PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE

advertisement
PENDUGAAN EROSI
DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation)
DI SITU BOJONGSARI, DEPOK
Oleh:
NURINA ENDRA PURNAMA
F14104028
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDUGAAN EROSI
DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation)
DI SITU BOJONGSARI, DEPOK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
NURINA ENDRA PURNAMA
F14104028
2008
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE
(Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NURINA ENDRA PURNAMA
F14104028
Dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1985
di Jakarta
Tanggal lulus :
Maret 2008
Menyetujui,
Bogor, Maret 2008
Dosen Pembimbing Akademik
Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M. T.
NIP. 131 667 766
Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS
Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 16 Juni 1985 dan merupakan anak pertama
dari dua bersaudara dari ayah bernama Hery Bahrun dan ibu Endang Irianti.
Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Pacitan I
Tahun 1992, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri
I Pacitan tahun 1998. Pendidikan tingkat atas didapatkan dari Sekolah Menengah
Atas Negeri I Pacitan pada tahun 2001.
Tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Sesuai
program pendidikan phasing out S 1 Departemen TEP, maka pada semester 6
penulis memilih Bagian Teknik Tanah dan Air (TTA). Selama menjalani kuliah di
IPB, penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB 41,
BEM FATETA, dan IMATETANI (Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian
Indonesia).
Pada tahun 2007 penulis melaksanakan praktik lapang di Dinas
Permukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Pacitan, Propinsi Jawa Timur
dengan Laporan Praktik Lapang yang berjudul “Mempelajari Teknik
Pengoperasian Jaringan Irigasi (J.I) Sukoharjo, Daerah Irigasi (D.I)
Grindulu Bawah, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur”.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pendugaan Erosi Dengan Metode
USLE (Universal Soil Loss Equation) Di Situ Bojongsari, Depok”.
Nurina Endra Purnama. F14104028. Pendugaan Erosi dengan Metode USLE
(Universal Soil Loss Equation) di Situ Bojongsari, Depok . Di bawah
bimbingan : Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T. 2008
RINGKASAN
Situ Bojongsari merupakan situ terbesar di Kota Depok dengan luas
mencapai 28.25 Ha yang kondisinya semakin kritis akibat erosi yang disebabkan
oleh pertumbuhan penduduk dan aktifitas pembangunan di sekitarnya. Padahal
keberadaan situ tersebut sangat potensial dalam menjaga wilayah Jakarta dan
Depok dari banjir.
Erosi merupakan peristiwa hilangnya lapisan tanah atau bagian-bagian
tanah. Erosi menimbulkan kerusakan pada tanah tempat terjadi erosi dan pada
tujuan akhir tanah terangkut tersebut diendapkan. Erosi di Situ Bojongsari terjadi
pada tanah di bantaran/pinggir situ yang menyebabkan tanah terangkut dan
mengendap di perairan sehingga menyebabkan pendangkalan situ.
Oleh sebab itu besar erosi pada suatu wilayah harus diperkirakan guna
merencanakan aksi tindak pemulihan dan pencegahan erosi yang lebih besar lagi.
Salah satu metode untuk menduga atau menghitung nilai erosi melalui pendekatan
USLE (Universal Soil Loss Equation). Parameter-parameter yang diperhitungkan
untuk pendugaan dengan metode USLE adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas
tanah (K), panjang lereng (L), kemiringan lereng (S), pengelolaan tanaman (C),
dan konservasi tanah (P).
Proses erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu pelepasan partikel tanah,
pengangkutan oleh media seperti air adan angin, dan selanjutnya pengendapan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi adalah curah hujan, tanah,
lereng (topografi), vegetasi, dan aktifitas manusia. Faktor-faktor tersebutlah yang
merupakan komponen-komponen pengali dalam pendekatan USLE. Aplikasi dari
pendugaan erosi dengan metode USLE ini telah banyak dilakukan untuk
perencanaan penggunaan lahan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pendugaan erosi yang dilakukan di
Situ Bojongsari, maka diperoleh hasil laju erosi rata-rata yang terjadi di Situ
Bojongsari dibagi dalam lima wilayah erosi berdasarkan perbedaan faktor vegetasi
serta konservasi (CP). Laju erosi di lokasi 1 sebesar 300.111 ton/ha/tahun, lokasi
2 dengan laju erosi 0.806 ton/ha/tahun, lokasi 3 sebesar 118.303 ton/ha/tahun,
lokasi 4 sebesar 10.315 ton/ha/tahun, di lokasi 5 nilai laju erosinya 1.612
ton/ha/tahun.
Berdasarkan perhitungan cakupan daerah tangkapan pada masing-masing
zona maka dapat diketahui bahwa nilai erosi terbesar yang tergolong kelas erosi
berat terdapat pada lokasi 1 sebesar 4969.84 ton/ha. Sedangkan nilai erosi terkecil
terdapat pada lokasi 5 yang tergolong kategori erosi sangat ringan sebesar 22.66
ton/ha.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi
pada kelas kelerengan 0-5 % dan sedang pada kelas kelerengan 15-35 %,
sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas kelerengan 35-50 %. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari masih dalam kondisi
i
relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan
perhitungan kemungkinan umur Situ Bojongsari.
Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan
merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada hakekatnya
umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di sekelilingnya dan kemauan
manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ
lebih pendek dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang
peduli terhadap lingkungan.
Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari adalah karena tanah
yang terbawa aliran permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak dapat menahan
aliran permukaan serta vegetasi yang jarang. Untuk mencegah terjadinya erosi
maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar situ dan pembuatan bangunan penangkal
erosi.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya, Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Sholallahu Alaihi Wassalam sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Pendugaan Erosi dengan Metode USLE (Universal Soil Loss
Equation) di Situ Bojongsari, Depok” ini dengan baik. Adapun tujuan dari
penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Skripsi ini disusun berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi
penelitian, wawancara, dan studi pustaka selama melaksnakan penelitian Bulan
Oktober 2007 sampai Pebruari 2008.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T. sebagai Pembimbing
Akademik yang telah memberikan pengarahan.
2. Bapak Prof. Asep Sapei yang telah bersedia meluangkan waktunya
menjadi penguji pada ujian akhir penulis.
3. Bapak Ir. Idung Risdiyanto, Msc yang telah bersedia meluangkan
waktunya menjadi penguji pada ujian akhir penulis.
4. Orang tua, adikku tercinta, dan seluruh keluarga atas doa dan
semangatnya.
5. R. Agung, Inggit Sridaryanti, Wakid Mutowal, dan teman-teman
Departemen TEP 41 atas segala dukungan moril, materi, dan doanya.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, Maret 2008
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................
iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ...................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................. viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ..................................................................
1
B. TUJUAN ………....………………………………………………
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN UMUM SITU ATAU DANAU………………...
4
B. EROSI……………………………………………….…………...
6
1. Pengertian Erosi……………………………………………..
6
2. Proses Terjadinya Erosi……………………………………..
8
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi...............…………
9
4. Pendugaan Erosi.……………………………………………
11
5. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi…………………………..
18
C. KEADAAN UMUM SITU BOJONGSARI……….…………...
19
D. KERUSAKAN SITU ..................................……….…………...
25
1. Sedimentasi.....……………………………………………..
25
2. Vegetasi Enceng Gondok....………………………………..
26
3. Erosi Longsor.........................................................…………
27
III. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN………………………
28
B. ALAT DAN BAHAN ………………………………………….
28
iv
C. METODE PENELITIAN ………………………………………
28
1. Pengumpulan Data………………………………………….
28
2. Pengolahan Data..................................……………………..
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERHITUNGAN EROSI........................………………………
33
1. Faktor Erosivitas (R)……………………………………….
33
2. Faktor Erodibiltas (K).........................……………………..
35
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS).....…………....
36
4. Faktor Vegetasi & Konservasi (CP)........………...……….....
39
5. Perhitungan nilai laju erosi......................………...……….....
42
6. Klasifikasi TBE.......................................………...……….....
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN…........................................……………………..
54
B. SARAN …………………......................………………………...
55
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 57
LAMPIRAN …………………………………………………………….
59
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Batas Maksimum Laju Erosi.......................................................
7
Tabel 2. Penilaian Kelas Kelerengan (LS)................................................
15
Tabel 3. Perkiraan Nilai Faktor C Berbagai Jenis Lahan.......................... 16
Tabel 4. Perkiraan Nilai Faktor P Berbagai Jenis Lahan...........................
17
Tabel 5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi........................................................ 18
Tabel 6. Jenis dan Sumber Data................................................................
31
Tabel 7. Nilai Erosivitas di DAS Ciliwung Tengah.................................. 34
Tabel 8. Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 1...................................... 45
Tabel 9. Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 2...................................... 45
Tabel 10.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 3...................................... 46
Tabel 11.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 4...................................... 46
Tabel 12.Nilai Faktor-faktor Erosi Pada Lokasi 5...................................... 47
Tabel 13.Hasil Perhitungan Nilai A di Situ Bojongsari.............................
48
Tabel 16.Hasil Perhitungan Total Nilai A di Situ Bojongsari.................... 48
Tabel 17.Kelas Tingkat Bahaya Erosi Situ Bojongsari.............................. 49
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Zona Kedalaman Bentuk Perairan Menggenang....................
5
Gambar 2. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air.....................................
8
Gambar 3. Nomograf Erodibilitas Tanah.................................................. 14
Gambar 4. Kondisi Perairan Situ Bojongsari............................................
20
Gambar 5. Kondisi Sekitar Situ Bojongsari..............................................
21
Gambar 6. Usaha Rumah Makan di Timur Situ Bojongsari..................... 22
Gambar 7. Vegetasi Ketela Pohon di Barat Daya Situ Bojongsari...........
22
Gambar 8. Cottage di Tengah Situ Bojongsari.......................................... 23
Gambar 9. Kondisi Check Dam yang Tidak Terawat............................... 24
Gambar 10.Kondisi Situ Bojongsari yang Tidak Terawat ........................ 25
Gambar 11.Vegetasi Enceng Gondok di Perairan Situ Bojongsari...........
26
Gambar 12.Erosi Longsor pada Tebing Situ Bojongsari...........................
27
Gambar 13.Diagram Alir Pendugaan Erosi............................................... 32
Gambar 14.Grafik Erosivitas Hujan DAS Ciliwung Tengah.................... 34
Gambar 15.Peta Tanah DAS Ciliwung..................................................... 36
Gambar 16.Peta Digitasi Kelas Kelerengan DAS Ciliwung.....................
37
Gambar 17.Pembagian Kelas Kelerengan Situ Bojongsari.......................
38
Gambar 18.Vegetasi di Barat Daya Situ Bojongsari................................. 40
Gambar 19.Vegetasi di DTA Situ Bojongsari...........................................
41
Gambar 20.Deretan Pohon Akasia dan Rumput di Timur Situ.. .............. 43
Gambar 21.Erosi Longsor di Bantaran Situ Bojongsari............................
44
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Curah Hujan Bulanan DAS Ciliwung Tengah............
59
Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Depok............................................
60
Lampiran 3. Peta Sebaran Curah Hujan Kota Depok...............................
61
Lampiran 4. Peta Situ Bojongsari............................................................
62
Lampiran 5. Peta Sawangan.....................................................................
63
Lampiran 6. Peta Spasial Pembagian Kelas Lereng DAS Ciliwung........
64
Lampiran 7. Nilai Erodibilitas (K) Untuk Jenis Tanah di Jawa...............
65
Lampiran 8. Perkiraan Nilai Faktor C. ....................................................
67
Lampiran 9. Perkiraan Nilai Faktor C. ....................................................
69
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah sebagai sumber daya alam telah mengalami berbagai tekanan
seiring dengan peningkatan jumlah manusia. Tekanan tersebut telah
menyebabkan penurunan mutu tanah yang berujung pada pengurangan
kemampuan tanah untuk berproduksi. Penurunan mutu tanah tersebut
disebabkan oleh proses pencucian hara dan proses erosi tanah terutama pada
lahan-lahan yang tidak memiliki
penutupan vegetasi. Erosi merupakan
peristiwa hilangnya lapisan tanah atau bagian-bagian tanah di permukaan. Di
Indonesia erosi yang sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh air.
Erosi dapat menimbulkan kerusakan baik pada tanah tempat terjadi
erosi maupun pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut
diendapkan. Kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi berupa penurunan
sifat-sifat kimia dan fisik tanah yang pada akhirnya menyebabkan
memburuknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya produktivitas. Sedangkan
pada tempat tujuan akhir hasil erosi akan menyebabkan pendangkalan sungai,
waduk, situ/danau, dan saluran irigasi. Dengan peningkatan jumlah aliran air
di permukaan dan mendangkalnya sungai menyebabkan makin seringnya
terjadi banjir (Murdis, 1999).
