1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia. Dikatakan penting karena perkawinan dapat mengubah status hukum seseorang, yang semula dianggap sebagai anak muda atau belum dewasa, setelah melangsungkan perkawinan, kemudian dapat dikatakan dewasa dengan berbagai konsekuensi yuridis dan sosiologis yang menyertainya. Perubahan status seseorang setelah melangsungkan perkawinan dapat dicontohkan terkait dengan perubahan hak politiknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan sebagai berikut: “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.”1 Berdasarkan ketentuan Pasal 330 tersebut, dapat diketahui bahwa perkawinan mengubah kedudukan hukum seseorang, dalam arti bahwa orang yang belum dewasa atau belum berumur 21 tahun, belum dapat melakukan perbuatan hukum sebagai orang dewasa, dengan dilangsungkannya perkawinan, meskipun usia seseorang belum 21 tahun, secara yuridis dikatakan “dewasa”, sehingga seorang tersebut dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana orang yang sudah dewasa. Hal ini juga berlaku dalam hukum adat Bali. Karena seseorang yang semula dianggap anak muda laki-laki (teruna) dan anak muda perempuan (deha) menurut 1 Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 90 2 hukum adat Bali, dengan perkawinan akan menjadi suami istri (alaki-rabi), dengan berbagai konsekuensi yuridis dan sosiologis yang menyertainya dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat hukum adat di Bali (dikenal dengan istilah “desa adat” atau “desa pakraman”) meyakini perkawinan memiliki arti penting karena erat kaitannya dengan tanggung jawab atau kewajiban (dikenal dengan istilah swadharma) seseorang, baik terhadap keluarga maupun masyarakat. Tanggung jawab atau kewajiban tersebut meliputi kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan sesuai dengan ajaran agama Hindu (parhayangan), aktivitas kemanusiaan (pawongan) dan aktivitas memelihara lingkungan (palemahan), baik itu untuk kepentingan keluarga maupun masyarakat. Tanggung jawab seseorang dalam masyarakat hukum adat (desa pakraman), dituangkan lebih lanjut dalam aturan yang berlaku di desa pakraman, yang dikenal dengan sebutan awig-awig desa pakraman. Kalau kewajiban yang tertuang dalam awig-awig dilanggar, maka kepada pelanggarnya dapat dikenakan sanksi, mulai yang paling ringan, berupa minta maaf (ngaksama), sampai yang paling berat, dikucilkan (kasepekang). Masyarakat hukum adat di Bali merupakan masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal yang selanjutnya dikenal dengan sebutan purusa atau kapurusa. Berdasarkan sistem kapurusa ini, garis keturunan seseorang dilacak dengan mengikuti garis kapurusa, orang tua laki-laki (ayah), namun dalam hal-hal tertentu dapat juga ditarik dari garis keteurunan perempuan (ibu) yang berstatus kapurusa. Hal itulah yang menyebabkan setiap pasangan suami istri masyarakat hukum adat Bali yang beragama Hindu, sangat berkepentingan untuk memiliki 3 keturunan atau anak laki-laki. Alasannya, anak laki-lakilah yang nantinya diharapkan dapat meneruskan garis keturunan keluarganya dan meneruskan tanggung jawab (swadharma), baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dianutnya sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) oleh masyarakat Bali berpengaruh terhadap pelaksanaan dan bentuk perkawinan bagi masyarakat hukum adat di Bali. Perkawinan bagi masyarakat hukum adat di Bali, pada hakekatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur di dalam undang-undang perkawinan nasional yang kini berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut hukum adat Bali, dirumuskan sebagai sebuah ikatan suci antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yang keturunan “purusa”.2 Perkawinan adalah samskara atau sakramen, dan termasuk salah satu dari sekian banyak sakramen sejak proses kelahiran atau gharbadana sampai proses upacara kematian atau antyasti.3 Perkawinan bersifat religius dan obligator atau mengikat, hal ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seseorang untuk mempunyai keturunan laki-laki (purusa atau putrika),agar anak tersebut dapat 2 Gde Djaksa, 1976, Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu dengan Perkawinan Menurut UU No. 1/1974, Skripsi pada Fakultas Hukum Ul, Jakarta, hlm. 41. 