PEMBERDAYAAN KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT DALAM

advertisement
PEMBERDAYAAN KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT
DALAM PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI
DI YOGYAKARTA
(Kasus Kabupaten Bantul)
MUHAMMAD BADRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASINYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemberdayaan Komunikasi
Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta
(Kasus Kabupaten Bantul) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Muhammad Badri
P 054050071
ABSTRACT
MUHAMMAD BADRI. Communication empowerment for opinion leaders in the
post-disaster handling of earthquake in Yogyakarta (case in Bantul). Under
direction of H. MUSA HUBEIS and MAKSUM.
This research aiming to know communication empowerment for opinion
leaders in the post-disaster handling of the Yogyakarta earthquake, especially in
Bantul Regency. The analysis was held to find out the opinion leader's personal
characteristics, opinion leader's communication behavior, community group,
opinion leader's communication empowerment in the post-disaster handling and
also the influence of the opinion leader's personal characteristics, opinion leader's
communication behavior, community group, for opinion leader's communication
empowerment in the post-disaster handling of the Yogyakarta earthquake. This
research was designed as survey methods, using simple random sampling methods
for 91 respondents. The analysis was done by descriptive frequency, Chi-Square
and multiple regression.
The result shown that opinion leader's occupation has influence to the basic
social service in the opinion leader's communication empowerment in disaster
handling. Opinion leader's salary has influence to the program information.
Personage has influence to the basic social service. Opinion leader's responses to
mass media has influence to the victim rescue stage. Community group has real
influence to the empowerment disaster handling communication. Group structure
occupation has strong influence to the temporary housing. Group building has
strong influence to the reconstruction housing. Group cohesion has strong
influence to all activity of the empowerment disaster handling communication.
Group atmosphere has strong influence to the temporary housing. Group pressure
influence to the mental rehabilitation only. Group direction has strong influence to
the temporary housing. The communication empowerment for opinion leaders is
necessary to successful the post-disaster handling program.
Keyword: communication empowerment, opinion leaders, disaster handling,
earthquake, Yogyakarta.
RINGKASAN
MUHAMMAD BADRI. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam
Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul).
Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS dan MAKSUM.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan
gempa tinggi. Gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah
menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Pemerintah melalui
BAPPENAS menetapkan kebijakan penanganan bencana yang didasarkan pada
tiga program utama, yaitu (1) tanggap darurat, (2) rehabilitasi, dan (3)
rekonstruksi. Bertolak dari hal tersebut dan pengalaman penanganan bencana
sebelumnya, maka untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam
penanganan bencana diperlukan pemberdayaan komunikasi yang terarah, kontinu
dan terencana antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal pemuka
pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok
masyarakat, serta pengaruhnya terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka
pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pemilihan disebabkan daerah tersebut mengalami kerusakan paling
parah dibandingkan kabupaten lainnya. Desain penelitian berupa metode survei
dengan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer. Pengambilan contoh
dilakukan dengan teknik non-probability sampling yang menggunakan cara
purposif. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 91 orang pemuka pendapat.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for
Windows, yaitu statistik deskriptif, Khi-kuadrat (χ2) dan analisis regresi linear
berganda. Analisis Khi-kuadrat (χ2) digunakan untuk mengadakan pendekatan
dari beberapa faktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi
hasil observasi (fo) dengan frekuensi yang diharapkan (fe) dari contoh apakah
terdapat hubungan atau perbedaan nyata atau tidak. Sedangkan analisis regresi
linear berganda untuk menganalisis pengaruh dua peubah bebas atau lebih
terhadap peubah tidak bebas untuk membuktikan ada tidaknya suatu hubungan
kausal.
Hasil penelitian dengan analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara umum
karakteristik personal pemuka pendapat berbeda-beda setiap individu. Usia
responden merupakan usia produktif dengan tingkat pendidikan sebagian besar
SLTA hingga sarjana, sehingga memiliki kemampuan yang baik dalam menerima
dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebagian besar responden
merespons media massa antara 3 – 5 jam dalam satu minggu dan melakukan
kontak dengan pelaksana penanganan bencana untuk mencari informasi. Sebagian
besar responden juga merespons positif opini yang berkembang di masyarakat,
serta mendukung penanganan bencana yang dilakukan pemerintah dan LSM.
Prosedur penanganan bencana dianggap sudah sesuai, namun responden sebagian
besar memilih penyaluran bantuan langsung dengan alasan lebih tepat sasaran.
Keragaan kelompok masyarakat memiliki skor tinggi yang menunjukkan bahwa
keberadaan kelompok masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan
penanganan bencana. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana juga memiliki rataan skor tinggi. Kondisi ini menunjukkan
peran pemuka pendapat diperlukan dalam penanganan bencana, karena dapat
menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan pemerintah dan program
organisasi non pemerintah.
Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) secara umum menunjukkan bahwa pemberdayaan
komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana dipengaruhi secara
nyata oleh keragaan kelompok masyarakat pada taraf nyata 0,05. Sedangkan
peubah karakteristik personal dan perilaku komunikasi pemuka pendapat memiliki
banyak peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pemberdayaan
komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
Hasil analisis regresi linear berganda terhadap beberapa peubah yang
dianggap penting dalam penanganan bencana menunjukkan bahwa meskipun
tidak semua peubah bebas berpengaruh nyata, tetapi secara bersama-sama
ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan
kekompakan kelompok berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bila tokoh masyarakat banyak terlibat
dalam penanganan bencana di lingkungannya, kemudian menjadi fasilitator sosial
dan kompak dengan kelompoknya, maka proses penanganan bencana di
lingkungannya relatif lebih cepat dan berhasil. Penanganan bencana merupakan
kegiatan yang mensinergikan program pemerintah dan partisipasi masyarakat
korban bencana, sehingga faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap
keberhasilan program penanganan bencana di masyarakat. Peran pemuka
pendapat juga diperlukan dalam kegiatan penanganan bencana oleh lembaga non
pemerintah yang biasanya cenderung partisipatif dan melibatkan banyak pihak
dalam masyarakat.
Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
perlu ditingkatkan, karena pemuka pendapat banyak berperan dalam kegiatan
penanganan bencana. Peran pemuka pendapat tersebut bagi masyarakat sebagai
sumber informasi serta penghubung aspirasi masyarakat kepada pelaksana
penanganan bencana. Sedangkan bagi pemerintah sebagai sumber informasi untuk
pertimbangan penentuan kebijakan dan teknis pelaksanaan penanganan bencana.
Mengingat seringnya terjadi bencana alam di Indonesia, sebaiknya pemerintah
maupun LSM yang memiliki program penanganan bencana dapat memanfaatkan
peran pemuka pendapat, agar program penanganan bencana tepat sasaran dan
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Kata kunci: pemberdayaan komunikasi, pemuka pendapat, penanganan bencana,
gempa bumi, Yogyakarta.
© Hak cipta milik IPB tahun 2008
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
atau seluruh karya ilmiah dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMBERDAYAAN KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT
DALAM PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI
DI YOGYAKARTA
(Kasus Kabupaten Bantul)
MUHAMMAD BADRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul
Nama
NRP
Program Studi
: Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam
Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus
Kabupaten Bantul)
: Muhammad Badri
: P 054050071
: Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA
Ketua
Drs. Maksum, MSi.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS
Tanggal Ujian : 19 Desember 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dra. Krishnarini Matindas, MS
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pemberdayaan
Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di
Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul)” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai
pihak. Sehubungan dengan itu, dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis,
MS, Dipl.Ing, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Drs. Maksum,
MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memacu dan membantu
penulis dalam penyelesaian penulisan tesis, serta dengan sabar dan tulus telah
memberikan bimbingan dan ilmunya kepada penulis.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi
KMP Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS dan seluruh dosen pengasuh mata
kuliah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta staf sekretariat KMP
yang banyak membantu penulis dalam administrasi. Terimakasih kepada Rektor
IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis sebagai
mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, serta staf administrasi SPs IPB yang selama
ini banyak membantu dalam pengurusan administrasi.
Terimakasih kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah
Kabupaten Bantul dan masyarakat Kecamatan Sewon yang banyak memberikan
bantuan dalam pengumpulan data penelitian. Ucapan terimakasih juga kepada
Pusat Studi Bencana UPN Yogyakarta dan Masyarakat Peduli Bencana Indonesia
(MPBI) yang membantu memberikan data dan informasi penanganan bencana,
serta rekan-rekan mahasiswa Universitas Gajah Mada yang turut membantu
proses penelitian.
Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa KMP
angkatan 2005 : Ponti, Alif, Selly, Firmanto, Ikhsan, Sukri, Farida, Anna, Deni,
Albert, Haris, Yasinta, Etik, Fuad, Fahir, serta mahasiswa angkatan 2004 dan
ii
2006, yang selama ini bekerjasama dalam studi dan interaksi. Terimakasih kepada
rekan-rekan di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB dan para sahabat yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih juga diucapkan kepada Tanoto
Foundation yang telah memberi beasiswa pendidikan kepada penulis.
Terima kasih mendalam penulis sampaikan kepada yang tercinta ibunda
Sriatin dan ayahanda Kamaji yang selalu mendoakan keberhasilan penulis, serta
adik-adik penulis yang telah memberi dukungan. Penulis menyadari dalam
penulisan tesis ini terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan segala keterbukaan
diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
tulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, Januari 2008
Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar (Jawa Timur) pada tanggal 13 Maret 1981
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dengan ayah Kamaji dan ibu Sriatin.
Tahun 1986 penulis mengikuti kedua orang tua dalam program transmigrasi yang
ditempatkan di Propinsi Riau, kemudian menetap hingga sekarang. Pendidikan
SD dan SLTP diselesaikan di Kabupaten Kuantan Singingi (Riau), sedangkan
SLTA di SMUN 1 Talun Blitar, lulus tahun 1998. Setahun kemudian melanjutkan
studi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Islam Riau dan lulus tahun
2004 dengan penghargaan sebagai wisudawan berprestasi. Sejak tahun 2002 –
2005 penulis bekerja sebagai jurnalis, desainer grafis dan kartunis di beberapa
media cetak yang terbit di Riau, serta memberikan materi teknik jurnalistik dan
penulisan kreatif di berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan. Tahun 2005
penulis diterima di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, kemudian menyelesaikannya tahun 2007.
Selain mendalami studi komunikasi pembangunan, penulis aktif di
organisasi kemahasiswaan, antara lain : Ketua Departemen Informasi dan
Komunikasi Forum Mahasiswa Pascasarjan IPB periode 2006 – 2007, Sekretaris
Forum Mahasiswa Pascasarjana Riau di Bogor dan Forum Mahasiswa
Pascasarjana KMP. Penulis juga menulis artikel ilmiah populer dan karya sastra
seperti cerpen, puisi dan esai yang telah dipublikasikan di beberapa media massa,
terangkum dalam beberapa buku, serta mendapatkan sejumlah penghargaan karya
kreatif, antara lain : pemenang pertama lomba logo PPLH IPB (2006), pemenang
pertama sayembara menulis cerpen nasional “Festival Kreativitas Pemuda” yang
diadakan Creative Writing Institute (CWI) bekerjasama dengan Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga RI (2006), pemenang “pengarang berbakat” lomba
cerpen Parle Award (2007), pemenang pertama lomba cerpen nasional EscaevaBukukita (2007) dan pemenang pertama lomba cipta puisi nasional Raja Ali Haji
Award (2007). Komunikasi dengan penulis dapat dilakukan melalui email :
[email protected] atau di weblog : http://negeribadri.blogspot.com.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
ix
I. PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
8
2.1. Komunikasi................................................................................
8
2.2. Pemberdayaan............................................................................
12
2.3. Kelompok Masyarakat...............................................................
16
2.4. Pemuka Pendapat.......................................................................
20
2.5. Bencana Alam............................................................................
24
2.6. Manajemen Bencana..................................................................
28
III. METODOLOGI PENELITIAN........................................................
35
3.1. Kerangka Berpikir dan Hipotesis...............................................
35
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................
38
3.3. Desain Penelitian .......................................................................
38
3.4. Populasi dan Contoh ..................................................................
39
3.5. Pengumpulan Data.....................................................................
40
3.6. Validitas dan Reliabilitas...........................................................
41
3.7. Pengolahan dan Analisis Data ...................................................
42
v
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................
46
4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian..........................................
46
4.2. Karakteristik Personal Responden.............................................
53
4.3. Perilaku Komunikasi .................................................................
57
4.4. Keragaan Kelompok ..................................................................
65
4.5. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat
dalam Penanganan Bencana ......................................................
70
4.6. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat,
Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan
Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi
Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana.........................
86
4.7. Manajemen Komunikasi Penanggulangan Bencana..................
97
V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
103
5.1. Kesimpulan ................................................................................
103
5.2. Saran ..........................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
105
LAMPIRAN............................................................................................
109
vi
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Skala modified mercalli intensity yang digunakan
untuk menunjukkan intensitas guncangan gempa bumi .....................
27
2. Populasi pemuka pendapat menurut ketokohan dan lokasi penelitian
39
3. Jumlah contoh penelitian menurut ketokohan dan lokasi penelitian ..
40
4. Jumlah desa, pedukuhan dan luas kecamatan
di Kabupaten Bantul pada tahun 2005................................................
47
5. Jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bantul
pada tahun 2005..................................................................................
48
6. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati ..................
53
7. Distribusi responden menurut respons terhadap media massa............
57
8. Tujuan responden menonton televisi, mendengar radio
dan membaca surat kabar ...................................................................
59
9. Manfaat responden menonton televisi, mendengar radio
dan membaca surat kabar. ..................................................................
60
10. Intensitas pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana
penanganan bencana. ........................................................................
61
11. Sikap terhadap opini publik. .............................................................
63
12. Struktur kelompok masyarakat. ........................................................
65
13. Pembinaan kelompok masyarakat.....................................................
66
14. Kekompakan kelompok masyarakat. ................................................
67
15. Suasana kelompok masyarakat. ........................................................
68
16. Tekanan kelompok masyarakat.........................................................
68
17. Tujuan kelompok masyarakat. ..........................................................
69
18. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penyelamatan korban.. ...........................................................
71
vii
19. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penyediaan hunian sementara.. ..............................................
73
20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam informasi program penanganan bencana.. .............................
75
21. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam pelayanan sosial dasar............................................................
77
22. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam rehabilitasi mental..................................................................
79
23. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam pembangunan kembali perumahan.. ......................................
81
24. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar.. ..................................
83
25. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam pemulihan sistem perekonomian............................................
85
26. Pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penanganan bencana di Yogyakarta.......................................
88
27. Pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penanganan bencana di Yogyakarta.......................................
90
28. Pengaruh keragaan kelompok masyarakat
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penanganan bencana di Yogyakarta.......................................
92
29. Pengaruh ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana
penanganan bencana dan kekompakan kelompok
terhadap penyediaan hunian sementara... .........................................
95
viii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Sosialisasi pemulihan pasca bencana ..................................................
3
2. Model komunikasi Berlo.....................................................................
11
3. Model komunikasi Lasswell ...............................................................
11
4. Manajemen bencana............................................................................
30
5. Pengaruh karakteristik personal, perilaku komunikasi dan
keragaan kelompok dengan pemberdayaan
komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. ..............
37
6. Peta Kabupaten Bantul........................................................................
46
7. Komunikasi dalam penyelamatan korban bencana .............................
72
8. Komunikasi dalam penyediaan hunian sementara ..............................
74
9. Komunikasi dalam informasi program ...............................................
76
10. Komunikasi dalam pelayanan sosial dasar........................................
78
11. Komunikasi dalam rehabilitasi mental..............................................
80
12. Komunikasi dalam pembangunan kembali perumahan ....................
82
13. Komunikasi dalam perbaikan prasaranan dan sarana dasar..............
84
14. Komunikasi dalam pemulihan sistem perekonomian .......................
86
15. Manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif ...........
99
16. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana...........................
101
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Surat ijin penelitian .............................................................................
110
2. Kuesioner penelitian ...........................................................................
114
3. Data deskriptif hasil penelitian. ..........................................................
125
4. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2)
pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku
komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka
pendapat dalam penanganan bencana
program SPSS 13.0 for Windows.........................................................
137
5. Hasil uji regresi berganda pengaruh karakteristik personal,
perilaku komunikasi dan keragaan kelompok masyarakat
secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi
pemuka pendapat dalam penanganan bencana di yogyakarta
program SPSS 13.0 for Windows.........................................................
145
6. Uji reliabilitas......................................................................................
149
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai dan banjir. Bencana tersebut
datang hampir setiap tahun, yang terbesar antara lain gempa bumi dan tsunami di
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004, serta gempa bumi di
Yogyakarta 27 Mei 2006. Bencana alam geologis yang sering terjadi yaitu gempa
bumi, merupakan fenomena alam yang sulit diprediksi kedatangannya sampai
sekarang. Indonesia sangat rawan gempa karena dekat dengan lempeng-lempeng
aktif yang saling berhubungan satu sama lain dan karena adanya gunung-gunung
berapi aktif.
Berbagai permasalahan sering muncul dalam penanganan bencana, yang
menunjukkan bahwa negara ini tidak siap menghadapi musibah tersebut. Hal itu
disebabkan Indonesia belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang
baik. Sebagai contoh, penanganan bencana di NAD terdapat kelemahan dalam
proses komunikasi dan informasi yang mengakibatkan koordinasi penanganannya
menjadi tumpang tindih. Padahal jika sejak awal pemerintah didukung semua
elemen masyarakat dapat mempergunakan sarana komunikasi yang memadai,
niscaya hal tersebut tidak akan terjadi. Masalah komunikasi dalam penanganan
tragedi tsunami cukup vital karena menyangkut komunikasi dalam penanganan
internal bencana dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat (Suryo, 2005:1).
Penanganan bencana di NAD juga terdapat titik lemah dalam hal
pengorganisasian, koordinasi, serta komando dan pengendalian (kodal). Meskipun
sumber daya, baik dalam maupun luar negeri cukup tersedia, tanpa
pengorganisasian, koordinasi dan kodal yang efektif, hasil yang dicapai tidak akan
optimal. Karena itu, perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan yang sungguhsungguh
dengan
menerapkan
praktik
manajemen
yang
profesional
dan
kepemimpinan yang efektif. Agar permasalahan tersebut tidak terulang pemerintah
membuat langkah-langkah strategis antara lain (1) Peningkatan efektivitas
pengorganisasian, koordinasi dan kodal; (2) Percepatan pengefektivan evakuasi
2
jenazah; (3) Percepatan relokasi pengungsi; (4) Perawatan bagi yang terluka dan
sakit; (5) Pengelolaan bantuan negara sahabat dan bantuan dalam negeri;
(5)
Kkesinambungan pasokan logistik; (6) Pengelolaan transportasi darat, laut dan
udara; serta (7) Intensifikasi kegiatan komunikasi publik (KOMPAS, 2005:1).
Buruknya komunikasi dan koordinasi penanganan bencana NAD tersebut
berdampak terhadap pada tertatanya mekanisme transisi ke tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi di ujung fase tanggap darurat pada 25 Maret 2005 (BRR NAD-Nias,
2005:22). Kondisi tersebut kemudian membuka kesadaran bersama bahwa
manajemen bencana di Indonesia masih jauh dari harapan. Pemahaman terhadap
manajemen bencana selama ini terabaikan dan dianggap bukan prioritas karena
bencana hanya datang sewaktu-waktu. Berdasarkan pengalaman tersebut maka
pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kesadaran membangun kerjasama
dalam manajemen bencana melalui komunikasi yang efektif, terutama dalam
penanganan pasca bencana.
Bencana alam terbesar setelah tsunami di NAD dan Nias yaitu gempa bumi
yang terjadi di Yogyakarta. Data Media Center Pemda DIY menyebutkan jumlah
korban di Yogyakarta sebanyak 4.715 orang meningggal dunia, 19.381 orang luka
berat, dan 8.422 orang luka ringan. Kemudian 109.100 rumah rusak berat dan
roboh, 123.930 rumah rusak sedang, dan 174.988 rumah rusak ringan. Untuk
fasilitas umum 1.180 tempat ibadah, 2378 sekolah, dan 216 bangunan pemerintah
mengalami kerusakan baik berat maupun ringan. Dari lima Kabupaten/Kota yang
ada di Yogyakarta kerusakan paling parah dialami Kabupaten Bantul (Pemda
DIY, 2006:3).
Kabupaten Bantul mengalami kerusakan paling parah karena dekat dengan
pusat gempa. Dari keseluruhan jumlah korban dan kerusakan, di Kabupaten
Bantul terdapat 4.280 korban meninggal dunia, 12.023 luka berat dan 28.939
bangunan roboh. Berdasarkan data tersebut dapat diasumsikan bahwa penanganan
bencana di Kabupaten Bantul memerlukan waktu lama. Pemerintah melalui Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menetapkan kebijakan
penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta sampai dengan Desember 2008.
Kebijakan tersebut didasarkan pada tiga program utama, yaitu (1) Tanggap
darurat, (2) Rehabilitasi dan (3) Rekonstruksi (BAPPENAS, 2006: 6).
3
Berikut ini disajikan tahapan penanganan bencana gempa bumi Yogya –
Jateng yang disusun BAPPENAS (Gambar 1).
PEMULIHAN
PENYELAMATAN
Waktu 1 bulan
Bulan ke-2 – ke-12
Bulan ke-7 - ke-24
TANGGAP
DARURAT
REHABILITASI
REKONSTRUKSI
Tujuan:
Penyelamatan jiwa
Tujuan:
Pemulihan standar
pelayanan
minimum seperti :
Tujuan:
Pembangunan
kembali seluruh
sistem meliputi :
ƒ Pelayanan publik
ƒ Pelayanan sosial
dasar
ƒ Prasarana dan
sarana dasar
ƒ Pemulihan
fasilitas
perekonomian
ƒ Pembangunan
kembali
perumahan
ƒ Rehabilitasi
mental
ƒ Sistem ekonomi
(produksi,
perdagangan,
perbankan)
ƒ Sistem
transportasi
ƒ Sistem
telekomunikasi
ƒ Pemulihan sosial
dan budaya
ƒ Pemulihan
kelembagaan
ƒ Tanggap darurat
ƒ Pembangunan
dapur umum
ƒ Penyelamatan
korban yang
masih hidup
ƒ Pembersihan
puing runtuhan
bangunan
ƒ Penyediaan
hunian sementara
Gambar 1. Sosialisasi penanganan bencana (BAPPENAS, 2006: 6)
Penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta, awalnya mengalami
keterlambatan pemberian bantuan karena masalah jalur komunikasi antara pusat
dan daerah. Hal itu disebabkan ketidakjelasan komunikasi dan pengaturan
hubungan kerja antara BAKORNAS PBP, SATKORLAK PBP dan SATLAK
PBP. Permasalahan tersebut antara lain terjadi pada pengaturan distribusi bantuan,
sehingga terjadi tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif
tersebut. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat korban
bencana sehingga penyalahkan pemerintah daerah setempat (KONTAN, 2006:1).
Dalam rangka pengambilan peran dalam penanganan bencana ini, sejumlah
elemen
masyarakat
mengadakan
Kongres
Rakyat
Sadar
Bencana
yang
4
diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 29 November - 2 Desember 2006. Kongres
ini melahirkan Piagam Rakyat Berdaya dan Siaga (Raberdasi) dengan prinsipprinsip sebagai berikut : (1) Rakyat sebagai subyek, basis dan sumber dalam
pengelolaan bencana; (2) Akses terhadap hak atas bantuan, informasi, dan
pengambilan keputusan dijamin oleh undang-undang; (3) Berdaya dalam
pengelolaan resiko bencana, saat dan sesudah bencana, dengan memperhatikan
kesetaraan gender dan kearifan lokal; (4) Ekonomi kerakyatan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan sebagai inti pemberdayaan dalam penanggulangan
bencana; (5) Risiko harus dikelola dengan mengedepankan penyediaan sumber
daya yang memadai pada situasi normal sebelum bencana terjadi; (6)
Demokratisasi dalam pengambilan kebijakan; (7) Advokasi untuk tranformasi
struktur dan sistem nasional dan global yang memihak pada pembangunan yang
berkelanjutan; (8) Solidaritas sosial yang saling menguatkan dan tidak diskriminatif
dengan perhatian khusus kepada rakyat paling rentan; (9) Inisiatif dari rakyat harus
menjadi prioritas dalam penanggulangan bencana (MPBI, 2006:3).
Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam penanganan bencana
diperlukan komunikasi timbal balik antara pelaksana penanganan bencana dengan
pemuka pendapat. Pemuka pendapat adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan dan status sosial lebih tinggi dari anggota masyarakat lainnya,
sehingga menjadi anutan masyarakat sekitarnya. Pemuka pendapat juga
mempunyai pengaruh kuat dalam menggerakkan massa pada berbagai perubahan
yang dikehendaki, serta mempunyai kemampuan hubungan ke luar yang lebih
luas. Peran pemuka pendapat sebagai orang yang mewakili anggota masyarakat
diharapkan berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dengan satuan
pelaksana penanganan bencana.
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pemuka pendapat merupakan garda
depan keberhasilan
program penanganan bencana melalui Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS
PBP), yaitu wadah yang bersifat non struktural bagi penanggulangan bencana
yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
BAKORNAS
PBP
mempunyai
tugas
(1)
Merumuskan
kebijaksanaan
penanggulangan bencana dan memberikan pedoman atau pengarahan, serta
5
mengkoordinasikan kebijaksanaan penanggulangan bencana, baik dalam tahap
sebelum, selama maupun setelah bencana terjadi secara terpadu, dan (2)
Memberikan pedoman dan pengarahan garis-garis kebijaksanaan dalam usaha
penanggulangan bencana, baik secara preventif, represif maupun rehabilitatif yang
meliputi pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Untuk
mengkomunikasikan
dan
mengendalikan
pelaksanaan
tugas
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di wilayah Daerah/ Propinsi,
dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK PBP). Kemudian untuk
koordinasi di wilayah kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana (SATLAK
PBP). Sebagai pelaksana operasional di lapangan SATLAK PBP dapat
membentuk satuan tugas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi
guna melaksanakan tugas penyelamatan korban bencana, memberikan bantuan
kesehatan, memberikan bantuan sosial dan pelayanan umum kepada korban
bencana serta penanganan bencana yang terjadi. Salah satu tugas dan wewenang
lembaga tersebut sebagai pusat informasi dan komunikasi, meliputi : (1) Pusat
data penanganan bencana, (2) Pusat koordinasi peringatan dini, (3) Pertemuan
rutin dan insidental, serta (4) Publikasi dan hubungan mansyarakat.
