BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Ada dua macam pengetahuan yaitu
pengetahuan khusus yang mengenai yang satu saja dan pengetahuan umum yang
berlaku bagi semua dan segala sesuatu didalamnya. Baik pengetahuan umum
maupun pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik manusia berlandaskan
pengalaman yang dialami maupun berlandaskan pengalaman orang lain.
Perbedaan kedua pengalaman itu adalah pengalaman khusus cukup sekali
sentuhan indera (dan biasanya dengan inderanya sendiri), sedangkan pada
pengetahuan umum ada kemungkinan memerlukan deretan pengalaman serta juga
memerlukan tindakan manusia yang lebih banyak untuk mengambil suatu
keputusan. Pengalaman orang lain juga seringkali diperlukan atau dipergunakan
(Poedjawijatna, 1967: 9-10). Menurut Soejono Soemargono filsafat pengetahuan
merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai hakikat
pengetahuan. Filsafat pengetahuan adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang
secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Pengetahuan adalah hasil pemahaman manusia mengenai atau terhadap barang
sesuatu tertentu, sehingga filsafat pengetahuan menunjuk dua macam segi
kenyataan. Pertama menunjuk kepada pemikiran mengenai barang sesuatu tertentu
dan kedua menunjuk kepada adanya sesuatu yang diusahakan untuk dipahami.
Jika dilihat dari dua segi kenyataan tersebut maka filsafat pengetahuan itu
1
senantiasa bersangkutan atau menyangkut dua hal pokok yaitu menyangkut halhal yang bersifat subjektif dan objektif. Dapat disimpulkan bahwa filsafat
pengetahuan sebagai pemikiran menunjuk kepada sesuatu yang pada dasarnya
bersifat subjektif, namun sebagai hasil pemahaman atau pemikiran bersifat objektf
(Soemargono, 1983: 1-4).
Menurut J.J Davies ilmu adalah suatu struktur yang dibangun di atas fakta.
Ilmu itu objektif maka pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat
dipercaya karena pengetahuan ilmiah telah dibuktikan kebenarannya secara
objektif (Chalmers, 1983:1). Ilmu berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah
mengartikan satu kepingan pengetahuan satu keputusan tersendiri; sebaliknya
ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan
saling berkaitan secara logis. Ciri hakiki dari ilmu salah satunya adalah
metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan
penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide
yang terpisah-pisah. Ilmu sebaliknya menuntut pengamatan dan berpikir metodis,
tertata rapi. Tidak hanya ilmu, pengetahuan juga memiliki metodologi yang
digunakan untuk mengkaji kajian.
Cara berpikir metodis, tertata rapi serta logis digemari masyarakat zaman
sekarang. Masyarakat zaman sekarang sangat mendewakan ilmu. Fenomena
dirasa lebih baik jika bisa dinalar oleh akal sehat. Fenomena apapun yang terjadi
diteliti agar dapat dijelaskan secara ilmiah. Masyarakat kemudian lebih percaya
pada sesuatu yang bisa dijelaskan secara rasional dan bisa ditangkap oleh akal
2
sehat. Ilmu seolah-olah adalah suatu bidang yang berada diatas bidang-bidang
pengetahuan lain.
Objek yang hendak dibahas disini adalah metodologi konsep pra-Adam.
Konsep pra-Adam adalah salah satu penjelasan terhadap fenomena yang ada.
Konsep pra-Adam adalah jalan keluar yang dikemukakan oleh beberapa ahli
untuk menjelaskan pluralitas manusia yang ada saat ini. Konsep pra-Adam
menjelaskan tentang keberadaan ‘manusia’ sebelum Adam turun ke bumi. Para
ahli percaya bahwa konsep pra-Adam merupakan jawaban dari keberagaman
bentuk fisik manusia.
