MATERIA MEDIKA HERBAL MOMORDICA CHARANTIA (Buah Pare) ASHFAR KURNIA (1006827120) PROGRAM MAGISTER ILMU HERBAL DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2011 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 BAB 2 DIABETES MELITUS......................................................................................... 2 2.1 Definisi .......................................................................................................................... 2 2.2 Tipe-tipe Diabetes ......................................................................................................... 2 2.3 Penyebab Diabetes ........................................................................................................ 3 2.4 Gambaran Klinis Penyakit Diabetes ............................................................................. 4 BAB 3 METODE PENGUJIAN DIABETES MELITUS.............................................. 5 3.1 Tinjauan Tentang Uji Bioaktivitas Anti Diabetes Melitus ........................................... 5 3.2 Metode Uji Diabetes ..................................................................................................... 6 BAB 4 BUAH PARE ......................................................................................................... 13 4.1 Simplisia yang digunakan ............................................................................................. 13 4.2 Tanaman Asal dan Famili ............................................................................................. 13 4.3 Ciri Khas dan Penyebarannya ....................................................................................... 13 4.4 Deskripsi dan Tumbuhan .............................................................................................. 14 4.5 Penyebaran .................................................................................................................... 14 4.6 Identifikasi .................................................................................................................... 14 4.7 Cara Pengumpulan ........................................................................................................ 15 4.8 Kandungan Kimia ......................................................................................................... 15 BAB 5 PENGUJIAN DIABETES MELITUS ................................................................ 18 5.1 Uji Preklinik .................................................................................................................. 18 5.2 Uji Klinik ...................................................................................................................... 18 DAFTAR ACUAN ............................................................................................................ 19 1 BAB 1 PENDAHULUAN Banyak orang yang masih menganggap penyakit diabetes merupakan penyakit orang tua atau penyakit yang timbul karena faktor keturunan. Padahal, setiap orang dapat mengidap penyakit diabetes, baik tua maupun muda. Tahun 2000, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes dan menurut data WHO tahun 2005, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus. Diabetes melitus adalah suatu jenis penyakit yang disebabkan menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh kelenjar pankreas. Penurunan hormon ini mengkibatkan seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses sempurna, sehingga kadar glukosa di dalam tubuh akan meningkat. Peningkatan kadar gula darah sebenarnya dapat dicegah bila penderita diabetes melitus bisa mengontrol kadar gula darahnya agar selalu dalam batas normal. Diantaranya dengan menerapkan pola hidup sehat, menjalankan pola makan yang baik, melakukan aktivitas fisik (olah raga) secara teratur dan memadai, dan tidak segan untuk melakukan pemeriksaan gula darah secara berkala. Namun, melihat pola hidup saat ini mengkibatkan penderita diabetes melitus memiliki ancaman komplikasi. Bentuk komplikasinya adalah gangguan ginjal, gangguan penglihatan, gangguan seksual, kerusakan saraf, gangguan peredaran darah dan jantung, serta mudah terkena infeksi. Pengobatan diabetes melitus tidak murah karena penderita diabetes melitus harus mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal obat sintesis kimia (obat konvensional) yang dikonsumsi dan beredar di pasaran cukup mahal. Indonesia memiliki tanaman-tanaman yang diduga berkhasiat untuk pengobatan, termasuk pengobatan diabetes melitus dan telah digunakan secara turun-temurun karena selain efek sampingnya relatif kecil juga memiliki harga yang ekonomis. Pengobatan secara tradisional ini lebih menekankan pada keluhan-keluhan subjektif. Salah satu tanaman obat yang bisa dijadikan sebagai obat tradisional untuk penyakit diabetes mellitus adalah buah Pare, Momordica charantia (fam: Cucurbitaceae). 