Situ-situ yang ada di wilayah Jabodetabek merupakan bagian dari
sumber daya air lintas provinsi di wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, wilayah
Ciujung-Ciliman, dan wilayah Sungai Citarum. Sebagian besar situ-situ
tersebut, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan karena telah mengalami
penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga banyak yang tidak
dapat difungsikan dan dimanfaatkan dengan optimal, yang diakibatkan oleh
berbagai faktor yaitu faktor fisik dan faktor non fisik. Faktor fisik antara lain:
pengurangan luasan situ karena alih fungsi, sedimentasi, kurangnya
pemeliharaan sehingga dipenuhi gulma air dan rerumputan, juga kerusakan
pada bangunan prasarana situ. Faktor non fisik berupa penyalahgunaan
wewenang pemberian izin pemanfaatan situ, pemberian hak atas tanah pada
kawasan
situ,
penyerobotan/pemanfaatan
secara
ilegal,
keterbatasan
kemampuan pengelolaan situ oleh pemerintah dan pemerintah daerah,
kurangnya partisipasi masyarakat serta kurangnya kesamaan persepsi terhadap
perundang-undangan.
Kota Depok merupakan daerah yang tergolong memiliki banyak situ.
Tercatat 26 situ tersebar di wilayah selatan Jakarta ini. Namun, dari 26 situ
yang tersebar di enam kecamatan, kira-kira 80 persen diantaranya dalam
kondisi mengkhawatirkan. Sebagian sudah banyak yang beralih fungsi, yang
semula dimanfaatkan sebagai daerah resapan air atau penampung hujan kini
menjadi permukiman penduduk, lapangan bola, dan pembuangan limbah atau
sampah. Bahkan erosi yang terjadi di daerah situ semakin parah dari waktu ke
waktu. Padahal situ-situ tersebut itu cukup potensial menjaga wilayah Jakarta
dan Depok dari banjir.
Situ atau danau merupakan bentuk mikro daerah tangkapan air.
Dengan mengetahui karakteristik biofisik situ beserta tingkat bahaya erosi dan
sedimentasinya maka dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang diperlukan
berupa pengendalian laju erosi tanah dan rehabilitasi lahan.
Salah satu situ yang di Kota Depok yang termasuk dalam kategori situ
kritis adalah Situ Bojongsari. Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota
Depok. Luas Situ Bojongsari mencapai 28.25 Ha. Peningkatan jumlah
penduduk dan aktivitas pembangunan di Kota Depok menyebabkan
peningkatan jumlah buangan limbah domestik, limbah industri, dan limbahlimbah lainnya serta kurangnya pemeliharaan kawasan Situ Bojongsari
menimbulkan pencemaran dan erosi pada situ dan daerah di sekitarnya.
Semula prediksi erosi adalah suatu metode untuk memperkirakan atau
menduga laju erosi yang terjadi dari lahan yang dipergunakan bagi usaha
pertanian tertentu. Persamaan yang sering digunakan untuk memprediksi erosi
adalah persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE). Persamaan ini adalah
model pendugaan erosi yang digunakan untuk menghitung besarnya erosi
yang terjadi dalam jangka panjang pada suatu daerah. Metode USLE
mempunyai kelebihan, yaitu proses pengolahan datanya yang sedehana,
sehingga mudah dihitung secara manual maupun menggunakan alat bantu
program komputer (software).
Hal ini memudahkan para petugas yang
2
bekerja di lapangan dalam membuat suatu perkiraan kasar terhadap besarnya
laju erosi (Indrawati, 2000).
Universal Soil Loss Equation (USLE) sudah dua puluh tahun lebih
digunakan sebagai metode pendugaan besarnya erosi yang cukup baik.
Metode ini dikembangkan di Amerika Utara dengan tujuan untuk mengetahui
besarnya erosi pada lahan pertanian. Pengembangan metode ini didasarkan
pada hasil pengukuran pada sepuluh ribu stasiun pengamatan erosi yang
tersebar di seluruh Amerika Utara. Dengan keserdahanaan, kemudahan dalam
pemasukan input data, dan hasil yang cukup baik metode ini banyak dipakai di
berbagai sektor di luar pertanian termasuk di sektor kehutanan (Ispriyanto,
2001). Nilai erosi yang diperoleh dari pendekatan USLE selanjutnya dapat
dipergunakan untuk menduga laju erosi yang terjadi pada suatu wilayah dan
menentukan Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi, sehingga untuk mencegah
kerusakan lahan akibat erosi dapat dihindari sedini mungkin dengan teknikteknik konservasi lahan.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan menduga besarnya nilai erosi dan Tingkat
Bahaya Erosi (TBE) di Situ Bojongsari, Kota Depok dengan pendekatan
USLE (Universal Soil Loss Equation).
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN UMUM SITU ATAU DANAU
Perairan pedalaman terdiri dari sungai, danau, dan rawa. Sungai
merupakan suatu bentuk perairan mengalir (Lotic system) dan danau serta
rawa sebagai bentuk perairan tergenang (Lentic system). Perairan tergenang
dengan berbagai jenisnya memiliki pergerakan air yang minim dengan arah
arus yang tidak tetap. Pergerakkan air disebabkan oleh aksi gelombang, arus
internal atau pergerakan inlet dan outlet (Weltch, 1952).
Berbagai bentuk perairan tersebut merupakan bagian dari lahan basah
(Wetlands) yang merupakan sistem pendukung kehidupan paling produktif di
muka bumi ini. Lahan basah adalah habitat berbagai jenis organisme dan
penyedia keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Danau, situ, dan rawa
merupakan bagian dari ekosistem lahan basah.
Situ adalah istilah yang digunakan masyarakat sunda untuk menyebut
danau yang memiliki ukuran relatif kecil. Situ merupakan daerah penampung
air yang terbentuk secara alamiah ataupun buatan manusia yang merupakan
sumber air baku bagi berbagai kepentingan dalam kehidupan manusia. Sumber
air yang ditampung di perairan ini pada umumnya berasal dari air hujan (run
off), sungai atau saluran pembuangan, dan mata air. Air tersebut dipasok dari
Daerah Tangkapan Air (DTA) di sekitar situ. Daerah tangkapan air adalah
wilayah di atas danau atau situ memasok air ke danau atau situ tersebut.
Situ merupakan tipe perairan tergenang yang memiliki fungsi sangat
penting bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai resapan air, pengendali
banjir, pengendali iklim mikro, habitat bagi biota, sumber air, pemasok air ke
lingkungan sekitarnya (akuifer), pengendap lumpur serta pencegah intrusi air
laut pada daerah pesisir. Bahkan dari segi estetika yang dimiliki, situ dapat
berperan sebagai obyek wisata (Hotib dan Suryadiputra, 1998).
Situ merupakan tipe ekosistem perairan tawar yang tergenang (lentic)
dan dangkal. Zona kedalaman situ ditunjukan pada Gambar 1. Situ juga
merupakan kesatuan sistem drainase dan tata aliran air setempat (ekodrainase). Bentuk badan air situ seperti bentuk tampungan air permukaan dan
4
air tanah dangkal yang menggenang (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek,
2007).
¶
O2
Zona fotik
CO2
Zona afotik
Gambar 1. Zona Kedalaman Bentuk Perairan Menggenang dan Proses
Fotosintesis (Suwignyo, P, 2000 di dalam Strategi
Pengelolaan Situ Jabodetabek, 2007)
Sementara itu Haeruman (1999) berpendapat bahwa keberadaan danau
atau situ sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan
tata air. Dari sudut ekologi, situ merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur
air, kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
muka air, sehingga kehadiran situ akan mempengaruhi iklim mikro dan
keseimbangan ekosistem sekitarnya. Sedangkan jika ditinjau dari sudut tata
air, situ berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkan airnya sebagai
alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai
tangkapan air untuk pengendaliuan banjir, serta penyuplai air tanah.
Secara alamiah Situ mempunyai kawasan tandon air yang dibatasi oleh
tanggul yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan
dan daratan. Secara fisik komponen pembentuk tipologinya dibagi dalam tiga
(3) bagian, yaitu:
a) Medium tampungan sumber daya air.
b) Daerah peralihan (ekoton)/penyangga (buffer zone).
c) Daerah tangkapan air (catchment area).
5
Suplai air ke dalam Situ dipengaruhi oleh aliran air baik dari air hujan,
permukaan dan air tanah. Bentuk perairannya merupakan perairan daratan
sistem terbuka (open system). Bila dilihat dari morfologi bentukan, suplai air
dan sistem tata airnya, maka arus alirannya adalah relatif tenang. Asal-usul
situ di wilayah Jabodetabek terdiri dari situ alami dan buatan. Beberapa situ
alami mempunyai mata air, sehingga tidak kering di musim kemarau. Situ
alami terbentuk secara alami dapat terbentuk dari sisa rawa/lahan basah,
dimana sumber air utamanya berasal dari rembesan air tanah (seepage). Situ
buatan dapat berasal dari dam pengendali pada sistem irigasi sawah, bekas
galian lio-bata (pembuatan batu-bata), bekas galian pasir, atau waduk buatan
yang dibuat sebagai pengendali banjir (Strategi Pengelolaan Situ Jabodetabek,
2007).
B. EROSI
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached ) dan
kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, dan
gravitasi (Hardjowigeno, 1995). Secara deskriptif, Arsyad (2000)
menyatakan erosi merupakan akibat interaksi dari faktor iklim, tanah,
topografi, vegetasi, dan aktifitas manusia terhadap sumber daya alam.
Erosi dibagi menjadi dua macam, yaitu erosi geologi dan erosi
dipercepat (Hardjowigeno, 1995). Erosi geologi merupakan erosi yang
berjalan lambat dengan jumlah tanah yang tererosi sama dengan jumlah
tanah yang terbentuk. Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam
keseimbangan alami. Erosi dipercepat (accelerated erosion) adalah erosi
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang mengganggu keseimbangan
alam dan jumlah tanahnya yang tererosi lebih banyak daripada tanah yang
terbentuk. Erosi ini berjalan sangat cepat sehingga tanah di permukaan
(top soil) menjadi hilang.
Laju pelapukan tanah memang susah diukur secara tepat, namun
dengan beberapa pendekatan, para pakar geologi telah sepakat bahwa
untuk membentuk lapisan tanah setebal 25 mm pada lahan-lahan alami
6
dibutuhkan waktu kurang lebih 300 tahun (Bennet, 1939). Waktu yang
diperlukan menjadi berkurang sangat drastis dengan adanya campur
tangan manusia, untuk membentuk lapisan tanah setebal 25 mm hanya
memerlukan waktu kurang lebih 30 tahun (Hudson, 1971). Berdasarkan
laju pembentukan tanah ini, maka batas laju yang dapat diterima adalah
1.1 kg/m2/tahun. Namun demikian penentuan batas laju erosi untuk
berbagai macam kondisi tanah akan berbeda, sebagaimana yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Maksimum Laju Erosi yang Dapat Diterima Untuk
Berbagai Macam Kondisi Tanah
Kondisi Tanah
Skala makro (misal DAS)
Laju Erosi
(kg/m2/tahun)
0.2
Sumber
Morgan (1980)
Skala meso (misal lahan pertanian) :
Tanah berlempung tebal dan subur (MidWest, USA)
0.6 – 1.1
Tanah dangkal yang mudah tererosi
Wischmeier &
Smith (1978)
Hudson (1971)
0.2 – 0.5
Smith dan Staney
(1965)
Tanah berlempung tebal, yang berasal
1.3 – 1.5
Hudson (1971)
0 – 25 cm
0.2
Arnoldus (1977)
25 – 50 cm
0.2 – 0.5
Arnoldus (1977)
50 – 100 cm
0.5 – 0.7
Arnoldus (1977)
100 – 150 cm
0.7 - 0.9
Arnoldus (1977)
> 150 cm
1.1
Morgan (1980)
Tanah tropika yang sangat mudah erosi
2.5
Morgan (1980)
Skala mikro (misal daerah terbangun)
2.5
Morgan (1980)
dari endapan vulkanik (misal di Kenya)
Tanah dengan kedalaman :
Sumber : Suripin (2000)
7
Tanah dari
lereng atas
Penghancuran
tanah oleh
curah hujan
Penghancuran
tanah oleh
aliran
permukaan
Daya
angkut
curah hujan
Daya
angkut
aliran
permukaan
Penghancuran dalam
perjalanan
Total tanah yang
dihancurkan
bandingkan
Total daya
angkut
Total tanah yang dihancurkan < daya angkut
Total tanah yang dihancurkan > daya angkut
Tanah yang diangkut ke
lereng bawah
Gambar 2. Diagram Proses Terjadinya Erosi Air (Meyer dan Wiscmeier,
1969 di dalam Hardjowigeno 1995)
2. Proses Erosi
Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sulit
dihilangkan sama sekali atau tingkat erosinya nol, khusunya untuk lahanlahan yang diusahakan untuk pertanian. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah mengusahakan supaya erosi yang terjadi masih di bawah ambang
batas yang maksimum (soil loss tolerance), yaitu besarnya erosi tidak
melebihi laju pembentukan tanah (Suripin, 2001)
8
Menurut Suripin (2001) erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap
pelepasan partikel tunggal dari masa tanah dan tahap pengangkutan oleh
media yang erosif seperti aliran air dan angin. Pada kondisi dimana energi
yang tersedia tidak lagi cukup untuk mengangkut partikel, maka akan
terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan.
