Kalau Tak di Bumi, Tinggal di Planet Mana? Kps:05-12-07 Dan, menyadari bahwa kita hanya memiliki satu rumah, dan itu adalah Bumi, kami akan mengundang bangsa-bangsa maju dan berkembang untuk bergabung bersama kami dalam bertindak sebagai pengawal yang baik bagi sumber daya alam dan lingkungan kita. (Colin Powell, Menteri Luar Negeri AS, 2002) Kini, ketika lebih dari 180 negara yang diwakili oleh sekitar 9.000 delegasi berkumpul di Bali, masih ada negara yang belum meratifikasi Protokol Kyoto dan negara itu adalah Amerika Serikat. Sejauh ini, oleh aktivitasnya yang luar biasa, baik dari industri maupun perorangannya, AS dikenal sebagai negara penyembur karbon dioksida utama di dunia (dalam konteks ini, terdengar janggallah apa yang disampaikan mantan Menlu AS di atas). Posisi ini diberitakan akan disusul oleh China, yang juga harus banyak membakar bahan bakar fosil guna menopang pertumbuhan tinggi perekonomiannya. Indonesia sendiri juga disebut-sebut menjadi kontributor karbon dioksida besar dari aktivitas pembakaran hutannya. Dengan latar belakang itu, tampak upaya mengerem pemanasan global melalui pengurangan laju emisi karbon dioksida seperti berkejaran dengan waktu karena negara-negara penyembur CO>sub<2>res<>res< masih belum bergerak cepat untuk mengurangi emisi. Padahal, dari banyak laporan dan kesaksian, gejala pemanasan global semakin nyata diamati dan juga dirasakan. Dalam suasana yang diwarnai ketidakpastian ini, tebersit juga skenario buruk. Seandainya, seandainya saja, Bumi menjadi tidak layak huni lagi, mesti pindah ke planet mana manusia? Jawaban atas pertanyaan ini erat berkaitan dengan upaya para astronom dalam mengeksplorasi benda angkasa yang layak huni dan tentunya layak huni untuk kehidupan seperti yang ada di Bumi. Penjajakan serupa untuk tata surya yang sejauh ini tidak memberikan harapan. Merkurius terlalu panas karena merupakan planet yang paling dekat dengan Matahari. Mengulang rubrik ini (2/5/2007), Venus punya selimut awan yang beracun, demikian pula Jupiter dan planet luar lainnya. Mereka juga sudah terlalu jauh dari Matahari sehingga suhu menjadi terlampau dingin. Mars, meski tidak seekstrem planet lain, tidak punya kondisi mendukung, bahkan dari yang paling pokok sekalipun, yakni ketersediaan air dan udara. Bulan, dengan rekayasa keras, bisa saja pada masa depan diubah menjadi layak huni. Namun, jelas ukurannya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Bumi tak akan sanggup menampung semua warga Bumi. Dengan demikian, setidaknya ditinjau dari kemampuan teknologi transportasi ruang angkasa yang terjangkau hingga hari ini, kehidupan tampaknya telah terkunci di Bumi. Ini berarti kalau sekarang terjadi bencana lingkungan yang menghancurkan Bumi, sehingga ia tak layak huni lagi, akan tamatlah riwayat kehidupan. Eksoplanet Kalaupun mungkin membuat skenario masa depan, itu hanya bisa disandarkan pada penyelidikan planetplanet di luar tata surya, atau yang lebih dikenal sebagai eksoplanet atau planet ekstrasolar. April silam untuk pertama kalinya ditemukan planet serupa Bumi (Earth-like) yang bisa mendukung adanya air dan menopang kehidupan. Air dianggap sebagai bahan baku utama bagi kehidupan seperti yang kita kenal. Dalam ungkapan lain, planet yang ditemukan ini berada pada apa yang disebut sebagai jarak Goldilocks tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari bintang, sehingga air di permukaannya tidak membeku atau pergi menguap. Ketika menemukan planet di bintang Gliese 581 sehingga planetnya disebut Gliese 581 para astronom belum bisa memeriksa apakah ada tanda-tanda biologi di