1 BAB 2 DIABETES MELITUS 2.1 Definisi Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan absolut insulin atau insensitivitas sel terhadap insulin. Berdasarkan definisi, glukosa darah puasa harus lebih besar daripada 140 mg/100 ml pada dua kali pemeriksaan terpisah agar diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan. Diabetes berasal dari kata Yunani yang berarti mengalirkan/mengalihkan. Melitus adalah kata lain dari madu, atau gula. Diabetes melitus adalah penyakit di mana seseorang mengeluarkan/mengalirkan sejumlah besar urin yang terasa manis. 2.2 Tipe-tipe Diabetes Hingga saat ini paling seditik terdapat tiga bentuk diabetes melitus, antara lain: DM tipe I, DM tipe II, Diabetes Gestasional. 2.2.1 Diabetes Melitus tipe I Adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Penyakit ini disebut diabetes mellitus dependent insulin (DMDI). Pengidap penyakit ini harus mendapat insulin. Diabetes tipe I biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki sedikit lebih banyak daripada wanita. Karena insiden diabetes melitus tipe I memuncak pada usia remaja dini, maka dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes Juvenilis. Namun diabetes tipe I dapat timbul pada segala usia. 2.2.2 Diabetes Melitus tipe II Adalah penyakit hiperglikemia akibat insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel β-pankreas, maka diabetes melitus tipe II dianggap sebagai noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes melitus tipe II biasanya timbul pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun, dan dahulu disebut sebagai diabetes awitan dewasa. Pasien wanita lebih banyak daripada pria. 2 2.2.3 Diabetes Gestasional Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Sekitar 50% wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Namun, risiko mengalami diabetes tipe II pada waktu mendatang lebih besar daripada normal. 2.3 Penyabab Diabetes 2.3.1 Diabetes Mellitus tipe I Diabetes tipe I diperkirakan timbul akibat destruksi otoimun sel-sel β pulau langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Serangan otoimun dapat timbul setelah infeksi virus misalnya gondongan (mumps), rubella, sitomegalovirus kronik, atau setelah pajanan obat atau toksin (misalnya golongan nitrosamine yang terdapat pada daging yang diawetkan). Pada saat diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Mengapa seseorang membentuk antibodi terhadap sel-sel pulang langerhans tidak diketahui. Salah satu kemungkinan adalah bahwa terdapat suatu agen lingkungan yang secara antigenik mengubah sel-sel pancreas untuk merangsang pembentukan otoantibodi. Mungkin juga bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe I memiliki kesamaan antigen antara sel-sel β pankreas mereka dengan virus atau obat tertentu. Sewaktu berespon terhadap virus atau obat tersebut, sistem imun gagal mengenali bahwa sel-sel pankras adalah “self”. 2.3.2 Diabetes Mellitus tipe I Diabetes melitus tipe II berkaitan dengan kegemukan. Selain itu, pengaruh genetika juga berperan, yang menentukan kemungkinan seseorang mengidap penyakit ini, cukup besar. Diperkirakan bahwa terdapat suatu sifat genetik yang belum teridentifikasi yang menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda, atau menyebabkan respon insulin atau perantara kedua tidak dapat berespon secara adekuat terhadap insulin. Juga mungkin terdapat kaitan genetik antara kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptorreseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan atas reseptor-reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel-sel. Hal ini disebut downregulation. Mungkin pula bahwa individu yang mengidap diabetes tipe II menghasilkan otoantibodi insulin yang berkaitan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa. Individu tertentu yang menderita 3 diabetes tipe II pada usia muda dan memiliki berat normal atau kurus tampaknya mengidap diabetes yang lebih erat kaitannya dengan suatu sfat yang diwariskan. 2.3.3 Diabetes Gestasional Penyebab diabetes gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen dan hormon pertumbuhan yang terus menerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen merangsang pengeluaran insulin dan dapat menyebabkan gambaran sekresi berlebihan insulin seperti diabetes tipe II yang akhirnya menyebabkan penurunan responsivitas sel. Hormon pertumbuhuan memiliki beberapa efek anti-insulin, misalnya prangsangan glikogenolisis (penguraian glikogen) dan penguraian jaringan lemak. Semua faktor ini mungkin berperan menimbulkan hiperglikemia pada diabetes gestasional. Wanita yang mengidap diabetes gestasional mungkin sudah memiliki gangguan subklinis pengontrolan glukosa bahkan sebelum diabetesnya muncul. 