BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG DAN MASALAH Dalam tradisi religius Hindu dikatakan bahwa penggubah teks-teks suci yang paling terkenal adalah Kṛṣṇa Dvaīpayana Vyāsa. Menurut tradisi Hindu, Kṛṣṇa Dvaīpayana Vyāsa dianggap sebagai tokoh yang menata Veda menjadi empat teks. Vyāsa juga sebagai penggubah Mahābhārata, beberapa pūraṇa serta karya-karya lainnya (Widyaseputra, 1996: 11). Vyāsa (Byāsa, Abhīyasa) sendiri oleh Sukthankar kerapkali dinyatakan sebagai seorang tokoh mistis, karena keberadaannya tidak dimungkinkan pembuktiannya secara fisik kecuali dalam mite dan legenda sebagaimana tersimpan di dalam Mahābhārata (Widyaseputra, 1996: 12-13). Menurut Van Buitenen, sejumlah besar teks yang dikaitkan dengan Vyāsa oleh para sarjana modern dianggap sebagai hasil-hasil sumbangan dari para penulis selama dalam perjalanan waktu, dan kepengarangan Vyāsa dianggap ''simbolik'' (Van Buitenen dalam Widyaseputra, 1996: 13). Penggubahan Vyāsa atas Mahābhārata dianggap sebagai hasil penglihatan istimewa Ṛṣī itu. Ṛṣī Vyāsa itu menguasai berbagai macam pengetahuan tentang dharma, artha dan kāma beserta aturan yang muncul dari adat kebiasaan mengenai urusan keduniawian (Sullivan dalam Widyaseputra, 1996: 15). Penggambaran Vyāsa dalam Mahābhārata sebagai seorang Ṛṣī yang memiliki kemampuan penglihatan istimewa yang dinamakan dīvyacakṣus atau dīvyadṛṣtī 'mata Ilahi' adalah satu faktor dalam 1 hal waktu yang hadir pada alur viracārita itu (Belsarkar dalam Widyaseputra, 1996: 15). Dengan dīvyacakṣus-nya, Vyāsa 'melihat' banyak peristiwa di luar kehadirannya yang tiba-tiba yang melibatkan dinasti Bharata. Keistimewaan Vyāsa yang memiliki 'mata Ilahi' serta kemampuannya yang luar biasa di dalam menembus batas pandangan terhadap berbagai peristiwa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, dapatlah dipahami apabila kita mencermati sejarah kelahiran Vyāsa yang istimewa sebagaimana dikemukakan di dalam Mahābhārata. Dalam Mahābhārata diterangkan bahwa Bhagawān Byāsa (Vyāsa) adalah putra Bhagawān Parāsara, cucu Bhagawān Ҫakri, cicit Bhagawān Wasiṣṭha. Ibunya adalah Sang Durgandhinī atau Sayojānagandhi, putri Daҫabala. Ia diberi nama Durgandhinī karena baunya seperti bau ikan (īnaran ta Sang Durgandhinī, apan kadi gandha ring iwak lwah ambö nira). Setelah bau busuk badannya disembuhkan oleh Bhagawān Parāsara, maka Durgandhinī diberi nama Sayojānagandhi, karena bau wanginya tercium sampai seratus yojāna jauhnya (kahambö satus yojāna wangi nira dohnya). Dikemukakan di dalam Ādiparwa (bagian pertama dari Mahābhārata), bahwa Byāsa begitu lahir begitu menjadi dewasa dengan segala perbuatan yang dapat dikerjakan oleh dirinya, yaitu merapalkan Veda (manguccāraṇa Veda mantra). Ia lahir dari muka, maka diberi nama Byāsa dan karena dilahirkan di sebuah pulau, maka ia diberi nama pula Dvaīpayana (mijil sangkeng muka sira, matang yan sang Byāsa ngaran nira. Dvipe samstaḥ swayam balam. Ring dvipa pwa sīrān wijil, ya ta Sang Dvaīpayana ngaran ira) (Juynboll, 1906: 62-63; Widyatmanta, 1968: 86-87). 2 Di dalam mitologinya, Mahābhārata dicipta melalui proses pertumbuhan selama 800 tahun, yaitu dari tahun 400 sebelum Masehi sampai dengan tahun 400 sesudah Masehi. Baik Mahābhārata maupun Rāmāyaṇa termasuk Ithihāsa, kitab suci Veda yang kelima, melengkapi kitab suci Catur Veda Samhīta, yaitu Ṛgveda, Sāmaveda, Yayurveda, dan Atharwaveda (Patmapuspita, 1979: 1-2). J.L. Fitzgerald berkeyakinan bahwa sangat mungkin teks Mahābhārata Sanskerta disarikan dari tradisi oral yang improvisasional. Akibatnya terjadi berbagai macam versi Mahābhārata yang ditulis dengan berbagai macam huruf di India, seperti: Devanāgarī, Sāradā, Nepālī, Maithīli, Bengalī, Telugu, Grantha, Malayalām yang menurut Fitzgerald versi tunggal Mahābhārata yang dibakukan, telah menjadi dasar seluruh tradisi manuskrip (Fitzgerald dalam Widyaseputra, 1996: 9). Di dalam kesastraan dunia, Mahābhārata adalah karya terbesar yang diketahui oleh umat manusia. Sebagai perbandingan, Mahābhārata mempunyai besar delapan kali lipat karya Homerus: Illiad dan Odyssev yang digabung menjadi satu (Dandekar dalam Widyaseputra, 1996: 19). Menurut informasi yang ada dalam Mahābhārata Sanskerta, bahwa Vyāsa menggubah Mahābhārata yang terdiri atas 6 juta ҫloka. Dari 6 juta ҫloka ini, 3 juta ҫloka ditembangkan di antara para deva; 1,5 juta ҫloka ditembangkan di antara para pitara; dan 1,4 juta ҫloka ditembangkan di antara para gandharwa, sedangkan sisanya sebanyak 100.000 ҫloka diturunkan ke dunia untuk umat manusia (Widyaseputra, 1996: 19-20). Di dalam teks Mahābhārata Jawa Kuna, sebagai hasil transformasi teks Mahābhārata Sanskerta juga dijelaskan 3 mengenai jumlah masing-masing ҫloka di dalam masing-masing parwa dalam Mahābhārata. Akan tetapi jumlah masing-masing ҫloka di dalam Mahābhārata tersebut tidak tepat sama dengan jumlah masing-masing ҫloka di dalam parwa-parwa Mahābhārata Sanskerta. Di dalam Ādiparwa jumlah masing-masing ҫloka tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ādiparwa berisi 8.884 ҫloka, terdiri atas 818 bab (wwalung iwu wwalung ātus wwalung puluh papat, kunang kweh ning adhyāyanya wwalung ātus lawan wwalu wělas), 2. Sabhāparwa berisi 2.511 ҫloka, terdiri atas 72 bab (rwang iwu limang ātus lawan sawělas sīkī, kweh ning adhyāyanya pitung puluh rwa), 3. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa) berisi 1.001.224 ҫloka, terdiri atas 272 bab (sāyuta sewu rwang ātus rwang puluh papat, adhyāyanya rwang ātus pitung puluh rwa), 4. Wirāṭaparwa berisi 2.015 ҫloka (rwang iwu lawan lima wělas), 5. Udyogaparwa berisi 6.928 ҫloka terdiri atas 186 bab (nmang iwu sangang ātus rwang puluh wwalung widji, adhyāyanya sātus wolung puluh něm), 6. Bhīsmaparwa berisi 5.884 ҫloka terdiri atas 117 bab (limang ātus iwu wwalung ātus wwalung puluh pāt, adhyāyanya sātus pitu wělas sīkī), 7. Droṇaparwa berisi 8.984 ҫloka terdiri atas 170 bab (wwalung iwu sangang ātus wwalung puluh pat, adhyāyanya sātus pitung puluh), 8. Karṇaparwa berisi 970 ҫloka terdiri atas 69 bab (sangang ātus pitung puluh, adhyāyanya nmwang puluh sanga), 4 9. Ҫalyaparwa berisi 3.220 ҫloka terdiri atas 121 bab (tigang iwu rwang ātus rwang puluh, adhyāyanya sātus rwang puluh tunggal), 10. Sauptikaparwa berisi 870 ҫloka terdiri atas 18 bab (wwalung ātus pitung puluh, adhyāyanya wwalu wělas), 11. Strīpralāpaparwa berisi 770 ҫloka terdiri atas 70 bab (pitung ātus pitung puluh, adhyāyanya pitung puluh), 12. Ҫāntīkaparwa berisi 1.007.525 ҫloka terdiri atas 333 bab (sāyuta pitung iwu limang ātus lima likur, adhyāyanya tělung ātus tělung puluh tělu), 13. Aҫwamedhaparwa berisi 4.420 ҫloka terdiri atas 133 bab (patang iwu patang ātus rwang puluh, adhyāyanya sātus tigang puluh tělu), 14. Aҫramawāsāparwa berisi 1.508 ҫloka terdiri atas 92 bab (sewu limang atus wwalung sīkī, adhyāyanya sangang puluh rwa), 15. Mosalaparwa berisi 300 ҫloka terdiri atas 8 bab (tigang ātus, adhyāyanya wwalung sīkī), 16. Prasthānīkaparwa berisi 123 ҫloka (sātus rwang pulung tigang sīkī), 17. Swargārohaṇaparwa berisi 200 ҫloka (rwang ātus) (Juynboll, 1906: 4-6; Siman Widyatmanto, 1968: 6-9; Padija, 1973: 45-46). Dengan demikian jumlah ҫloka di dalam Mahābhārata (Jawa Kuna) adalah 2.056.336 (dua juta lima puluh enam ribu tiga ratus tiga puluh enam) dan terdiri dari 2.309 bab (dua ribu tiga ratus sembilan). Namun di sini tidak dijelaskan berapa jumlah ҫloka Gadāparwa yang di dalam kontruksi (urutan) teks di dalam Mahābhārata menempati urutan kesepuluh. 5 Telah dikemukakan di atas bahwa Mahābhārata yang dikenali sampai saat ini terdiri atas 100.000 ҫloka. Dalam kenyataannya terbukti bahwa angka itu menunjukkan tingkat perkembangan teks vīracārita Mahābhārata itu. Secara kronologis dapat dikatakan bahwa Mahābhārata mempunyai 3 fase perkembangan teksnya, yaitu: 1. Pada tataran pertama, teks vīracārita disebut dengan nama: Jaya, yang mempunyai jumlah bait sebanyak 8.000 ҫloka. 