3 Gde Pudja, 1983/1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, hlm. 17. 4 menyelamatkan orang tuanya dari neraka.4 Arti perkawinan menurut umat Hindu merupakan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dalam rangka mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria dalam rangka menyelamatkan arwah orang tuanya.5 Dalam hubunganya dengan tujuan perkawinan, maka arti perkawinan bagi umat Hindu dapat dijelaskan, bahwa perkawinan (masa berumah tangga) dipandang sebagai salah satu tingkat kehidupan manusia yang disebut dengan masa grehasta, yaitu masa yang merupakan kelanjutan masa kehidupan brahmacari (masa belajar). Setelah masa berumahtangga (grehasta), seseorang selanjutnya akan memasuki masa wanaprasta(masa mendalami kerohanian). Tingkatan kehidupan terakhir adalah bhiksukaatau juga disebut sanyasin(masa lepas dari ikatan keduniawian). Keempat tingkatan hidup itu disebut dengan Catur Asrama.Kataasrama berasal dari katasrama (bahasa Sanskerta) yang berarti latihan atau aktivitas keagamaan.6 Catur Asrama berarti empat kegiatan (tingkatan) hidup dari seluruh proses kehidupan manusia, yaitu lahir, masa berumah tangga/kawin, masa pendalaman kerohanian, dan masa pelepasan dengan duniawi. Bagi masyarakat hukum adat di Bali yang beragama Hindu, perkawinan dipandang sebagai “kewajiban”. Dikatakan sebagai kewajiban karena perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dan khusus dalam kehidupan. Salah satu tujuan perkawinan menurut pandangan masyarakat Hindu di Bali sangat terkait dengan tujuan dan kewajiban seseorang untuk mempunyai anak, untuk 4 Ibid.,hlm. 16. Gde Pudja, Op.Cit. hlm. 15. 6 Ketut Wiana, 1993,Tujuan Hidup Menurut Hindu dalam Kasta Dalam Hindu Kesalahpahaman Berab adabad, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar , hlm. 9. 5 5 menebus dosa-dosa orang tuanya dengan menurunkan seorang putra.7 Selanjutnya penekanan pada upaya untuk memperoleh anak dalam perkawinan dapat dalam Sloka No. 2 dari Weda Slokantara.8 Pemaparan tentang pentingnya mempunyai anak, juga dapat diketahui dari Pasal 161 Buku IX ManawaDharmasastra.9 Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan menghantar seseorang, yaitu roh yang sedang menderita di neraka dan untuk menyelamatkan itu seorang anak harus mempunyai putra dan bila tidak berputra harus menggantikannya dengan anak lain atau mengangkat anak. Selain itu, dambaan akan keturunan dalam perkawinan ini erat hubungannya dengan keinginan agar keluarga tersebut tidak punah (caput, putung). Dengan mempunyai keturunan dipercayai bahwa nantinya upacara-upacara yadnya (korban suci, tulus dan ikhlas) dapat diteruskan, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang diperlukan bila orang tua meninggal, serta melanjutkan hubungan-hubungan kekerabatan. Secara singkat dapat dikemukakan, bahwa tujuan perkawinan dalam pandangan agama Hindu, selain membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (makardi rahayu kayang riwekas), juga untuk mendapatkan keturunan, untuk meneruskan tanggung jawab (swadharma) orang tua dan leluhurnya. Tanggung jawab sosial spiritual yang dimaksud terdiri atas: tanggung jawab terhadap keagamaan sesuai ajaran agama Hindu (parhyangan), tanggung jawab sosial (pawongan) dan tanggung jawab terhadap lingkungan alam (palemahan). 7 Gde Pudja, Op.Cit, hlm.16 Tjok Istri Putra Astiti, 1981, Perkawinan Menurut Hukum dan Agama Hindu di Bali, Biro Dokumentasi & Publikasi FH & PM Unud, Denpasar, hlm. 6. 9 Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, 1878,Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) Dit. Jen Bimas Hindu dan Departemen Agama RI, Jakarta,hlm. 572. 