PEMBERDAYAAN KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT DALAM PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI DI YOGYAKARTA (Kasus Kabupaten Bantul) MUHAMMAD BADRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2008 Muhammad Badri P 054050071 ABSTRACT MUHAMMAD BADRI. Communication empowerment for opinion leaders in the post-disaster handling of earthquake in Yogyakarta (case in Bantul). Under direction of H. MUSA HUBEIS and MAKSUM. This research aiming to know communication empowerment for opinion leaders in the post-disaster handling of the Yogyakarta earthquake, especially in Bantul Regency. The analysis was held to find out the opinion leader's personal characteristics, opinion leader's communication behavior, community group, opinion leader's communication empowerment in the post-disaster handling and also the influence of the opinion leader's personal characteristics, opinion leader's communication behavior, community group, for opinion leader's communication empowerment in the post-disaster handling of the Yogyakarta earthquake. This research was designed as survey methods, using simple random sampling methods for 91 respondents. The analysis was done by descriptive frequency, Chi-Square and multiple regression. The result shown that opinion leader's occupation has influence to the basic social service in the opinion leader's communication empowerment in disaster handling. Opinion leader's salary has influence to the program information. Personage has influence to the basic social service. Opinion leader's responses to mass media has influence to the victim rescue stage. Community group has real influence to the empowerment disaster handling communication. Group structure occupation has strong influence to the temporary housing. Group building has strong influence to the reconstruction housing. Group cohesion has strong influence to all activity of the empowerment disaster handling communication. Group atmosphere has strong influence to the temporary housing. Group pressure influence to the mental rehabilitation only. Group direction has strong influence to the temporary housing. The communication empowerment for opinion leaders is necessary to successful the post-disaster handling program. Keyword: communication empowerment, opinion leaders, disaster handling, earthquake, Yogyakarta. RINGKASAN MUHAMMAD BADRI. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul). Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS dan MAKSUM. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan gempa tinggi. Gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah menyebabkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Pemerintah melalui BAPPENAS menetapkan kebijakan penanganan bencana yang didasarkan pada tiga program utama, yaitu (1) tanggap darurat, (2) rehabilitasi, dan (3) rekonstruksi. Bertolak dari hal tersebut dan pengalaman penanganan bencana sebelumnya, maka untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam penanganan bencana diperlukan pemberdayaan komunikasi yang terarah, kontinu dan terencana antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok masyarakat, serta pengaruhnya terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan disebabkan daerah tersebut mengalami kerusakan paling parah dibandingkan kabupaten lainnya. Desain penelitian berupa metode survei dengan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer. Pengambilan contoh dilakukan dengan teknik non-probability sampling yang menggunakan cara purposif. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 91 orang pemuka pendapat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows, yaitu statistik deskriptif, Khi-kuadrat (χ2) dan analisis regresi linear berganda. Analisis Khi-kuadrat (χ2) digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi (fo) dengan frekuensi yang diharapkan (fe) dari contoh apakah terdapat hubungan atau perbedaan nyata atau tidak. Sedangkan analisis regresi linear berganda untuk menganalisis pengaruh dua peubah bebas atau lebih terhadap peubah tidak bebas untuk membuktikan ada tidaknya suatu hubungan kausal. Hasil penelitian dengan analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara umum karakteristik personal pemuka pendapat berbeda-beda setiap individu. Usia responden merupakan usia produktif dengan tingkat pendidikan sebagian besar SLTA hingga sarjana, sehingga memiliki kemampuan yang baik dalam menerima dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebagian besar responden merespons media massa antara 3 – 5 jam dalam satu minggu dan melakukan kontak dengan pelaksana penanganan bencana untuk mencari informasi. Sebagian besar responden juga merespons positif opini yang berkembang di masyarakat, serta mendukung penanganan bencana yang dilakukan pemerintah dan LSM. Prosedur penanganan bencana dianggap sudah sesuai, namun responden sebagian besar memilih penyaluran bantuan langsung dengan alasan lebih tepat sasaran. Keragaan kelompok masyarakat memiliki skor tinggi yang menunjukkan bahwa keberadaan kelompok masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan penanganan bencana. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana juga memiliki rataan skor tinggi. Kondisi ini menunjukkan peran pemuka pendapat diperlukan dalam penanganan bencana, karena dapat menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan pemerintah dan program organisasi non pemerintah. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) secara umum menunjukkan bahwa pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana dipengaruhi secara nyata oleh keragaan kelompok masyarakat pada taraf nyata 0,05. Sedangkan peubah karakteristik personal dan perilaku komunikasi pemuka pendapat memiliki banyak peubah yang tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Hasil analisis regresi linear berganda terhadap beberapa peubah yang dianggap penting dalam penanganan bencana menunjukkan bahwa meskipun tidak semua peubah bebas berpengaruh nyata, tetapi secara bersama-sama ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bila tokoh masyarakat banyak terlibat dalam penanganan bencana di lingkungannya, kemudian menjadi fasilitator sosial dan kompak dengan kelompoknya, maka proses penanganan bencana di lingkungannya relatif lebih cepat dan berhasil. Penanganan bencana merupakan kegiatan yang mensinergikan program pemerintah dan partisipasi masyarakat korban bencana, sehingga faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan program penanganan bencana di masyarakat. Peran pemuka pendapat juga diperlukan dalam kegiatan penanganan bencana oleh lembaga non pemerintah yang biasanya cenderung partisipatif dan melibatkan banyak pihak dalam masyarakat. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana perlu ditingkatkan, karena pemuka pendapat banyak berperan dalam kegiatan penanganan bencana. Peran pemuka pendapat tersebut bagi masyarakat sebagai sumber informasi serta penghubung aspirasi masyarakat kepada pelaksana penanganan bencana. Sedangkan bagi pemerintah sebagai sumber informasi untuk pertimbangan penentuan kebijakan dan teknis pelaksanaan penanganan bencana. Mengingat seringnya terjadi bencana alam di Indonesia, sebaiknya pemerintah maupun LSM yang memiliki program penanganan bencana dapat memanfaatkan peran pemuka pendapat, agar program penanganan bencana tepat sasaran dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kata kunci: pemberdayaan komunikasi, pemuka pendapat, penanganan bencana, gempa bumi, Yogyakarta. © Hak cipta milik IPB tahun 2008 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah dalam bentuk apapun tanpa izin IPB PEMBERDAYAAN KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT DALAM PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI DI YOGYAKARTA (Kasus Kabupaten Bantul) MUHAMMAD BADRI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Nama NRP Program Studi : Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul) : Muhammad Badri : P 054050071 : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Ketua Drs. Maksum, MSi. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Tanggal Ujian : 19 Desember 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dra. Krishnarini Matindas, MS i PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Drs. Maksum, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memacu dan membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis, serta dengan sabar dan tulus telah memberikan bimbingan dan ilmunya kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi KMP Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS dan seluruh dosen pengasuh mata kuliah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta staf sekretariat KMP yang banyak membantu penulis dalam administrasi. Terimakasih kepada Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, serta staf administrasi SPs IPB yang selama ini banyak membantu dalam pengurusan administrasi. Terimakasih kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Bantul dan masyarakat Kecamatan Sewon yang banyak memberikan bantuan dalam pengumpulan data penelitian. Ucapan terimakasih juga kepada Pusat Studi Bencana UPN Yogyakarta dan Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI) yang membantu memberikan data dan informasi penanganan bencana, serta rekan-rekan mahasiswa Universitas Gajah Mada yang turut membantu proses penelitian. Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa KMP angkatan 2005 : Ponti, Alif, Selly, Firmanto, Ikhsan, Sukri, Farida, Anna, Deni, Albert, Haris, Yasinta, Etik, Fuad, Fahir, serta mahasiswa angkatan 2004 dan ii 2006, yang selama ini bekerjasama dalam studi dan interaksi. Terimakasih kepada rekan-rekan di Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB dan para sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih juga diucapkan kepada Tanoto Foundation yang telah memberi beasiswa pendidikan kepada penulis. Terima kasih mendalam penulis sampaikan kepada yang tercinta ibunda Sriatin dan ayahanda Kamaji yang selalu mendoakan keberhasilan penulis, serta adik-adik penulis yang telah memberi dukungan. Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan segala keterbukaan diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Bogor, Januari 2008 Penulis iii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar (Jawa Timur) pada tanggal 13 Maret 1981 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dengan ayah Kamaji dan ibu Sriatin. Tahun 1986 penulis mengikuti kedua orang tua dalam program transmigrasi yang ditempatkan di Propinsi Riau, kemudian menetap hingga sekarang. Pendidikan SD dan SLTP diselesaikan di Kabupaten Kuantan Singingi (Riau), sedangkan SLTA di SMUN 1 Talun Blitar, lulus tahun 1998. Setahun kemudian melanjutkan studi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Islam Riau dan lulus tahun 2004 dengan penghargaan sebagai wisudawan berprestasi. Sejak tahun 2002 – 2005 penulis bekerja sebagai jurnalis, desainer grafis dan kartunis di beberapa media cetak yang terbit di Riau, serta memberikan materi teknik jurnalistik dan penulisan kreatif di berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan. Tahun 2005 penulis diterima di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, kemudian menyelesaikannya tahun 2007. Selain mendalami studi komunikasi pembangunan, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, antara lain : Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi Forum Mahasiswa Pascasarjan IPB periode 2006 – 2007, Sekretaris Forum Mahasiswa Pascasarjana Riau di Bogor dan Forum Mahasiswa Pascasarjana KMP. Penulis juga menulis artikel ilmiah populer dan karya sastra seperti cerpen, puisi dan esai yang telah dipublikasikan di beberapa media massa, terangkum dalam beberapa buku, serta mendapatkan sejumlah penghargaan karya kreatif, antara lain : pemenang pertama lomba logo PPLH IPB (2006), pemenang pertama sayembara menulis cerpen nasional “Festival Kreativitas Pemuda” yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI (2006), pemenang “pengarang berbakat” lomba cerpen Parle Award (2007), pemenang pertama lomba cerpen nasional EscaevaBukukita (2007) dan pemenang pertama lomba cipta puisi nasional Raja Ali Haji Award (2007). Komunikasi dengan penulis dapat dilakukan melalui email : [email protected] atau di weblog : http://negeribadri.blogspot.com. iv DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ix I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang........................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 8 2.1. Komunikasi................................................................................ 8 2.2. Pemberdayaan............................................................................ 12 2.3. Kelompok Masyarakat............................................................... 16 2.4. Pemuka Pendapat....................................................................... 20 2.5. Bencana Alam............................................................................ 24 2.6. Manajemen Bencana.................................................................. 28 III. METODOLOGI PENELITIAN........................................................ 35 3.1. Kerangka Berpikir dan Hipotesis............................................... 35 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 38 3.3. Desain Penelitian ....................................................................... 38 3.4. Populasi dan Contoh .................................................................. 39 3.5. Pengumpulan Data..................................................................... 40 3.6. Validitas dan Reliabilitas........................................................... 41 3.7. Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 42 v IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 46 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian.......................................... 46 4.2. Karakteristik Personal Responden............................................. 53 4.3. Perilaku Komunikasi ................................................................. 57 4.4. Keragaan Kelompok .................................................................. 65 4.5. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana ...................................................... 70 4.6. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana......................... 86 4.7. Manajemen Komunikasi Penanggulangan Bencana.................. 97 V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 103 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 103 5.2. Saran .......................................................................................... 104 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 105 LAMPIRAN............................................................................................ 109 vi DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Skala modified mercalli intensity yang digunakan untuk menunjukkan intensitas guncangan gempa bumi ..................... 27 2. Populasi pemuka pendapat menurut ketokohan dan lokasi penelitian 39 3. Jumlah contoh penelitian menurut ketokohan dan lokasi penelitian .. 40 4. Jumlah desa, pedukuhan dan luas kecamatan di Kabupaten Bantul pada tahun 2005................................................ 47 5. Jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bantul pada tahun 2005.................................................................................. 48 6. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati .................. 53 7. Distribusi responden menurut respons terhadap media massa............ 57 8. Tujuan responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar ................................................................... 59 9. Manfaat responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar. .................................................................. 60 10. Intensitas pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana. ........................................................................ 61 11. Sikap terhadap opini publik. ............................................................. 63 12. Struktur kelompok masyarakat. ........................................................ 65 13. Pembinaan kelompok masyarakat..................................................... 66 14. Kekompakan kelompok masyarakat. ................................................ 67 15. Suasana kelompok masyarakat. ........................................................ 68 16. Tekanan kelompok masyarakat......................................................... 68 17. Tujuan kelompok masyarakat. .......................................................... 69 18. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyelamatan korban.. ........................................................... 71 vii 19. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian sementara.. .............................................. 73 20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program penanganan bencana.. ............................. 75 21. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar............................................................ 77 22. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental.................................................................. 79 23. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan kembali perumahan.. ...................................... 81 24. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar.. .................................. 83 25. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pemulihan sistem perekonomian............................................ 85 26. Pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana di Yogyakarta....................................... 88 27. Pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana di Yogyakarta....................................... 90 28. Pengaruh keragaan kelompok masyarakat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana di Yogyakarta....................................... 92 29. Pengaruh ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok terhadap penyediaan hunian sementara... ......................................... 95 viii DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Sosialisasi pemulihan pasca bencana .................................................. 3 2. Model komunikasi Berlo..................................................................... 11 3. Model komunikasi Lasswell ............................................................... 11 4. Manajemen bencana............................................................................ 30 5. Pengaruh karakteristik personal, perilaku komunikasi dan keragaan kelompok dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. .............. 37 6. Peta Kabupaten Bantul........................................................................ 46 7. Komunikasi dalam penyelamatan korban bencana ............................. 72 8. Komunikasi dalam penyediaan hunian sementara .............................. 74 9. Komunikasi dalam informasi program ............................................... 76 10. Komunikasi dalam pelayanan sosial dasar........................................ 78 11. Komunikasi dalam rehabilitasi mental.............................................. 80 12. Komunikasi dalam pembangunan kembali perumahan .................... 82 13. Komunikasi dalam perbaikan prasaranan dan sarana dasar.............. 84 14. Komunikasi dalam pemulihan sistem perekonomian ....................... 86 15. Manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif ........... 99 16. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana........................... 101 ix DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Surat ijin penelitian ............................................................................. 110 2. Kuesioner penelitian ........................................................................... 114 3. Data deskriptif hasil penelitian. .......................................................... 125 4. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana program SPSS 13.0 for Windows......................................................... 137 5. Hasil uji regresi berganda pengaruh karakteristik personal, perilaku komunikasi dan keragaan kelompok masyarakat secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana di yogyakarta program SPSS 13.0 for Windows......................................................... 145 6. Uji reliabilitas...................................................................................... 149 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai dan banjir. Bencana tersebut datang hampir setiap tahun, yang terbesar antara lain gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004, serta gempa bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Bencana alam geologis yang sering terjadi yaitu gempa bumi, merupakan fenomena alam yang sulit diprediksi kedatangannya sampai sekarang. Indonesia sangat rawan gempa karena dekat dengan lempeng-lempeng aktif yang saling berhubungan satu sama lain dan karena adanya gunung-gunung berapi aktif. Berbagai permasalahan sering muncul dalam penanganan bencana, yang menunjukkan bahwa negara ini tidak siap menghadapi musibah tersebut. Hal itu disebabkan Indonesia belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik. Sebagai contoh, penanganan bencana di NAD terdapat kelemahan dalam proses komunikasi dan informasi yang mengakibatkan koordinasi penanganannya menjadi tumpang tindih. Padahal jika sejak awal pemerintah didukung semua elemen masyarakat dapat mempergunakan sarana komunikasi yang memadai, niscaya hal tersebut tidak akan terjadi. Masalah komunikasi dalam penanganan tragedi tsunami cukup vital karena menyangkut komunikasi dalam penanganan internal bencana dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat (Suryo, 2005:1). Penanganan bencana di NAD juga terdapat titik lemah dalam hal pengorganisasian, koordinasi, serta komando dan pengendalian (kodal). Meskipun sumber daya, baik dalam maupun luar negeri cukup tersedia, tanpa pengorganisasian, koordinasi dan kodal yang efektif, hasil yang dicapai tidak akan optimal. Karena itu, perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan yang sungguhsungguh dengan menerapkan praktik manajemen yang profesional dan kepemimpinan yang efektif. Agar permasalahan tersebut tidak terulang pemerintah membuat langkah-langkah strategis antara lain (1) Peningkatan efektivitas pengorganisasian, koordinasi dan kodal; (2) Percepatan pengefektivan evakuasi 2 jenazah; (3) Percepatan relokasi pengungsi; (4) Perawatan bagi yang terluka dan sakit; (5) Pengelolaan bantuan negara sahabat dan bantuan dalam negeri; (5) Kkesinambungan pasokan logistik; (6) Pengelolaan transportasi darat, laut dan udara; serta (7) Intensifikasi kegiatan komunikasi publik (KOMPAS, 2005:1). Buruknya komunikasi dan koordinasi penanganan bencana NAD tersebut berdampak terhadap pada tertatanya mekanisme transisi ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi di ujung fase tanggap darurat pada 25 Maret 2005 (BRR NAD-Nias, 2005:22). Kondisi tersebut kemudian membuka kesadaran bersama bahwa manajemen bencana di Indonesia masih jauh dari harapan. Pemahaman terhadap manajemen bencana selama ini terabaikan dan dianggap bukan prioritas karena bencana hanya datang sewaktu-waktu. Berdasarkan pengalaman tersebut maka pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kesadaran membangun kerjasama dalam manajemen bencana melalui komunikasi yang efektif, terutama dalam penanganan pasca bencana. Bencana alam terbesar setelah tsunami di NAD dan Nias yaitu gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta. Data Media Center Pemda DIY menyebutkan jumlah korban di Yogyakarta sebanyak 4.715 orang meningggal dunia, 19.381 orang luka berat, dan 8.422 orang luka ringan. Kemudian 109.100 rumah rusak berat dan roboh, 123.930 rumah rusak sedang, dan 174.988 rumah rusak ringan. Untuk fasilitas umum 1.180 tempat ibadah, 2378 sekolah, dan 216 bangunan pemerintah mengalami kerusakan baik berat maupun ringan. Dari lima Kabupaten/Kota yang ada di Yogyakarta kerusakan paling parah dialami Kabupaten Bantul (Pemda DIY, 2006:3). Kabupaten Bantul mengalami kerusakan paling parah karena dekat dengan pusat gempa. Dari keseluruhan jumlah korban dan kerusakan, di Kabupaten Bantul terdapat 4.280 korban meninggal dunia, 12.023 luka berat dan 28.939 bangunan roboh. Berdasarkan data tersebut dapat diasumsikan bahwa penanganan bencana di Kabupaten Bantul memerlukan waktu lama. Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menetapkan kebijakan penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta sampai dengan Desember 2008. Kebijakan tersebut didasarkan pada tiga program utama, yaitu (1) Tanggap darurat, (2) Rehabilitasi dan (3) Rekonstruksi (BAPPENAS, 2006: 6). 3 Berikut ini disajikan tahapan penanganan bencana gempa bumi Yogya – Jateng yang disusun BAPPENAS (Gambar 1). PEMULIHAN PENYELAMATAN Waktu 1 bulan Bulan ke-2 – ke-12 Bulan ke-7 - ke-24 TANGGAP DARURAT REHABILITASI REKONSTRUKSI Tujuan: Penyelamatan jiwa Tujuan: Pemulihan standar pelayanan minimum seperti : Tujuan: Pembangunan kembali seluruh sistem meliputi : Pelayanan publik Pelayanan sosial dasar Prasarana dan sarana dasar Pemulihan fasilitas perekonomian Pembangunan kembali perumahan Rehabilitasi mental Sistem ekonomi (produksi, perdagangan, perbankan) Sistem transportasi Sistem telekomunikasi Pemulihan sosial dan budaya Pemulihan kelembagaan Tanggap darurat Pembangunan dapur umum Penyelamatan korban yang masih hidup Pembersihan puing runtuhan bangunan Penyediaan hunian sementara Gambar 1. Sosialisasi penanganan bencana (BAPPENAS, 2006: 6) Penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta, awalnya mengalami keterlambatan pemberian bantuan karena masalah jalur komunikasi antara pusat dan daerah. Hal itu disebabkan ketidakjelasan komunikasi dan pengaturan hubungan kerja antara BAKORNAS PBP, SATKORLAK PBP dan SATLAK PBP. Permasalahan tersebut antara lain terjadi pada pengaturan distribusi bantuan, sehingga terjadi tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif tersebut. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat korban bencana sehingga penyalahkan pemerintah daerah setempat (KONTAN, 2006:1). Dalam rangka pengambilan peran dalam penanganan bencana ini, sejumlah elemen masyarakat mengadakan Kongres Rakyat Sadar Bencana yang 4 diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 29 November - 2 Desember 2006. Kongres ini melahirkan Piagam Rakyat Berdaya dan Siaga (Raberdasi) dengan prinsipprinsip sebagai berikut : (1) Rakyat sebagai subyek, basis dan sumber dalam pengelolaan bencana; (2) Akses terhadap hak atas bantuan, informasi, dan pengambilan keputusan dijamin oleh undang-undang; (3) Berdaya dalam pengelolaan resiko bencana, saat dan sesudah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender dan kearifan lokal; (4) Ekonomi kerakyatan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagai inti pemberdayaan dalam penanggulangan bencana; (5) Risiko harus dikelola dengan mengedepankan penyediaan sumber daya yang memadai pada situasi normal sebelum bencana terjadi; (6) Demokratisasi dalam pengambilan kebijakan; (7) Advokasi untuk tranformasi struktur dan sistem nasional dan global yang memihak pada pembangunan yang berkelanjutan; (8) Solidaritas sosial yang saling menguatkan dan tidak diskriminatif dengan perhatian khusus kepada rakyat paling rentan; (9) Inisiatif dari rakyat harus menjadi prioritas dalam penanggulangan bencana (MPBI, 2006:3). Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam penanganan bencana diperlukan komunikasi timbal balik antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat. Pemuka pendapat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan status sosial lebih tinggi dari anggota masyarakat lainnya, sehingga menjadi anutan masyarakat sekitarnya. Pemuka pendapat juga mempunyai pengaruh kuat dalam menggerakkan massa pada berbagai perubahan yang dikehendaki, serta mempunyai kemampuan hubungan ke luar yang lebih luas. Peran pemuka pendapat sebagai orang yang mewakili anggota masyarakat diharapkan berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dengan satuan pelaksana penanganan bencana. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pemuka pendapat merupakan garda depan keberhasilan program penanganan bencana melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP), yaitu wadah yang bersifat non struktural bagi penanggulangan bencana yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. BAKORNAS PBP mempunyai tugas (1) Merumuskan kebijaksanaan penanggulangan bencana dan memberikan pedoman atau pengarahan, serta 5 mengkoordinasikan kebijaksanaan penanggulangan bencana, baik dalam tahap sebelum, selama maupun setelah bencana terjadi secara terpadu, dan (2) Memberikan pedoman dan pengarahan garis-garis kebijaksanaan dalam usaha penanggulangan bencana, baik secara preventif, represif maupun rehabilitatif yang meliputi pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk mengkomunikasikan dan mengendalikan pelaksanaan tugas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di wilayah Daerah/ Propinsi, dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK PBP). Kemudian untuk koordinasi di wilayah kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana (SATLAK PBP). Sebagai pelaksana operasional di lapangan SATLAK PBP dapat membentuk satuan tugas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi guna melaksanakan tugas penyelamatan korban bencana, memberikan bantuan kesehatan, memberikan bantuan sosial dan pelayanan umum kepada korban bencana serta penanganan bencana yang terjadi. Salah satu tugas dan wewenang lembaga tersebut sebagai pusat informasi dan komunikasi, meliputi : (1) Pusat data penanganan bencana, (2) Pusat koordinasi peringatan dini, (3) Pertemuan rutin dan insidental, serta (4) Publikasi dan hubungan mansyarakat. Berdasarkan jenjang komunikasi BAKORNAS PBP tersebut, komunikasi dengan pemuka pendapat dilakukan dengan melibatkannya sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan program penanganan bencana. Hal ini juga dirumuskan dalam Kerangka Kerja Hyogo 2005 – 2015 (Wuryantari, 2005: 57) yang menyebutkan bahwa baik komunitas dan pihak berwenang di tingkat lokal harus diberdayakan dalam mengelola dan meredam resiko bencana dengan mempunyai akses terhadap informasi, sumber daya dan pihak berwenang yang diperlukan dalam melaksanakan aksi-aksi pengurangan risiko-risiko bencana. Komunikasi pemuka pendapat ini dapat diberdayakan dengan menempatkannya sebagai penghubung komunikasi pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat. Dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat, penyampaian pesan-pesan pelaksana penanganan bencana kepada masyarakat dapat lebih efektif. Pemuka pendapat juga berperan sebagai sumber informasi bagi pelaksana penanganan bencana, terutama untuk mendapatkan informasi mengenai data kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat korban bencana. 6 1.2. Perumusan Masalah Pada tahap awal penanganan pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta terdapat beberapa kelemahan antara lain ketidakjelasan peraturan pemerintah, koordinasi penanganan bencana yang lemah, munculnya pertarungan aspirasi masyarakat lokal dengan pemerintah. Dari persoalan tersebut kemudian memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten menjadi persoalan dilematis bagi pemerintah daerah. Kekecewaan warga korban bencana diluapkan kepada pemerintah daerah dengan protes dan aksi unjuk rasa. Pada posisi itulah pemerintah daerah harus lebih aspiratif mendengarkan suara masyarakat (Arga, 2006:1). Untuk wilayah Kabupaten Bantul yang merupakan daerah paling parah di Yogyakarta, banyak pekerjaan yang perlu segera dituntaskan untuk mendorong percepatan penanganan bencana. Hal ini juga ditegaskan para tokoh masyarakat dan birokrat di Bantul bahwa untuk percepatan pemulihan harus ada kekuatan di dalam masyarakat untuk bangkit dan adanya sikap tidak terlalu banyak berharap terhadap bantuan dari lembaga donor (Rozaki, 2007:1). Melihat permasalahan dalam penanganan bencana tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pemuka pendapat adalah sumber informasi atau pendapat bagi para pengikutnya. Pentingnya komunikasi pemuka pendapat ini dikarenakan pemuka pendapat memiliki prakarsa dalam komunikasi dengan mengambil kesempatan-kesempatan menghubungi anggota masyarakat untuk menyebarluaskan pesan-pesan penanganan bencana. Sebaliknya masyarakat juga sering menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi. Oleh karena itu, pemuka pendapat di Kabupaten Bantul menjadi bahan pertimbangan penelitian pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta. Berbagai studi dan hasil penelitian menunjukkan bahwa peran seseorang dipengaruhi oleh karakteristik personal dan situasionalnya. Maka dari itu karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok menjadi peubah bebas dalam penelitian. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi 7 pemuka pendapat, serta hubungannya dengan karakteristik personal dan situasionalnya dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul, maka perlu dilakukan suatu penelitian. Sehubungan dengan itu, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ? 2. Bagaimanakah komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ? 3. Bagaimanakah keragaan kelompok di Kabupaten Bantul ? 4. Bagaimanakah pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ? 5. Seberapa besar pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul 2. Mengetahui perilaku komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul 3. Mengetahui keragaan kelompok di Kabupaten Bantul 4. Menetapkan faktor-faktor pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat apakah yang diperlukan dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul. 5. Menganalisis pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Pengertian komunikasi secara umum dapat dilihat dari dua segi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis atau menurut kata asalnya, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang artinya sama, dalam arti sama makna, yaitu sama makna mengenai sesuatu hal. Jadi, komunikasi berlangsung apabila antara orangorang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan dalam pengertian paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media. Dalam definisi paradigmatis ini tersimpul tujuan, yakni memberitahu atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion) atau perilaku (behavior) (Effendi, 2002:4). Komunikasi juga disebut sebagai tindakan satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk memperoleh umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidaktidaknya memiliki tiga dimensi : fisik, sosial-psikologis dan temporal. Dimensi fisik adalah ruang atau tempat dimana komunikasi berlangsung, misalnya di ruang kantor, ruang kelas dan sebagainya. Dimensi sosial-psikologis adalah lingkungan komunikasi yang diatur oleh norma atau budaya masyarakat, dimana komunikasi dapat dilakukan, misal komunikasi yang diperbolehkan pada suatu pesta wisuda mungkin tidak dibolehkan di rumah sakit. Komunikasi dalam dimensi temporal berhubungan dengan waktu komunikasi berlangsung, misalnya bagi banyak orang pagi hari bukanlah waktu ideal untuk berkomunikasi, tetapi bagi orang lain merupakan waktu ideal. Tiga dimensi tersebut satu sama lain saling berhubungan 9 dan berinteraksi, di mana masing-masing konteks saling mempengaruhi dan dipengaruhi (DeVito, 1997:23). Mulyana (2002:61) mencatat setidaknya ada tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu-arah, suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu-arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik (feed back), yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan Mulyana (2002:65-66). Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Berdasarkan konseptualisasi ini, komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Menurut pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap pihak dianggap sumber sekaligus juga penerima pesan Mulyana (2002:67). Peran komunikasi menurut Ruslan (2005:80) sangat penting bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan fungsi komunikasi yang bersifat persuasif, edukatif dan informatif. Sebab tanpa komunikasi, maka tidak adanya proses interaksi seperti saling tukar ilmu pengetahuan, pengalaman, pendidikan, persuasi, informasi 10 dan lain sebagainya. Proses penyampaian informasi/pesan tersebut pada umumnya berlangsung melalui suatu media komunikasi, khususnya bahasa percakapan yang mengandung makna yang dapat dimengerti atau dalam lambang yang sama. Pengertian pemakaian bahasa dapat bersifat konkrit atau abstrak. Konsep komunikasi mencakup pemanfaatan dan penerapan sarana komunikasi, yang terbentang mulai dari penggunaan bahasa hingga produksi dan reproduksi realitas sosial melalui media. Raymond Williams dalam Hardt (2005:12) pernah menawarkan pengingat yang tepat mengenai sentralitas komunikasi dalam studi kemasyarakatan, yaitu “sebuah definisi bahasa, secara eksplisit atau implisit, mengingatkan tentang manusia di dunia”. Hal tersebut merupakan ajakan untuk memperhitungkan dimensi kultural komunikasi, yang merupakan bidang di balik batas-batas tradisional disiplin akademis dan menjadi suatu kawasan penyelidikan kultural. Berkaitan dengan itu Mulyana (1999:193-194) mengatakan terdapat banyak model komunikasi. Ada definisi (model) yang mengisyaratkan komunikasi satu arah, ada pula definisi yang tujuannya untuk mempengaruhi (sikap atau perilaku) dan ada pula yang mentikberatkan bahwa komunikasi itu harus disengaja. Namun satu hal yang pasti, pernyataan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses telah diterima secara luas. Proses adalah suatu interaksi berkesinambungan dari sejumlah besar faktor, dimana setiap faktor mempengaruhi setiap faktor lainnya, semuanya pada saat yang sama. Pendekatan proses memandang peristiwaperistiwa dan hubungan-hubungan sebagai dinamika, selalu berubah dan berkesinambungan. Model komunikasi yang dikenal luas adalah model David K. Berlo yang dikenal dengan model SMCR, kepanjangan dari Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran) dan Receiver (penerima). Dalam situasi tatap muka, kelompok kecil dan komunikasi publik (pidato), saluran komunikasinya adalah udara yang menyalurkan gelombang suara. Dalam komunikasi massa, terdapat banyak saluran : televisi, radio, surat kabar, buku dan majalah. Menurut Berlo, sumber dan penerima pesan dipengaruhi oleh faktor-faktor : keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial dan budaya. Pesan dikembangkan berdasarkan elemen, struktur, isi, perlakuan dan kode. Salurannya berhubungan 11 dengan panca indra : melihat, mendengar, menyentuh, membaui, dan merasai (Mulyana, 2002: 150-151). S M Keterampilan C Elemen Melihat Struktur R Keterampilan Sikap Mendengar Sikap Pengetahuan Menyentuh Pengetahuan Membaui Sistem Sosial Merasai Budaya Isi Sistem Sosial Kode Perlakuan Budaya Gambar 2. Model Komunikasi Berlo (Mulyana, 2002:151) Untuk memahami pengertian komunikasi secara efektif, para peminat komunikasi sering mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell. Paradigma Lasswel menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur yaitu komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan (coomunicant, communicatee, receiver, recipient) dan efek (effect, impact, influence). Berikut ini model proses komunikasi yang dikemukakan Harold Lasswell (Effendi, 2004:18). Sender (Komunikator) Message (Pesan) Channel (Media) Receiver (Komunikan) Effect (Umpan balik) Gambar 3. Model Komunikasi Lasswell (Effendi, 2004:18) 12 Penegasan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi di atas adalah sebagai berikut : 1. Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. 2. Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 3. Channel : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan. 4. Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. 5. Effect : Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator. 2.2. Pemberdayaan Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan membuat orang lain melakukan apa yang diinginkannya, terlepas dari keinginan dan minatnya yang berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mendapatkan kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhinya (Suharto, 2005:58). Menurut Ife (1995:60-62), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas hal berikut : 13 a. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup : kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan. b. Pendefinisian kebutuhan : kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya. c. Ide atau gagasan : kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. d. Lembaga-lembagan: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan. e. Sumber-sumber : kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. f. Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang, serta jasa. g. Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir dirinya sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum (Setiana, 2005:5-6). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (Hikmat, 2001:3). Sementara itu, McArdle dalam Hikmat (2001:3) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orangorang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan suatu “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usahanya sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan dan sumber lainnya dalam 14 rangka mencapai tujuan tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne dalam Adi, 2003:54). Menurut Hubeis (2001:14) pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah perwujudan dari pengembangan kapasitas (capacity building) masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan sistem 3 P : Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat; Penyuluhan yang dapat merespons dan memantau perubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat; dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumber daya fisik dan non-fisik yang diperlukan oleh masyarakat. Upaya pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya selalu dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang dan budaya tertentu. Oleh sebab itu dalam program pemberdayaan masyarakat diperlukan suatu strategi. Menurut Harper dalam Soesilowati (1997:67), ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat berikut : 1. Strategi fasilitasi. Strategi ini digunakan ketika kelompok atau sistem yang dijadikan target mengetahui ada suatu masalah dan membutuhkan pengubahan, ada keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan pribadi untuk terlibat. Melalui strategi ini para agen peubah diharapkan dapat bertindak selaku fasilitator. Oleh karena itu tugasnya sering membuat kelompok target menjadi sadar terhadap pilihan-pilihan dan keberadaan sumber-sumber di mana mengklasifikasikan isu-isu peubah. Strategi ini 15 dikenal dengan strategi kooperatif, di mana agen peubah dan masyarakat (kliennya) bersama-sama melakukan penyelesaian masalah. 2. Strategi re-edukatif. Strategi ini diistilahkan dengan re-edukasi, karena biasanya melibatkan proses justifikasi rasional atas aksi yang dilakukan. Strategi ini membutuhkan waktu, untuk membentuk pengetahuan dan keahlian. Reedukatif dipergunakan untuk memberikan suatu pemahaman dan pengetahuan baru dalam mengadopsi suatu perubahan. Segmentasi menjadi faktor penting untuk membuat pesan mudah dimengerti dan diterima oleh kelompok berbeda. Karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan kondisi sosial ekonomi) merupakan pengkategorian yang umum dipergunakan dalam memilah segmentasi khalayak sasaran. 3. Strategi persuasif. Strategi ini berusaha untuk membawa perubahan melalui kebiasaan berperilaku, dimana pesan distruktur dan dipresentasikan. Jadi persuasif mengacu pada tingkatan reduksi, di mana agen perubahan menggunakan emosi dan hal-hal yang tidak rasional untuk melakukan perubahan. Persuasif lebih sering digunakan apabila target tidak sadar terhadap kebutuhan perubahan atau mempunyai komitmen rendah terhadap perubahan. 4. Strategi kekuasaan. Praktik strategi kekuasaan yang efektif membutuhkan agen perubahan yang mempunyai sumber-sumber untuk memberi bonus atau sanksi pada target dan mempunyai kemampuan untuk memonopoli akses. Strategi kekuasaan menjadi efektif, ketika komitmen terhadap perubahan rendah, waktu singkat dan perubahan yang dikehendaki lebih pada perilaku ketimbang sikap (attitude). Setiap perencanaan pembangunan yang diarahkan pada pemberdayaan masyarakat, paling tidak harus memuat unsur-unsur pokok berikut : pertama, strategi dasar pemberdayaan masyarakat yang merupakan acuan dari seluruh upaya pemberdayaan masyarakat. Kedua, kerangka makro pemberdayaan masyarakat yang memuat berbagai besaran sebagai sasaran yang harus dicapai. Ketiga, sumber anggaran pembangunan sebagai perkiraan sumber-sumber pembiayaan pembangunan. Keempat, kerangka dan perangkat kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat. Kelima, program-program pemberdayaan masyarakat 16 yang secara konsisten diarahkan pada pengembangan kapasitas masyarakat. Keenam, indikator keberhasilan program-program yang memuat perangkat pencatatan sebagai dasar pemantauan evaluasi program dan penyempurnaan program, serta kebijaksanaan yang menjamin kelangsungan program (Sumodiningrat, 1999:129). Dalam konsep pemberdayaan masyarakat, perlu diketahui potensi atau kekuatan yang dapat membantu proses perubahan agar dapat lebih cepat dan terarah, sebab tanpa adanya potensi atau kekuatan yang berasal dari masyarakat itu sendiri, maka seseorang, kelompok, organisasi atau masyarakat akan sulit bergerak untuk melakukan perubahan. Kekuatan pendorong ini di dalam masyarakat harus ada atau bahkan diciptakan lebih dulu pada awal proses perubahan dan harus dipertahankan selama proses perubahan tersebut berlangsung (Setiana, 2005:7). Untuk konteks Indonesia saat ini, dibutuhkan strategi komunikasi sistematis berorientasi pada masyarakat. Seringkali kebijakan-kebijakan dan program pemerintah maupun lembaga-lembaga lain tidak menguntungkan masyarakat, menghalangi persamaan hak, membuat masyarakat tidak berdaya dan akhirnya jatuh ke dalam situasi terpuruk. Strategi komunikasi yang berorientasi pada masyarakat seharusnya menyerahkan produksi, pengelolaan dan pengendalian media kepada masyarakat, sehingga aspirasi, kebutuhan dan masalahnya tercermin dalam media itu dan akan lebih banyak berkesempatan untuk memperoleh sumber-sumber komunikasi yang ada. Strategi ini bukan hanya berisi tentang istilah-istilah menarik. Lebih dari itu, strategi ini merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk memberdayakan masyarakat yang paling bawah sekalipun (Setyowati, 2005:84 – 85). 2.3. Kelompok Masyarakat Masyarakat dalam kamus disebut sebagai sejumlah manusia dalam arti yang seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang dianggap sama. Menurut Koentjaraningrat (1980:160), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu identitas yang sama. Sedangkan Horton dan Hunt (199:129) 17 menjelaskan masyarakat (komunitas) adalah suatu kelompok setempat (lokal) dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktivitas) kehidupannya. Definisi komunitas yang lebih rinci mencakup : (1) sekelompok orang, (2) hidup dalam suatu wilayah tertentu, (3) pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling tergantung (interdependent), (4) memiliki sistem sosial-budaya yang mengatur kegiatan para anggota, (5) yang mempunyai kesadaran akan kesatuan dan perasaan memiliki, serta (6) mampu bertindak secara kolektif dengan cara teratur. Memahami masyarakat secara mendalam, alangkah baiknya dimulai dengan masyarakat dalam bentuk kelompok-kelompok kesatuan hidup terlebih dahulu, karena melalui hal tersebut akan diketahui setiap gejolak dan dinamika yang terdapat di dalamnya. Menelaah masyarakat dapat dilakukan dari dua segi, yaitu dari segi struktural dan segi dinamikanya. Segi struktural atau struktur sosial yaitu keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok berupa kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan sosial. Sedangkan dinamika masyarakat adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-perubahan sosial (Mutakin dan Pasha, 2003:20). Masyarakat merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang satu sama lain memiliki fungsi dan saling melengkapi, begitu pula masyarakat sebagai kelompok sosial yang besar di dalamnya terdapat beberapa kelompok sosial yang lebih kecil, di dalam kelompok tersebut memiliki interaksi, solidaritas, pemimpin, nilai maupun norma tersendiri yang mengikat anggotanya. Dengan demikian, kelompok ini sebagai suatu organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat sendiri yang di dalamnya terdapat ikatan-ikatan sosial terhadap anggotanya (Mutakin dan Pasha, 2003: 31). Dalam membahas kelompok masyarakat perlu juga menjelaskan mengenai dinamika kelompok. Menurut Santosa (2004:5) dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Jadi, dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus menerus berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu, kelompok tersebut bersifat dinamis, 18 artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah, sehingga dapat disimpulkan bahwa dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama. Benedict dalam Santosa (2004:7) menjelaskan bahwa persoalan dalam kelompok masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut : a. Kohesi/ persatuan Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota dalam kelompok, seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai kelompok, dan sebagainya. b. Motif/ dorongan Persoalan motif ini berkisar pada interes anggota terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan kelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap kelompok, dan sebagainya. c. Struktur Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan kedudukan antar anggota, pembagian tugas, dan sebagainya. d. Pimpinan Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas pimpinan, sistem kepemimpinan, dan sebagainya. e. Perkembangan kelompok Persoalan perkembangan kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok selanjutnya, dan ini terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota tetap berada dalam kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya. Sebuah kelompok bisanya melakukan tiga fungsi bagi anggotanya, yaitu (1) memenuhi kebutuhan antarpersonal, (2) memberi dukungan bagi konsep diri perorangan dan (3) melindungi para individu dari kesalahannya sendiri. Disamping membantu anggota perorangan dalam hal-hal tersebut, kelompok ini juga menciptakan identitas atau konsep diri bagi kelompok itu sendiri. Kadang- 19 kadang tujuan perorangan bertentangan dengan tujuan kelompok, kadang-kadang tujuan kelompok bertentangan dengan tujuan organisasi yang lebih besar, tetapi sesekali tujuannya amat serupa. Cara kelompok berkembang berkaitan dengan bagaimana kelompok menangani tiga aspek penting dalam kehidupan kelompok : (1) peranan atau kegiatan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok, (2) normanorma dan perbedaan dalam status yang tumbuh ketika para anggota berinteraksi, dan (3) konflik yang muncul dari tekanan untuk bersikap secara bersaing alih-alih bekerjasama (Pace dan Faules, 2005:318). Slamet, Cartwright dan Zander dalam Carmelita (2002:20) menjelaskan beberapa kekuatan dalam kelompok, yaitu : 1. Tujuan kelompok, merupakan gambaran tentang sesuatu hasil yang diharapkan dicapai oleh kelompok. Anggota kelompok berbuat sesuai tujuan kelompok, karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok mengetahui arah kelompok. 2. Struktur kelompok, yaitu hubungan antara individu di dalam kelompok yang disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Kelompok yang telah memiliki struktur, yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan yang stabil antar anggota kelompok. 3. Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok, sehingga tujuannya tercapai. 4. Pembinaan kelompok, dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan kehidupan kelompok. 