Konsep pra-Adam berkembang dari masa ke masa karena perkembangan
ilmu dan pengetahuan memengaruhi para ahli dalam mengambil sikap dan
mengembangkan konsep ini. Mulai dari Isabelle Duncan yang pertama kali
menggunakan istilah pre-adamite man pada tahun 1860an. Isabelle Duncan
menuliskan pemikirannya tentang konsep pra-Adam dalam bukunya yang
berjudul Pre-adamite Man yang membahas konsep pra-Adam dengan latar
belakang teologi. Konsep Pra-Adam tidak hanya dibahas oleh teologi tapi juga
dibahas oleh bapak evolusi yaitu Charles Darwin dengan teori evolusinya yang
menghasilkan pro dan kontra yang berkepanjangan. Teori evolusi Darwin
menyoroti konsep pra-Adam dari metodologi biologi yang menjelaskan bahwa
asal usul makhluk hidup mungkin berasal dari awal yang tunggal. Konsep praAdam pun tidak luput dibahas oleh antropologi ragawi, serta arkeologi. Konsep
pra-Adam dari tahun ke tahun semakin banyak dibahas berbagai bidang kajian
3
dan pembahasannya semakin detil karena adanya perkembangan ilmu
pengetahuan.
Perkembangan ini menyebabkan banyaknya metodologi yang digunakan
oleh para ahli dari berbagai bidang kajian termasuk pengetahuan non ilmiah
dalam melakukan penelitian terhadap konsep pra-Adam. Penulis hendak
memaparkan perihal plurimetodologi yang digunakan dalam mengkaji konsep
pra-Adam yang sesuai dengan pemikiran Feyerabend. Feyerabend menentang
monometodologi untuk menjelaskan suatu fenomena secara utuh. Feyerabend
dikenal dengan paham metodologi pluralistiknya. Feyerabend menganggap bahwa
menggunakan metodologi yang plural akan menciptakan kajian yang lengkap
seutuhnya. Pluralitas adalah salah satu komposisi dari kritik yang harus disertai
dalam setiap opini untuk kajian dalam pengetahuan maupun filsafat (Farrell,
2000:260).
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merincikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metodologi konsep pra-Adam menurut para ahli?
2. Bagaimana prinsip anything goes/plurimetodologi Paul Feyerabend?
3. Bagaimana konsep metodologi pra-Adam ditinjau dari pemikiran Paul
Feyerabend?
4
2. Keaslian Penelitian
Penulis belum menemukan skripsi atau buku-buku yang membahas secara
terperinci judul tulisan ini. Penulis hanya menemukan beberapa skripsi dan buku
yang isinya dapat digunakan sebagai bahan dasar penulisan tulisan ini, yaitu:
1. Snobelen, Stephen. 2001. Of Stones,Men and Angels: The Competing
Myth of Isabelle Duncan’s Pre-Adamite Man (1860). Artikel dalam
jurnal yang menjelaskan tentang konsep pra-Adam dari latar belakang
teologis dan ilmiah.
2. Indayani Diah, 1995,Anarkisme Epistemologi: Kritik Paul K. Feyerabend
Atas Metode dan Praktek Ilmu, skripsi Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada. Skripsi ini membahas tentang anarkisme epistemologi
sebagai kritik Feyerabend serta pentingnya pengkajian tentang metode
dan praktek kajian dari Feyerabend.
3. Buku karya Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, 2009, Sangiran
Menjawab Dunia terbitan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba
Sangiran. Buku ini berisikan sejarah manusia purba dari seluruh dunia
secara umum dan manusia purba secara spesifik di Sangiran dilihat dari
segi antropologi, arkeologi, geologi dan morfologi.
3. Manfaat yang Diharapkan
Penelitian konsep Pra-Adam diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
5
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif
dalam pengembangan dan melengkapi studi tentang metodologi konsep
pra-Adam.
b. Bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
Penulis berharap penelitian ini dapat mengubah pandangan para ahli
tentang penegasan kecukupan satu metodologi khusus untuk membahas
suatu fenomena dan dapat menambah pembendaharaan informasi tentang
kajian plurimetodologi Feyerabend serta kajian konsep pra-Adam di
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada maupun Universitas lain.
c. Bagi bangsa Indonesia
Penulis berharap dapat memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat
Indonesia khususnya ahli yang lingkup studinya seputar kajian konsep praAdam serta plurimetodologi Feyerabend.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
untuk:
1. Mendeskripsikan metodologi konsep pra-Adam menurut ahli dari
Biologi, Paleoantropologi, Teologi serta mitos suku Toraja.
