porselen berglasir putih dan bersepuh emas, fotokopi teks dan gambar Dimensi beragam Atas izin seniman Meja 6 Cindy Lin & Lintang Radittya Slimy Friction, 2015 4 Papan sirkuit cetak, spesimen Plectostoma wallacei wallacei 3 PCBs 8cm x 8cm; 1 PCB 12cm x 12cm Atas izin seniman; spesimen atas izin LI PI / MZ B Mark Dion Anthropocene Monument, 2014 Pensil warna di atas kertas 32 x 42 cm Atas izin Galerie Nagel Draxler Berlin/ Köln Meja 7 Tintin Wulia Still/ Life, 2015 Instalasi (pertunjukan) dengan sebuah tabung kimia, labu Erlenmeyer, larva nyamuk, ikan cupang, kamera pengawas, komputer, dan monitor Dimensi beraga Atas izin seniman Intan Prisanti Svarna Nusantara – hinggap, 2015 Kulit kayu, organdi, indigo, secang, manik-manik 108 cm x 74 cm Atas izin seniman Meja 8 Mahardika Yudha The Face of The Black River, 2013 Video H D satu channel, 9:30 menit Edisi tunggal Atas izin Singapore Art Museum Seleksi gambar harimau di squaresolid.tumblr.com Proyek Andreas Siagian Atas izin seniman Laleh Torabi Spesimen Bayangan, 2014 Dimensi bervariasi Atas izin seniman Meja 11 Shannon Castleman Tree Wounds, Muna Island, Sulawesi, 2010–11 5 Foto hitam-putih 44 x 34,5 cm setiap Atas izin seniman Meja 12 Sebuah Taksonomi Minyak Kelapa Sawit 100 contoh produk yang menggunakan minyak kelapa sawit African oil palm (Elaeis guineensis) Ilustrasi botani bersejarah dari ensiklopedia medis oleh Franz Eugen Köhler, Köhler’s MedizinalPflanzen in naturgetreuen Abbildungen mit kurz erläuterndem Texte: Atlas zur Pharmacopoea germanica, austriaca, belgica, danica, helvetica, hungarica, rossica, suecica, Neerlandica, British pharmacopoeia, zum Codex medicamentarius, sowie zur Pharmacopoeia of the United States of America. Gera-Untermhaus, 1887. Koleksi pribadi “From rainforest to your cupboard: the real story of palm oil” Laporan koran interaktif The Guardian, 10 November 2014 theguardian.com/sustainable-business/nginteractive/2014/nov/10/palm-oil-rainforestcupboard-interactive Geraldine Juarez Intercolonial Technogalactic, 2015 Instalasi media campuran menggunakan foto yang diapropriasi, kode, label arsip, benang, rak metal, dan esai Dimensi bervariasi Atas izin seniman Meja 13 Lucy Davis Jalan Jati (Teak Road), 2012 Film animasi, 23 menit Sutradara/Animasi: Lucy Davis Tata suara: Zai Kuning & Zai Tang Atas izin seniman In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Remarkable Beetles), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Female Orang Utan), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Orang Utan Attacked By Dyak), 2015 In which Alfred Russel Wallace Journeys to the Interior (Strange Forest Tree), 2015 4 kolase kertas dengan pensil warna, penjepit spesimen, dan ilustrasi dari The Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace; rekonstruksi adeganadegan film animasi Davis, Together Again (Wood: Cut), 2009 21 x 29 cm setiap Atas perkenan seniman Meja 14 “Cendrawasih ‘Sayap Standar Wallace’”, jantan dan betina Ilustrasi oleh Keulemans untuk Bab XXIV, “Batchian” dalam A.R. Wallace, Kepulauan Nusantara, 1869 Burung Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) Dua spesimen kulit burung (jantan dan betina) dari koleksi ornitologi Atas izin Museum Zoologicum Bogoriese (MZ B / LI PI) Alfred Russel Wallace Surat untuk John Edward Gray The Dell, Grays, Essex, 20 Maret 1873 Faksimili atas izin London Natural History Museum; © A.R. Wallace Literary Estate and the Trustees of The Natural History Museum Tim Laman & Edwin Scholes Birds of Paradise – Revealing the World’s Most Extraordinary Birds Washington, D.C. / Ithaca, NY: National Geographic Society & The Cornell Lab of Ornithology, 2012. Buku jilid keras, 227 halaman 31 x 25.7 cm Koleksi pribadi Intan Prisanti Svarna Nusantara – terbang pulang, 2015 Kulit