5. Kekompakan kelompok, di mana anggota kelompok yang tingkat kekompakannya lebih tinggi terangsang untuk aktif mencapai tujuan kelompok dibandingkan anggota kelompok yang tingkat kekompakannya rendah. 6. Suasana kelompok, di mana kelompok mempunyai suasana yang menentukan reaksi anggota terhadap kelompoknya seperti rasa hangat dan setia kawan, rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya. 20 7. Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan pada kelompok untuk mendapatkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya tujuan kelompok. 8. Efektivitas kelompok, dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan anggota. 2.4. Pemuka Pendapat Di dalam suatu masyarakat biasanya ada orang-orang tertentu yang menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai urusan-urusan tertentu, karena seringkali memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Orang-orang tersebut mungkin menduduki jabatan formal, tetapi pengaruh itu berlaku secara informal. Pengaruh itu tumbuh bukan karena ditunjang oleh kekuatan atau birokrasi formal. Jadi kepemimpinan itu bukan diperoleh karena jabatan resminya, melainkan karena kemampuan dan hubungan antarpribadi dengan anggota masyarakat. Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain seperti itu disebut tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemimpin informal atau sebutan lainnya yang sejenis (Rogers and Shoemaker, 1981:110). Opinion leader adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Maka sepantasnya jika mempunyai karakteristik yang membedakan dirinya dengan yang lain. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah (1) Lebih tinggi pendidikan formalnya dibandingkan dengan anggota masyarakat lain; (2) Lebih tinggi status sosial ekonominya; (3) Lebih inovatif dalam menerima dan mengadopsi ide baru; (4) Lebih tinggi pengenalan medianya; (5) Kemampuan empatinya lebih besar; (6) Partisipasi sosialnya lebih besar; (7) Lebih kosmopolit (mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas) (Nurudin, 2005:160). Para pemimpin pendapat boleh jadi berasal dari tingkat sosial, ekonomi dan pekerjaan mana saja. Dalam setiap lapisan masyarakat yang berbeda, terdapat pemimpin pendapat yang berbeda, karena cenderung mempunyai lebih banyak informasi dan lebih sering menggunakan berbagai media massa (Tubbs dan Moss, 2001:208). Rogers (1995:239) menjelaskan karakteristik pemuka 21 pendapat yang membedakan dari masyarakat lainnya, yaitu (1) Pemuka pendapat mempunyai ekspose lebih besar ke mass media dibandingkan para pengikutnya; (2) Pemuka pendapat lebih kosmopolit daripada pengikutnya; (3) Pemuka pendapat mempunyai hubungan lebih luas dengan agen perubahan dibandingkan pengikutnya; (4) Pemuka pendapat memiliki partisipasi sosial lebih besar dibanding pengikutnya; (5) Pemuka pendapat memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan pengikutnya; (6) Pemuka pendapat lebih inovatif dibandingkan pengikutnya; (7) Ketika suatu sistem norma sosial menyukai perubahan, para pemuka pendapat menjadi lebih inovatif, tetapi ketika normanorma tidak menyukai perubahan, maka para pemimpin pendapat tidak terlalu inovatif. Pemuka pendapat adalah sumber informasi, para pengikutnya adalah penerima informasi (receiver). Beberapa pemuka pendapat mengambil prakarsa dalam komunikasi dengan mencari kesempatan menghubungi anggota masyarakat untuk menyebarluaskan pesan-pesannya. Sebaliknya masyarakat sering juga menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi (Ardianto dan Erdinaya, 2004:166). Pada masyarakat Indonesia yang masih bersifat agraris dan transisional, banyak pemimpin informal berasal dari tetua adat, orang kaya yang dermawan, alim ulama, cendekiawan dan sebagainya. Pemuka pendapat tampil menjadi pemimpin informal, karena memiliki beberapa kelebihan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Para pemuka pendapat pada umumnya, memiliki pengetahuan luas, kearifan memelihara dan memegang teguh nilai-nilai sosial budaya, serta kemampuan mengambil keputusan. Pemuka agama, acapkali dipandang memiliki perilaku sederhana, jujur, memegang teguh norma-norma keagamaan dan kesusilaan. Pemuka pendapat yang tampil dari kalangan cendekiwan dan dermawan, dianggap memiliki pengetahuan tentang masalah atau aspek kehidupan, integritas dan pengabdian terhadap kehidupan bersama masyarakat luas (Hasani, 2004:13). Kepemimpinan menurut Robbins (2002:163) adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Sedangkan nonsanctioned leadership merupakan kemampuan untuk memberi pengaruh di 22 luar struktur formal organisasi yang kepentingannya sama atau bahkan melebihi pengaruh struktur formal. Dengan kata lain, seorang pemimpin dapat saja muncul dalam suatu kelompok, walaupun tidak diangkat secara formal. Thoha (1991:9) juga menjelaskan dalam arti luas kepemimpinan dapat digunakan setiap orang dan tidak hanya terbatas berlaku dalam suatu organisasi atau kantor tertentu. Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tatakrama birokrasi. Kepemimpinan tidak harus diikat terjadi dalam suatu organisasi tertentu. Melainkan kepemimpinan dapat terjadi di mana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu. Schramm dalam Ardianto dan Erdinaya (2004:167) pernah melakukan penelitian untuk mengetahui atau menemukan para pemuka pendapat di tengahtengah masyarakat, melalui : a. Revore Study. Dalam teori ini diuraikan tentang cara-cara atau teknik menemukan pemuka pendapat di masyarakat, yaitu menanyakan kepada orang-orang di dalam masyarakat, kepada siapa bertanya apabila masyarakat tersebut mempunyai kesulitan dalam suatu masalah. b. Decatur Study adalah suatu penelitian khusus dalam bidang pemasaran. Fokus penelitian ini tidak hanya kepada pemuka pendapat, tetapi juga pada (1) Kepentingan relatif dari pengaruh perseorangan, dan (2) Orang yang dinamakan pemimpin dalam arti sesungguhnya. Penelitian ini mengindikasikan nama seseorang yang berpengaruh di masyarakat. c. Drug Study. Penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan ilmu jiwa dan sosiologi. Sebagai contoh, seorang dokter memberikan resep kepada pasien. Setelah minum obat tersebut ternyata pasien sembuh, maka pasien tersebut akan menyebarkan kepada orang lain bahwa obat yang diberikan oleh dokternya ternyata manjur. Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004:167-168) juga terdapat tiga metode utama lainnya yang dapat digunakan untuk penelitian pemuka pendapat. Yang sering dilakukan dalam penelitian komunikasi adalah : 23 a. Sociometric Method. Dalam metode ini kepada masyarakat ditanyakan kepada siapa meminta atau mencari informasi atau nasihat mengenai masalahmasalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Sociometric Method ini merupakan alat pengukur yang paling sahih untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin dalam masyarakat sesuai dengan pandangan para pengikutnya. Pemimpin dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang memiliki informasi terbanyak. b. Informant’s Rating. Dalam metode ini diajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada orang-orang/responden yang dianggap sebagai key informants dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggapnya dan dianggap masyarakat umum sebagai pemimpinnya. Dalam penggunaan teknik ini, harus dipilih key informants yang benar-benar akrab (familiar) dengan sistem masyarakat. c. Self Designating Method. Dalam metode ini, kepada setiap responden diajukan rangkaian pertanyaan untuk menentukan dalam tingkat mana menganggap dirinya sebagai pemimpin dalam masyarakatnya. Pertanyaan yang khas dapat diajukan : “menurut pendapat saudara, selain kepada pemuka pendapat, pada siapakah masyarakat meminta informasi atau nasihat ?”. Validitas pertanyaan ini banyak bergantung pada ketepatan (accuracy) responden untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai pemimpin. Mardikanto (1988:72) juga menjelaskan penelusuran tentang pemuka pendapat, yaitu melalui beberapa model seperti (a) Model sosiometri, yaitu dengan cara bertanya kepada beberapa warga masyarakat, tentang siapa pemimpinnya atau sumber informasi yang biasa dihubungi; (b) Model jenjanginforman, yaitu bertanya kepada beberapa warga masyarakat tentang siapa yang dianggap tokoh/pemimpin di dalam masyarakatnya, oleh warga masyarakat pada umumnya; (c) Model tunjuk-diri, yaitu bertanya kepada beberapa warga masyarakat apakah yang bersangkutan merupakan sumber informasi bagi warga masyarakatnya; (d) Pengamatan langsung tentang siapa-siapa yang dapat dipandang atau dinilai sebagai tokoh (pemimpin, sumber informasi) di dalam masyarakat yang diamatinya. 24 2.5. Bencana Alam Bencana alam menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. United Nation Development Program atau UNDP (1992:12) mendefinisikan bencana adalah gangguan yang serius dari berfungsinya suatu masyarakat, yang menyebabkan kerugian-kerugian yang besar terhadap lingkungan, material dan manusia, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa bencana untuk menanggulangi dengan hanya menggunakan sumber-sumber daya masyarakat itu sendiri. Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia). Menurut Hidayati (2005:56) bencana adalah keadaan yang mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh gejala alam atau perbuatan manusia. Bencana dapat terjadi melalui suatu proses yang panjang atau situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat dengan tanpa adanya tanda-tanda. Dampak bencana bervariasi tergantung pada kondisi dan kerentanan lingkungan dan masyarakat. Bencana sering kali menimbulkan kepanikan masyarakat dan menyebabkan penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti luka, kematian, tekanan ekonomi akibat hilangnya usaha/pekerjaan dan kekayaan harta benda, kehilangan anggota keluarga dan kerusakan infrastruktur, serta lingkungan. 2.5.1. Banjir Banjir terjadi apabila sejumlah besar air menggenangi permukaan tanah yang biasanya kering. Banjir adalah bencana alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan baik segi kemanusiaan maupun ekonomi. Penyebab utama banjir antara lain (1) hujan dalam jangka waktu yang panjang, (2) erosi tanah atau buruknya penanganan sampah dan (3) pembangunan dan perkembangan tempat pemukiman yang menyebabkan hilangnya daya serap air hujan (IDEP, 2005:42). 25 2.5.2. Tanah Longsor Pengertian tanah longsor adalah terjadinya pergerakan tanah atau bebatuan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau berangsur yang umumnya terjadi di daerah terjal yang tidak stabil. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Air hujan adalah pemicu utama terjadinya tanah longsor. Ulah manusiapun bisa menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tidak terkendali. Gejala umum tanah longsor yaitu (1) muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, (2) muncul mata air secara tiba-tiba, (3) air sumur di sekitar lereng menjadi keruh dan (4) tebing rapuh dengan kerikil mulai berjatuhan (IDEP, 2005:48). 2.5.3. Gunung Meletus Gunung meletus terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas bertekanan tinggi. Letusannya membawa abu dan batu menyembur sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan lavanya dapat membanjiri daerah sejauh radius 90 km. Letusan gunung berapi dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar sampai ribuan kilometer jauhnya bahkan dapat mempengaruhi iklim bumi (IDEP, 2005:50). 2.5.4. Angin Topan Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis di antara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20 km/jam (IDEP, 2005:54). 2.5.5. Gempa Bumi Salah satu bencana yang berkaitan dengan penelitian ini adalah gempa bumi. Winardi, dkk (2006:18) menyebutkan gempa bumi adalah gerakan tibatiba di dalam kerak atau mantel bumi bagian atas. Gempa tektonik ditimbulkan 26 oleh proses gesekan dan tunjaman di kerak bumi. Sementara gempa vulkanik disebabkan oleh aktivitas gunung api. Secara umum dapat dikatakan, bahwa gempa-gempa yang telah dan akan terjadi di Indonesia memiliki kaitan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan proses tumbukan (subduksi) antar lempeng yang melingkupi Indonesia. Proses tersebut sebenarnya alamiah, karena tepian lempeng bumi yang selalu terbaharui sementara ukuran bumi tak berubah sedikitpun. Kemunculan tepian yang baru dan akan mendorong tepian lainnya masuk ke dalam lapisan mantel bumi, lalu melebur. Pertemuan antar tepian lempeng itulah yang memungkinkan terjadinya gesekan, tumbukan dan gempa. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM (2006:2) gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan. Proses gempa bumi merupakan pergerakan lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi. Akibat utama gempa bumi adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah. Bakornas PBP (2005:38) menjelaskan bahwa magnitudo gempa bumi menunjukkan besarnya energi yang dilepaskan dari pusat gempa bumi/hiposenter. Ukuran dan luas daerah kerusakan akibat gempa bumi secara kasar berhubungan dengan besarnya enegi yang dilepaskan. Skala magnitudo gempa bumi biasanya dinyatakan dengan skala Richter. Skala intensitas menunjukkan kerusakan akibat getaran pada lokasi kerusakan. Skala intensitas juga berhubungan dengan magnitudo dari energi yang dilepaskan, jarak dari epicenter dan kondisi tanah lokasi. 27 Tabel 1. Skala Modified Mercalli Intensity yang digunakan untuk menunjukkan intensitas guncangan gempa bumi Skala Keterangan 1 Sangat jarang/hampir tidak ada orang yang merasakannya. Tercatat pada alat seismograf. 2 Terasa oleh sedikit sekali orang, terutama yang ada di gedung tinggi dan sebagian besar orang tidak dapat merasakan. 3 Terasa oleh sedikit orang, khususnya yang berada di gedung tinggi. Mobil yang parkir sedikit bergetar, getaran seperti akibat truk yang lewat. 4 Pada siang hari akan terasa oleh banyak orang dalam ruangan, di luar ruangan hanya sedikit yang dapat merasakan. Pada malam hari sebagian orang dapat terbangun. Piring, jendela, pintu, dinding, mengeluarkan bunyi retakan dan lampu gantung bergoyang. 5 Dirasakan hampir oleh semua orang, pada malam hari sebagian besar orang tidur akan terbangun, barang-barang di atas meja terjatuh, plesteran tembok retak, barang-barang yang tidak stabil akan roboh dan pundulum jam dinding akan berhenti. 6 Dirasakan oleh semua orang, banyak orang ketakutan/panik, berhamburan keluar ruangan, banyak perabotan yang besar bergeser, plesteran dinding retak dan terkelupas, serta cerobong asap pabrik rusak. 7 Setiap orang berhamburan keluar ruangan, kerusakan terjadi pada bangunan yang desain konstruksinya jelek dan kerusakan sedikit sampai sedang terjadi pada bangunan dengan desain konstruksi biasa. Bangunan yang baik tidak mengalami kerusakan berarti. 8 Kerusakan luas pada bangunan dengan desain konstruksi jelek, kerusakan berarti pada bangunan dengan desain biasa dan sedikit kerusakan pada bangunan dengan desain baik. Dinding panel akan pecah dan terlepas dari frame, cerobong asap pabrik runtuh, perabotan yang berat akan terguling dan pengendara mobil terganggu. 9 Kerusakan berarti pada bangunan dengan desain konstruksi yang baik, pipa-pipa bawah tanah putus dan timbul retakan pada tanah. 10 Sejumlah bangunan kayu dengan desain yang baik rusak dan sebagian besar bangunan tembok rusak termasuk pondasinya. Retakan pada tanah akan semakin banyak, tanah longsor pada tebing-tebing sungai dan bukit, serta air sungai akan melimpas di atas tanggul. 11 Sangat sedikit bangunan tembok yang masih berdiri, jembatan putus, rekahan pada tanah sangat banyak/luas, jaringan pipa bawah tanah hancur dan tidak berfungsi, rel kereta api bengkok dan bergeser. 12 Kerusakan total, gerakan gempa terlihat bergelombang di atas tanah, benda-benda beterbangan ke udara. Sumber: Bakornas PBP, 2005. 28 2.5.6. Tsunami Tsunami adalah gelombang besar yang diakibatkan oleh pergeseran bumi di dasar laut. Kata tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang pelabuhan, karena bencana ini hanya terjadi di daerah pesisir. Tsunami dapat terjadi kapan saja dengan gejala antara lain (1) Biasanya diawali dengan gempa bumi yang sangat kuat, (2) Permukaan laut turun secara tiba-tiba yang merupakan awal kemunculan gelombang besar dan (3) Tsunami merupakan rangkaian gelombang sehingga bukan gelombang pertama yang membahayakan tetapi gelombang berikutnya yang jauh lebih besar. Penyebab terjadinya tsunami antara lain (1) Gempa bumi yang diikuti dengan dislokasi/perpindahan masa tanah/batuan yang sangat besar di bawah air, (2) Tanah longsor di dalam laut dan (3) Letusan gunung api di bawah laut atau gunung api pulau (IDEP, 2005:62). 2.6. Manajemen Bencana Manajemen bencana adalah sekumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan bencana. Prasetyo (2004:1) mengatakan pemulihan (recovery) kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih solid, bila mencoba membangun manajemen bencana (disaster management), agar siklus normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang lebih pendek. Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan publik, diharapkan berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Yang terpenting dari manajemen bencana adalah adanya suatu langkah konkrit dalam mengendalikan bencana, sehingga korban yang tidak diharapkan dapat terselamatkan dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan cepat. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis publik dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal berbentuk peraturan daerah atas manajemen bencana. Yang tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatianhatian, terutama pada daerah rawan bencana. 29 Pengkajian bencana adalah proses dari penentuan dampak dari suatu bencana pada suatu masyarakat. Prioritas pertama adalah menetapkan kebutuhan untuk tindakan-tindakan emergensi yang bersifat segera guna menyelamatkan dan melanjutkan kehidupan dari yang selamat. Prioritas kedua adalah untuk mengidentifikasikan kemungkinan-kemungkinan pemberian fasilitas dan mempercepat pemulihan dan pembangunan. Beberapa pengkajian secara khusus dilakukan seperti pengkajian kerusakan. Pengkajian-pengkajian ini mencakup persiapan khusus, estimasi yang dapat diukur dari kerusakan fisik sebagai akibat dari bencana. Pengkajian kerusakan mungkin juga mencakup rekomendasi yang mencakup perbaikan, rekonstruksi atau pemindahan dari bangunan, dan perlengkapan, maupun pemulihan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi (UNDP, 1992: 95). Menurut Sphere (2006:30), penduduk yang terkena dampak bencana secara aktif berpartisipasi dalam pengkajian, perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program bantuan. Partisipasi orang-orang yang terkena dampak bencana dalam pembuatan keputusan di semua tahapan siklus proyek (pengkajian, perancangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program bantuan) membantu untuk memastikan pelaksanaan program-program yang berkeadilan dan efektif. Untuk itu harus dilakukan upaya khusus memastikan keikutsertaan perwakilan orang-orang secara seimbang dalam program bantuan, termasuk kelompok rentan dan kelompok terpinggirkan. Partisipasi harus memastikan bahwa programprogram didasarkan pada kerelaan orang-orang yang terkena dampak bencana untuk bekerjasama bahwa program-program tersebut menghargai budaya setempat, selama hal ini tidak mengabaikan hak-hak individu. Bencana-bencana dapat dipandang sebagai fase-fase kontinum waktu. Mengidentifikasi dan memahami fase-fase ini membantu untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan bencana dan memberi konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen bencana yang memadai. 30 Dampak bencana Fase pengurangan resiko pra-bencana Kesiapan Bantuan Mitigasi Rehabilitasi Rekonstruksi Fase pemulihan pasca bencana Gambar 4. Manajemen bencana (UNDP, 1992:21) Fase pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti suatu bencana yang tiba-tiba (atau penemuan yang sudah terlambat dari situasi serangan yang lamban yang diabaikan), jika tindakan-tindakan pengecualian diambil untuk mencari dan menemukan yang bertahan hidup dan memenuhi kebutuhankebutuhan dasar untuk tempat berteduh, air, makanan dan perawatan medis. Dalam fase pemulihan ini terhadat tiga tahap yaitu bantuan (tanggap darurat), rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan kembali) (UNDP, 1992:21). Tujuantujuan menyeluruh dari emergensi pasca bencana ini adalah : 1. Menjamin jumlah korban yang mungkin diselamatkan. Secara maksimal, menjaga kesehatan dalam segala kondisi dengan kemungkinan yang lebih baik. 2. Menetapkan kembali kemandirian dan pelayanan-pelayanan yang penting secepat mungkin untuk semua kelompok populasi, dengan perhatian khusus terhadap kebutuhannya yang paling banyak, yang paling rentan dan kurang mampu. 31 3. Memperbaiki kembali atau mengganti infrastruktur yang rusak dan menggerakkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi yang aktif. Melakukan ini dengan sikap yang dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan jangka panjang dan mengurangi kerentanan terhadap munculnya kembali bahayabahaya yang dapat merusak (UNDP, 1992:91). 2.6.1. Tanggap Darurat Dalam kamus bencana bantuan darurat (relief) disebut sebagai upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Menurut UNDP (1992: 91-93) beberapa hal yang termasuk pada masa tanggap darurat berkaitan dengan bencana alam mendadak adalah : 1. Evakuasi termasuk relokasi dari zona-zona beresiko ke lokasi yang lebih aman. 2. Mencari dan menyelamatkan (SAR), yaitu proses pengidentifikasian lokasi korban bencana yang mungkin terjebak atau terisolasi dan membawanya ke tempat aman, serta memberikan perawatan medis. 3. Pengkajian pasca bencana yang bertujuan untuk memberikan gambaran singkat dan jelas dari situasi pasca bencana, untuk mengidentifikasikan keperluan-keperluan bantuan dan mengembangkan strategi-strategi pemulihan. 4. Bantuan emergensi, yaitu penyediaan bantuan materi dan bantuan medis emergensi berdasarkan peri kemanusiaan yang diperlukan untuk menyelamatkan dan mengamankan kehidupan manusia. Bantuan ini memungkinkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk perawatan kesehatan dan obat-obatan, tempat berlindung, pakaian, air dan makanan (termasuk sarana untuk menyiapkan makanan). 5. Kapasitas dan fasilitas logistik untuk pengiriman bantuan. Pelayanan suplai yang terorganisir dengan baik penting untuk menangani pembelian atau penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman suplai bantuan untuk didistribusikan kepada korban bencana. 6. Komunikasi dan manajemen informasi. Ada dua aspek komunikasi dalam bencana. Pertama adalah perlengkapan yang penting untuk arus informasi, 32 seperti radio, telepon dan sistem pendukung, satelit dan jalur-jalur transmisi. Kedua, manajemen informasi : protokol untuk mengenali siapa yang berkomunikasi, informasi apa dan untuk siapa, prioritas apa yang harus diberikan untuk informasi itu, dan bagaimana informasi itu disebarkan dan ditafsirkan. 7. Respons terhadap yang selamat dan penanganannya. Pengkajiannya harus memperhatikan mekanisme penanganan sosial yang ada yang meniadakan perlunya bantuan dari luar. Yang selamat dari bencana mungkin memiliki kebutuhan baru dan khusus akan pelayanan-pelayanan sosial untuk membantu menyesuaikan diri dengan trauma dan gangguan yang disebabkan oleh bencana. 2.6.2. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rehabilitasi dan rekonstruksi terdiri sebagian besar dari fase pemulihan bencana. Periode yang mengikuti fase emergensi ini memfokuskan pada aktivitasaktivitas yang memungkinkan para korban untuk memulai lagi kehidupan yang dapat berjalan secara normal dan sarana-sarana kehidupan. Hal ini mencakup rehabilitasi infrastruktur, pelayanan-pelayanan dan ekonomi dalam cara yang cocok dengan kebutuhan jangka panjang dan tujuan-tujuan pembangunan yang terbatas. Secara spesifik, rehabilitasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan setelah terjadi satu bencana untuk memungkinkan pelayanan-pelayanan dasar guna memfungsikan kembali, membantu para korban dengan usaha mandiri untuk memperbaiki tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas komunitas, serta memberikan fasilitas terhadap bangkitnya kembali aktivitas-aktivitas ekonomi. Sedangkan rekonstruksi adalah konstruksi permanen atau penggantian bangunan-bangunan fisik yang rusak parah, pembangunan kembali secara total dari semua pelayananpelayanan dan infrastruktur lokal, serta penguatan ekonomi (UNDP, 1992:106). Tujuan rehabilitasi dan rekonstruksi adalah untuk mendorong dan membantu pemulihan bantuan selama fase pasca bencana. Tujuan itu harus direncanakan dan dilaksanakan dengan pemahaman seperti itu dalam pikiran. Pelayanan dan bantuan vital yang rusak harus diperbaiki atau diganti, sebagaimana hal ini bisa melindungi dari risiko-risiko di masa mendatang. Pada waktu yang sama, dan 33 tidak kalah pentingnya, harus ditemukan cara-cara untuk membantu orang-orang pulih kembali, khususnya mempunyai sumber daya paling sedikit (UNDP, 1992:108). Trauma psikologis dari kehilangan sanak saudara dan teman, serta goncangan jiwa akibat bencana yang mengejutkan, dapat lebih lama lagi penyembuhannya, daripada pemulihan fisik. Maka dari itu, penting bahwa program kesejahteraan sosial dan dukungan psikologis pasca bencana, untuk segera dilakukan setelah bencana terjadi, sebagai bagian dari program pemulihan menyeluruh (Mataair, 2006:6). Menurut Poerwandari (2005:46) cukup banyak penelitian dilakukan untuk mencoba memahami dampak pengalaman traumatik pada individu yang mengalami, yang paling sering dibahas adalah stress pasca trauma post traumatic stress dissorder (PTSD). Secara sederhana, stress dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana individu terganggu keseimbangannya akibat situasi eksternal ataupun internal. Sementara itu, secara sederhana trauma bermakna pukulan atau luka. Secara psikologis trauma, mengacu pada pengalamanpengalaman mengagetkan dan menyakitkan, bahkan mengancam nyawa, yang memukul dan menimbulkan luka, yang situasinya melebihi situasi sulit yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar. Dengan pengertian demikian, stress pasca trauma menunjuk pada keadaan tertekan, tidak nyaman, hilangnya keseimbangan yang kemudian menyusul kejadian traumatik. Berkaitan dengan manajemen bencana tersebut, Paripurno (2001:4) mengatakan bahwa manajemen bencana perlu dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subyek. Manajemen ini tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh dan salah, nampaknya menjadi suatu kebutuhan. Tantangannya adalah bagaimana memulai melakukan pengalihan keterampilan penelitian dan perencanaan itu ? Metode partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Asas yang melandasi mekanisme ini adalah “pemberdayaan”, yaitu memperhatikan kapasitas awal masyarakat dan kegiatan dibangun untuk masyarakat agar dapat mengembangkan kapasitasnya sendiri. Wujud nyata dari asas ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung proses peningkatan 34 kapasitas (sekaligus merupakan upaya mengurangi kerentanan) yang ada dengan sepenuh hati. Namun, setelah masyarakat mempunyai kapasitas yang cukup, dibiarkan masyarakat menentukan. Konflik perbedaan opini dan persepsi mengenai apa yang diperlukan dan yang harus diprioritaskan sangat biasa terjadi. Untuk menyusun gambaran jelas dari situasi yang terjadi, sebagai dasar pembuatan keputusan yang tepat, diperlukan pengumpulan informasi yang dapat dipercaya dari setiap sektor, yang harus dilakukan staf yang berpengalaman. Hal tersebut juga membutuhkan konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak bencana dan para pemimpinnya, dalam menyusun persepsi dan prioritas (Mataair, 2006:8). Pertukaran informasi dan pengetahuan antar semua yang terlibat merupakan hal yang sangat mendasar untuk dapat mencapai pemahaman masalah yang lebih baik dan untuk memberikan bantuan secara terkoordinir. Hasil pengkajian harus secara aktif disampaikan kepada semua organisasi dan individu yang terkait. Harus disusun mekanisme untuk memungkinkan orang-orang memberikan masukan terhadap program, misalnya pertemuan-pertemuan umum atau melalui lembaga-lembaga berbasis komunitas. Partisipasi dalam program harus memperkuat rasa bermartabat dan harapan orang-orang pada waktu krisis, dan orang-orang harus didorong untuk ikut serta dalam program melalui berbagai cara. Program-program harus dirancang untuk memperkuat kapasitas setempat dan untuk menghindarkan diabaikannya strategi-strategi penanganan masalah yang dimiliki oleh masyarakat sendiri (Sphere, 2006:31). 