2. Pada tataran kedua, teks vīracārita itu disebut dengan nama: Bhārata, yang mempunyai jumlah bait sebanyak 24.000 ҫloka. 3. Pada tataran ketiga, teks vīracārita itu disebut dengan nama: Mahābhārata, yang mempunyai jumlah bait sebanyak 100.000 ҫloka. (Lal dalam Widyaseputra, 1996: 20-21). Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa ketiga tataran itu menunjukkan evolusi teks Mahābhārata. Mahābhārata digubah ke dalam suatu kitab oleh Bhagawān Byāsa (Vyāsa). Pada waktu wafatnya Sang Dhṛṣtārāstra, Wīdura dan Sañjaya di pertapaan (ya tika īnīkět ring ҫāstra de Bhagawān Byāsa. Kāla nīrān gumawayakěn parwa, ri pāti Sang Dhṛṣtārāstra, Wīdura, Sañjaya ring patapan). Kitab tersebut dinamakan Mahābhārata karena berisikan peperangan antara Korawa melawan Pāṇḍawa dan penyusunannya dalam waktu 3 (tiga) tahun (ngaran īkang ҫāstra, Mahābhārata upākyāna ngaran īkā, ikang aji, pinaka padārtha paprang sang Korawa Pāṇḍawa, lawas nira 6 magawe ҫāstra tělung tahun) (Juynboll, 1906: 4-6; Siman Widyatmanto, 1968: 6). Mahābhārata disebut juga Aṣṭhadasaparwa karena di dalamnya memuat 18 parwa yang meliputi: 1. Ādiparwa, 2. Sabhāparwa, 3. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa), 4. Wirāṭaparwa, 5. Udyogaparwa, 6. Bhīsmaparwa, 7. Droṇaparwa, 8. Karṇaparwa, 9. Ҫalyaparwa, 10. Gadāparwa, 13. Ҫāntīkaparwa, 11. 14. Sauptikaparwa, 12. Strīpralāpaparwa, Aҫwamedhaparwa, 15. Aҫramawāsāparwa, 16. Mosalaparwa, 17. Prasthānīkaparwa dan 18. Swargārohaṇaparwa (Juynboll, 1906: 4; Siman Widyatmanto, 1968: 6-7). Namun ke 18 (delapan belas) parwa tersebut belum semuanya disadur ke dalam bahasa Jawa Kuna kecuali di antaranya: 1. Ādiparwa, 2. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa), 3. Wirāṭaparwa, 4. Udyogaparwa, 5. Bhīsmaparwa, 6. Strīpralāpaparwa, 7. Ҫāntīkaparwa, 8. Aҫwamedhaparwa, 9. Aҫramawāsāparwa, 10. Mosalaparwa, 11. Prasthānīkaparwa dan 12. Swargārohaṇaparwa. Teks Mahābhārata dimulai dari cerita Sang Ugraҫrawā ketika mengunjungi Bhagawān Ҫonaka (Saunaka) yang sedang melangsungkan korban di hutan Nemiṣa. Sang Ugraҫrawā adalah putra Sang Romaharṣana. Ia sudah mempelajari dengan sempurna buku-buku Brahmaṇdapurāna dan Aṣṭādaҫaparwa (Mahābhārata) yang diberikan oleh gurunya yaitu Bhagawān Byāsa. Pada waktu itu Sang Ugraҫrawā baru saja melihat korban ular (sarpa saṭṭra) yang dilangsungkan oleh Māhāraja Janamejaya. Akan tetapi urunglah 7 (gagal) korban itu karena naga Takṣaka yang menggigit orang tuanya (Sang Māhāraja Parīkṣit) tidak mati meskipun ular-ular kebanyakan habis masuk ke dalam tungku pengorbanan. Ketika diketahuinya akan ketidaksampurnaan korban itu bersedihlah Māhāraja Janamejaya, karena itu dituturkan sebuah cerita oleh Bhagawān Waiҫampāyana untuknya. Sang Bhagawān inilah yang melipur kesedihan Sri Māhāraja. Sang Ugraҫrawā turut mendengarkan cerita itu, namanya Aṣṭādaҫaparwa, pokok isinya peperangan Korawa melawan Pāṇḍawa di Kurukṣetra. Itulah yang diceritakan oleh Bhagawān Waiҫampāyana. Hal ini seperti yang dikemukakan di dalam Ādiparwa seperti pada kutipan berikut: Bhujangga mpu umilu manonton yajña sarpa, gawe Māhāraja Janamejaya, ndātan sīddhakang yajña sarpa, apan tan mātīkang nāga Takṣaka, īkang sumahut ī wwang atūhanīra, sira Maharaja Parīkṣit, tuhun īkang nāga sāmanya pějah, tumibā ring kuṇḍa. Ī sěḍangnyikā tan siddhekang yajña, manastāpa sira Māhāraja Janamejaya, matang yan sira pinacaritākěn de Bhagawān Waiҫampāyana. Sira ta manglālane prihati nira Ҫrī Maharaja. Umilu ta bhujangga mpu ruměngö carita nira, ngaran ing carita: Aṣṭādaҫaparwa, gawe Bhagawān Byāsa, maka padārtha paprang sang Korawa Pāṇḍawa ring Kurukṣetra maṇḍala, cinaritākěn de Bhagawān Waiҫampāyana (Juynboll, 1906: 1-2; Widyatmanta, 1968: 2-3). Mahābhārata di dalam kesastraan Jawa Kuna diyakini pertama kali ditulis pada masa Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa. Hal ini kiranya berkaitan dengan pernyataan di dalam Ādiparwa, sebab Ādiparwa diawali dengan suatu tindak bhakti terhadap Dewa Siwa bersama istrinya, karena persatuan mereka yang mistis di atas puncak Gunung Kailāҫa, mereka telah menciptakan kembali segala sesuatu setelah seluruh dunia 8 dihancurkan. Kini Siwa memakai nama Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa (Zoetmulder, 1983: 115). Di dalam Ādiparwa dikatakan: Hana pwa ya mangke wuwusěn, ikang kāla tan hanā ditya candra nakṣatra bāywākāҫādika, pralaya ri wěkas ning sanghārakalpa, prāpta mwang sargakāla pratiniyata mijil saprakāranya ngūni, īccā sang hyang tinūtnyān hana kātěkān ҫabda sanghāradharma, sang hyang Ҫangkara aṭah kāraṇanyān hana lāwan bhaṭārī dehārdha, kāraṇa nira mapīsan lāwan baṭāra Trinetra sira, an munggwi ng Kaīlāҫaҫikhara sadṛҫa utungga siddha pratiṣṭa, sākṣāt maṇḍalam sabhuwana īkā tang parhyangan sthāna sang hyang. Sang hyang Ҫṛī Deweҫwara sira ta Ṣaḍgaṇa mwang bhaṭārī karěngwan ing pūrwaka ning kathā, pūrwastatra ri sīrān pangājña Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa, prabhu pinakagawayakěn prākṛṭa parwa, tan sangkeng wruh mangartha sarasa ning ҫloka padartha. (Juynboll, 1906: 1-2; Widyatmanta, 1968: 1-2). Kini ada yang diceritakan, ketika tiada matahari, bulan, bintang, angin (karena) langit pun belum juga terbentang, lengkapkan jaman kekosongan itu, tibalah jaman penciptaan, ditakdirkan berbagai macam makhluk menjelma, senanglah dewa karena diturut, terlaksana segala sabdanya. Sang Hyang Ҫangkara (Ҫiwa) bersama-sama dengan Bathari (Parwati) menciptakan segala sesuatu. Pada mulanya Bathara Trinetra (Ҫiwa) berdua dengan Bathari, bertempat di puncak Gunung Kaīlāҫa, seakan-akan mereka terbaik, tersempurna, sungguh-sungguh menguasai dunia, menjadilah tempat itu suci sebagai istana dewa. Sang Hyang Ҫṛī Deweҫwara, yaitu Bathara Ṣaḍgaṇa (Ҫiwa) dengan Bathari tersebut dalam permulaan cerita, sebagai kidung pujaan pertama terhadapnya, atas perintah Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa, seorang raja yang kepadanya dipersembahkan parwa umum (sederhana), tidak karena mampunya memberi arti segala isi ҫloka dan pokok ceritanya. (Widyatmanta, 1968: 1-2) Parwa-parwa di dalam Mahābhārata Sanskerta tersebut sebagian di antaranya kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pujangga-pujangga 9 sesudahnya untuk menggubah karya-karya kāwyānya yang baru. Di dalam kāwyā Sanskerta misalnya, juga terdapat suatu versi yang sangat terkenal yaitu Kīrāṭārjunīya gubahan Bhāravi yang berasal dari abad VI Masehi. Syair Kīrāṭārjunīya yang terdiri atas 18 pupuh tersebut melukiskan pertemuan antara Ҫiwa (Kīrāṭa) dengan Arjuna. Di dalam kesastraan Jawa Kuna ketika Mpu Kanwa menggubah Kakawin Arjunawiwaha (pernikahan Arjuna) rupanya ia mengambil bagian kisah tentang para Pāṇḍawa ketika hidup dalam masa pembuangan di hutan selama 12 tahun, sebagaimana dikisahkan di dalam Āraṇyakaparwa (Wanaparwa), adhyāya 37 dan seterusnya. Dalam hal ini tentulah Mpu Kanwa juga maklum akan syair Bhāravi (Kīrāṭārjunīya) sehingga mendorong pujangga tersebut untuk meminjam tema godaan yang sia-sia (oleh para bidadari terhadap Arjuna) dengan segala kesempatan untuk melukiskannya (Zoetmulder, 1983: 303-305). Di dalam kāwyā lainnya misalnya Bhīsmaparwa pada bagian kisah ketika Arjuna jatuh mentalnya karena merasa kasihan kepada saudarasaudaranya (para Korawa) yang akan menjadi musuhnya di dalam Perang Bhāratayuddha telah menjadi sumber inspirasi diciptakannya Bhagavadgītā dalam bahasa Sanskerta. Bhagavadgītā yang berarti 'Nyanyian Tuhan' atau 'Nyanyian Suci' ini adalah bagian Bhīsmaparwa, parwa ke-5 dari Mahābhārata yang disusun oleh Bhagawān Byāsa. Isi Bhagavadgītā