2. Memaparkan prinsip anything goes Paul Feyerabend.
3. Menganalisis metodologi konsep pra-Adam dari perspektif Paul
Feyerabend.
6
C. Tinjauan Pustaka
Menurut T. Jacob pertanggalan (datasi) usia bumi secara ilmiah dengan
memakai isotop menunjukkan, bahwa 4,6 biliun tahun yang lalu bumi sudah
mendingin dan kulitnya sudah solid. Kemudian 590 juta tahun lalu mulai muncul
makhluk hidup berturut-turut regna Monera, Protista dan Fungi, diikuti oleh
Plantae dan Animalia. Reptilia mencapai puncak kejayaannya di era Mesozoik
dengan dinosaurus yang meraja di semua benua. Ordo primates (termasuk
manusia) muncul sesudah punahnya dinosaurus di Benua Lama, diwakili oleh
pramonyet dan monyet. Manusia sendiri mulai berevolusi dari Australopithecus
(A. anamensis), kemudian berlanjut ke Homo rudolfensis, Homo ergaster, Homo
erectus sampai ke Homo sapiens (Jacob, 1999: 4-5).
Berdasarkan ensiklopedia Manusia Purba karya Howell, manusia sejati
pertama dimulai dengan adanya Homo erectus karena memiliki tungkai modern,
rongga otak setengah dari rongga otak Homo sapiens, komunal serta sudah
menggunakan api dan bahasa sejak 800 juta tahun yang lalu. Baru sekitar 300 juta
tahun yang lalu hidup Homo sapiens purba yang merupakan peralihan antara
Homo erectus dengan manusia modern. Sekitar 90 juta tahun yang lalu hidup
Neanderthal yang rongga otaknya sudah hampir sama besarnya dengan manusia
modern, berpakaian dasar serta membentuk alat. Setelah Neanderthal, manusia
purba yang paling mendekati manusia modern adalah manusia cro-magnon, yang
hidup sekitar 50 juta tahun yang lalu, merupakan seniman ulung pertama, terbukti
dengan adanya lukisan gua, pahatan batu dan patung berukir yang tersebar di
berbagai pelosok bumi. Akhirnya muncul manusia modern seperti manusia saat
7
ini yang ditandai dengan kebudayaannya yang maju serta sudah bisa bercocok
tanam dan menjinakkan binatang (Howell, 1977: 45-49). Semua spesies manusia
sebelum Homo erectus jelas terlihat mirip kera walaupun bipedal. Otak mereka
relatif kecil dan muka mereka prognathous (menjorok ke depan) serta bentuk
badan pada bagian-bagian tertentu lebih mirip kera daripada manusia, seperti dada
runjung, leher kecil dan tak berpinggang (Leakey, 2003: xv).
Konsep pra-Adam sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Isabelle Duncan
pada tahun 1860an beberapa minggu setelah Darwin mengeluarkan buku Origin
of Species. Isabelle Duncan merilis buku yang berjudul Pre-Adamite Man yang
dimaksudkan untuk menyambungkan Kejadian dengan perkembangan kajian
tentang bumi dan manusia pada masanya yang sudah berkembang pesat. Konsep
pra-Adam menurut Duncan di dalam Injil diceritakan bahwa ada dua penciptaan.
Manusia ditempatkan di bumi dalam setiap proses penciptaannya, tetapi hanya ras
kedualah yang merupakan leluhur manusia zaman sekarang. Duncan dalam
bukunya menggabungkan pendapat yang ada dalam ilmu pengetahuan dengan
hermeneutika injil yang terinspirasi oleh rekonsiliasi antara kitab suci dan geologi
(Snobelen, 2001 : 60).