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006 telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan psikologis masyarakat. Meskipun gempa yang terjadi di Yogyakarta sesungguhnya masih dalam batas kategori sedang atau moderat. Namun karena tergolong gempa dangkal dan terjadi di wilayah pemukiman padat, serta berinfrastruktur bagus, maka efek kerusakan yang ditimbulkan menjadi fatal. Selain menimbulkan banyak korban, wilayah ini juga mengalami kelumpuhan di berbagai bidang kehidupan minimal sampai setahun pasca gempa. Untuk mengembalikan kondisi Yogyakarta pasca bencana tersebut, pemerintah telah membuat berbagai program penanganan yang meliputi tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Program ini merupakan suatu upaya yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat serta memperbaiki rumah, fasilitas umum, fasilitas sosial dan perekonomian pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya. Selain program yang dilaksanakan pemerintah, berbagai komponen masyarakat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), juga memainkan peranan penting dalam penanganan bencana. Sinergis antara masing-masing komponen tersebut mempunyai tujuan untuk meminimalisasi dampak negatif pasca bencana. Namun pemulihan kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih kompak bila melibatkan masyarakat korban, agar siklus normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang lebih pendek. Dalam penanganan bencana ini, kebijakan pemerintah dan program bantuan non-pemerintah perlu disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak dilihat sebagai obyek, tetapi dilibatkan dalam berbagai hal sejak perencanaan hingga pelaksanaan. Partisipasi masyarakat korban merupakan hal esensial dalam pelaksanaan dan monitoring atas proses penanganan bencana. Dengan demikian, masyarakat dapat mengangkat posisinya dari korban menjadi warga yang hidup normal dengan jalan melakukan tindakan (kewajiban) partisipatif. 36 Pelibatan masyarakat dilakukan melalui tokoh-tokoh masyarakat atau disebut dengan pemuka pendapat. Dengan kata lain, kebijakan atau kegiatan yang dilakukan dalam proses penanganan bencana perlu mempertimbangkan peran dan fungsi pemuka pendapat yang ada dalam masyarakat. Pemuka pendapat merupakan orang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya, sehingga mampu mengkomunikasikan program dan menggerakkan anggota masyarakat lainnya. Karena itu pemuka pendapat di lokasi bencana dalam hal komunikasi efektif perlu diberdayakan untuk meningkatkan efektifitas penanganan bencana, sehingga program-program penanganan bencana yang dibuat oleh pemerintah maupun nonpemerintah tepat sasaran. Hal ini penting sekali mengingat penanganan bencana saat ini belum terkoordinasi dalam satu pintu, dimana pemerintah dan nonpemerintah masih melaksanakan program penanganan bencana sendiri-sendiri. Untuk mengetahui peran komunikasi, pemuka pendapat dalam penanganan bencana ini perlu dilakukan penelitian dengan mengkaji beberapa peubah terkait dengan penelitian. Peubah-peubah yang dimaksud meliputi sejumlah karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok sebagai peubah bebas. Karakteristik personal meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan. Indikator perilaku komunikasi pemuka pendapat, yaitu respons terhadap media massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan sikap terhadap opini publik. Sedangkan keragaan kelompok meliputi struktur kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok dan tujuan kelompok. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana yang akan diteliti meliputi keterlibatan pemuka pendapat dalam kegiatan penanganan bencana yang terbagi ke dalam delapan kegiatan yaitu penyelamatan korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial dasar, rehabilitasi mental, pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, dan pemulihan sistem perekonomian. Agar penelitian ini efektif dan efisien, maka kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 5. 37 Karakteristik Personal (X1) X1.1 Umur X1.2 Jenis Kelamin X1.3 Pendidikan X1.4 Pekerjaan X1.5 Pendapatan X1.6 Ketokohan Perilaku Komunikasi (X2) X2.1 Respons terhadap media massa X2.2 Intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana X2.3 Sikap terhadap opini publik Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana (Y) Y1 Penyelamatan korban. Y2 Penyediaan hunian sementara Y3 Informasi program. Y4 Pelayanan sosial dasar. Y5 Rehabilitasi mental. Y6 Pembangunan kembali perumahan. Y7 Perbaikan prasarana dan sarana dasar Y8 Pemulihan sistem perekonomian. Keragaan Kelompok (X3) X3.1 Struktur kelompok X3.2 Pembinaan kelompok X3.3 Kekompakan kelompok X3.4 Suasana kelompok X3.5 Tekanan kelompok X3.6 Tujuan kelompok Gambar 5. Pengaruh karakteristik personal, perilaku komunikasi dan keragaan kelompok secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Berdasarkan kerangka berpikir yang dikemukakan, maka disusun hipotesis berikut : 1. Karakteristik personal pemuka pendapat berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. 2. Perilaku komunikasi pemuka pendapat berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. 3. Keragaan kelompok berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. 38 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan alasan daerah tersebut mengalami kerusakan paling parah dibandingkan kabupaten lainnya. Waktu yang digunakan untuk penelitian selama enam bulan (Maret – September 2007). 3.3. Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian survei. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995:3), desain penelitian survei adalah penelitian yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Kerlinger (1996:662) mengatakan bahwa penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari contoh yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis. Peubah yang diamati dalam penelitian terdiri peubah bebas dan peubah tidak bebas. Untuk menentukan setiap parameter yang ditetapkan maka diperlukan indikator dari setiap peubah yang akan diteliti. Peubah bebas adalah karakteristik personal (X1), perilaku komunikasi (X2) dan keragaan kelompok (X3), sedangkan peubah tidak bebas adalah pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y). Dari ketiga peubah bebas tersebut indikator karakteristik personal (X1) adalah umur (X1.1), jenis kelamin (X1.2), pendidikan (X1.3), pekerjaan (X1.4), pendapatan (X1.5) dan ketokohan (X1.6). Indikator perilaku komunikasi (X2) adalah respons terhadap media massa (X2.1), intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan sikap terhadap opini publik (X2.3). Indikator keragaan kelompok (X3) adalah struktur kelompok (X3.1), pembinaan kelompok(X3.2), kekompakan kelompok (X3.3), suasana kelompok (X3.4), tekanan kelompok (X3.5) dan tujuan kelompok (X3.6). Indikator peubah tidak bebas yang diteliti adalah penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan 39 (Y6), perbaikan prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). 3.4. Populasi dan Contoh Populasi penelitian ini pemuka pendapat di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Propinsi Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian, antara lain kecamatan tersebut mengalami kerusakan cukup parah, banyaknya masyarakat yang menjadi korban, lokasi penelitian dapat dijangkau dan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam pemberian bantuan dan penanganan bencana. Berdasarkan data demografi Kecamatan Sewon dan informasi dari informan kunci yang akrab dengan sistem masyarakat setempat, diketahui jumlah pemuka pendapat di kecamatan tersebut sebanyak 455 orang. Dengan demikian populasi penelitian ini sebanyak 455 orang pemuka pendapat yang tersebar di empat desa di Kecamatan Sewon, yaitu Desa Pendowoharjo 110 orang, Timbulharjo 109 orang, Bangunharjo 119 orang dan Panggungharjo 117 orang. Untuk memudahkan penelitian populasi yang tersebar di empat desa tersebut dikelompokkan berdasarkan ketokohan agama, pendidikan, politik, pemuda, wanita dan sosial (Tabel 2). Tabel 2. Populasi pemuka pendapat menurut ketokohan dan lokasi penelitian Ketokohan Pendowoharjo 19 Timbulharjo Bangunharjo 20 22 Panggungharjo 14 Pendidikan 10 12 13 18 53 Politik 24 22 26 30 102 Pemuda 20 19 19 17 75 Wanita 17 19 20 19 75 Sosial 20 17 19 19 75 Jumlah 110 109 119 117 455 Agama Jumlah (Orang) 75 Pengambilan contoh dilakukan dengan teknik non-probability sampling yang menggunakan cara purposif. Sampling ini menurut Riduwan (2006:63) cocok untuk 40 studi kasus tunggal yang representatif diamati dan dianalisis. Dalam penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana ini ditetapkan contoh sebanyak 20% dari populasi yang ada di empat desa di Kecamatan Sewon (Tabel 3). Tabel 3. Jumlah contoh penelitian menurut ketokohan dan lokasi penelitian. Ketokohan Agama Pendowo- Timbulharjo Bangunharjo harjo 4 4 4 Panggungharjo 3 Jumlah (Orang) 15 Pendidikan 2 2 3 4 11 Politik 5 4 5 6 20 Pemuda 4 4 4 3 15 Wanita 3 4 4 4 15 Sosial 4 3 4 4 15 Jumlah 22 21 24 24 91 3.5. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik kuantitatif maupun kualitatif dengan ketentuan berikut : 1. Data primer berupa peubah utama yang diteliti, yaitu karakteristik personal, perilaku komunikasi, keragaan kelompok masyarakat dan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Data tersebut diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara dengan berpedoman pada kuesioner yang terdiri dari sejumlah pertanyaan yang relevan dengan peubah-peubah yang digunakan. Kuesioner (Lampiran 2) terdiri dari dua bagian, bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan data karakteristik personal, perilaku komunikasi dan keragaan kelompok masyarakat. Bagian kedua terdiri dari pertanyaanpertanyaan yang dikembangkan dari peubah tidak bebas yaitu penyelamatan korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial dasar, rehabilitasi mental, pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar dan pemulihan sistem perekonomian. Pertanyaan 41 untuk peubah tidak bebas berbentuk pernyataan-pernyataan yang harus dijawab responden dengan 1 (Sangat tidak setuju), 2 (Tidak setuju), 3 (Kurang setuju), 4 (Setuju) dan 5 (Sangat setuju). 2. Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan telaah dokumen dan studi literatur dari berbagai sumber yang terkait dengan peubah-peubah penelitian dan data statistik dari lembaga berkompeten. 3.6. Validitas dan Reliabilitas Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Hasan (2002:79) dan Rakhmat (2004:18), menyatakan bahwa suatu instrumen yang sahih atau valid, berarti memiliki validitas tinggi. Demikian sebaliknya instrumen yang kurang sahih memiliki validitas rendah. Suatu instrumen dapat dikatakan sahih, apabila (a) mampu mengukur apa yang diinginkan, (b) dapat mengungkap data dari peubah yang diteliti secara tepat dan (c) dapat menggambarkan sejauhmana data yang terkumpul tak menyimpang dari gambaran tentang peubah yang dimaksud (Arikunto, 1998:160; Kerlinger, 2004:729). Oleh karena itu, peneliti harus bertindak hati-hati sejak awal penyusunannya. Untuk validitas instrumen diusahakan dengan cara (a) menyesuaikan daftar pertanyaan dengan judul dan masalah penelitian; (b) memperhatikan saran-saran para ahli, khususnya komisi pembimbing dan (c) teori-teori dalam pustaka. Reliabilitas instrumen penelitian sangat penting dalam menentukan mutu data yang terkumpul. mengungkapkan Reliabilitas pertanyaan instrumen secara lugas digunakan (tidak dengan cara (a) membingungkan), (b) memberikan petunjuk jelas dan baku dan (c) melakukan uji coba kuesioner pada responden yang memiliki ciri-ciri relatif sama dengan obyek penelitian. Untuk menguji validitas kuesioner, dilakukan uji coba terhadap 12 responden di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Pengujian Reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana kuisioner yang digunakan dapat dipercaya atau dapat memberikan perolehan hasil penelitian yang konsisten apabila alat ukur ini digunakan kembali dalam pengukuran gejala yang sama. Metode yang digunakan dalam pengujian reliabilitas ini adalah 42 menggunakan metode alpha cronbach dengan program SPSS 13.0 for Windows. Hasil perhitungan dengan alpha cronbach memperoleh nilai reliabilitas keseluruhan 0,850 (Lampiran 3) sehingga kuesioner yang digunakan dianggap andal sebagai instrumen penelitian, karena nilai reliabilitas > 0,80 - 1,0 sangat andal (Triton, 2006). 3.7. Pengolahan dan Analisis Data Data penelitian dikumpulkan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk rataan, persentase, frekuensi dan tabel distribusi frekuensi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows, yaitu statistik deskriptif, Khi-kuadrat (χ2) dan analisis regresi linear berganda. Metode Khikuadrat (χ2) digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi (fo) dengan frekuensi yang diharapkan (fe) dari contoh apakah terdapat hubungan atau perbedaan nyata atau tidak (Riduwan, 2006:130). Sedangkan analisis regresi linear berganda adalah suatu alat analisis peramalan nilai pengaruh dua peubah bebas atau lebih terhadap peubah tidak bebas untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan fungsi atau hubungan kausal (Riduwan, 2006:152). Untuk memudahkan penginterpretasian data yang diolah, digunakan definisi operasional berikut : 1. Karakteristik personal adalah ciri-ciri yang melekat pada pribadi seseorang yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan. 2. Umur adalah keadaan usia responden yang dihitung dengan satuan tahun pada saat penelitian dilaksanakan, dikategorikan di bawah sama dengan rataan dan di atas rataan. 3. Jenis kelamin adalah keadaan kelamin responden, diklasifikasikan laki-laki dan perempuan. 4. Pendidikan adalah tingkat belajar formal yang terakhir ditempuh responden, diklasifikasikan SD, SLTP, SLTA, Diploma dan Sarjana 43 5. Pekerjaan adalah bidang atau profesi yang dijalankan responden sebagai mata pencaharian utama, diklasifikasikan PNS, TNI/Polri, Petani, Pedagang, Pegawai Swasta dan lainnya. 6. Pendapatan adalah jumlah penghasilan tetap keluarga responden dalam satu bulan, dikategorikan di bawah sama dengan rataan dan di atas rataan. 7. Ketokohan adalah status sosial responden yang berpengaruh terhadap kelompoknya, meliputi tokoh agama, pendidikan, politik, pemuda, wanita dan sosial. 8. Perilaku komunikasi adalah sikap dan tindakan responden terhadap komunikasi mengenai penanganan bencana, meliputi respons terhadap media massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan sikap terhadap opini publik. 9. Respons terhadap media massa adalah jumlah atau lamanya jam dalam satu minggu yang digunakan responden untuk menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar dalam upaya memperoleh informasi mengenai perkembangan kondisi pasca bencana, dikategorikan < 3 jam, 3 – 5 jam dan lainnya. 10. Intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana adalah jumlah kali responden berkomunikasi atau berkonsultasi dengan organisasi pelaksana rehabilitasi dalam satu minggu, dikategorikan di bawah sama dengan rataan dan di atas rataan. 11. Sikap terhadap opini publik adalah sikap responden terhadap opini yang berkembang di masyarakat terkait dengan kegiatan penanganan bencana meliputi Sangat positif, Positif, Tidak tahu, Negatif dan Sangat negatif. 12. Keragaan kelompok adalah keterlibatan pemuka pendapat dalam kelompok masyarakat yang dibentuk setelah terjadi bencana, berupa interaksi dan kebergantungan antar anggota kelompok, meliputi struktur kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok dan tujuan kelompok. Pengukuran terhadap keragaan kelompok menggunakan skala interval 1 - 5. 44 13. Struktur kelompok adalah perincian peranan dan posisi dalam kelompok yang ditunjukkan dengan berperannya responden dalam kelompok, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 14. Pembinaan kelompok adalah usaha responden untuk mempertahankan kehidupan kelompok, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 15. Kekompakan kelompok adalah rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap kelompoknya, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 16. Suasana kelompok adalah keadaan kelompok akibat pengaruh lingkungan fisik dan non fisik (interaksi anggota) yang dapat mempengaruhi responden dalam mencapai tujuan, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 17. Tekanan kelompok adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan dalam kelompok yang mendorong responden berbuat sesuatu dan tercapainya tujuan, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 18. Tujuan kelompok adalah gambaran responden tentang hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh kelompok, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 19. Penanganan bencana adalah upaya yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu korban bencana meliputi tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. 20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana adalah keterlibatan pemuka pendapat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan penanganan bencana yang dibagi menjadi delapan indikator, yaitu (1) penyelamatan korban, (2) penyediaan hunian sementara, (3) informasi program, (4) pelayanan sosial dasar, (5) rehabilitasi mental, (6) pembangunan kembali perumahan, (7) perbaikan prasarana dan sarana dasar dan (8) pemulihan sistem perekonomian. Diukur menggunakan skala Likert 1 - 5, dengan kategori 1 (Sangat tidak setuju), 2 (Tidak setuju), 3 (Kurang setuju), 4 (Setuju) dan 5 (Sangat setuju). Secara statistik, untuk dapat dianalisis pertanyaan yang diukur dengan skala Likert diterjemahkan dalam skala interval 1 - 5. 21. Penyelamatan korban adalah penyelamatan korban yang masih hidup untuk mendapatkan perawatan medis, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 45 22. Penyediaan hunian sementara adalah penyediaan tempat penampungan sementara atau pengungsian bagi korban bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 23. Informasi program adalah sosialisasi informasi kegiatan penanganan bencana kepada masyarakat korban bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 24. Pelayanan sosial dasar adalah pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, seperti makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 25. Rehabilitasi mental adalah kegiatan pemulihan kejiwaan yang dilakukan untuk mengembalikan semangat hidup masyarakat pasca bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 26. Pembangunan kembali perumahan adalah rehabilitasi rumah masyarakat yang mengalami kerusakan akibat bencana, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 27. Perbaikan prasarana dan sarana dasar adalah pembangunan kembali jalan, listrik, air bersih, Puskesmas, sekolah, tempat ibadah dan lain-lain, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 28. Pemulihan sistem perekonomian adalah pemulihan perekonomian masyarakat seperti pembukaan peluang usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan produksi pangan dan perbaikan fasilitas perekonomian, diukur menggunakan skala interval 1 - 5. 46 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian 4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima daerah kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila dilihat bentang alamnya secara makro, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat, serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif membujur dari utara ke selatan. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" - 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Kabupaten Bantul 47 4.1.2. Pembagian Administratif Secara administratif Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan yang dibagi menjadi 75 desa dan 933 pedukuhan. Luas wilayah Kabupaten Bantul adalah 50.685 Ha. Berdasarkan RDTRK dan Perda mengenai batas wilayah kota, maka status desa/kalurahan dapat dipisahkan sebagai desa/kelurahan pedesaan dan perkotaan. Secara umum jumlah desa yang termasuk dalam wilayah perkotaan sebanyak 41 desa, sedangkan desa yang termasuk dalam kawasan pedesaan sebanyak 34 desa. Pembagian administrasi dan luas masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah desa, pedukuhan, dan luas kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2005 1 Srandakan 2 Jumlah Pedukuhan 43 2 Sanden 4 62 2.316 3 Kretek 5 52 2.677 4 Pundong 3 49 2.368 5 Bambanglipuro 3 45 2.270 6 Pandak 4 49 2.430 7 Pajangan 3 55 3.325 8 Bantul 5 50 2.195 9 Jetis 4 64 2.447 10 Imogiri 8 72 5.449 11 Dlingo 6 58 5.587 12 Banguntapan 8 57 2.848 13 Pleret 5 47 2.297 14 Piyungan 3 60 3.254 15 Sewon 4 63 2.716 16 Kasihan 4 53 3.238 17 Sedayu 4 54 3.436 75 933 50.685 No. Kecamatan Jumlah Jumlah Desa Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:55. Luas (Ha) 1.832 48 4.1.3. Penduduk Berdasarkan catatan dari Dinas Pendaftaran Penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Bantul akhir tahun 2005 adalah 809.971 jiwa yang tersebar di 75 Desa dan 17 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, 397.276 jiwa adalah laki-laki dan 412.710 jiwa adalah perempuan. Dengan luas wilayah 506,85 km2 , kepadatan penduduk Kabupaten Bantul tahun 2005 adalah 1.598 jiwa per km2 . Dengan jumlah KK sebesar 204.568, maka rata-rata dalam satu KK terdapat 3,96 jiwa. Jumlah penduduk masing-masing kecamatan di Kabupaten Bantul dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5. Jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2005 No. Kecamatan 1 Srandakan KK 7.689 Laki-laki Perempuan 14.256 15.173 Jumlah 29.429 2 Sanden 8.781 16.611 17.584 34.195 3 Kretek 7.839 15.091 16.225 31.316 4 Pundong 7.651 15.982 17.123 33.105 5 Bambanglipuro 10.460 20.836 22.460 43.296 6 Pandak 12.306 24.103 24.718 48.821 7 Bantul 14.266 28.970 30.339 59.309 8 Jetis 14.135 24.474 26.009 50.483 9 Imogiri 13.752 27.800 29.497 57.297 10 Dlingo 9.298 18.074 19.127 37.201 11 Pleret 11.558 17.103 17.404 34.507 12 Piyungan 10.705 18.850 19.553 38.403 13 Banguntapan 18.078 39.657 40.552 80.209 14 Sewon 24.904 39.087 38.592 77.679 15 Kasihan 16.175 39.617 39.807 79.424 16 Pajangan 7.254 14.870 15.668 30.538 17 Sedayu 9.716 21.880 22.879 44.759 204.568 397.261 412.710 809.971 Jumlah Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, 2006:53. 