2.4 Gambaran Klinis Penyakit Diabetes Pada penderita diabetes umumnya akan mengalami gejala-gejala sebagai berikut: a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin). b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi eksternal. c. Rasa lelah dan kelelahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidak mampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. d. Polifagia (peningkatan rasa lapar). e. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi mukus, gangguan fugsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik. 4 BAB 3 METODE PENGUJIAN DIABETES MELITUS 3.1 TINJAUAN TENTANG UJI BIOAKTIVITAS ANTI DIABETES MELITUS 3.1.1 Toleransi Glukosa Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatic yang merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstrahepatik dan beberapa hormon, pada kondisi kadar glukosa darah normal (80-100 mg%), hati ternyata merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Pada keadaan pasca aborsi, kadar glukosa darah pada manusia bervariasi antara 80-100 mg%, sedangkan pada kondisi puasa, kadarnya menurun menjadi sekitar 60-70 mg%. dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol pada batas-batas tersebut. Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa yang dapat ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian glukosa. Diabetes melitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang semakin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak. 3.1.2 Aloksan Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Efek diabetogeniknya bersifat antagonis dengan glutation yang bereaksi dengan gugus -SH nya. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan yang selektif belum diketahui dengan jelas. Beberapa hipotesis tentang mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain: pembentukan khelat terhadapt Zn, interferensi dengan enzim-enzim sel β serta deaminasi dan dekarboksilasi asam amino. Perusakan sel β pancreas secara selektif oleh aloksan belum banyak diketahui. Penelitian mekanisme kerja aloksan secara in vitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel. 5 3.1.3 Tolbutamid Senyawa tolbutamid dapat menurunkan kadar glukosa darah karena mampu merangsang sekresi insulin. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara berikatan dengan membran sel, maka permeabilitas membrane terhadap ion kalsium menjadi menurun, terjadi depolarisai dari sel dan ion kalsium memasuki sel, selanjutnya terjadilah sekresi insulin. Aktivitas hipoglikemiknya ditunjukkan pada 6-12 jam setelah pemberian. 3.1.4 Uji Kadar Glukosa Darah Glukosa darah dapat ditentukan dengan berbagai cara baik secara kimiawi maupun secara enzimatik. Prinsip penentuannya didasari pada kemampuan glukosa untuk mereduksi ion anorganik seperti Cu2+ atau Fe(CN)6. Penentuan glukosa secara reaksi reduksi kurang spesifik dibandingakn cara enzimatik, terutama bila dalam darah terdapat bahan yang dapat mereduksi misalnya keratin, asam urat dan gula-gula lain selain glukosa (manosa, galaktosa, dan laktosa) yang akan memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi daripada kadar glukosa yang sebenarnya. Sebagai pedoman dapat diperkirakan bahwa hasil penentuan glukosa secara reduksi akan memberikan hasil 3,6-10,8 mg% lebih tinggi daripada cara enzimatik. Perbedaan ini akan lebih besar lagi bila terdapat peningkatan kreatinin dan asam urat. 3.2 METODE UJI DIABETES 3.2.1 Metode Uji Diabetes Streptozotosin I 3.2.1.1 Prinsip Metode Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang diberi suntikan streptozosin secara intraperitoneal. Untuk menstimulasi Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) digunakan dosis 65 mg/kgBB, dengan binatang percobaan tikus (umur 3-4 bulan). Sedangkan untuk Non Insulin Diabetes Melitus (NIDM) digunakan dosis 90 mg/kgBB, dengan binatang percobaan anak anjing berumur 48 jam. 3.2.1.2 Bahan dan Alat Sediaan uji berupa larutan/suspensi ekstrak (250 mg/2 ml air) untuk semua ekstrak, kecuali untuk ekstrak yang bebas saponin (150 mg/2 ml air) dengan atau tanpa glukosa, streptozosin, glukosa, anestesi ringan, jarum suntik dan alat sentrifuse. 