Berdasarkan jenjang komunikasi BAKORNAS PBP tersebut, komunikasi
dengan pemuka pendapat dilakukan dengan melibatkannya sejak perencanaan,
pelaksanaan, hingga pengawasan program penanganan bencana. Hal ini juga
dirumuskan dalam Kerangka Kerja Hyogo 2005 – 2015 (Wuryantari, 2005: 57)
yang menyebutkan bahwa baik komunitas dan pihak berwenang di tingkat lokal
harus diberdayakan dalam mengelola dan meredam resiko bencana dengan
mempunyai akses terhadap informasi, sumber daya dan pihak berwenang yang
diperlukan dalam melaksanakan aksi-aksi pengurangan risiko-risiko bencana.
Komunikasi
pemuka
pendapat
ini
dapat
diberdayakan
dengan
menempatkannya sebagai penghubung komunikasi pelaksana penanganan bencana
dengan masyarakat. Dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat,
penyampaian pesan-pesan pelaksana penanganan bencana kepada masyarakat dapat
lebih efektif. Pemuka pendapat juga berperan sebagai sumber informasi bagi
pelaksana penanganan bencana, terutama untuk mendapatkan informasi mengenai
data kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat korban bencana.
6
1.2. Perumusan Masalah
Pada tahap awal penanganan pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta
terdapat beberapa kelemahan antara lain ketidakjelasan peraturan pemerintah,
koordinasi penanganan bencana yang lemah, munculnya pertarungan aspirasi
masyarakat lokal dengan pemerintah. Dari persoalan tersebut kemudian
memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai
pengambil kebijakan. Kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten menjadi
persoalan dilematis bagi pemerintah daerah. Kekecewaan warga korban bencana
diluapkan kepada pemerintah daerah dengan protes dan aksi unjuk rasa. Pada
posisi itulah pemerintah daerah harus lebih aspiratif mendengarkan suara
masyarakat (Arga, 2006:1).
Untuk wilayah Kabupaten Bantul yang merupakan daerah paling parah di
Yogyakarta, banyak pekerjaan yang perlu segera dituntaskan untuk mendorong
percepatan penanganan bencana. Hal ini juga ditegaskan para tokoh masyarakat
dan birokrat di Bantul bahwa untuk percepatan pemulihan harus ada kekuatan di
dalam masyarakat untuk bangkit dan adanya sikap tidak terlalu banyak berharap
terhadap bantuan dari lembaga donor (Rozaki, 2007:1). Melihat permasalahan
dalam penanganan bencana tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pemuka
pendapat adalah sumber informasi atau pendapat bagi para pengikutnya.
Pentingnya komunikasi pemuka pendapat ini dikarenakan pemuka pendapat
memiliki prakarsa dalam komunikasi dengan mengambil kesempatan-kesempatan
menghubungi
anggota
masyarakat
untuk
menyebarluaskan
pesan-pesan
penanganan bencana. Sebaliknya masyarakat juga sering menemui pemuka
pendapat untuk mencari informasi.
Oleh karena itu, pemuka pendapat di Kabupaten Bantul menjadi bahan
pertimbangan penelitian pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta. Berbagai studi dan hasil
penelitian menunjukkan bahwa peran seseorang dipengaruhi oleh karakteristik
personal dan situasionalnya. Maka dari itu karakteristik personal pemuka
pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok menjadi
peubah bebas dalam penelitian. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi
7
pemuka pendapat, serta hubungannya dengan karakteristik personal dan
situasionalnya dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul,
maka perlu dilakukan suatu penelitian. Sehubungan dengan itu, maka
permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ?
2.
Bagaimanakah komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ?
3.
Bagaimanakah keragaan kelompok di Kabupaten Bantul ?
4.
Bagaimanakah
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ?
5.
Seberapa besar pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku
komunikasi
pemuka
pendapat
dan
keragaan
kelompok
terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
gempa bumi di Kabupaten Bantul ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul
2.
Mengetahui perilaku komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul
3.
Mengetahui keragaan kelompok di Kabupaten Bantul
4.
Menetapkan faktor-faktor pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
apakah yang diperlukan dalam penanganan bencana gempa bumi di
Kabupaten Bantul.
5.
Menganalisis pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku
komunikasi
pemuka
pendapat
dan
keragaan
kelompok
terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
gempa bumi di Kabupaten Bantul.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi
Pengertian komunikasi secara umum dapat dilihat dari dua segi, yaitu secara
etimologis dan terminologis. Secara etimologis atau menurut kata asalnya, istilah
komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber
pada kata communis yang artinya sama, dalam arti sama makna, yaitu sama
makna mengenai sesuatu hal. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orangorang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang
dikomunikasikan. Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian
suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan dalam pengertian
paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.
Dalam definisi paradigmatis ini tersimpul tujuan, yakni memberitahu atau
mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behavior) (Effendi,
2002:4).
Komunikasi juga disebut sebagai tindakan satu orang atau lebih yang
mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi
dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan
untuk memperoleh umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidaktidaknya memiliki tiga dimensi : fisik, sosial-psikologis dan temporal. Dimensi
fisik adalah ruang atau tempat dimana komunikasi berlangsung, misalnya di ruang
kantor, ruang kelas dan sebagainya. Dimensi sosial-psikologis adalah lingkungan
komunikasi yang diatur oleh norma atau budaya masyarakat, dimana komunikasi
dapat dilakukan, misal komunikasi yang diperbolehkan pada suatu pesta wisuda
mungkin tidak dibolehkan di rumah sakit. Komunikasi dalam dimensi temporal
berhubungan dengan waktu komunikasi berlangsung, misalnya bagi banyak orang
pagi hari bukanlah waktu ideal untuk berkomunikasi, tetapi bagi orang lain
merupakan waktu ideal. Tiga dimensi tersebut satu sama lain saling berhubungan
9
dan berinteraksi, di mana masing-masing konteks saling mempengaruhi dan
dipengaruhi (DeVito, 1997:23).
Mulyana (2002:61) mencatat setidaknya ada tiga kerangka pemahaman
mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi
sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu-arah,
suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi
yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu
lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung
(tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar,
majalah, radio, atau televisi.
Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses
sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan
pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi
jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi
lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu
seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis
daripada komunikasi sebagai tindakan satu-arah. Salah satu unsur yang dapat
ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik (feed back),
yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan Mulyana
(2002:65-66).
Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung
bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun
perilaku nonverbalnya. Berdasarkan konseptualisasi ini, komunikasi pada
dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambung mengubah
pihak-pihak yang berkomunikasi. Menurut pandangan ini, maka orang-orang yang
berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan
menafsirkan pesan. Setiap pihak dianggap sumber sekaligus juga penerima pesan
Mulyana (2002:67).
Peran komunikasi menurut Ruslan (2005:80) sangat penting bagi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, sesuai dengan fungsi komunikasi yang bersifat persuasif,
edukatif dan informatif. Sebab tanpa komunikasi, maka tidak adanya proses interaksi
seperti saling tukar ilmu pengetahuan, pengalaman, pendidikan, persuasi, informasi
10
dan lain sebagainya. Proses penyampaian informasi/pesan tersebut pada umumnya
berlangsung melalui suatu media komunikasi, khususnya bahasa percakapan yang
mengandung makna yang dapat dimengerti atau dalam lambang yang sama.
Pengertian pemakaian bahasa dapat bersifat konkrit atau abstrak.
Konsep
komunikasi
mencakup
pemanfaatan
dan
penerapan
sarana
komunikasi, yang terbentang mulai dari penggunaan bahasa hingga produksi dan
reproduksi realitas sosial melalui media. Raymond Williams dalam Hardt
(2005:12) pernah menawarkan pengingat yang tepat mengenai sentralitas
komunikasi dalam studi kemasyarakatan, yaitu “sebuah definisi bahasa, secara
eksplisit atau implisit, mengingatkan tentang manusia di dunia”. Hal tersebut
merupakan ajakan untuk memperhitungkan dimensi kultural komunikasi, yang
merupakan bidang di balik batas-batas tradisional disiplin akademis dan menjadi
suatu kawasan penyelidikan kultural.
Berkaitan dengan itu Mulyana (1999:193-194) mengatakan terdapat banyak
model komunikasi. Ada definisi (model) yang mengisyaratkan komunikasi satu
arah, ada pula definisi yang tujuannya untuk mempengaruhi (sikap atau perilaku)
dan ada pula yang mentikberatkan bahwa komunikasi itu harus disengaja. Namun
satu hal yang pasti, pernyataan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses telah
diterima secara luas. Proses adalah suatu interaksi berkesinambungan dari
sejumlah besar faktor, dimana setiap faktor mempengaruhi setiap faktor lainnya,
semuanya pada saat yang sama. Pendekatan proses memandang peristiwaperistiwa dan hubungan-hubungan sebagai dinamika, selalu berubah dan
berkesinambungan.
Model komunikasi yang dikenal luas adalah model David K. Berlo yang
dikenal dengan model SMCR, kepanjangan dari Source (sumber), Message
(pesan), Channel (saluran) dan Receiver (penerima). Dalam situasi tatap muka,
kelompok kecil dan komunikasi publik (pidato), saluran komunikasinya adalah
udara yang menyalurkan gelombang suara. Dalam komunikasi massa, terdapat
banyak saluran : televisi, radio, surat kabar, buku dan majalah. Menurut Berlo,
sumber dan penerima pesan dipengaruhi oleh faktor-faktor : keterampilan
komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial dan budaya. Pesan dikembangkan
berdasarkan elemen, struktur, isi, perlakuan dan kode. Salurannya berhubungan
11
dengan panca indra : melihat, mendengar, menyentuh, membaui, dan merasai
(Mulyana, 2002: 150-151).
S
M
Keterampilan
C
Elemen
Melihat
Struktur
R
Keterampilan
Sikap
Mendengar
Sikap
Pengetahuan
Menyentuh
Pengetahuan
Membaui
Sistem Sosial
Merasai
Budaya
Isi
Sistem Sosial
Kode
Perlakuan
Budaya
Gambar 2. Model Komunikasi Berlo (Mulyana, 2002:151)
Untuk memahami pengertian komunikasi secara efektif, para peminat
komunikasi sering mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell.
Paradigma Lasswel menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu
komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel,
media), komunikan (coomunicant, communicatee, receiver, recipient) dan efek
(effect, impact, influence). Berikut ini model proses komunikasi yang
dikemukakan Harold Lasswell (Effendi, 2004:18).
Sender
(Komunikator)
Message
(Pesan)
Channel
(Media)
Receiver
(Komunikan)
Effect
(Umpan balik)
Gambar 3. Model Komunikasi Lasswell (Effendi, 2004:18)
12
Penegasan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi di atas adalah
sebagai berikut :
1. Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau
sejumlah orang.
2. Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator.
3. Channel : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
kepada komunikan.
4. Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
5. Effect : Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau
disampaikan kepada komunikator.
2.2. Pemberdayaan
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment)
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Ide utama pemberdayaan
bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan
dengan kemampuan membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya,
terlepas dari keinginan dan minatnya yang berkaitan dengan pengaruh dan
kontrol. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a)
memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mendapatkan kebebasan (freedom), dalam
arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatannya dan
memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan; dan (c) berpartisipasi
dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhinya
(Suharto, 2005:58).
Menurut Ife (1995:60-62), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci,
yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien atas hal berikut :
13
a. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup : kemampuan
dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal
dan pekerjaan.
b. Pendefinisian kebutuhan : kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan
aspirasi dan keinginannya.
c. Ide atau gagasan : kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan
gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d. Lembaga-lembagan:
kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan
sosial, pendidikan dan kesehatan.
e. Sumber-sumber : kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal
dan kemasyarakatan.
f.
Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme
produksi, distribusi dan pertukaran barang, serta jasa.
g. Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,
perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada
pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang
mengorganisir dirinya sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai
obyek, tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan
masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum (Setiana, 2005:5-6).
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan
sosial (Hikmat, 2001:3). Sementara itu, McArdle dalam Hikmat (2001:3)
mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orangorang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang
yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya,
bahkan merupakan suatu “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usahanya
sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan dan sumber lainnya dalam
14
rangka mencapai tujuan tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan
eksternal.
Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien
memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
dilakukan yang terkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain
melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne dalam Adi, 2003:54).
Menurut
Hubeis
(2001:14)
pemberdayaan
masyarakat
(community
empowerment) adalah perwujudan dari pengembangan kapasitas (capacity
building) masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia
(SDM) melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sosial ekonomi
rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan sistem 3 P : Pendampingan
yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat; Penyuluhan yang dapat
merespons dan memantau perubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat; dan
Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset
sumber daya fisik dan non-fisik yang diperlukan oleh masyarakat.
Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya selalu dihubungkan
dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar
belakang dan budaya tertentu. Oleh sebab itu dalam program pemberdayaan
masyarakat diperlukan suatu strategi. Menurut Harper dalam Soesilowati (1997:67), ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat
berikut :
1. Strategi fasilitasi. Strategi ini digunakan ketika kelompok atau sistem yang
dijadikan target mengetahui ada suatu masalah dan membutuhkan
pengubahan, ada keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan
pribadi untuk terlibat. Melalui strategi ini para agen peubah diharapkan dapat
bertindak selaku fasilitator. Oleh karena itu tugasnya sering membuat
kelompok target menjadi sadar terhadap pilihan-pilihan dan keberadaan
sumber-sumber di mana mengklasifikasikan isu-isu peubah. Strategi ini
15
dikenal dengan strategi kooperatif, di mana agen peubah dan masyarakat
(kliennya) bersama-sama melakukan penyelesaian masalah.
2. Strategi re-edukatif. Strategi ini diistilahkan dengan re-edukasi, karena
biasanya melibatkan proses justifikasi rasional atas aksi yang dilakukan.
Strategi ini membutuhkan waktu, untuk membentuk pengetahuan dan
keahlian. Reedukatif dipergunakan untuk memberikan suatu pemahaman dan
pengetahuan baru dalam mengadopsi suatu perubahan. Segmentasi menjadi
faktor penting untuk membuat pesan mudah dimengerti dan diterima oleh
kelompok berbeda. Karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan
dan kondisi sosial ekonomi) merupakan pengkategorian yang umum
dipergunakan dalam memilah segmentasi khalayak sasaran.
3. Strategi persuasif. Strategi ini berusaha untuk membawa perubahan melalui
kebiasaan berperilaku, dimana pesan distruktur dan dipresentasikan. Jadi
persuasif mengacu pada tingkatan reduksi, di mana agen perubahan
menggunakan emosi dan hal-hal yang tidak rasional untuk melakukan
perubahan. Persuasif lebih sering digunakan apabila target tidak sadar
terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen rendah terhadap
perubahan.
4. Strategi kekuasaan. Praktik strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan
agen perubahan yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau
sanksi pada target dan mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses.
Strategi kekuasaan menjadi efektif, ketika komitmen terhadap perubahan
rendah, waktu singkat dan perubahan yang dikehendaki lebih pada perilaku
ketimbang sikap (attitude).
Setiap perencanaan pembangunan yang diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat, paling tidak harus memuat unsur-unsur pokok berikut : pertama,
strategi dasar pemberdayaan masyarakat yang merupakan acuan dari seluruh
upaya pemberdayaan masyarakat. Kedua, kerangka makro pemberdayaan
masyarakat yang memuat berbagai besaran sebagai sasaran yang harus dicapai.
Ketiga, sumber anggaran pembangunan sebagai perkiraan sumber-sumber
pembiayaan pembangunan. Keempat, kerangka dan perangkat kebijaksanaan
pemberdayaan masyarakat. Kelima, program-program pemberdayaan masyarakat
16
yang secara konsisten diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat.
Keenam, indikator keberhasilan program-program yang memuat perangkat
pencatatan sebagai dasar pemantauan evaluasi program dan penyempurnaan
program,
serta
kebijaksanaan
yang
menjamin
kelangsungan
program
(Sumodiningrat, 1999:129).
Dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlu diketahui potensi atau
kekuatan yang dapat membantu proses perubahan agar dapat lebih cepat dan
terarah, sebab tanpa adanya potensi atau kekuatan yang berasal dari masyarakat
itu sendiri, maka seseorang, kelompok, organisasi atau masyarakat akan sulit
bergerak untuk melakukan perubahan. Kekuatan pendorong ini di dalam
masyarakat harus ada atau bahkan diciptakan lebih dulu pada awal proses
perubahan dan harus dipertahankan selama proses perubahan tersebut berlangsung
(Setiana, 2005:7).
Untuk konteks Indonesia saat ini, dibutuhkan strategi komunikasi sistematis
berorientasi pada masyarakat. Seringkali kebijakan-kebijakan dan program
pemerintah maupun lembaga-lembaga lain tidak menguntungkan masyarakat,
menghalangi persamaan hak, membuat masyarakat tidak berdaya dan akhirnya
jatuh ke dalam situasi terpuruk. Strategi komunikasi yang berorientasi pada
masyarakat seharusnya menyerahkan produksi, pengelolaan dan pengendalian
media kepada masyarakat, sehingga aspirasi, kebutuhan dan masalahnya
tercermin dalam media itu dan akan lebih banyak berkesempatan untuk
memperoleh sumber-sumber komunikasi yang ada. Strategi ini bukan hanya berisi
tentang istilah-istilah menarik. Lebih dari itu, strategi ini merupakan upaya yang
sungguh-sungguh untuk memberdayakan masyarakat yang paling bawah
sekalipun (Setyowati, 2005:84 – 85).
2.3. Kelompok Masyarakat
Masyarakat dalam kamus disebut sebagai sejumlah manusia dalam arti yang
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang dianggap sama. Menurut
Koentjaraningrat (1980:160), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan
yang terikat oleh suatu identitas yang sama. Sedangkan Horton dan Hunt (199:129)
17
menjelaskan masyarakat (komunitas) adalah suatu kelompok setempat (lokal)
dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktivitas) kehidupannya. Definisi
komunitas yang lebih rinci mencakup : (1) sekelompok orang, (2) hidup dalam
suatu wilayah tertentu, (3) pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling
tergantung (interdependent), (4) memiliki sistem sosial-budaya yang mengatur
kegiatan para anggota, (5) yang mempunyai kesadaran akan kesatuan dan perasaan
memiliki, serta (6) mampu bertindak secara kolektif dengan cara teratur.
Memahami masyarakat secara mendalam, alangkah baiknya dimulai dengan
masyarakat dalam bentuk kelompok-kelompok kesatuan hidup terlebih dahulu,
karena melalui hal tersebut akan diketahui setiap gejolak dan dinamika yang
terdapat di dalamnya. Menelaah masyarakat dapat dilakukan dari dua segi, yaitu
dari segi struktural dan segi dinamikanya. Segi struktural atau struktur sosial yaitu
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok berupa kaidah-kaidah
sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial. Sedangkan dinamika
masyarakat adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-perubahan sosial
(Mutakin dan Pasha, 2003:20).
Masyarakat merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat sistem yang
terdiri dari berbagai komponen yang satu sama lain memiliki fungsi dan saling
melengkapi, begitu pula masyarakat sebagai kelompok sosial yang besar di
dalamnya terdapat beberapa kelompok sosial yang lebih kecil, di dalam kelompok
tersebut memiliki interaksi, solidaritas, pemimpin, nilai maupun norma tersendiri
yang mengikat anggotanya. Dengan demikian, kelompok ini sebagai suatu
organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat sendiri yang di dalamnya
terdapat ikatan-ikatan sosial terhadap anggotanya (Mutakin dan Pasha, 2003: 31).
Dalam membahas kelompok masyarakat perlu juga menjelaskan mengenai
dinamika kelompok. Menurut Santosa (2004:5) dinamika berarti tingkah laku
warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal
balik. Jadi, dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota
kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan
antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi
karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus menerus
berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu, kelompok tersebut bersifat dinamis,
18
artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari
dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara
anggota yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antar anggota kelompok
mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami
secara bersama-sama.
Benedict dalam Santosa (2004:7) menjelaskan bahwa persoalan dalam
kelompok masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kohesi/ persatuan
Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota dalam kelompok,
seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai
kelompok, dan sebagainya.
b. Motif/ dorongan
Persoalan motif ini berkisar pada interes anggota terhadap kehidupan
kelompok, seperti kesatuan kelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap
kelompok, dan sebagainya.
c. Struktur
Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan,
perbedaan kedudukan antar anggota, pembagian tugas, dan sebagainya.
d. Pimpinan
Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini
terlihat
pada
bentuk-bentuk
kepemimpinan,
tugas
pimpinan,
sistem
kepemimpinan, dan sebagainya.
e. Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok
selanjutnya, dan ini terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota
tetap berada dalam kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.
Sebuah kelompok bisanya melakukan tiga fungsi bagi anggotanya, yaitu (1)
memenuhi kebutuhan antarpersonal, (2) memberi dukungan bagi konsep diri
perorangan dan (3) melindungi para individu dari kesalahannya sendiri.
Disamping membantu anggota perorangan dalam hal-hal tersebut, kelompok ini
juga menciptakan identitas atau konsep diri bagi kelompok itu sendiri. Kadang-
19
kadang tujuan perorangan bertentangan dengan tujuan kelompok, kadang-kadang
tujuan kelompok bertentangan dengan tujuan organisasi yang lebih besar, tetapi
sesekali tujuannya amat serupa. Cara kelompok berkembang berkaitan dengan
bagaimana kelompok menangani tiga aspek penting dalam kehidupan kelompok :
(1) peranan atau kegiatan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok, (2) normanorma dan perbedaan dalam status yang tumbuh ketika para anggota berinteraksi,
dan (3) konflik yang muncul dari tekanan untuk bersikap secara bersaing alih-alih
bekerjasama (Pace dan Faules, 2005:318).
Slamet, Cartwright dan Zander dalam Carmelita (2002:20) menjelaskan
beberapa kekuatan dalam kelompok, yaitu :
1. Tujuan kelompok, merupakan gambaran tentang sesuatu hasil yang diharapkan
dicapai oleh kelompok. Anggota kelompok berbuat sesuai tujuan kelompok,
karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok
mengetahui arah kelompok.
2. Struktur kelompok, yaitu hubungan antara individu di dalam kelompok yang
disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Kelompok
yang telah memiliki struktur, yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan
yang stabil antar anggota kelompok.
3. Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok,
sehingga tujuannya tercapai.
4. Pembinaan
kelompok,
dimaksudkan
sebagai
usaha
mempertahankan
kehidupan kelompok.
5. Kekompakan
kelompok,
di
mana
anggota
kelompok
yang
tingkat
kekompakannya lebih tinggi terangsang untuk aktif mencapai tujuan
kelompok dibandingkan anggota kelompok yang tingkat kekompakannya
rendah.
6. Suasana kelompok, di mana kelompok mempunyai suasana yang menentukan
reaksi anggota terhadap kelompoknya seperti rasa hangat dan setia kawan,
rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya.
20
7. Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan pada
kelompok untuk mendapatkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya
tujuan kelompok.
8. Efektivitas kelompok, dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan
anggota.
2.4. Pemuka Pendapat
Di dalam suatu masyarakat biasanya ada orang-orang tertentu yang menjadi
tempat bertanya dan meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai
urusan-urusan tertentu, karena seringkali memiliki kemampuan mempengaruhi
orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Orang-orang tersebut
mungkin menduduki jabatan formal, tetapi pengaruh itu berlaku secara informal.
Pengaruh itu tumbuh bukan karena ditunjang oleh kekuatan atau birokrasi formal.
Jadi kepemimpinan itu bukan diperoleh karena jabatan resminya, melainkan
karena kemampuan dan hubungan antarpribadi dengan anggota masyarakat.
Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain seperti
itu disebut tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemimpin informal atau sebutan
lainnya yang sejenis (Rogers and Shoemaker, 1981:110).
Opinion leader adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat
kebanyakan. Maka sepantasnya jika mempunyai karakteristik yang membedakan
dirinya dengan yang lain. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah (1)
Lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat
lain; (2) Lebih tinggi status sosial ekonominya; (3) Lebih inovatif dalam
menerima dan mengadopsi ide baru; (4) Lebih tinggi pengenalan medianya; (5)
Kemampuan empatinya lebih besar; (6) Partisipasi sosialnya lebih besar; (7)
Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas) (Nurudin,
2005:160).
Para pemimpin pendapat boleh jadi berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan
pekerjaan mana saja. Dalam setiap lapisan masyarakat yang berbeda, terdapat
pemimpin pendapat yang berbeda, karena cenderung mempunyai lebih banyak
informasi dan lebih sering menggunakan berbagai media massa (Tubbs dan
Moss, 2001:208). Rogers (1995:239) menjelaskan karakteristik pemuka
21
pendapat yang membedakan dari masyarakat lainnya, yaitu (1) Pemuka pendapat
mempunyai ekspose lebih besar ke mass media dibandingkan para pengikutnya;
(2) Pemuka pendapat lebih kosmopolit daripada pengikutnya; (3) Pemuka
pendapat mempunyai hubungan lebih luas dengan agen perubahan dibandingkan
pengikutnya; (4) Pemuka pendapat memiliki partisipasi sosial lebih besar
dibanding pengikutnya; (5) Pemuka pendapat memiliki status sosial ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan pengikutnya; (6) Pemuka pendapat lebih inovatif
dibandingkan pengikutnya; (7) Ketika suatu sistem norma sosial menyukai
perubahan, para pemuka pendapat menjadi lebih inovatif, tetapi ketika normanorma tidak menyukai perubahan, maka para pemimpin pendapat tidak terlalu
inovatif.
Pemuka pendapat adalah sumber informasi, para pengikutnya adalah
penerima informasi (receiver). Beberapa pemuka pendapat mengambil prakarsa
dalam komunikasi dengan mencari kesempatan menghubungi anggota masyarakat
untuk menyebarluaskan pesan-pesannya. Sebaliknya masyarakat sering juga
menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi (Ardianto dan Erdinaya,
2004:166). Pada masyarakat Indonesia yang masih bersifat agraris dan
transisional, banyak pemimpin informal berasal dari tetua adat, orang kaya yang
dermawan, alim ulama, cendekiawan dan sebagainya. Pemuka pendapat tampil
menjadi pemimpin informal, karena memiliki beberapa kelebihan dan diakui
keberadaannya oleh masyarakat. Para pemuka pendapat pada umumnya, memiliki
pengetahuan luas, kearifan memelihara dan memegang teguh nilai-nilai sosial
budaya, serta kemampuan mengambil keputusan. Pemuka agama, acapkali
dipandang memiliki perilaku sederhana, jujur, memegang teguh norma-norma
keagamaan dan kesusilaan. Pemuka pendapat yang tampil dari kalangan
cendekiwan dan dermawan, dianggap memiliki pengetahuan tentang masalah atau
aspek kehidupan, integritas dan pengabdian terhadap kehidupan bersama
masyarakat luas (Hasani, 2004:13).