kayu, organdi, indigo, secang, manik-manik 90 cm x 50 cm Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) Atas izin seniman 8 pejantan dewasa memamerkan gaya menarik betina Meja 9 Maluku Utara, Pulau Halmahera, Labi-labi lek (Indonesia) Kumbang di Kepulauan Nusantara Lintang 1.45465 / Bujur 128.38135 Dua kotak berisi contoh spesies kumbang yang Edwin Scholes, 2008, 12:27 menit dikoleksi Alfred Russel Wallace Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) LI PI) 8 pejantan dewasa memamerkan gaya Serangga di Kepulauan Nusantara Kotak berisi contoh spesies serangga yang dikoleksi Alfred Russel Wallace Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) menarik betina Maluku Utara, Pulau Halmahera, Labi-labi lek (Indonesia) Lintang 1.45465 / Bujur 128.38135 Edwin Scholes, 2008, 25:22 menit Meja 15 Ari Bayuaji Paradise Almost Lost, 2014 (#1, #2) Kertas cetak digital dengan muka (face-mounted) akrilik bersih dan disangga panel komposit alumunium Opus 40 x 50 cm setiap Atas izin seniman Paradise Almost Lost, 2014 (#3, #4) Kertas cetak digital dengan muka (face-mounted) akrilik bersih dan disangga panel komposit alumunium Opus 50 x 40 cm setiap Atas izin seniman Meja 16 Burung Cendrawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda) Spesimen kulit burung (jantan) dari koleksi ornitologi Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Sketsa Paradisaea apoda Halaman dalam Species Notebook (1855–59) oleh A.R. Wallace Faksimili atas izin The Linnean Society of London Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda) 2 pejantan dewasa memanggil-manggil dan menyanyi Hutan Badi Gaki, Pulau Wokam, Kepulauan Aru (Indonesia) Lintang -5.87232 / Bujur 134.4618 Tim Laman, 2010, 1:54:02 menit Burung Cendrawasih Merah (Paradisaea rubra) Spesimen kulit burung (jantan) dari koleksi ornitologi Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Sketsa kepala Paradisaea rubra, dari sisi samping dan perut Halaman dalam Species Notebook (1855–59) oleh A.R. Wallace Faksimili atas izin The Linnean Society of London Cenderawasih Merah (Paradisaea rubra) 2 betina dewasa, 2 pejantan dewasa, 1 pejantan belum dewasa memamerkan gaya menarik betina Pulau Gam, Kepulauan Raja Ampat Lintang -0.44659 / Bujur 130.67616 Tim Laman, 2010, 45:31 menit Meja 17 Perserikatan Bangsa-bangsa Perangko Spesies Terancam Punah 2015 3 lembar penuh (€ 0,80, US$ 1,20, CH F 1,40) Dirilis 16 April 2015 Koleksi pribadi “Burung Bidadari Halmahera Wallace, Jantan dan Betina” Ilustrasi oleh T.W. Wood untuk Bab XXIV, “Batchian”, dalam buku Kepulauan Nusantara (1869) oleh A.R. Wallace Burung Cendrawasih Kuning-kecil (Paradisaea minor) Spesimen kulit burung (jantan) dari koleksi ornitologi Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Charles Darwin Surat untuk A.R. Wallace Down Bromley, Kent, 1 May 1857 Dalam: The Letter from Ternate: The correspondence associated with the joint announcement of the theory of natural selection, with particular reference to the contribution of Alfred Russel Wallace Dicetak dan dipublikasikan oleh Tim Preston (Reigate: TimPress, 2013), 24–6. 19,5 x 13,5 cm Koleksi pribadi Meja 18 Burung di Kepulauan Nusantara Kotak berisi contoh spesies burung yang dikoleksi dan pertama kali dideskripsikan oleh Alfred Russel Wallace Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Kakatua Hitam (Probosciger aterrimus) & Kakatua Putih (Cocatua alba) Spesimen kulit burung dari koleksi ornitologi Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) “Kepala Kakatua Hitam” Ilustrasi oleh T. W. Wood untuk Bab XXX, “Kepulauan Aru” dalam A.R. Wallace, Kepulauan Nusantara, 1869 Meja 19 & 20 Theo Frids Hutabarat Tracing Insulinde, 2015 Proyeksi video di atas lukisan, 6:25 menit 120 x 120 cm Atas izin seniman Re-tracing Insulinde, 2015 