Proses terjadinya erosi di suatu lereng dapat digambarkan dengan
suatu diagram pada Gambar 2 (Mayer dan Wishmeier, 1969) dalam
Hardjowigeno (1995). Untuk dapat terjadi erosi, tanah harus dihancurkan
oleh curah hujan dan aliran permukaan, kemudian diangkut ke tempat lain
oleh curah hujan dan aliran permukaan.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada suatu bagian lereng
terdapat input bahan-bahan tanah yang dapat dierosikan yang berasal dari
lereng atas serta penghancuran tanah di tempat tersebut oleh pukulan curah
hujan dan pengikisan aliran permukaan. Kecuali itu terdapat output akibat
pengangkutan tanah oleh curahan air hujan dan aliran permukaan (run off).
Bila total daya angkut dari air tersebut (curahan air hujan + aliran
permukaan), lebih besar dari tanah yang tersedia, maka akan terjadi erosi.
Sebaliknya bila total daya angkut lebih kecil dari total tanah yang
dihancurkan akan terjadi pengendapan di bagian lereng tersebut.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Erosi
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi yang terpenting
adalah curah hujan, tanah, lereng, vegetasi, dan manusia (Hardjowigeno,
1995).
a. Curah Hujan
Sifat hujan yang terpenting yang mempengaruhi besarnya erosi
adalah curah hujan. Intensitas hujan menunujukan banyaknya curah
hujan per satuan waktu (mm/jam atau cm/jam).
Kekuatan menghancurkan tanah dari curah hujan jauh lebih
besar
dibandingkan
dengan
kekuatan
pengangkut
dari
aliran
permukaan (Hardjowigeno, 1995).
9
Hujan yang turun sampai ke permukaan tanah memiliki energi
kinetik yang dapat menghancurkan tanah (butir-butir tanah), sehingga
bagian-bagian tanah terhempas, hilang, dan hanyut oleh aliran
permukaan. Hilang atau terkikisnya lapisan tanah inilah yang disebut
erosi.
b. Tanah
Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi.
Kepekaan tanah terhadap erosi disebut erodibilitas. Semakin besar nilai
erodibilitas suatu tanah maka semakin peka tanah tersebut terhadap
erosi (Hardjoamidjojo dan Sukartaatmadja, 1992).
Hardjowigeno (1995) menyebutkan sifat-sifat tanah yang
berpengaruh terhadap erosi adalah tekstur tanah, bentuk dan
kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah, dan
kandungan bahan organik. Nilwan (1987) menyebutkan sifat fisik
tanah yang mudah mengalami erosi adalah tanah dengan tekstur kasar
(pasir kasar), bentuk struktur tanah yang membulat, kapasitas infiltrasi
yang rendah, dan kandungan bahan organik kurang dari 2%.
Sedangkan sifat fisik tanah yang dapat menahan erosi adalah tanah
dengan tekstur halus (liat, debu, pasir, pasir halus, kapasitas
infiltrasinya besar, dan kandungan bahan organik yang besar untuk
menambah kemantapan struktur tanah).
c. Lereng
Arsyad (2000) dan Hardjowigeno (1995) mengemukakan unsur
topografi yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah panjang dan
kemiringan lereng. Erosi akan meningkat apabila lereng semakin
curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka
kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut
semakin meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menyebabkan
volume air yang mengalir menjadi semakin besar.
10
d. Vegetasi
Menurut Hardjowigeno (1995) Pengaruh vegetasi terhadap
erosi adalah :
1. Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di
permukaan
tanah,
sehingga
kekuatan
tanah
untuk
menghancurkan dapat dikurangi ;
2. Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air
infiltrasi ;
3. Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh tranpirasi
(penguapan air) melalui vegetasi.
e. Manusia
Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia
menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah
yang berlereng curam merupakan pengaruh baik dari manusia karena
dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerahdaerah pegunungan merupakan pengaruh manusia yang buruk karena
dapat menyebabkan erosi (Hardjowigeno,1995).
4. Pendugaan Erosi
Praktek-praktek
bercocok
tanam
dapat
merubah
keadaan
penutupan lahan dan oleh karena itu dapat mengakibatkan terjadinya erosi
permukaan pada tingkat atau besaran yang bervariasi. Oleh karena besaran
erosi yang berlangsung ditentukan oleh intensitas dan bentuk aktifitas
pengelolaan lahan, maka perkiraan besarnya erosi yang terjadi akibat
aktifitas pengelolaan lahan tersebut perlu dilakukan. Dari beberapa metode
untuk memperkirakan besarnya erosi permukaan, metode Universal Soil
Loss Equation (USLE) adalah metode yang paling umum digunakan
(Asdak, 1995).
Wischmeier dan Smith (1978) juga menyatakan bahwa metode yang
umum digunakan untuk menghitung laju erosi adalah metode Universal
Soil Loss Equation (USLE). Adapun persamaan ini adalah:
11
A = R . K . L . S . C . P ....................................................................(1)
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
a. Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas merupakan kemampuan hujan untuk menimbulkan
atau menyebabkan erosi. Indeks erosivitas hujan yang digunakan
adalah EI30. Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh jatuhan
butir-butir hujan langsung di atas permukaan tanah. Kemampuan air
hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan
distribusi tetesan air hujan, dimana keduanya mempengaruhi besar
energi kinetik air hujan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetis atau
momentum, yaitu parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan
atau volume hujan (Asdak, 1995).
Persamaan yang umum digunakan untuk menghitung erosivitas
adalah persamaan yang dikemukakan oleh Bols (1978) dalam
Hardjowigeno (1995). Persamaan tersebut adalah :
EI30 = 6.119 R1.21 x D-0.47 x M0.53.........................................(2)
12
R12 =
∑
(EI30)......................................................................(3)
m=1
dimana :
EI30 : Erosivitas curah hujan bulanan rata-rata
R12 : Jumlah E130 selama 12 bulan
12
R
: Curah hujan bulanan (cm)
D
: Jumlah hari hujan
M
: Hujan maksimum pada bulan tersebut (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang lain
dapat menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Lenvain (DHV,
1989) sebagai berikut :
R
= 2.21 P 1.36.....................................................................(4)
dimana :
R
: Indeks erosivitas
P
: Curah Hujan Bulanan (cm)
Cara menentukan besarnya indeks erosivitas hujan yang
terakhir ini lebih sederhana karena hanya memanfaatkan data curah
hujan bulanan.
b. Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang ratarata setiap tahun per satuan indeks daya erosi curah hujan pada
sebidang tanah tanpa tanaman (gundul), tanpa usaha pencegahan erosi,
lereng 9% (5°), dan panjang lereng 22 meter (Hardjowigeno, 1995).
Faktor erodibilitas tanah menunjukan kekuatan partikel tanah
terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh
adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas tanah ditentukan
oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah,
kapasitas infiltrasi, dan kandungan bahan organik serta bahan kimia
tanah.
Metode penetapan nilai faktor K secara cepat dapat dilihat pada
Tabel 2 dengan terlebih dahulu mengetahui informasi jenis tanah. Nilai
faktor K juga dapat diperoleh dengan menggunakan nomograf
erodibilitas tanah seperti yang ditunjukan pada Gambar 3. Nomograf
ini disusun oleh lima parameter yaitu % fraksi debu dan pasir sangat
halus, % fraksi pasir, % bahan organik, struktur tanah, dan
permeabilitas tanah (Purwowidodo,1999).
13
Gambar 3. Nomograf Erodibilitas Tanah (United States Environmental
Protection Agency, 1980 di dalam Asdak, 1995)
14
c. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)
Faktor lereng (LS) merupakan rasio antara tanah yang hilang
dari suatu petak dengan panjang dan curam lereng tertentu dengan
petak baku (tanah gundul,curamlereng 9%, panjang 22 meter, dan
tanpa usaha pencegahan erosi) yang mempunyai nilai LS = 1.
Menurut Weismeier dan Smith (1978) dalam Hardjoamijojo
dan Sukartaatmadja (1992), faktor lereng dapat ditentukan dengan
persamaan :
l
LS =
22
m
(0.065 + 0.045S + 0.0065S ) ..................................(5)
2
dimana :
l = Panjang lereng (meter)
S = Kemiringan lahan (%)
m = Nilai eksponensial yang tergantung dari kemiringan
S < 1%
maka nilai m = 0.2
S=1–3%
maka nilai m = 0.3
S=3–5%
maka nilai m = 0.4
S > 5%
maka nilai m = 0.5
Selain menggunakan rumus
di atas, nilai LS dapat juga
ditentukan menurut kemiringan lerengnya seperti ditunjukan pada
Tabel 2 berikut .
Tabel 2. Penilaian Kelas Kelerengan (LS)
Kelas Lereng
Kemiringan Lereng (%)
Nilai LS
A
0–5
0.25
B
5 – 15
1.20
C
15 – 35
4.25
D
35 – 50
9.50
E
> 50
12.00
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan RTL-RLKT Jakarta(1986)
15
d. Faktor Tanaman (C)
Faktor pengelolaan tanaman merupakan rasio tanah yang
tererosi pada suatu jenis pengelolaan tanaman terhadap tanah yang
tererosi dengan pada kondisi permukaan lahan yang sama tetapi tanpa
pengelolaan tanaman atau diberakan tanpa tanaman. Pada tanah yang
gundul (diberakan tanpa tanaman/petak baku) nilai C = 1.0. Untuk
mendapatkan nilai C tahunan perlu diperhatikan perubahan-perubahan
penggunaan tanah dalam setiap tahun. Besarnya nilai C pada beberapa
kondisi dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Tabel 3.
Terdapat sembilan parameter sebagai faktor penentu besarnya
nilai C, yaitu konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk vegetasi,
sistem perakaran, efek sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan,
faktor kontur, kekasaran permukaan tanah, gulma, dan rumputrumputan (Asdak, 1985).
Tabel 3. Perkiraan Nilai Faktor C Berbagai Jenis Penggunaan Lahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Pengelolaan Tanaman
Ubi kayu + kedelai
Ubi kayu + kacang tanah
Padi + sorgum
Padi + kedelai
Kacang tanah + gude
Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ ha
Kacang tanah + kacang tunggak
Padi + mulsa jerami 4 ton/ ha
Kacang tanah + mulsa jagung 3 ton/ ha
Kacang tanah + mulsa crotalaria 3 ton/ ha
Kacang tanah + mulsa kacang tanah
Kacang tanah + musla jerami
Padi + mulsa crotalaria 3 ton/ha
Pola tanam tumpang gilir 1) + mulsa jerami 6
ton/ha/tahun
Pola tanam berurutan 2) + mulsa sisa tanaman
Pola berurutan
Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa tanaman
Pola tanam tumpang gilir
Nilai C
0.181
0.195
0.345
0.417
0.495
0.049
0.571
0.096
0.120
0.136
0.259
0.377
0.387
0.079
0.347
0.498
0.357
0.588
Sumber : Abdukrahman, dkk (1981) di dalam Hardjoamidjojo, S. dan
Sukartaatmadja, S. (1992)
16
Tabel 4. Perkiraan Nilai Faktor P Berbagai Jenis Penggunaan Lahan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Teknik Konservasi Tanah
Teras bangku
a. Sempurna
b. Sedang
c. Jelek
Teras tradisional
Padang rumput (permanent grass field)
a. Bagus
b. Jelek
Hill side ditch atau field pits
Countur cropping
a. kemiringan 0 – 8%
b. kemiringan 9 – 20%
c. kemiringan 20%
Limbah jerami yang digunakan
a. 6 ton/ ha/ tahun
b. 3 ton/ ha/ tahun
c. 1 ton/ ha/ tahun
Tanaman perkebunan
a. penutupan tanah rapat
b. penutup tanah sedang
Reboisasi dengan penutupan tanah pada tahun awal
Strip cropping jagung – kacang tanah, sisa tanaman
dijadikan mulsa
Jagung – kedelai, sisa tanaman dijadikan mulsa
Jagung – mulsa jerami padi
Padi gogo – kedelai, mulsa jerami padi
Kacang tanah – kacang hijau
Nilai
P
0.04
0.15
0.35
0.40
0.04
0.40
0.3
0.5
0.75
0.9
0.3
0.5
0.8
0.1
0.5
0.3
0.5
0.087
0.008
0.193
0.730
Sumber : Abdukrahman, dkk (1981) di dalam Hardjoamidjojo, S. dan
Sukartaatmadja, S. (1992)
e. Faktor Usaha-usaha Pencegahan Erosi / Konservasi (P)
Faktor praktik konservasi tanah adalah rasio tanah yang hilang
bila usaha konservasi tanah dilakukan (teras, tanaman, dan sebagainya)
dengan tanpa adanya usaha konservasi tanah. Tanpa konservasi tanah
nilai P = 1 (petak baku). Bila diteraskan, nilai P dianggap sama dengan
nilai P untuk strip cropping, sedangkan nilai LS didapat dengan
menganggap panjang lereng sebagai jarak horizontal dari masingmasing teras. Besarnya nilai P pada beberapa kondisi dapat dilihat
pada Tabel 4. Konservasi tanah tidak hanya tindakan konservasi secara
17
mekanis dan fisik, tetapi termasuk juga usaha-usaha yang bertujuan
untuk mengurangi erosi tanah. Penilaian faktor P di lapangan lebih
mudah apabila digabungkan dengan faktor C, karena dalam
kenyataannya kedua faktor tersebut berkaitan erat. Beberapa nilai
faktor CP telah dapat ditentukan berdasarkan penelitian di Jawa seperti
terlihat pada Lampiran 9. Pemilihan atau penentuan nilai faktor CP
perlu dilakukan dengan hati-hati karena adanya variasi keadaan lahan
dan variasi teknik konservasi yang dijumpai di lapangan.
5. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Perkiraan erosi dan kedalaman tanah dipertimbangkan untuk
memprediksi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) untuk setiap satuan lahan.
Kelas Tingkat Bahaya Erosi diberikan pada tiap satuan lahan dengan
matriks yang mengguanakan informasi solum tanah dan perkiraan erosi
menurut Rumus USLE. Kelas Tingkat Bahaya Erosi ditentukan dengan
menggunakan matriks yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi
Kelas Erosi
Solum Tanah
I
II
III
IV
V
Erosi (ton/ha/thn)
(cm)
<15
15-60
60-180
180-480
>480
Dalam
SR
R
S
B
SB
>90
0
I
II
III
IV
Sedang
R
S
B
SB
SB
60 - 90
I
II
III
IV
IV
Dangkal
S
B
SB
SB
SB
30 - 60
II
III
IV
IV
IV
Sangat Dangkal
B
SB
SB
SB
SB
<30
III
IV
IV
IV
IV
Sumber : Departemen Kehutanan, Direktorat Jendral Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan (1998)
18
Keterangan :
0 – SR
= Sangat Ringan
I–R
= Ringan
II – S
= Sedang
III – B
= Berat
IV – SB
= Sangat Berat
C. KEADAAN UMUM SITU BOJONGSARI
Situ Bojongsari merupakan situ terluas di Kota Depok. Secara
administratif Situ Bojongsari terletak di Kelurahan Sawangan (Sawangan
Lama), Kecamatan Sawangan, dengan letak geografisnya pada 6°23'15"
LS dan 106°45'13" BT. Situ ini termasuk dalam lingkup administratif DAS
Angke yang memiliki tujuh muara (teluk), yang masing-masing teluknya
terletak di dukuh yang berbeda dalam Wilayah Kecamatan Sawangan. Situ
Bojongsari memiliki luas perairan 28.25 ha dengan kedalaman 3 – 4 meter,
terletak 70 meter dari permukaan laut. Perairan situ dikelilingi oleh areal
perkebunan pada sebelah selatan, permukiman di sebelah barat, areal
perkebunan di sebelah utara, dan terdapat sarana rekreasi di sebelah
timurnya. Selain itu terdapat padang golf (Club Golf Sawangan) pada bagian
tenggara Situ Bojongsari.
Permukiman yang terdapat pada barat situ merupakan milik
penduduk sekitar dan usaha-usaha rumah makan dengan bangunan non
permanen. Beberapa bangunan diantaranya terletak sangat dekat dengan
danau, sehingga sering mendapat peringatan dari pemerintah daerah setempat
untuk memindahakan bangunannya karena dikhawatirkan dapat mengganggu
ekosistem situ/danau. Kolam-kolam ikan milik penduduk juga banyak
dijumpai di bagian utara dan barat Situ Bojongsari. Bahkan perairan pada
bagian barat dan utara ini kurang lebih 35 persen dipakai untuk tambak ikan
yang diusahakan oleh pihak swasta.
19
Gambar 4. Kondisi Perairan Situ Bojongsari
Selanjutnya pada bagian selatan situ didominasi oleh perkebunan
milik penduduk sekitar dengan komoditas utama ketela pohon dan jagung.
Selain tanaman perkebunan, juga dijumpai beberapa areal sawah milik
penduduk dengan padi sebagai komoditas utamanya. Sawah ini mendapatkan
air irigasi dari situ.
Bagian tenggara situ merupkan areal komersil yang dikelola oleh
pihak swasta. Di bagian tenggara ini terdapat lapangan golf dengan vegetasi
rumputnya yang tertata dengan baik. Lapangan golf ini bersebelahan dengan
hotel dan cottage yang sengaja dikelola oleh pihak swasta dengan
memanfaatkan keindahan alam Situ Bojongsari.
Menurut Fakhruddin (1989), Situ Bojongsari terletak pada
ketinggian 70 meter dari permukaan air laut, dengan luas genangan air
tertinggi 28.25 Ha dan kedalaman maksimum 10 meter. Fluktuasi permukaan
air situ antara musim kemarau dan musim penghujan kurang lebih 1.2 meter
dan waktu simpan air selama 27 hari.
20
06° 30' 00"
06° 45' 30"
06° 46' 00"
106° 23' 00"
106° 23' 00"
U
PETA RUPA BUMI INDONESIA
SITU BOJONGSARI
(KONDISI SEKITAR SITU)
Keterangan :
: Padang Rumput
106° 23' 30"
106° 23' 30"
: Pemukiman
: Sarana Rekreasi
: Hotel / cottage
106° 24' 00"
106° 24' 00"
1
06° 30' 00"
0
06° 45' 30"
1
06° 46' 00"
: Lapangan Golf
: Kebun
2km
Gambar 5. Kondisi Sekitar Situ Bojongsari
21
Gambar 6. Usaha Rumah Makan di Timur Situ Bojongsari
Sebagai Sarana Rekreasi
Gambar 7. Vegetasi Ketela Pohon di Barat Daya Situ Bojongsari
Gambar 8. Cottage di Tengah Situ Bojongsari
Tepat di bagian utara situ terdapat check dam dengan panjang ± 7
meter dengan dua pintu air. Check dam dibangun pada tahun 1997, namun
pengoperasiannya kurang
baik sehingga penggunaannya belum efektif
bahkan kondisi pintu airnya sudah tidak sempuran. Check dam ini dibuat
dengan tujuan untuk memudahkan pendistribusian air situ ke pemukiman
dan sawah/kebun milik penduduk sekitar. Oleh karena itu hendaknya
dilakukan perbaikan check dam agar dapat berfungsi optimal dan menambah
bangunan pengendali erosi lainnya seperti teras yang efektif untuk
mencegah erosi longsor.
Situ Bojongsari merupakan suatu bentuk perairan yang bersifat
terbuka. Selain untuk irigasi penduduk, juga dimanfaatkan untuk aktivitas
harian seperti mencuci dan mandi. Perairan situ dikelilingi oleh kebun,
lapangan golf, permukiman, dan persawahan. Adanya sisa pupuk dan
sampah dari permukiman dapat menambah ketersediaan bahan organik dan
anorganik di perairan. Hal ini dapat memacu pertumbuhan makrofita
sehingga dapat berakibat negatif.
23
Gambar 9. Kondisi Check Dam yang Tidak Terawat
Menurut Hartoto (1989a), selama bertahun-tahun selama musim
kemarau hampir 60% permukaan air situ tertutup oleh Salvinia sp, yang
biasanya berkurang selama musim hujan karena hanyut terbawa oleh arus
air. Pertumbuhan Salvinia sp selain ditentukan oleh sinar matahari , juga
ditentukan oleh ketersediaan unsur hara terutama N dan P. Pertumbuhan
Salvinia sp. merupakan petunjuk arus dalam suatu perairan relatif tenang .
Secara umum lokasi Situ Bojongsari sangat kotor dan tak terawat.
Di bantaran-bantaran situ terdapat banyak sampah, baik sampah plastik
maupun seresah daun-daunan yang gugur. Maka tak heran kendati Situ
Bojongsari yang merupakan tempat wisata yang relatif murah dan mudah
terjangkau ini kurang menarik minat wisatawan lokal maupun asing. Bahkan
tanggul-tanggul yang dibuatpun sudah banyak yang rusak dan tidak
berfungsi lagi guna mencegah erosi dan sedimentasi. Selain itu, akses jalan
menuju Situ Bojongsari juga masih berupa tanah tanpa penutup, sehingga
dengan situasi curah hujan Kota Depok yang tinggi, maka jalan-jalan tanah
tersebut secara otomatis sering basah, becek, dan menyulitkan pengguna
jalan yang ingin melewatinya.
24
Gambar 10. Kondisi Situ Bojongsari yang Tidak Terawat
D. KERUSAKAN SITU
Secara umum kondisi Situ Bojongsari memang terlihat masih bagus,
bahkan bagian selatan situ masih tampak alami belum terjamah aktifitas
manusia. Namun apabila kita tinjau dari parameter kerusakan-kerusakan
situ, maka saat ini Situ Bojongsari termasuk kategori situ kritis, yang
memerlukan pemulihan sesegera mungkin untuk mempertahankan fungsi
optimal situ. Kerusakan di Situ Bojongsari sebagai berikut :
1. Sedimentasi
Perairan Situ Bojongsari kini sudah dipenuhi limbah rumah tangga
dan sampah yang berakibat pada pendangkalan situ. Limbah rumah tangga
diprediksi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun akibat jumlah
permukiman ilegal yang bertambah. Belum lagi sumber mata air yang
sudah tertutup sedimen dan sampah. Selain itu, sedimentasi di Situ
Bojongsari terutama di bagian selatan hingga barat daya disebabkan
terutama oleh aktifitas penduduk yang menanam singkong di tepi situ.
25
Selain itu, luas situ juga mulai menyusut dengan banyaknya
permukiman penduduk dan kolam pemancingan ikan atau empang. Situ
mengalami pendangkalan antara tiga dan lima meter sehingga harus
dikeruk dengan kedalaman yang sama.
2. Vegetasi Enceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Selain itu, perairan situ juga banyak ditumbuhi tumbuhan air
seperti enceng gondok ( Eichhornia crassipes ) dan Salvinia sp. Situ
Bojongsari hampir 60 % tertutup oleh Salvinia sp. Keadaan tersebut
apabila dibiarkan akan menimbulkan akibat negatif bagi perairan yaitu
mengurangi ketersediaan volume air karena evapotranspirasi dan
pendangkalan perairan karena pembusukan Salvinia s.p.
Akibat
selanjutnya akan terjadi penipisan oksigen terutama di kolom air bagian
bawah, sehingga keadaan dapat menjadi anaerob. Sumber daya air yang
demikian ini jelas kurang bermanfaat. Dalam hal ini usaha restorasi
perairan akan dapat meningkatan manfaatnya.
Gambar 11. Vegetasi Enceng Gondok di Perairan Situ Bojongsari
26
3. Erosi Longsor
Selanjutnya pada tepi / bantaran situ juga ditemui peristiwa erosi
longsor. Walaupun tidak semua tepi situ terjangkit erosi, namun apabila
hal ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan bantaran-bantaran
lainnya akan tertular erosi serupa.
Gambar 12. Erosi Longsor pada Tebing Situ
27
III. METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Situ Bojongsari, Kecamatan Sawangan,
Kota Depok. Waku penelitian dimulai Bulan November 2007 sampai dengan
Bulan Pebruari 2008.
B. ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan berupa komputer dengan program Microsoft
Office Excel dan program (software) ArcView 3.2 yang dibuat oleh ESRI
(Environmental Systems Research Institute) untuk perhitungan.