Kepemimpinan menurut Robbins (2002:163) adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Bentuk pengaruh tersebut
dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Sedangkan
nonsanctioned leadership merupakan kemampuan untuk memberi pengaruh di
22
luar struktur formal organisasi yang kepentingannya sama atau bahkan melebihi
pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, seorang pemimpin dapat saja muncul
dalam suatu kelompok, walaupun tidak diangkat secara formal.
Thoha (1991:9) juga menjelaskan dalam arti luas kepemimpinan dapat
digunakan setiap orang dan tidak hanya terbatas berlaku dalam suatu organisasi
atau kantor tertentu. Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan
maupun kelompok. Kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau
tatakrama birokrasi. Kepemimpinan tidak harus diikat terjadi dalam suatu
organisasi tertentu. Melainkan kepemimpinan dapat terjadi di mana saja, asalkan
seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke
arah tercapainya suatu tujuan tertentu.
Schramm dalam Ardianto dan Erdinaya (2004:167) pernah melakukan
penelitian untuk mengetahui atau menemukan para pemuka pendapat di tengahtengah masyarakat, melalui :
a. Revore Study. Dalam teori ini diuraikan tentang cara-cara atau teknik
menemukan pemuka pendapat di masyarakat, yaitu menanyakan kepada
orang-orang di dalam masyarakat, kepada siapa bertanya apabila masyarakat
tersebut mempunyai kesulitan dalam suatu masalah.
b. Decatur Study adalah suatu penelitian khusus dalam bidang pemasaran. Fokus
penelitian ini tidak hanya kepada pemuka pendapat, tetapi juga pada (1)
Kepentingan relatif dari pengaruh perseorangan, dan (2) Orang yang
dinamakan
pemimpin
dalam
arti
sesungguhnya.
Penelitian
ini
mengindikasikan nama seseorang yang berpengaruh di masyarakat.
c. Drug Study. Penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan ilmu jiwa dan
sosiologi. Sebagai contoh, seorang dokter memberikan resep kepada pasien.
Setelah minum obat tersebut ternyata pasien sembuh, maka pasien tersebut
akan menyebarkan kepada orang lain bahwa obat yang diberikan oleh
dokternya ternyata manjur.
Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004:167-168) juga terdapat tiga metode
utama lainnya yang dapat digunakan untuk penelitian pemuka pendapat. Yang sering
dilakukan dalam penelitian komunikasi adalah :
23
a. Sociometric Method. Dalam metode ini kepada masyarakat ditanyakan kepada
siapa meminta atau mencari informasi atau nasihat mengenai masalahmasalah kemasyarakatan yang dihadapinya.
Sociometric Method ini
merupakan alat pengukur yang paling sahih untuk menentukan siapa yang
menjadi pemimpin dalam masyarakat sesuai dengan pandangan para
pengikutnya. Pemimpin dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang
memiliki informasi terbanyak.
b. Informant’s Rating. Dalam metode ini diajukan pertanyaan-pertanyaan
tertentu kepada orang-orang/responden yang dianggap sebagai key informants
dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggapnya dan dianggap
masyarakat umum sebagai pemimpinnya. Dalam penggunaan teknik ini, harus
dipilih key informants yang benar-benar akrab (familiar) dengan sistem
masyarakat.
c. Self Designating Method. Dalam metode ini, kepada setiap responden
diajukan rangkaian pertanyaan untuk menentukan dalam tingkat mana
menganggap dirinya sebagai pemimpin dalam masyarakatnya. Pertanyaan
yang khas dapat diajukan : “menurut pendapat saudara, selain kepada pemuka
pendapat, pada siapakah masyarakat meminta informasi atau nasihat ?”.
Validitas pertanyaan ini banyak bergantung pada ketepatan (accuracy)
responden untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin.
Mardikanto (1988:72) juga menjelaskan penelusuran tentang pemuka
pendapat, yaitu melalui beberapa
model seperti (a) Model sosiometri, yaitu
dengan cara bertanya kepada beberapa warga masyarakat, tentang siapa
pemimpinnya atau sumber informasi yang biasa dihubungi; (b) Model jenjanginforman, yaitu bertanya kepada beberapa warga masyarakat tentang siapa yang
dianggap tokoh/pemimpin di dalam masyarakatnya, oleh warga masyarakat pada
umumnya; (c) Model tunjuk-diri, yaitu bertanya kepada beberapa warga
masyarakat apakah yang bersangkutan merupakan sumber informasi bagi warga
masyarakatnya; (d) Pengamatan langsung tentang siapa-siapa yang dapat
dipandang atau dinilai sebagai tokoh (pemimpin, sumber informasi) di dalam
masyarakat yang diamatinya.
24
2.5. Bencana Alam
Bencana alam menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
United Nation Development Program atau UNDP (1992:12) mendefinisikan
bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang
menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan
manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk
menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu
sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana
tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab
bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia).
Menurut Hidayati (2005:56) bencana adalah keadaan yang mengganggu
kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh gejala alam atau
perbuatan manusia. Bencana dapat terjadi melalui suatu proses yang panjang atau
situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat dengan tanpa adanya tanda-tanda.
Dampak bencana bervariasi tergantung pada kondisi dan kerentanan lingkungan
dan masyarakat. Bencana sering kali menimbulkan kepanikan masyarakat dan
menyebabkan penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti luka,
kematian, tekanan ekonomi akibat hilangnya usaha/pekerjaan dan kekayaan harta
benda, kehilangan anggota keluarga dan kerusakan infrastruktur, serta lingkungan.
2.5.1. Banjir
Banjir terjadi apabila sejumlah besar air menggenangi permukaan tanah
yang biasanya kering. Banjir adalah bencana alam yang paling sering terjadi dan
paling banyak merugikan baik segi kemanusiaan maupun ekonomi. Penyebab
utama banjir antara lain (1) hujan dalam jangka waktu yang panjang, (2) erosi
tanah atau buruknya penanganan sampah dan (3) pembangunan dan
perkembangan tempat pemukiman yang menyebabkan hilangnya daya serap air
hujan (IDEP, 2005:42).
25
2.5.2. Tanah Longsor
Pengertian tanah longsor adalah terjadinya pergerakan tanah atau bebatuan
dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi di
daerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
bencana ini adalah lereng gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh.
Air hujan adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusiapun bisa
menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang
tidak terkendali. Gejala umum tanah longsor yaitu (1) muncul retakan-retakan di
lereng yang sejajar dengan arah tebing, (2) muncul mata air secara tiba-tiba, (3)
air sumur di sekitar lereng menjadi keruh dan (4) tebing rapuh dengan kerikil
mulai berjatuhan (IDEP, 2005:48).
2.5.3. Gunung Meletus
Gunung meletus terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang
didorong keluar oleh gas bertekanan tinggi. Letusannya membawa abu dan batu
menyembur sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya dapat
membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi dapat
menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan kilometer
jauhnya bahkan dapat mempengaruhi iklim bumi (IDEP, 2005:50).
2.5.4. Angin Topan
Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis di antara garis balik utara
dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan
khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu
sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya
berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan
rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 km/jam (IDEP, 2005:54).
2.5.5. Gempa Bumi
Salah satu bencana yang berkaitan dengan penelitian ini adalah gempa
bumi. Winardi, dkk (2006:18) menyebutkan gempa bumi adalah gerakan tibatiba di dalam kerak atau mantel bumi bagian atas. Gempa tektonik ditimbulkan
26
oleh proses gesekan dan tunjaman di kerak bumi. Sementara gempa vulkanik
disebabkan oleh aktivitas gunung api. Secara umum dapat dikatakan, bahwa
gempa-gempa yang telah dan akan terjadi di Indonesia memiliki kaitan, baik
langsung maupun tidak langsung, dengan proses tumbukan (subduksi) antar
lempeng yang melingkupi Indonesia. Proses tersebut sebenarnya alamiah,
karena tepian lempeng bumi yang selalu terbaharui sementara ukuran bumi tak
berubah sedikitpun. Kemunculan tepian yang baru dan akan mendorong tepian
lainnya masuk ke dalam lapisan mantel bumi, lalu melebur. Pertemuan antar
tepian lempeng itulah yang memungkinkan terjadinya gesekan, tumbukan dan
gempa.
Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM (2006:2)
gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar
lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Proses
gempa bumi merupakan pergerakan lempeng samudera yang rapat massanya
lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan
(subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami
perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi. Akibat utama gempa bumi
adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah.
Bakornas PBP (2005:38) menjelaskan bahwa magnitudo gempa bumi
menunjukkan
besarnya
energi
yang
dilepaskan
dari
pusat
gempa
bumi/hiposenter. Ukuran dan luas daerah kerusakan akibat gempa bumi secara
kasar berhubungan dengan besarnya enegi yang dilepaskan. Skala magnitudo
gempa bumi biasanya dinyatakan dengan skala Richter. Skala intensitas
menunjukkan kerusakan akibat getaran pada lokasi kerusakan. Skala intensitas
juga berhubungan dengan magnitudo dari energi yang dilepaskan, jarak dari
epicenter dan kondisi tanah lokasi.
27
Tabel 1. Skala Modified Mercalli Intensity yang digunakan untuk menunjukkan
intensitas guncangan gempa bumi
Skala
Keterangan
1
Sangat jarang/hampir tidak ada orang yang merasakannya. Tercatat
pada alat seismograf.
2
Terasa oleh sedikit sekali orang, terutama yang ada di gedung tinggi
dan sebagian besar orang tidak dapat merasakan.
3
Terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi.
Mobil yang parkir sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang
lewat.
4
Pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar
ruangan hanya sedikit yang dapat merasakan. Pada malam hari
sebagian orang dapat terbangun. Piring, jendela, pintu, dinding,
mengeluarkan bunyi retakan dan lampu gantung bergoyang.
5
Dirasakan hampir oleh semua orang, pada malam hari sebagian besar
orang tidur akan terbangun, barang-barang di atas meja terjatuh,
plesteran tembok retak, barang-barang yang tidak stabil akan roboh dan
pundulum jam dinding akan berhenti.
6
Dirasakan oleh semua orang, banyak orang ketakutan/panik,
berhamburan keluar ruangan, banyak perabotan yang besar bergeser,
plesteran dinding retak dan terkelupas, serta cerobong asap pabrik rusak.
7
Setiap orang berhamburan keluar ruangan, kerusakan terjadi pada
bangunan yang desain konstruksinya jelek dan kerusakan sedikit
sampai sedang terjadi pada bangunan dengan desain konstruksi biasa.
Bangunan yang baik tidak mengalami kerusakan berarti.
8
Kerusakan luas pada bangunan dengan desain konstruksi jelek,
kerusakan berarti pada bangunan dengan desain biasa dan sedikit
kerusakan pada bangunan dengan desain baik. Dinding panel akan
pecah dan terlepas dari frame, cerobong asap pabrik runtuh, perabotan
yang berat akan terguling dan pengendara mobil terganggu.
9
Kerusakan berarti pada bangunan dengan desain konstruksi yang baik,
pipa-pipa bawah tanah putus dan timbul retakan pada tanah.
10
Sejumlah bangunan kayu dengan desain yang baik rusak dan sebagian
besar bangunan tembok rusak termasuk pondasinya. Retakan pada
tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai
dan bukit, serta air sungai akan melimpas di atas tanggul.
11
Sangat sedikit bangunan tembok yang masih berdiri, jembatan putus,
rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah
hancur dan tidak berfungsi, rel kereta api bengkok dan bergeser.
12
Kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang di atas tanah,
benda-benda beterbangan ke udara.
Sumber: Bakornas PBP, 2005.
28
2.5.6. Tsunami
Tsunami adalah gelombang besar yang diakibatkan oleh pergeseran bumi di
dasar laut. Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang
pelabuhan, karena bencana ini hanya terjadi di daerah pesisir. Tsunami dapat
terjadi kapan saja dengan gejala antara lain (1) Biasanya diawali dengan gempa
bumi yang sangat kuat, (2) Permukaan laut turun secara tiba-tiba yang merupakan
awal kemunculan gelombang besar dan (3) Tsunami merupakan rangkaian
gelombang sehingga bukan gelombang pertama yang membahayakan tetapi
gelombang berikutnya yang jauh lebih besar. Penyebab terjadinya tsunami antara
lain (1) Gempa bumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa
tanah/batuan yang sangat besar di bawah air, (2) Tanah longsor di dalam laut dan
(3) Letusan gunung api di bawah laut atau gunung api pulau (IDEP, 2005:62).
2.6. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan
administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan
berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Prasetyo (2004:1) mengatakan
pemulihan (recovery) kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih solid, bila
mencoba membangun manajemen bencana (disaster management), agar siklus
normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang
lebih pendek. Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan
publik, diharapkan berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Yang
terpenting dari manajemen bencana adalah adanya suatu langkah konkrit dalam
mengendalikan bencana, sehingga korban yang tidak diharapkan dapat
terselamatkan dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan
cepat. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis publik dan
pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas
pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu
pada kearifan lokal berbentuk peraturan daerah atas manajemen bencana. Yang
tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatianhatian, terutama pada daerah rawan bencana.
29
Pengkajian bencana adalah proses dari penentuan dampak dari suatu bencana
pada suatu masyarakat. Prioritas pertama adalah menetapkan kebutuhan untuk
tindakan-tindakan emergensi yang bersifat segera guna menyelamatkan dan
melanjutkan kehidupan dari yang selamat. Prioritas kedua adalah untuk
mengidentifikasikan
kemungkinan-kemungkinan
pemberian
fasilitas
dan
mempercepat pemulihan dan pembangunan. Beberapa pengkajian secara khusus
dilakukan seperti pengkajian kerusakan. Pengkajian-pengkajian ini mencakup
persiapan khusus, estimasi yang dapat diukur dari kerusakan fisik sebagai akibat
dari bencana. Pengkajian kerusakan mungkin juga mencakup rekomendasi yang
mencakup perbaikan, rekonstruksi atau pemindahan dari bangunan, dan
perlengkapan, maupun pemulihan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi (UNDP,
1992: 95).
Menurut Sphere (2006:30), penduduk yang terkena dampak bencana secara
aktif berpartisipasi dalam pengkajian, perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi program bantuan. Partisipasi orang-orang yang terkena dampak bencana
dalam pembuatan keputusan di semua tahapan siklus proyek (pengkajian,
perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program bantuan) membantu
untuk memastikan pelaksanaan program-program yang berkeadilan dan efektif.
Untuk itu harus dilakukan upaya khusus memastikan keikutsertaan perwakilan
orang-orang secara seimbang dalam program bantuan, termasuk kelompok rentan
dan kelompok terpinggirkan. Partisipasi harus memastikan bahwa programprogram didasarkan pada kerelaan orang-orang yang terkena dampak bencana
untuk bekerjasama bahwa program-program tersebut menghargai budaya
setempat, selama hal ini tidak mengabaikan hak-hak individu.
Bencana-bencana dapat dipandang sebagai fase-fase kontinum waktu.
Mengidentifikasi dan memahami fase-fase ini membantu untuk menggambarkan
kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan memberi konsep tentang
aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai.
30
Dampak bencana
Fase pengurangan resiko pra-bencana
Kesiapan
Bantuan
Mitigasi
Rehabilitasi
Rekonstruksi
Fase pemulihan pasca bencana
Gambar 4. Manajemen bencana (UNDP, 1992:21)
Fase pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti suatu bencana
yang tiba-tiba (atau penemuan yang sudah terlambat dari situasi serangan yang
lamban yang diabaikan), jika tindakan-tindakan pengecualian diambil untuk
mencari dan menemukan yang bertahan hidup dan memenuhi kebutuhankebutuhan dasar untuk tempat berteduh, air, makanan dan perawatan medis.
Dalam fase pemulihan ini terhadat tiga tahap yaitu bantuan (tanggap darurat),
rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan kembali) (UNDP, 1992:21). Tujuantujuan menyeluruh dari emergensi pasca bencana ini adalah :
1. Menjamin jumlah korban yang mungkin diselamatkan. Secara maksimal,
menjaga kesehatan dalam segala kondisi dengan kemungkinan yang lebih
baik.
2. Menetapkan kembali kemandirian dan pelayanan-pelayanan yang penting
secepat mungkin untuk semua kelompok populasi, dengan perhatian khusus
terhadap kebutuhannya yang paling banyak, yang paling rentan dan kurang
mampu.
31
3. Memperbaiki kembali atau mengganti infrastruktur yang rusak dan
menggerakkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi yang aktif. Melakukan ini
dengan sikap yang dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan jangka
panjang dan mengurangi kerentanan terhadap munculnya kembali bahayabahaya yang dapat merusak (UNDP, 1992:91).
2.6.1. Tanggap Darurat
Dalam kamus bencana bantuan darurat (relief) disebut sebagai upaya untuk
memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa
pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan
air bersih. Menurut UNDP (1992: 91-93) beberapa hal yang termasuk pada masa
tanggap darurat berkaitan dengan bencana alam mendadak adalah :
1. Evakuasi termasuk relokasi dari zona-zona beresiko ke lokasi yang lebih
aman.
2. Mencari dan menyelamatkan (SAR), yaitu proses pengidentifikasian lokasi
korban bencana yang mungkin terjebak atau terisolasi dan membawanya ke
tempat aman, serta memberikan perawatan medis.
3. Pengkajian pasca bencana yang bertujuan untuk memberikan gambaran
singkat dan jelas dari situasi pasca bencana, untuk mengidentifikasikan
keperluan-keperluan bantuan dan mengembangkan strategi-strategi pemulihan.
4. Bantuan emergensi, yaitu penyediaan bantuan materi dan bantuan medis
emergensi
berdasarkan
peri
kemanusiaan
yang
diperlukan
untuk
menyelamatkan dan mengamankan kehidupan manusia. Bantuan ini
memungkinkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk perawatan
kesehatan dan obat-obatan, tempat berlindung, pakaian, air dan makanan
(termasuk sarana untuk menyiapkan makanan).
5. Kapasitas dan fasilitas logistik untuk pengiriman bantuan. Pelayanan suplai
yang terorganisir dengan baik penting untuk menangani pembelian atau
penerimaan,
penyimpanan,
dan
pengiriman
suplai
bantuan
untuk
didistribusikan kepada korban bencana.
6. Komunikasi dan manajemen informasi. Ada dua aspek komunikasi dalam
bencana. Pertama adalah perlengkapan yang penting untuk arus informasi,
32
seperti radio, telepon dan sistem pendukung, satelit dan jalur-jalur transmisi.
Kedua, manajemen informasi : protokol untuk mengenali siapa yang
berkomunikasi, informasi apa dan untuk siapa, prioritas apa yang harus
diberikan untuk informasi itu, dan bagaimana informasi itu disebarkan dan
ditafsirkan.
7. Respons terhadap yang selamat dan penanganannya. Pengkajiannya harus
memperhatikan mekanisme penanganan sosial yang ada yang meniadakan
perlunya bantuan dari luar. Yang selamat dari bencana mungkin memiliki
kebutuhan baru dan khusus akan pelayanan-pelayanan sosial untuk membantu
menyesuaikan diri dengan trauma dan gangguan yang disebabkan oleh
bencana.
2.6.2. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Rehabilitasi dan rekonstruksi terdiri sebagian besar dari fase pemulihan
bencana. Periode yang mengikuti fase emergensi ini memfokuskan pada aktivitasaktivitas yang memungkinkan para korban untuk memulai lagi kehidupan yang
dapat berjalan secara normal dan sarana-sarana kehidupan. Hal ini mencakup
rehabilitasi infrastruktur, pelayanan-pelayanan dan ekonomi dalam cara yang
cocok dengan kebutuhan jangka panjang dan tujuan-tujuan pembangunan yang
terbatas. Secara spesifik, rehabilitasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan
setelah terjadi satu bencana untuk memungkinkan pelayanan-pelayanan dasar
guna memfungsikan kembali, membantu para korban dengan usaha mandiri untuk
memperbaiki tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas komunitas, serta memberikan
fasilitas terhadap bangkitnya kembali aktivitas-aktivitas ekonomi. Sedangkan
rekonstruksi adalah konstruksi permanen atau penggantian bangunan-bangunan
fisik yang rusak parah, pembangunan kembali secara total dari semua pelayananpelayanan dan infrastruktur lokal, serta penguatan ekonomi (UNDP, 1992:106).
Tujuan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah untuk mendorong dan membantu
pemulihan bantuan selama fase pasca bencana. Tujuan itu harus direncanakan dan
dilaksanakan dengan pemahaman seperti itu dalam pikiran. Pelayanan dan
bantuan vital yang rusak harus diperbaiki atau diganti, sebagaimana hal ini bisa
melindungi dari risiko-risiko di masa mendatang. Pada waktu yang sama, dan
33
tidak kalah pentingnya, harus ditemukan cara-cara untuk membantu orang-orang
pulih kembali, khususnya mempunyai sumber daya paling sedikit (UNDP,
1992:108).
Trauma psikologis dari kehilangan sanak saudara dan teman, serta goncangan
jiwa akibat bencana yang mengejutkan, dapat lebih lama lagi penyembuhannya,
daripada pemulihan fisik. Maka dari itu, penting bahwa program kesejahteraan
sosial dan dukungan psikologis pasca bencana, untuk segera dilakukan setelah
bencana terjadi, sebagai bagian dari program pemulihan menyeluruh (Mataair,
2006:6). Menurut Poerwandari (2005:46) cukup banyak penelitian dilakukan
untuk mencoba memahami dampak pengalaman traumatik pada individu yang
mengalami, yang paling sering dibahas adalah stress pasca trauma post traumatic
stress dissorder (PTSD). Secara sederhana, stress dapat didefinisikan sebagai
suatu keadaan di mana individu terganggu keseimbangannya akibat situasi
eksternal ataupun internal. Sementara itu, secara sederhana trauma bermakna
pukulan atau luka. Secara psikologis trauma, mengacu pada pengalamanpengalaman mengagetkan dan menyakitkan, bahkan mengancam nyawa, yang
memukul dan menimbulkan luka, yang situasinya melebihi situasi sulit yang
dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar. Dengan pengertian demikian,
stress pasca trauma menunjuk pada keadaan tertekan, tidak nyaman, hilangnya
keseimbangan yang kemudian menyusul kejadian traumatik.
Berkaitan dengan manajemen bencana tersebut, Paripurno (2001:4)
mengatakan bahwa manajemen bencana perlu dilakukan dengan mekanisme
internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak
menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya
menjadi suatu kebutuhan. Tantangannya adalah bagaimana memulai melakukan
pengalihan keterampilan penelitian dan perencanaan itu ? Metode partisipatif
merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung
mekanisme
internal.
Asas
yang
melandasi
mekanisme
ini
adalah
“pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan
dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri.
Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga
swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung proses peningkatan
34
kapasitas (sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan
sepenuh hati. Namun, setelah masyarakat mempunyai kapasitas yang cukup,
dibiarkan masyarakat menentukan.
Konflik perbedaan opini dan persepsi mengenai apa yang diperlukan dan
yang harus diprioritaskan sangat biasa terjadi. Untuk menyusun gambaran jelas
dari situasi yang terjadi, sebagai dasar pembuatan keputusan yang tepat,
diperlukan pengumpulan informasi yang dapat dipercaya dari setiap sektor, yang
harus dilakukan staf yang berpengalaman. Hal tersebut juga membutuhkan
konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak bencana dan para
pemimpinnya, dalam menyusun persepsi dan prioritas (Mataair, 2006:8).
Pertukaran informasi dan pengetahuan antar semua yang terlibat merupakan
hal yang sangat mendasar untuk dapat mencapai pemahaman masalah yang lebih
baik dan untuk memberikan bantuan secara terkoordinir. Hasil pengkajian harus
secara aktif disampaikan kepada semua organisasi dan individu yang terkait.
Harus disusun mekanisme untuk memungkinkan orang-orang memberikan
masukan terhadap program, misalnya pertemuan-pertemuan umum atau melalui
lembaga-lembaga
berbasis
komunitas.
Partisipasi
dalam
program
harus
memperkuat rasa bermartabat dan harapan orang-orang pada waktu krisis, dan
orang-orang harus didorong untuk ikut serta dalam program melalui berbagai cara.
Program-program harus dirancang untuk memperkuat kapasitas setempat dan
untuk menghindarkan diabaikannya strategi-strategi penanganan masalah yang
dimiliki oleh masyarakat sendiri (Sphere, 2006:31).
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir dan Hipotesis
Bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal
27 Mei 2006 telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan psikologis
masyarakat. Meskipun gempa yang terjadi di Yogyakarta sesungguhnya masih
dalam batas kategori sedang atau moderat. Namun karena tergolong gempa
dangkal dan terjadi di wilayah pemukiman padat, serta berinfrastruktur bagus,
maka efek kerusakan yang ditimbulkan menjadi fatal. Selain menimbulkan
banyak korban, wilayah ini juga mengalami kelumpuhan di berbagai bidang
kehidupan minimal sampai setahun pasca gempa.
Untuk mengembalikan kondisi Yogyakarta pasca bencana tersebut,
pemerintah telah membuat berbagai program penanganan yang meliputi tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Program ini merupakan suatu upaya yang
diambil setelah kejadian bencana untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat serta memperbaiki rumah, fasilitas umum, fasilitas sosial dan
perekonomian pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya. Selain
program yang dilaksanakan pemerintah, berbagai komponen masyarakat,
akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), juga memainkan peranan
penting dalam penanganan bencana. Sinergis antara masing-masing komponen
tersebut mempunyai tujuan untuk meminimalisasi dampak negatif pasca bencana.
Namun pemulihan kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih kompak bila
melibatkan masyarakat korban, agar siklus normalisasi kehidupan termasuk
rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang lebih pendek.