6 3.2.1.3 Prosedur Ada beberapa tahap eksperimental, umumnya 4 tahap, antara lain: Toleransi glukosa secara oral Latar belakang penelitian ini adalah perbedaan beban glukosa oral (1,25-4,0 g/kgBB) dan bermacam-macam waktu pengambilan sampel (0-90 menit, dengan interval 15 menit). Efek pada kadar glukosa puasa Ekstrak dari tanaman, dimana ekstrak diberikan pada malam hari pada tikus puasa pada menit ke-0, contoh darah digambarkan pada 0, 60 dan 120 menit. Sebagai kontrol hanya diberikan 2 ml air. Tikus-tikus dijaga untuk tidak makan selama periode yang ditetapkan. Efek pada kadar glukosa darah ketika ekstrak diberikan secara simultan dengan glukosa Ekstrak dengan atau tanpa glukosa diberikan malam hari pada tikus puasa pada menit ke-0, dan contoh darah dilukiskan pada menit ke-0,15 dan 45. Kelompok kontrol hanya diberikan 2 ml larutan glukosa. Efek kadar glukosa darah ketika ekstrak diberikan 45 menit sebelum beban glukosa Ekstrak diberikan semalam pada tikus puasa pada menit ke-0 dan beban glukosa diberikan pada menit ke 45. Kadar glukosa darah digambarkan pada menit ke-45, 60 dan 90. Untuk standardisasi kurva toleransi glukosa oral pada penelitian binatang percobaan, ditemukan bahwa beban glukosa 2,5 g/kgBB menghasilkan level glukosa darah tertinggi. Periode waktu dan beban glukosa yang disebutkan diatas dipilih untuk mengamati efek dari ekstrak pada tingkat glukosa darah pada tikus yang diberi gula. Sampel darah dikumpulkan dengan cara memotong ekor binatang percobaan dengan anastesi ringan. Serum dipisahkan dengan cara sentrifuse dan kadar glukosa dalam serum diamati pada hari yang sama dengan metoda GOD-PAP dengan cara mengukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer (DU-70, Beckman) pada panjang gelombang 510 nm. Kurva standar untuk glukosa digambarkan paralel untuk setiap eksperimen dan nilai glukosa darah dihitung dari hasil tersebut. 7 3.2.2 Metode Uji Diabetes Streptozotosin II 3.2.2.1 Prinsip Metode Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang diberi suntikan streptozotosin secara intraperitoneal. Untuk menstimulasi digunakan dosis 60 mg/kgBB, dengan binatang percobaan mencit betina Webstar (180-200 g). Ada dua aktivitas yaitu aktivitas pada binatang dengan glukosa normal dan aktivitas antidiabetik. 3.2.2.2 Aktivitas I: aktivitas pada binatang dengan glukosa normal Pada aktivitas ini ada 4 metode diantaranya adalah: Metode glucose oksidase oksigen Metode ini digunakan untuk mendeterminasi kadar glukosa. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX, residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), diet standar (Panlab A.04) dengan komposisi protein 17,0%, lipida 3,0%, karbohidrat 58,7%, selulosa 4,3%, mineral 5%, moisture 12% dengan nilai 2900 kal/kg). disamping itu juga digunakan sodium pentobarbiton (20 mg/kgBB), glibenklamid, air suling dan alat yang digunakan berupa oesophageal catheter. Prosedurnya adalah sebagai berikut: Binatang yang telah dipuasakan semalam (diet standar Panlab A.04), diberikan dekoktum Juniper dengan dosis yang berbeda (volume 2 ml) dengan menggunakan ‘oesophageal catheter’. Kemudian dianestesi dengan sodium pentobarbiton (20 mg/kgBB). Sampel darah dikumpulkan dari jagular vein (urat merih), segera setelah dianestesi (90-150 menit kemudian). Sebagai kontrol binatang percobaan diberikan air suling, dan glibenklamid (3 mg/kgBB) digunakan sebagai referensi. Metode glucose oksidase oksigen (dibentuk dari Beckman Glucose Analizer II) digunakan untuk determinasi kadar glukosa, dengan satuan mg/dl. Metode perfusi usus Metode perfusi usus digunakan untuk meneliti efek dekoktum pada absorbsi glukosa pada usus tikus yang telah dipuasakan. Bahan dan alat yang digunakan berupa sediaan uji dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX, residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), sodium pentobarbital (20 mg/kg), larutan perfusi terdiri dari (g/l): 7,37 NaCl, 0,20 KCl, 0,065 NaH2PO4.6H2O, 1,02 CaCl2, 0,6 NaHCO3, dan 54,0 glukosa pada pH 7,5. Alat yang 8 digunakan adalah jarum dan alat suntik, termometer dan stop watch. Prosedurnya adalah sebagai berikut: Tikus dipuasakan selama 36 jam dan dianestesi dengan sodium pentobarbital (20 mg/kg). dekoktum ditambahkan pada larutan perfusi untuk mendapatkan konsentrasi 5 mg/ml. jadi sejumlah ekstrak Juniper pada perfusi usus setara dengan dosis 250 mg/kg. sistem diatur pada temperature konstan yaitu 37oC, dan angka perfusi adalah 0,5 ml/menit. Waktu perfusi adalah 30 menit. Hasil dinyatakan sebagai presentase dari absorbsi glukosa, dihitung dari jumlah glukosa dalam larutan sebelum dan sesudah perfusi. Metode sediaan diafragma tikus Metode sediaan diafragma tikus digunakan untuk meneliti pemakaian glukosa periferal. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FE IX, residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), larutan nutrisi disiapkan dengan formula; 125 ml 1,3% NaHCO3, diisi selama 3 menit dengan karbogen, kemudian ditambahkan 750 ml larutan salin. Larutan salin terdiri dari (g/l): 9,50 NaCl, 0,40 KCl, 0,30 CaCl2, 0,35 NaHCO3, 0,35 MgSO4.7H2O dan 0,20 KH2PO4. Ditambahkan glukosa untuk memperoleh konsentrasi akhir 300 mg/dl dan alat yang digunakan adalah inkubator. Prosedurnya adalah sebagai berikut: Sediaan diafragma yang dibuat dari tikus yang dipuasakan selama 36 jam untuk dibunuh. Diafragma dibagi menjadi 2 bagian, kemudian diinkubasi menurut teknik VallanceOwen pada suhu 37oC, dengan oksigenasi konstan selama 90 menit, dan dikocok 90 kali permenit. Diisi selama 3 menit dengan karbogen, kemudian ditambahkan 750 ml larutan salin. Larutan yang dihasilkan dibiarkan selama 10 menit, dan segera digunakan. Hasil dinyatakan sebagai pemberian glukosa per 10 mg diafragma kering (dengan cara mengurangi konsentrasi glukosa sesudah dan sebelum inkubasi). Berat kering ditentukan sesudah pengeringan bahan pada suhu 105oC selama 120 menit. Angka absolut yang diperoleh digunakan untuk menghitung penambahan persentase pemberian glukosa ketika hemidiafragma diinkubasi (ada atau tidaknya kontrol) dengan penambahan (10, 10, 10 mg/ml) dekoktum. Metode kolagenase (Wortington, 169U/mg) Metode kolagenase digunakan untuk meneliti aksi pankreatik. Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v, menurut FI IX, residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), larutan buffer bikarbonat Krebs-Hanseleit yang dimodifikasi yang berisi 9 2,7 mmol/l glukosa (basal), suplemen dengan 0,5% bovin albumin dan keseimbangan suatu cairan yang terdiri dari suatu cairan yang terdiri dari 95% O2 dan 5% CO2. Alat yang digunakan adalah inkubator, dan radioimmunoassay (RIA). Prosedurnya adalah sebagai berikut. Pancreatic islets diisolasi dengan menggunakan metode kolagenase (Wortington, 169 U/mg), dan diinkubasi seperti diterangkan sebelumnya. Media yang digunakan untuk inkubasi adalah buffer bikarbonat Krebs-Hanseleit yang dimodifikasi yang berisi 2,7 mmol/l glukosa (basal), suplemen dengan 0,5% bovin albumin dan keseimbangan suatu cairan yang terdiri dari 95% O2 dan 5% CO2. Pelepasan insulin ditentukan dengan radioimmunoassay sebelum dan sesudah inkubasi dari islets dengan bertambahnya konsentrasi dekoktum (0,2, 0,4, dan 0,8 mg/ml), dan hasil dinyatakan dalam ng/ml. 3.2.2.3 Aktivitas II: aktivitas antidiabetik Pada aktivitas ini ada dua metode yaitu: Metode uji streptozotosin Metode ini untuk meneliti aktivitas antidiabetik. Bahan dan alat yang digunakan sediaan uji berupa dekoktum (serbuk obat 10% b/v menurut FE IX, residu kering 2,75 ± 0,01 g/100 ml), streptozotosin, larutan buffer sitrat (0,05 M sodium sitrat pada pH 4,5), glibenklamid dan air suling dengan alat jarum dan alat suntik. Prosedurnya adalah sebagai berikut: Binatang percobaan dengan diabetes diperoleh dengan pemberian streptozotosin (60 mg/kg) secara intraperitoneal, yang sebelumnya dilarutkan dalam buffer sitrat (0,05 M sodium sitrat pada pH 4,5). Binatang-binatang ini dipertahankan dibawah pengawasan selama 48 jam, periode waktu dialokasikan untuk binatang menerima keadaan diabetik, dan kemudian diberikan dokoktum Juniper secara per oral (1,25 mg total/kg) sehari selama 24 hari. Dua kelompok yang lain, yaitu kelompok kontrol dan standar masing-masing diberi air suling dan glibenklamid (1 mg/kg). Berat tikus diukur 3 kali seminggu. Tikus-tikus dipuasakan semalam dan dibunuh pada hari ke 24 dari perlakuan dan pankreas diekstraksi, dan ditimbang untuk menentukan isi insulin. Sampel darah dipakai untuk level glikemik. Metode isi insulin pancreas Metode isi insulin pankreas ditentukan seperti sebelumnya (metode uji streptozotosin). Pancreas dihomogenkan dalam Potter-Evelhjeim glass dengan 10 ml larutan segar dengan 75 10 ml etanol, 1,5 ml 12 N HCl, dan 23,5 ml air suling. Untuk menghomogenkan dikocok sebanyak 72 kali permenit, selama 16 jam pada 4oC, kemudian disentrifuse pada 500 g selama 30 menit. Supernatant yang diperoleh ini disimpan pada suhu -20oC, sampai insulin level ini ditentukan dengan radioimmunoassay. Kandungan insulin dinyatakan dalam nanogram insulin permiligram jaringan pankreas. 3.2.3 Metode Uji Aloksan 3.2.3.1 Prinsip Metode Induksi diabetes dilakukan pada hewan percobaan yang dengan diberikan suntikan aloksan monohidrat secara sub kutan. Binatang percobaan tikus jantan albino dengan berat 130-150 gram. Pemberian obat antidiabetik secara oral dapat menurunkan kadar glukosa darah dibandingakan terhadap hewan percobaan positif diabet (kontrol positif). 3.2.3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan adalah sediaan uji berupa bagian ekstrak tumbuhan berkhasiat (250 mg/kg), dengan dosis terkecil 200 mg/kg, Aloksan monohidrat, glibenklamid, insulin, dan normal salin. Alat yang digunakan adalah jarum dan alat suntik. 