Bahan yang digunakan berupa data sekunder dan peta-peta sebagai
berikut :
1. Data Curah Hujan DAS Ciliwung Tengah Tahun 1992 –2001
2. Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung Skala 1 : 20000000
3. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 25000
C. METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder hasil
pengukuran yang berhubungan dengan erosi di Situ Bojongsari. Data
dikumpulkan melalui salinan atau turunan data/copy dari instansi yang
terkait melalui pengadaan dan pembelian data atau peta. Selain itu datadata juga diperoleh dari akses internet. Sumber data yang akan digunakan
untuk penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Pengumpulan data dilakukan
pada Bulan Januari sampai Februari 2008. Jenis data yang diperlukan
untuk melakukan analisa pekerjaan studi ini terdiri dari :
a. Curah Hujan
Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan DAS
Ciliwung Tengah, kendati Situ Bojongsari termasuk dalam DAS
Angke. Data curah hujan DAS Ciliwung Tengah diukur dari stasiun
pengamatan Depok, sehingga sebaran curah hujan masih menjangkau
Situ Bojongsari. Ketersediaan data curah hujan selama 10 tahun mulai
tahun 1992 hingga tahun 2001.
b. Peta Kontur
Peta kontur berupa peta rupa bumi Situ Bojongsari terbaru,
kondisi perairan, daerah pemukiman di sekitar, batas administratif, dan
kenampakan artifisial lainnya.
Berdasarkan peta kontur ini akan dikaji untuk penentuan
panjang dan kemiringan lahan (faktor L dan S).
c. Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah berupa peta yang menampakan jenis tanah di
wilayah Kota Depok tepatnya di Situ Bojongsari. Dengan mengetahui
jenis tanah, maka dapat digunakan untuk menentukan nilai K
(erodibilitas tanah) dengan Tabel Nilai K.
d. Peta Penutupan Lahan Tahun 2001
Peta tata guna lahan digunakan untuk mengetahui kondisi
pemanfaatan lahan saat ini yang dapat digunakan untuk memonitor
pengembangan suatu aktifitas dalam land-form tersebut. Peta ini
biasanya
dipakai
untuk
melakukan
kajian
terhadap
rencana
pengembangan suatu wilayah.
Pada pengukuran erosi dengan pendekatan USLE ini, peta tata
guna lahan berfungsi untuk menentukan faktor tanaman (C) dan faktor
konservasi tanah (P). Selain mengacu pada peta penutupan lahan, pada
penelitian kali ini faktor C dan faktor P juga ditentukan melalui
pengamatan langsung di lokasi penelitian dan juga wawancara dengan
masyarakat sekitar.
2. Pengolahan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti kerangka pendekatan
yang dapat dilihat pada gambar 13. Tahap awal penelitian adalah
pengumpulan
data-data
yang
dibutuhkan
dalam
mendeskripsikan
permasalahan untuk memprediksi nilai erosi di Situ Bojongsari, yang
terdiri dari data hujan (curah hujan dan hari hujan) dan peta-peta. Tahap
29
selanjutnya mengolah data-data yang diperlukan untuk dipakai dalam
perhitungan pendekatan USLE guna memprediksi besarnya erosi.
Tahap-tahap pengolahan data selengkapnya sebagai berikut:
a. Menghitung nilai R (erosivitas hujan) menggunakan rumus
yang
dikemukakan oleh Lenvain (DHV, 1989) sebagai berikut :
R = 2.21 P 1.36
dimana :
R : indeks erosivitas
P : curah hujan bulanan (cm)
b. Dari berbagai rumus perhitungan erosivitas, pada kasus ini dipilih
rumus di atas karena data curah hujan yang tersedia hanya data curah
hujan bulanan.
c. Menentukan nilai K (erodibilitas tanah) berdasarkan jenis tanah,
bersumber pada nilai K yang terdapat pada Lampiran 7. Jenis tanah
diperoleh berdasarkan Peta Jenis Tanah DAS Ciliwung.
d.
Menentukan Nilai LS, bersumber pada nilai LS pada Tabel 2. Sebelum
menentukan besarnya nilai LS, harus diketahui terlebih dahulu
kemiringan lereng. Kemiringan lereng pada penelitian ini diperoleh
dari Peta Kontur DAS Ciliwung.
e. Menentukan nilai CP. Nilai CP dapat dicari dengan menentukan faktor
C dan P masing-masing atau digabungkan sekaligus menjadi faktor
CP. Pada penelitian ini, karena faktor CP diperoleh melalui
pengamatan langsung di lapangan, maka penentuan nilai CP dilakukan
dengan dua cara di atas disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Selanjutnya nilai CP atau C dan P dapat dilihat pada Tabel 3, Tabel 4,
Lampiran 7, dan Lampiran 9.
f. Selanjutnya nilai A (jumlah kehilangan tanah maksimum) dapat
dihitung sesuai dengan Rumus USLE
30
A=R.K.L.S.C.P
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
g. Menghitung luas Daerah Tangkapan Air (DTA) di sekeliling Situ
Bojongsari dengan memplotkan hasil penelusuran DTA melalui kontur
peta top pada milimeter block.
h. Selanjutnya dengan informasi solum tanah, dapat ditentukan Tingkat
Bahaya Erosi (TBE).
i. Setelah itu dilakukan pendugaan kemungkinan umur Situ Bojongsari
dengan terlebih dahulu mengukur luas Situ Bojongsari dan menghitung
volumenya.
Tabel 6. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan
No
1.
Jenis Data
2.
Peta Rupa Bumi Digital
Indonesia
Peta Jenis Tanah
3.
Curah Hujan
4.
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Sumber
Bakosurtanal
Akses Internet
dan LSI IPB
Dinas PU dan
BMG
LSI IPB
31
Mulai
Pengumpulan data :
1. Data Curah Hujan
2. Peta Kontur Situ
Bojongsari
3. Peta Tata Guna Lahan
4. Peta Jenis Tanah
Menentukan R, LS, K, C, P
A = R . L . S. K. C. P
Klasifikasi (kelas) Tingkat
Bahaya Erosi
(TBE)
Nilai Erosi (A)
Selesai
Gambar 13. Diagram Alir Pendugaan Nilai Erosi
32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERHITUNGAN EROSI
Berdasarkan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), faktorfaktor erosi yang akan dihitung meliputi faktor erosivitas hujan (R), faktor
erodibilitas (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), dan faktor
pengelolaan tanaman dan usaha pencegahan erosi (CP).
1. Faktor Erosivitas (R)
Data curah hujan yang digunakan untuk menghitung faktor erosivitas
diperoleh dari
data curah hujan DAS Ciliwung Tengah. Secara
administratif Situ Bojongsari masuk dalam lingkup DAS Angke. Namun,
kendati demikian data curah hujan DAS Ciliwung Tengah tetap dapat
dipakai dalam penelitian ini karena data curah hujan diukur dan diolah
oleh stasiun klimatologi Depok. Karena sebaran data curah hujan yang
diambil dari suatu stasiun memiliki sebaran sampai 30 km. Curah hujan
rata-rata bulanan untuk DAS Ciliwung Tengah berkisar antara 168 mm
sampai dengan 377 mm, dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan
November dan terendah pada Bulan Juli.
Curah hujan mempunyai peranan yang cukup tinggi terhadap erosi
tanah yang terjadi. Pada daerah yang berlereng terjal, erosivitas hujan yang
tinggi sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi.
Masukan data curah hujan terdiri dari jumlah curah hujan bulanan
selama 10 tahun dari tahun 1992 sampai tahun 2001. Sehingga setelah
dilakukan perhitungan diperoleh nilai erosivitas seperti yang ditunjukkan
oleh Tabel 7.
Untuk lebih mudah mengetahui peningkatan maupun penurunan nilai
erosivitas hujan dari tahun 1992 hingga 2001 di DAS Ciliwung Tengah
dapat dilihat pada grafik pada Gambar 14.
Tabel 7. Nilai Erosivitas di DAS Ciliwung Tengah
Tahun
R
1992
3087.682
1993
3225.605
1994
2429.612
1995
3321.904
1996
3087.792
1997
1910.324
1998
3203.011
1999
2080.779
2000
1874.487
2001
2419.636
GRAFIK EROSIVITAS HUJAN (R) DAS CILIWUNG TENGAH
3500
3000
2500
Erosivitas
2000
1500
1000
500
0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Tahun
Gambar 14 . Grafik Erosivitas Hujan DAS Ciliwung Tengah
34
2. Faktor Erodibilitas (K)
Berdasarkan peta jenis tanah pada Gambar 15, maka Situ Bojongsari
termasuk kawasan yang memiliki jenis tanah latosol coklat kemerahan.
Tanah latosol secara umum memiliki bahan induk berupa batuan vulkanik
bersifat intermedier, yaitu batuan dengan kadar Besi (Fe) dan Magnesium
(Mg) cukup tinggi. Tanah jenis ini bersolum dalam, pH agak tinggi, dan
memiliki kepekaan terhadap erosi rendah.
Selanjutnya setelah mengetahui jenis tanah, maka nilai erodibilitas
(K), dapat diketahui pada Lampiran 7. Sehingga didapat nilai K untuk
daerah Situ Bojongsari sebesar 0.121.
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Untuk Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ditentukan
dengan menggunakan Peta Sebaran Kelas Kelerengan DAS Ciliwung,
kemudian nilai LS dapat diperoleh melalui Tabel 2. Secara umum wilayah
Kota Depok di bagian utara merupakan daerah dataran tinggi, sedangkan di
bagian
selatan
merupakan
daerah
perbukitan
bergelombang
lemah.
Berdasarkan atas elevasi atau ketinggian garis kontur, maka bentang alam
daerah Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran rendah –
perbukitan bergelombang lemah. Bentuk kemiringan suatu wilayah sangat
menentukan jenis penggunaan lahan, intensitas penggunaan lahan dan
kepadatan bangunan.
Dari Peta Kelas Kelerengan DAS Ciliwung, dapat diketahui bahwa
Situ Bojongsari terletak pada kemiringan lahan yang beragam dari 0 – 50
%. Pada penelitian ini, kelas kemiringan ditentukan berdasarkan peta
kontur DAS Ciliwung (lembar Cibinong) yang diolah dengan program Arc
View 3.2. Berdasarkan bentuk topografinya, areal DAS Ciliwung
dikelompokan menjadi 5 kelas kemiringan (s) yaitu 0 – 5 %, 5 – 15 %, 15
– 35 %, 35 – 50 %, dan > 50 %. Nilai indeks LS berkisar antara 0.25
sampai 12.
35
N
PETA TANAH
DAS CILIWUNG
SKALA : 1 : 20 000 000
KETERANGAN :
-------------- : Batas Macam Tanah
-+-+-+-+-+
Situ
Bojongsari
: Batas Wilayah Kab. Bogor
: Andosol
: Podsolid
: Grumusol
: Tanah Mediteran
: Regosol
: Latosol coklat kemerahan
: Tanah Aluvial
Gambar 15. Peta Tanah DAS Ciliwung (Departemen Pekerjaan Umum Kota Administratif Depok)
36
DAS CILIWUNG
PETA KELAS
KELERENGAN
DAS CILIWUNG
Gambar 16. Peta Digitasi Kelas Kelerengan DAS Ciliwung
37
06° 30' 00"
06° 45' 30"
06° 46' 00"
106° 23' 00"
106° 23' 00"
U
PETA RUPA BUMI INDONESIA
SITU BOJONGSARI
(FAKTOR KELAS
KELERENGAN/KEMIRINGAN)
EDISI I -1999
Keterangan :
0–5%
106° 23' 30"
106° 23' 30"
15 – 35 %
35 – 50 %
106° 24' 00"
106° 24' 00"
1
06° 30' 00"
0
06° 45' 30"
1
06° 46' 00"
2km
Gambar 17. Pembagian Kelas Kelerengan Situ Bojongsari
38
Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya
kesalahan yang terbesar dalam perhitungan erosi. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan peta untuk mendapatkan nilai panjang dan kemiringan lereng.
Peta yang digunakan memberikan
informasi terlalu umum, sehingga
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, nilai LS harus ditentukan
berdasarkan pengukuran di lapangan.
4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi (CP)
Faktor Pengelolaan Tanaman dan Usaha Pencegahan Erosi dapat
diketahui dari Peta Tata Guna Lahan atau Peta Penutupan Lahan dan
pengamatan langsung di lapangan, kemudian nilai dari faktor CP dapat
diperoleh dari Tabel 3, Tabel 4, Lampiran 8, dan Lampiran 9.
Pada penelitian ini faktor CP diketahui langsung dengan melakukan
pengamatan di lokasi penelitian. Hal ini dilakukan agar nilai CP yang
didapat benar-benar aktual atau kondisi terkini di lokasi, sehingga
diharapkan nilai hasil pendugaan erosi memiliki tingkat keakuratan yang
tinggi. Nilai C dan P harus diteliti secara intensif dan dipetakan lebih
terperinci dengan menggunakan interprestasi foto udara dan kerja
lapangan. Setelah melakukan pengamatan di lapangan, maka diperoleh
hasil bahwa faktor
C dan P di bantaran sekeliling Situ Bojongsari
berbeda-beda. Vegetasi sekaligus praktik konservasi yang terdapat di
sekeliling Situ Bojongsari ditunjukkan pada Gambar 19.