Dalam penanganan bencana ini, kebijakan pemerintah dan program bantuan
non-pemerintah perlu disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat
tidak dilihat sebagai obyek, tetapi dilibatkan dalam berbagai hal sejak perencanaan
hingga pelaksanaan. Partisipasi masyarakat korban merupakan hal esensial dalam
pelaksanaan dan monitoring atas proses penanganan bencana. Dengan demikian,
masyarakat dapat mengangkat posisinya dari korban menjadi warga yang hidup
normal dengan jalan melakukan tindakan (kewajiban) partisipatif.
36
Pelibatan masyarakat dilakukan melalui tokoh-tokoh masyarakat atau disebut
dengan pemuka pendapat. Dengan kata lain, kebijakan atau kegiatan yang
dilakukan dalam proses penanganan bencana perlu mempertimbangkan peran dan
fungsi pemuka pendapat yang ada dalam masyarakat. Pemuka pendapat
merupakan orang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya, sehingga mampu
mengkomunikasikan program dan menggerakkan anggota masyarakat lainnya.
Karena itu pemuka pendapat di lokasi bencana dalam hal komunikasi efektif perlu
diberdayakan untuk meningkatkan efektifitas penanganan bencana, sehingga
program-program penanganan bencana yang dibuat oleh pemerintah maupun nonpemerintah tepat sasaran. Hal ini penting sekali mengingat penanganan bencana
saat ini belum terkoordinasi dalam satu pintu, dimana pemerintah dan nonpemerintah masih melaksanakan program penanganan bencana sendiri-sendiri.
Untuk mengetahui peran komunikasi, pemuka pendapat dalam penanganan
bencana ini perlu dilakukan penelitian dengan mengkaji beberapa peubah terkait
dengan
penelitian.
Peubah-peubah
yang
dimaksud
meliputi
sejumlah
karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat
dan keragaan kelompok sebagai peubah bebas. Karakteristik personal meliputi
umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan.
Indikator perilaku komunikasi pemuka pendapat, yaitu respons terhadap media
massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan
sikap terhadap opini publik. Sedangkan keragaan kelompok meliputi struktur
kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok,
tekanan kelompok dan tujuan kelompok.
Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
yang akan diteliti meliputi keterlibatan pemuka pendapat dalam kegiatan
penanganan bencana yang terbagi ke dalam delapan kegiatan yaitu penyelamatan
korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial dasar,
rehabilitasi mental, pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan
sarana dasar, dan pemulihan sistem perekonomian. Agar penelitian ini efektif dan
efisien, maka kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 5.
37
Karakteristik Personal (X1)
X1.1 Umur
X1.2 Jenis Kelamin
X1.3 Pendidikan
X1.4 Pekerjaan
X1.5 Pendapatan
X1.6 Ketokohan
Perilaku Komunikasi (X2)
X2.1 Respons terhadap media
massa
X2.2 Intensitas pertemuan
dengan pelaksana
penanganan bencana
X2.3 Sikap terhadap opini publik
Pemberdayaan Komunikasi
Pemuka Pendapat dalam
Penanganan Bencana (Y)
Y1 Penyelamatan korban.
Y2 Penyediaan hunian sementara
Y3 Informasi program.
Y4 Pelayanan sosial dasar.
Y5 Rehabilitasi mental.
Y6 Pembangunan kembali
perumahan.
Y7 Perbaikan prasarana dan sarana
dasar
Y8 Pemulihan sistem
perekonomian.
Keragaan Kelompok (X3)
X3.1 Struktur kelompok
X3.2 Pembinaan kelompok
X3.3 Kekompakan kelompok
X3.4 Suasana kelompok
X3.5 Tekanan kelompok
X3.6 Tujuan kelompok
Gambar 5. Pengaruh karakteristik personal, perilaku komunikasi dan keragaan
kelompok secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi
pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
Berdasarkan kerangka berpikir yang dikemukakan, maka disusun hipotesis
berikut :
1. Karakteristik personal pemuka pendapat berpengaruh nyata terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
2. Perilaku
komunikasi
pemuka
pendapat
berpengaruh
nyata
terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
3. Keragaan kelompok berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi
pemuka pendapat dalam penanganan bencana.
38
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dengan alasan daerah tersebut mengalami kerusakan paling parah
dibandingkan kabupaten lainnya. Waktu yang digunakan untuk penelitian selama
enam bulan (Maret – September 2007).
3.3. Desain Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei. Menurut Singarimbun dan
Effendi (1995:3), desain penelitian survei adalah penelitian yang mengambil
contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
data yang pokok. Kerlinger (1996:662) mengatakan bahwa penelitian survei
adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data
yang dipelajari adalah data dari contoh yang diambil dari populasi tersebut,
sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan antar
variabel sosiologis maupun psikologis.
Peubah yang diamati dalam penelitian terdiri peubah bebas dan peubah
tidak bebas. Untuk menentukan setiap parameter yang ditetapkan maka
diperlukan indikator dari setiap peubah yang akan diteliti. Peubah bebas adalah
karakteristik personal (X1), perilaku komunikasi (X2) dan keragaan kelompok
(X3), sedangkan peubah tidak bebas adalah pemberdayaan komunikasi pemuka
pendapat dalam penanganan bencana (Y). Dari ketiga peubah bebas tersebut
indikator karakteristik personal (X1) adalah umur (X1.1), jenis kelamin (X1.2),
pendidikan (X1.3), pekerjaan (X1.4), pendapatan (X1.5) dan ketokohan (X1.6).
Indikator perilaku komunikasi (X2) adalah respons terhadap media massa (X2.1),
intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan
sikap terhadap opini publik (X2.3). Indikator keragaan kelompok (X3) adalah
struktur kelompok (X3.1), pembinaan kelompok(X3.2), kekompakan kelompok
(X3.3), suasana kelompok (X3.4), tekanan kelompok (X3.5) dan tujuan kelompok
(X3.6). Indikator peubah tidak bebas yang diteliti adalah penyelamatan korban
(Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan
sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan
39
(Y6), perbaikan prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem
perekonomian (Y8).
3.4. Populasi dan Contoh
Populasi penelitian ini pemuka pendapat di Kecamatan Sewon, Kabupaten
Bantul, Propinsi Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian, antara
lain kecamatan tersebut mengalami kerusakan cukup parah, banyaknya
masyarakat yang menjadi korban, lokasi penelitian dapat dijangkau dan adanya
keterlibatan berbagai pihak dalam pemberian bantuan dan penanganan bencana.
Berdasarkan data demografi Kecamatan Sewon dan informasi dari informan kunci
yang akrab dengan sistem masyarakat setempat, diketahui jumlah pemuka
pendapat di kecamatan tersebut sebanyak 455 orang.
Dengan demikian populasi penelitian ini sebanyak 455 orang pemuka
pendapat yang tersebar di empat desa di Kecamatan Sewon, yaitu Desa
Pendowoharjo 110 orang, Timbulharjo 109 orang, Bangunharjo 119 orang dan
Panggungharjo 117 orang. Untuk memudahkan penelitian populasi yang tersebar
di empat desa tersebut dikelompokkan berdasarkan ketokohan agama, pendidikan,
politik, pemuda, wanita dan sosial (Tabel 2).
Tabel 2. Populasi pemuka pendapat menurut ketokohan dan lokasi penelitian
Ketokohan
Pendowoharjo
19
Timbulharjo
Bangunharjo
20
22
Panggungharjo
14
Pendidikan
10
12
13
18
53
Politik
24
22
26
30
102
Pemuda
20
19
19
17
75
Wanita
17
19
20
19
75
Sosial
20
17
19
19
75
Jumlah
110
109
119
117
455
Agama
Jumlah
(Orang)
75
Pengambilan contoh dilakukan dengan teknik non-probability sampling yang
menggunakan cara purposif. Sampling ini menurut Riduwan (2006:63) cocok untuk
40
studi kasus tunggal yang representatif diamati dan dianalisis. Dalam penelitian
tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
ini ditetapkan contoh sebanyak 20% dari populasi yang ada di empat desa di
Kecamatan Sewon (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah contoh penelitian menurut ketokohan dan lokasi penelitian.
Ketokohan
Agama
Pendowo- Timbulharjo Bangunharjo
harjo
4
4
4
Panggungharjo
3
Jumlah
(Orang)
15
Pendidikan
2
2
3
4
11
Politik
5
4
5
6
20
Pemuda
4
4
4
3
15
Wanita
3
4
4
4
15
Sosial
4
3
4
4
15
Jumlah
22
21
24
24
91
3.5. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, baik kuantitatif maupun kualitatif dengan ketentuan berikut :
1. Data primer berupa peubah utama yang diteliti, yaitu karakteristik personal,
perilaku komunikasi, keragaan kelompok masyarakat dan pemberdayaan
komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Data tersebut
diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara dengan
berpedoman pada kuesioner yang terdiri dari sejumlah pertanyaan yang
relevan dengan peubah-peubah yang digunakan. Kuesioner (Lampiran 2)
terdiri dari dua bagian, bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan data karakteristik personal, perilaku komunikasi dan
keragaan kelompok masyarakat. Bagian kedua terdiri dari pertanyaanpertanyaan yang dikembangkan dari peubah tidak bebas yaitu penyelamatan
korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial
dasar, rehabilitasi mental,
pembangunan kembali perumahan, perbaikan
prasarana dan sarana dasar dan pemulihan sistem perekonomian. Pertanyaan
41
untuk peubah tidak bebas berbentuk pernyataan-pernyataan yang harus
dijawab responden dengan 1 (Sangat tidak setuju), 2 (Tidak setuju), 3 (Kurang
setuju), 4 (Setuju) dan 5 (Sangat setuju).
2. Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan telaah dokumen dan studi
literatur dari berbagai sumber yang terkait dengan peubah-peubah penelitian
dan data statistik dari lembaga berkompeten.
3.6. Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen. Hasan (2002:79) dan Rakhmat (2004:18),
menyatakan bahwa suatu instrumen yang sahih atau valid, berarti memiliki
validitas tinggi. Demikian sebaliknya instrumen yang kurang sahih memiliki
validitas rendah. Suatu instrumen dapat dikatakan sahih, apabila (a) mampu
mengukur apa yang diinginkan, (b) dapat mengungkap data dari peubah yang
diteliti secara tepat dan (c) dapat menggambarkan sejauhmana data yang
terkumpul tak menyimpang dari gambaran tentang peubah yang dimaksud
(Arikunto, 1998:160; Kerlinger, 2004:729). Oleh karena itu, peneliti harus
bertindak hati-hati sejak awal penyusunannya. Untuk validitas instrumen
diusahakan dengan cara (a) menyesuaikan daftar pertanyaan dengan judul dan
masalah penelitian; (b) memperhatikan saran-saran para ahli, khususnya komisi
pembimbing dan (c) teori-teori dalam pustaka.
Reliabilitas instrumen penelitian sangat penting dalam menentukan mutu data
yang
terkumpul.
mengungkapkan
Reliabilitas
pertanyaan
instrumen
secara
lugas
digunakan
(tidak
dengan
cara
(a)
membingungkan),
(b)
memberikan petunjuk jelas dan baku dan (c) melakukan uji coba kuesioner pada
responden yang memiliki ciri-ciri relatif sama dengan obyek penelitian. Untuk
menguji validitas kuesioner, dilakukan uji coba terhadap 12 responden di
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Pengujian Reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana kuisioner
yang digunakan dapat dipercaya atau dapat memberikan perolehan hasil penelitian
yang konsisten apabila alat ukur ini digunakan kembali dalam pengukuran gejala
yang sama. Metode yang digunakan dalam pengujian reliabilitas ini adalah
42
menggunakan metode alpha cronbach dengan program SPSS 13.0 for Windows.
Hasil perhitungan dengan
alpha cronbach
memperoleh nilai reliabilitas
keseluruhan 0,850 (Lampiran 3) sehingga kuesioner yang digunakan dianggap
andal sebagai instrumen penelitian, karena nilai reliabilitas > 0,80 - 1,0 sangat
andal (Triton, 2006).
3.7. Pengolahan dan Analisis Data
Data penelitian dikumpulkan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam
bentuk rataan, persentase, frekuensi dan tabel distribusi frekuensi. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows, yaitu statistik
deskriptif, Khi-kuadrat (χ2) dan analisis regresi linear berganda. Metode Khikuadrat (χ2) digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau
mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi (fo) dengan
frekuensi yang diharapkan (fe) dari contoh apakah terdapat hubungan atau
perbedaan nyata atau tidak (Riduwan, 2006:130). Sedangkan analisis regresi
linear berganda adalah suatu alat analisis peramalan nilai pengaruh dua peubah
bebas atau lebih terhadap peubah tidak bebas untuk membuktikan ada atau
tidaknya hubungan fungsi atau hubungan kausal (Riduwan, 2006:152).
Untuk memudahkan penginterpretasian data yang diolah, digunakan definisi
operasional berikut :
1.
Karakteristik personal adalah ciri-ciri yang melekat pada pribadi seseorang
yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan
ketokohan.
2.
Umur adalah keadaan usia responden yang dihitung dengan satuan tahun
pada saat penelitian dilaksanakan, dikategorikan di bawah sama dengan
rataan dan di atas rataan.
3.
Jenis kelamin adalah keadaan kelamin responden, diklasifikasikan laki-laki
dan perempuan.
4.
Pendidikan adalah tingkat belajar formal yang terakhir ditempuh responden,
diklasifikasikan SD, SLTP, SLTA, Diploma dan Sarjana
43
5.
Pekerjaan adalah bidang atau profesi yang dijalankan responden sebagai mata
pencaharian utama, diklasifikasikan PNS, TNI/Polri, Petani, Pedagang,
Pegawai Swasta dan lainnya.
6.
Pendapatan adalah jumlah penghasilan tetap keluarga responden dalam satu
bulan, dikategorikan di bawah sama dengan rataan dan di atas rataan.
7.
Ketokohan adalah status sosial responden yang berpengaruh terhadap
kelompoknya, meliputi tokoh agama, pendidikan, politik, pemuda, wanita
dan sosial.
8.
Perilaku komunikasi adalah sikap dan tindakan responden terhadap
komunikasi mengenai penanganan bencana, meliputi respons terhadap media
massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana
dan sikap terhadap opini publik.
9.
Respons terhadap media massa adalah jumlah atau lamanya jam dalam satu
minggu yang digunakan responden untuk menonton televisi, mendengarkan
radio dan membaca surat kabar dalam upaya memperoleh informasi
mengenai perkembangan kondisi pasca bencana, dikategorikan < 3 jam, 3 – 5
jam dan lainnya.
10. Intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana adalah
jumlah kali responden berkomunikasi atau berkonsultasi dengan organisasi
pelaksana rehabilitasi dalam satu minggu, dikategorikan di bawah sama
dengan rataan dan di atas rataan.
11. Sikap terhadap opini publik adalah sikap responden terhadap opini yang
berkembang di masyarakat terkait dengan kegiatan penanganan bencana
meliputi Sangat positif, Positif, Tidak tahu, Negatif dan Sangat negatif.
12. Keragaan kelompok adalah keterlibatan pemuka pendapat dalam kelompok
masyarakat yang dibentuk setelah terjadi bencana, berupa interaksi dan
kebergantungan antar anggota kelompok, meliputi struktur kelompok,
pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan
kelompok dan tujuan kelompok. Pengukuran terhadap keragaan kelompok
menggunakan skala interval 1 - 5.
44
13. Struktur kelompok adalah perincian peranan dan posisi dalam kelompok yang
ditunjukkan dengan berperannya responden dalam kelompok, diukur
menggunakan skala interval 1 - 5.
14. Pembinaan kelompok adalah usaha responden untuk mempertahankan
kehidupan kelompok, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
15. Kekompakan kelompok adalah rasa keterikatan (memiliki) responden
terhadap kelompoknya, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
16. Suasana kelompok adalah keadaan kelompok akibat pengaruh lingkungan
fisik dan non fisik (interaksi anggota) yang dapat mempengaruhi responden
dalam mencapai tujuan, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
17. Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan dalam
kelompok yang mendorong responden berbuat sesuatu dan tercapainya
tujuan, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
18. Tujuan kelompok adalah gambaran responden tentang hasil yang diharapkan
dapat dicapai oleh kelompok, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
19. Penanganan bencana adalah upaya yang diambil setelah kejadian bencana
untuk membantu korban bencana meliputi tahap tanggap darurat, rehabilitasi
dan rekonstruksi.
20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
adalah
keterlibatan
pemuka
pendapat
dalam
kegiatan
perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan kegiatan penanganan bencana yang dibagi
menjadi delapan indikator, yaitu (1) penyelamatan korban, (2) penyediaan
hunian sementara, (3) informasi program, (4) pelayanan sosial dasar, (5)
rehabilitasi mental, (6) pembangunan kembali perumahan, (7) perbaikan
prasarana dan sarana dasar dan (8) pemulihan sistem perekonomian. Diukur
menggunakan skala Likert 1 - 5, dengan kategori 1 (Sangat tidak setuju), 2
(Tidak setuju), 3 (Kurang setuju), 4 (Setuju) dan 5 (Sangat setuju). Secara
statistik, untuk dapat dianalisis pertanyaan yang diukur dengan skala Likert
diterjemahkan dalam skala interval 1 - 5.
21. Penyelamatan korban adalah penyelamatan korban yang masih hidup untuk
mendapatkan perawatan medis, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
45
22. Penyediaan hunian sementara adalah penyediaan tempat penampungan
sementara atau pengungsian bagi korban bencana, diukur menggunakan skala
interval 1 - 5.
23. Informasi program adalah sosialisasi informasi kegiatan penanganan bencana
kepada masyarakat korban bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
24. Pelayanan sosial dasar adalah pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, seperti
makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan, diukur
menggunakan skala interval 1 - 5.
25. Rehabilitasi mental adalah kegiatan pemulihan kejiwaan yang dilakukan
untuk mengembalikan semangat hidup masyarakat pasca bencana, diukur
menggunakan skala interval 1 - 5.
26. Pembangunan kembali perumahan adalah rehabilitasi rumah masyarakat yang
mengalami kerusakan akibat bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5.
27. Perbaikan prasarana dan sarana dasar adalah pembangunan kembali jalan,
listrik, air bersih, Puskesmas, sekolah, tempat ibadah dan lain-lain, diukur
menggunakan skala interval 1 - 5.
28. Pemulihan sistem perekonomian adalah pemulihan perekonomian masyarakat
seperti pembukaan peluang usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan
produksi pangan dan perbaikan fasilitas perekonomian, diukur menggunakan
skala interval 1 - 5.
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1. Letak Geografis
Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima daerah kabupaten/kota di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila dilihat bentang alamnya secara
makro, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada
bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat,
serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif
membujur dari utara ke selatan.
Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" - 08º00'27"
Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra
Indonesia (Gambar 6).
Gambar 6. Peta Kabupaten Bantul
47
4.1.2. Pembagian Administratif
Secara administratif Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan yang
dibagi menjadi 75 desa dan 933 pedukuhan. Luas wilayah Kabupaten Bantul
adalah 50.685 Ha. Berdasarkan RDTRK dan Perda mengenai batas wilayah kota,
maka status desa/kalurahan dapat dipisahkan sebagai desa/kelurahan pedesaan dan
perkotaan. Secara umum jumlah desa yang termasuk dalam wilayah perkotaan
sebanyak 41 desa, sedangkan desa yang termasuk dalam kawasan pedesaan
sebanyak 34 desa. Pembagian administrasi dan luas masing-masing kecamatan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah desa, pedukuhan, dan luas kecamatan di Kabupaten Bantul tahun
2005
1
Srandakan
2
Jumlah
Pedukuhan
43
2
Sanden
4
62
2.316
3
Kretek
5
52
2.677
4
Pundong
3
49
2.368
5
Bambanglipuro
3
45
2.270
6
Pandak
4
49
2.430
7
Pajangan
3
55
3.325
8
Bantul
5
50
2.195
9
Jetis
4
64
2.447
10
Imogiri
8
72
5.449
11
Dlingo
6
58
5.587
12
Banguntapan
8
57
2.848
13
Pleret
5
47
2.297
14
Piyungan
3
60
3.254
15
Sewon
4
63
2.716
16
Kasihan
4
53
3.238
17
Sedayu
4
54
3.436
75
933
50.685
No.
Kecamatan
Jumlah
Jumlah Desa
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:55.
Luas (Ha)
1.832
48
4.1.3. Penduduk
Berdasarkan catatan dari Dinas Pendaftaran Penduduk, jumlah penduduk
Kabupaten Bantul akhir tahun 2005 adalah 809.971 jiwa yang tersebar di 75 Desa
dan 17 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, 397.276 jiwa adalah laki-laki dan
412.710 jiwa adalah perempuan. Dengan luas wilayah 506,85 km2 , kepadatan
penduduk Kabupaten Bantul tahun 2005 adalah 1.598 jiwa per km2 . Dengan
jumlah KK sebesar 204.568, maka rata-rata dalam satu KK terdapat 3,96 jiwa.
Jumlah penduduk masing-masing kecamatan di Kabupaten Bantul dapat dilihat di
Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2005
No.
Kecamatan
1 Srandakan
KK
7.689
Laki-laki
Perempuan
14.256
15.173
Jumlah
29.429
2
Sanden
8.781
16.611
17.584
34.195
3
Kretek
7.839
15.091
16.225
31.316
4
Pundong
7.651
15.982
17.123
33.105
5
Bambanglipuro
10.460
20.836
22.460
43.296
6
Pandak
12.306
24.103
24.718
48.821
7
Bantul
14.266
28.970
30.339
59.309
8
Jetis
14.135
24.474
26.009
50.483
9
Imogiri
13.752
27.800
29.497
57.297
10
Dlingo
9.298
18.074
19.127
37.201
11
Pleret
11.558
17.103
17.404
34.507
12
Piyungan
10.705
18.850
19.553
38.403
13
Banguntapan
18.078
39.657
40.552
80.209
14
Sewon
24.904
39.087
38.592
77.679
15
Kasihan
16.175
39.617
39.807
79.424
16
Pajangan
7.254
14.870
15.668
30.538
17
Sedayu
9.716
21.880
22.879
44.759
204.568
397.261
412.710
809.971
Jumlah
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:53.
49
4.1.4. Potensi Daerah
a. Kerajinan
Kerajinan di Kabupaten Bantul memiliki peran yang besar, tidak saja dalam
penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 60 ribu orang, tetapi juga
karena perannya dalam mendukung sektor-sektor lainnya, seperti pariwisata,
perdagangan, perindustrian dan sebagainya. Peran industri kerajinan sangat
dirasakan dalam tata kehidupan masyarakat lantaran sebarannya yang hampir
merata di seluruh wilayah. Lebih dari itu, sekitar 60% dari total ekspor kerajinan
di DIY diproduksi pengrajin Bantul.
Keunikan perajin Bantul adalah keahlian yang diperoleh secara turun temurun
dan para perajin tradisional yang tinggal di sebuah dusun/desa biasanya memiliki
keahlian memproduksi karya kerajinan yang sejenis. Dengan banyaknya warga
yang bergelut di kerajinan sejenis, dalam perkembangannya desa tersebut menjadi
pusat atau sentra suatu produk kerajinan. Para pembeli dan pecinta karya seni
tradisional selain dapat memilih berbagai alternatif produk dari perajin yang
berbeda sekaligus berwisata menikmati alam atau keunikan desa setempat dan
juga dapat melihat proses pembuatan sebuah karya kerajinan.
b. Pertanian, Peternakan dan Perikanan
Luas lahan di Bantul yang digunakan untuk kegiatan produksi pertanian
(sawah, tegal dan kebun campur) meliputi hampir 400 juta m2 atau mencakup
sekitar 79% dari seluruh wilayah Kabupaten ini. Potensi persawahan berjumlah
sekitar 16.500 Ha, terdiri dari irigasi teknis sekuas 1.200 Ha lebih, irigasi setengah
teknis sekitar 12.500 Ha, irigasi sederhana lebih dari 580 Ha, irigasi desa/non PU
seluas 2.100 Ha lebih. Komoditas pertanian yang dominan di Bantul adalah
tanaman pangan dan holtikultura, dengan produksi padi per tahun mencapai
sekitar 157 ribu ton, jagung 23 ribu ton, ubi kayu 30 ribu ton, kedelai 8 ribu ton,
bawang merah 167 ribu ton, dan cabai 72 ribu ton. Sedangkan hasil buah-buahan
antara lain, mangga 41 ribu kuintal setahun dan pisang sekitar 21 ribu kuintal.
Sementara itu, di bidang peternakan, populasi sapi mencapai sekitar 38 ribu
ekor, kambing 24 ribu ekor, domba 16 ribu ekor, ayam kampung 890 ribu ekor,
ayam ras/broiler 690 ribu ekor, itik 70 ribu ekor, dan puyuh 132 ribu ekor. Telur
50
ayam yang dihasilkan pertahun sekitar 43 juta butir, sedangkan telur itik 5 juta
butir. Di sektor perikanan darat (ikan tawar), Bantul menghasilkan produksi ikan
budidaya (kolam dan sawah) pertahun sekitar 490 ton dan ikan tangkapan 400 ton.
c. Wisata
Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Bantul diarahkan untuk membuat
pariwisata menjadi sektor andalan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Tahun 2000, kontribusi dari pariwisata terhadap PAD Rp 1,788 milyar
dan ditargetkan pada tahun 2004 menjadi Rp 5 milyar. Sasaran lain dari
pembangunan pariwisata adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan
mancanegara dari 2.517 orang per bulan pada tahun 2000 menjadi 2.726 orang per
bulan di tahun 2004. Sedangkan wisatawan nusantara dari 123.350 orang per
bulan di tahun 2000 menjadi 134.100 orang per bulan di tahun 2004.
Kabupaten Bantul memiliki berbagai obyek wisata yang menarik baik wisata
alam, obyek wisata buatan maupun petilasan bersejarah. Selain memiliki
pemandangan alam yang menawan, banyak obyek wisata yang memiliki nilai
spiritual dan mitos bagi masyarakat Jawa. Wisata alam pantai selatan masih
menjadi tujuan favorit wisatawan. Pemerintah Kabupaten Bantul berupaya
mengembangkan sektor wisata, dengan dengan mengembangkan kawasan wisata
baru seperti Pasar Seni Gabusan, mengembangkan wisata minat khusus dan
membangun infrastruktur pendukung pariwisata.