8 6 Kewajiban sosial-spiritual bagi pasangan suami istri pada dasarnya untuk meneruskan kewajiban “membayar” (penaura) (pembayaran) hutang (rna).10 Berdasarkan paparan mengenai hakekat dan tujuan perkawinan menurut agama Hindu dan hukum adat Bali, dapat dikatakan bahwa perkawinan tidak sekadar ikatan lahir batin, tetapi jauh lebih dalam lagi sebagai implementasi bukti bhakti secara kenyataan (sekala) dan secara gaib (niskala) seseorang terhadap Tuhanya, leluhur dan orang tuanya. Oleh karena itu, sebuah perkawinan yang ideal, pada masyarakat yang bersistemkan patrilineal,mereka sebagai pasangan suami istri (alakirabi), tidak hanya hidup dan berkehidupan dalam satu tanah pekarangan (tegak umah), tetapi perkawinan membawa konsekuensi bahwa pasangan suamiistri secara bersama dan berlanjut pada keturunannya (preti sentana) untuk melanjutkan keyakinan beragamanya (ngaturang sembah di sanggah). Menurut hukum adat Bali, memperoleh anak laki-laki sangat didambakan oleh setiap pasangan suami istri.Anak laki-laki merupakan harapan kedua orang tua, seperti menjadi penerus generasi. Anak laki-laki mengganti kedudukan bapaknya dalam masyarakat apabila kelak sudah kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa). Anak laki-laki juga melaksanakan upacara agama (seperti: ngaben, dan lain-lain), serta selalu menyembah (astiti-bhakti) kepada leluhur yang bersemayam di tempat suci (sanggah, merajan atau pura). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk menyelamatkan roh orang tua dari neraka hendaknya seorang anak melangsungkan perkawinan dan mempunyai putra (dalam hal ini yang dimaksud putra adalah anak laki-laki). Apabila tidak memperoleh putra, hendaknya ditempuh jalan lain, yaitu mengganti 10 Suhardana F.X, 1987.HukumPerdata I.Pranhalindo, Jakarta, hlm. 2 7 dengan anak lain, seperti mengangkat anak, atau apabila keluarga tersebut hanya mempunyai anak wanita saja, maka dapat mengukuhkan salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg (mengubah status anak perempuan menjadi anak laki-laki). Sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris; rajeg = kukuh, tegak) adalah anak wanita yang kerajegang sentana, yaitu dikukuhkan statusnya menjadi penerus keturunan atau purusa. Dalam Kitab Manawa Dharmacastrasentana rajeg disebut dengan istilah putrika yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut keturunan dan ahli waris terhadap harta benda orang tuanya, serta menggantikan kedudukan anak lakilaki.11Sesudah melangsungkan perkawinan pasangan suami istri ini disebut alakirabi, masomahan, atau makurenan. Kuren, somah, rabi, dapat berarti suami atau istri, suami disebut juga raka dan istri biasanya dipanggil rai. Raka-rai dapat berarti suami istri.12 Sebagai konsekuensi sistem kekeluargaan patrilineal (kapurusa) yang diikuti, selanjutnya dalam masyarakat hukum adat Bali dikenal dua bentuk perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan biasa (dikenal dengan nganten biasa), dalam hal ini pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya; (2) Perkawinan nyentana atau Nyeburin, dalam hal ini pihak laki-laki yang yang meawak luh (berstatus wanita atau predana) dan meninggalkan keluarganya untuk masuk menjadi anggota keluarga istrinya yang meawak muani (berstatus sebagai laki-laki atau purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam keluarganya pada saat 11 Gde Pudja, loc.cit. Lebih jauh tentang keluarga dan perkawinan, baca, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977. Adat Istiadat Daerah Bali. (hlm 101 – 112). Geertz, Hildred and Clifford Geertz. 1975. 