Tepat di barat daya perairan Situ Bojongsari. Terdapat banyak
perkebunan terutama singkong dan kacang tanah milik penduduk sekitar
yang ditanam di pinggir situ. Terdapat juga tanaman kebun lainnya seperti
jagung dan pisang, namun jumlahnya hanya sedikit. Padahal seperti yang
diketahui, bahwa tanaman seperti ubi kayu atau singkong dan kacang
tanah apabila ditanam di areal yang rawan erosi, maka akan meningkatkan
resiko erosi, karena akar tanaman yang kurang kuat menahan air dan
tradisi masyarakat Indonesia yang menanam singkong atau kacang tanah
dengan jarak tanam yang relatif jarang.
39
Gambar 18. Vegetasi di Barat Daya Situ Bojongsari
Di bagian tengah atau lekukan situ juga merupakan area komersil
berupa hotel dan cottage lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Kendati
telah dibangun hotel/cottage, namun pada pinggiran situ masih tampak
jelas semak dan sebagian rumput yang mungkin oleh pengelola hotel
sengaja dibiarkan tumbuh liar untuk memberikan kesan natural pada
pengunjung hotel maupun cottage. Vegetasi semak dengan sebagian
rumput menyebar tidak hanya di tengah (lekukan situ), tetapi juga
dijumpai di bagian barat laut hingga utara situ.
Selanjutnya di selatan Situ Bojongsari merupakan padang golf
komersil dengan penutupan lahan berupa rumput golf dengan penutupan
sempurna dan tentu saja dapat dipastikan rumput-rumput tersebut terawat
dengan baik. Maka pada wilayah ini, penentuan nilai C dan P tidak
dilakukan masing-masing, namun sekaligus dalam bentuk CP sesuai
kondisi lahan. Sehingga dapat dipastikan dengan penutupan lahan yang
begitu sempurna dengan vegetasi rumputnya, areal ini cenderung
mengalami tingkat erosi yang rendah.
40
06° 30' 00"
06° 45' 30"
06° 46' 00"
PETA RUPA BUMI INDONESIA
SITU BOJONGSARI
(VEGETASI & PRAKTIK
KONSERVASI)
EDISI I - 1999
Keterangan :
........ Batas Daerah Tangkapan Air (DTA)
Rumput dengan penutupan sempurna
106° 23' 00"
106° 23' 00"
U
106° 23' 30"
106° 23' 30"
106° 24' 00"
106° 24' 00"
Semak dan sebagian rumput
Perumputan dengan penutupan tanah
sebagian dan ditumbuhi alang-alang
Pohon tanpa semak dan Padang rumput
jelek
Ubi Kayu & Kacang Tanah dan
Tanaman Perkebunan dengan penutupan
tanah sedang
Perumahan
1
06° 30' 00"
0
06° 45' 30"
1
06° 46' 00"
2km
Tegalan
Gambar 19. Vegetasi di Daerah Tangkapan Air Situ Bojongsari
41
Selanjutnya di bagian tenggara hingga timur Situ Bojongsari adalah
sarana rekreasi. Kendati bertajuk sarana rekreasi, namun lokasi ini tampak
sepi. Menurut masyarakat sekitar, lokasi ini hanya ramai pada hari libur,
itupun pengunjung tidak banyak seperti tempat wisata pada umumnya.
Aktivitas yang kental terlihat di lokasi ini adalah banyaknya para pencari
ikan baik dengan jala maupun sekedar menyalurkan hobi memancing,
sebab di Situ Bojongsari terkenal dengan hasil ikan air tawar yang
melimpah yang oleh masyarakat sekitar disebut ikan melem. Karena
memang direncanakan sebagai tempat wisata, maka lokasi ini sangat sejuk
oleh pohon-pohon akasia yang ditanam di pinggiran situ disertai dengan
penutupan rumput yang tidak sempurna, karena mungkin tidak dirawat
dengan baik.
Kemudian di bagian utara hingga timur laut pada Gambar 19
merupakan areal yang penuh dengan alang-alang dan sebagian rumput.
Menurut penuturan masyarakat sekitar, rumput-rumput di daerah ini sering
dibabat penduduk untuk pakan ternak. Vegetasi yang dominan di bantaran
situ daerah ini adalah perumputan dengan penutupan tanah sebagian dan
ditumbuhi alang-alang. Untuk lokasi barat hingga barat laut Situ
Bojongsari memiliki jenis vegetasi yang sama dengan lokasi tengah atau
lekukan situ .
5. Perhitungan Nilai Laju Erosi (A)
Setelah parameter-parameter dalam persamaan USLE telah
ditentukan nilainya, maka besanya erosi di Situ Bojongsari dapat
diperkirakan dengan mengkalikan faktor-faktor erosi melalui persamaan
berikut :
A = R x K x LS x CP
dimana :
A : Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
R : Indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)
K : Indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah)
42
LS : Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S)
C : Faktor tanaman (vegetasi)
P : Faktor usaha-usaha pencegahan erosi (konservasi)
Gambar 20 . Deretan Pohon Akasia dan Rumput di Timur Situ Bojongsari
Perhitungan erosi di Situ Bojongsari ini, dibagi dalam lima wilayah
erosi (zonasi) berdasarkan faktor vegetasi (C) dan konservasi (P) seperti
yang terlihat pada Gambar 19. Perbedaan vegetasi dan konservasi
ditunjukan oleh perbedaan warna.
Untuk lebih memudahkan dalam pengolahan data, maka masingmasing lokasi akan disimbolkan dengan angka 1 – 5, yang urutannya
adalah :
Zona warna coklat
: Lokasi 1
Zona warna ungu
: Lokasi 2
Zona warna oranye
: Lokasi 3
Zona warna hijau
: Lokasi 4
Zona warna abu-abu
: Lokasi 5
Pembagian lima daerah erosi akan disajikan pada Tabel 8 – Tabel
12 berikut.
43
Gambar 21. Erosi Longsor di Bantaran Situ Bojongsari
Pada lokasi 3, memiliki tingkat kemiringan lereng yang seragam.
Terdapat tiga kelas kemiringan lereng pada lokasi ini, yaitu 0 - 5 %, 15 35 %, dan 35 - 50 %. Sehingga untuk memperoleh nilai LS total sebagai
berikut :
s = 0 – 5 % (pada luas lahan 18.13 ha), maka LS = 0.25
s = 15 – 35 % (pada luas lahan 2.81 ha), maka LS = 4.25
s = 35 – 50 % (pada luas lahan 10.34 ha), maka LS = 9.50
Maka nilai LS total pada Lokasi 3
=
(0.25 × 18.13) + (4.25 × 2.81) + (9.50 × 10.34)
(18.13 + 2.81 + 10.34)
=
4.53 + 11.94 + 98.2
31.28
= 3.67
Untuk lokasi 1 memili kemiringan lereng yang sama yaitu 35-50
%. Selanjutnya pada lokasi 2 kemiringan lereng seragam antara 0 – 5
%.Kondisi yang sama juga terdapat di lokasi 4 dan lokasi 5 yang memilki
kemiringan lereng yang sama. Hasil perhitungan nilai total laju kehilangan
tanah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.
44
Tabel 8. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 1
Tahun
R
K
s(%)
LS
C
P
CP
1992
3087.682
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1993
3225.605
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1994
2429.612
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1995
3321.904
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1996
3087.792
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1997
1910.324
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1998
3203.011
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
1999
2080.779
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
2000
1874.487
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
2001
2419.636
0.121
35-50
9.50
0.195
0.50
0.098
Tabel 9. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 2
Tahun
R
K
s(%)
LS
C
P
CP
1992
3087.682
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1993
3225.605
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1994
2429.612
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1995
3321.904
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1996
3087.792
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1997
1910.324
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1998
3203.011
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
1999
2080.779
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
2000
1874.487
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
2001
2419.636
0.121
0-5
0.25
-
-
0.010
45
Tabel 10. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 3
Tahun
R
K
s(%)
LS
C
P
CP
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
3.67
-
-
0.100
0–5
1992
3087.682
0.121
15-35
35-50
0–5
1993
3225.605
0.121
15-35
35-50
0–5
1994
2429.612
0.121
15-35
35-50
0–5
1995
3321.904
0.121
15-35
35-50
0–5
1996
3087.792
0.121
15-35
35-50
0–5
1997
1910.324
0.121
15-35
35-50
0–5
1998
3203.011
0.121
15-35
35-50
0–5
1999
2080.779
0.121
15-35
35-50
0–5
2000
1874.487
0.121
15-35
35-50
0–5
2001
2419.636
0.121
15-35
35-50
46
Tabel 11. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 4
Tahun
R
K
s(%)
LS
C
P
CP
1992
3087.682
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1993
3225.605
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1994
2429.612
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1995
3321.904
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1996
3087.792
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1997
1910.324
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1998
3203.011
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
1999
2080.779
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
2000
1874.487
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
2001
2419.636
0.121
0-5
0.25
0.32
0.40
0.128
Tabel 12. Nilai Faktor-Faktor Erosi pada Lokasi 5
Tahun
R
K
s(%)
LS
C
P
CP
1992
3087.682
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1993
3225.605
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1994
2429.612
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1995
3321.904
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1996
3087.792
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1997
1910.324
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1998
3203.011
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
1999
2080.779
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
2000
1874.487
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
2001
2419.636
0.121
0-5
0.25
-
-
0.020
47
Tabel 13 . Hasil Perhitungan Laju Kehilangan Tanah (A) di Situ Bojongsari Tahun 1992 – 2001
T
R*K
1
2
92 373.61 9.50 0.25
93 390.30 9.50 0.25
94 293.98 9.50 0.25
95 401.95 9.50 0.25
96 373.62 9.50 0.25
97 231.15 9.50 0.25
98 387.56 9.50 0.25
99 251.77 9.50 0.25
00 226.81 9.50 0.25
01 292.78 9.50 0.25
Keterangan : T : Tahun
LS
3
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
3.67
A
CP
4
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
5
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
0.25
1
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
0.098
2
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
3
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
ton/ha/tahun
4
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
0.128
5
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
1
347.83
363.37
273.70
374.22
347.84
215.20
360.82
234.40
211.16
272.58
2
0.93
0.98
0.73
1.00
0.93
0.58
0.97
0.63
0.57
0.73
3
137.11
143.24
107.89
147.52
137.12
84.83
142.23
92.40
83.24
107.45
4
11.96
12.49
9.41
12.86
11.96
7.40
12.40
8.06
7.26
9.37
5
1.87
1.95
1.47
2.01
1.87
1.16
1.94
1.26
1.13
1.46
Tabel 14. Hasil Perhitungan Total Laju Kehilangan Tanah (A) di Situ Bojongsari Per Tahun
LOKASI
Total Nilai A (Ton/ha/tahun)
1
2
3
4
5
JUMLAH TOTAL KEHILANGAN TANAH
(10 Tahun)
3001.11
8.06
1183.03
103.15
16.12
RATA-RATA KEHILANGAN TANAH
(1 Tahun / per tahun)
300.111
0.806
118.303
10.315
1.612
48
6. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Setelah nilai erosi dari kelima lokasi diperoleh, selanjutnya melalui
informasi solum tanah dapat diketahui Tingkat Bahaya Erosi (TBE).
Tanah di sekitar Situ Bojongsari termasuk jenis tanah latosol
yang
mempunyai solum tanah > 90 cm (Djunaedi, 1999 dan Soil Staff, 1999).
Selanjutnya TBE dapat diketahui dari Tabel 5. Sehingga diperoleh Kelas
Tingkat Bahaya Erosi untuk lima zona erosi di sekeliling Situ Bojongsari
Tabel 17.
Dari Tabel 15 perhitungan di atas didapat nilai rata-rata kehilangan
tanah di lima lokasi yang mengelilingi Situ Bojongsari berdasarkan batas
Daerah Tangkapan Air (DTA) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19.
Kelima lokasi ini diduga dapat menyebabkan erosi di sekitar situ, sehingga
dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang apabila tidak segera
dilakukan aksi tindak pencegahan erosi maka akan menyebabkan
sedimentasi situ.