sana. Diringkaskan oleh pemimpin kelompok studi yang menemukan planet ini di Observatorium Geneva, Swiss, Stephane Udry, penemuan ini merupakan langkah berarti menuju penemuan planet yang menyerupai Bumi dan mengelilingi bintang seperti Matahari. Sekadar menyebutkan kembali, Gliese 581C merupakan planet yang berukuran sekitar 1,5 kali dibandingkan Bumi, dengan massa lima kali lebih besar. Adapun Matahari bagi Gliese 581C adalah sebuah bintang katai merah dengan massa sepertiga massa Matahari. Jarak bintang ini 20,5 tahun cahaya dari Bumi. Kebolehjadian rumit Secara statistik, bisa saja orang mengatakan, di antara 400 miliar bintang yang ada di Galaksi Bima Sakti, pasti ada banyak yang serupa dengan Matahari dan memiliki tata surya yang juga serupa. Namun, pada kenyataannya, untuk bisa menghadirkan kehidupan, apalagi kehidupan cerdas, harus dipenuhi sejumlah syarat yang rumit. Kondisi planetnya, jaraknya terhadap bintang induk, dan jenis bintang induk, adalah di antara persyaratan tersebut. Dalam hal planet Gliese 581C, kalau melihat jaraknya saja, yang 15 kali lebih dekat dibandingkan jarak Bumi-Matahari, atau sekitar 10 juta kilometer, mungkin segera memunculkan kesimpulan planet terlalu panas. Dengan jarak sedekat itu, satu tahun di Gliese 581C hanya 13 hari Bumi. Tetapi, mesti dekat, penghuni planet ini tidak harus kepanasan karena bintang induk yang masuk dalam kategori katai merah ini atau M-dwarf 50 kali lebih redup dibandingkan Matahari, dan jauh lebih dingin. Ini memungkinkan planet bisa mengorbit lebih dekat ke bintang induk, dengan tetap berada di zona layak huni, yaitu wilayah berbentuk bola di sekeliling sebuah bintang yang di dalamnya suhu planet masih bisa menopang air cair di permukaannya. Gliese 581C untuk golongan kosmik termasuk dekat dengan Bumi dan model komputer memperkirakan bahwa Gliese 581C merupakan planet berbatuan seperti Bumi atau jagat air (waterworld) yang tertutup sepenuhnya oleh lautan. Menurut perkiraan tim penemu, suhu rata-rata Bumi Super ini antara 0 dan 40 derajat Celsius sehingga air akan berwujud cairan (SPACE.com). Hanya satu bumi Penemuan Gliese 581C amat membesarkan hati. Alan Boss, ahli teori keplanetan di Carnegie Institution di Washington, berharap kalau ada makhluk cerdas di sana, diharapkan mereka juga mendengar sinyal dari Bumi. Kini dengan simulasi komputer terhadap sistem planet ekstrasolar, para ahli memperkirakan separuhnya bisa menopang dunia serupa-Bumi, kalaupun itu semata didasarkan perhitungan matematika. Sementara faktor yang bisa menetapkan kelayakan huni planet lain masih diperdalam karena adanya air tidak selalu bisa diasosiasikan dengan asal mula kehidupan satu hal yang sudah amat jelas adalah bahwa planet ekstrasolar yang serupa Bumi sementara ini masih teramat jauh dari jangkauan. Kalau harus diubah menjadi kilometer, jarak planet Gliese 581C yang 20,5 tahun cahaya menjadi 20,5 x 9.500.000.000.000 km = 194.750.000.000.000 km. Kita bisa menghitung lebih lanjut berapa waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke bintang ini dengan pesawat yang katakan seperti Pioneer atau Voyager yang pernah melaju dengan kecepatan 100.000 km/jam. Jadi, justru dengan menyadari keterkungkungan yang ada sekarang ini, umat manusia semestinya semakin sadar dan berupaya untuk mempertahankan kelayakhunian Bumi, termasuk AS yang sejauh ini masih menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Yang tak bisa disangkal adalah: ada miliaran planet, tetapi sejauh ini, meminjam judul buku Barbara Ward dan Rene Dubos Hanya (ada) Satu Bumi. Kewajiban semua umat manusia untuk menjaganya.