adalah pembicaraan suci antara Ҫṛī Kṛṣṇa dengan Arjuna yang dituturkan ke dalam 700 ҫloka (Ida Bagus Mantra, 1981: 1). Bhagavadgītā juga disebut Upanishad, yaitu bagian akhir dari Veda-Veda. Ajaran Ҫṛī Kṛṣṇa sebagai 10 awatara dari Bathara Wishnu di dalam Bhagavadgītā adalah pengetahuan suci yang abadi dan diulangi dari jaman ke jaman bila keadaan dunia dalam kegelapan, dimana umat manusia melupakannya. Bhagavadgītā tidak mengajarkan yang baru tetapi mengajarkan intisari ajaran Veda-Veda. Ҫṛī Kṛṣṇa bersabda bahwa Dia tidak mengajarkan yang baru, akan tetapi hanya mengulangi apa yang pernah diajarkan olehNya kepada Wiwaswan, dan Wiwaswan kepada Manu dan Manu kepada Ikwaku (Ida Bagus Mantra, 1981: 1-2). Di dalam kesastraan Jawa Baru Bhagavadgītā tersebut diresepsi, diadaptasi, dan ditransformasikan ke dalam Sěrat Krěsna-Arjuna Bawarasa gubahan Mangun Salaga yang kemudian dialihaksara dan dialihbahasakan oleh Mulyono Sastronaryatmo dan kemudian disunting oleh Sudibjo Zaenudin Hadisoetjipto (1987). Mahābhārata yang isinya menceritakan kisah Pāṇḍawa dan Korawa tersebut di tanah Jawa dijadikan lakon Wayang Purwa dengan banyak perubahan serta tambahannya (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1957: x). Namun di dalam kesastraan Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan kisah kelanjutan Mahābhārata tersebut tidak begitu banyak, kecuali didalam Korawaçrama (Swelengrebel, 1936), Kakawin Udayana (Kriswanto dan Komari, 2008: 2-3) maupun Kidung Sri Tanjung (Prijono, 1938). Di dalam Korawaçrama dikemukakan bahwa Vyāsa mendapat perintah dari Vrahaspati dan Paramesthi untuk menghidupkan Korawa, setelah mereka hidup disuruhnya untuk bertapa (Jayaatmaja, 2000). Dihidupkannya kembali para Korawa serta 11 sekalian sekutunya adalah dalam rangka membalas dendam. Hanya sampai di situ habislah sudah ceritanya (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1957: 69). Kakawin Udayana atau Udayana Carita menceritakan tokoh utama Udayana atau Sang Prabu Kamamurti (Sri Manmatamurti, Smaramurti) adalah putra Prabawati (keturunan Wangsa Hehaya) dengan Sang Sri Satasenya (keturunan Pāṇḍu). Diterangkan di dalamnya bahwa setelah kerajaan Indraprastha hancur oleh datangnya masa Kali (Kaliyuga), dan keturunan Pāṇḍu hilang, maka Sri Manmatamurti (Udayana) dengan gigih hendak mengembalikan segala keindahan di istana. Karena itu kerajaan Kosambi dibangun untuk kemegahan kerajaan Indraprastha yang dahulu diperintah oleh Sang Yudhiṣṭhira (Kriswanto dan Komari, 2008). Di dalam Sri Tanjung, Een Oud Javaansch Verhaal (Prijono, 1938) dikemukakan tentang perkawinan Sri Tanjung (anak Sahadewa) dengan Sidapaksa (anak Nakula) dengan bantuan Dūrga (Ra Nini) (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1957: 91). Dalam kesastraan Jawa Baru terutama oleh pujangga R.Ng. Ranggawarsita, cerita dalam Mahābhārata Jawa Kuna yang digubah pada masa pemerintahan Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa tersebut disadur kembali dengan berbagai adaptasi dan inovasi seperti yang tampak dalam Kitáb Pustakaraja Purwa. Kitáb Pustakaraja Purwa, seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahābhārata versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). 12 Sěrat Pustakaraja Purwa telah diterbitkan beberapa kali dengan huruf Jawa dalam 9 jilid oleh H. Bunning, Yogyakarta (cetakan I tahun 1884, cetakan IV tahun 1939). Di Surakarta pernah terbit kitab berjudul Sěrat Pustakaraja dalam 8 jilid (tahun 1904 – 1908), tetapi isinya Sěrat Pustakaraja Madya (Uhlenbeck, 1964: 164; Wiryamartana, 1980: 1). Apabila seluruh rencana Sěrat Pustakaraja seperti yang termuat dalam ''Běbuka'' telah selesai seluruhnya ditulis oleh R. Ng. Ranggawarsita, maka baru sebagian saja dari Sěrat Pustakaraja itu diterbitkan. Ringkasan isi dari 5 jilid Sěrat Pustakaraja (Yogyakarta, tahun 1884-1892) telah dibuat oleh Poerwasoewignya dan Wirawangsa (tahun 1920). Di perpustakaan Universitas Leiden Belanda terdapat ringkasan isi dari 9 jilid Sěrat Pustakaraja Purwa (LOr 6485) yang dibuat oleh Suradipura untuk Dr. Hazeu (Pigeaud, 1968: 382-383; Wiryamartana, 1980: 2). Pada tahun 1978 Sri Mulyono menyajikan ringkasan ''Běbuka'', tetapi terdapat kekeliruankekeliruan di dalamnya, terutama mengenai penamaan kitab-kitab (sěratsěrat) yang merupakan bagian dari Sěrat Pustakaraja Purwa di atas. 1.2 POKOK MASALAH Sěrat Pustakaraja seperti dikemukakan di atas mencakup baik Sěrat Pustakaraja Purwa maupun Sěrat Pustakaraja Puwara, atau meliputi Sěrat Pustakaraja Purwa, Sěrat Pustakaraja Madya, Sěrat Pustakaraja Antara, dan Sěrat Pustakaraja Wasana. Teks-teks (sěrat-sěrat) yang besar itu ternyata sangat berlimpah, seperti termuat dalam katalogus susunan Nancy K. Florida 13 Vol. I, II, III dan IV (1981, 2012), Nikolaus Girardet (1983), dan T.E. Behrend Jilid IV (1989). Penelitian atas Sěrat Pustakaraja memang pernah dilakukan di antaranya oleh Berg (1938, 1974); Poerbatjaraka (1957); Pigeaud Vol. I (1967); Sri Mulyono (1975, 1989); dan Kuntara Wiryamartana (1980). Meskipun demikian penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja beserta teks-teks bagian darinya boleh dikatakan masih sangat sedikit. Hal itu juga diakui sendiri oleh Berg bahwa pihak Barat belum memberikan banyak perhatian terhadap Sěrat Pustakaraja tersebut. Mengingat hal itu, maka penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja dan sěrat-sěrat yang menjadi bagian darinya perlu dilakukan. Dalam penelitian ini bahan utamanya adalah Sěrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta Nomor 152 A dan Sěrat Darmasarana II Nomor 94 (808.543). Pemilihan Sěrat Darmasarana ini didasarkan pada keinginan untuk mengetahui bagaimana struktur, resepsi, tanggapan, sambutan pujangga istana Surakarta, yaitu R. Ng. Ranggawarsita dalam mengemukakan tokoh Darmasarana (Parīkṣit) yang hanya secara singkat diuraikan dalam Ādiparwa (Zoetmulder, 1958: 92-97; Juynboll, 1906: 48-53), Bhāratayuddha (Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355-356), maupun Prasthānikaparwa (Ketut Nila, 1979: 27; Zoetmulder, 1995: 157). Di samping itu juga ingin diketahui bagaimana cara R. Ng. Ranggawarsita di dalam merangkai genealogis dalam rangka penciptaan Sěrat Darmasarana di atas. 14 Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit (Parīkṣit) adalah putra Raden Abimanyu (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarī), putri dari Wirata (Wirāṭa), cucu Arjuna. Sebenarnya, Parikesit telah tewas oleh panah Brahmaśeirah milik Aswatama (Aśwatthāmā) sewaktu masih dalam kandungan Utari, tetapi karena Kresna (Kṛṣṇa) mencintainya ia dihidupkan kembali dan diramal akan menurunkan keluarga Pandawa (Zoetmulder, 1983: 332; Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355). Sebelum para Pandawa (Pāṇdawa) mengundurkan diri meninggalkan Ngastina (Hāstina) dalam persiapannya kembali ke surga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja Yudhistira (Yudhiṣṭhira) (Zoetmulder, 1995: 157; Ketut Nila, 1979: 27). Uraian tentang penokohan Parikesit yang sangat singkat dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu ternyata sangat berbeda apabila dibandingkan dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam kesastraan Jawa Baru (Klasik), baik dalam hal variasi penamaannya maupun struktur naratifnya. Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu Parikesit memiliki gelar lain, yaitu Prabu Dipayana, Prabu Yudhiswara, Prabu Mahabrata, dan Prabu Darmasarana. Di samping itu di dalam kesastraan Jawa Baru (Klasik), naratif yang mengemukakan tokoh Parikesit selain terdapat dalam Sĕrat Darmasarana, juga muncul di dalam karya sastra lainnya, misalnya Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid I Nomor 138 Na, Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid II Nomor 168 Na, Sĕrat Pustakaraja Madya Jili1d III Nomor 170 Na, Sĕrat Karimataya I Nomor 151 Na, Sĕrat Pustakaraja Madya Kasĕkarakĕn (Sĕrat 15 Karimataya II) Nomor 151 Na-B, dan Sĕrat Pustakaraja Madya (Sĕrat Karimataya III) Nomor 151 Na-C. Naskah-naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Sanapustaka, Kasunanan Surakarta (Nancy Vol. 1, 1981: 261296). Naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran, Surakarta antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya: Wirabartana Nomor D 130, Sĕrat Pustakaraja Wédha (Pustakaraja Parikĕsit) Nomor D 106, Sĕrat Karimataya Nomor D 24 (Nancy Vol. II, 1981: 121-130), Sĕrat Parikĕsit Grogol Nomor D 103 dan Sĕrat Pustakaraja Parikĕsit Nomor D 108 (Nancy Vol. III, 1981: 493-495). Adapun yang tersimpan di Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya (No. XV) Nomor 202 N, Sérat Pustakaraja Puwara (Sĕrat Danèswara II) Nomor 154 B, dan Sĕrat Pustakaraja Puwara nomor 206 (Nancy Vol. IV, 1981: 159-169). Selain itu, di Perpustakaan Museum Sanabudaya Yogyakarta juga tersimpan naskah Prabu Parikĕsit Nomor PB A 55 (Behrend Jilid IV B, 1989: 268). Pemilihan Sĕrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta nomor 152 A sebagai bahan utama analisis juga berdasarkan atas pertimbangan, bahwa Sĕrat Darmasarana di atas dapat dikatakan relatif lengkap, jelas penurunnya, dan cukup tua usianya. Selain itu Sĕrat Darmasarana tersebut sesuai dengan konstruksi teks-teks (sĕrat- sĕrat) yang termasuk dalam Sĕrat Pustakaraja Purwa, khususnya pada bagian Sĕrat Mahadarma (R. Ng. Ranggawarsita, 1939; Sri Mulyono, 1989: 195-197). Dalam hubungannya dengan Sĕrat Darmasarana, teks-teks Pustakaraja 16 Purwa dan Pustakaraja Puwara (sumber Wayang Madya) yang dipilih adalah Sĕrat Yudayana atau Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Yudayana bernomor 153, Sĕrat Budhayana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana) nomor 154 B, Sĕrat Sariwahana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Sariwahana) nomor 154 G, dan Sĕrat Purusangkara (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Purusangkara) nomor 155. Naskah-naskah di atas adalah koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981: 162-165). Adapun Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya yang dipilih sebagai penguat analisis adalah Sĕrat Ajipamasa terbitan Albert Rusche, Surakarta (1896) dan Sĕrat Witaradya terbitan Albert Rusche, Surakarta (1908) dan Departemen P & K, Jakarta (1979). Meskipun demikian Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya yang berupa naskah pun tidak diabaikan. Sebenarnya selain naskah-naskah di atas, masih ada beberapa versi naskah yang tersimpan di beberapa perpustakaan. Misalnya Sĕrat Yudayana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Yudayana) koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta nomor 153 (Nancy Vol. IV, 1981: 162) memiliki versi antara lain Sĕrat Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 102 d, Sĕrat Pustakaraja Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 124, dan Prabu Yudayana (Pustakaraja Puwara) nomor D 98. Naskah-naskah tersebut koleksi Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta (Nancy Vol. II, 1981: 11-126). Selain Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana nomor 154 B (Nancy Vol. IV, 1981: 163) masih ada versi lain di antaranya: Sĕrat Pustakaraja 17 Puwara: Sĕrat Budhayana I nomor 154 A, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana II nomor 154 C, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana III nomor 154 D, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana IV nomor 154 E, dan Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana V nomor 154 F. Naskahnaskah tersebut pun koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981: 180-184). Versi Sĕrat Sariwahana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Sariwahana) nomor 154 G (Nancy Vol. IV, 1981: 164) adalah Sĕrat Pustakaraja Madya, Sariwahana nomor D 129 koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta (Nancy Vol. II, 1981: 14) dan Sĕrat Pustakaraja Madya Sariwahana (Dalěman: Sĕrat Pustakaraja, Jilid IV, (--) nyariyosakěn Prabu Sariwahana aněngkarakěn para rayi (---) nomor D 211, juga dalam koleksi perpustakaan yang sama (Nancy Vol. III, 1981: 497). Adapun versi Sĕrat Purusangkara (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Purusangkara) nomor 155 koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981: 165) antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid VI nomor 139 Na, dan Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Astradarma nomor 265 Na, dan Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Purusangkara nomor M 470/XII. Ketiga naskah tersebut koleksi Perpustakaan Sanapustaka, Karaton Surakarta (Nancy Vol. I, 1981: 266-281). Selain ketiga naskah di atas, Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta juga menyimpan Sĕrat Pustakaraja Madya, Kělěmipun ing Nagari Ywangastina nomor D 128 (Nancy Vol. II, 1981: 15). 18 Pemilihan Sĕrat Yudayana nomor 153, Sĕrat Budhayana nomor 154 B, Sĕrat Sariwahana nomor 154 G, dan Sĕrat Purusangkara nomor 155 koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, seperti dikemukakan di atas (Nancy Vol. IV, 1981: 162-195) pun berdasarkan beberapa pertimbangan. Apabila dibandingkan dengan naskah-naskah versi darinya, maka naskahnaskah di atas relatif lengkap, jelas penurunannya, cukup tua usianya, serta sesuai dengan teks-teks (sĕrat- sĕrat) dalam konstruksi Sĕrat Pustakaraja Purwa maupun Sĕrat Pustakaraja Puwara, khususnya bagian awal (Sĕrat Pustakaraja Madya). Meskipun demikian untuk menentukan naskah-naskah yang terpilih di atas adalah yang paling tua dan terpercaya, kiranya masih diperlukan penelitian yang lebih luas dan mendalam. Mengingat naskah bagian Sĕrat Pustakaraja yang berlimpah tersebut banyak yang belum diketahui siapa penyalinnya dan kapan waktu penyalinannya. Dari uraian di atas ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, seberapa jauh Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna dapat dilacak jejak-jejaknya ke dalam Sěrat Pustakaraja dalam kesastraan Jawa Baru (renaissance) di Keraton Kasunanan Surakarta. Kedua, bagaimanakah struktur Sĕrat Darmasarana yang meliputi: judul, tema, penokohan dan perwatakan, hubungan antar tokoh, plot, lokasi penceritaan (setting), titik pandang (point of view), dan motifnya. Ketiga, bagaimanakah pujangga pencipta Sĕrat Darmasarana dalam meresepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa. Keempat, bagaimanakah 19 pujangga pencipta Sĕrat Darmasarana dalam merangkai dan menciptakan genealogi sebagai dasar penciptaan Sĕrat Darmasarana tersebut. 1.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN Dalam ruang lingkup penelitian akan dibagi menjadi ruang lingkup data dan ruang lingkup penelitian yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Ruang lingkup data Dalam penelitian 1) Mahābhārata Sanskerta; ini, ruang lingkup data 2) Mahābhārata Jawa Kuna; meliputi: 3) Sěrat Pustakaraja terutama Sěrat Darmasarana (Sěrat Pustakaraja Purwa: Sěrat Darmasarana) bernomor 152 A; Sěrat Yudayana (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Yudayana) bernomor 153; Sěrat Budhayana (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Budhayana) bernomor 154 B; Sěrat Sariwahana (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Sariwahana) bernomor 154 G; Sěrat Purusangkara (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Purusangkara) bernomor 152 A (Nancy K. Florida Vol. IV, 1981). Di samping itu bahan penelitian di atas juga diperkuat teks-teks lainnya seperti Sěrat Prabu Gěndrayana I dan Sěrat Prabu Gěndrayana II, Sěrat Mayangkara, Sěrat Ajidarma (Anglingdarma), Sěrat Ajipamasa, Sěrat Witaradya, Sěrat Purwanyana, Sěrat Bandawasa, Sěrat Déwatacěngkar, Sěrat Widayaka maupun Sěrat Danèswara. 