Tabel 15. Kelas Tingkat Bahaya Erosi Sekitar Situ Bojongsari
Lokasi
Laju Erosi
(ton/ha/tahun)
Luas
Petak
(ha)
Erosi
(ton/tahun)
Kelas Erosi
1
300.111
16.56
4969.84
Berat
2
0.806
37.35
30.10
Sangat Ringan
3
118.303
31.28
3700.52
Sedang
4
10.315
46.25
477.07
Sangat Ringan
5
1.612
14.06
22.66
Sangat Ringan
Dari perhitungan nilai A dan klasifikasi tingkat bahaya erosi dapat
diketahui bahwa nilai kehilangan tanah yang paling kecil berada di lokasi
5. Lokasi 5 merupakan areal dengan vegetasi perumputan dengan
penutupan tanah sebagian dan ditumbuhi alang-alang tepatnya pada bagian
utara hingga timur laut Situ Bojongsari dengan total kehilangan tanah
22.66 ton/tahun. Nilai erosi yang kecil terjadi karena vegetasi perumputan
49
dan alang-alang dapat menyerap air hujan yang jatuh ke tanah, selain itu
zona ini ditunjang dengan luas petak daerah tangkapan air yang kecil dan
kemiringan yang landai. Sehingga kemungkinan tanah yang terbawa aliran
permukaan masuk ke dalam situ sedikit. Nilai erosi yang juga terbilang
kecil juga terdapat pada lokasi 2 yang merupakan padang golf dengan
vegetasi penutup sekaligus konservasi perumputan yang sempurna.
Sehingga dengan curah hujan di wilayah Depok yang relatif tinggi setiap
tahunnya, air hujan yang turun dapat diserap sempurna oleh vegetasi
rumput tanpa harus terjadi aliran permukaan yang membawa pecahanpecahan tanah ke perairan situ. Selain itu nilai kehilangan tanah yang kecil
ini, juga akibat kemiringan lereng yang landai yaitu berkisar antara 0 – 5
%. Dengan kemiringan lereng yang landai, maka dapat dipastikan apabila
terjadi pengangkutan partikel tanah akibat erosi, tanah tidak langsung
dengan mudah jatuh ke perairan. Sehingga nilai persentasi kemiringan
yang kecil ini akan memperkecil resiko erosi.
Sedangkan total kehilangan tanah terbesar terdapat di lokasi 1 yaitu
kawasan barat daya Situ Bojongsari dengan nilai erosi 4969.84 ton/tahun.
Lokasi 1 memiliki kemiringan lereng sangat curam berkisar antara 35 – 50
%. Selain itu dengan vegetasi berupa ubi kayu dan kacang tanah yang
ditanam dengan jarak tanam yang lebar (jarang), menyebabkan tanah di
sekitar situ menjadi rawan terjangkit erosi. Faktor utama yang
menyebabkan lokasi ini masuk dalam kategori erosi berat karena cakupan
luas daerah tangkapan airnya yang luas, sehingga resiko erosi tinggi.
Lokasi 3 dengan vegetasi semak dan rumput termasuk kelas erosi
sedang. Lokasi ini memiliki kemiringan lereng yang beragam, yaitu 0 – 5
%, 15 – 35 %, 35 – 50 %. Padahal apabila ditinjau dari vegetasi dan faktor
konservasinya, seharusnya zona 3 dengan semak dan sebagian rumputnya
mampu menjadi daerah resapan air yang baik. Namun, vegetasi dan
konservasi yang baik tanpa didukung oleh persentase kemiringan yang
kecil juga dapat meningkatkan resiko erosi. Karena perhitungan erosi
dengan metode USLE ini merupakan perpaduan dari seluruh faktor erosi
yaitu hujan, erodibilitas, faktor kelas lereng, faktor vegetasi serta
50
konservasi, dan luas daerah tangkapan air. Faktor-faktor ini saling terkait
satu dan lainnya.
Selanjutnya lokasi 4 yaitu daerah tenggara hingga timur Situ
Bojongsari, yang merupakan areal dengan vegetasi dan praktik konservasi
yang kurang baik. Apabila kita meninjau hanya dari faktor CP, maka
lokasi 4 inilah wilayah yang sangat rawan terhadap erosi. Karena areal ini
ditujukan untuk objek wisata, maka dapat dipastikan jumlah bangunanbangunan komersil seperti warung, panggung hiburan, MCK akan lebih
banyak dibanding vegetasi penutupnya. Vegetasi yang diusahakan di areal
ini adalah pohon akasia dengan penutupan rumput yang kurang rapat
(jelek). Ditambah lagi dengan aktivitas pengunjung objek wisata yang
gemar menginjak rumput, membuang sampah sembarangan, bahkan
melakukan kegiatan bakar jagung/ubi di tepi situ. Kegiatan-kegiatan ini
secara tak langsung memberikan resiko erosi yang lebih tinggi lagi. Selain
itu pada zona 4 memiliki cakupan daerah tangkapan air yang luas yaitu
sebesar 46.25 ha. Namun, pada perhitungan prediksi erosi yang dilakukan
nilai total kehilangan tanah lokasi 4 ini relatif kecil dan masuk dalam kelas
erosi ringan. Hal ini dapat terjadi karena lokasi 4 didukung oleh
kemiringan lereng yang relatif landai berkisar antara 0 – 5 %, sehingga
dapat memperkecil resiko erosi.
Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan
terjadi pada kelas kelerengan 0-5 % dan kelas sedang pada kelas
kelerengan 15-35 %, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas
kelerengan 35-50 %.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa areal di sekeliling Situ
Bojongsari masih dalam kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan
sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan perhitungan kemungkinan
umur Situ Bojongsari.
Pendugaan umur situ dilakukan dalam rangka memprediksi sampai
kapan suatu situ dalam kondisi bagus secara ekosistem dan merencanakan
praktik konservasi yang harus dilakukan umtuk memperpanjang umur situ.
51
Penentuan umur situ dimulai dengan terlebih dahulu menghitung
kedalaman situ. Situ Bojongsari memiliki kedalaman yang beragam antara
3 – 10 meter. Pada pengukuran kedalaman Situ Bojongsari diwakili tiga
titik kedalaman. Selanjutnya dengan informasi luas Situ Bojongsari dapat
dicari volume situ. Setelah volume diketahui maka selanjutnya umur Situ
Bojongsari dapat diketahui dengan membagi nilai volume situ dengan
jumlah erosi di lima zona erosi . Perhitungan sebagai berikut.
Kondisi Situ Bojongsari
Diketahui : h1
= 3 meter
h2
= 4 meter
h3
= 10 meter
hrata2
= 5.67 meter
A
= 28.25 ha = 282500 m2
Maka, Volume Situ = A X hrata2
= 282500 m2 X 5.67 meter
= 1601775 m3
Volume Sedimen (Vs)
Jumlah erosi Situ Bojongsari = ∑ erosi zona 1-7
= 9200.19 ton / tahun
Berdasarkan hasil pengambilan contoh sedimen dari beberapa penelitian
sedimen di daerah Jawa oleh Puslitbang Pengairan Bandung, diambil nilai
rata-rata konsentrasi sedimen (ρ) 1.21 gr/cm3. Sehingga volume sedimen
(Vs) Situ Bojongsari 7601 m3/tahun.
Sehingga kemungkinan umur Situ Bojongsari
= Volume Situ / Vs
= 1601775 m3 / 7603.46 m3/tahun
= 210.66 tahun ≈ 211 tahun
52
Dari prediksi tersebut umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211
tahun. Hasil ini bukan merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa
prediksi, karena pada hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas
manusia di sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola
lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ lebih pendek dari
prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli
terhadap lingkungan.
53
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pendugaan erosi yang dilakukan
di Situ Bojongsari, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Situ Bojongsari memiliki tujuh muara dengan luas genangan airnya
sebesar 28.25 Ha.
2. Kedalaman rata-rata Situ Bojongsari adalah 3-4 m.
3. Situ Bojongsari terletak pada ketinggian 70 m dari permukaan laut.
4. Fluktuasi permukaan air situ antara musim kemarau dan musim
penghujan kurang lebih 1.2 meter dan waktu simpan air selama 27
hari.
5. Kondisi Situ Bojongsari sudah mengalami penurunan. Kerusakan yang
terindikasi di Situ Bojongsari adalah pendangkalan dasar situ,
penyempitan luas situ, pencemaran air, dan adanya vegetasi enceng
gondok hampir memenuhi 60% perairan.
6. Laju erosi rata-rata yang terjadi di Situ Bojongsari dihitung dengan
metode zonasi yang terbagi dalam lima wilayah erosi (zona erosi)
berdasarkan perbedaan faktor lereng (LS) dan faktor vegetasi, cakupan
daerah tangkapan air, serta faktor konservasi (CP). Laju erosi di lokasi
1
sebesar 300.111 ton/ha/tahun, lokasi 2 dengan laju erosi 0.806
ton/ha/tahun, lokasi 3 sebesar 118.303 ton/ha/tahun, lokasi 4 sebesar
10.315 ton/ha/tahun, di lokasi 5 nilai laju erosinya 1.612 ton/ha/tahun.
7. Berdasarkan perhitungan cakupan daerah tangkapan pada masingmasing zona maka dapat diketahui bahwa nilai erosi terbesar yang
tergolong kelas erosi berat terdapat pada lokasi 1 sebesar 4969.84
ton/ha. Sedangkan nilai erosi terkecil terdapat pada lokasi 5 yang
tergolong kategori erosi sangat ringan sebesar 22.66 ton/ha.
8. Penyebaran luas untuk kelas TBE yang tergolong sangat ringan terjadi
pada kelas kelerengan 0-5 % dan sedang pada kelas kelerengan 15-35
%, sedangkan kelas erosi berat terjadi pada kelas kelerengan 35-50 %.
54
Sehingga dapat disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari
masih dalam kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan
sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan perhitungan kemungkinan
umur Situ Bojongsari.
9. Faktor penyebab erosi terbesar pada Situ Bojongsari karena tanah
yang terbawa aliran permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak
dapat menahan aliran permukaan serta jarak tanam yang terlalu jauh
(kurang rapat).
10. Umur Situ Bojongsari mampu mencapai 211 tahun. Hasil ini bukan
merupakan nilai mutlak. Nilai ini hanya berupa prediksi, karena pada
hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di
sekelilingnya dan kemauan manusia untuk mengelola lingkungan
hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ lebih pendek dari prediksi
perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap
lingkungan.
11. Untuk mencegah terjadinya erosi maka perlu dilakukan reboisasi di
sekitar situ dan pembuatan bangunan penangkal erosi.
12. Untuk mengatasi masalah sedimentasi yang telah menumpuk di Situ
Bojongsari, maka perlu diadakan pengerukan terhadap lapisan lumpur
yang berada di dasar situ. Waktu yang tepat untuk melakukan
pengerukan sedimentasi adalah pada akhir musim kemarau, karena
lumpur akan mudah dibuang. Selain itu juga menjelang musim hujan,
saat air hujan pada awal musim hujan dapat menjadi pencuci situ.
B.
SARAN
Dalam rangka peningkatan pelestarian dan pemulihan Situ Bojongsari
serta untuk penelitian-penelitian selanjutnya, maka perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Pada tanah yang tererosi berat dan sangat berat perlu diupayakan
usaha konservasi lahan baik secara mekanis maupun vegetatif.
2. Diperlukan adanya Kebijakan Pemerintah Daerah dalam kegiatan
pemeliharaan dan pemulihan kerusakan Situ Bojongsari
55
3. Perlu adanya tata ruang dan batas bantaran Situ Bojongsari yang
kemudian menjadi Perda (Peraturan Daerah) agar kerusakan dapat
dihindarkan sehingga kelestarian situ dapat dijaga.
4. Kepada masyarakat yang bermukim di sekitar Situ Bojongsari
hendaknya lebih peduli terhadap ekosistem situ dengan selalu menjaga
kebersihan dan keindahan situ.
56
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Jogjakarta.
Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. 1986. Petunjuk Pelaksanaan
Penyusunan RTL-RLKT. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
BAKOSURTANAL. 1998. Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Skala 1 : 25000.
Cibinong. Bogor
Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan
Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Ekaputri, Erlinda. 2003. Menentukan Kerusakan Resapan Secara Kuantitatif
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dengan Metode Analisa
Resesi Aliran Dasar (Base Flow Resession Analysis). Skripsi. Jurusan
Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Haeruman, H. 1999. Kebijaksanaan Pengelolaan Danau Dan Waduk Ditnjau
Dari Aspek Tata Ruang, Seminaloka Nasional Pengelolaan Dan
Pemanfaatan Danau Dan Waduk. PPLH-LP. IPB.Bogor.23 hal.
Hardjoamidjojo, S. dan Sukartaatmadja, S. 1992. Teknik Pengawetan Tanah dan
Air. JICA IPB. Bogor.
Haerdjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.