Selain itu Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata budaya, karena
masyarakat Bantul secara turun-temurun berpegang teguh pada adat dan budaya
Jawa yang adiluhung. Di berbagai wilayah di Kabupaten Bantul terdapat tradisi
yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi, yakni upacara ritual tradisional
sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan dan
juga sebagai penghormatan kepada leluhur. Upacara ritual yang diselenggarakan
dikenal dengan upacara merti dusun, labuhan, dan sebagainya. Kesenian
tradisional seperti wayang, karawitan, tari-tarian masih terus dilestarikan oleh
masyarakat Bantul.
Berbagai kiat untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan melalui Program
Pengembangan Produk Pariwisata dan Program Pemasaran Pariwisata. Program
51
pengembangan produk pariwisata, antara lain dalam bentuk kegiatan seperti
pengembangan fisik obyek wisata, penambahan daya tarik wisata, penyusunan
kawasan pantai selatan, pembentukan desa wisata dan kerajinan, mendorong
sektor swasta di bidang kepariwisataan dan lain-lain. Sedangkan untuk program
pemasaran pariwisata dalam bentuk kegiatan peningkatan daya tarik dan informasi
pariwisata, sosialisasi program wisata Kabupaten Bantul, promosi wisata ke luar
daerah dan pelaksanaan event-event wisata.
4.1.5. Daerah Rawan Bencana
Faktor pembatas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi
alam yang sulit untuk ditaklukkan (dilawan) dan umumnya berhubungan dengan
potensi bencana yang bersifat menghambat pelaksanaan pembangunan maupun
merusak hasil-hasil pembangunan. Pengelolaan faktor pembatas bertujuan untuk
meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dengan jalan menginventarisasi jenis
bencana serta melokalisir daerah bencana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
di Kabupaten Bantul terdapat kawasan-kawasan yang relatif rawan terhadap
bencana. Secara berurutan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis bencananya
sebagai berikut :
a. Daerah Rawan Banjir
Daerah rawan banjir umumnya dikaitkan dengan suatu Daerah Aliran Sungai.
Untuk sungai Oya, daerah rawan bencana terdapat di pedukuhan Jetis,
Lemahrubuh, Lanteng, Kajor, Siluk, Plemantung, dan Putat. Daerah di sekitar
sungai Celeng yang perlu diwaspadai adalah pedukuhan Nogosari dan Tilaman,
Desa Wukirsari; pedukuhan Salaman, Desa Karangtalun; pedukuhan Kradenan,
Desa Girirejo; pedukuhan Mojolegi, Karangtengah, dan Pucunggrowong, Desa
Karangtengah; serta pedukuhan Ketos dan Dogongan, Desa Sriharjo. Sedangkan
daerah rawan bencana yang terletak di sekitar sungai Opak terdapat di pedukuhan
Singosaren, Manggung, Demi, dan Garjoyo, Desa Wukirsari; pedukuhan Tlogo,
Desa Kebon Agung; pedukuhan Ngemprongan, Desa Karangtalun; pedukuhan
Sungapan, Desa Sriharjo; pedukuhan Nagsri, Potrobayan, Seyegan, Tulung, dan
Kalisat, Desa Srihardono; pedukuhan Gunungpuyuh, Krapyak, Jetis, dan
52
Semampir, Desa Panjangrejo; pedukuhan Nambangan, Biro, dan Ngentak, Desa
Seloharjo; pedukuhan Colo, Mersan, Gading Daton, Gading Lumbung,
Gadingharjo, Kalipakel, Mriyan, Tegalsari, Busuran, dan Metuk, Desa Donotirto;
pedukuhan Karang dan Kalangan, Desa Tirtohargo; dan pedukuhan Sono,
Samiran, Bungkus, dan Kretek, Desa Parangtritis. Untuk daerah sekitar sungai
Progo, kawasan rawan bencana banjir terletak di Pedukuhan Ngentak, Kwaru,
Babadan, Bodowaluh, dan Bibis, Desa Poncosari.
b. Daerah Rawan Longsor
Daerah yang terletak di lereng-lereng perbukitan adalah daerah yang dapat
dikatakan daerah rawan bencana tanah longsor. Lokasi yang perlu diwaspadai
terdapat di Pedukuhan Maladan dan Lo Putih, Desa Jatimulyo; Pedukuhan
Sukorame dan Cempluk, Desa Mangunan; Pedukuhan Bulusari, Sanansari, dan
Rejosari, Desa Srimartani; Pedukuhan Karangasem dan Kedungbuweng, Desa
Wukirsari; Pedukuhan Siluk, Srunggo, Kajor, dan Kalidadap, Desa Selopamioro;
dan Pedukuhan Kalijoho, Desa Argosari.
c. Daerah Rawan Kekeringan
Daerah yang terletak di perbukitan secara umum adalah daerah yang dapat
dikatakan sebagai kawasan kekeringan. Pada beberapa lokasi perlu mendapat
perhatian seperti Pedukuhan Pakis, Desa Dlingo; Pedukuhan Seropan, Desa
Muntuk; Pedukuhan Bulusari, Rejosari, Sanansari, dan Petir, Desa Srimartani;
Pedukuhan Dermojurang, Geger, dan Tempel, Desa Seloharjo; seluruh kawasan
Desa Triharjo; Pedukuhan Beji, Desa Sendangsari; Pedukuhan Pringgading dan
Gupakwarak, Desa Guwosari; Pedukuhan Sabranglor dan Sabrangkidul, Desa
Triwidadi; Pedukuhan Sambikerep, Kenalan, Pereng, Sribitan, Bogem, dan
Karangjati, Desa Bangunjiwo; Pedukuhan Gunungsempu, Desa Tamantirto;
Pedukuhan Jetis, Desa Argosari; dan Pedukuhan Cawan dan Sukoharjo, Desa
Argodadi.
53
4.2. Karakteristik Personal Responden
Responden dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat di Kecamatan
Sewon Kabupaten Bantul. Karakteristik personal responden yang diteliti meliputi
umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan. Data hasil
penelitian karakteristik personal responden dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati
No
1.
Karakteristik
Responden
Umur (tahun)
Kategori
< 41
> 41
2.
Jenis Kelamin
Pria
Wanita
3.
Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Diploma
Sarjana
4.
Pekerjaan
PNS
Petani
Pegawai Swasta
Wiraswasta
5.
Pendapatan
< Rp 1.629.165
> Rp 1.629.165
6.
Ketokohan
Agama
Pendidikan
Politik
Pemuda
Wanita
Sosial
Sumber: Data primer hasil penelitian
Jumlah
(Orang)
42
49
63
28
5
7
38
13
28
22
19
28
22
57
34
15
11
20
15
15
15
Persentase
(%)
46,2
53,8
69,2
30,8
5,5
7,7
41,8
14,2
30,8
24,2
20,8
30,8
24,2
62,6
37,4
16,5
12,0
22,0
16,5
16,5
16,5
4.2.1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian, umur responden dikategorikan berdasarkan di
bawah rataan dan di atas rataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia
termuda 21 tahun dan tertua 65 tahun, dengan usia rataan 41 tahun. Dengan
demikian, sebagian besar responden merupakan umur dengan keadaan di atas usia
rataan (53,8%). Dilihat dari usia rata-rata dan kisaran usia, responden dalam
penelitian ini tergolong usia produktif. Pemuka pendapat dengan usia ini
54
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik serta memiliki kemampuan
daya pikir untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Responden yang
berusia lebih tua lebih dihormati oleh masyarakat, sebagai panutan atau tempat
bertanya ketika mengalami permasalahan dalam penanganan bencana.
4.2.2. Jenis Kelamin
Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 69,2% pria dan 30,8%
wanita. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran kaum perempuan di tengah
masyarakat sudah cukup baik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyebabkan terbukanya peran perempuan di berbagai sektor
kehidupan secara profesional. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah
yang membuka ruang bagi peran perempuan di berbagai bidang, sehingga
kegiatan masyarakat tidak lagi didominasi oleh laki-laki, tetapi wanita juga
banyak berperan sesuai dengan bidang keahliannya. Responden pria banyak
beraktivitas di bidang teknis dalam penanganan bencana, seperti pencarian
bantuan dan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sedangkan responden wanita
banyak yang berperan dalam pemulihan yang bersifat psikis melalui berbagai
kegiatan kewanitaan seperti PKK, posyandu dan pengajian rutin untuk ibu-ibu.
4.2.3. Pendidikan
Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang diamati adalah pendidikan
formal dari tingkat sekolah dasar sampai sarjana. Pendidikan responden terdiri
dari SD 5,5%, SLTP 7,7%, SLTA 41,8%, Diploma 14,2% dan Sarjana 30,8%.
Kondisi responden yang berpendidikan SLTA sampai sarjana menunjukkan faktor
pendidikan mempengaruhi ketokohan seseorang di masyarakat. Hal ini juga
berkaitan dengan kemampuan dalam menerima dan menyampaikan informasi
kepada masyarakat. Tokoh masyarakat yang mempunyai pendidikan lebih tinggi
mempunyai akses informasi lebih baik dibandingkan dengan berpendidikan lebih
rendah. Dalam hal ini, lebih sering berkomunikasi dengan tim manajemen
pelaksana penanganan bencana. Sedangkan responden yang berpendidikan lebih
rendah, lebih banyak berhubungan dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya.
55
4.2.4. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan responden yaitu PNS 24,2%, Petani 20,8%, Pegawai Swasta
30,8% dan Wiraswasta 24,2%. Responden yang paling banyak bekerja di sektor
swasta seperti pegawai di perusahaan dan instansi swasta. Setelah itu PNS di
berbagai instansi pemerintah dan wiraswasta yang bergerak di sektor
perdagangan, kerajinan dan properti. Jumlah petani lebih sedikit karena di lokasi
penelitian, petani biasanya berpendidikan relatif lebih rendah dan kurang memiliki
akses sebagai pemuka pendapat. Jenis pekerjaan yang ditekuni pemuka pendapat
banyak berpengaruh terhadap ketokohannya. Hal ini disebabkan ada jenis
pekerjaan yang mampu mengangkat peran seseorang menjadi tokoh masyarakat,
karena adanya struktur sosial, status sosial, status ekonomi, status kepangkatan
dan sebagainya. Di antaranya, jenis pekerjaan yang langsung melayani anggota
masyarakat seperti aparat pemerintah, guru dan da’i. Jenis pekerjaan tersebut
menyebabkan pemuka pendapat sering berhubungan dengan masyarakat
sekitarnya.
4.2.5. Pendapatan
Pendapatan responden berkisar Rp 420.000 - Rp 10.000.000, sehingga
diperoleh pendapatan rataan Rp 1.629.165. Kemudian diperoleh jumlah responden
yang memiliki pendapatan di bawah sama dengan rataan 62,6% dan di atas rataan
37,4%. Melihat rataan pendapatan tersebut dapat dijelaskan bahwa pendapatan
mempunyai peranan bagi ketokohan. Sebab orang yang memiliki pendapatan
tinggi masih dipandang mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitarnya,
terutama menyangkut aktivitas sosial. Responden yang memiliki pendapatan
tinggi sebagian besar berasal dari wiraswasta dan PNS yang memiliki masa kerja
cukup lama. Sedangkan responden yang memiliki pendapatan rendah umumnya
dari petani dan pegawai swasta.
Tingkat pendapatan masyarakat ini berhubungan dengan aktivitas komunikasi
dan menyerap informasi. Responden yang memiliki pendapatan tinggi biasanya
banyak memiliki sumber informasi. Hal ini memungkinkannya menyerap berbagai
informasi lebih banyak dan lebih cepat untuk disebarkan kepada masyarakatnya.
Selain itu, pada masyarakat juga masih ada stigma bahwa orang yang memiliki
56
status lebih tinggi secara ekonomi lebih mudah dimintai bantuan, sehingga
ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya akibat kedermawanan bila ada kegiatankegiatan sosial di masyarakat.
4.2.6. Ketokohan
Pemuka pendapat adalah seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di
lingkungannya. Ketokohan ini tumbuh karena orang tersebut menjadi panutan dan
sumber informasi bagi masyarakat. Hal itu berdasarkan sikap percaya masyarakat
terhadap tokoh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Hasil penelitian
menunjukkan responden tokoh politik 22,0%, tokoh agama 16,5%, tokoh pemuda
16,5%, tokoh wanita 16,5%, tokoh sosial 16,5% dan tokoh pendidikan 12,0%.
Berdasarkan persepsi responden, ada beberapa tokoh masyarakat yang memiliki
peran ganda atau memiliki lebih dari satu ketokohan. Keadaan ini menunjukkan
bahwa seseorang yang ditokohkan lebih dari satu jenis ketokohan, disebabkan
perannya dalam masyarakat lebih aktif, partisipatif dan kosmopolit. Namun dalam
penelitian ini yang dilihat salah satu ketokohan yang lebih dominan.
Peran tokoh politik dalam kegiatan penanganan bencana umumnya dalam hal
kebijakan pengelolaan bantuan di masyarakatnya. Tokoh politik juga banyak
berperan dalam mengusahakan bantuan untuk masyarakat di lingkungannya,
dengan akses kepada pengambil keputusan dan tim manajemen penanganan
bencana. Tokoh agama berperan dalam pengajian-pengajian dan kegiatan
keagamaan lainnya. Berdasarkan pengakuan responden, setelah terjadi bencana
minat masyarakat untuk mengikuti kegiatan keagamaan lebih tinggi. Hal ini tidak
terlepas dari peran tokoh agama yang giat menumbuhkan nilai-nilai religius di
masyarakat. Tokoh pemuda berperan dalam menggerakkan pemuda-pemuda di
masyarakat pasca bencana, terutama pada masa tanggap darurat. Tokoh
pendidikan ditokohkan karena profesinya sebagai pendidik, dalam hal ini tokoh
pendidikan berperan dalam sosialisasi kesiapsiagaan bencana kepada anak-anak
sekolah. Sedangkan tokoh wanita, ditokohkan karena aktivitasnya di berbagai
kegiatan kewanitaan seperti pengajian ibu-ibu, posyandu, arisan dan PKK.
57
4.3. Perilaku Komunikasi
Perilaku komunikasi merupakan sikap dan tindakan responden terhadap
komunikasi mengenai penanganan bencana, meliputi respons terhadap media
massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan
sikap terhadap opini publik.
4.3.1. Respons terhadap Media Massa
Respons terhadap media massa diukur dengan lamanya responden
menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar dengan satuan jam
dalam satu minggu (Tabel 7). Media massa merupakan sumber informasi penting
untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan merespons media massa, pemuka
pendapat dapat menambah wawasan untuk disebarkan kepada masyarakat.
Tabel 7. Distribusi responden menurut respons terhadap media massa
Perilaku Komunikasi
Respons terhadap media massa
1. Lamanya menonton TV
Kategori
(Jam)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Tidak pernah
< 3 jam
3 – 5 jam
>5 jam
0
28
45
18
0
30,8
49,4
19,8
Tidak pernah
< 3 jam
3 – 5 jam
>5 jam
4
44
35
8
4,4
48,4
38,5
8,7
surat Tidak pernah
< 3 jam
3 – 5 jam
>5 jam
Sumber: Data primer hasil penelitian
4
7
68
12
4,4
7,7
74,7
13,2
2. Lamanya mendengar radio
3. Lamanya
kabar
membaca
a. Menonton Televisi
Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan pada Tabel 7 diketahui bahwa
semua responden menonton televisi. Sebagian besar responden menonton televisi
antara 3 – 5 jam dalam satu minggu (49,4%). Hal itu menunjukkan bahwa televisi
58
cukup berperan sebagai sumber informasi masyarakat. Media televisi yang
bersifat audio visual merupakan media komunikasi yang paling menarik bila
dibandingkan media massa lain. Hal itu dapat dipahami, karena televisi dalam
menyajikan berita atau informasi selain disampaikan secara lisan, juga didukung
oleh gambar. Siaran televisi mudah dipahami oleh masyarakat dari segala usia dan
pendidikan. Apalagi di Yogyakarta terdapat beberapa stasiun televisi lokal yang
mengedepankan lokalitas dalam siarannya. Televisi lokal tersebut membantu
penyebaran informasi, karena banyak menyajikan berita dan tayangan budaya
Yogyakarta.
b. Mendengar Radio
Respons pemuka pendapat terhadap radio kurang begitu baik, karena
sebagian besar responden mendengar radio < 3 jam (48,4%), bahkan ada yang
tidak pernah mendengar radio (4,4%). Kurang tertariknya responden mendengar
radio, karena media ini hanya bersifat audio, sehingga cenderung memilih
menonton media audio visual. Saat ini radio kurang populer di masyarakat, sebab
semakin banyak stasiun televisi nasional dan lokal yang mulai menggeser peran
radio. Siaran radio juga biasanya hanya selintas dan banyak mengalami gangguan
penerimaan akibat faktor cuaca.
c. Membaca Surat Kabar
Surat kabar bagi sebagian orang merupakan media prestisius, karena tidak
semua orang bisa memilikinya. Namun bagi pemuka pendapat, surat kabar
menjadi media penting sebagai sumber informasi. Berdasarkan penelitian, 74,7%
responden membaca surat kabar antara 3 – 5 jam dalam satu minggu. Hal ini
disebabkan informasi yang disajikan surat kabar lebih lengkap, dilengkapi data
dan banyak narasumber. Surat kabar juga dapat dibaca berulang-ulang, mudah
dibawa dan dapat didokumentasikan oleh pembaca.
Masyarakat memanfaatkan media massa dengan beragam tujuan, sesuai
dengan fungsi media massa, yaitu sumber informasi, pendidikan dan hiburan.
Dalam penelitian ini diteliti tujuan responden menonton televisi, mendengar radio
59
dan membaca surat kabar. Tujuan ini dibagi menjadi tiga, yaitu menambah
pengetahuan, hiburan dan mengisi waktu luang (Tabel 8).
Tabel 8. Tujuan responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca
surat kabar
1. Menambah pengetahuan
Persentase (%)
Radio
Surat Kabar
59,3
40,2
87,4
2. Hiburan
13,2
18,4
12,6
27,5
41,4
0
Tujuan
3. Mengisi waktu luang
Sumber: Data primer hasil penelitian
Televisi
Sebagian besar responden memanfaatkan media massa untuk menambah
pengetahuan, terutama surat kabar yang mencapai 87,4%. Kedalaman informasi
yang disajikan surat kabar menjadikan surat kabar sebagai media untuk
menambah pengetahuan, lalu sarana hiburan umumnya yang memanfaatkan radio
(18,4%), begitu juga untuk mengisi waktu luang (41,4%). Hal ini dapat dipahami,
karena untuk mendengar radio dapat dilakukan dengan santai dan sambil istirahat.
Manfaat yang diperoleh responden dari media massa terkait dengan
penanganan bencana dikategorikan tiga hal, yaitu informasi penyaluran bantuan,
informasi rehabilitasi dan rekonstruksi dan kebijakan penanganan bencana. Pada
masa pasca bencana, keberadaan media massa sebagai sumber informasi menjadi
penting, karena perkembangan penanganan bencana selalu disiarkan oleh media
massa. Pemuka pendapat memerlukan informasi dari media massa untuk
mengetahui kondisi terbaru terkait penanganan bencana. Berdasarkan informasi
dari media massa, pemuka pendapat dapat melakukan langkah-langkah strategis
bagi masyarakat di lingkungannya. Berikut ini manfaat media massa bagi
responden dalam penanganan bencana (Tabel 9).
60
Tebel 9. Manfaat responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca
surat kabar
Persentase (%)
Televisi
Radio
Surat Kabar
22,6
50
24,7
Manfaat
1. Informasi penyaluran bantuan
2. Informasi rehabilitasi
rekonstruksi
dan
3. Kebijakan
penanganan
bencana
Sumber: Data primer hasil penelitian
26,2
20,3
23,4
51,2
29,7
51,9
Informasi penyaluran bantuan sebagian besar diperoleh dari siaran radio
(50%), karena radio lokal secara rutin menyiarkan perkembangan penyaluran
bantuan kepada masyarakat. Sedangkan informasi tentang rehabilitasi dan
rekonstruksi sebagian besar diperoleh dari televisi (26,2%). Menurut responden,
televisi lokal sering menayangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam
sesi berita daerah. Kemudian surat kabar mempunyai peranan penting dalam
menginformasikan kebijakan penanganan bencana (51,9%) melalui berita-berita
penanganan bencana di Yogyakarta.
4.3.2. Intensitas Pertemuan dengan Pelaksana Penanganan Bencana
Dalam membantu penanganan bencana di lingkungannya, pemuka pendapat
juga berkomunikasi dengan berbagai pihak, terutama pelaksana penanganan
bencana. Komunikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi teknis
tentang perkembangan penanganan bencana. Menurut responden komunikasi ini
penting untuk berkoordinasi dan menghindari miskomunikasi antara masyarakat
dengan pelaksana penanganan bencana. Dari informasi yang diperoleh melalui
pertemuan
tersebut,
responden
kemudian
melakukan
sosialisasi
kepada
masyarakatnya. Dalam penelitian kemudian intensitas pertemuan dijabarkan
menjadi jumlah bertemuan dalam satu minggu, tujuan komunikasi, tempat, jadwal
dan waktu yang efektif (Tabel 10).
61
Tabel 10. Intensitas pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan
bencana
No.
1.
Intensitas
pertemuan
Jumlah pertemuan < 2
dalam satu minggu > 2
2.
Tujuan komunikasi
Kategori
Mencari informasi
Mendapatkan bantuan
Memberi informasi
3.
Tempat
Posko pemerintah
Posko LSM
Posko Mahasiswa
Kepala Desa
Tokoh masyarakat
Lokasi pengungsian
Posko darurat
4.
Jadwal
Hari kerja
Hari libur
5.
Waktu
Pagi (08.00 – 12.00)
Siang (12.00 – 16.00)
Sore (16.00 – 19.00)
Malam (19.00 ke atas)
Sumber: Data primer hasil penelitian
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
48
52,75
43
47,25
54
20
17
17
25
6
11
21
6
5
47
44
31
11
24
25
59,3
22,0
18,7
18,7
27,5
6,6
12,1
23,1
6,6
5,5
51,6
48,4
34,1
12,1
26,4
27,5
Responden di lokasi penelitian melakukan pertemuan dengan pelaksana
penanganan bencana antara 1 - 7 kali dalam satu minggu dengan rataan pertemuan
2 kali dalam satu minggu. Responden yang melakukan pertemuan kurang dari
rataan (52,75%) dan lebih dari rataan (47,25%). Besarnya persentase responden
yang melakukan pertemuan kurang dari rataan disebabkan kesibukan responden
dengan pekerjaan atau aktivitas lain. Sedangkan responden yang sering
melakukan pertemuan, biasanya merupakan pengurus kelompok masyarakat
(pokmas) atau fasilitator sosial (fasos) dalam kegiatan penanganan bencana.
Tujuan komunikasi sebagian besar untuk mencari informasi (59,3%) dan
mendapatkan bantuan (22,0%). Hanya sedikit responden yang berperan sebagai
pemberi informasi (18,7%). Hal ini menunjukkan bahwa responden berperan
sebagai sumber informasi bagi masyarakat, karena itu mencari informasi ke
berbagai pihak terkait dengan penanganan bencana di wilayahnya. Responden
yang berperan sebagai pemberi informasi adalah yang terlibat sebagai fasilitator
62
sosial penanganan bencana, sehingga secara rutin melaporkan kondisi masyarakat
tempatnya bertugas kepada KMK (Konsultan Manajemen Kabupaten).
Tempat berkomunikasi sebagian besar di posko LSM (27,5%), tokoh
masyarakat (23,1%) dan posko pemerintah (18,7%). Responden sebagian besar
beralasan bahwa posko LSM lebih terbuka bagi masyarakat yang ingin
berhubungan terkait penanganan bencana. LSM juga dinilai lebih kooperatif
dalam menghadapi pengaduan penanganan bencana. Sedangkan tokoh masyarakat
menurut responden dijadikan tempat konsultasi, karena dianggap sebagai panutan
warga bila mengalami permasalahan. Responden yang berkomunikasi dengan
pemerintah biasanya yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan fasilitator sosial.
Menurut responden jadwal pertemuan yang paling efektif adalah hari kerja
(51,6%). Hal ini disebabkan pada hari kerja komunikasi dapat dilakukan secara
formal dan sesuai dengan jadwal kerja institusi formal. Responden mengaku bila
berkonsultasi pada hari kerja lebih mudah mendapatkan informasi dan data.
Sedangkan komunikasi pada hari libur biasanya dilakukan di tempat-tempat
informal.
Waktu pertemuan paling efektif pagi hari, antara jam 08.00 – 12.00 (34,1%)
atau malam hari jam 19.00 ke atas (27,5%). Waktu ini berkaitan dengan jadwal
kerja responden dan tempat konsultasi. Responden yang tidak terikat jam kerja
biasanya berkonsultasi pada jam kerja. Sedangkan responden yang terikat jam
kerja seperti PNS atau pegawai swasta berkonsultasi pada malam hari. Pada pagi
hari komunikasi dilakukan secara formal di kantor atau posko. Namun pada
malam hari bisa dilakukan secara tidak formal di rumah yang bersangkutan.
4.3.3. Sikap terhadap Opini Publik
Dalam penanganan bencana terdapat opini yang berkembang di masyarakat.
Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan sejak masa tanggap darurat
hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Opini publik ini bersifat individu masyarakat
korban bencana atau dalam kelompok. Umumnya opini yang berkembang
disebabkan karena kurangnya komunikasi antara pelaksana penanganan bencana
dengan masyarakat. Distribusi bantuan yang tidak merata dan tidak tepat sasaran
63
juga menyebabkan terjadinya opini publik. Dalam penelitian ini sikap pemuka
pendapat terhadap opini publik dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Sikap terhadap opini publik
Sikap terhadap opini
Kategori
publik
1.
Sikap terhadap opini Sangat negatif
masyarakat
Negatif
Tidak tahu
Positif
Sangat positif
2.
Sikap terhadap
Tidak mendukung
penanganan bencana
Kurang mendukung
oleh pemerintah
Mendukung
Sangat mendukung
3.
Sikap terhadap
Tidak mendukung
Kurang mendukung
penanganan bencana
Mendukung
LSM
Sangat mendukung
4.
Sikap terhadap
Sesuai
prosedur penanganan
Tidak sesuai
bencana
5.
Cara penanganan yang Langsung
tepat
Struktural
Sumber: Data primer hasil penelitian
No.