20 2. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi: 1) Pujangga R. Ng. Ranggawarsita; 2) Kedudukan Sěrat Darmasarana dalam Sěrat Pustakaraja; 3) Tinjauan umum Sěrat Darmasarana; 4) Analisis struktur Sěrat Darmasarana; 5) Sěrat Darmasarana sebagai resepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa; 6) Genealogi dalam rangka penciptaan Sěrat Darmasarana. 1.4 TUJUAN PENELITIAN DAN HASIL YANG DIHARAPKAN Sesuai dengan pokok masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengungkap dan menjelaskan Mahābhārata Sanskerta, Mahābhārata dalam kesastraan Jawa Kuna serta melacak jejak-jejak kedua Mahābhārata tersebut ke dalam Sěrat Pustakaraja dalam kesastraan Jawa Baru (renaissance) di Keraton Kasunanan Surakarta; 2. Mengungkap dan menjelaskan struktur Sĕrat Darmasarana yang meliputi: judul, tema, penokohan dan perwatakan, hubungan antar tokoh, plot, lokasi penceritaan (setting), titik pandang (point of view), dan motifnya; 3. Mengungkap dan menjelaskan bahwa Sĕrat Darmasarana sebagai resepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa; 4. Mengungkap dan menjelaskan rangkaian genealogi dalam rangka penciptaan Sĕrat Darmasarana. 21 Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi apresiasi Sastra Daerah, khususnya Jawa yang boleh dikata masih sedikit. Penelitian ini pun diharapkan dapat memperkenalkan serta memperluas cakrawala tentang sumber penulisan lakon Wayang Purwa dan Wayang Madya yang masih tergolong langka. 1.5 MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah manfaat teoriti dan praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah penerapan teori dalam bidang sastra dengan menerapkan teori struktural yang mencakup judul, tema, penokohan dan perwatakan, hubungan antartokoh. Teori tersebut digunakan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk cerita Sěrat Darmasarana. Di samping itu juga digunakan teori intertekstualitas, resepsi dan genealogi. Teori interteks digunakan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara dua teks atau lebih, misalnya teks Ādiparwa, Mosalaparwa, Prasthānikaparwa dengan Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana khususnya. Adapun teori genealogi digunakan untuk mengetahui bagaimana fungsi Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana khususnya maupun Sěrat Pustakaraja pada umumnya di dalam rangka mengukuhkan atau melegitimasi raja-raja Kasunan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Adapun manfaat praktisnya adalah memberikan informasi mengenai pujangga R. Ng. Ranggawarsita baik mengenai kedudukannya di Kraton Surakarta, tugas-tugas yang diembannya di dalam menjaga tradisi Jawa serta 22 mengenalkan karya-karya yang diciptakannya kepada masyarakat luas. Di samping itu juga ingin diinformasikan mengenai relasi dan relevansi antara Mahābhārata Sanskerta, Mahābhārata Jawa Kuna dengan Sěrat Pustakaraja dan sěrat-sěrat (teks-teks) yang menjadi bagian dari Sěrat Pustakaraja. Manfaat yang diharapkan juga agar penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai persamaan tokoh-tokoh di dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana dengan raja-raja Jawa setelah dilakukan analisis semiotik. Manfaat yang diharapkan lainnya adalah ingin memberikan informasi bahwa Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana khususnya maupun Sěrat Pustakaraja pada umumnya memiliki peranan yang sangat penting di dalam mengukuhkan atau melegitimasi raja-raja Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran sebagai penguasa di kedua kerajaan tersebut. Pada akhirnya manfaat yang diharapkan agar hasil analisis atas Sěrat Darmasarana ini dapat menambah referensi dan menjadi daya dorong bagi masyarakat luas, terutama bagi para peneliti Jawa untuk menaruh perhatian yang signifikan terhadap karya agung R. Ng. Ranggawarsita, seperti misalnya Sěrat Pustakaraja. 1.6 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian terhadap Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana pada khususnya dan Sěrat Pustakaraja pada umumnya belum banyak dilakukan. Para peneliti yang pernah melakukan penelitian mengenai Sěrat Pustakaraja antara lain adalah R. M. Ng. Poerbatjaraka, C. C. Berg, Pigeaud, Sri Mulyono, Kuntara Wiryamartana, Nancy K. Florida, maupun Manu 23 Jayaatmaja Widyaseputra. Pandangan para ahli di atas terhadap Sěrat Pustakaraja adakalanya saling bertentangan. R. M. Ng. Poerbatjaraka misalnya, mengatakan bahwa Sěrat Pustakaraja sebagian besar hanya berisi 'omong kosong' dari R. Ng. Ranggawarsita. Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa yang disebut di dalam kitab Pustakaraja seperti kitab-kitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha Déwa, Maha Rěsi dan sebagainya itu sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada (Poerbatjaraka, 1957: 186). C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (“Javaansche Geschiedschrijving”) mengakui bahwa pihak barat belum memberikan perhatian yang berarti terhadap Pustakaraja. Namun diakui bahwa R.Ng. Ranggawarsita mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan barat. Selanjutnya dalam pernyataannya dikatakan bahwa R.Ng. Ranggawarsita dalam menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dalam tulisannya tersebut R.Ng. Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan tarikh dari peristiwaperistiwa yang dibukukannya, maka ia selalu memberikan dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi menurut tahun Komariyah. Karena itu bukanlah mustahil bahwa R.Ng. Ranggawarsita bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan barat dan bahwasanya usahanya tersebut tidak berhasil, hal ini tidaklah penting. Apabila R.Ng. Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah yang pertama yang beraliran 24 modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya dengan karya rekanrekannya yang dahulu. Lain lagi pernyataan dari Pigeaud yang menempatkan kitab Pustakaraja sebagai karya monumental (Pigeaud, 1967). Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967) menyatakan bahwa kitab-kitab Ranggawarsita mengenai mitologi dan sejarah kuna yang disebut Pustakaraja sangat mengesankan pembacanya. Peristiwa-peristiwa dalam mitos dan kisah epik tersebut diberi tarikh secara kronologis menurut tahun matahari dan tahun rembulan berdasarkan penemuan Ranggawarsita sendiri. Dengan demikian Pustakaraja memberi kesan terpercaya secara historis yang sesungguhnya tidak demikian. Lebih jauh Pigeaud menyatakan bahwa kronik Ranggawarsita mengenai penciptaan, kosmogoni, mitos dan kisah-kisah epik mirip dengan karya-karya sastra yang serupa dari bangsa-bangsa lain. Gagasannya untuk memberi tarikh pada semua cerita yang sepintas lalu nampak 'omong kosong' harus dipandang sebagai konsekuensi kepercayaannya yang sungguh Jawa akan tertib yang meliputi segalanya yang juga mesti dinampakkan dalam mitos dan sejarah kuna (Pigeaud, 1967: 170; Wiryamartana, 1980: 2-3). Menurut pendapat Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat Pustakaraja Purwa adalah hasil saduran kembali cerita dalam Mahābharāta dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sĕrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahābharāta versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan 25 Ramāyāna maupun Mahābharāta. Di samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya Sĕrat Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana, 1980: 2). Nancy K. Florida seorang peneliti dari Cornell University, Amerika Serikat telah mencurahkan pikirannya untuk meneliti Sĕrat Pustakaraja dan teks-teks yang merupakan bagian darinya seperti yang termuat di dalam katalognya yang sangat penting berjudul Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Vol. I-IV (1981). Manu Jayaatmaja Widyaseputra dalam beberapa makalahnya membicarakan Sěrat Ajipamasa yang merupakan karya yang sangat penting di antara teks-teks bagian dari Sěrat Pustakaraja. Tulisan-tulisan Manu Jayaatmaja Widyaseputra yang sangat berharga tersebut diantaranya adalah: 1) Lokasamgraha dalam Visi Ranggawarsita: Sebuah Kebijakan Lokal tentang Ekologi seperti digambarkan dalam Sěrat Ajipamasa dan Sěrat Witaradya (2005); 2) Bhāṣa dan Māyā dari Mamenang: Kusumawicitra dalam Perspektif Historis dan Mitis Tradisi Pura Mangkunegaran Tahun 1853-1881 (2008); 3) Kusumawicitra: Arjunanandana di Pura Maŋkuněgaran menurut Sěrat Ajipamasa (2012). Di samping para peneliti di atas, Anung Tedjowirawan menaruh minat yang besar terhadap karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, terutama Sěrat Pustakaraja dan teks-teks bagian dari Sěrat Pustakaraja Madya. 