Hendrawan, H. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) Untuk Pendugaan
Erosi dengan Pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation) di SubDAS Cimuntur, Ciamis. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Hotib dan I Nyoman Suryadiputra. 1998. Situ-situ di Jabotabek dan
Permasalahannya . Warta Konservasi Lahan Basah. Vol. 7 (1): 6-7
http:/dithias.hortikultura.go.id. Diakses tanggal 4 Pebruari 2008
http:/portal pemerintahan depok.wordpress.com. Diakses tanggal 24 Januari 2008
http:/satriadharma.wordpress.com. Diakses tanggal 30 Januari 2008
http:/www.asiamaya.com. Diakses tanggal 30 Januari 2008
57
http:/www.bakosurtanal.go.id. Diakses tanggal 30 Januari 2008
http:/www.depok.go.id. Diakses tanggal 24 Januari 2008
http:/www.indonesianestate.com. Diakses tanggal 24 Januari 2008
Indrawati. 2000. Kajian Erosi DAS Citarum Hulu Terhadap Sedimentasi Waduk
Saguling, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.
Ispriyanto, R. 2001. Erosi di Areal Tumpangsari Tegakan Pinus merkussi Jungh
et de Vriese Umur 1 tahun (Studi Kasus di KPH Tasikmalaya, Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan.
Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Murdis, R. 1999. Pendugaan Erosi dengan Pendekatan USLE (Universal Soil
Loss Equation) Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) di SubDAS Ciwidey, Bandung. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Nilwan. 1987. Pendugaan Besar Erosi dan Daya Angkutan Sedimen pada Daerah
Aliran Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Purwowidodo. 1999. Pokok-pokok Bahasan Konservasi Tanah di Kawasan
Hutan. Laboratorium Pengaruh Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Rahim, S.E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta
Suripin.
2001. Pelestarian
ANDI.Yogyakarta
Sumber
Daya
Tanah
dan
Air.
Penerbit
Wasfi, A.2002. Tingkat Kesuburan Situ Rawa Besar Depok Berdasarkan
Kandungan unsur hara N dan P. Skripsi. Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan.IPB, Bogor.
Zachar, D. 1982. Soil Erosion. Elsevier Scientific Publishing Company.
Amsterdam
58
Lampiran 1 . Data Curah Hujan Bulanan DAS Ciliwung Tengah Periode Tahun 1992-2001
BULAN
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
JUMLAH
BK
BB
1992
364
369
362
352
387
163
223
218
229
462
419
363
3911
0
12
1993
444
291
365
326
324
295
116
381
288
353
408
453
4044
0
12
1994
502
287
401
500
333
141
19
25
66
359
368
26
3267
2
9
1995
518
362
414
297
290
372
177
19
332
498
556
190
4025
1
11
Tahun
Curah Hujan(mm)
1996
1997
368
321
477
117
270
187
501
273
291
362
89
42
233
22
344
140
274
38
353
123
301
523
387
396
3788
2544
0
3
11
9
Rata-rata
1998
351
438
585
410
235
373
394
203
160
541
125
99
3714
0
11
1999
243
240
110
313
295
250
255
142
84
329
391
244
2896
0
11
2000
276
230
81
198
448
208
191
167
208
184
385
68
2644
0
10
2001
331
307
336
321
289
225
250
148
285
386
297
82
3257
0
11
372
312
311
349
325
216
168
179
196
359
377
245
3409
0.6
10.7
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Kota Administratif Depok
59
Lampiran 2. Peta Administrasi Kota Depok
N
PETA ADMINISTRASI
KOTA DEPOK
SKALA 1 : 12 000 000
Keterangan :
Situ Bojongsari
: Jalan Lokal
: Rumput/Kebun
: Ladang
: Sungai
Sumber : www.depok.go.id
60
Lampiran 3. Peta Sebaran Curah Hujan Kota Depok
N
PETA ADMINISTRASI
KOTA DEPOK
SKALA 1 : 12 000 000
Keterangan :
500 ≤ 2000 mm/tahun
Situ Bojongsari
2000 ≤ 2500 mm/tahun
2500 ≤ 3000 mm/tahun
3000 - 3500 mm /tahun
Sumber : Zain, 2002 di dalam Portal Pemerintahan Kota Depok.wordpress.com
61
Lampiran 4. Peta Situ Bojongsari
06° 30' 00"
06° 46' 00"
06° 45' 30"
106° 23' 00"
106° 23' 00"
N
W
E
PETA RUPA BUMI
INDONESIA
SITU BOJONGSARI
EDISI I -1999
S
106° 23' 30"
106° 23' 30"
Keterangan :
: Batas Kodya / kabupaten / kotip
106° 24' 00"
106° 24' 00"
: Jalan Lokal
: Jalan Setapak
: Danau / situ
: Tanah/rumput
: Kebun
: Pemukiman
: Ladang
1
06° 30' 00"
0
06° 45' 30"
1
06° 46' 00"
: Sungai
2km
Sumber : BAKOSURTANAL
62
Lampiran 5. Peta Sawangan
N
W
E
PETA RUPA BUMI
INDONESIA
SAWANGAN
SKALA 1: 10000
S
Keterangan :
: Batas Kodya / kabupaten / kotip
: Jalan Lokal
: Jalan Setapak
: Danau / situ
:Tanah/rumput
: Kebun
: Pemukiman
: Ladang
: Sungai
Sumber : BAKOSURTANAL
63
64
Lampiran 6. Peta Situ Bojongsari
06° 45' 30"
06° 46' 00"
106° 23' 00"
106° 23' 00"
06° 30' 00"
PETA RUPA BUMI
SITU BOJONGSARI
SKALA 1: 25000
106° 23' 30"
106° 23' 30"
106° 24' 00"
106° 24' 00"
06° 30' 00"
06° 45' 30"
06° 46' 00"
Sumber : BAKOSURTANAL
63
Lampiran 7. Nilai Erodibilitas (K) Untuk Jenis Tanah di Jawa
Kode
Tipe Tanah
Nilai K
1
Tanah eutropik organik
0.301
2
Tanah hidromorphic alluvial
0.156
3
Tanah abu-abu alluvial
0.259
4
Tanah alluvial coklat keabu-abuan
0.315
5
Alluvial abu-abu dan alluvial coklat keabu-abuan
0.193
6
0.205
9
Komplek tanah alluvial abu-abu dan tanah humic
abu-abu
Komplek tanah alluvial abu-abu dan tanah humic
rendah abu-abu
Komplek tanah hydromorfic abu-abu dan planosol
coklat keabu-abuan
Planosol coklat keabu-abuan
10
Komplek tanah litosol dan tanah mediteran merah
0.215
11
Regosol abu-abu
0.304
12
Komplek regosol abu - abu dan litosol
0.172
13
Regosol coklat
0.346
14
Regosol coklat kekuning-kuningan
0.331
15
Regosol abu-abu kekuning-kuningan
0.301
16
Komplek regosol dan litosol
0.302
17
Andosol coklat
0.278
18
Andosol coklat kekuning-kuningan
0.223
19
Komplek andosol coklat dan regosol coklat
0.271
20
Komplek rensinas, litosol, dan tanah hutan coklat
0.157
21
Grumosol abu-abu
0.176
22
Grumosol abu-abu hitam
0.187
23
Komplek grumosol, regosol, dan tanah mediteran
0.201
24
Komplek tanah mediteran coklat dan litosol
0.323
25
Komplek tanah mediteran dan grumosol
0.273
26
Komplek tanah mediteran coklat kemerahan dan
litosol
Latosol coklat
0.188
7
8
27
0.202
0.301
0.251
0.175
65
Lampiran 7. Lanjutan
Kode
Tipe Tanah
Nilai K
28
Latosol coklat kemerahan
0.121
29
Latosol coklat hitam kemerahan
0.058
30
Latosol coklat kekuningan
0.082
31
Latosol merah
0.075
32
Latosol merah kekuningan
0.054
33
Komplek latosol coklat dan regosol abu-abu
0.186
34
Komplek latosol coklat dan kekuningan
0.091
35
Komplek latosol coklat kemerahan dan latosol
coklat
Komplek latosol merah, latosol coklat kemerahan,
dan litosol
Komplek latosol merah dan latosol coklat
kemerahan
Komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat
kemerahan, dan latosol
Komplek latosol coklat kemerahan dan litosol
0.067
36
37
38
39
40
0.062
0.061
0.064
0.075
41
Komplek latosol merah kekuningan, latosol
coklat, tanah podsolik merah kekuningan, dan
litosol
Tanah podsolik kuning
42
Tanah podsolik merah kekuningan
0.166
43
Tanah podsolik merah
0.158
44
Komplek
podsolik
kuning
dan
tanah
hydromorphic abu-abu
Komplek tanah podsolik kuning dan regosol
0.249
45
0.116
0.107
0.158
46
Komplek tanah podsolik kuning, podsolik merah
0.175
kekuningan, dan regosol
47
Komplek laterik merah kekuningan dan tanah
0.175
podsolik merah kekuningan
Sumber : Puslitbang Pengairan Bandung di dalam Murdis (1999)
66
Lampiran 6. Peta Spasial Pembagian Kelas Lereng Kawasan Jabodetabek
U
PETA SPASIAL
KELAS LERENG
JABODETABEK
SKALA
1 : 350000
Keterangan :
Batas Kota/Kabupaten
Sungai
Sumber : BAKOSURTANAL
64
Lampiran 8. Perkiraan Nilai Faktor C Berbagai Jenis Penggunaan Lahan
No
Jenis Tanaman
1 Rumput Brachiaria
Decumber tahun I
2 Rumput Brachiaria
Decumber tahun II
3 Kacang Tunggak
4 Sorghum
5 Ubi Kayu
6 Kedelai
7 Serai Wangi
8 Kacang Tanah
9 Padi (lahan kering)
10 Jagung
11 Padi sawah
12 Kentang
13 Kapas, tembakau
14 Nanas dengan penanaman
Menurut kontur :
a. Dengan mulsa dibakar
b. Dengan mulsa dibenam
c. Dengan mulsa di
permukaan
15 Tebu
16 Pisang (jarang monokultur)
17 Talas
18 Cabe, jahe, dan lain-lain
19 Kebun campuran (rapat)
K.campuran ubi
kayu+kedelai
K.campuran + kacang tanah
20 Ladang berpindah
21 Tanah kosong diolah
22 Tanah kosong tak diolah
23 Hutan tak terganggu
24 Semak tak terganggu
25 Alang-alang permanen
26 Alang-alang dibakar 1 kali
27 Semak lantana
Abdukrahman,dkk
Hammer
0.287
0.3
0.002
0.161
0.242
0.399
0.434
0.2
0.561
0.637
0.01
0.05 - 0.07
0.02
0.8
0.4
0,2
0.5
0.7
0.01
0.4
-
0.2 – 0.5
0.1 – 0.3
0.01
-
-
0.2
0.6
0.86
0.9
0.1
-
0.2
0.495
1.0
0.001
0.01
0.02
0.70
0.51
0.5
0.4
1.0
0.95
-
67
Lampiran 8. Lanjutan
No
Jenis Tanaman
28 Albazia dengan semak
campur
29 Albazia bersih tanpa semak
dan tanpa seresah
30 Pohon tanpa semak
31 Kentang ditanam searah
lereng
32 Kentang ditanam mnrt kontur
33 Pohon-pohon di bawahnya
Dicangkul (diolah)
34 Bawang daun ditanam dalam
bedeng
Sumber
:
Abdukrahman,dkk
0.012
Hammer
-
1.0
0.32
1.0
-
0.35
-
0.21
-
0.08
-
Abdukrahman, dkk dan Hammer (1981) di
Hardjoamidjojo, S. dan Sukartaatmadja, S. (1992)
dalam
68
Lampiran 9. Perkiraan Nilai Faktor CP Berbagai Jenis Penggunaan Lahan di
Jawa
Konservasi dan Pengelolaan Tanaman
Nilai
CP
Hutan
a. Tak terganggu
0.01
b. Tanpa tumbuhan bawah, disertai seresah
0.05
c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa seresah
0.50
Semak
a. Tak terganggu
0.01
b. Sebagian berumput
0.10
Kebun
a. Kebun talun
0.02
b. Kebun pekarangan
0.20
Perkebunan
a. Penutupan tanah sempurna
0.01
b. Penutupan tanah sebagian
0.07
Perumputan
a. Penutupan tanah sempurna
0.01
b. Penutupan tanah sebagian; ditumbuhi alang-alang
0.02
c. Alang-alang; pembakaran sekali setahun
0.06
d. Serai wangi
0.65
Tanaman Pertanian
a. Umbi-umbian
0.51
b. Biji-bijian
0.51
c. Kacang-kacangan
0.36
d. Campuran
0.43
e. Padi Irigasi
0.02
69
Lampiran 9. Lanjutan
Konservasi dan Pengelolaan Tanaman
Nilai
CP
Perladangan
a. 1 tahun tanam – 1 tahun bero
0.28
b. 1 tahun tanam – 2 tahun bero
0.19
Pertanian dengan konservasi
a. Mulsa
0.14
b. Teras bangku
0.04
c. Contour cropping
0.14
Sumber : Abdukrahman dkk., 1984 ; Ambar dan Syafrudin, 1979 di dalam
Asdak (1995)
70
Download