Jumlah
(orang)
0
10
0
65
16
0
13
63
15
1
11
63
16
79
12
Persentase
(%)
0
11,0
0
71,4
17,6
0
14,3
69,2
16,5
1,1
12,1
69,2
17,6
86,8
13,2
49
42
53,8
46,2
Responden sebagian besar bersikap positif terhadap opini masyarakat
(71,4%), karena beranggapan opini masyarakat penting untuk melihat
ketimpangan-ketimpangan dalam penanganan bencana. Dengan adanya opini
yang berkembang, pemuka pendapat dapat mengetahui sikap masyarakat terhadap
penanganan bencana yang dilakukan di lingkungannya. Opini ini merupakan
sumber informasi bagi pemuka pendapat untuk disampaikan kepada pelaksana
penanganan bencana. Pemuka pendapat menilai opini publik merupakan bentuk
ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara penanganan bencana, terutama
pemerataan bantuan.
Penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah didukung oleh pemuka
pendapat (69,2%). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam
penanganan bencana di lingkungannya cukup baik dan sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Pemerintah juga dinilai tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
64
dalam kondisi darurat dan penyalurannya terkoordinir. Sementara pemuka
pendapat yang kurang mendukung (14,3%) beranggapan pemerintah terlalu
banyak mengumbar janji tidak pasti kepada masyarakat. Distribusi bantuan
pemerintah di beberapa tempat terkesan lambat dengan birokrasi yang rumit.
Pemuka pendapat juga menilai adanya ketidakadilan, penyimpangan dan indikasi
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penanganan bencana oleh
pemerintah.
Pemuka pendapat sebagian besar mendukung penanganan bencana oleh LSM
(69,2%). LSM dinilai lebih cepat tanggap dalam penanganan bencana dan bantuan
yang diberikan langsung kepada sasaran. LSM dalam penanganan bencana juga
mengedepankan aspirasi masyarakat. Sedangkan yang kurang mendukung
(12,1%) beranggapan bantuan kemanusiaan kadang dimanfaatkan untuk
kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Distribusinya juga tidak
merata dan kurang koordinasi dengan pemuka pendapat.
Prosedur penanganan bencana di lokasi penelitian dinilai sesuai oleh pemuka
pendapat (86,8%), karena dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang
berlaku. Penanganan bencana dilakukan berdasarkan data di lapangan, kemudian
koordinasi dengan pemuka pendapat untuk menentukan langkah-langkah dan
kebijakan yang diambil. Sedangkan pendapat yang menilai tidak sesuai (13,2%)
disebabkan karena belum merata dan ada yang tidak tepat sasaran. Selain itu
informasi kepada masyarakat juga masih ada yang simpang siur, sehingga
membingungkan korban bencana.
Cara penanganan bencana menurut sebagian besar pemuka pendapat lebih
baik dilakukan secara langsung (53,8%). Penyaluran secara langsung dinilai lebih
efektif, karena tidak melalui birokrasi yang rumit dan langsung diterima
masyarakat, terutama untuk bantuan yang sifatnya mendesak. Selain itu, bila
disalurkan secara langsung dapat menghindari pemotongan-pemotongan oleh
petugas atau aparat pemerintah. Sedangkan responden yang berpendapat lebih
baik dilakukan secara struktural (46,2%) beralasan lebih terkoordinasi. Melalui
struktural diperoleh data yang akurat tentang korban yang layak mendapat
bantuan. Prosedur struktural juga dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan,
karena tidak melanggar prosedur.
65
4.4. Keragaan Kelompok
Dalam penanganan bencana di lokasi penelitian terdapat kelompok
masyarakat (pokmas) yang beranggotakan 10 – 15 orang korban gempa. Pokmas
dibentuk atas fasilitasi pemerintah untuk memudahkan koordinasi dan
pengawasan penyaluran bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pokmas ini
merupakan media aspirasi masyarakat yang bersifat independen dan dijalankan
dengan prinsip demokratis untuk kepentingan/kemaslahatan masyarakat dalam
rehabilitasi dan rekonstruksi. Keberhasilan partisipasi pokmas ini dipengaruhi
oleh kondisi komunikasi di dalamnya seperti dalam struktur kelompok,
pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan
kelompok dan tujuan kelompok. Penilaian keragaan kelompok ini berdasarkan
persentase skor pengolahan data hasil penelitian yaitu sangat rendah (0% - 20%),
rendah (21% - 49%), cukup (41% - 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi
(81% - 100%).
4.4.1 Struktur Kelompok
Struktur kelompok merupakan perincian peranan dan posisi dalam
kelompok yang ditunjukkan dengan berperannya responden dalam kelompok.
Hasil penelitian tentang struktur kelompok masyarakat di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Struktur kelompok masyarakat
No
1.
2.
3.
Struktur Kelompok
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan kelompok
Pembagian kerja kelompok
Komunikasi timbal balik dalam kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
66,15
63,95
58,02
62,70
Keterlibatan responden dalam pengambilan keputusan di kelompoknya
termasuk kategori kuat (66,15%), karena pemuka pendapat mempunyai peranan
penting dalam pengambilan keputusan di setiap rapat kelompok masyarakat
terkait dengan penanganan bencana. Pembagian kerja kelompok memiliki skor
66
tinggi
(63,95%),
karena
kelompok
masyarakat
di
lokasi
penelitian
mengedepankan kerjasama dan gotong royong tanpa memandang status dan
golongan. Namun komunikasi timbal balik hanya mempunyai skor cukup
(58,02%). Hal ini disebabkan, masih banyak anggota kelompok masyarakat yang
berperan sebagai pendengar atau penerima informasi, sehingga kurang terjadinya
komunikasi dua arah. Kondisi ini juga dipengaruhi kondisi budaya masyarakat
setempat yang menganggap pendapat tokoh masyarakat sudah mewakili keinginan
masyarakat.
4.4.2. Pembinaan Kelompok
Pembinaan
kelompok
berkaitan
dengan
usaha
responden
untuk
mempertahankan kehidupan kelompok melalui peranserta dalam kegiatankegiatan kelompok, sehingga keberadaan kelompok juga memiliki arti penting
bagi pemuka pendapat. Hasil penelitian mengenai kondisi pembinaan kelompok
dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Pembinaan kelompok masyarakat
No
1.
2.
3.
Pembinaan Kelompok
Partisipasi dalam kegiatan kelompok
Manfaat dari kegiatan kelompok
Pengaruh terhadap kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
59,12
68,79
56,48
61,46
Banyaknya aktivitas dan kesibukan menyebabkan sebagian responden tidak
memiliki waktu yang cukup untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok,
sehingga partisipasi responden dalam kegiatan kelompok masyarakat hanya
memperoleh skor cukup (59,12%). Karena tidak dapat berpartisipasi secara penuh
dalam kegiatan kelompok, maka responden tidak mempunyai pengaruh yang
sangat kuat terhadap kelompok (56,48%). Namun responden mengaku
mendapatkan banyak manfaat dari kelompok (68,79%), terutama dalam
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Melalui kerjasama kelompok beban
responden terkait permasalahan penanganan bencana dapat berkurang.
67
4.4.3. Kekompakan Kelompok
Keberhasilan kelompok masyarakat tidak lepas dari kekompakan antar
anggota kelompok. Kekompakan ini mencerminkan rasa keterikatan (memiliki)
responden terhadap kelompoknya. Untuk mengetahui sejauhmana kelompakan
kelompok di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Kekompakan kelompok masyarakat
No
Kekompakan kelompok
1.
2.
3.
Keterbukaan informasi dalam kelompok
Kerjasama kelompok
Kesamaan pandangan kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
75,16
65,71
54,94
65,27
Karena sering mengadakan pertemuan kelompok masyarakat, maka
keterbukaan informasi memiliki skor tinggi (75,16%). Hal ini disebabkan karena
dalam rapat-rapat kelompok semua permasalahan dan informasi terbaru
dikemukakan, sehingga diketahui oleh semua anggota. Kesamaan kondisi sebagai
korban bencana alam membuat masyarakat bekerjasama bahu-membahu
meringankan beban, sehingga kerjasama dalam masyarakat relatif kuat (65,71%).
Namun dalam kelompok masyarakat tidak selalu terjadi kesamaan pandangan
(54,94%), karena masing-masing individu mempunyai pendapat yang berbeda.
Hal ini wajar terjadi dalam kelompok, karena tingkat permasalahan dan
kepentingan yang dikemukakan dalam kelompok antara satu orang dengan orang
lainnya tidak selalu sama.
4.4.4. Suasana Kelompok
Pengaruh lingkungan dan interaksi anggota dalam suatu kelompok
mempengaruhi suasana di dalamnya. Suasana ini kemudian mempengaruhi
responden dalam interaksi kelompok dan mencapai tujuannya. Hasil penelitian
tentang suasana kelompok disajikan pada Tabel 15.
68
Tabel 15. Suasana kelompok masyarakat
No
Suasana Kelompok
1.
2.
3.
Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok
Motivasi dalam kelompok
Solidaritas dalam kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
65,27
68,57
72,30
68,71
Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok memiliki skor kuat (65,27%)
karena semua anggota dapat berperan dalam kegiatan kelompok, sehingga tingkat
motivasi yang diperoleh responden juga tinggi (68,57%). Hal lainnya, suasana
kekeluargaan dan gotong-royong yang dijunjung tinggi oleh kelompok, maka
solidaritas memiliki skor kuat (72,30%).
4.4.5. Tekanan Kelompok
Dalam suatu kelompok sosial dengan banyak individu di dalamnya sering
terjadi tekanan-tekanan. Hal ini disebabkan karena perbedaan emosi antar anggota
dan motivasi untuk berkelompok. Untuk mengetahui tekanan kelompok di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Tekanan kelompok masyarakat
No
1.
2.
3.
Tekanan Kelompok
Penghargaan dalam kelompok
Persaingan dalam kelompok
Hukuman dalam kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
43,07
36,48
31,20
36,91
Dalam kelompok tidak selalu ada penghargaan terhadap responden yang
berbuat baik atau menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Hal ini menyebabkan
penghargaan dalam kelompok memiliki skor cukup (43,07%). Sedangkan
persaingan antar anggota kelompok tidak terlalu terlihat di lokasi penelitian
(36,48%), karena dalam rehabilitasi dan rekonstruksi nilai bantuan yang diberikan
sama sesuai dengan kondisi kerusakan yang dialami oleh anggota kelompok.
69
Persaingan hanya terjadi, karena sikap ingin dipandang atau dihormati oleh
anggota kelompok yang lain. Proses hukuman dalam kelompok juga lemah
(31,20%), karena masyarakat lebih mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan
dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
4.4.6. Tujuan Kelompok
Dalam berkelompok masing-masing individu mempunyai tujuan. Tujuan
tersebut kemudian dipertemukan untuk menjadi tujuan kelompok. Untuk
mengetahui sejauhmana tujuan kelompok dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Tujuan kelompok masyarakat
No
Persentase Skor
(%)
64,39
54,94
72,74
64,02
Tujuan Kelompok
1.
2.
3.
Keterbukaan tujuan kelompok
Kesamaan tujuan dalam kelompok
Dukungan terhadap tujuan kelompok
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Keterbukaan tujuan kelompok memiliki skor kuat (64,39%), karena
sebagian besar responden yang aktif dalam kegiatan kelompok mengetahui tujuan
kelompoknya. Meskipun tujuan kelompok merupakan tujuan bersama, tidak
semua responden mengaku selalu memiliki kesamaan tujuan dengan kelompok
(54,94%). Hal ini disebabkan karena tujuan kelompok ditetapkan berdasarkan
suara
mayoritas
dalam
kelompok,
sehingga
anggota
kelompok
harus
mengikutinya demi solidaritas dan persatuan kelompok. Walaupun terdapat
perbedaan tujuan, dukungan terhadap tujuan kelompok memiliki skor tinggi
(72,74%) akibat adanya solidaritas tersebut.
70
4.5. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana
Seperti dikemukakan dalam kerangka berpikir penelitian ini, peubah tidak
bebas, yaitu pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana. Bagian dari peubah ini yang diteliti, yaitu keterlibatan komunikasi
pemuka pendapat dalam kegiatan penanganan bencana yang terbagi ke dalam
delapan kegiatan, antara lain penyelamatan korban, penyediaan hunian sementara,
informasi program, pelayanan sosial dasar, rehabilitasi mental, pembangunan
kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem
perekonomian. Penilaian berdasarkan persentase skor dari pengolahan data hasil
penelitian, yaitu sangat rendah (0% - 20%), rendah (21% - 49%), cukup (41% 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi (81% - 100%).
4.5.1. Penyelamatan Korban
Gempa bumi telah menyebabkan korban jiwa. Penyelamatan korban
dititikberatkan pada penyelamatan korban yang masih hidup untuk mendapatkan
perawatan medis. Penyelamatan korban ini merupakan fase awal dalam respons
terhadap bencana. Setelah terjadi bencana gempa bumi, masyarakat spontan akan
melakukan tindakan penyelamatan korban dengan membawanya ke tempat yang
lebih aman. Kemudian mendirikan posko darurat untuk menampung korban dan
memberikan pertolongan pertama. Dalam kondisi demikian, masyarakat meminta
petunjuk dan arahan dari tokoh masyarakat tentang pelaksanaan penyelamatan dan
pendirian posko darurat di lokasi bencana. Pada masa ini, masyarakat
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk melakukan tindakan-tindakan
evakuasi korban dan pendirian posko darurat.
Penyelamatan korban oleh masyarakat setempat merupakan upaya yang
dilakukan
sebelum mendapat bantuan dari pemerintah dan LSM. Hal ini
merupakan inisiatif masyarakat korban sebagai bentuk rasa kemanusiaan terhadap
korban lainnya. Kemudian setelah datang bantuan dari luar, penanganan dilakukan
dengan lebih baik melalui pendirian tenda-tenda pengungsian dan bantuan medis.
Penanganan oleh pemerintah dan LSM menurut informasi dari lokasi penelitian
dilakukan melalui koordinasi dengan tokoh masyarakat dan aparat desa setempat.
71
Untuk
mengetahui
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penyelamatan korban dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyelamatan
korban
No.
Penyelamatan Korban
1.
2
3
4
5
Peran dalam penyelamatan korban
Koordinasi dengan relawan
Pencarian bantuan medis
Pendirian posko bantuan
Pendataan korban
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
82,85
83,07
80,43
85,05
80,43
82,37
Dalam penyelamatan korban, komunikasi pemuka pendapat yang memiliki
skor tertinggi, yaitu pendirian posko bantuan (85,05%) dan koordinasi dengan
relawan (83,07%). Berdasarkan wawancara dengan responden, dalam pendirian
posko bantuan pemuka pendapat banyak terlibat dalam penentuan lokasi posko.
Posko bantuan ditentukan untuk mempermudah akses distribusi bantuan dan
penyalurannya kepada korban. Keberadaan posko ini penting dilakukan agar
distribusi bantuan merata dan tidak menimbulkan konflik antar warga. Sedangkan
koordinasi dengan relawan dilakukan, terutama dalam rapat-rapat koordinasi yang
sering dilakukan selama masa tanggap darurat.
Komunikasi dalam penyelamatan korban melibatkan masyarakat, pemuka
pendapat dan pelaksana penanganan bencana. Dalam kondisi darurat pasca
bencana pemuka pendapat mengarahkan masyarakat untuk melakukan evakuasi
korban dan memindahkannya ke tempat aman. Pemuka pendapat kemudian
melakukan pendataan korban dan kerusakan di lingkungannya. Data tersebut
diinformasikan kepada relawan dan pelaksana penanganan bencana, baik
pemerintah maupun LSM melalui tatap muka dan radio amatir (Orari).
Berdasarkan data korban dan kerusakan dari pemuka pendapat, pelaksana
penanganan bencana mengirimkan relawan, bantuan medis dan bahan makanan
untuk korban bencana. Komunikasi ini penting dilakukan untuk pemerataan
distribusi bantuan berdasarkan tingkat kerusakan dan kebutuhan korban bencana
72
melalui posko-posko darurat yang didirikan di lokasi bencana. Komunikasi antara
pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam
penyelamatan korban dapat dilihat pada Gambar 7.
Pesan
Data korban
dan
kerusakan
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
Komunikan
Pelaksana
penanganan
bencana
Umpan balik
Bantuan relawan, bantuan medis dan kebutuhan
dasar untuk korban bencana
Komunikator
Pemuka
pendapat
Umpan balik
Informasi jumlah korban, kerusakan dan
kebutuhan korban bencana
Pesan
Penyelamatan
korban
Keterangan :
Media
Tatap muka
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 7. Komunikasi dalam penyelamatan korban bencana
4.5.2. Penyediaan Hunian Sementara
Gempa bumi juga menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk. Hal ini
menyebabkan sebagian besar penduduk yang menjadi korban kehilangan tempat
tinggal. Penyediaan hunian sementara bagi masyarakat di lokasi penelitian
dianggap penting, terutama untuk anak-anak dan orang lanjut usia. Hunian
sementara ini berupa tenda-tenda darurat yang didirikan di tempat terbuka dan di
sekitar reruntuhan tempat tinggal yang dinilai lebih aman. Di hunian sementara
ini, peran komunikasi pemuka pendapat dinilai penting, karena masyarakat di
lokasi penelitian banyak mengadukan permasalahan kepada pemuka pendapat.
Dalam penyediaan hunian sementara, pemuka pendapat sebagai wakil
masyarakat mengkoordinir penentuan lokasi pengungsian. Dalam penanganan
bencana lokasi pengungsian dipilih dengan pertimbangan keamanan dari
kemungkinan bencana susulan, berdekatan dengan jalur transportasi untuk
distribusi bantuan serta kemudahan penyediaan fasilitas kebutuhan dasar
masyarakat. Penentuan lokasi biasanya dilakukan melalui komunikasi dengan
pelaksana
penanganan
bencana
untuk
memperlancar
koordinasi
dalam
73
penanganan bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka
pendapat dalam penyediaan hunian sementara dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian
sementara
No.
Penyediaan hunian sementara
1.
2
3
4
5
Pencarian lokasi pengungsian
Pencarian bantuan di pengungsian
Distribusi bantuan di pengungsian
Penyediaan fasilitas dan kebutuhan dasar pengungsi
Pengawasan terhadap kegiatan relawan di pengungsian
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase
Skor (%)
81,31
83,07
81,97
80,87
76,92
80,83
Skor tertinggi dalam penyediaan hunian sementara, yaitu dalam hal pencarian
bantuan (83,07%) dan distribusi bantuan di pengungsian (81,97%). Pencarian
bantuan dan distribusi bantuan ini memiliki skor sangat tinggi, karena masyarakat
tidak dapat mencari bantuan sendiri, sehingga pemuka pendapat berperan mencari
bantuan ke posko-posko bantuan untuk didistribusikan kepada pengungsi. Peran
pemuka pendapat dalam distribusi untuk menghindari ketimpangan pembagian
bantuan dan konflik, sebagai akibat pemberian yang tidak merata.
Proses komunikasi dalam penyediaan hunian sementara dilakukan pemuka
pendapat dengan memberikan data jumlah pengungsi dan kebutuhan masyarakat
kepada pelaksana penanganan bencana. Komunikasi dilakukan melalui tatap muka
di posko pemerintah maupun LSM. Selain tatap muka komunikasi juga dilakukan
melalui radio-radio amatir (Orari) yang masih berfungsi di lokasi bencana. Dari
penyampaian pesan-pesan pemuka pendapat tersebut, pelaksana penanganan
bencana kemudian mengirimkan bantuan berupa tenda-tenda darurat, bahan
makanan dan obat-obatan.
Selain berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana, pemuka
pendapat juga mencari bantuan melalui jaringan individu dari daerah yang tidak
mengalami bencana. Bantuan dari pelaksana penanganan bencana dan sumbangan
individu
tersebut
kemudian
didistribusikan
kepada
masyarakat
melalui
komunikasi tatap muka di posko-posko darurat yang didirikan di lokasi
74
pengungsian. Proses komunikasi ini terus berlanjut hingga korban bencana
meninggalkan lokasi pengungsian. Komunikasi antara pelaksana penanganan
bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam penyediaan hunian sementara
dapat dilihat pada Gambar 8.
Pesan
Data
pengungsi dan
kebutuhan
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
Umpan balik
Bantuan tenda dan kebutuhan dasar untuk
korban bencana
Komunikator
Pemuka
pendapat
Umpan balik
Informasi kebutuhan tenda dan kebutuhan dasar
korban bencana di lokasi pengungsian
Pesan
Pengungsian,
distribusi
bantuan
Keterangan :
Komunikan
Pelaksana
penanganan
bencana
Media
Tatap muka
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 8. Komunikasi dalam penyediaan hunian sementara
4.5.3. Informasi Program
Sosialisasi informasi kepada masyarakat penting dilakukan agar komunikasi
penanganan bencana efektif. Dengan adanya sosialisasi informasi program
penanganan bencana, masyarakat dapat mengetahui program pemerintah dan
pelaksana penanganan bencana lainnya. Di lokasi penelitian, informasi program
disebarkan kepada masyarakat melalui rapat rutin di kantor desa atau rumah tokoh
masyarakat. Informasi program ini
dapat dilakukan langsung oleh sumber
informasi melalui koordinasi dengan pemuka pandapat. Namun kadang
disampaikan kepada pemuka pendapat untuk disebarkan kepada masyarakat.
Informasi program meliputi sosialiasi program penanganan bencana pada tahap
rehabilitasi dan rekonstruksi, baik berupa kebijakan maupun bantuan penanganan
bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
informasi program dapat dilihat pada Tabel 20.
75
Tabel 20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program
penanganan bencana
No.
Informasi program
1.
2
3
4
5
Penyampaian informasi penanganan bencana
Ketepatan metode sosialisasi
Keefektivan komunikasi tatap muka
Pentingnya forum komunikasi
Penyampai aspirasi masyarakat
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
81,09
73,84
80,87
82,19
82,63
80,12
Dalam informasi program peran pemuka pendapat sebagai penyampai
aspirasi masyarakat (82,63%) dan pentingnya forum komunikasi antara pemuka
pendapat, masyarakat dan pelaksana penanganan bencana (82,19%) memiliki skor
tertinggi. Hal ini disebabkan di lokasi penelitian masyarakat masih mengganggap
pemuka pendapat sebagai panutan, sehingga menyampaikan permasalahan dan
aspirasi kepadanya. Pentingnya forum komunikasi ini menurut responden untuk
mencegah terjadinya konflik dalam penanganan bencana. Melalui forum
komunikasi, informasi program penanganan bencana dapat disampaikan secara
terbuka kepada masyarakat dan pelaksana penanganan bencana dapat mengetahui
permasalahan secara langsung di lokasi bencana.
Proses komunikasi dalam informasi program ini diawali dengan adanya
program pemerintah mengenai rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Program tersebut kemudian disampaikan kepada pemuka pendapat yang mewakili
masyarakat korban bencana. Penyampaian pesan dilakukan melalui komunikasi
tatap muka dan media komunikasi seperti modul, pamflet, leaflet dan sebagainya.
Koordinasi penanganan bencana ini dilakukan melalui rapat antara pelaksana
penanganan bencana dengan masyarakat sejak tahap perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi. Pemuka pendapat kemudian mensosialisasikan program penanganan
bencana kepada masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Dalam rapat
tersebut pemuka pendapat menampung aspirasi dari masyarakat korban bencana,
kemudian oleh pemuka pendapat disampaikan kepada pelaksana penanganan
bencana. Forum komunikasi antara masyarakat, pemuka pendapat dan pelaksana
76
penanganan bencana ini untuk menciptakan komunikasi yang efektif sehingga
proses penanganan bencana tepat sasaran dan dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat
dan masyarakat dalam informasi program dapat dilihat pada Gambar 9.
Komunikator
Pelaksana
penanganan
bencana
Pesan
Program
penanganan
bencana
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
Komunikan
Pemuka
pendapat
Komunikator
Umpan balik
Pemuka pendapat menyampaikan aspirasi
masyarakat
Pesan
Program
penanganan
bencana
Umpan balik
Masyarakat menyampaikan aspirasi kepada
pemuka pendapat
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
Keterangan :
Media
Tatap muka
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 9. Komunikasi dalam informasi program
4.5.4. Pelayanan Sosial Dasar
Pelayanan sosial dasar merupakan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat
seperti makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Pelayanan
sosial dasar ini diberikan untuk mengurangi beban yang dialami oleh korban
bencana. Pelayanan sosial dasar banyak melibatkan pemuka pendapat, karena
menyangkut kesejahteraan masyarakat di lingkungannya. Dalam hal ini pelaksana
penanganan bencana, khususnya pemerintah berkomunikasi dengan pemuka
pendapat untuk mengetahui permasalahan di lokasi bencana. Pemuka pendapat
sebagai pihak yang mengetahui kebutuhan masyarakatnya perlu memberikan
keterangan jelas kepada pelaksana penanganan bencana agar kebutuhannya dapat
dipenuhi. Koordinasi ini penting dilakukan agar tidak ada ketimpangan dan
ketidaksesuaian penanganan bencana di wilayahnya. Untuk mengetahui
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar dapat
dilihat pada Tabel 21.
77
Tabel 21. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial
dasar
No.
1.
2
3
4
5
Pelayanan sosial dasar
Perencanaan pelayanan sosial dasar
Perhatian terhadap aspirasi masyarakat
Keterlibatan dalam pelaksanaan layanan sosial dasar
Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar
Pengawasan kegiatan pelayanan sosial dasar
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
78,68
78,46
79,78
80,87
78,68
79,29
Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar (80,87%) dan keterlibatan
pemuka pendapat dalam pelaksanaan layanan sosial dasar (79,78%) memiliki skor
tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemuka pendapat mempunyai peranan
penting dalam pelayanan sosial dasar di lingkungannya. Responden menilai
permasalahan sosial dasar merupakan persoalan masyarakat yang perlu
diselesaikan oleh pelaksana penanganan bencana, terutama pemerintah, sehingga
pemuka pendapat berusaha mencari bantuan untuk masyarakat sekitarnya.
Komunikasi pada pelayanan sosial dasar dimulai melalui rapat kelompok
masyarakat, di mana pemuka pendapat sebagai tokoh masyarakat terlibat di
dalamnya. Dalam rapat tersebut masyarakat menyampaikan aspirasi mengenai
permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pemuka pendapat
kemudian mengakomodir aspirasi tersebut, kemudian bersama masyarakat
membuat rincian kebutuhan untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan
bencana. Rincian yang dibuat oleh masyarakat kemudian disesuaikan dengan
program pelayanan sosial dasar pemerintah melalui koordinasi pemuka pendapat
dan pelaksana penanganan bencana. Komunikasi ini dilakukan karena masyarakat
mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak pasca bencana dan
berkewajiban membangun kembali wilayahnya. Pemenuhan kebutuhan itu
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan bantuan dari pihak luar.