49 4.1.4. Potensi Daerah a. Kerajinan Kerajinan di Kabupaten Bantul memiliki peran yang besar, tidak saja dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai lebih dari 60 ribu orang, tetapi juga karena perannya dalam mendukung sektor-sektor lainnya, seperti pariwisata, perdagangan, perindustrian dan sebagainya. Peran industri kerajinan sangat dirasakan dalam tata kehidupan masyarakat lantaran sebarannya yang hampir merata di seluruh wilayah. Lebih dari itu, sekitar 60% dari total ekspor kerajinan di DIY diproduksi pengrajin Bantul. Keunikan perajin Bantul adalah keahlian yang diperoleh secara turun temurun dan para perajin tradisional yang tinggal di sebuah dusun/desa biasanya memiliki keahlian memproduksi karya kerajinan yang sejenis. Dengan banyaknya warga yang bergelut di kerajinan sejenis, dalam perkembangannya desa tersebut menjadi pusat atau sentra suatu produk kerajinan. Para pembeli dan pecinta karya seni tradisional selain dapat memilih berbagai alternatif produk dari perajin yang berbeda sekaligus berwisata menikmati alam atau keunikan desa setempat dan juga dapat melihat proses pembuatan sebuah karya kerajinan. b. Pertanian, Peternakan dan Perikanan Luas lahan di Bantul yang digunakan untuk kegiatan produksi pertanian (sawah, tegal dan kebun campur) meliputi hampir 400 juta m2 atau mencakup sekitar 79% dari seluruh wilayah Kabupaten ini. Potensi persawahan berjumlah sekitar 16.500 Ha, terdiri dari irigasi teknis sekuas 1.200 Ha lebih, irigasi setengah teknis sekitar 12.500 Ha, irigasi sederhana lebih dari 580 Ha, irigasi desa/non PU seluas 2.100 Ha lebih. Komoditas pertanian yang dominan di Bantul adalah tanaman pangan dan holtikultura, dengan produksi padi per tahun mencapai sekitar 157 ribu ton, jagung 23 ribu ton, ubi kayu 30 ribu ton, kedelai 8 ribu ton, bawang merah 167 ribu ton, dan cabai 72 ribu ton. Sedangkan hasil buah-buahan antara lain, mangga 41 ribu kuintal setahun dan pisang sekitar 21 ribu kuintal. Sementara itu, di bidang peternakan, populasi sapi mencapai sekitar 38 ribu ekor, kambing 24 ribu ekor, domba 16 ribu ekor, ayam kampung 890 ribu ekor, ayam ras/broiler 690 ribu ekor, itik 70 ribu ekor, dan puyuh 132 ribu ekor. Telur 50 ayam yang dihasilkan pertahun sekitar 43 juta butir, sedangkan telur itik 5 juta butir. Di sektor perikanan darat (ikan tawar), Bantul menghasilkan produksi ikan budidaya (kolam dan sawah) pertahun sekitar 490 ton dan ikan tangkapan 400 ton. c. Wisata Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Bantul diarahkan untuk membuat pariwisata menjadi sektor andalan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tahun 2000, kontribusi dari pariwisata terhadap PAD Rp 1,788 milyar dan ditargetkan pada tahun 2004 menjadi Rp 5 milyar. Sasaran lain dari pembangunan pariwisata adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara dari 2.517 orang per bulan pada tahun 2000 menjadi 2.726 orang per bulan di tahun 2004. Sedangkan wisatawan nusantara dari 123.350 orang per bulan di tahun 2000 menjadi 134.100 orang per bulan di tahun 2004. Kabupaten Bantul memiliki berbagai obyek wisata yang menarik baik wisata alam, obyek wisata buatan maupun petilasan bersejarah. Selain memiliki pemandangan alam yang menawan, banyak obyek wisata yang memiliki nilai spiritual dan mitos bagi masyarakat Jawa. Wisata alam pantai selatan masih menjadi tujuan favorit wisatawan. Pemerintah Kabupaten Bantul berupaya mengembangkan sektor wisata, dengan dengan mengembangkan kawasan wisata baru seperti Pasar Seni Gabusan, mengembangkan wisata minat khusus dan membangun infrastruktur pendukung pariwisata. Selain itu Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata budaya, karena masyarakat Bantul secara turun-temurun berpegang teguh pada adat dan budaya Jawa yang adiluhung. Di berbagai wilayah di Kabupaten Bantul terdapat tradisi yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi, yakni upacara ritual tradisional sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur atas limpahan rejeki dari Tuhan dan juga sebagai penghormatan kepada leluhur. Upacara ritual yang diselenggarakan dikenal dengan upacara merti dusun, labuhan, dan sebagainya. Kesenian tradisional seperti wayang, karawitan, tari-tarian masih terus dilestarikan oleh masyarakat Bantul. Berbagai kiat untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan melalui Program Pengembangan Produk Pariwisata dan Program Pemasaran Pariwisata. Program 51 pengembangan produk pariwisata, antara lain dalam bentuk kegiatan seperti pengembangan fisik obyek wisata, penambahan daya tarik wisata, penyusunan kawasan pantai selatan, pembentukan desa wisata dan kerajinan, mendorong sektor swasta di bidang kepariwisataan dan lain-lain. Sedangkan untuk program pemasaran pariwisata dalam bentuk kegiatan peningkatan daya tarik dan informasi pariwisata, sosialisasi program wisata Kabupaten Bantul, promosi wisata ke luar daerah dan pelaksanaan event-event wisata. 4.1.5. Daerah Rawan Bencana Faktor pembatas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi alam yang sulit untuk ditaklukkan (dilawan) dan umumnya berhubungan dengan potensi bencana yang bersifat menghambat pelaksanaan pembangunan maupun merusak hasil-hasil pembangunan. Pengelolaan faktor pembatas bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dengan jalan menginventarisasi jenis bencana serta melokalisir daerah bencana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa di Kabupaten Bantul terdapat kawasan-kawasan yang relatif rawan terhadap bencana. Secara berurutan dapat dikelompokkan berdasarkan jenis bencananya sebagai berikut : a. Daerah Rawan Banjir Daerah rawan banjir umumnya dikaitkan dengan suatu Daerah Aliran Sungai. Untuk sungai Oya, daerah rawan bencana terdapat di pedukuhan Jetis, Lemahrubuh, Lanteng, Kajor, Siluk, Plemantung, dan Putat. Daerah di sekitar sungai Celeng yang perlu diwaspadai adalah pedukuhan Nogosari dan Tilaman, Desa Wukirsari; pedukuhan Salaman, Desa Karangtalun; pedukuhan Kradenan, Desa Girirejo; pedukuhan Mojolegi, Karangtengah, dan Pucunggrowong, Desa Karangtengah; serta pedukuhan Ketos dan Dogongan, Desa Sriharjo. Sedangkan daerah rawan bencana yang terletak di sekitar sungai Opak terdapat di pedukuhan Singosaren, Manggung, Demi, dan Garjoyo, Desa Wukirsari; pedukuhan Tlogo, Desa Kebon Agung; pedukuhan Ngemprongan, Desa Karangtalun; pedukuhan Sungapan, Desa Sriharjo; pedukuhan Nagsri, Potrobayan, Seyegan, Tulung, dan Kalisat, Desa Srihardono; pedukuhan Gunungpuyuh, Krapyak, Jetis, dan 52 Semampir, Desa Panjangrejo; pedukuhan Nambangan, Biro, dan Ngentak, Desa Seloharjo; pedukuhan Colo, Mersan, Gading Daton, Gading Lumbung, Gadingharjo, Kalipakel, Mriyan, Tegalsari, Busuran, dan Metuk, Desa Donotirto; pedukuhan Karang dan Kalangan, Desa Tirtohargo; dan pedukuhan Sono, Samiran, Bungkus, dan Kretek, Desa Parangtritis. Untuk daerah sekitar sungai Progo, kawasan rawan bencana banjir terletak di Pedukuhan Ngentak, Kwaru, Babadan, Bodowaluh, dan Bibis, Desa Poncosari. b. Daerah Rawan Longsor Daerah yang terletak di lereng-lereng perbukitan adalah daerah yang dapat dikatakan daerah rawan bencana tanah longsor. Lokasi yang perlu diwaspadai terdapat di Pedukuhan Maladan dan Lo Putih, Desa Jatimulyo; Pedukuhan Sukorame dan Cempluk, Desa Mangunan; Pedukuhan Bulusari, Sanansari, dan Rejosari, Desa Srimartani; Pedukuhan Karangasem dan Kedungbuweng, Desa Wukirsari; Pedukuhan Siluk, Srunggo, Kajor, dan Kalidadap, Desa Selopamioro; dan Pedukuhan Kalijoho, Desa Argosari. c. Daerah Rawan Kekeringan Daerah yang terletak di perbukitan secara umum adalah daerah yang dapat dikatakan sebagai kawasan kekeringan. Pada beberapa lokasi perlu mendapat perhatian seperti Pedukuhan Pakis, Desa Dlingo; Pedukuhan Seropan, Desa Muntuk; Pedukuhan Bulusari, Rejosari, Sanansari, dan Petir, Desa Srimartani; Pedukuhan Dermojurang, Geger, dan Tempel, Desa Seloharjo; seluruh kawasan Desa Triharjo; Pedukuhan Beji, Desa Sendangsari; Pedukuhan Pringgading dan Gupakwarak, Desa Guwosari; Pedukuhan Sabranglor dan Sabrangkidul, Desa Triwidadi; Pedukuhan Sambikerep, Kenalan, Pereng, Sribitan, Bogem, dan Karangjati, Desa Bangunjiwo; Pedukuhan Gunungsempu, Desa Tamantirto; Pedukuhan Jetis, Desa Argosari; dan Pedukuhan Cawan dan Sukoharjo, Desa Argodadi. 53 4.2. Karakteristik Personal Responden Responden dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat di Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul. Karakteristik personal responden yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan ketokohan. Data hasil penelitian karakteristik personal responden dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati No 1. Karakteristik Responden Umur (tahun) Kategori < 41 > 41 2. Jenis Kelamin Pria Wanita 3. Pendidikan SD SLTP SLTA Diploma Sarjana 4. Pekerjaan PNS Petani Pegawai Swasta Wiraswasta 5. Pendapatan < Rp 1.629.165 > Rp 1.629.165 6. Ketokohan Agama Pendidikan Politik Pemuda Wanita Sosial Sumber: Data primer hasil penelitian Jumlah (Orang) 42 49 63 28 5 7 38 13 28 22 19 28 22 57 34 15 11 20 15 15 15 Persentase (%) 46,2 53,8 69,2 30,8 5,5 7,7 41,8 14,2 30,8 24,2 20,8 30,8 24,2 62,6 37,4 16,5 12,0 22,0 16,5 16,5 16,5 4.2.1. Umur Berdasarkan hasil penelitian, umur responden dikategorikan berdasarkan di bawah rataan dan di atas rataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia termuda 21 tahun dan tertua 65 tahun, dengan usia rataan 41 tahun. Dengan demikian, sebagian besar responden merupakan umur dengan keadaan di atas usia rataan (53,8%). Dilihat dari usia rata-rata dan kisaran usia, responden dalam penelitian ini tergolong usia produktif. Pemuka pendapat dengan usia ini 54 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik serta memiliki kemampuan daya pikir untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Responden yang berusia lebih tua lebih dihormati oleh masyarakat, sebagai panutan atau tempat bertanya ketika mengalami permasalahan dalam penanganan bencana. 4.2.2. Jenis Kelamin Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 69,2% pria dan 30,8% wanita. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran kaum perempuan di tengah masyarakat sudah cukup baik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terbukanya peran perempuan di berbagai sektor kehidupan secara profesional. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang membuka ruang bagi peran perempuan di berbagai bidang, sehingga kegiatan masyarakat tidak lagi didominasi oleh laki-laki, tetapi wanita juga banyak berperan sesuai dengan bidang keahliannya. Responden pria banyak beraktivitas di bidang teknis dalam penanganan bencana, seperti pencarian bantuan dan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sedangkan responden wanita banyak yang berperan dalam pemulihan yang bersifat psikis melalui berbagai kegiatan kewanitaan seperti PKK, posyandu dan pengajian rutin untuk ibu-ibu. 4.2.3. Pendidikan Dalam penelitian ini tingkat pendidikan yang diamati adalah pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai sarjana. Pendidikan responden terdiri dari SD 5,5%, SLTP 7,7%, SLTA 41,8%, Diploma 14,2% dan Sarjana 30,8%. Kondisi responden yang berpendidikan SLTA sampai sarjana menunjukkan faktor pendidikan mempengaruhi ketokohan seseorang di masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan kemampuan dalam menerima dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Tokoh masyarakat yang mempunyai pendidikan lebih tinggi mempunyai akses informasi lebih baik dibandingkan dengan berpendidikan lebih rendah. Dalam hal ini, lebih sering berkomunikasi dengan tim manajemen pelaksana penanganan bencana. Sedangkan responden yang berpendidikan lebih rendah, lebih banyak berhubungan dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya. 55 4.2.4. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden yaitu PNS 24,2%, Petani 20,8%, Pegawai Swasta 30,8% dan Wiraswasta 24,2%. Responden yang paling banyak bekerja di sektor swasta seperti pegawai di perusahaan dan instansi swasta. Setelah itu PNS di berbagai instansi pemerintah dan wiraswasta yang bergerak di sektor perdagangan, kerajinan dan properti. Jumlah petani lebih sedikit karena di lokasi penelitian, petani biasanya berpendidikan relatif lebih rendah dan kurang memiliki akses sebagai pemuka pendapat. Jenis pekerjaan yang ditekuni pemuka pendapat banyak berpengaruh terhadap ketokohannya. Hal ini disebabkan ada jenis pekerjaan yang mampu mengangkat peran seseorang menjadi tokoh masyarakat, karena adanya struktur sosial, status sosial, status ekonomi, status kepangkatan dan sebagainya. Di antaranya, jenis pekerjaan yang langsung melayani anggota masyarakat seperti aparat pemerintah, guru dan da’i. Jenis pekerjaan tersebut menyebabkan pemuka pendapat sering berhubungan dengan masyarakat sekitarnya. 4.2.5. Pendapatan Pendapatan responden berkisar Rp 420.000 - Rp 10.000.000, sehingga diperoleh pendapatan rataan Rp 1.629.165. Kemudian diperoleh jumlah responden yang memiliki pendapatan di bawah sama dengan rataan 62,6% dan di atas rataan 37,4%. Melihat rataan pendapatan tersebut dapat dijelaskan bahwa pendapatan mempunyai peranan bagi ketokohan. Sebab orang yang memiliki pendapatan tinggi masih dipandang mempunyai pengaruh bagi masyarakat sekitarnya, terutama menyangkut aktivitas sosial. Responden yang memiliki pendapatan tinggi sebagian besar berasal dari wiraswasta dan PNS yang memiliki masa kerja cukup lama. Sedangkan responden yang memiliki pendapatan rendah umumnya dari petani dan pegawai swasta. Tingkat pendapatan masyarakat ini berhubungan dengan aktivitas komunikasi dan menyerap informasi. Responden yang memiliki pendapatan tinggi biasanya banyak memiliki sumber informasi. Hal ini memungkinkannya menyerap berbagai informasi lebih banyak dan lebih cepat untuk disebarkan kepada masyarakatnya. Selain itu, pada masyarakat juga masih ada stigma bahwa orang yang memiliki 56 status lebih tinggi secara ekonomi lebih mudah dimintai bantuan, sehingga ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya akibat kedermawanan bila ada kegiatankegiatan sosial di masyarakat. 4.2.6. Ketokohan Pemuka pendapat adalah seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya. Ketokohan ini tumbuh karena orang tersebut menjadi panutan dan sumber informasi bagi masyarakat. Hal itu berdasarkan sikap percaya masyarakat terhadap tokoh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan responden tokoh politik 22,0%, tokoh agama 16,5%, tokoh pemuda 16,5%, tokoh wanita 16,5%, tokoh sosial 16,5% dan tokoh pendidikan 12,0%. Berdasarkan persepsi responden, ada beberapa tokoh masyarakat yang memiliki peran ganda atau memiliki lebih dari satu ketokohan. Keadaan ini menunjukkan bahwa seseorang yang ditokohkan lebih dari satu jenis ketokohan, disebabkan perannya dalam masyarakat lebih aktif, partisipatif dan kosmopolit. Namun dalam penelitian ini yang dilihat salah satu ketokohan yang lebih dominan. Peran tokoh politik dalam kegiatan penanganan bencana umumnya dalam hal kebijakan pengelolaan bantuan di masyarakatnya. Tokoh politik juga banyak berperan dalam mengusahakan bantuan untuk masyarakat di lingkungannya, dengan akses kepada pengambil keputusan dan tim manajemen penanganan bencana. Tokoh agama berperan dalam pengajian-pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya. Berdasarkan pengakuan responden, setelah terjadi bencana minat masyarakat untuk mengikuti kegiatan keagamaan lebih tinggi. Hal ini tidak terlepas dari peran tokoh agama yang giat menumbuhkan nilai-nilai religius di masyarakat. Tokoh pemuda berperan dalam menggerakkan pemuda-pemuda di masyarakat pasca bencana, terutama pada masa tanggap darurat. Tokoh pendidikan ditokohkan karena profesinya sebagai pendidik, dalam hal ini tokoh pendidikan berperan dalam sosialisasi kesiapsiagaan bencana kepada anak-anak sekolah. Sedangkan tokoh wanita, ditokohkan karena aktivitasnya di berbagai kegiatan kewanitaan seperti pengajian ibu-ibu, posyandu, arisan dan PKK. 57 4.3. Perilaku Komunikasi Perilaku komunikasi merupakan sikap dan tindakan responden terhadap komunikasi mengenai penanganan bencana, meliputi respons terhadap media massa, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana dan sikap terhadap opini publik. 4.3.1. Respons terhadap Media Massa Respons terhadap media massa diukur dengan lamanya responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar dengan satuan jam dalam satu minggu (Tabel 7). Media massa merupakan sumber informasi penting untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan merespons media massa, pemuka pendapat dapat menambah wawasan untuk disebarkan kepada masyarakat. Tabel 7. Distribusi responden menurut respons terhadap media massa Perilaku Komunikasi Respons terhadap media massa 1. Lamanya menonton TV Kategori (Jam) Jumlah (Orang) Persentase (%) Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam 0 28 45 18 0 30,8 49,4 19,8 Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam 4 44 35 8 4,4 48,4 38,5 8,7 surat Tidak pernah < 3 jam 3 – 5 jam >5 jam Sumber: Data primer hasil penelitian 4 7 68 12 4,4 7,7 74,7 13,2 2. Lamanya mendengar radio 3. Lamanya kabar membaca a. Menonton Televisi Berdasarkan hasil penelitian yang dituangkan pada Tabel 7 diketahui bahwa semua responden menonton televisi. Sebagian besar responden menonton televisi antara 3 – 5 jam dalam satu minggu (49,4%). Hal itu menunjukkan bahwa televisi 58 cukup berperan sebagai sumber informasi masyarakat. Media televisi yang bersifat audio visual merupakan media komunikasi yang paling menarik bila dibandingkan media massa lain. Hal itu dapat dipahami, karena televisi dalam menyajikan berita atau informasi selain disampaikan secara lisan, juga didukung oleh gambar. Siaran televisi mudah dipahami oleh masyarakat dari segala usia dan pendidikan. Apalagi di Yogyakarta terdapat beberapa stasiun televisi lokal yang mengedepankan lokalitas dalam siarannya. Televisi lokal tersebut membantu penyebaran informasi, karena banyak menyajikan berita dan tayangan budaya Yogyakarta. b. Mendengar Radio Respons pemuka pendapat terhadap radio kurang begitu baik, karena sebagian besar responden mendengar radio < 3 jam (48,4%), bahkan ada yang tidak pernah mendengar radio (4,4%). Kurang tertariknya responden mendengar radio, karena media ini hanya bersifat audio, sehingga cenderung memilih menonton media audio visual. Saat ini radio kurang populer di masyarakat, sebab semakin banyak stasiun televisi nasional dan lokal yang mulai menggeser peran radio. Siaran radio juga biasanya hanya selintas dan banyak mengalami gangguan penerimaan akibat faktor cuaca. c. Membaca Surat Kabar Surat kabar bagi sebagian orang merupakan media prestisius, karena tidak semua orang bisa memilikinya. Namun bagi pemuka pendapat, surat kabar menjadi media penting sebagai sumber informasi. Berdasarkan penelitian, 74,7% responden membaca surat kabar antara 3 – 5 jam dalam satu minggu. Hal ini disebabkan informasi yang disajikan surat kabar lebih lengkap, dilengkapi data dan banyak narasumber. Surat kabar juga dapat dibaca berulang-ulang, mudah dibawa dan dapat didokumentasikan oleh pembaca. Masyarakat memanfaatkan media massa dengan beragam tujuan, sesuai dengan fungsi media massa, yaitu sumber informasi, pendidikan dan hiburan. Dalam penelitian ini diteliti tujuan responden menonton televisi, mendengar radio 59 dan membaca surat kabar. Tujuan ini dibagi menjadi tiga, yaitu menambah pengetahuan, hiburan dan mengisi waktu luang (Tabel 8). Tabel 8. Tujuan responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar 1. Menambah pengetahuan Persentase (%) Radio Surat Kabar 59,3 40,2 87,4 2. Hiburan 13,2 18,4 12,6 27,5 41,4 0 Tujuan 3. Mengisi waktu luang Sumber: Data primer hasil penelitian Televisi Sebagian besar responden memanfaatkan media massa untuk menambah pengetahuan, terutama surat kabar yang mencapai 87,4%. Kedalaman informasi yang disajikan surat kabar menjadikan surat kabar sebagai media untuk menambah pengetahuan, lalu sarana hiburan umumnya yang memanfaatkan radio (18,4%), begitu juga untuk mengisi waktu luang (41,4%). Hal ini dapat dipahami, karena untuk mendengar radio dapat dilakukan dengan santai dan sambil istirahat. Manfaat yang diperoleh responden dari media massa terkait dengan penanganan bencana dikategorikan tiga hal, yaitu informasi penyaluran bantuan, informasi rehabilitasi dan rekonstruksi dan kebijakan penanganan bencana. Pada masa pasca bencana, keberadaan media massa sebagai sumber informasi menjadi penting, karena perkembangan penanganan bencana selalu disiarkan oleh media massa. Pemuka pendapat memerlukan informasi dari media massa untuk mengetahui kondisi terbaru terkait penanganan bencana. Berdasarkan informasi dari media massa, pemuka pendapat dapat melakukan langkah-langkah strategis bagi masyarakat di lingkungannya. Berikut ini manfaat media massa bagi responden dalam penanganan bencana (Tabel 9). 60 Tebel 9. Manfaat responden menonton televisi, mendengar radio dan membaca surat kabar Persentase (%) Televisi Radio Surat Kabar 22,6 50 24,7 Manfaat 1. Informasi penyaluran bantuan 2. Informasi rehabilitasi rekonstruksi dan 3. Kebijakan penanganan bencana Sumber: Data primer hasil penelitian 26,2 20,3 23,4 51,2 29,7 51,9 Informasi penyaluran bantuan sebagian besar diperoleh dari siaran radio (50%), karena radio lokal secara rutin menyiarkan perkembangan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sedangkan informasi tentang rehabilitasi dan rekonstruksi sebagian besar diperoleh dari televisi (26,2%). Menurut responden, televisi lokal sering menayangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam sesi berita daerah. Kemudian surat kabar mempunyai peranan penting dalam menginformasikan kebijakan penanganan bencana (51,9%) melalui berita-berita penanganan bencana di Yogyakarta. 4.3.2. Intensitas Pertemuan dengan Pelaksana Penanganan Bencana Dalam membantu penanganan bencana di lingkungannya, pemuka pendapat juga berkomunikasi dengan berbagai pihak, terutama pelaksana penanganan bencana. Komunikasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi teknis tentang perkembangan penanganan bencana. Menurut responden komunikasi ini penting untuk berkoordinasi dan menghindari miskomunikasi antara masyarakat dengan pelaksana penanganan bencana. Dari informasi yang diperoleh melalui pertemuan tersebut, responden kemudian melakukan sosialisasi kepada masyarakatnya. Dalam penelitian kemudian intensitas pertemuan dijabarkan menjadi jumlah bertemuan dalam satu minggu, tujuan komunikasi, tempat, jadwal dan waktu yang efektif (Tabel 10). 61 Tabel 10. Intensitas pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana No. 1. Intensitas pertemuan Jumlah pertemuan < 2 dalam satu minggu > 2 2. Tujuan komunikasi Kategori Mencari informasi Mendapatkan bantuan Memberi informasi 3. Tempat Posko pemerintah Posko LSM Posko Mahasiswa Kepala Desa Tokoh masyarakat Lokasi pengungsian Posko darurat 4. Jadwal Hari kerja Hari libur 5. Waktu Pagi (08.00 – 12.00) Siang (12.00 – 16.00) Sore (16.00 – 19.00) Malam (19.00 ke atas) Sumber: Data primer hasil penelitian Jumlah (orang) Persentase (%) 48 52,75 43 47,25 54 20 17 17 25 6 11 21 6 5 47 44 31 11 24 25 59,3 22,0 18,7 18,7 27,5 6,6 12,1 23,1 6,6 5,5 51,6 48,4 34,1 12,1 26,4 27,5 Responden di lokasi penelitian melakukan pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana antara 1 - 7 kali dalam satu minggu dengan rataan pertemuan 2 kali dalam satu minggu. Responden yang melakukan pertemuan kurang dari rataan (52,75%) dan lebih dari rataan (47,25%). Besarnya persentase responden yang melakukan pertemuan kurang dari rataan disebabkan kesibukan responden dengan pekerjaan atau aktivitas lain. Sedangkan responden yang sering melakukan pertemuan, biasanya merupakan pengurus kelompok masyarakat (pokmas) atau fasilitator sosial (fasos) dalam kegiatan penanganan bencana. Tujuan komunikasi sebagian besar untuk mencari informasi (59,3%) dan mendapatkan bantuan (22,0%). Hanya sedikit responden yang berperan sebagai pemberi informasi (18,7%). Hal ini menunjukkan bahwa responden berperan sebagai sumber informasi bagi masyarakat, karena itu mencari informasi ke berbagai pihak terkait dengan penanganan bencana di wilayahnya. Responden yang berperan sebagai pemberi informasi adalah yang terlibat sebagai fasilitator 62 sosial penanganan bencana, sehingga secara rutin melaporkan kondisi masyarakat tempatnya bertugas kepada KMK (Konsultan Manajemen Kabupaten). Tempat berkomunikasi sebagian besar di posko LSM (27,5%), tokoh masyarakat (23,1%) dan posko pemerintah (18,7%). Responden sebagian besar beralasan bahwa posko LSM lebih terbuka bagi masyarakat yang ingin berhubungan terkait penanganan bencana. LSM juga dinilai lebih kooperatif dalam menghadapi pengaduan penanganan bencana. Sedangkan tokoh masyarakat menurut responden dijadikan tempat konsultasi, karena dianggap sebagai panutan warga bila mengalami permasalahan. Responden yang berkomunikasi dengan pemerintah biasanya yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan fasilitator sosial. Menurut responden jadwal pertemuan yang paling efektif adalah hari kerja (51,6%). Hal ini disebabkan pada hari kerja komunikasi dapat dilakukan secara formal dan sesuai dengan jadwal kerja institusi formal. Responden mengaku bila berkonsultasi pada hari kerja lebih mudah mendapatkan informasi dan data. Sedangkan komunikasi pada hari libur biasanya dilakukan di tempat-tempat informal. Waktu pertemuan paling efektif pagi hari, antara jam 08.00 – 12.00 (34,1%) atau malam hari jam 19.00 ke atas (27,5%). Waktu ini berkaitan dengan jadwal kerja responden dan tempat konsultasi. Responden yang tidak terikat jam kerja biasanya berkonsultasi pada jam kerja. Sedangkan responden yang terikat jam kerja seperti PNS atau pegawai swasta berkonsultasi pada malam hari. Pada pagi hari komunikasi dilakukan secara formal di kantor atau posko. Namun pada malam hari bisa dilakukan secara tidak formal di rumah yang bersangkutan. 4.3.3. Sikap terhadap Opini Publik Dalam penanganan bencana terdapat opini yang berkembang di masyarakat. Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan sejak masa tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Opini publik ini bersifat individu masyarakat korban bencana atau dalam kelompok. Umumnya opini yang berkembang disebabkan karena kurangnya komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat. Distribusi bantuan yang tidak merata dan tidak tepat sasaran 63 juga menyebabkan terjadinya opini publik. Dalam penelitian ini sikap pemuka pendapat terhadap opini publik dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sikap terhadap opini publik Sikap terhadap opini Kategori publik 1. Sikap terhadap opini Sangat negatif masyarakat Negatif Tidak tahu Positif Sangat positif 2. Sikap terhadap Tidak mendukung penanganan bencana Kurang mendukung oleh pemerintah Mendukung Sangat mendukung 3. Sikap terhadap Tidak mendukung Kurang mendukung penanganan bencana Mendukung LSM Sangat mendukung 4. Sikap terhadap Sesuai prosedur penanganan Tidak sesuai bencana 5. Cara penanganan yang Langsung tepat Struktural Sumber: Data primer hasil penelitian No. Jumlah (orang) 0 10 0 65 16 0 13 63 15 1 11 63 16 79 12 Persentase (%) 0 11,0 0 71,4 17,6 0 14,3 69,2 16,5 1,1 12,1 69,2 17,6 86,8 13,2 49 42 53,8 46,2 Responden sebagian besar bersikap positif terhadap opini masyarakat (71,4%), karena beranggapan opini masyarakat penting untuk melihat ketimpangan-ketimpangan dalam penanganan bencana. Dengan adanya opini yang berkembang, pemuka pendapat dapat mengetahui sikap masyarakat terhadap penanganan bencana yang dilakukan di lingkungannya. Opini ini merupakan sumber informasi bagi pemuka pendapat untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Pemuka pendapat menilai opini publik merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara penanganan bencana, terutama pemerataan bantuan. Penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah didukung oleh pemuka pendapat (69,2%). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam penanganan bencana di lingkungannya cukup baik dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pemerintah juga dinilai tanggap terhadap kebutuhan masyarakat 64 dalam kondisi darurat dan penyalurannya terkoordinir. Sementara pemuka pendapat yang kurang mendukung (14,3%) beranggapan pemerintah terlalu banyak mengumbar janji tidak pasti kepada masyarakat. Distribusi bantuan pemerintah di beberapa tempat terkesan lambat dengan birokrasi yang rumit. Pemuka pendapat juga menilai adanya ketidakadilan, penyimpangan dan indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penanganan bencana oleh pemerintah. Pemuka pendapat sebagian besar mendukung penanganan bencana oleh LSM (69,2%). LSM dinilai lebih cepat tanggap dalam penanganan bencana dan bantuan yang diberikan langsung kepada sasaran. LSM dalam penanganan bencana juga mengedepankan aspirasi masyarakat. Sedangkan yang kurang mendukung (12,1%) beranggapan bantuan kemanusiaan kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu. Distribusinya juga tidak merata dan kurang koordinasi dengan pemuka pendapat. Prosedur penanganan bencana di lokasi penelitian dinilai sesuai oleh pemuka pendapat (86,8%), karena dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku. Penanganan bencana dilakukan berdasarkan data di lapangan, kemudian koordinasi dengan pemuka pendapat untuk menentukan langkah-langkah dan kebijakan yang diambil. Sedangkan pendapat yang menilai tidak sesuai (13,2%) disebabkan karena belum merata dan ada yang tidak tepat sasaran. Selain itu informasi kepada masyarakat juga masih ada yang simpang siur, sehingga membingungkan korban bencana. Cara penanganan bencana menurut sebagian besar pemuka pendapat lebih baik dilakukan secara langsung (53,8%). Penyaluran secara langsung dinilai lebih efektif, karena tidak melalui birokrasi yang rumit dan langsung diterima masyarakat, terutama untuk bantuan yang sifatnya mendesak. Selain itu, bila disalurkan secara langsung dapat menghindari pemotongan-pemotongan oleh petugas atau aparat pemerintah. Sedangkan responden yang berpendapat lebih baik dilakukan secara struktural (46,2%) beralasan lebih terkoordinasi. Melalui struktural diperoleh data yang akurat tentang korban yang layak mendapat bantuan. Prosedur struktural juga dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan, karena tidak melanggar prosedur. 65 4.4. Keragaan Kelompok Dalam penanganan bencana di lokasi penelitian terdapat kelompok masyarakat (pokmas) yang beranggotakan 10 – 15 orang korban gempa. Pokmas dibentuk atas fasilitasi pemerintah untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan penyaluran bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pokmas ini merupakan media aspirasi masyarakat yang bersifat independen dan dijalankan dengan prinsip demokratis untuk kepentingan/kemaslahatan masyarakat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Keberhasilan partisipasi pokmas ini dipengaruhi oleh kondisi komunikasi di dalamnya seperti dalam struktur kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok dan tujuan kelompok. Penilaian keragaan kelompok ini berdasarkan persentase skor pengolahan data hasil penelitian yaitu sangat rendah (0% - 20%), rendah (21% - 49%), cukup (41% - 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi (81% - 100%). 4.4.1 Struktur Kelompok Struktur kelompok merupakan perincian peranan dan posisi dalam kelompok yang ditunjukkan dengan berperannya responden dalam kelompok. Hasil penelitian tentang struktur kelompok masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Struktur kelompok masyarakat No 1. 2. 3. Struktur Kelompok Keterlibatan dalam pengambilan keputusan kelompok Pembagian kerja kelompok Komunikasi timbal balik dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 66,15 63,95 58,02 62,70 Keterlibatan responden dalam pengambilan keputusan di kelompoknya termasuk kategori kuat (66,15%), karena pemuka pendapat mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan di setiap rapat kelompok masyarakat terkait dengan penanganan bencana. Pembagian kerja kelompok memiliki skor 66 tinggi (63,95%), karena kelompok masyarakat di lokasi penelitian mengedepankan kerjasama dan gotong royong tanpa memandang status dan golongan. Namun komunikasi timbal balik hanya mempunyai skor cukup (58,02%). Hal ini disebabkan, masih banyak anggota kelompok masyarakat yang berperan sebagai pendengar atau penerima informasi, sehingga kurang terjadinya komunikasi dua arah. Kondisi ini juga dipengaruhi kondisi budaya masyarakat setempat yang menganggap pendapat tokoh masyarakat sudah mewakili keinginan masyarakat. 4.4.2. Pembinaan Kelompok Pembinaan kelompok berkaitan dengan usaha responden untuk mempertahankan kehidupan kelompok melalui peranserta dalam kegiatankegiatan kelompok, sehingga keberadaan kelompok juga memiliki arti penting bagi pemuka pendapat. Hasil penelitian mengenai kondisi pembinaan kelompok dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pembinaan kelompok masyarakat No 1. 2. 3. Pembinaan Kelompok Partisipasi dalam kegiatan kelompok Manfaat dari kegiatan kelompok Pengaruh terhadap kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 59,12 68,79 56,48 61,46 Banyaknya aktivitas dan kesibukan menyebabkan sebagian responden tidak memiliki waktu yang cukup untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan kelompok, sehingga partisipasi responden dalam kegiatan kelompok masyarakat hanya memperoleh skor cukup (59,12%). Karena tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelompok, maka responden tidak mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelompok (56,48%). Namun responden mengaku mendapatkan banyak manfaat dari kelompok (68,79%), terutama dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Melalui kerjasama kelompok beban responden terkait permasalahan penanganan bencana dapat berkurang. 67 4.4.3. Kekompakan Kelompok Keberhasilan kelompok masyarakat tidak lepas dari kekompakan antar anggota kelompok. Kekompakan ini mencerminkan rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap kelompoknya. Untuk mengetahui sejauhmana kelompakan kelompok di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Kekompakan kelompok masyarakat No Kekompakan kelompok 1. 2. 3. Keterbukaan informasi dalam kelompok Kerjasama kelompok Kesamaan pandangan kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 75,16 65,71 54,94 65,27 Karena sering mengadakan pertemuan kelompok masyarakat, maka keterbukaan informasi memiliki skor tinggi (75,16%). Hal ini disebabkan karena dalam rapat-rapat kelompok semua permasalahan dan informasi terbaru dikemukakan, sehingga diketahui oleh semua anggota. Kesamaan kondisi sebagai korban bencana alam membuat masyarakat bekerjasama bahu-membahu meringankan beban, sehingga kerjasama dalam masyarakat relatif kuat (65,71%). Namun dalam kelompok masyarakat tidak selalu terjadi kesamaan pandangan (54,94%), karena masing-masing individu mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini wajar terjadi dalam kelompok, karena tingkat permasalahan dan kepentingan yang dikemukakan dalam kelompok antara satu orang dengan orang lainnya tidak selalu sama. 4.4.4. Suasana Kelompok Pengaruh lingkungan dan interaksi anggota dalam suatu kelompok mempengaruhi suasana di dalamnya. Suasana ini kemudian mempengaruhi responden dalam interaksi kelompok dan mencapai tujuannya. Hasil penelitian tentang suasana kelompok disajikan pada Tabel 15. 68 Tabel 15. Suasana kelompok masyarakat No Suasana Kelompok 1. 2. 3. Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok Motivasi dalam kelompok Solidaritas dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 65,27 68,57 72,30 68,71 Kebebasan berpartisipasi dalam kelompok memiliki skor kuat (65,27%) karena semua anggota dapat berperan dalam kegiatan kelompok, sehingga tingkat motivasi yang diperoleh responden juga tinggi (68,57%). Hal lainnya, suasana kekeluargaan dan gotong-royong yang dijunjung tinggi oleh kelompok, maka solidaritas memiliki skor kuat (72,30%). 4.4.5. Tekanan Kelompok Dalam suatu kelompok sosial dengan banyak individu di dalamnya sering terjadi tekanan-tekanan. Hal ini disebabkan karena perbedaan emosi antar anggota dan motivasi untuk berkelompok. Untuk mengetahui tekanan kelompok di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Tekanan kelompok masyarakat No 1. 2. 3. Tekanan Kelompok Penghargaan dalam kelompok Persaingan dalam kelompok Hukuman dalam kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 43,07 36,48 31,20 36,91 Dalam kelompok tidak selalu ada penghargaan terhadap responden yang berbuat baik atau menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Hal ini menyebabkan penghargaan dalam kelompok memiliki skor cukup (43,07%). Sedangkan persaingan antar anggota kelompok tidak terlalu terlihat di lokasi penelitian (36,48%), karena dalam rehabilitasi dan rekonstruksi nilai bantuan yang diberikan sama sesuai dengan kondisi kerusakan yang dialami oleh anggota kelompok. 69 Persaingan hanya terjadi, karena sikap ingin dipandang atau dihormati oleh anggota kelompok yang lain. Proses hukuman dalam kelompok juga lemah (31,20%), karena masyarakat lebih mengutamakan musyawarah dan kekeluargaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. 4.4.6. Tujuan Kelompok Dalam berkelompok masing-masing individu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut kemudian dipertemukan untuk menjadi tujuan kelompok. Untuk mengetahui sejauhmana tujuan kelompok dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Tujuan kelompok masyarakat No Persentase Skor (%) 64,39 54,94 72,74 64,02 Tujuan Kelompok 1. 2. 3. Keterbukaan tujuan kelompok Kesamaan tujuan dalam kelompok Dukungan terhadap tujuan kelompok Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Keterbukaan tujuan kelompok memiliki skor kuat (64,39%), karena sebagian besar responden yang aktif dalam kegiatan kelompok mengetahui tujuan kelompoknya. Meskipun tujuan kelompok merupakan tujuan bersama, tidak semua responden mengaku selalu memiliki kesamaan tujuan dengan kelompok (54,94%). Hal ini disebabkan karena tujuan kelompok ditetapkan berdasarkan suara mayoritas dalam kelompok, sehingga anggota kelompok harus mengikutinya demi solidaritas dan persatuan kelompok. Walaupun terdapat perbedaan tujuan, dukungan terhadap tujuan kelompok memiliki skor tinggi (72,74%) akibat adanya solidaritas tersebut. 70 4.5. Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Seperti dikemukakan dalam kerangka berpikir penelitian ini, peubah tidak bebas, yaitu pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Bagian dari peubah ini yang diteliti, yaitu keterlibatan komunikasi pemuka pendapat dalam kegiatan penanganan bencana yang terbagi ke dalam delapan kegiatan, antara lain penyelamatan korban, penyediaan hunian sementara, informasi program, pelayanan sosial dasar, rehabilitasi mental, pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem perekonomian. Penilaian berdasarkan persentase skor dari pengolahan data hasil penelitian, yaitu sangat rendah (0% - 20%), rendah (21% - 49%), cukup (41% 60%), tinggi (61% - 80%) dan sangat tinggi (81% - 100%). 4.5.1. Penyelamatan Korban Gempa bumi telah menyebabkan korban jiwa. Penyelamatan korban dititikberatkan pada penyelamatan korban yang masih hidup untuk mendapatkan perawatan medis. Penyelamatan korban ini merupakan fase awal dalam respons terhadap bencana. Setelah terjadi bencana gempa bumi, masyarakat spontan akan melakukan tindakan penyelamatan korban dengan membawanya ke tempat yang lebih aman. Kemudian mendirikan posko darurat untuk menampung korban dan memberikan pertolongan pertama. Dalam kondisi demikian, masyarakat meminta petunjuk dan arahan dari tokoh masyarakat tentang pelaksanaan penyelamatan dan pendirian posko darurat di lokasi bencana. Pada masa ini, masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk melakukan tindakan-tindakan evakuasi korban dan pendirian posko darurat. Penyelamatan korban oleh masyarakat setempat merupakan upaya yang dilakukan sebelum mendapat bantuan dari pemerintah dan LSM. Hal ini merupakan inisiatif masyarakat korban sebagai bentuk rasa kemanusiaan terhadap korban lainnya. Kemudian setelah datang bantuan dari luar, penanganan dilakukan dengan lebih baik melalui pendirian tenda-tenda pengungsian dan bantuan medis. Penanganan oleh pemerintah dan LSM menurut informasi dari lokasi penelitian dilakukan melalui koordinasi dengan tokoh masyarakat dan aparat desa setempat. 71 Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyelamatan korban dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyelamatan korban No. Penyelamatan Korban 1. 2 3 4 5 Peran dalam penyelamatan korban Koordinasi dengan relawan Pencarian bantuan medis Pendirian posko bantuan Pendataan korban Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 82,85 83,07 80,43 85,05 80,43 82,37 Dalam penyelamatan korban, komunikasi pemuka pendapat yang memiliki skor tertinggi, yaitu pendirian posko bantuan (85,05%) dan koordinasi dengan relawan (83,07%). Berdasarkan wawancara dengan responden, dalam pendirian posko bantuan pemuka pendapat banyak terlibat dalam penentuan lokasi posko. Posko bantuan ditentukan untuk mempermudah akses distribusi bantuan dan penyalurannya kepada korban. Keberadaan posko ini penting dilakukan agar distribusi bantuan merata dan tidak menimbulkan konflik antar warga. Sedangkan koordinasi dengan relawan dilakukan, terutama dalam rapat-rapat koordinasi yang sering dilakukan selama masa tanggap darurat. Komunikasi dalam penyelamatan korban melibatkan masyarakat, pemuka pendapat dan pelaksana penanganan bencana. Dalam kondisi darurat pasca bencana pemuka pendapat mengarahkan masyarakat untuk melakukan evakuasi korban dan memindahkannya ke tempat aman. Pemuka pendapat kemudian melakukan pendataan korban dan kerusakan di lingkungannya. Data tersebut diinformasikan kepada relawan dan pelaksana penanganan bencana, baik pemerintah maupun LSM melalui tatap muka dan radio amatir (Orari). Berdasarkan data korban dan kerusakan dari pemuka pendapat, pelaksana penanganan bencana mengirimkan relawan, bantuan medis dan bahan makanan untuk korban bencana. Komunikasi ini penting dilakukan untuk pemerataan distribusi bantuan berdasarkan tingkat kerusakan dan kebutuhan korban bencana 72 melalui posko-posko darurat yang didirikan di lokasi bencana. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam penyelamatan korban dapat dilihat pada Gambar 7. Pesan Data korban dan kerusakan Media Tatap muka, media komunikasi Komunikan Pelaksana penanganan bencana Umpan balik Bantuan relawan, bantuan medis dan kebutuhan dasar untuk korban bencana Komunikator Pemuka pendapat Umpan balik Informasi jumlah korban, kerusakan dan kebutuhan korban bencana Pesan Penyelamatan korban Keterangan : Media Tatap muka Komunikan Masyarakat korban bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 7. Komunikasi dalam penyelamatan korban bencana 4.5.2. Penyediaan Hunian Sementara Gempa bumi juga menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan sebagian besar penduduk yang menjadi korban kehilangan tempat tinggal. Penyediaan hunian sementara bagi masyarakat di lokasi penelitian dianggap penting, terutama untuk anak-anak dan orang lanjut usia. Hunian sementara ini berupa tenda-tenda darurat yang didirikan di tempat terbuka dan di sekitar reruntuhan tempat tinggal yang dinilai lebih aman. Di hunian sementara ini, peran komunikasi pemuka pendapat dinilai penting, karena masyarakat di lokasi penelitian banyak mengadukan permasalahan kepada pemuka pendapat. Dalam penyediaan hunian sementara, pemuka pendapat sebagai wakil masyarakat mengkoordinir penentuan lokasi pengungsian. Dalam penanganan bencana lokasi pengungsian dipilih dengan pertimbangan keamanan dari kemungkinan bencana susulan, berdekatan dengan jalur transportasi untuk distribusi bantuan serta kemudahan penyediaan fasilitas kebutuhan dasar masyarakat. Penentuan lokasi biasanya dilakukan melalui komunikasi dengan pelaksana penanganan bencana untuk memperlancar koordinasi dalam 73 penanganan bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian sementara dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penyediaan hunian sementara No. Penyediaan hunian sementara 1. 2 3 4 5 Pencarian lokasi pengungsian Pencarian bantuan di pengungsian Distribusi bantuan di pengungsian Penyediaan fasilitas dan kebutuhan dasar pengungsi Pengawasan terhadap kegiatan relawan di pengungsian Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 81,31 83,07 81,97 80,87 76,92 80,83 Skor tertinggi dalam penyediaan hunian sementara, yaitu dalam hal pencarian bantuan (83,07%) dan distribusi bantuan di pengungsian (81,97%). Pencarian bantuan dan distribusi bantuan ini memiliki skor sangat tinggi, karena masyarakat tidak dapat mencari bantuan sendiri, sehingga pemuka pendapat berperan mencari bantuan ke posko-posko bantuan untuk didistribusikan kepada pengungsi. Peran pemuka pendapat dalam distribusi untuk menghindari ketimpangan pembagian bantuan dan konflik, sebagai akibat pemberian yang tidak merata. Proses komunikasi dalam penyediaan hunian sementara dilakukan pemuka pendapat dengan memberikan data jumlah pengungsi dan kebutuhan masyarakat kepada pelaksana penanganan bencana. Komunikasi dilakukan melalui tatap muka di posko pemerintah maupun LSM. Selain tatap muka komunikasi juga dilakukan melalui radio-radio amatir (Orari) yang masih berfungsi di lokasi bencana. Dari penyampaian pesan-pesan pemuka pendapat tersebut, pelaksana penanganan bencana kemudian mengirimkan bantuan berupa tenda-tenda darurat, bahan makanan dan obat-obatan. Selain berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat juga mencari bantuan melalui jaringan individu dari daerah yang tidak mengalami bencana. Bantuan dari pelaksana penanganan bencana dan sumbangan individu tersebut kemudian didistribusikan kepada masyarakat melalui komunikasi tatap muka di posko-posko darurat yang didirikan di lokasi 74 pengungsian. Proses komunikasi ini terus berlanjut hingga korban bencana meninggalkan lokasi pengungsian. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam penyediaan hunian sementara dapat dilihat pada Gambar 8. Pesan Data pengungsi dan kebutuhan Media Tatap muka, media komunikasi Umpan balik Bantuan tenda dan kebutuhan dasar untuk korban bencana Komunikator Pemuka pendapat Umpan balik Informasi kebutuhan tenda dan kebutuhan dasar korban bencana di lokasi pengungsian Pesan Pengungsian, distribusi bantuan Keterangan : Komunikan Pelaksana penanganan bencana Media Tatap muka Komunikan Masyarakat korban bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 8. Komunikasi dalam penyediaan hunian sementara 4.5.3. Informasi Program Sosialisasi informasi kepada masyarakat penting dilakukan agar komunikasi penanganan bencana efektif. Dengan adanya sosialisasi informasi program penanganan bencana, masyarakat dapat mengetahui program pemerintah dan pelaksana penanganan bencana lainnya. Di lokasi penelitian, informasi program disebarkan kepada masyarakat melalui rapat rutin di kantor desa atau rumah tokoh masyarakat. Informasi program ini dapat dilakukan langsung oleh sumber informasi melalui koordinasi dengan pemuka pandapat. Namun kadang disampaikan kepada pemuka pendapat untuk disebarkan kepada masyarakat. Informasi program meliputi sosialiasi program penanganan bencana pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, baik berupa kebijakan maupun bantuan penanganan bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program dapat dilihat pada Tabel 20. 75 Tabel 20. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam informasi program penanganan bencana No. Informasi program 1. 2 3 4 5 Penyampaian informasi penanganan bencana Ketepatan metode sosialisasi Keefektivan komunikasi tatap muka Pentingnya forum komunikasi Penyampai aspirasi masyarakat Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 81,09 73,84 80,87 82,19 82,63 80,12 Dalam informasi program peran pemuka pendapat sebagai penyampai aspirasi masyarakat (82,63%) dan pentingnya forum komunikasi antara pemuka pendapat, masyarakat dan pelaksana penanganan bencana (82,19%) memiliki skor tertinggi. Hal ini disebabkan di lokasi penelitian masyarakat masih mengganggap pemuka pendapat sebagai panutan, sehingga menyampaikan permasalahan dan aspirasi kepadanya. Pentingnya forum komunikasi ini menurut responden untuk mencegah terjadinya konflik dalam penanganan bencana. Melalui forum komunikasi, informasi program penanganan bencana dapat disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dan pelaksana penanganan bencana dapat mengetahui permasalahan secara langsung di lokasi bencana. Proses komunikasi dalam informasi program ini diawali dengan adanya program pemerintah mengenai rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Program tersebut kemudian disampaikan kepada pemuka pendapat yang mewakili masyarakat korban bencana. Penyampaian pesan dilakukan melalui komunikasi tatap muka dan media komunikasi seperti modul, pamflet, leaflet dan sebagainya. Koordinasi penanganan bencana ini dilakukan melalui rapat antara pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat sejak tahap perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemuka pendapat kemudian mensosialisasikan program penanganan bencana kepada masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Dalam rapat tersebut pemuka pendapat menampung aspirasi dari masyarakat korban bencana, kemudian oleh pemuka pendapat disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Forum komunikasi antara masyarakat, pemuka pendapat dan pelaksana 76 penanganan bencana ini untuk menciptakan komunikasi yang efektif sehingga proses penanganan bencana tepat sasaran dan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam informasi program dapat dilihat pada Gambar 9. Komunikator Pelaksana penanganan bencana Pesan Program penanganan bencana Media Tatap muka, media komunikasi Komunikan Pemuka pendapat Komunikator Umpan balik Pemuka pendapat menyampaikan aspirasi masyarakat Pesan Program penanganan bencana Umpan balik Masyarakat menyampaikan aspirasi kepada pemuka pendapat Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan : Media Tatap muka : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 9. Komunikasi dalam informasi program 4.5.4. Pelayanan Sosial Dasar Pelayanan sosial dasar merupakan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat seperti makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan. Pelayanan sosial dasar ini diberikan untuk mengurangi beban yang dialami oleh korban bencana. Pelayanan sosial dasar banyak melibatkan pemuka pendapat, karena menyangkut kesejahteraan masyarakat di lingkungannya. Dalam hal ini pelaksana penanganan bencana, khususnya pemerintah berkomunikasi dengan pemuka pendapat untuk mengetahui permasalahan di lokasi bencana. Pemuka pendapat sebagai pihak yang mengetahui kebutuhan masyarakatnya perlu memberikan keterangan jelas kepada pelaksana penanganan bencana agar kebutuhannya dapat dipenuhi. Koordinasi ini penting dilakukan agar tidak ada ketimpangan dan ketidaksesuaian penanganan bencana di wilayahnya. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar dapat dilihat pada Tabel 21. 77 Tabel 21. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pelayanan sosial dasar No. 1. 2 3 4 5 Pelayanan sosial dasar Perencanaan pelayanan sosial dasar Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Keterlibatan dalam pelaksanaan layanan sosial dasar Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar Pengawasan kegiatan pelayanan sosial dasar Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 78,68 78,46 79,78 80,87 78,68 79,29 Koordinasi dalam penyediaan layanan sosial dasar (80,87%) dan keterlibatan pemuka pendapat dalam pelaksanaan layanan sosial dasar (79,78%) memiliki skor tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemuka pendapat mempunyai peranan penting dalam pelayanan sosial dasar di lingkungannya. Responden menilai permasalahan sosial dasar merupakan persoalan masyarakat yang perlu diselesaikan oleh pelaksana penanganan bencana, terutama pemerintah, sehingga pemuka pendapat berusaha mencari bantuan untuk masyarakat sekitarnya. Komunikasi pada pelayanan sosial dasar dimulai melalui rapat kelompok masyarakat, di mana pemuka pendapat sebagai tokoh masyarakat terlibat di dalamnya. Dalam rapat tersebut masyarakat menyampaikan aspirasi mengenai permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pemuka pendapat kemudian mengakomodir aspirasi tersebut, kemudian bersama masyarakat membuat rincian kebutuhan untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Rincian yang dibuat oleh masyarakat kemudian disesuaikan dengan program pelayanan sosial dasar pemerintah melalui koordinasi pemuka pendapat dan pelaksana penanganan bencana. Komunikasi ini dilakukan karena masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak pasca bencana dan berkewajiban membangun kembali wilayahnya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan bantuan dari pihak luar. Berdasarkan koordinasi dengan pemuka pendapat, pelaksana penanganan bencana memberikan bantuan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat. Mekanisme penyaluran bantuan dilakukan melalui pemuka pendapat agar merata dan tepat 78 sasaran. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pelayanan sosial dasar dapat dilihat pada Gambar 10. Pesan Kebutuhan dasar Media Tatap muka Komunikan Pelaksana penanganan bencana Umpan balik Bantuan kebutuhan dasar masyarakat Komunikator Pemuka pendapat Komunikan Umpan balik Penyaluran bantuan kebutuhan dasar masyarakat Media Tatap muka Keterangan : Pesan Kebutuhan dasar Komunikator Masyarakat korban bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 10. Komunikasi dalam pelayanan sosial dasar 4.5.5. Rehabilitasi Mental Gempa mengakibatkan luka emosi mendalam pada diri orang-orang yang selamat. Para korban mengalami problem psikologis yang bercirikan kesedihan berkelanjutan, keputusasaan dan kemarahan. Di antara hal-hal yang dibutuhkan di tempat-tempat penampungan korban, perawatan kesehatan mental, termasuk persoalan yang sangat penting. Rehabilitasi mental ini tidak selalu diidentikkan dengan penanganan mental secara klinis, tetapi juga melalui aktivitas-aktivitas kerohanian. Responden di lokasi penelitian menceritakan bahwa pasca bencana kegiatan-kegiatan pengajian semakin meningkat. Hal ini merupakan upaya masyarakat untuk mendapatkan ketenangan jiwa melalui aktivitas keagamaan. Peran pemuka pendapat, khususnya tokoh agama dinilai penting untuk membangkitkan semangat masyarakat di lokasi bencana. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental dapat dilihat pada Tabel 22. 79 Tabel 22. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental No. Rehabilitasi mental 1. 2 3 4 5 Perencanaan rehabilitasi mental Pencarian bantuan rehabilitasi mental Pelaksanaan rehabilitasi mental Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental Kepedulian pada perkembangan mental masyarakat Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 78,68 81,75 76,92 81,97 77,36 79,34 Keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi mental (81,97%) dan pencarian bantuan rehabilitasi mental (81,75%) menempati skor tertinggi. Menurut responden kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan sekali. Kegiatan keagamaan ini dilakukan secara berkelanjutan dengan sasaran semua usia. Di lokasi penelitian, terdapat berbagai bentuk kegiatan pengajian seperti untuk anak-anak, remaja, wanita dan orang tua. Selain menghadirkan penceramah tokoh agama setempat, juga menghadirkan ustad atau da’i dari luar. Peran pemuka pendapat dalam rehabilitasi mental ini penting sekali terutama untuk mengkoordinir kegiatan pengajian di lingkungannya. Komunikasi pada masa rehabilitasi mental dilakukan pemuka pendapat dengan menampung aspirasi masyarakat melalui rapat kelompok masyarakat. Hal itu dilakukan karena bencana mempengaruhi kestabilan jiwa dan mengakibatkan trauma pada diri masyarakat. Pemuka pendapat menampung aspirasi masyarakat untuk mengetahui kebutuhan dan mencari jalan keluarnya. Kegiatan rehabilitasi mental dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu penceramah agama yang ada di lingkungannya. Apabila sumber daya lokal tidak mencukupi kemudian pemuka pendapat meminta bantuan kepada pelaksana penanganan bencana untuk menyediakan relawan baik itu psikiater maupun penceramah agama. Psikiater diperlukan untuk memulihkan kejiwaan masyarakat melalui ilmu psikologi, sedangkan penceramah agama memberikan pencerahan dengan sudut pandang keagamaan. Bantuan relawan kemudian dikoordinasikan dengan pemuka pendapat untuk menentukan jadwal kegiatan rehabilitasi mental di wilayah tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara berkesinambungan sampai kejiwaan masyarakat pulih dan dapat kembali hidup normal. Komunikasi antara pelaksana 80 penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam rehabilitasi mental dapat dilihat pada Gambar 11. Pesan Bantuan rehabilitasi mental Media Tatap muka Umpan balik Bantuan relawan rehabilitasi mental : psikiater dan penceramah agama Komunikator Pemuka pendapat Umpan balik Perlu relawan untuk rehabilitasi mental Pesan Pemulihan mental masyarakat Keterangan : Komunikan Pelaksana penanganan bencana Media Tatap muka Komunikan Masyarakat korban bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 11. Komunikasi dalam rehabilitasi mental 4.5.6. Pembangunan Kembali Perumahan Pembangunan kembali perumahan merupakan kegiatan penting dalam penanganan bencana. Gempa bumi di lokasi penelitian menyebabkan kerusakan rumah-rumah penduduk, dari kategori ringan, sedang hingga rusak berat. Hal ini menyebabkan pelaksanaan pembangunan perumahan membutuhkan waktu lama. Selain itu juga banyak mendatangkan permasalahan, baik antara warga dengan pelaksana penanganan bencana maupun konflik antar warga. Hal ini biasanya dipicu ketimpangan dalam distribusi bantuan. Selama berada di lapangan, peneliti beberapa kali mendengar konflik akibat permasalahan rehabilitasi dan rekonstruksi. Disinilah peran pemuka pendapat menjadi penting untuk mengkoordinir pembangunan kembali perumahan dan membantu menyelesaikan permasalahan. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan kembali perumahan dapat dilihat pada Tabel 23. 81 Tabel 23. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pembangunan kembali perumahan No. Pembangunan kembali perumahan 1. 2 3 4 5 Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan Keterlibatan dalam pelaksanaan Keadilan dalam pembangunan perumahan Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 78,24 83,29 75,60 83,51 77,58 79,64 Dalam pembangunan kembali perumahan, skor tertinggi yaitu menciptakan keadilan dalam pembangunan perumahan (83,51%), serta perhatian terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat (83,29%). Responden menilai konflik disebabkan karena ketidakadilan dalam distribusi bantuan biaya pembangunan perumahan. Peran pemuka pendapat sangat tinggi untuk menciptakan keadilan ini dengan mengontrol proses penyaluran bantuan. Hal ini dilakukan melalui perannya menampung aspirasi dan keluhan masyarakat, serta menyampaikannya kepada pelaksana penanganan bencana, sehingga konflik dalam pembangunan perumahan dapat diminimalisir dan tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Komunikasi pada tahap pembangunan kembali perumahan berdasarkan program pemerintah yang menetapkan kebijakan pembangunan perumahan kepada korban bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat, terutama yang terlibat sebagai fasilitator sosial dan pimpinan kelompok masyarakat di lingkungannya. Sosialisasi meliputi teknis pembangunan perumahan dan mekanisme panyaluran bantuan kepada masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan dengan melibatkan fasilitator teknis dan Konsultan Manajemen Kecamatan (KMK). Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program tersebut kepada masyarakat korban bencana melalui rapat kelompok masyarakat yang dilakukan secara rutin satu kali dalam satu minggu. Rapat antara pemuka pendapat dengan masyarakat untuk mensinergikan program pemerintah dengan aspirasi 82 masyarakat, serta pengumpulan data-data kerusakan. Pengumpulan data melalui kelompok masyarakat dilakukan untuk menghindari manipulasi data yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Hasil rapat tersebut kemudian disampaikan pemuka pendapat kepada pelaksana penanganan bencana untuk menentukan teknis pelaksanaan pembangunan kembali perumahan di lingkungannya. Keterlibatan pemuka pendapat dalam komunikasi dilakukan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi pelaksanaan pembangunan perumahan. Dalam tahap ini, keberhasilan pembangunan kembali perumahan tergantung kemampuan pemuka pendapat berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana dan masyarakat. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pembangunan kembali perumahan dapat dilihat pada Gambar 12. Komunikator Pelaksana penanganan bencana Pesan Pembangunan kembali perumahan Media Tatap muka, Media komunikasi Komunikan Pemuka pendapat Komunikator Umpan balik Menyampaikan data kerusakan perumahan dan aspirasi masyarakat Pesan Pembangunan kembali perumahan Umpan balik Memberikan data kerusakan perumahan dan menyampaikan aspirasi Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan : Media Tatap muka, media komunikasi : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 12. Komunikasi dalam pembangunan kembali perumahan 4.5.7. Perbaikan Prasarana dan Sarana Dasar Perbaikan prasarana dan sarana dasar adalah pembangunan kembali jalan, listrik, air bersih, puskesmas, sekolah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Kerusakan fasilitas tersebut pada pasca bencana menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat. Peran pemuka secara langsung banyak dilakukan dalam perbaikan fasilitas milik masyarakat seperti tempat ibadah dan pos ronda. 83 Sedangkan fasilitas umum lainnya tidak banyak melibatkan pemuka pendapat secara teknis. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar No. Perbaikan prasarana dan sarana dasar 1. 2 3 4 5 Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Keterlibatan dalam pelaksanaan Koordinasi Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 79,34 83,07 79,12 79,34 78,90 79,95 Skor tertinggi kegiatan ini yaitu perhatian pemuka pendapat terhadap aspirasi masyarakat (83,07%) serta perencanaan dan koordinasi (79,34%). Dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar, responden mengaku menampung aspirasi masyarakat di lingkungannya untuk disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana. Keterlibatan pemuka pendapat secara teknis lebih banyak pada perbaikan fasilitas yang dibangun oleh masyarakat. Sebab pembangunan tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan pemuka pendapat. Komunikasi pada perbaikan prasarana dan sarana dasar dilakukan berdasarkan program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk mengetahui besarnya kerusakan di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa. Sosialisasi dititikberatkan pada teknis perbaikan prasarana dan sarana dasar. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat dilakukan pada tahap perencanan, pelaksanaan dan pengawasan. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat, untuk mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas umum di lingkungannya. Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok masyarakat untuk menjaring aspirasi dan penentuan prioritas perbaikan fasilitas umum. Hasil rapat 84 kemudian disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana agar proses perbaikan dapat segera dilakukan. Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam perbaikan prasarana dan sarana dasar dapat dilihat pada Gambar 13. Pesan Perbaikan prasarana dan sarana dasar Komunikator Pelaksana penanganan bencana Media Tatap muka, media komunikasi Komunikan Pemuka pendapat Komunikator Umpan balik Menyampaikan data kerusakan prasarana dan sarana dasar serta aspirasi masyarakat Pesan Perbaikan prasarana dan sarana dasar Umpan balik Memberikan data kerusakan prasarana dan sarana dasar serta menyampaikan aspirasi Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan : Media Tatap muka, media komunikasi : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 13. Komunikasi dalam perbaikan prasaranan dan sarana dasar 4.5.8. Pemulihan Sistem Perekonomian Pemulihan sistem perekonomian, yaitu pemulihan perekonomian masyarakat seperti pembukaan peluang usaha, pembukaan lapangan kerja, perbaikan produksi pangan dan perbaikan fasilitas perekonomian. Di lokasi penelitian sebenarnya kerusakan fasilitas perekonomian tidak banyak terjadi. Namun demikian responden menilai bencana menyebabkan lumpuhnya kegiatan ekonomi masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat disibukkan dengan pembersihan pemberdayaan dan perbaikan komunikasi kerusakan pemuka perumahan. pendapat perekonomian dapat dilihat pada Tabel 25. dalam Untuk mengetahui pemulihan sistem 85 Tabel 25. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam pemulihan sistem perekonomian No. Pemulihan sistem perekonomian 1. 2 3 4 5 Keterlibatan dalam perencanaan Perhatian terhadap aspirasi masyarakat Pengusahaan lapangan kerja baru Koordinasi Keterlibatan dalam pengawasan Rataan Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Persentase Skor (%) 80,43 81,31 76,04 79,12 77,14 78,81 Skor tertinggi pemulihan sistem perekonomian yaitu dalam hal perhatian terhadap aspirasi masyarakat (81,31%) dan perencanaan (80,43%). Responden mengaku banyak mendapat keluhan dari masyarakat mengenai permasalahan perekonomian pasca bencana. Hal ini kemudian disampaikan dalam rapat kelompok masyarakat untuk dicarikan penyelesaiannya. Dengan demikian permasalahan perekonomian tidak berlarut-larut menimpa masyarakat. Komunikasi pada pembangunan sistem perekonomian dilakukan berdasarkan program pemerintah melalui pelaksana penanganan bencana. Program tersebut kemudian disosialisasikan kepada pemuka pendapat untuk mengetahui besarnya kerusakan fasilitas perekonomian di wilayahnya. Pemuka pendapat yang banyak dilibatkan biasanya yang aktif di struktur pemerintahan desa serta yang bergerak di dunia usaha. Sosialisasi meliputi teknis pemulihan serta pertimbangan pembukaan lapangan usaha bagi masyarakat. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan kepada masyarakat untuk mengetahui seberapa besar kerusakan fasilitas perekonomian serta menjaring aspirasi dari masyarakat. Penyampaian pesan dilakukan melalui rapat kelompok masyarakat untuk penentuan prioritas pembukaan lapangan usaha dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Hasil rapat kemudian disampaikan kepada pelaksana penanganan bencana agar proses pemulihan segera dilakukan, serta untuk mendapatkan sumber bantuan. Bantuan pembukaan lapangan usaha yang diperoleh masyarakat yaitu pelatihan keterampilan dan bantuan kredit untuk usaha. Dalam bidang pertanian bantuan yang diberikan biasanya berupa sarana produksi dan pinjaman lunak untuk kegiatan pertanian, peternakan dan perikanan. 86 Komunikasi antara pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat dan masyarakat dalam pemulihan sistem perekonomian dapat dilihat pada Gambar 14. Komunikator Pelaksana penanganan bencana Pesan Pemulihan sistem perekonomian Media Tatap muka, media komunikasi Komunikan Pemuka pendapat Komunikator Umpan balik Data kerusakan fasilitas perekonomian dan permohonan bantuan untuk lapangan usaha Pesan Pemulihan sistem perekonomian Umpan balik Data kerusakan fasilitas perekonomian dan aspirasi pembukaan lapangan usaha Komunikan Masyarakat korban bencana Keterangan : Media Tatap muka : Komunikasi pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana : Komunikasi pemuka pendapat dengan masyarakat Gambar 14. Komunikasi dalam pemulihan sistem perekonomian 4.6. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana. Indikator karakteristik personal (X1) yang diteliti adalah umur (X1.1), jenis kelamin (X1.2), pendidikan (X1.3), pekerjaan (X1.4), pendapatan (X1.5) dan ketokohan (X1.6). Kemudian indikator perilaku komunikasi (X2) seperti respons terhadap media massa (X2.1), intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan sikap terhadap opini publik (X2.3). Sedangkan indikator keragaan kelompok (X3) yaitu struktur kelompok (X3.1), pembinaan kelompok (X3.2), kekompakan kelompok (X3.3), suasana kelompok (X3.4), tekanan kelompok (X3.5) dan tujuan kelompok (X3.6). Untuk mengetahui pengaruh terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) yang meliputi penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan 87 prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8) dilakukan uji statistik Khi-kuadrat (χ2) dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows. 4.6.1. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut : Ho : Tidak ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Ha : Ada pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) karakteristik personal pemuka pendapat (X1) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) pada taraf α = 0,05 menunjukkan bahwa : pekerjaan (X1.4) berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar (Y4), pendapatan (X1.5) berpengaruh nyata terhadap informasi program (Y3), dan ketokohan (X1.6) berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar (Y4). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 26. 88 Tabel 26. Pengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta PEUBAH BEBAS (X) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 Keterangan: * PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 0,871 0,645 0,217 0,063 0,436 0,223 0,142 0,063 0,455 0,461 0,131 0,942 0,134 0,405 0,882 0,435 0,060 0,204 0,067 0,064 0,052 0,078 0,188 0,264 0,043* 0,156 0,115 0,343 0,570 0,337 0,013* 0,273 0,066 0,167 0,136 0,653 0,245 0,396 0,032* 0,798 0,086 0,588 nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho. Y8 0,571 0,514 0,497 0,359 0,056 0,247 Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Berdasarkan Tabel 26 dapat dijelaskan bahwa pekerjaan pemuka pendapat mempengaruhi aktivitasnya dalam pelayanan sosial dasar pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta. Pekerjaan pemuka pendapat yang semakin baik maka perannya dalam kegiatan masyarakat juga semakin meningkat. Pelayanan sosial dasar merupakan kegiatan untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi korban bencana. Pemuka pendapat yang pekerjaannya semakin baik maka mempunyai kesempatan lebih besar untuk berperan dalam kegiatan tersebut. Pendapatan berpengaruh nyata terhadap sosialisasi informasi program, karena pemuka pendapat yang pendapatannya tinggi mempunyai banyak peluang untuk melakukan sosialisasi informasi program penanganan bencana kepada masyarakat. Keadaan personal responden yang rata-rata memiliki pendapatan tinggi mempermudah akses terhadap informasi. Pemuka pendapat merupakan panutan di lingkungannya, maka informasi ini kemudian disebarkan kepada masyarakat. Seseorang ditokohkan oleh masyarakat, antara lain karena kemampuan empati dan partisipasi sosialnya yang lebih besar, sehingga ketokohan berpengaruh nyata terhadap pelayanan sosial dasar. Pelayanan sosial dasar ini dilakukan karena kesadaran pemuka pendapat untuk meringankan penderitaan masyarakat di lingkungannya akibat bencana. Peran tersebut dilakukan, karena 89 pemuka pendapat memiliki akses komunikasi dengan pelaksana penanganan bencana. Umur tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi dalam penanganan bencana, karena pemuka pendapat melakukan pemberdayaan komunikasi berdasarkan kemampuan dan tanggungjawab sosial kepada masyarakat di lingkungannya. Jenis kelamin juga tidak berpengaruh nyata terhadap kegiatan penanganan bencana karena laki-laki dan perempuan menjalankan tugasnya sesuai dengan perannya di masyarakat. Pemuka pendapat memiliki pengetahuan yang luas untuk berperan di masyarakat. Pengetahuan tersebut tidak selalu berasal dari pendidikan formal, tetapi juga dari pengalaman dan pendidikan nonformal, maka pendidikan formal tidak berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pengalaman dan pengetahuan lebih berperan dalam berkomunikasi dengan pelaksanan penanganan benacana dan masyarakat di lingkungannya. 4.6.2.vPengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut: Ho : Tidak ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Ha : Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. 90 Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Berdasarkan uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) pada taraf α = 0,05 diketahui respons terhadap media massa (X2.1) yang berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 27. Tabel 27. Pengaruh Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta PEUBAH PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) BEBAS Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 (X) X2.1 0,010* 0,133 0,875 0,894 0,622 0,958 0,523 0,240 X2.2 0,184 0,054 0,792 0,207 0,699 0,205 0,871 0,846 X2.3 0,277 0,467 0,739 0,525 0,287 0,287 0,783 0,744 Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho. Berdasarkan Tabel 27 dapat dijelaskan bahwa respons terhadap media massa mempunyai pengaruh nyata terhadap penyelamatan korban pasca bencana. Artinya semakin tinggi respons masyarakat terhadap media massa mempengaruhi perannya dalam penyelamatan korban. Hal ini cukup beralasan, karena dalam masa tanggap darurat, terutama penyelamatan korban kondisi penuh dengan kepanikan, sehingga dituntut untuk bergerak cepat. Dalam situasi demikian yang dibutuhkan adalah ketanggapan dan sikap manusiawi untuk menyelamatkan masyarakat yang terluka. Kemampuan melakukan penyelamatan korban berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh dari media massa. Pengetahuan tersebut diperoleh dari siaran media massa yang menampilkan atau menceritakan kegiatan penyelamatan korban, baik melalui berita atau film. Efek tersebut kemudian terekam dan menjadi pengetahuan bagi penyelamatan korban bencana. 91 Sementara itu, intensitas pertemuan dengan satuan pelaksana penanganan bencana tidak berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Hal ini terjadi karena pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana merupakan bagian dari tanggungjawab pemuka pendapat untuk berkoordinasi dalam penanganan bencana di lingkungannya. Pemuka pendapat yang intensitas pertemuannya tinggi biasanya fasilitator sosial yang melakukan penanganan bencana karena pekerjaan, bukan karena ketokohannya. Meskipun demikian, pertemuan pemuka pendapat dengan pelaksana penanganan bencana perlu dilakukan secara rutin dan berkelanjutan untuk meningkatkan pemberdayaan komunikasi di masyarakat. Sikap terhadap opini publik juga tidak berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Semakin tinggi respons pemuka pendapat terhadap opini publik yang berkembang di masyarakat, tidak mempengaruhi perannya dalam penanganan bencana. Pemuka pendapat merespons berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat sebagai bentuk kepeduliannya terhadap masyarakat. Dengan sering merespons pendapat masyarakat, tidak berarti peran pemuka pendapat semakin meningkat. Hal itu terjadi karena pemuka pendapat sejak sebelum terjadi bencana sudah menjadi panutan dan tempat menyampaikan aspirasi bagi warga di sekitarnya. 4.6.3. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Dalam hipotesis penelitian ini disebutkan bahwa keragaan kelompok berpengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Untuk mengetahui pengaruh keragaan kelompok (X3) terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian masing-masing peubah menggunakan rumus Khi-kuadrat (χ2) program SPSS 13.0 for Windows (Santoso, 2005:129; Triton, 2006:210) dengan rumusan hipotesis statistik berikut: Ho : Tidak ada pengaruh keragaan kelompok masyarakat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. 92 Ha : Ada pengaruh perilaku komunikasi pemuka pendapat terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas yang terlihat pada nilai kolom Asimp. Sig/ Asymptotic significance hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menggunakan program SPSS 13.0 for Windows : 1. Apabila Asimp. Sig > 0,05, maka Ho diterima. 2. Apabila Asimp. Sig < 0,05, maka Ho ditolak. Uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap keragaan kelompok (X3) dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) menunjukkan banyak pengaruh nyata antara dua peubah tersebut pada taraf nyata α = 0,05. Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) tersebut selengkapnya dapat dilihat pada hasil olahan data (Lampiran 4) dan ringkasannya pada Tabel 28. Tabel 28. Pengaruh Keragaan Kelompok terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana di Yogyakarta PEUBAH PEUBAH TIDAK BEBAS (Y) BEBAS Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 (X) X3.1 0,023* 0,009* 0,097 0,020* 0,097 0,036* 0,607 X3.2 0,059 0,005* 0,039* 0,007* 0,051 0,004* 0,223 X3.3 0,001* 0,000* 0,001* 0,001* 0,000* 0,000* 0,015* X3.4 0,113 0,002* 0,072 0,007* 0,034* 0,003* 0,374 X3.5 0,080 0,517 0,051 0,084 0,010* 0,409 0,753 X3.6 0,089 0,002* 0,301 0,180 0,019* 0,057 0,192 Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Asimp. Sig < 0,05, maka tolak Ho. Y8 0,011* 0,031* 0,000* 0,004* 0,077 0,203 Sumber: Olahan data primer hasil penelitian Berdasarkan Tabel 28 dapat dijelaskan bahwa struktur kelompok (X3.1) berpengaruh nyata terhadap penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Artinya semakin tinggi struktur kelompok masyarakat, maka semakin berpengaruh terhadap kegiatan penanganan bencana tersebut. Adanya keterlibatan pemuka pendapat dalam pengambilan keputusan dan pembagian kerja kelompok menyebabkan besarnya peran pemuka pendapat dalam berbagai aktivitas penanganan bencana. Namun karena komunikasi timbal balik dalam kelompok relatif rendah, maka struktur kelompok 93 tidak berpengaruh terhadap informasi program, rehabilitasi mental serta perbaikan prasarana dan sarana dasar. Pembinaan kelompok (X3.2) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Besarnya manfaat kegiatan kelompok bagi pemuka pendapat menyebabkan pengaruh terhadap kegiatan penanganan bencana tersebut. Penyelamatan korban tidak dipengaruhi pembinaan kelompok karena kelompok masyarakat dibentuk setelah terjadi bencana. Kurangnya partisipasi responden dalam kegiatan dan pengambilan keputusan kelompok menyebabkan pengaruh pembinaan kelompok terhadap rehabilitasi mental dan perbaikan prasarana dan sarana dasar tidak begitu terlihat. Kekompakan kelompok (X3.3) berpengaruh nyata terhadap semua aktivitas penanganan bencana yaitu penyelamatan korban (Y1), penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan (Y6), perbaikan prasarana dan sarana dasar (Y7) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8) Kondisi ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi kekompakan kelompok mempengaruhi pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Keadaan demikian terjadi karena tingginya keterbukaan informasi dalam kelompok dan adanya kerjasama yang baik. Suasana kelompok (X3.4) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2), pelayanan sosial dasar (Y4), rehabilitasi mental (Y5), pembangunan kembali perumahan (Y6) dan pemulihan sistem perekonomian (Y8). Tingginya solidaritas dalam kelompok menjadikan suasana kelompok berpengaruh terhadap permasalahan mendasar dalam penanganan bencana tersebut. Hal ini terjadi akibat sikap kekeluargaan yang masih dimiliki oleh masyarakat. Namun demikian suasana kelompok ini tidak mempengaruhi hal-hal lain terkait peran pemuka pendapat dalam penanganan bencana seperti informasi program dan perbaikan prasarana dan sarana dasar. Sedangkan penyelamatan korban tidak dipengaruhi suasana kelompok karena kelompok masyarakat ini dibentuk setelah terjadi bencana. 94 Tekanan kelompok (X3.5) hanya berpengaruh nyata terhadap rehabilitasi mental (Y5). Rendahnya penghargaan dalam kelompok menyebabkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Sedangkan persaingan dan hukuman tidak mempengaruhi penanganan bencana, karena kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela dan karena rasa kekeluargaan masyarakat. Rasa kekeluargaan tersebut menyebabkan peran-peran pemuka pendapat semakin terbuka karena tanpa beban tekanan dalam kelompok. Tujuan kelompok (X3.6) berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2) dan rehabilitasi mental (Y5). Tingginya dukungan terhadap tujuan kelompok menyebabkan peran pemuka pendapat dalam kebutuhan mendasar masyarakat tersebut meningkat. Hal itu juga didukung oleh keterbukaan dalam kelompok masyarakat. Meskipun demikian, karena masih ada ketidaksamaan tujuan maka kegiatan penanganan bencana lainnya seperti penyelamatan korban, informasi program, pelayanan sosial dasar pembangunan kembali perumahan, perbaikan prasarana dan sarana dasar, serta pemulihan sistem perekonomian tidak terpengaruh. 