26 Tulisan-tulisan yang dihasilkannya yang berkaitan dengan Sěrat Pustakaraja Purwa dan teks-teks dari Sěrat Pustakaraja Madya antara lain adalah: 1) Analisis Struktural Sěrat Ajipamasa, Satu Kajian pada Salah Satu Karya Sastra Puncak R. Ng. Ranggawarsita (1983); 2) Analisis Struktural Sěrat Purusangkara, Satu Kajian pada Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita (1985); 3) Sěrat Mayangkara Karya R. Ng. Ranggawarsita: Sajian Teks-TerjemahanPembahasan (1986); 4) Menelusuri Kebesaran Pujangga R. Ng. Ranggawarsita Melalui Karya-karya Ciptaannya (Sebuah Bunga Rampai I) (2009); 5) Menelusuri Kebesaran Pujangga R. Ng. Ranggawarsita Melalui Karya-karya Ciptaannya (Sebuah Bunga Rampai II) (2013). Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja dan teks-teks bagian darinya masih mengalami kekosongan. Mengingat cakupan ilmu pengetahuan di dalam Sěrat Pustakaraja tersebut demikian luas, maka diharapkan sarjana-sarjana sastra Jawa khususnya merasa terpanggil untuk turut menggali ilmu pengetahuan yang luas tersebut dan menyebarluaskannya ke tengah masyarakat. 1.7 LANDASAN TEORI Dalam penelitian ini akan digunakan teori strukturalisme, resepsi, dan genealogi. Namun juga akan dipertimbangkan teori (pendekatan) ekspresif yang mencakup biografi dan kedudukan pengarang (pujangga R. Ng. Ranggawarsita). 27 Dalam teori sastra Barat, kritik sastra yang mendasarkan pada peranan penulis dan karya sastranya telah menimbulkan perdebatan yang seru. Gomperts mengatakan, bahwa tidak ada teks yang tidak diceritakan oleh seorang manusia, dan manusia itulah penulis cerita itu. Menurutnya pula, tidak ada sebuah teks pun tanpa titik aku, yakni aku si penulis (Teeuw, 1988: 172-173). Lain lagi pendapat Gadamer yang menyatakan bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Gadamer berpandangan bahwa teks tertulis adalah pemakaian bahasa dengan ciri khas: teks tertulis, demi ketertulisannya, mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis maupun pembaca (Teeuw, 1988: 174). Hirsch berpendapat bahwa dalam identitas arti teks dengan maksud penulisannya terdapat dasar yang kuat untuk mencapai penafsiran teks yang sungguh ilmiah, jadi dapat diverifikasi (Teeuw, 1988: 175). Lebih jauh Hirsch mengatakan bahwa dalam interprestasi teks tidak pernah dapat dibuktikan bahwa hanya sebuah interpretasi saja yang mutlak dan seluruhnya benar; tetapi walaupun tidak dapat dibuktikan bahwa cita-cita (maksud pengarang) seratus persen (sepenuhnya) dapat dicapai, namun cita-cita itu jangan ditinggalkan begitu saja, justru identifikasi arti karya sastra dengan maksud penulis memberi jaminan bahwa arti itu determinate, gěnah, dan tugas penelitian ilmiah adalah justru menentukan arti yang gěnah itu setepat mungkin (Teeuw, 1988: 175). Juhl mempertahankan tiga tesis (dalil) yang saling berkaitan satu sama lain, yakni: a) ada perkaitan logik (penalaran) antara pernyataan mengenai 28 arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat penulisannya; memahami karya sastra berarti memahami apa-apa yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis; b) penulis yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya; jadi karya sastra tidak otonom; ada perkaitan yang erat antara sastra dan hidup; dan c) karya sastra mempunyai satu arti saja. Menurut Juhl, intention, niat bukanlah yang dinyatakan secara eksplisit oleh penulis mengenai rencana atau motif atau pun susunan karyanya, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya (Teeuw, 1988: 177). Pendekatan lainnya, seperti telah dikemukakan di depan adalah pendekatan struktural. Pandangan strukturalisme dikemukakan oleh Fokkema, bahwa sebuah karya sastra bukanlah kumpulan sarana-sarana semata, melainkan merupakan sebuah keseluruhan yang tersusun rapi dan terbentuk dari faktor-faktor kepentingan yang bermacam-macam. Sastra adalah sebuah sistem yang bercirikan saling bergantungan elemen-elemennya. Analisis struktural memandang karya sastra sebagai keseluruhan yang bulat yang bagian-bagiannya saling berhubungan, dan saling berhubungan itu menimbulkan makna (Rachmat Djoko Pradopo, 1979: 10; Asia Padmapuspita, 1980: 6; Umar Yunus 1981: 17). Dengan analisis struktural unsur-unsur sastra tetap berupa bagian keseluruhan yang bulat, tidak hanya sekedar berupa framen-fragmen yang terpisah-pisah. Strukturalisme mementingkan adanya relasi elemen-elemen formal yang memperlihatkan hubungan yang logis (Ehrmann (ed.), 1970: ix), atau kaitan-kaitan tetap 29 antara kelompok-kelompok gejala (Luxemburg, dkk., 1984: 36). Pendekatan struktural (obyektif) adalah salah satu dari empat pendekatan yang dikemukakan Abrams (1976: 3-29), di samping pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik yang dipandang Teeuw mempunyai empat kelemahan, meskipun demikian tetap merupakan tugas prioritas dalam penelitian sastra (Teeuw, 1983: 61). Untuk dapat merebut makna karya sastra secara penuh, maka pendekatan struktural perlu dipadukan dengan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik berusaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra itu bermakna (Rachmat Djoko Pradopo, 1987: 123). Semiotik adalah ilmu tentang tanda (Ehrmann (ed.), 1970: ix). Tanda yang dipelajari semiologi (semiotik) adalah tanda yang dipahami masyarakat. Tanda itu mencakup tiga macam, yakni: ikon, indeks, dan simbol (Hawkes, 1978: 128). Semiotik sastra adalah ilmu sastra yang sungguh-sungguh mencoba menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan adanya makna, atau berusaha mencari ciri-ciri kode yang memungkinkan menjadikan komunikasi sastra (Culler, 1981: 37; Teeuw, 1988: 143). Untuk mengetahui bahwa suatu karya sastra merupakan resepsi atau sambutan dari suatu karya sastra pendahulunya, maka sebelumnya perlu dilakukan interteks antara teks yang menjadi hipogramnya dan teks yang menjadi turunannya (sadurannya). Menurut Teeuw, intertekstualitas pada prinsipnya adalah bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada 30 sebuah teks yang benar-benar mandiri tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh dalam penciptaannya (Teeuw, 1984: 145). Dalam pengertian ini adanya contoh, teladan dan kerangka bukan harus diikuti sepenuhnya dalam penciptaan teks baru tanpa adanya suatu penyimpangan. Sebab penyimpangan dan transformasi dari model teks yang sudah ada itu memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan sesuatu yang disimpangi serta pemahaman atas teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya (Teeuw, 1984: 146). Julia Kristeva mengatakan pula bahwa hakikat intertekstualitas adalah adanya atau kehadiran suatu teks pada suatu teks lainnya (Umar Junus, 1985: 87). Di