Berdasarkan koordinasi dengan pemuka pendapat, pelaksana penanganan bencana
memberikan bantuan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat. Mekanisme
penyaluran bantuan dilakukan melalui pemuka pendapat agar merata dan tepat
78
sasaran. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan
masyarakat dalam pelayanan sosial dasar dapat dilihat pada Gambar 10.
Pesan
Kebutuhan
dasar
Media
Tatap muka
Komunikan
Pelaksana
penanganan
bencana
Umpan balik
Bantuan kebutuhan dasar masyarakat
Komunikator
Pemuka
pendapat
Komunikan
Umpan balik
Penyaluran bantuan kebutuhan dasar
masyarakat
Media
Tatap muka
Keterangan :
Pesan
Kebutuhan
dasar
Komunikator
Masyarakat
korban
bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 10. Komunikasi dalam pelayanan sosial dasar
4.5.5. Rehabilitasi Mental
Gempa mengakibatkan luka emosi mendalam pada diri orang-orang yang
selamat. Para korban mengalami problem psikologis yang bercirikan kesedihan
berkelanjutan, keputusasaan dan kemarahan. Di antara hal-hal yang dibutuhkan di
tempat-tempat penampungan korban, perawatan kesehatan mental, termasuk
persoalan yang sangat penting. Rehabilitasi mental ini tidak selalu diidentikkan
dengan penanganan mental secara klinis, tetapi juga melalui aktivitas-aktivitas
kerohanian. Responden di lokasi penelitian menceritakan bahwa pasca bencana
kegiatan-kegiatan pengajian semakin meningkat. Hal ini merupakan upaya
masyarakat untuk mendapatkan ketenangan jiwa melalui aktivitas keagamaan.
Peran pemuka pendapat, khususnya tokoh agama dinilai penting untuk
membangkitkan semangat masyarakat di lokasi bencana. Untuk mengetahui
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental dapat
dilihat pada Tabel 22.
79
Tabel 22. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental
No.
Rehabilitasi mental
1.
2
3
4
5
Perencanaan rehabilitasi mental
Pencarian bantuan rehabilitasi mental
Pelaksanaan rehabilitasi mental
Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental
Kepedulian pada perkembangan mental masyarakat
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
78,68
81,75
76,92
81,97
77,36
79,34
Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental (81,97%) dan pencarian
bantuan rehabilitasi mental (81,75%) menempati skor tertinggi. Menurut
responden kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan
sekali. Kegiatan keagamaan ini dilakukan secara berkelanjutan dengan sasaran
semua usia. Di lokasi penelitian, terdapat berbagai bentuk kegiatan pengajian
seperti untuk anak-anak, remaja, wanita dan orang tua. Selain menghadirkan
penceramah tokoh agama setempat, juga menghadirkan ustad atau da’i dari luar.
Peran pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental ini penting sekali terutama
untuk mengkoordinir kegiatan pengajian di lingkungannya.
Komunikasi pada masa rehabilitasi mental dilakukan pemuka pendapat
dengan menampung aspirasi masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Hal
itu dilakukan karena bencana mempengaruhi kestabilan jiwa dan mengakibatkan
trauma pada diri masyarakat. Pemuka pendapat menampung aspirasi masyarakat
untuk mengetahui kebutuhan dan mencari jalan keluarnya. Kegiatan rehabilitasi
mental dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu penceramah
agama yang ada di lingkungannya. Apabila sumber daya lokal tidak mencukupi
kemudian pemuka pendapat meminta bantuan kepada pelaksana penanganan
bencana untuk menyediakan relawan baik itu psikiater maupun penceramah
agama. Psikiater diperlukan untuk memulihkan kejiwaan masyarakat melalui ilmu
psikologi, sedangkan penceramah agama memberikan pencerahan dengan sudut
pandang keagamaan. Bantuan relawan kemudian dikoordinasikan dengan pemuka
pendapat untuk menentukan jadwal kegiatan rehabilitasi mental di wilayah
tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan sampai kejiwaan
masyarakat pulih dan dapat kembali hidup normal. Komunikasi antara pelaksana
80
penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam rehabilitasi mental
dapat dilihat pada Gambar 11.
Pesan
Bantuan
rehabilitasi
mental
Media
Tatap muka
Umpan balik
Bantuan relawan rehabilitasi mental : psikiater
dan penceramah agama
Komunikator
Pemuka
pendapat
Umpan balik
Perlu relawan untuk rehabilitasi mental
Pesan
Pemulihan
mental
masyarakat
Keterangan :
Komunikan
Pelaksana
penanganan
bencana
Media
Tatap muka
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 11. Komunikasi dalam rehabilitasi mental
4.5.6. Pembangunan Kembali Perumahan
Pembangunan kembali perumahan merupakan kegiatan penting dalam
penanganan bencana. Gempa bumi di lokasi penelitian menyebabkan kerusakan
rumah-rumah penduduk, dari kategori ringan, sedang hingga rusak berat. Hal ini
menyebabkan pelaksanaan pembangunan perumahan membutuhkan waktu lama.
Selain itu juga banyak mendatangkan permasalahan, baik antara warga dengan
pelaksana penanganan bencana maupun konflik antar warga. Hal ini biasanya
dipicu ketimpangan dalam distribusi bantuan. Selama berada di lapangan, peneliti
beberapa kali mendengar konflik akibat permasalahan rehabilitasi dan
rekonstruksi. Disinilah peran pemuka pendapat menjadi penting untuk
mengkoordinir pembangunan kembali perumahan dan membantu menyelesaikan
permasalahan. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam pembangunan kembali perumahan dapat dilihat pada Tabel 23.
81
Tabel 23. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan
kembali perumahan
No.
Pembangunan kembali perumahan
1.
2
3
4
5
Keterlibatan dalam perencanaan
Perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan
Keterlibatan dalam pelaksanaan
Keadilan dalam pembangunan perumahan
Keterlibatan dalam pengawasan
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
78,24
83,29
75,60
83,51
77,58
79,64
Dalam pembangunan kembali perumahan, skor tertinggi yaitu menciptakan
keadilan dalam pembangunan perumahan (83,51%), serta perhatian terhadap
aspirasi dan kebutuhan masyarakat (83,29%). Responden menilai konflik
disebabkan karena ketidakadilan dalam distribusi bantuan biaya pembangunan
perumahan. Peran pemuka pendapat sangat tinggi untuk menciptakan keadilan ini
dengan mengontrol proses penyaluran bantuan. Hal ini dilakukan melalui
perannya menampung aspirasi dan keluhan masyarakat, serta menyampaikannya
kepada pelaksana penanganan bencana, sehingga konflik dalam pembangunan
perumahan dapat diminimalisir dan tidak menimbulkan perpecahan dalam
masyarakat.
Komunikasi pada tahap pembangunan kembali perumahan berdasarkan
program pemerintah yang menetapkan kebijakan pembangunan perumahan
kepada korban bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada
pemuka pendapat, terutama yang terlibat sebagai fasilitator sosial dan pimpinan
kelompok masyarakat di lingkungannya. Sosialisasi meliputi teknis pembangunan
perumahan dan mekanisme panyaluran bantuan kepada masyarakat. Komunikasi
antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada
tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan dengan melibatkan fasilitator
teknis dan Konsultan Manajemen Kecamatan (KMK).
Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program tersebut kepada
masyarakat korban bencana melalui rapat kelompok masyarakat yang dilakukan
secara rutin satu kali dalam satu minggu. Rapat antara pemuka pendapat dengan
masyarakat
untuk
mensinergikan
program
pemerintah
dengan
aspirasi
82
masyarakat, serta pengumpulan data-data kerusakan. Pengumpulan data melalui
kelompok masyarakat dilakukan untuk menghindari manipulasi data yang
berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Hasil rapat tersebut kemudian disampaikan pemuka pendapat kepada pelaksana
penanganan bencana untuk menentukan teknis pelaksanaan pembangunan kembali
perumahan di lingkungannya. Keterlibatan pemuka pendapat dalam komunikasi
dilakukan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi pelaksanaan pembangunan
perumahan. Dalam tahap ini, keberhasilan pembangunan kembali perumahan
tergantung kemampuan pemuka pendapat berkomunikasi dengan pelaksana
penanganan bencana dan masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan
bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pembangunan kembali
perumahan dapat dilihat pada Gambar 12.
Komunikator
Pelaksana
penanganan
bencana
Pesan
Pembangunan
kembali
perumahan
Media
Tatap muka,
Media
komunikasi
Komunikan
Pemuka
pendapat
Komunikator
Umpan balik
Menyampaikan data kerusakan perumahan dan
aspirasi masyarakat
Pesan
Pembangunan
kembali
perumahan
Umpan balik
Memberikan data kerusakan perumahan dan
menyampaikan aspirasi
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
Keterangan :
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 12. Komunikasi dalam pembangunan kembali perumahan
4.5.7. Perbaikan Prasarana dan Sarana Dasar
Perbaikan prasarana dan sarana dasar adalah pembangunan kembali jalan,
listrik, air bersih, puskesmas, sekolah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya.
Kerusakan fasilitas tersebut pada pasca bencana menyebabkan terganggunya
aktivitas masyarakat. Peran pemuka secara langsung banyak dilakukan dalam
perbaikan fasilitas milik masyarakat seperti tempat ibadah dan pos ronda.
83
Sedangkan fasilitas umum lainnya tidak banyak melibatkan pemuka pendapat
secara teknis. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana
dan sarana dasar
No.
Perbaikan prasarana dan sarana dasar
1.
2
3
4
5
Keterlibatan dalam perencanaan
Perhatian terhadap aspirasi masyarakat
Keterlibatan dalam pelaksanaan
Koordinasi
Keterlibatan dalam pengawasan
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
79,34
83,07
79,12
79,34
78,90
79,95
Skor tertinggi kegiatan ini yaitu perhatian pemuka pendapat terhadap aspirasi
masyarakat (83,07%) serta perencanaan dan koordinasi (79,34%). Dalam
perbaikan prasarana dan sarana dasar, responden mengaku menampung aspirasi
masyarakat di lingkungannya untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan
bencana. Keterlibatan pemuka pendapat secara teknis lebih banyak pada
perbaikan fasilitas yang dibangun oleh masyarakat. Sebab pembangunan tersebut
dilakukan melalui koordinasi dengan pemuka pendapat.
Komunikasi pada perbaikan prasarana dan sarana dasar dilakukan
berdasarkan program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana.
Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk
mengetahui besarnya kerusakan di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak
dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa. Sosialisasi
dititikberatkan pada teknis perbaikan prasarana dan sarana dasar. Komunikasi
antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada
tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan.
Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat, untuk
mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas umum di lingkungannya.
Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok masyarakat untuk
menjaring aspirasi dan penentuan prioritas perbaikan fasilitas umum. Hasil rapat
84
kemudian disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana agar proses
perbaikan dapat segera dilakukan. Komunikasi antara pelaksana penanganan
bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam perbaikan prasarana dan sarana
dasar dapat dilihat pada Gambar 13.
Pesan
Perbaikan
prasarana dan
sarana dasar
Komunikator
Pelaksana
penanganan
bencana
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
Komunikan
Pemuka
pendapat
Komunikator
Umpan balik
Menyampaikan data kerusakan prasarana dan
sarana dasar serta aspirasi masyarakat
Pesan
Perbaikan
prasarana dan
sarana dasar
Umpan balik
Memberikan data kerusakan prasarana dan
sarana dasar serta menyampaikan aspirasi
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
Keterangan :
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 13. Komunikasi dalam perbaikan prasaranan dan sarana dasar
4.5.8. Pemulihan Sistem Perekonomian
Pemulihan
sistem
perekonomian,
yaitu
pemulihan
perekonomian
masyarakat seperti pembukaan peluang usaha, pembukaan lapangan kerja,
perbaikan produksi pangan dan perbaikan fasilitas perekonomian. Di lokasi
penelitian sebenarnya kerusakan fasilitas perekonomian tidak banyak terjadi.
Namun demikian responden menilai bencana menyebabkan lumpuhnya kegiatan
ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat disibukkan dengan
pembersihan
pemberdayaan
dan
perbaikan
komunikasi
kerusakan
pemuka
perumahan.
pendapat
perekonomian dapat dilihat pada Tabel 25.
dalam
Untuk
mengetahui
pemulihan
sistem
85
Tabel 25. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pemulihan sistem
perekonomian
No.
Pemulihan sistem perekonomian
1.
2
3
4
5
Keterlibatan dalam perencanaan
Perhatian terhadap aspirasi masyarakat
Pengusahaan lapangan kerja baru
Koordinasi
Keterlibatan dalam pengawasan
Rataan
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Persentase Skor
(%)
80,43
81,31
76,04
79,12
77,14
78,81
Skor tertinggi pemulihan sistem perekonomian yaitu dalam hal perhatian
terhadap aspirasi masyarakat (81,31%) dan perencanaan (80,43%). Responden
mengaku banyak mendapat keluhan dari masyarakat mengenai permasalahan
perekonomian pasca bencana. Hal ini kemudian disampaikan dalam rapat
kelompok masyarakat untuk dicarikan penyelesaiannya. Dengan demikian
permasalahan perekonomian tidak berlarut-larut menimpa masyarakat.
Komunikasi pada pembangunan sistem perekonomian dilakukan berdasarkan
program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana. Program tersebut
kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk mengetahui besarnya
kerusakan fasilitas perekonomian di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak
dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa serta yang bergerak
di dunia usaha. Sosialisasi meliputi teknis pemulihan serta pertimbangan
pembukaan lapangan usaha bagi masyarakat.
Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat untuk
mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas perekonomian serta menjaring
aspirasi dari masyarakat. Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok
masyarakat untuk penentuan prioritas pembukaan lapangan usaha dengan
memanfaatkan sumber daya lokal. Hasil rapat kemudian disampaikan kepada
pelaksana penanganan bencana agar proses pemulihan segera dilakukan, serta
untuk mendapatkan sumber bantuan. Bantuan pembukaan lapangan usaha yang
diperoleh masyarakat yaitu pelatihan keterampilan dan bantuan kredit untuk
usaha. Dalam bidang pertanian bantuan yang diberikan biasanya berupa sarana
produksi dan pinjaman lunak untuk kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan.
86
Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan
masyarakat dalam pemulihan sistem perekonomian dapat dilihat pada Gambar 14.
Komunikator
Pelaksana
penanganan
bencana
Pesan
Pemulihan
sistem
perekonomian
Media
Tatap muka,
media
komunikasi
Komunikan
Pemuka
pendapat
Komunikator
Umpan balik
Data kerusakan fasilitas perekonomian dan
permohonan bantuan untuk lapangan usaha
Pesan
Pemulihan
sistem
perekonomian
Umpan balik
Data kerusakan fasilitas perekonomian dan
aspirasi pembukaan lapangan usaha
Komunikan
Masyarakat
korban
bencana
Keterangan :
Media
Tatap muka
: Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana
: Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat
Gambar 14. Komunikasi dalam pemulihan sistem perekonomian
4.6.
Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku
Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok terhadap
Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana.
Indikator karakteristik personal (X1) yang diteliti adalah umur (X1.1), jenis
kelamin (X1.2), pendidikan (X1.3), pekerjaan (X1.4), pendapatan (X1.5) dan
ketokohan (X1.6). Kemudian indikator perilaku komunikasi (X2) seperti respons
terhadap media massa (X2.1), intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana
penanganan bencana (X2.2) dan sikap terhadap opini publik (X2.3). Sedangkan
indikator keragaan kelompok (X3) yaitu struktur kelompok (X3.1), pembinaan
kelompok (X3.2), kekompakan kelompok (X3.3), suasana kelompok (X3.4),
tekanan kelompok (X3.5) dan tujuan kelompok (X3.6). Untuk mengetahui
pengaruh
terhadap
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penanganan bencana (Y) yang meliputi penyelamatan korban (Y1), penyediaan
hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4),
rehabilitasi mental (Y5),
pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan
87
prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8)
dilakukan uji statistik Khi-kuadrat (χ2) dengan menggunakan program SPSS 13.0
for Windows.
4.6.1. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap
Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1)
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
(Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat
(χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210)
dengan rumusan hipotesis statistik berikut :
Ho
: Tidak ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana.
Ha
: Ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana.
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai
kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2)
menggunakan program SPSS 13.0 for Windows :
1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima.
2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak.
Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) karakteristik personal pemuka pendapat (X1)
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
(Y) pada taraf α = 0,05 menunjukkan bahwa : pekerjaan (X1.4) berpengaruh nyata
terhadap pelayanan sosial dasar (Y4), pendapatan (X1.5) berpengaruh nyata
terhadap informasi program (Y3), dan ketokohan (X1.6) berpengaruh nyata
terhadap pelayanan sosial dasar (Y4). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut
selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya
pada Tabel 26.
88
Tabel 26. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap
Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana di Yogyakarta
PEUBAH
BEBAS
(X)
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
X1.6
Keterangan: *
PEUBAH TIDAK BEBAS (Y)
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
0,871
0,645
0,217
0,063
0,436
0,223
0,142
0,063
0,455
0,461
0,131
0,942
0,134
0,405
0,882
0,435
0,060
0,204
0,067
0,064
0,052
0,078
0,188
0,264
0,043*
0,156
0,115
0,343
0,570
0,337
0,013*
0,273
0,066
0,167
0,136
0,653
0,245
0,396
0,032*
0,798
0,086
0,588
nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Y8
0,571
0,514
0,497
0,359
0,056
0,247
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Berdasarkan Tabel 26 dapat dijelaskan bahwa pekerjaan pemuka pendapat
mempengaruhi aktivitasnya dalam pelayanan sosial dasar pasca bencana gempa
bumi di Yogyakarta. Pekerjaan pemuka pendapat yang semakin baik maka
perannya dalam kegiatan masyarakat juga semakin meningkat. Pelayanan sosial
dasar merupakan kegiatan untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat yang menjadi korban bencana. Pemuka pendapat yang pekerjaannya
semakin baik maka mempunyai kesempatan lebih besar untuk berperan dalam
kegiatan tersebut.
Pendapatan berpengaruh nyata terhadap sosialisasi informasi program, karena
pemuka pendapat yang pendapatannya tinggi mempunyai banyak peluang untuk
melakukan
sosialisasi
informasi
program
penanganan
bencana
kepada
masyarakat. Keadaan personal responden yang rata-rata memiliki pendapatan
tinggi mempermudah akses terhadap informasi. Pemuka pendapat merupakan
panutan di lingkungannya, maka informasi ini kemudian disebarkan kepada
masyarakat.
Seseorang ditokohkan oleh masyarakat, antara lain karena kemampuan
empati dan partisipasi sosialnya yang lebih besar, sehingga ketokohan
berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar. Pelayanan sosial dasar ini
dilakukan karena kesadaran pemuka pendapat untuk meringankan penderitaan
masyarakat di lingkungannya akibat bencana. Peran tersebut dilakukan, karena
89
pemuka pendapat memiliki akses komunikasi dengan pelaksana penanganan
bencana.
Umur tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi dalam
penanganan bencana, karena pemuka pendapat melakukan pemberdayaan
komunikasi
berdasarkan
kemampuan
dan
tanggungjawab
sosial
kepada
masyarakat di lingkungannya. Jenis kelamin juga tidak berpengaruh nyata
terhadap kegiatan penanganan bencana karena laki-laki dan perempuan
menjalankan tugasnya sesuai dengan perannya di masyarakat.
Pemuka pendapat memiliki pengetahuan yang luas untuk berperan di
masyarakat. Pengetahuan tersebut tidak selalu berasal dari pendidikan formal,
tetapi juga dari pengalaman dan pendidikan nonformal, maka pendidikan formal
tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penanganan bencana. Pengalaman dan pengetahuan lebih berperan dalam
berkomunikasi dengan pelaksanan penanganan benacana dan masyarakat di
lingkungannya.
4.6.2.vPengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap
Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana
Untuk mengetahui pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2)
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
(Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat
(χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210)
dengan rumusan hipotesis statistik berikut:
Ho
: Tidak ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana.
Ha
: Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana.
90
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai
kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2)
menggunakan program SPSS 13.0 for Windows :
1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima.
2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak.
Berdasarkan uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap perilaku komunikasi pemuka
pendapat (X2) dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana (Y) pada taraf α = 0,05 diketahui respons terhadap media
massa (X2.1) yang berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1). Hasil
uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data
(Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 27.
Tabel
27.
Pengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap
Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan
Bencana di Yogyakarta
PEUBAH
PEUBAH TIDAK BEBAS (Y)
BEBAS
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
Y8
(X)
X2.1
0,010*
0,133
0,875
0,894
0,622
0,958
0,523
0,240
X2.2
0,184
0,054
0,792
0,207
0,699
0,205
0,871
0,846
X2.3
0,277
0,467
0,739
0,525
0,287
0,287
0,783
0,744
Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Berdasarkan Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa respons terhadap media massa
mempunyai pengaruh nyata terhadap penyelamatan korban pasca bencana.
Artinya semakin tinggi respons masyarakat terhadap media massa mempengaruhi
perannya dalam penyelamatan korban. Hal ini cukup beralasan, karena dalam
masa tanggap darurat, terutama penyelamatan korban kondisi penuh dengan
kepanikan, sehingga dituntut untuk bergerak cepat. Dalam situasi demikian yang
dibutuhkan adalah ketanggapan dan sikap manusiawi untuk menyelamatkan
masyarakat yang terluka. Kemampuan melakukan penyelamatan korban berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh dari media massa. Pengetahuan tersebut
diperoleh dari siaran media massa yang menampilkan atau menceritakan kegiatan
penyelamatan korban, baik melalui berita atau film. Efek tersebut kemudian
terekam dan menjadi pengetahuan bagi penyelamatan korban bencana.
91
Sementara itu, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan
bencana tidak berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas pemuka pendapat
dalam penanganan bencana. Hal ini terjadi karena pertemuan dengan pelaksana
penanganan bencana merupakan bagian dari tanggungjawab pemuka pendapat
untuk berkoordinasi dalam penanganan bencana di lingkungannya. Pemuka
pendapat yang intensitas pertemuannya tinggi biasanya fasilitator sosial yang
melakukan penanganan bencana karena pekerjaan, bukan karena ketokohannya.
Meskipun demikian, pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan
bencana perlu dilakukan secara rutin dan berkelanjutan untuk meningkatkan
pemberdayaan komunikasi di masyarakat.
Sikap terhadap opini publik juga tidak berpengaruh nyata terhadap semua
aktivitas pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Semakin tinggi respons
pemuka pendapat terhadap opini publik yang berkembang di masyarakat, tidak
mempengaruhi perannya dalam penanganan bencana. Pemuka pendapat
merespons berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat sebagai bentuk
kepeduliannya terhadap masyarakat. Dengan sering merespons pendapat
masyarakat, tidak berarti peran pemuka pendapat semakin meningkat. Hal itu
terjadi karena pemuka pendapat sejak sebelum terjadi bencana sudah menjadi
panutan dan tempat menyampaikan aspirasi bagi warga di sekitarnya.
4.6.3. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi
Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana
Dalam hipotesis penelitian ini disebutkan bahwa keragaan kelompok
berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana. Untuk mengetahui pengaruh keragaan kelompok (X3)
terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana
(Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat
(χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210)
dengan rumusan hipotesis statistik berikut:
Ho : Tidak ada pengaruh keragaan kelompok masyarakat terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana.
92
Ha : Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana.
Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai
kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2)
menggunakan program SPSS 13.0 for Windows :
1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima.
2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak.
Uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap keragaan kelompok (X3) dengan
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y)
menunjukkan banyak pengaruh nyata antara dua peubah tersebut pada taraf nyata
α = 0,05. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil
olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 28.
Tabel 28. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi
Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta
PEUBAH
PEUBAH TIDAK BEBAS (Y)
BEBAS
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
Y6
Y7
(X)
X3.1
0,023*
0,009*
0,097
0,020*
0,097
0,036*
0,607
X3.2
0,059
0,005*
0,039*
0,007*
0,051
0,004*
0,223
X3.3
0,001*
0,000*
0,001*
0,001*
0,000*
0,000*
0,015*
X3.4
0,113
0,002*
0,072
0,007*
0,034*
0,003*
0,374
X3.5
0,080
0,517
0,051
0,084
0,010*
0,409
0,753
X3.6
0,089
0,002*
0,301
0,180
0,019*
0,057
0,192
Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho.
Y8
0,011*
0,031*
0,000*
0,004*
0,077
0,203
Sumber: Olahan data primer hasil penelitian
Berdasarkan Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa struktur kelompok (X3.1)
berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian
sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), pembangunan kembali perumahan
(Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Artinya semakin tinggi struktur
kelompok masyarakat, maka semakin berpengaruh terhadap kegiatan penanganan
bencana tersebut. Adanya keterlibatan pemuka pendapat dalam pengambilan
keputusan dan pembagian kerja kelompok menyebabkan besarnya peran pemuka
pendapat dalam berbagai aktivitas penanganan bencana. Namun karena
komunikasi timbal balik dalam kelompok relatif rendah, maka struktur kelompok
93
tidak berpengaruh terhadap informasi program, rehabilitasi mental serta perbaikan
prasarana dan sarana dasar.
Pembinaan kelompok (X3.2) berpengaruh nyata terhadap penyediaan
hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4),
pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian
(Y8). Besarnya manfaat kegiatan kelompok bagi pemuka pendapat menyebabkan
pengaruh terhadap kegiatan penanganan bencana tersebut. Penyelamatan korban
tidak dipengaruhi pembinaan kelompok karena kelompok masyarakat dibentuk
setelah terjadi bencana. Kurangnya partisipasi responden dalam kegiatan dan
pengambilan keputusan kelompok menyebabkan pengaruh pembinaan kelompok
terhadap rehabilitasi mental dan perbaikan prasarana dan sarana dasar tidak begitu
terlihat.
Kekompakan kelompok (X3.3) berpengaruh nyata terhadap semua
aktivitas penanganan bencana yaitu penyelamatan korban (Y1), penyediaan
hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4),
rehabilitasi mental (Y5),
pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan
prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8)
Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi kekompakan kelompok
mempengaruhi pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan
bencana. Keadaan demikian terjadi karena tingginya keterbukaan informasi dalam
kelompok dan adanya kerjasama yang baik.