3.2.3.3 Prosedur Tikus jantan albino diinduksi dengan aloksan monohidrat secara subkutan. Setelah 2 minggu, tikus-tikus dengan kadar gula darah puasa antara 200-250 mg/100 ml dipilih dan dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok berisi 6 ekor. Berat badan dan intensitas gula dalam urin (glycosuria) dan kadar gula darah puasa ditentukan sebelum eksperimen. Pengaruh dosis tunggal secara peroral ekstrak (250 mg/kg) dan perlakuan jangka panjang dengan dosis yang lebih kecil (200 mg/kg) yang diteliti dibandingakan dengan pengaruh dosis standar glibenklamid dan insulin (40 units/ml). Darah dikumpulkan dari vena mata dari tikus untuk perkiraan glukosa dan dari ekor tikus untuk serum insulin. Kelompok I, sebagai kontrol hanya diberikan normal salin. Kelompok II, diberi ekstrak yang dilarutkan dalam normal salin (250 mg/kgBB). Kelompok III, diberi glibenklamid yang dilarutkan kedalam normal salin (2 mg/kgBB). Dan sebagai kelompok IV, diinjeksikan dengan insulin secara subkutan (5 unit/kgBB). Gula darah ditentukan setelah 4 jam. Serum insulin ditentukan pada kelompok yang lain setelah waktu 4 jam. Setelah satu minggu, dilakukan tes toleransi glukosa setelah pemberian obat. Waktu 1,5 jam diperbolehkan untuk absorbsi obat dan kemudian pemberian 11 glukosa secara peroral (3 g/kgBB) dalam larurutan diberikan kepada masing-masing kelompok. Selanjutnya glukosa darah ditentukan dengan interval waktu 30 menit untuk 2,5 jam. Tes selanjutnya diberikan obat yang diuji yaitu ekstrak (200 mg/kgBB/hari), glibenklamid (200 mg/kgBB/hari) dan insulin (5 unit/kgBB/hari) untuk 45 hari. Pada hari terakhir perlakuan berat badan, kadar glukosa darah puasa, glukosa urin, dan tes toleransi glukosa dianalisa seperti sebelumnya. Kurva toleransi glukosa digambarkan untuk tiap-tiap kelompok. 12 BAB 4 BUAH PARE Momordica charantia L (Cucurbitaceae) 4.1 SIMPLISIA YANG DIGUNAKAN Tanaman, buah dan biji. 4.2 TANAMAN ASAL DAN FAMILI Sistematika tumbuhan pare adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Bangsa : Cucurbitales Suku : Cucurbitaceae Marga : Momordica Jenis : Momordica charantia L. Violales 4.3 CIRI KHAS DAN PENYEBARANNYA Pare adalah sejenis tanaman merambat dengan buah yang panjang dan runcing pada ujungnya serta bergerigi. Pare tumbuh baik di dataran rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, dibudidayakan, atau ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar. Tanaman ini tumbuh merambat atau memanjat dengan sulur berbentuk spiral, banyak bercabang, berbau tidak enak serta batangnya berusuk. Daun tunggal, bertangkai dan letaknya berseling, berbentuk bulat panjang, dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 4 cm, terbagi menjadi 5-7, pangkalnya berbentuk jantung, serta warnanya hijau tua. Bunga merupakan bunga tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon, bertangkai panjang, mahkotanya berwarna kuning. Buahnya bulat memanjang, dengan 8-10 rusukmemanjang, berbintil-bintil tidak beraturan, panjangnya 8-30 cm, rasanya pahit, warnanya hijau, bila masak menjadi warna jingga yang terbagi tiga. 13 Beberapa jenis pare yang ada dan sering dibudidayakan antara lain adalah pare gajih, pare hijau, pare import dan pare belut. Pare gajih merupakan pare yang palling banyak dibudidayakan dan paling disukai. Pare gajih biasa disebut pare putih atau pare mentega. Pare hijau lonjong, kecil dan berwarna hijau dengan bintil-bintil agak halus. Rasanya pahit dan daging buahnya tipis. Pare hijau ini mudah sekali pemeliharaannya, tanpa lanjaran atau parapara tanaman pare hijau ini dapat tumbuh dengan baik. Pare belut, pare ini memang kurang popular, bentuknya memanjang seperti belut panjangnya antara 30-110 cm dan diameternya 4-8 cm. (Santoso, 1996) 4.4 DESKRIPSI TUMBUHAN Perawakan: semak, tumbuhan annual-perennial, liana (menjalar atau memanjat), berbau tidak enak. Batang: berusuk 5, panjang 2-5 m, yang muda berambut cukup rapat. Daun: tunggal, bertangkat, helaian; bentuk membulat, dengan pangkal berbentuk jantung, garis tengah 4-7 cm, tepi berbagi 5-9 lobus, berbintik-bintik tembus cahaya, taju bergigi kasar hingga berlekuk menyirip, mimiliki salur daun tunggal. Bunga: tunggal, tangkai bung 5-15 cm dekat pangkalnya dengan daun pelindung bentuk jantung hingga bentuk ginjal. Kelopak: 5, bentuk lonceng, dengan banyak rusuk atau tulang membujur, yang berakhir pada 2-3 sisik yang melengkung ke bawah. Mahkota: 5, berlekatan, penampang bentuk roda; taju berbentuk memanjang hingga bulat telur terbalik, bertulang 1,5-2 kali 1-1,3 cm. Bunga jantan: benang sari 3, kepala sari orange, semula bergandengan satu dengan yang lainnya, kemudian lepas; ruang sari bentuk S. Bunga betina: staminodian 3, berbentuk sisik; bakal buak berparuh panjang, berduri temple halus dan berambut panjang; putik 3, berlekuk 2 dalam atau satu diantaranga utuh. Buah: tipe peppo (ketimun) memanjang, berjerawat tidak beraturan, orange, pecah sama sekali dengan 3 katup, 5-7 cm (liar) hingga 30 cm (ditanam). Biji: ciklat kekuningan pucat memanjang. 