sini kehadiran teks diperlukan pula adanya proses pemahaman dan pemaknaan serta beberapa interpretasi yang dilekatkan padanya (Umar Junus, 1985: 88). Kehadiran suatu teks dalam suatu teks lain sedikit banyak akan memberikan warna tertentu kepada teks itu. Dalam pandangan Teeuw, teks adalah 'dokumen bahasa' yang tersedia untuk dibaca oleh pembaca (Teeuw, 1986: 16). Dalam teori satra khususnya strukturalisme terdapat pandangan bahwa teks karya sastra adalah sesuatu yang konstan dan mantap serta mempunyai struktur yang utuh dan bulat (Teeuw, 1988: 250-252; Wiryamartana, 1990: 9). Dalam kenyataan sejarah teks, nampak bahwa teks manapun juga cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Teks memang memiliki kemantapan tertentu dan perlu dibaca serta ditafsirkan menurut keutuhan strukturnya dan kebulatan makna intrinsiknya. Namun demikian berkat sifat dan potensinya teks juga 31 terbuka untuk perubahan berkat pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka resepsi atau sambutan pembaca maka perubahan teks itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk, khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw, 1988: 214; Wiryamartana, 1990: 910). Dalam transformasi teks dapatlah dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Jadi dalam penelitian yang berpusat pada teks ini, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti dalam resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik teks yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam penelitian yang terarah pada resepsi sastra, maka penyalinan, penyaduran dapat dipandang sebagai pembaca kreatif yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks. Disitulah terjadinya transformasi teks. Suatu teks dibaca, dipahami, dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman dan penafsiran itu diwujudkan menjadi teks baru, entah sama, entah berlainan bahasa, jenis dan fungsinya (Teeuw, 1988: 266-274; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam transformasi teks itu dapatlah dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Dengan demikian dalam penelitian yang berpusat pada teks, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti dalam penelitian resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik teks yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengamatan itu terlibatlah peranan peneliti sebagai pembaca dan penafsir teks. Dalam rangka resepsi sastra peneliti merupakan mata terakhir dalam rantai sejarah, 32 yang ikut dalam proses penilaian selaku pembaca (Teeuw, 1988: 200; Wiryamartana, 1990: 10). Genealogi (genealogy) adalah garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Melacak kedudukan nenek moyang melalui kerangka genealogis dipandang sangat penting dalam budaya Jawa. Naratif yang berupa genealogi dapat membantu melegitimasi kekuasaan seorang raja. Jika dipahami dari sudut kekerabatan, maka genealogi sebenarnya merupakan perwujudan dari pemujaan nenek moyang, yang mempunyai peran penting dalam tradisi kehidupan ritual orang Jawa. Dengan pemujaan nenek moyang, maka akan diperoleh kedamaian hidup dan kesejahteraan darinya, karena nenek moyang memberi perlindungan kepada keturunannya. Keberadaan nenek moyang melengkapi dan juga memperlihatkan kekuasaan raja, sehingga boleh dikatakan bahwa nenek moyang menjadi pasangan raja. Pasangan raja dan nenek moyang sebenarnya menunjukkan keadaan yang tersembunyi dari terpusatnya kekuasaan. Pandangan yang ideal tentang kekuatan sebagai potensi, memandang bahwa pemusatan yang dimanifestasikan dalam hirarki individu-individu yang disatukan secara sengaja memperlihatkan kepatuhannya pada raja yang menjadi pelindung (Keeler dalam Widyaseputra, 2001: 49-50). 1.8 METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah: 1) Metode kepustakaan; 2) Pengumpulan data (bahan-bahan) penelitian; 3) 33 Perjalanan keliling ke lokasi penceritaan; 4) Berziarah ke makam tokoh-tokoh sejarah yang berkaitan dengan bahan penelitian; 5) Menentukan metode analisis yaitu analisis struktural, resepsi dan genealogi. Adapun kelima metode penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Metode kepustakaan Metode kepustakaan digunakan untuk mencari dan menentukan bahan-bahan penelitian. Dalam hal ini pemanfaatan berbagai katalog diperlukan, baik katalog susunan Nancy K. Florida (1981), Nikolaus Girarded (1983), Behrend (1989) untuk menjadi panduan di dalam pencarian bahan-bahan utama penelitian. Dari petunjuk ketiga katalog di atas, maka pencarian bahan penelitian dilakukan ke berbagai perpustakaan, di antaranya ke Perpustakaan Taman Siswa (Yogyakarta), Perpustakaan Museum Sanabudaya (Yogyakarta), Perpustakaan Pura Pakualaman (Yogyakarta), Perpustakaan Museum Radya Pustaka (Surakarta), Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran (Surakarta), Perpustakaan Museum Nasional atau Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta, Biro Naskah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia (Jakarta), dan Yayasan Kirtya di Singaraja (Bali). 2. Pengumpulan data (bahan-bahan) penelitian Bahan-bahan penelitian yang sudah diketahui dimana bahan tersebut disimpan kemudian difotocopy. Akan tetapi bahan-bahan penelitian yang tidak dapat difotocopy karena dikhawatirkan akan 34 menjadi rusak maka ditranskripsi. Karena itu pentransliterasian juga ditempuh ke berbagai perpustakaan dan museum, misalnya di Perpustakaan Radya Museum Pustaka (Surakarta), Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran (Surakarta), Perpustakaan ASKI (Surakarta), Perpustakaan Museum Nasional (Jakarta), dan yang terutama ke Biro Naskah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia (Jakarta). Di Biro Naskah Fakultas Sastra Universitas Indonesia itulah kesempatan yang luas dapat diperoleh, sebab jam buka perpustakaan tersebut jauh lebih lama daripada perpustakaan museum-museum di atas. 3. Perjalanan keliling ke lokasi penceritaan Perjalanan keliling ke lokasi penceritaan yang berkaitan dengan bahan penelitian dianggap cukup penting untuk menambah keseriusan dalam penelitian serta menghidupkan suasana isi naskah. Adapun perjalanan keliling yang dilakukan di antaranya ke Banyuwangi, Bojonegoro (lokasi belibis putih, Anglingdarma), Kediri (Kadiri atau Menang (Loka Muksa Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo), Trenggalek (Pegunungan Seribu), Patilasan Pangeran Handayaningrat di Beluk (Tanggan, Sragen) dan kompleks makam Sri Makurung Prabu Handayaningrat di Desa Malangan (Dukuh, Banyudana, Bayalali) yang di dalamnya terdapat pula pohon preh titisan Gendruwo (Gandarwa) Karawu (Karawo), patung Nyi Bendrong dan lain sebagainya. Perjalanan keliling ke lokasi cerita juga dilakukan di sekitar Gunung Lawu (Mahendra) 35 daerah Krendhawahana sampai museum, selanjutnya menelusuri di selasela Gunung Merapi (Candrageni) dan Gunung Merbabu (Marawu, Candramuka), ke kaki (lereng) Gunung Sindara, Gunung Sumbing, Ngadirojo sampai Cilacap. Semua itu dilakukan dalam rangka membayangkan dan memahami lokasi cerita yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana, Sěrat Yudayana, Sěrat Budhayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Purusangkara, Sěrat Mayangkara, Sěrat Ajipamasa, maupun Sěrat Witaradya. 