Suasana kelompok (X3.4) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian
sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5),
pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian
(Y8). Tingginya solidaritas dalam kelompok menjadikan suasana kelompok
berpengaruh terhadap permasalahan mendasar dalam penanganan bencana
tersebut. Hal ini terjadi akibat sikap kekeluargaan yang masih dimiliki oleh
masyarakat. Namun demikian suasana kelompok ini tidak mempengaruhi hal-hal
lain terkait peran pemuka pendapat dalam penanganan bencana seperti informasi
program dan perbaikan prasarana dan sarana dasar. Sedangkan penyelamatan
korban tidak dipengaruhi suasana kelompok karena kelompok masyarakat ini
dibentuk setelah terjadi bencana.
94
Tekanan kelompok (X3.5) hanya berpengaruh nyata terhadap rehabilitasi
mental (Y5). Rendahnya penghargaan dalam kelompok menyebabkan tidak
adanya pengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat
dalam penanganan bencana. Sedangkan persaingan dan hukuman tidak
mempengaruhi penanganan bencana, karena kegiatan tersebut dilakukan secara
suka rela dan karena rasa kekeluargaan masyarakat. Rasa kekeluargaan tersebut
menyebabkan peran-peran pemuka pendapat semakin terbuka karena tanpa beban
tekanan dalam kelompok.
Tujuan kelompok (X3.6) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian
sementara (Y2) dan rehabilitasi mental (Y5). Tingginya dukungan terhadap tujuan
kelompok menyebabkan peran pemuka pendapat dalam kebutuhan mendasar
masyarakat tersebut meningkat. Hal itu juga didukung oleh keterbukaan dalam
kelompok masyarakat. Meskipun demikian, karena masih ada ketidaksamaan
tujuan maka kegiatan penanganan bencana lainnya seperti penyelamatan korban,
informasi program, pelayanan sosial dasar pembangunan kembali perumahan,
perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem perekonomian tidak
terpengaruh.
4.6.4.vPengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku
Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok Secara
Bersama-sama terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka
Pendapat dalam Penanganan Bencana
Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1),
perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) dan keragaan kelompok (X3) secara
bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian beberapa peubah bebas terhadap
peubah tidak bebas menggunakan analisis regresi berganda lebih dari dua peubah
bebas dengan program SPSS 13.0 for Windows (Triton, 2006:141).
Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menunjukkan beberapa peubah bebas memiliki
nilai signifikan pada taraf 0,05. Maka berdasarkan hasil signifikan tersebut yang
disesuaikan dengan kondisi di lokasi penelitian, dilakukan analisis tambahan
dengan regresi berganda untuk memperkuat pentingnya pengaruh peubah
ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana
95
(X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) terhadap peubah penting dalam
penanganan bencana seperti penyediaan hunian sementara
(Y2), informasi
program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4) dan pembangunan kembali perumahan
(Y6) dalam bentuk skala interval 1 - 3. Hasil analisis regresi linear berganda
tersebut menunjukkan bahwa ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan
pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) hanya
berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2) (Lampiran 5).
Besarnya pengaruh tersebut dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Pengaruh ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana
penanganan bencana dan kekompakan kelompok terhadap
penyediaan hunian sementara.
No Peubah Bebas (X)
1.
2.
3.
Ketokohan
(X1.6)
Intensitas
pertemuan (X2.2)
Kekompakan
kelompok (X3.3)
Penyediaan Hunian Sementara (Y2)
Sig.
Annova
Coef β
0,183
0,077
0,162
0,115
0,285
0,005*
F = 4,378
Sig. = 0,006*
Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Sig < 0,05, maka berpengaruh nyata.
Tabel 29 menunjukkan bahwa kekompakan kelompok memiliki pengaruh
besar terhadap penyediaan hunian sementara dengan nilai nyata 0,005. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat korban bencana membutuhkan kekompakan untuk
mempercepat proses penanganan bencana. Dalam penelitian ini, kekompakan
kelompok mencerminkan rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap
kelompoknya, sehingga pemuka pendapat bersama masyarakat bekerjasama
memulihkan kondisinya, dari korban bencana menjadi masyarakat yang kembali
hidup normal.
Kekompakan kelompok ini berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian
sementara (0,285). Artinya semakin tinggi kekompakan kelompok, berpengaruh
terhadap tingginya aktivitas penanganan bencana terutama dalam penyediaan
hunian sementara bagi korban bencana. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa
kelompok masyarakat yang kompak semakin cepat pulih dari keterpurukan, baik
aspek sosial maupun ekonomi. Cepatnya pemulihan ini disebabkan sikap
96
masyarakat yang mempunyai inisiatif memberdayakan sumber daya yang ada
untuk pemulihan lingkungannya. Kelompok masyarakat yang kompak juga lebih
mudah berpartisipasi dan bekerjasama dengan pelaksana penanganan bencana di
wilayahnya.
Ketokohan juga berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian sementara
(0,183). Artinya tokoh masyarakat yang banyak terlibat dalam penanganan
bencana akan mempengaruhi percepatan penyediaan hunian sementara
bagi
korban bencana di lingkungannya. Di lapangan tokoh yang paling berpengaruh
dalam penyediaan hunian sementara adalah tokoh sosial dan tokoh pemuda.
Kedua tokoh tersebut secara teknis banyak berhubungan dengan relawan dan
pelaksana penanganan bencana dari pemerintah maupun non pemerintah. Kerja
keras tokoh masyarakat mencari bantuan tenda-tenda darurat untuk penyediaan
hunian sementara bagi korban bencana menyebabkan masyarakat dapat tinggal
lebih layak meskipun dalam tenda darurat. Kondisi tersebut kemudian
mempengaruhi peran masyarakat dalam mempercepat pemulihan kehidupannya
yang porak-poranda akibat gempa.
Sedangkan intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana juga
berpengaruh positif (0,162) meskipun tarafnya paling rendah (0,115). Artinya
semakin tinggi intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana maka
berpengaruh terhadap penanganan bencana terutama penyediaan hunian
sementara. Rendahnya taraf pengaruh tersebut terjadi karena tidak semua pemuka
pendapat memiliki intensitas tinggi dalam pertemuan dengan pelaksana
penanganan bencana. Pemuka pendapat yang sering berkomunikasi dengan
pelaksana penanganan bencana biasanya adalah pemuka pendapat yang menjadi
fasilitator sosial dalam penanganan bencana di lingkungannya. Fasilitator sosial
memang diwajibkan untuk datang ke kantor Konsultan Manajemen Kecamatan
(KMK) setiap hari untuk berkoordinasi dengan KMK dan fasilitator teknik.
Meskipun tidak semua peubah bebas berpengaruh nyata, tetapi secara
bersama-sama ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan
bencana dan kekompakan kelompok memiliki taraf nyata 0,006 dalam
memberikan pengaruh terhadap penyediaan hunian sementara. Dengan demikian
dapat dijelaskan bahwa bila tokoh masyarakat banyak terlibat dalam penanganan
97
bencana di lingkungannya, kemudian manjadi fasilitator sosial dan kompak
dengan kelompoknya maka proses penanganan bencana di lingkungannya relatif
lebih cepat dan berhasil. Penanganan bencana merupakan kegiatan yang
mensinergikan program pemerintah dan partisipasi masyarakat korban bencana,
sehingga faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan program
penanganan bencana di masyarakat. Peran pemuka pendapat juga diperlukan
dalam kegiatan penanganan bencana oleh lembaga non pemerintah yang biasanya
cenderung partisipatif dan melibatkan banyak pihak dalam masyarakat.
4.7. Manajemen Komunikasi Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana yaitu respons terhadap bencana yang meliputi
kegiatan
penanganan
bencana
dan
kesiapsiagaan
menghadapi
bencana.
Komunikasi berperan penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk
mensinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang
terlibat dalam penanggulangan bencana. Sedangkan komunikasi dengan
masyarakat korban bencana untuk mempercepat proses penanggulangan bencana
dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Lemahnya
penanggulangan bencana selama ini, terjadi karena Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) masih
bersifat koordinatif, bukan operasional. Padahal melihat sering terjadinya bencana
di Indonesia, seharusnya pemerintah membentuk lembaga penanggulangan
bencana yang bersifat struktural dan operasional agar manajeman komunikasi
penanggulangan bencana lebih efektif.
Pemerintah
melalui
Undang-Undang
No.
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana sebenarnya secara kelembagaan akan membentuk
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan lembaga
pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10). BNPB mempunyai
tugas: (a) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara; (b) Menetapkan standarisasi
dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan
perundang-undangan; (c) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
98
(d) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat
bencana; (e) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/ bantuan
nasional dan internasional; (f) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran
yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (g) Melaksanakan
kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (h) Menyusun
pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pasal 12).
Kemudian BNPB mempunyai fungsi : (a) Perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan
tepat serta efektif dan efisien; dan (b) Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh (Pasal 13).
Dalam undang-undang tersebut, pembentukan lembaga penanggulangan
bencana masih cenderung bersifat koordinatif. Padahal organisasi penanggulangan
bencana seharusnya struktural, operasional dan koordinatif yang menangani
manajemen bencana sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga
pengawasan. Dalam konteks ini lembaga tersebut harus dibentuk secara khusus,
melibatkan kalangan ahli dan profesional dalam penanggulangan bencana dengan
menitikberatkan pada sumberdaya manusia, pendanaan, metode dan teknologi
informasi. Dengan model BNPB yang bersifat struktural, operasional dan
koordinatif maka komunikasi penanggulangan bencana lebih terintegrasi dengan
melibatkan semua pihak, yaitu unsur pemerintahan, TNI/ Polri, perguruan tinggi,
dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan
organisasi profesi.
BNPB dibentuk untuk bekerja secara profesional dalam suatu manajemen
risiko bencana yang mengintegrasikan fungsi-fungsi penyelidikan potensi
bencana, manajemen penanganan bencana, keuangan, operasional dan logistik.
BNPB juga harus diberi otoritas untuk merancang program, melakukan analisa
kebutuhan dan pembiayaan berdasarkan analisa data kerusakan yang terjadi.
Penanggulangan bencana melalui BNPB dilakukan dengan strategi proaktif, tidak
semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan
persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Pada tingkat
operasional di lokasi bencana, BNPB harus dirancang untuk bertindak partisipatif
99
dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Berdasarkan
hasil penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam
penanganan bencana serta kajian literatur penanggulangan bencana, maka
dihasilkan manajemen organisasi penanggulangan bencana yang partisipatif
dengan jalur komunikasi yang jelas dan terarah. Manajemen organisasi
penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
(BNPB)
Badan Penanggulangan
Bencana Provinsi
Badan Penanggulangan
Bencana Kabupaten/ Kota
- Instansi Vertikal
- Dinas Kabupaten/
Kota
- Komando Teritorial
Satuan Tugas
Penanggulangan
Bencana
(Satgas PB)
PMI
Pramuka
LSM/ Ormas
Dunia Usaha
Perguruan Tinggi
Pemuka Pendapat
Kelompok Masyarakat
Penanggulangan Bencana (KMPB)
Masyarakat Korban Bencana
Keterangan :
: Garis struktural
: Garis koordinasi
Gambar 15. Manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif
Berdasarkan manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif
tersebut, pada tingkat operasional Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota
100
dapat dibentuk satuan tugas khusus (Satgas PB) yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan penanggulangan bencana. Satgas PB dibentuk dengan melibatkan
unsur pemerintahan (instansi/ dinas), komando teritorial (TNI/ Polri), Palang Merah
Indonesia (PMI), Pramuka, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi. Dengan adanya Satgas PB maka
setiap ada bencana dapat langsung dilakukan penanganan, terutama pada masa
tanggap darurat.
Berdasarkan panduan umum penanggulangan bencana berbasis masyarakat, di
daerah rawan bencana seharusnya dibentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan
Bencana (KMPB) untuk mengurangi risiko bencana (UNDP, 2005:11). KMPB
terdiri dari anggota masyarakat yang dibentuk atas hasil keputusan bersama, sebab
masyarakat berhak melakukan segala usaha untuk mengurangi risiko dan dampak
bencana. Tugas utama KMPB adalah membuat perencanaan untuk mengurangi
dampak bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Karena itu anggota KMPB
harus dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban. Orang-orang yang sehat secara fisik dan mental, serta mampu mengatasi
tekanan akibat bencana dapat menjadi anggota KMPB. Di sini pemuka pendapat
berperan penting, terutama dalam membentuk KMPB dan mengkoordinir
penanggulangan bencana di lingkungannya. Besarnya jumlah anggota KMPB ini
tergantung pada besarnya wilayah dan besarnya cakupan kemungkinan bencana.
Untuk sebuah desa di Indonesia, yang rata-rata mempunyai 500 keluarga, anggota
yang diperlukan untuk membentuk KMPB adalah 45 orang. Anggota kelompok
tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian tugas yaitu penanggulangan,
operasional, komunikasi dan kesejahteraan.
Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dapat dilakukan dengan
menempatkannya sebagai koordinator KMPB. Tugas koordinator KMPB adalah
berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Satgas PB untuk mendapatkan atau
memberikan informasi yang dibutuhkan. Koordintor juga harus dapat bekerjasama
dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan masyarakat. Sebab
koordinator bertanggungjawab atas kelancaran arus informasi, pemecahan
masalah dan pemenuhan kebutuhan organisasi di setiap tahap penanggulangan
bencana. Dengan berperannya pemuka pendapat dalam KMPB maka komunikasi
101
penanggulangan bencana dapat dilakukan secara efektif. Berdasarkan manajemen
organisasi penanggulangan bencana partisipatif tersebut dihasilkan manajemen
komunikasi penanggulangan bencana. Manajemen komunikasi penanggulangan
bencana dapat dilihat pada Gambar 16.
Komunikator
BNPB
BPB Provinsi
BBP Kabupaten/Kota
Pesan
• Kebijakan penanganan bencana (tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi)
• Kebijakan kesiapsiagaan menghadapi
bencana
Umpan balik
Laporan pelaksanaan
program penanganan
bencana (tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi)
dan kesiapsiagaan
menghadapi bencana
Media
Tatap muka dan media komunikasi
Komunikan
Satgas PB
Komunikator
Umpan balik
Data jumlah korban,
kerusakan perumahan,
kerusakan fasilitas umum,
aspirasi masyarakat serta
ketersediaan sumber daya
lokal untuk penanganan dan
kesiapsiagaan menghadapi
bencana
Pesan
• Program penanganan bencana (tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi)
• Program kesiapsiagaan menghadapi
bencana
Media
Tatap muka dan media komunikasi
Komunikan
Pemuka pendapat/ koordiator KMPB
Komunikator
Pesan
• Penanganan bencana (tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi)
• Kesiapsiagaan menghadapi bencana
Media
Tatap muka dan media komunikasi
Umpan balik
Informasi jumlah korban,
kerusakan, kebutuhan
masyarakat serta
ketersediaan sumber daya
lokal untuk penanganan dan
kesiapsiagaan menghadapi
bencana
Komunikan
Masyarakat korban bencana
Gambar 16. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana
102
Proses komunikasi penanggulangan bencana diawali dengan penyampaian
pesan-pesan kebijakan penanggulangan bencana pemerintah melalui BNPB.
Secara struktural, kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada BNP Provinsi
hingga BNP Kabupaten/ Kota. Di tingkat operasional, pesan-pesan tersebut
disampaikan kepada Satgas PB melalui rapat koordinasi dan media komunikasi
penanggulangan bencana. Satgas PB yang terdiri dari berbagai elemen pemerintah
dan masyarakat kemudian merencanakan kegiatan komunikasi penanggulangan
bencana agar kebijakan tersebut diterima masyarakat. Untuk kelancaran
komunikasi dan pelibatan sumber daya lokal, dilakukan koordinasi dengan
pemuka pendapat atau koordinator KMPB.
Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program penanggulangan
bencana kepada masyarakat melalui komunikasi tatap muka dalam rapat
kelompok masyarakat. Melalui rapat kelompok, kebijakan dan program
penanggulangan bencana didiskusikan untuk mendapatkan respons dari
masyarakat. Respons dalam kondisi darurat berupa data jumlah korban, kerusakan
perumahan, kerusakan fasilitas umum dan kebutuhan dasar masyarakat. Respons
tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yaitu data kerusakan perumahan dan fasilitas
umum. Sedangkan respons kesiapsiagaan berupa ketersediaan sumber daya lokal
untuk menghadapi bencana.
Respons masyarakat tersebut kemudian disampaikan kepada Satgas PB agar
dapat disinergikan dengan kebijakan dan program penanganan bencana BNPB.
Dengan model komunikasi tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif dalam
penanggulangan bencana melalui pelatihan dan penyuluhan. Komunikasi
partisipatif ini melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Komunikasi penanggulangan bencana
partisipatif berdampak pada keberhasilan program penanggulangan bencana
karena pelaksanaan seluruh proses kegiatan dilakukan masyarakat dengan tetap
mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar pelaksanaan program BNPB. Selain itu,
transparansi dan akuntabilitas penyaluran bantuan dapat dipertanggungjawabkan,
karena setiap langkah dan kegiatan dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
103
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1..Secara umum karakteristik personal pemuka pendapat berbeda-beda setiap
individu. Usia responden merupakan usia produktif dengan perbandingan
persentase pria dan wanita cukup representatif. Sebagian besar responden
bekerja sebagai pegawai swasta dengan tingkat pendidikan dan rataan
pendapatan cukup tinggi. Berdasarkan keaktifan dan partisipasinya di
masyarakat, ketokohan yang banyak berperan yaitu tokoh sosial.
2. Sebagian besar responden merespons media massa antara 3 – 5 jam dalam
satu minggu dengan tujuan menambah pengetahuan dan mendapatkan
informasi kebijakan penanganan bencana. Sedangkan rataan komunikasi
dengan pelaksana penanganan bencana dua kali dalam satu minggu untuk
mencari informasi. Sebagian besar responden merespons positif opini yang
berkembang di masyarakat serta mendukung penanganan bencana yang
dilakukan pemerintah dan LSM. Prosedur penanganan bencana dianggap
sudah sesuai, namun responden sebagian besar memilih penyaluran bantuan
langsung dengan alasan lebih tepat sasaran.
3..Keragaan kelompok memiliki rataan skor tinggi, terutama kekompakan
kelompok, suasana kelompok dan tujuan kelompok. Kondisi ini menunjukkan
keberadaan kelompok masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan
penanganan bencana.
4. Pemuka pendapat banyak terlibat dalam komunikasi penanganan bencana di
Kabupaten Bantul. Hasil analisis pemberdayaan komunikasi pemuka
pendapat dalam penanganan bencana memiliki rataan skor tinggi. Faktor
komunikasi yang berperan yaitu sebagai komunikator dan komunikan bagi
pelaksana penanganan bencana dan masyarakat sesuai dengan perannya
dalam kegiatan penanganan bencana. Kondisi ini menunjukkan peran
komunikasi pemuka pendapat diperlukan dalam penanganan bencana, karena
dapat menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan dan program
pelaksana penanganan bencana.
104
5..Hasil analisis secara umum membuktikan bahwa pemberdayaan komunikasi
pemuka pendapat dalam penanganan bencana dipengaruhi secara nyata oleh
keragaan kelompok masyarakat. Sedangkan peubah karakteristik personal
dan perilaku komunikasi pemuka pendapat memiliki banyak peubah yang
tidak berpengaruh nyata. Namun secara bersama-sama peubah penting dalam
penanganan bencana seperti ketokohan, intensitas pertemuan dengan
pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok berpengaruh
nyata terhadap penyediaan hunian sementara. Berdasarkan analisis mendalam
kemudian dihasilkan konsep manajemen organisasi penanggulangan bencana
yang partisipatif dan manajemen komunikasi penanggulangan bencana yang
efektif.
5.2. Saran
1..Komunikasi pemuka pendapat harus diberdayakan dalam setiap kegiatan
penanganan bencana, karena pemuka pendapat banyak berperan dan
memperlancar proses penanganan bencana. Peran pemuka pendapat tersebut
bagi masyarakat sebagai sumber informasi serta penghubung aspirasi
masyarakat kepada pelaksana penanganan bencana. Sedangkan bagi
pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat sebagai sumber informasi
untuk pertimbangan penentuan kebijakan pelaksanaan penanganan bencana
serta menyampaikannya kepada masyarakat.
2..Melihat sering terjadinya bencana alam di Indonesia, sebaiknya pemerintah
maupun LSM yang memiliki program penanganan bencana dapat
berkomunikasi dengan pemuka pendapat, agar program penanganan bencana
tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Untuk melaksanakan manajemen komunikasi penanggulangan bencana yang
efektif perlu didukung manajemen organisasi penanggulangan bencana
partisipatif yang bersifat struktural, operasional dan koordinatif. Manajemen
organisasi dan komunikasi penanggulangan bencana tersebut harus dirancang
dengan melibatkan masyarakat melalui pemuka pendapat sejak perencanaan,
pelaksanaan hingga pertanggungjawaban.
105
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis).
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Ardianto, E dan L. K. Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa. Suatu Pengantar.
Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Arga, D. 2006. Quo Vadis Kebijakan Penanganan Bencana Jogja. Dokumen
http://www.walhi-jogja.or.id. Akses 15 Desember 2006.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Bakornas PBP. 2005. Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya
Mitigasinya di Indonesia. Biro Mitigasi Badan Koordinasi Nasional
Penanggulaangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta.
BPS Kabupaten Bantul, 2006. Bantul dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Bappenas. 2006. Sistem Koordinasi dan Pelaksanaan Kegiatan Pasca Gempa di
Provinsi DIY-Jateng. Presentasi Direktur Kewilayahan II Bappenas, Jogja,
14 Juli 2006.
BRR NAD-Nias, 2005. Meletakkan Fondasi Membangun Harapan. Laporan
Kegiatan Enam Bulan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. BRR NAD-Nias, Banda Aceh.
Carmelita, M. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pola Komunikasi
Kelompok pada Proses Pengambilan Keputusan Inovasi. Tesis pada
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
DeVito, J. A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar (Terjemahan).
Professional Books, Jakarta.
Effendy, O. U. 2002. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
___________. 2004. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Hardt, H. 1992. Critical Communication Studies. Jalasutra, Yogyakarta.
Hasan, M. I. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
106
Hasani, Y. 2004. Efektivitas Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penyelesaian
Konflik Masyarakat di Maluku Utara. Tesis pada Sekolah Pascasarjana
IPB, Bogor.
Hidayati, D. 2005. Panduan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat. Jurnal
Komunika 8 (1) : Halaman 56.
Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press,
Bandung.
Horton, P. B dan C. L. Hunt. 1999. Sosiologi (Terjemahan). Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Hubeis, A.V.S. 2001. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Dalam Prosiding Seminar
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat
Madani. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
IDEP. 2005. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Yayasan IDEP,
Bali.
Ife, J. 1995. Community Development. Longman, Australia.
Kerlinger, F. N. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral (Terjemahan). Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.
KOMPAS, 2005. Presiden: Lemah, Pengendalian Penanganan Bencana Aceh.
Harian KOMPAS, Sabtu, 15 Januari 2005.
KONTAN. 2006. Sekretaris Daerah DIY: Jangan Gunakan Pendekatan. Tabloid
KONTAN, No. 36 Tahun X, 12 Juni 2006.
Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Mataair. 2006. Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Volume III No. 3 Juni – Juli 2006.
MPBI, Jakarta.
MPBI. 2006. Piagam Rakyat Berdaya Siaga. Dokumen http://www.mpbi.org
Akses 3 Januari 2007.
Mulyana, D. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
_________. 2002. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya, Bandung.
107
Mutakin, A dan G. K. Pasha. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta.
Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Pace, R. W. dan D. F. Faules. 2005. Komunikasi Organisasi (Terjemahan).
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Paripurno, E. T. 2001. Manajemen Bencana Berbasis Komunitas: Seperti Apa ?
Bahan Diskusi pada Lokalatih Manajemen Bencana Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakarta pada Tanggal 30 – 31 Januari 2001.
Pemda DIY. 2006. Info Gempa DIY. Dokumen http://www.pemda-diy.org. Akses
15 Desember 2006.
Poerwandari, K. 2005. Psikologi Korban Pasca Bencana. Jurnal Perempuan No.
40, Maret 2005. Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Prasetyo, H. 2004. Manajemen Bencana. Dokumen http://www.walhi.or.id. Akses
21 Nopember 2006.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - ESDM. 2006. Pengenalan
Gempa Bumi. Departemen ESDM, Jakarta.
Rakhmat, J. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Riduwan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung.
Robbins, S. P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi (Terjemahan). Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Rogers, E. M. 1995. Diffusion of Innovations. The Free Press, New York.
___________ dan F. F. Shoemaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru
(Terjemahan). Usaha Nasional, Surabaya.
Rozaki,
A.
2007.
APBD
Partisipatif
Pascagempa.
http://www.ireyogya.org. Akses 2 Januari 2007
Dokumen
Ruslan, R. 2004. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi. Konsepsi
dan Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, Jakarta.
Santoso, S. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
108
Setiana, L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia
Indonesia, Bogor.
Setyowati, Y. 2005. Komunikasi Partisipatif: Pendekatan Pengembangan
Masyarakat. Dalam Komunikasi Pemberdayaan. AMPD Press,
Yogyakarta.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta.
Soesilowati, E. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Lapisan Bawah. Kasus Kegiatan
LSM di Jawa Tengah. Tesis pada Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Sphere, P. 2006. Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons
Bencana (Terjemahan). Grasindo, Jakarta.
Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika
Aditama, Bandung.
Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman
Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suryo, R. 2005. Komunikasi Bencana. Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 4
Januari 2005.
Thoha, M. 1991. Kepemimpinan dalam Manajemen. Penerbit CV. Rajawali,
Jakarta.
Triton, P. B. 2006. SPSS 13.0 Terapan. Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Tubbs, S. L. dan S. Moss. 2001. Human Communication: Konteks-konteks
Komunikasi (Terjemahan). Remaja Rosdakarya, Bandung.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dokumen
DPR RI. Http://www.dpr.go.id. Akses 27 Desember 2007.
UNDP. 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana. Modul Pelatihan
Manajemen Bencana UNDP/UNDRO, Jakarta.
Winardi, Rahardjo, Sugiantoro, Leksono dan Darmawan. 2006. Gempa Jogja,
Indonesia dan Dunia. PT Mediarona Dirgantara, Jakarta.
Wuryantari, T. 2005. Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap
Bencana (Terjemahan). MPBI, Jakarta.
Download