4.5 PENYEBARAN Tanaman Momordica charantia L. banyak terdapat di daerah tropis, baik liar ataupun sengaja ditanam. Sering dijumpai pada halaman rumah, kebun-kebun dan pagar. 4.6 IDENTIFIKASI Ekstrak metanol buah pare yang mengandung senyawa triterpen bereaksi positif dengan pereaksi Lieberman-Buchard, vanillin-asam sulfat,, anisaldehid-asam sulfat dan salkowski. 14 4.7 CARA PENGUMPULAN Tanaman ini tumbuh pada ketinggian sampai 1500 m diatas laut. Lubang disusun pada jarak setengah meter. Bibit disiram setiap dua kali seminggu. Tanaman mulai berbunga 30-35 hari setelah tanaman penanaman dan buah siap untuk dipanen15-20 hari setelah tanaman berbunga. Untuk meningkatkan kualitas buah Momordica charantia L. dapat digunakan zat pengatur tumbuh yaitu IAA atau NAA 10 dan 20 ppm. Larutan kombinasi NAA dengan GA berkonsentrasi 50 ppm mendukung pembentukan dan perkembangan buah pare. Perlakuan radiasi pada biji pare menghambat perkecambahan, semakin tinggi dosis radiasi semakin menghambat perkecambahan, dosis yang paling optimal adalah 15 krad dimana banyaknya cabang, diameter sel trakea batang, luas daun, jumlah dan luas stoma, serta berat buah menunjukkan peningkatan yang paling baik. 4.8 KANDUNGAN KIMIA Buah pare mengandung senyawa-senyawa seperti momorkarin, momordenol, momordisilin, momordisin, momordisinin, momordin, momordolol, karantin, Karin, kriptoxantin, diosgenin, asam elaeostearat, astradiol, asam galakturonat, asam gensitik, goyaglikosida dan goyasaponin, asam kafeat dan asam ferulat, fisetin dan isoramnetin,3b,25-dihidroksi-7bmetoksicucurbita-5,23(E)-diena-3b-hidroksi-7,25-dimetoksicicirbita-5,23(E)-diena dan 3-Ob-D-allopiranosil-7b,25-dihidroksicucurbita-5,23(E)-dien-19-al (Shu Jing Wu, 2007) Daun, buah dan akar mengandung zat pahit (tipe kukurbitasin suatu triterpen tetrasiklik) kukurbitasin A, B, C, D, E, I, saponin. Buah mengandung saponin,, alkaloid (sedikit), asam amino bebas, 5-hidroksitriptamin, momordisin, momordikosid F-1,F-2,G,I asam oksalat, asam oleat, pectin, polipeptida P, asam stearat, stigmasterol, rubixantin. Biji mengandung kukurbitin, suatu asam amino dan terdapat pula dalam bentuk ikatan (-)-3amino-3-karboksipirolidin. Biji pada umumnya mengandung 20-40% protein dan 30-50% minyak lemak dengan komponen utama asam oleat, asam linoleat (70-90%), zat pahit (momordikosin A, B, C, D, E, K, I), saponin, visin. Dari buah jenis lain Cucurbita texana ditemukan zat pahit kukurbitasin E (E adalah Elaterin). Ekstrak metanol dan fraksi etil asetat buah pare mengandung triterpen. Perasan daun pare menunjukkan adanya senyawa alkaloid, turunan fenol dan saponin. 15 H2N O OH N H Kukurbitin O H3C OH O CH3 CH3 R2 CH3 R1 HO Kukurbitasin OH H3C CH3 O CH3 R1 R2 A -COCH3 -CH2OH B -COCH3 -CH3 C -CH2OH -CH3 D -H -CH3 E -H -COCH3 I -H -H KEGUNAAN Buah dimanfaatkan untuk peluruh dahak atau obat batuk, pembersih darah, penambah nafsu makan, penurun panas, penyegar badan, dan mengobati sakit gula. Bunga dapat memacu enzim penernaan. Daun digunakan sebagai obat cacing, obat luka, peluruh haid, pencahar, dan penurun panas. Tanaman sering digunakan untuk membunuh serangga. Akar dan ekstrak daun pare dapat menunjukkan aktivitas antibiotic, sedangkan di Haiti digunakan sebagai insektisida. Ekstrak daun dan perasan buah pare mempunyai khasiat antelmintika terhadap cacing Ascaridia galli dan cacing tambang anjing. Ekstrak metanol buah pare memiliki daya hambat terhadap bakteri S.aureus dan E.coli, dan bersifat toksik teerhadap larva Artemia salina Leach dengan LC50 536,80 g/ml. Perlakuan ekstrak buah pare berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik pada mencit, menurunkan kadar testosterone darah mencic jantan dan menghambat spermatogenesis tikus putih. Pemberian sari buah pare peroral selama 35 hari dapat menurunkan jumlah spermatozoa dalam lumen testis dan vas deveren serta meningkatkan berat testis, tapi akan pulih kembali jika pemberiannya dihentikan. Perasan buah pare dapat menurunkan jumlah anak dan menghambat pertumbuhan folikel primer, sekunder, tersier, dan folikel degraf serta menghambat pembentukan corpus luteum namun dapat memacu peertumbuhan folikel atresis. Ekstrak buah pare dapat menghambat spermatogenesis dan fraksi etil asetat buah pare memiliki daya analgesic. 