4. Berziarah ke makam tokoh-tokoh sejarah yang berkaitan dengan bahan penelitian Di samping perjalanan ke lokasi penceritaan, maka berziarah ke makam-makam tokoh sejarah yang berkaitan dengan bahan penelitian seperti dipaparkan di atas juga dilakukan. Dari berziarah tersebut kadangkadang dilakukan wawancara (data primer) dengan para juru kunci penjaga makam yang dituju. Dari ziarah tersebut kadang-kadang didapatkan sejumlah cerita rakyat setempat (legenda etiologis), yang seringkali dapat dijajarkan dengan legenda etiologis yang terdapat dalam teks-teks Pustakaraja Madya, meskipun di dalamnya terdapat berbagai variasi. Perjalanan keliling ke lokasi penceritaan dan wawancara dengan masyarakat setempat kiranya akan menambah bekal pengetahuan peneliti dalam membedah karya sastra yang menjadi bahan utama penelitian. Hal itu dapat dilakukan mengingat sifat-sifat teks-teks yang dijadikan bahan utama penelitian memungkinkan hal itu. 36 5. Menentukan metode analisis yaitu analisis struktural, resepsi dan genealogi Sebelum ketiga analisis di atas dipergunakan, maka metode atau analisis ekspresif akan dilakukan untuk memahami kaitan antara pengarang dan karya sastra yang diciptakannya. Hal ini disebabkan metode ekspresif adalah metode penelitian sastra yang mencoba mengkaitkan arti sebuah karya sastra dengan niat penulis, karena adanya perkaitan antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dengan pernyataan mengenai niat penulis. Memahami karya sastra berarti memahami apa-apa yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis (Teeuw, 1988: 177). Tidak ada teks yang tidak ditulis oleh seorang manusia sebagai penulis cerita itu. Tidak ada sebuah teks pun tanpa titik aku, aku si penulis. Meskipun demikian teori tersebut disanggah oleh Gadamer, sebab menurutnya maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya (Teeuw, 1988: 174). Setelah analisis ekspresif dilakukan, kemudian dilanjutkan analisis struktural. Dalam analisis struktural karya sastra dipandang sebagai keseluruhan yang bulat, yang bagian-bagiannya saling bergantungan, dan saling berhubungan itu menimbulkan makna. Analisisnya akan mencerminkan kebulatan karya sastra. Karya sastra sendiri bukanlah merupakan hasil penambahan atau pemupukan unsur-unsur, melainkan hasil dari faktor-faktor yang merupakan unsur-unsur pembentuk struktur karya sastra yang menyusun bahan menjadi sebuah keseluruhan atau 37 kebulatan. Analisis struktural akan memperlihatkan bagian sebagai bagian dan memperlihatkan pengertian keseluruhan sebagai keseluruhan. Pengertian keseluruhan di sini bukannya pengertian keseluruhan yang tak teranalisis seperti dikemukakan oleh Arief Budiman dan Goenawan Mohammad, yang mendasarkan diri pada metode Ganzheit (Faruk, 1982: 2), melainkan pengertian keseluruhan yang teranalisis seperti yang dikatakan oleh Redfield. Keseluruhan yang teranalisis itu merupakan keseluruhan baru yang diketemukan dari keseluruhan yang tak teranalisis. Setelah analisis struktural dilakukan kemudian dilanjutkan dengan analisis resepsi. Dalam teori resepsi sastra sebuah teks dipandang memiliki sifat terbuka untuk perubahan berkat pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka resepsi atau sambutan pembaca, maka perubahan teks itu dapat dilihat dari berbagai bentuk khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw, 1988: 214; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam penelitian yang mengarah pada resepsi sastra maka penyalinan, penyaduran dapat dipandang sebagai pembaca kreatif yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks. Di situlah terjadinya transformasi teks. Dalam transformasi teks itu dapatlah dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Setelah analisis resepsi dilakukan, kemudian diteruskan analisis genealogi. Hal ini dilakukan karena teks Sěrat Darmasarana banyak mengandung unsur-unsur silsilah (genealogi). Adapun pengertian genealogi, seperti telah dikemukakan di atas adalah garis keturunan 38 manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Melacak kedudukan nenek moyang melalui kerangka genealogis dipandang sangat penting dalam budaya Jawa. Naratif yang berupa genealogi dapat membantu melegitimasi kekuasaan seorang raja. Jika dipahami dari sudut kekerabatan, maka genealogi sebenarnya merupakan perwujudan dari pemujaan nenek moyang, yang mempunyai peran penting dalam tradisi kehidupan ritual orang Jawa. Dengan pemujaan nenek moyang, maka akan diperoleh kedamaian hidup dan kesejahteraan darinya, karena nenek moyang memberi perlindungan kepada keturunannya. Keberadaan nenek moyang melengkapi dan juga memperlihatkan kekuasaan raja, sehingga boleh dikatakan bahwa nenek moyang menjadi pasangan raja. Pasangan raja dan nenek moyang sebenarnya menunjukkan keadaan yang tersembunyi dari terpusatnya kekuasaan. Pandangan yang ideal tentang kekuatan sebagai potensi, memandang bahwa pemusatan yang dimanifestasikan dalam hirarki individu-individu yang disatukan secara sengaja memperlihatkan kepatuhannya pada raja yang menjadi pelindung (Keeler dalam Widyaseputra, 2001: 49-50). Dari berbagai metode yang diterapkan, diharapkan makna Sěrat Darmasarana secara optimal dapat direbut. 1.9 SISTEMATIKA PENYAJIAN Sistematika penyajian penelitian ini meliputi 8 bab yang disusun sebagai berikut: 39 BAB I PENDAHULUAN Dalam pendahuluan meliputi: 1) Latar Belakang, 2) Pokok Masalah, 3) Ruang Lingkup Penelitian yang mencakup: a) Ruang Lingkup Data dan b) Ruang Lingkup Penelitian, 4) Tujuan Penelitian, 5) Manfaat Penelitian, 6) Tinjauan Pustaka, 7) Landasan Teori, 8) Metode Penelitian, 9) Sistematika Penyajian. BAB II PUJANGGA R. NG. RANGGAWARSITA PENGGUBAH SĚRAT DARMASARANA Dalam bab II ini mencakup: 1) Riwayat Hidup R. Ng. Ranggawarsita, 2) Kedudukan Kepujanggaan R. Ng. Ranggawarsita, 3) Pengemban Tradisi dan Pembawa Pembaharuan, 4) Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita. BAB III TINJAUAN UMUM DALAM SĚRAT PUSTAKARAJA KARYA R. NG. RANGGAWARSITA ABAD XIX Dalam bab ini meliputi: 1) Pengertian Pustakaraja dan Konstruksi Teksnya, 2) Pengertian Wayang Madya, Relasi dan Konstruksi Teksnya, 3) Lakon-lakon dalam Pertunjukan Wayang Madya, 4) Persamaan Beberapa Tokoh dalam Teks-teks Wayang Madya dengan Raja-raja Jawa, 5) Mitologi Pengging Dibalik Penamaan Pujangga-pujangga Imajinasi. BAB IV DESKRIPSI DAN SINOPSIS SĚRAT DARMASARANA KOLEKSI PERPUSTAKAAN RADYA PUSTAKA SURAKARTA NOMOR 152 A DAN NOMOR 94 (808.543) 40 Dalam bab ini mencakup: 1) Deskripsi Naskah Sěrat Darmasarana Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543), 2) Penulis dan Saat Penulisan Sěrat Darmasarana, 3) Sinopsis Sěrat Darmasarana Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543). BAB V ANALISIS STRUKTUR SĚRAT DARMASARANA Dalam bab ini meliputi: 1) Judul, 2) Tema, 3) Penokohan dan Perwatakan, 4) Hubungan Antartokoh, 5) Plot, 6) Lokasi Kejadian/ Latar (Setting), 7) Titik Pandang (Point of View), 8) Motif. BAB VI SĚRAT DARMASARANA SEBAGAI RESEPSI ĀDIPARWA, MOSALAPARWA DAN PRASTHĀNIKAPARWA Dalam bab ini meliputi: 1) Kutuk Kadrū kepada Para Naga Anaknya, 2) Mahārāja Parīkṣit Digigit Naga Takṣaka, 3) Pertentangan Takṣaka dan Uttangka, 4) Lahirnya Āstīka, Pembebas Kepunahan Para Naga, 5) Prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya, 6) Mangkatnya Prabu Parikesit (Darmasarana) dalam Sěrat Darmasarana, 7) Sarpayajña dalam Sěrat Yudayana, 8) Perbandingan Mangkatnya Maharaja Parīkṣit dalam Ādiparwa dengan Prabu Parikesit dalam Sěrat Darmasarana, 9) Perbandingan Sarpayajña dalam Ādiparwa dengan Sěrat Yudayana, 10) Sěrat Darmasarana sebagai resepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa 41 BAB VII GENEALOGI DALAM SĔRAT DARMASARANA Dalam bab ini meliputi: 1) Genealogi sebagai Legitimasi Kekuasaan, 2) Genealogi (Silsilah) Nenek Moyang Raja-raja Mataram Susunan Brandes, 3) Genealogi dalam Sěrat Darmasarana, 4) Persesuaian Sěrat Pranitiradya dengan Ramalan Jayabaya, 5) Mitisisasi dan Historisasi dalam Tradisi Historiografi Jawa. BAB VIII KESIMPULAN Kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan yang dikemukakan di dalam Bab I Pendahuan. Jawaban tersebut berupa intisari-intisari terhadap hasil pembahasan yang dikemukakan di dalam Bab II sampai dengan Bab VII. DAFTAR PUSTAKA 42