Print dan gambar di atas kertas tua 24 x 15,5 cm (6); 30 x 24 cm (1) Atas izin seniman Sampul, peta, dan indeks dari buku teks Belanda tua 15,5 x 24 cm (sampul dan indeks) dan 70 x 24 cm (peta) Atas izin seniman Meja 21 & 22 Aprina Murwanti & Bharoto Yekti Obsessive Collecting, 2015 Instalasi media campuran, plastik, resin, kertas, cat enamel, cat aklirik, bordir di atas beludru Dimensi bervariasi Atas izin seniman Meja 23 Orangutan (Pongo) no. 6664 (kulit) Spesimen kulit primata dari koleksi mamalia Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Orangutan (Pongo) no. 6664 (tengkorak) Spesimen tengkorak primata dari koleksi mamalia Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) “Seekor Orangutan Diserang oleh Suku Dayak” Ilustrasi oleh T. W. Wood untuk A.R. Wallace, Kepulauan Nusantara, 1869 Meja 24 Robert Zhao Renhui & The Institute of Critical Zoologists A Guide to the Flora and Fauna of the World, 2013 55 Pelat dengan dokumen dan buklet dalam kotak arsip yang diukir dengan tangan 34cm x 24cm x 3cm Koleksi pribadi (pameran ini mencakup seleksi atas 8 pelat) Meja 25 Macan Sumatra (Panthera tigris sumatrae) no. 12712 (tengkorak) Spesimen tengkorak primata dari koleksi mamalia Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Macan Sumatra (Panthera tigris sumatrae), kulit (digulung) Spesimen kulit primata dari koleksi mamalia Atas izin Museum Zoologicum Bogoriense (MZ B / LI PI) Andreas Siagian Loreng: Kisah dari Jejak Citra Harimau Indonesia, 2015 Instalasi mixed media dan gambar arksip 240 x 60 cm Atas izin seniman Meja 26 Gerardus Mercator, “Insulae Indiae Orientalis Praecipuae, in quibus Moluccae celeberrimae sunt,” dari Atlas sive Cosmographicae Meditationes de Fabrica Mundi et Fabricati Figura, Amsterdam, 1616; faksimili atas izin Perpustakaan Lisbon Geographic Society Franz Wilhelm Junghuhn, “Kaart van het eiland Java”, Breda 1855. Faksimili atas izin Perpustakaan Nasional di Berlin, Jerman Peta dari buku Wallace Kepulauan Nusantara (1869); garis hitam menandai perjalanannya, mulai dari Singapura di tahun 1854, dan menunjukkan Kepulauan Aru sebagai tujuan paling baratnya Berkas untuk Open Call untuk Seniman: 125.660 Spesimen Sejarah Alam di Komunitas Salihara Buku, 128 halaman Anna-Sophie Springer dan Etienne Turpin (ed.), Januari 2015 Jatna Supriatna, A.A. Thasun Amarasinghe, Chris Margules (eds.), Proceedings of the Second International Conference on Alfred Russel Wallace and the Wallacea – Indonesia 10–13 November 2013, Taprobanica, Vol. 7, No. 3, July 2015 (Alfred Russel Wallace Centenary Issue): 120–212. Donasi dari Pusat Riset Perubahan Iklim (RCCC/ U I) Meja 27 Ary Sendy Sharing Anxieties, 2015 Instalasi TV dua channel, Video H D dan suara Proyek ini adalah hasil kolaborasi dengan Heru Sukmadana S. Pembalakan rawa gambut untuk kebun kelapa sawit di Pulau Kalimantan, 2014 Atas izin Zenzi Suhadi dan WALH I Dinding Fred Langford Edwards Re- Collecting Alfred Russel Wallace, 2007–15 Proyek fotografi dokumenter yang masih berjalan Dimensi bervariasi Atas izin seniman dan masing-masing Linnean Society of London; World Museum Liverpool; National Museum Wales, Cardiff; Natural History Museum of London and Tring; Cambridge University Museum of Zoology. Zeemansgid to Oost-Indische Archipel, 2015 125,660 Specimens of Natural History adalah sebuah proyek kuratorial yang masih terus berjalan oleh Anna- Sophie Springer dan Etienne Turpin. Iterasi Jakarta, 125.660 Spesimen Sejarah Alam , diwujudkan melalui kemitraan dengan pusat seni Komunitas Salihara dan Museum Zoologicum Bogoriense/ Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (M Z B / LI PI), bekerjasama dengan Schering Stiftung serta didukung oleh Goethe-Institut dan OCA – The Office for Contemporary Art Norway dan The British Council.