4.6.4.vPengaruh Karakteristik Personal Pemuka Pendapat, Perilaku Komunikasi Pemuka Pendapat dan Keragaan Kelompok Secara Bersama-sama terhadap Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penanganan Bencana Untuk mengetahui pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat (X1), perilaku komunikasi pemuka pendapat (X2) dan keragaan kelompok (X3) secara bersama-sama terhadap pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana (Y) dilakukan pengujian beberapa peubah bebas terhadap peubah tidak bebas menggunakan analisis regresi berganda lebih dari dua peubah bebas dengan program SPSS 13.0 for Windows (Triton, 2006:141). Hasil uji Khi-kuadrat (χ2) menunjukkan beberapa peubah bebas memiliki nilai signifikan pada taraf 0,05. Maka berdasarkan hasil signifikan tersebut yang disesuaikan dengan kondisi di lokasi penelitian, dilakukan analisis tambahan dengan regresi berganda untuk memperkuat pentingnya pengaruh peubah ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana 95 (X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) terhadap peubah penting dalam penanganan bencana seperti penyediaan hunian sementara (Y2), informasi program (Y3), pelayanan sosial dasar (Y4) dan pembangunan kembali perumahan (Y6) dalam bentuk skala interval 1 - 3. Hasil analisis regresi linear berganda tersebut menunjukkan bahwa ketokohan (X1.6), intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana (X2.2) dan kekompakan kelompok (X3.3) hanya berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara (Y2) (Lampiran 5). Besarnya pengaruh tersebut dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Pengaruh ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok terhadap penyediaan hunian sementara. No Peubah Bebas (X) 1. 2. 3. Ketokohan (X1.6) Intensitas pertemuan (X2.2) Kekompakan kelompok (X3.3) Penyediaan Hunian Sementara (Y2) Sig. Annova Coef β 0,183 0,077 0,162 0,115 0,285 0,005* F = 4,378 Sig. = 0,006* Keterangan: * nyata pada taraf 5% (0,05) dengan pembanding Sig < 0,05, maka berpengaruh nyata. Tabel 29 menunjukkan bahwa kekompakan kelompok memiliki pengaruh besar terhadap penyediaan hunian sementara dengan nilai nyata 0,005. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat korban bencana membutuhkan kekompakan untuk mempercepat proses penanganan bencana. Dalam penelitian ini, kekompakan kelompok mencerminkan rasa keterikatan (memiliki) responden terhadap kelompoknya, sehingga pemuka pendapat bersama masyarakat bekerjasama memulihkan kondisinya, dari korban bencana menjadi masyarakat yang kembali hidup normal. Kekompakan kelompok ini berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian sementara (0,285). Artinya semakin tinggi kekompakan kelompok, berpengaruh terhadap tingginya aktivitas penanganan bencana terutama dalam penyediaan hunian sementara bagi korban bencana. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang kompak semakin cepat pulih dari keterpurukan, baik aspek sosial maupun ekonomi. Cepatnya pemulihan ini disebabkan sikap 96 masyarakat yang mempunyai inisiatif memberdayakan sumber daya yang ada untuk pemulihan lingkungannya. Kelompok masyarakat yang kompak juga lebih mudah berpartisipasi dan bekerjasama dengan pelaksana penanganan bencana di wilayahnya. Ketokohan juga berpengaruh positif terhadap penyediaan hunian sementara (0,183). Artinya tokoh masyarakat yang banyak terlibat dalam penanganan bencana akan mempengaruhi percepatan penyediaan hunian sementara bagi korban bencana di lingkungannya. Di lapangan tokoh yang paling berpengaruh dalam penyediaan hunian sementara adalah tokoh sosial dan tokoh pemuda. Kedua tokoh tersebut secara teknis banyak berhubungan dengan relawan dan pelaksana penanganan bencana dari pemerintah maupun non pemerintah. Kerja keras tokoh masyarakat mencari bantuan tenda-tenda darurat untuk penyediaan hunian sementara bagi korban bencana menyebabkan masyarakat dapat tinggal lebih layak meskipun dalam tenda darurat. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi peran masyarakat dalam mempercepat pemulihan kehidupannya yang porak-poranda akibat gempa. Sedangkan intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana juga berpengaruh positif (0,162) meskipun tarafnya paling rendah (0,115). Artinya semakin tinggi intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana maka berpengaruh terhadap penanganan bencana terutama penyediaan hunian sementara. Rendahnya taraf pengaruh tersebut terjadi karena tidak semua pemuka pendapat memiliki intensitas tinggi dalam pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana. Pemuka pendapat yang sering berkomunikasi dengan pelaksana penanganan bencana biasanya adalah pemuka pendapat yang menjadi fasilitator sosial dalam penanganan bencana di lingkungannya. Fasilitator sosial memang diwajibkan untuk datang ke kantor Konsultan Manajemen Kecamatan (KMK) setiap hari untuk berkoordinasi dengan KMK dan fasilitator teknik. Meskipun tidak semua peubah bebas berpengaruh nyata, tetapi secara bersama-sama ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok memiliki taraf nyata 0,006 dalam memberikan pengaruh terhadap penyediaan hunian sementara. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa bila tokoh masyarakat banyak terlibat dalam penanganan 97 bencana di lingkungannya, kemudian manjadi fasilitator sosial dan kompak dengan kelompoknya maka proses penanganan bencana di lingkungannya relatif lebih cepat dan berhasil. Penanganan bencana merupakan kegiatan yang mensinergikan program pemerintah dan partisipasi masyarakat korban bencana, sehingga faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan program penanganan bencana di masyarakat. Peran pemuka pendapat juga diperlukan dalam kegiatan penanganan bencana oleh lembaga non pemerintah yang biasanya cenderung partisipatif dan melibatkan banyak pihak dalam masyarakat. 4.7. Manajemen Komunikasi Penanggulangan Bencana Penanggulangan bencana yaitu respons terhadap bencana yang meliputi kegiatan penanganan bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Komunikasi berperan penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Sedangkan komunikasi dengan masyarakat korban bencana untuk mempercepat proses penanggulangan bencana dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Lemahnya penanggulangan bencana selama ini, terjadi karena Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) masih bersifat koordinatif, bukan operasional. Padahal melihat sering terjadinya bencana di Indonesia, seharusnya pemerintah membentuk lembaga penanggulangan bencana yang bersifat struktural dan operasional agar manajeman komunikasi penanggulangan bencana lebih efektif. Pemerintah melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya secara kelembagaan akan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10). BNPB mempunyai tugas: (a) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara; (b) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan; (c) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat; 98 (d) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana; (e) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/ bantuan nasional dan internasional; (f) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (g) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (h) Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pasal 12). Kemudian BNPB mempunyai fungsi : (a) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan (b) Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh (Pasal 13). Dalam undang-undang tersebut, pembentukan lembaga penanggulangan bencana masih cenderung bersifat koordinatif. Padahal organisasi penanggulangan bencana seharusnya struktural, operasional dan koordinatif yang menangani manajemen bencana sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pengawasan. Dalam konteks ini lembaga tersebut harus dibentuk secara khusus, melibatkan kalangan ahli dan profesional dalam penanggulangan bencana dengan menitikberatkan pada sumberdaya manusia, pendanaan, metode dan teknologi informasi. Dengan model BNPB yang bersifat struktural, operasional dan koordinatif maka komunikasi penanggulangan bencana lebih terintegrasi dengan melibatkan semua pihak, yaitu unsur pemerintahan, TNI/ Polri, perguruan tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi. BNPB dibentuk untuk bekerja secara profesional dalam suatu manajemen risiko bencana yang mengintegrasikan fungsi-fungsi penyelidikan potensi bencana, manajemen penanganan bencana, keuangan, operasional dan logistik. BNPB juga harus diberi otoritas untuk merancang program, melakukan analisa kebutuhan dan pembiayaan berdasarkan analisa data kerusakan yang terjadi. Penanggulangan bencana melalui BNPB dilakukan dengan strategi proaktif, tidak semata-mata bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Pada tingkat operasional di lokasi bencana, BNPB harus dirancang untuk bertindak partisipatif 99 dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana serta kajian literatur penanggulangan bencana, maka dihasilkan manajemen organisasi penanggulangan bencana yang partisipatif dengan jalur komunikasi yang jelas dan terarah. Manajemen organisasi penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten/ Kota - Instansi Vertikal - Dinas Kabupaten/ Kota - Komando Teritorial Satuan Tugas Penanggulangan Bencana (Satgas PB) PMI Pramuka LSM/ Ormas Dunia Usaha Perguruan Tinggi Pemuka Pendapat Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) Masyarakat Korban Bencana Keterangan : : Garis struktural : Garis koordinasi Gambar 15. Manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif Berdasarkan manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif tersebut, pada tingkat operasional Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota 100 dapat dibentuk satuan tugas khusus (Satgas PB) yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penanggulangan bencana. Satgas PB dibentuk dengan melibatkan unsur pemerintahan (instansi/ dinas), komando teritorial (TNI/ Polri), Palang Merah Indonesia (PMI), Pramuka, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi. Dengan adanya Satgas PB maka setiap ada bencana dapat langsung dilakukan penanganan, terutama pada masa tanggap darurat. Berdasarkan panduan umum penanggulangan bencana berbasis masyarakat, di daerah rawan bencana seharusnya dibentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) untuk mengurangi risiko bencana (UNDP, 2005:11). KMPB terdiri dari anggota masyarakat yang dibentuk atas hasil keputusan bersama, sebab masyarakat berhak melakukan segala usaha untuk mengurangi risiko dan dampak bencana. Tugas utama KMPB adalah membuat perencanaan untuk mengurangi dampak bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Karena itu anggota KMPB harus dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Orang-orang yang sehat secara fisik dan mental, serta mampu mengatasi tekanan akibat bencana dapat menjadi anggota KMPB. Di sini pemuka pendapat berperan penting, terutama dalam membentuk KMPB dan mengkoordinir penanggulangan bencana di lingkungannya. Besarnya jumlah anggota KMPB ini tergantung pada besarnya wilayah dan besarnya cakupan kemungkinan bencana. Untuk sebuah desa di Indonesia, yang rata-rata mempunyai 500 keluarga, anggota yang diperlukan untuk membentuk KMPB adalah 45 orang. Anggota kelompok tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian tugas yaitu penanggulangan, operasional, komunikasi dan kesejahteraan. Pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dapat dilakukan dengan menempatkannya sebagai koordinator KMPB. Tugas koordinator KMPB adalah berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Satgas PB untuk mendapatkan atau memberikan informasi yang dibutuhkan. Koordintor juga harus dapat bekerjasama dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan masyarakat. Sebab koordinator bertanggungjawab atas kelancaran arus informasi, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan organisasi di setiap tahap penanggulangan bencana. Dengan berperannya pemuka pendapat dalam KMPB maka komunikasi 101 penanggulangan bencana dapat dilakukan secara efektif. Berdasarkan manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif tersebut dihasilkan manajemen komunikasi penanggulangan bencana. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana dapat dilihat pada Gambar 16. Komunikator BNPB BPB Provinsi BBP Kabupaten/Kota Pesan • Kebijakan penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Kebijakan kesiapsiagaan menghadapi bencana Umpan balik Laporan pelaksanaan program penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) dan kesiapsiagaan menghadapi bencana Media Tatap muka dan media komunikasi Komunikan Satgas PB Komunikator Umpan balik Data jumlah korban, kerusakan perumahan, kerusakan fasilitas umum, aspirasi masyarakat serta ketersediaan sumber daya lokal untuk penanganan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana Pesan • Program penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Program kesiapsiagaan menghadapi bencana Media Tatap muka dan media komunikasi Komunikan Pemuka pendapat/ koordiator KMPB Komunikator Pesan • Penanganan bencana (tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi) • Kesiapsiagaan menghadapi bencana Media Tatap muka dan media komunikasi Umpan balik Informasi jumlah korban, kerusakan, kebutuhan masyarakat serta ketersediaan sumber daya lokal untuk penanganan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana Komunikan Masyarakat korban bencana Gambar 16. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana 102 Proses komunikasi penanggulangan bencana diawali dengan penyampaian pesan-pesan kebijakan penanggulangan bencana pemerintah melalui BNPB. Secara struktural, kebijakan tersebut dikomunikasikan kepada BNP Provinsi hingga BNP Kabupaten/ Kota. Di tingkat operasional, pesan-pesan tersebut disampaikan kepada Satgas PB melalui rapat koordinasi dan media komunikasi penanggulangan bencana. Satgas PB yang terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat kemudian merencanakan kegiatan komunikasi penanggulangan bencana agar kebijakan tersebut diterima masyarakat. Untuk kelancaran komunikasi dan pelibatan sumber daya lokal, dilakukan koordinasi dengan pemuka pendapat atau koordinator KMPB. Pemuka pendapat kemudian menyampaikan program penanggulangan bencana kepada masyarakat melalui komunikasi tatap muka dalam rapat kelompok masyarakat. Melalui rapat kelompok, kebijakan dan program penanggulangan bencana didiskusikan untuk mendapatkan respons dari masyarakat. Respons dalam kondisi darurat berupa data jumlah korban, kerusakan perumahan, kerusakan fasilitas umum dan kebutuhan dasar masyarakat. Respons tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yaitu data kerusakan perumahan dan fasilitas umum. Sedangkan respons kesiapsiagaan berupa ketersediaan sumber daya lokal untuk menghadapi bencana. Respons masyarakat tersebut kemudian disampaikan kepada Satgas PB agar dapat disinergikan dengan kebijakan dan program penanganan bencana BNPB. Dengan model komunikasi tersebut masyarakat dilibatkan secara aktif dalam penanggulangan bencana melalui pelatihan dan penyuluhan. Komunikasi partisipatif ini melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Komunikasi penanggulangan bencana partisipatif berdampak pada keberhasilan program penanggulangan bencana karena pelaksanaan seluruh proses kegiatan dilakukan masyarakat dengan tetap mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar pelaksanaan program BNPB. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas penyaluran bantuan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap langkah dan kegiatan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas. 103 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1..Secara umum karakteristik personal pemuka pendapat berbeda-beda setiap individu. Usia responden merupakan usia produktif dengan perbandingan persentase pria dan wanita cukup representatif. Sebagian besar responden bekerja sebagai pegawai swasta dengan tingkat pendidikan dan rataan pendapatan cukup tinggi. Berdasarkan keaktifan dan partisipasinya di masyarakat, ketokohan yang banyak berperan yaitu tokoh sosial. 2. Sebagian besar responden merespons media massa antara 3 – 5 jam dalam satu minggu dengan tujuan menambah pengetahuan dan mendapatkan informasi kebijakan penanganan bencana. Sedangkan rataan komunikasi dengan pelaksana penanganan bencana dua kali dalam satu minggu untuk mencari informasi. Sebagian besar responden merespons positif opini yang berkembang di masyarakat serta mendukung penanganan bencana yang dilakukan pemerintah dan LSM. Prosedur penanganan bencana dianggap sudah sesuai, namun responden sebagian besar memilih penyaluran bantuan langsung dengan alasan lebih tepat sasaran. 3..Keragaan kelompok memiliki rataan skor tinggi, terutama kekompakan kelompok, suasana kelompok dan tujuan kelompok. Kondisi ini menunjukkan keberadaan kelompok masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan penanganan bencana. 4. Pemuka pendapat banyak terlibat dalam komunikasi penanganan bencana di Kabupaten Bantul. Hasil analisis pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana memiliki rataan skor tinggi. Faktor komunikasi yang berperan yaitu sebagai komunikator dan komunikan bagi pelaksana penanganan bencana dan masyarakat sesuai dengan perannya dalam kegiatan penanganan bencana. Kondisi ini menunjukkan peran komunikasi pemuka pendapat diperlukan dalam penanganan bencana, karena dapat menjembatani aspirasi masyarakat dengan kebijakan dan program pelaksana penanganan bencana. 104 5..Hasil analisis secara umum membuktikan bahwa pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana dipengaruhi secara nyata oleh keragaan kelompok masyarakat. Sedangkan peubah karakteristik personal dan perilaku komunikasi pemuka pendapat memiliki banyak peubah yang tidak berpengaruh nyata. Namun secara bersama-sama peubah penting dalam penanganan bencana seperti ketokohan, intensitas pertemuan dengan pelaksana penanganan bencana dan kekompakan kelompok berpengaruh nyata terhadap penyediaan hunian sementara. Berdasarkan analisis mendalam kemudian dihasilkan konsep manajemen organisasi penanggulangan bencana yang partisipatif dan manajemen komunikasi penanggulangan bencana yang efektif. 5.2. Saran 1..Komunikasi pemuka pendapat harus diberdayakan dalam setiap kegiatan penanganan bencana, karena pemuka pendapat banyak berperan dan memperlancar proses penanganan bencana. Peran pemuka pendapat tersebut bagi masyarakat sebagai sumber informasi serta penghubung aspirasi masyarakat kepada pelaksana penanganan bencana. Sedangkan bagi pelaksana penanganan bencana, pemuka pendapat sebagai sumber informasi untuk pertimbangan penentuan kebijakan pelaksanaan penanganan bencana serta menyampaikannya kepada masyarakat. 2..Melihat sering terjadinya bencana alam di Indonesia, sebaiknya pemerintah maupun LSM yang memiliki program penanganan bencana dapat berkomunikasi dengan pemuka pendapat, agar program penanganan bencana tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. 3. Untuk melaksanakan manajemen komunikasi penanggulangan bencana yang efektif perlu didukung manajemen organisasi penanggulangan bencana partisipatif yang bersifat struktural, operasional dan koordinatif. Manajemen organisasi dan komunikasi penanggulangan bencana tersebut harus dirancang dengan melibatkan masyarakat melalui pemuka pendapat sejak perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban. 105 DAFTAR PUSTAKA Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Ardianto, E dan L. K. Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa. Suatu Pengantar. Simbiosa Rekatama Media, Bandung. Arga, D. 2006. Quo Vadis Kebijakan Penanganan Bencana Jogja. Dokumen http://www.walhi-jogja.or.id. Akses 15 Desember 2006. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka Cipta, Jakarta. Bakornas PBP. 2005. Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Biro Mitigasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulaangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta. BPS Kabupaten Bantul, 2006. Bantul dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Bappenas. 2006. Sistem Koordinasi dan Pelaksanaan Kegiatan Pasca Gempa di Provinsi DIY-Jateng. Presentasi Direktur Kewilayahan II Bappenas, Jogja, 14 Juli 2006. BRR NAD-Nias, 2005. Meletakkan Fondasi Membangun Harapan. Laporan Kegiatan Enam Bulan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias. BRR NAD-Nias, Banda Aceh. Carmelita, M. 2002. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pola Komunikasi Kelompok pada Proses Pengambilan Keputusan Inovasi. Tesis pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. DeVito, J. A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar (Terjemahan). Professional Books, Jakarta. Effendy, O. U. 2002. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. ___________. 2004. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya, Bandung. Hardt, H. 1992. Critical Communication Studies. Jalasutra, Yogyakarta. Hasan, M. I. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia, Jakarta. 106 Hasani, Y. 2004. Efektivitas Komunikasi Pemuka Pendapat dalam Penyelesaian Konflik Masyarakat di Maluku Utara. Tesis pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Hidayati, D. 2005. Panduan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat. Jurnal Komunika 8 (1) : Halaman 56. Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung. Horton, P. B dan C. L. Hunt. 1999. Sosiologi (Terjemahan). Penerbit Erlangga, Jakarta. Hubeis, A.V.S. 2001. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Dalam Prosiding Seminar Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor. IDEP. 2005. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat. Yayasan IDEP, Bali. Ife, J. 1995. Community Development. Longman, Australia. Kerlinger, F. N. 1996. Asas-asas Penelitian Behavioral (Terjemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta. KOMPAS, 2005. Presiden: Lemah, Pengendalian Penanganan Bencana Aceh. Harian KOMPAS, Sabtu, 15 Januari 2005. KONTAN. 2006. Sekretaris Daerah DIY: Jangan Gunakan Pendekatan. Tabloid KONTAN, No. 36 Tahun X, 12 Juni 2006. Mardikanto, T. 1988. Komunikasi Pembangunan. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Mataair. 2006. Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Volume III No. 3 Juni – Juli 2006. MPBI, Jakarta. MPBI. 2006. Piagam Rakyat Berdaya Siaga. Dokumen http://www.mpbi.org Akses 3 Januari 2007. Mulyana, D. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. _________. 2002. Ilmu Komunikasi. Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya, Bandung. 107 Mutakin, A dan G. K. Pasha. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pace, R. W. dan D. F. Faules. 2005. Komunikasi Organisasi (Terjemahan). Remaja Rosdakarya, Bandung. Paripurno, E. T. 2001. Manajemen Bencana Berbasis Komunitas: Seperti Apa ? Bahan Diskusi pada Lokalatih Manajemen Bencana Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tanggal 30 – 31 Januari 2001. Pemda DIY. 2006. Info Gempa DIY. Dokumen http://www.pemda-diy.org. Akses 15 Desember 2006. Poerwandari, K. 2005. Psikologi Korban Pasca Bencana. Jurnal Perempuan No. 40, Maret 2005. Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Prasetyo, H. 2004. Manajemen Bencana. Dokumen http://www.walhi.or.id. Akses 21 Nopember 2006. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - ESDM. 2006. Pengenalan Gempa Bumi. Departemen ESDM, Jakarta. Rakhmat, J. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung. Riduwan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta, Bandung. Robbins, S. P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi (Terjemahan). Penerbit Erlangga, Jakarta. Rogers, E. M. 1995. Diffusion of Innovations. The Free Press, New York. ___________ dan F. F. Shoemaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru (Terjemahan). Usaha Nasional, Surabaya. Rozaki, A. 2007. APBD Partisipatif Pascagempa. http://www.ireyogya.org. Akses 2 Januari 2007 Dokumen Ruslan, R. 2004. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi. Konsepsi dan Aplikasi. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, Jakarta. Santoso, S. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Parametrik. Elex Media Komputindo, Jakarta. 108 Setiana, L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia, Bogor. Setyowati, Y. 2005. Komunikasi Partisipatif: Pendekatan Pengembangan Masyarakat. Dalam Komunikasi Pemberdayaan. AMPD Press, Yogyakarta. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. Soesilowati, E. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Lapisan Bawah. Kasus Kegiatan LSM di Jawa Tengah. Tesis pada Program Pascasarjana IPB, Bogor. Sphere, P. 2006. Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana (Terjemahan). Grasindo, Jakarta. Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama, Bandung. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suryo, R. 2005. Komunikasi Bencana. Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 4 Januari 2005. Thoha, M. 1991. Kepemimpinan dalam Manajemen. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta. Triton, P. B. 2006. SPSS 13.0 Terapan. Penerbit ANDI, Yogyakarta. Tubbs, S. L. dan S. Moss. 2001. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi (Terjemahan). Remaja Rosdakarya, Bandung. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dokumen DPR RI. Http://www.dpr.go.id. Akses 27 Desember 2007. UNDP. 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana. Modul Pelatihan Manajemen Bencana UNDP/UNDRO, Jakarta. Winardi, Rahardjo, Sugiantoro, Leksono dan Darmawan. 2006. Gempa Jogja, Indonesia dan Dunia. PT Mediarona Dirgantara, Jakarta. Wuryantari, T. 2005. Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (Terjemahan). MPBI, Jakarta.