12 8 perkawinan dilangsungkan. Wanita yang dikawini secara Nyeburin berstatus sebagai sentana rajeg, yang melanjutkan keturunan keluarganya.13 Sejalan dengan kemajuan program Keluarga Berencana (KB) yang diperkenalkan sejak awal tahun 1970-an, telah menyebabkan banyak pasangan suami istri memilih untuk melahirkan anak dalam jumlah yang terbatas, satu atau dua orang anak saja, laki-laki atau perempuan.14 Apabila anak perempuan satusatunya, bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari keluarga yang hanya memiliki satu anak laki-laki saja, muncul permasalahan mengenai jenis perkawinan yang akan dipilih. Jika memilih perkawinan biasa, keluarga perempuannya keberatan, karena keluarga ini akan ditinggalkan oleh anak perempuan satu-satunya yang dimiliki. Kalau memilih bentuk perkawinan nyentana, keluarga laki-laki pasti juga tidak akan setuju, karena keluarga ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wayan P. Windia, dapat diketahui bahwa permasalahan di atas diselesaikan dengan melangsungkan perkawinan Pada Gelahang atau perkawinan negen ayah. Dalam hal ini pasangan suami istri tidak melangsungkan perkawinan biasa dan juga tidak melangsungkan perkawinan nyentana, melainkan memilih bentuk “perkawinan alternatif” di luar dua bentuk perkawinan yang secara tradisional dikenal dalam hukum adat Bali. 13 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra,2006,Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud, hlm 85. 14 Gerakan pemuda pada era 1980-an yang mengkampanyekan program Keluarga Berencana (KB) adalah Gerakan Pemuda Zero Population Grouth (ZPG). Program KB yang dikampanyekan yaitu: tunda usia perkawinan, tunda kelahiran anak pertama, jarangkan kelahiran anak dan stop dua anak, laki perempuan sama saja. 9 Bentuk perkawinan ini memang baru diperkenalkan kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk perkawinan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat hukum adat Bali diperlukan cukup waktu, sebab sampai saat ini masih menjadi polemik diantara masyarakat adat Bali.15 Dalam masyarakat Bali, terdapat banyak istilah yang dipergunakan untuk menyebut perkawinan Pada Gelahang, seperti perkawinan Negen Dadua, perkawinan Mepanak Bareng, dan perkawinan Magelar Warang. Istilah-istilah yang digunakan tersebut maksudnya sama, bahwa yang dimaksud perkawinan Pada Gelahang adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang anak laki-laki dengan seorang perempuan, dalam mana pihak laki-laki atau pihak perempuan tidak saling meninggalkan rumahnya dan sama-sama berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing.16 Bentuk perkawinan pada gelahang umumnya dipilih karena baik calon suami maupun calon istri bertindak sebagai purusa, di rumahnya masing-masing. Hal ini terjadi karena keduanya merupakan anak tunggal dan atau oleh karena ada sebab tertentu, sehingga pasangan suami istri ini bertanggung jawab untuk meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua, serta leluhur masingmasing keluarga, secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam tidak nyata), sesuai dengan kesepakatan pengantin beserta keluarganya.17 Perkawinan dilangsungkan setelah berbagai persyaratan yang ditentukan sesuai hukum adat (dalam hal ini hukum adat Bali), maupun hukum negara (dalam hal ini Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), oleh calon pengantin. Apabila persyaratan yang ditentukan tidak atau belum dipenuhi, akan muncul masalah seperti: perkawinan tidak diakui oleh masyarakatnya, bahkan 15 Wayan P. Windia, dkk, Op Cit, hlm. 24 Ibid, hlm. 30. 17 Ibid, hlm. 53 16 10 berakibat pada anak keturunan dan harta benada yang diperolehnya dalam perkawinan. Salah satu persyaratan adat yang wajib dipenuhi di dalam perkawinan pada gelahang adalah pembuatan perjanjian perkawinan atau yang disebut dengan perjanjian mewarang. Sebagai konsekuensi dianutnya sistem kekerabatan patrilineal (kapurusa), membawa dampak terhadap pencatatan dan penerbitan akta perkawinan bagi pasangan suami istri masyarakat hukum adat Bali yang beragama Hindu. Dalam akta perkawinan ada penegasan pihak antara pasangan tersebut yang berstatus kapurusa. Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai kapurusa, sedangkan dalam perkawinan nyentana atau kaceburin, pihak istri yang berstatus sebagai kapurusa.Seorang istri atau suami yang berstatus kapurusa atau tidak, dapat diketahui dari akta perkawinannya. Dalam akta perkawinan (terutama dalam perkawinan Nyentana, secara tegas ditulis bahwa sang istrilah yang berstatus Kapurusa. Selain terkait dengan status masing-masing suami dan istri, pilihan bentuk perkawinan (perkawinan Biasa, perkawinan Nyentana, dan perkawinan Pada Gelahang), juga membawa konsekuensi terhadap kedudukan masing-masing suami istri terhadap penguasaan harta warisan, serta tanggung jawab (swadharma) baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sebagai bentuk perkawinan baru tentunya pro dan kontra terhadap kehadiran perkawinan Pada Gelahang menjadi sesuatu yang wajar. Terlepas dari pro-kontra kehadiran perkawinan Pada Gelahang di masyarakat, tesis ini mengungkap sisi lain 11 keberadaan perkawinan ini, utamanya terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dalam penelititian tesis ini permasalahanya dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana pelaksanaan perkawinan Pada Gelahang di Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar? b. Mengapa klausula yang mengatur mengenai anak di dalam perjanjian perkawinan Pada Gelahang dapat mengikat secara hukum? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menemukan jawaban atas dua permasalahan yang dikemukakan di atas. Apabila dirinci, tujuan khusus penelitian ini adalah: a. untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan perkawinan Pada Gelahang di Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. b. untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi yuridis mengenai klausula yang mengatur tentang anak di dalam perjanjian perkawinan Pada Gelahang. D. Keaslian penelitian Keaslian penelitian dilakukan penelusuran penelitian pada referensi dan hasil penelitian. Hasil penelusuran diketahui memang ada penelitian yang berkaitan dengan 12 perkawinan Pada Gelahang atau dengan istilah lain perkawinan Negen Dadua. Penelitian yang dilakukan oleh Putu Ayu Sriasih Wesna dengan judul “Pelaksanaan Pewarisan Dalam Perkawinan Negen Dadua Berdasarkan Hukum Adat Bali”18 Adapun rumusan permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti tersebut adalah: 1. Bagaimana akibat hukum terhadap kekerabatan pada pasangan yang melangsungkan perkawinan negen dadua ? 2. Bagaimanakah pembagian waris dalam perkawinan negen dadua? Penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengangkat pokok pemasalahan yaitu mengapa klausa yang mengatur mengenai anak dalam perjanjian perkawinan pada perkawinan Pada Gelahang mengikat secara hukum. Dengan demikian sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian yang berkaitan dengan klausula yang mengatur tentang anak dalam perjanjian Pada Gelahang belum pernah dilakukan dan dalam kesempatan ini peneliti meneliti masalah tersebut. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang berupa temuan tentang bentuk perjanjian perkawinan Pada Gelahang dan kepastian hukum dari isi perjanjian perkawinan Pada Gelahang yang mengatur mengenai anak, diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis, seperti diuraikan di bawah ini. 18 Putu Ayu Sriasih Wesna, 2012, Pelaksanaan Pewarisan Dalam Perkawinan Negen Dadua Berdasarkan Hukum Adat Bali, Tesis pada Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hlm. 41 13 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum, khususnya bidang ilmu perjanjian yaitu mengenai pembuatan perjanjian perkawinan Pada Gelahang yang sesuai dengan hukum. 2. Manfaat Praktis a. Bagi warga masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali, adanya kejelasan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan Pada Gelahang yang sesuai dengan hukum, sehingga dapat mencegah terjadinya masalah di kemudian hari. b. Bagi institusi pemerintah yang berwenang dalam pembuatan perjanjian (Notaris). Temuan penelitian berupa kejelasan landasan yuridis bentuk perjanjian perkawinan Pada Gelahang yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.