16 Fraksi kloroform dan air buah pare yang mengandung glikosida triterpen pada uji antifertilitas dapat menurunkan motilitas, daya tahan hidup, dan konsentrasi serta menyebabkan abnormalitas spermatozoon epididimis tikus. Infusa daun pare selama 30 hari mempunyai efek memacu pertumbuhan ayam dengan mempengaruhi nafsu makan dan minum. Rebusan biji pare menyebabkan penurunan harga LDDK dari UTGO. Air perasan buah pare 1 ml peroral cenderung dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih yang diberikan aloksan 200 mg/kg BB tapi tidak menyebabkan perubahan histopatologik pada pulau Langerhans. Uji klinik yang telah dilakukan adalah dengan pemberian ekstrak dari perasan buah pare dengan dosis 3x3 g sehari selama 4 minggu kemungkinan mempunyai manfaat pada pengobatan diabetes mellitus tipe noninsulin-dependent. Namun pada pemberian dosis tunggal kapsul pare setara dengan 1,2 kg buah segar ternyata tidak memperlihatkan perbaikan toleransi glukosa pada penderita diabetes militus tipe noninsulin-dependent. 17 BAB 5 PENGUJIAN DIABETES MELITUS 5.1 UJI PREKLINIK Pada tahun 1993, Sankaranarayanan beserta rekannya melakukan uji terhadap ekstrak etanol 95% dan ekstrak air buah pare kepada tikus betina, dengan pemberian secara intragastric sebanyak 250,0 mg/kgBB. Metode yang digunakan adalah tikus yang diinduksi dengan streptozotosin. Diperoleh kesimpulan bahwa adanya penurunan kadar gula dalam plasma. (Sankaranarayanan, J., et al., 1993) Kemudian pada tahun 2002 di India, Rathi melakukan percobaan uji manfaat buah pare terhadap tikus dan kelinci yang diberikan ekstrak air buah pare. Dengan dosis 200,0 mg/kgBB. Pada percobaan pertama tikus dibuat hiperglikemi dengan cara diinduksi menggunakan streptozotosin. Terjadi penurunan kadar glukosa dalam plasma sebanyak 15,37% (pada hari ke-40), 18,68% (pada hari ke-50) dan 22,86% (pada hari ke-60). Percobaan selanjutnya dilakukan terhadap kelinci yang dibuat hiperglikemi dengan menginduksi aloksan kepada kelinci tersebut. Terjadi penurunan kadar glukosa dalam plasma sebanyak 64,33% (pada bulan pertama), 66,96% (pada bulan kedua), 69,7% (pada bulan ketiga), dan 70,53% (pada bulan keempat). (Rathi, S.S., et al., 2002). Sebelumnya pada tahun 2001, Miurat dan rekannya melakukan studi terhadap mekanisme molekuler yang berfokus pada protein transporter GLUT4. Studi ini dilakukan pada tikus jantan yang diberikan ekstrak air buah pare sebanyak 100,0 mg/kgBB. Menunjukkan adanya peningkatan jumlah ekspresi protein transporter GLUT4 dengan p<0,01. (Miutrat, T., et al., 2001) 5.2 UJI KLINIK Srivastava dan koleganya pada tahun 1993, melakukan uji klinik terhadap 433 pasien yang mengalami diabetes. Berusia antara 42-70 tahun. Pasien yang diberikan ekstrak air dengan kadar 1 gram, gula darahnya dihitung pada minggu ke 2, 3, 4 dan 7 percobaan. Dan menghasilkan penurunan deposit gula darah sebanyak 54%. Dilakukan dengan Metode Uji Aloksan. (Srivastava, Y., et al., 1993) 18 DAFTAR ACUAN Corwin, E.J. (2001). Patofisiologi. EGC: Jakarta. 542-556. Gunawan, D., et al. (2001). Tumbuhan Obat 2: Hasil Penelitian, Sifat-Sifat dan Penggunaan. PPOT UGM: Yogyakarta. Hal.119-123. Jaspreet, V.S., Sivakami, S., Shahanib, A.C., Sutharc, M.M., Banavalikar, M.K., Biyanic. (2003). Antihyperglycemic effets of three extracts from Momordica charantia. J Ethnopharmacol 88(1):107-11. Katno dan Pramono, S. (n.d.). Tingkat manfaat dan kemanan tanaman obat dan obat tradisional. Khan, B.B., dan Fliers, J.S. (2000). Obesity and insulin resistance. J Clin Investig 106:473-481. Kumar, D.S., et al. (2010). A medical potency of Momordica charantia. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. Vol.01/18. Hal.95-100. Lotikar, M.M. dan Rajarama, R.M.R. (1966). Pharmacology of a hypoglycemic principle isolated from the fruits of Momordica charantia Linn. Indian J Pharm 28:29 Rathi, S.S., Grover, J.K., Vats, V. (2002). The effect of Momordica charantia and mucuna pruriens in experimental diabetes and their effect on key metabolic enzymes involved in carbohydrate metabolism. Phytoter Res 16(3):236-243. Sankaranarayanan, J., dan Jolly, C.I. (1993). Phytochemical, antibacterial and pharmacological investigation on Momordica charantia linn. Embilical officinalis gaertn and Curcuma longa linn. Indian J Pharm Sci 55(1):6-13. Shetty, A.K., Kumar, G.S., Sambaian, K., dan Salimath, P.V. (2005). Effect of bitter (Momordica charantia) on glycemic status in streptozotocin induced diabetic rats. Plant Foods Hum Nutr 60(3):109-12. Srivastava, Y., Venkatakrishna-Bhatt, H., Verma, Y., Venkaiah, K. (1993). Antidiabetic and adaptogenic properties of Momordica charantia extract: an experimental and clinical evaluation. Phytoters Res 7(4):285-289. Suharmiati. (2003). Pengujian bioaktivitas anti diabetes mellitus tumbuhan obat. Cermin Dunia Kedokteran, No.14:140-146. Taylor, L. (2002). Technical Data Report for Bitter Melon (Momordica charantia). Herbal Secreta of the Rainforest edisi 2. Virdi, J., Sivakami, S., Shahani, S., Suthar, A.C., Banavalikar, M.M., Biyani, M.K. (2003). Antihyperglycemic effect of three extracts from Momordica charanntia. J Ethnopharmacol 88(1):107-11. 19