Preadamisme pertama kali ditemukan dalam literatur Yahudi Midrash dan
Cabbala. Midrash Rabba mengajarkan keberadaan pewaris penduduk dunia yang
mencapai puncaknya pada saat sekarang ini. Judah Halevi pada abad ke-20
membenarkan kemungkinan adanya masa sebelum Adam. Salah satu teori Yahudi
mengajukan penciptaan terdahulu dengan melihat injil yang berawal dengan huruf
8
alfa (‫)א‬, huruf pertama dalam alfabet Ibrani, sedangkan dalam Kejadian berawal
dengan huruf kedua yaitu beta (‫)ב‬. Teori Yahudi mengatakan bahwa tidak ada
manusia sebelum Adam yang bisa bertahan sampai zaman Adam. Paracelsus,
Giordano Bruno dan yang lain pada abad ke-16 mulai berargumentasi bahwa
Tuhan menciptakan manusia di beberapa lokasi di muka bumi (Snobelen, 2001 :
61).
Kebanyakan ahli teologi dan ahli sejarah alam sebelum masa Darwin
terkecoh oleh konsep kreasionisme yaitu adaptasi yang dihasilkan seleksi alam
terkesan sebagai hasil karya khusus sesuatu yang memiliki kecerdasan tinggi.
Namun, setelah ada penjelasan tentang seleksi alam, produk evolusi dapat
dipandang sebagai akibat kerja alam belaka dan bisa dijelaskan oleh ilmu
pengetahuan (Avise, 2007:25). Naturalis seperti Lamarck lebih menyoroti konsep
pra-Adam dari sisi ilmu pengetahuan. Pertama Lamarck mencurahkan perhatian
penuh pada kemungkinan bahwa semua perubahan yang ada pada dunia organik
maupun anorganik yang merupakan akibat hukum dan bukan akibat penempatan
yang menakjubkan. Lamarck tampaknya sangat terbawa pada kesimpulan
mengenai perubahan spesies secara bertahap, karena sulitnya membedakan spesies
dan varietas, dan karena adanya tahap yang hampir sempurna dari bentuk dalam
kelompok tertentu. Lamarck mengenai cara modifikasi atau perubahan,
menghubungkan sesuatu dengan tindakan langsung dari kondisi-kondisi fisik
kehidupan, menghubungkan sesuatu dengan persilangan bentuk-bentuk yang
sudah ada, serta banyak dipakai atau tidaknya, yakni hubungan dengan pengaruh
9
kebiasaan. Lamarck juga percaya akan hukum perkembangan yang progresif; dan
semua bentuk kehidupan cenderung pada kemajuan ini agar bisa menyebabkan
eksistensi produksi sederhana sekarang ini, Lamarck tetap mempertahankan
bahwa bentuk-bentuk semacam itu sekarang dihasilkan secara spontan (Uraian
Historis dalam buku Darwin, 2002 : xxxii – xxxiii).
Darwin yang senada dengan Lamarck, menjelaskan bahwa asal usul
makhluk hidup mungkin berasal dari awal yang tunggal. Sebagaimana ditulis
Darwin
“Ada keagungan dalam tamasya kehidupan ini, lengkap dengan beberapa
kekuatannya, yang pada awalnya telah diembuskan ke dalam sedikit bentuk
atau satu bentuk kehidupan saja; dan bahwa dari awal yang begitu
bersahaja, tak terhitung bentuk kehidupan yang paling indah dan
menakjubkan telah dan sedang berevolusi “ (Darwin, 2002: 490).
Kesamaan leluhur berarti manusia memiliki leluhur yang sama dengan
binatang lainnya. Darwin menceritakan bahwa semua makhluk hidup yang
memiliki ciri yang sama atau homolog berasal dari leluhur yang sama. Evolusilah
yang membuat mereka berbeda pada jaman sekarang (Mayr, 2001 : 27-28).
Naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace yang juga menciptakan
teori seleksi alam (theory of natural selection) yang berbeda dengan Darwin,
menolak menerapkan teori seleksi alam diterapkan pada manusia. Wallace
menganggap manusia terlalu cerdas, beradab dan canggih sebagai produk seleksi
alam semesta. Menurut Wallace kemampuan Homo sapiens bukanlah hasil seleksi
alam melainkan campur tangan suatu hal supernatural yang menjadikan manusia
modern sedemikian istimewa (Leakey, 2003:6)
10
Beberapa waktu yang lalu masyarakat masih menerima pendapat Uskup
Usher bahwa manusia diciptakan sekitar 4004 S.M dan bahwa Adam adalah
manusia pertama yang berjalan di bumi. Sekarang pendapat itu sudah tidak begitu
diterima lagi karena banyak bukti yang mengarah ke evolusi manusia. Masyarakat
yang berpendidikan tinggi biasanya percaya akan adanya evolusi pada binatang
serta tanaman dan seringkali tertarik pada konsep evolusi manusia. Pada tahun
1856 ditemukan fosil Neanderthal yang disebut-sebut memiliki garis keturunan
langsung dengan manusia purba hingga ke manusia modern. Studi tentang
prasejarah bukan hanya mempelajari serta menginterpretasikan fosil manusia yang
tersisa karena penginterpretasian fosil hanya sebagian kecil dari studi prasejarah.
Para ahli masih harus mempelajari iklim, geografi, kultur serta flora dan fauna
yang hidup pada masa lalu ketika manusia purba masih hidup hingga ke masa
manusia modern seperti saat ini. (Leakey, 1960:1)
Perlu ditekankan disini bahwa kisah tentang Adam adalah satu hal,
sedangkan “Adam” itu sendiri adalah hal yang lain. Seperti Adam yang dikenal
baik dalam keyakinan Yahudi, Kristen, maupun Islam. Adam disini hanya sebagai
pemahaman awal mula manusia. Menurut Iqbal, seorang pemikir Islam, Adam
bukanlah manusia pertama dalam wujudnya tetapi manusia pertama yang
menggunakan akal pikirannya. Kisah Adam bukan kategori sejarah, tetapi
kategori “legenda” atau “dongeng”. Ini membuka peluang bagi penafsiranpenafsiran baru terhadap teks-teks agama mengenai Adam. Kebenaran agama
tentang Adam bukanlah kebenaran mutlak sehingga berbagai pendekatan kajian
bisa mengulas tentang asal usul manusia (Muhyidin, 2009: 40). Banyaknya
11
pendekatan kajian yang mengulas konsep pra-Adam ini maka banyak juga
metodologi yang dipakai. Konsep pra-Adam walaupun memiliki banyak
pendekatan namun masing-masing pendekatan membahas satu konsep yaitu
konsep pra-Adam.
D. Landasan Teori
Menurut Toeti Heraty Noerhadi dalam pidato upacara pengukuhannya
sebagai Guru Besar Luar Biasa di UI, sudah lazim jika wilayah filsafat dibedakan
menurut tiga wilayah. Pertama adalah bidang yang mengkaji kenyataan dalam arti
yang seluas-luasnya, sifatnya tidak terhingga dengan pemilahan antara yang
terjangkau secara inderawi (ontologi) dan terletak di luar jangkauan inderawi
(metafisika). Kedua adalah bidang yang mencakup axiologi dengan pemilahan
etika dan estetika. Wilayah yang ketiga yaitu yang mencakup bidang pengetahuan
dengan pertanyaan “Apa yang dapat diketahui?”. Wilayah ketiga ini merupakan
wilayah yang paling mendasar yaitu epistemologi yang mengkaji hakikat
pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu pengetahuan menyangkut kajian filosofis
tentang pengetahuan yang khusus. Pengetahuan yang khusus yaitu pengetahuan
yang berpredikat ilmiah sebagai bentuk pengetahuan dengan ciri-ciri khas tertentu
dan diperoleh dengan cara-cara tertentu juga yang memiliki urutan langkahlangkah atau yang disebut sebagai metodologi. Pertanyaannya adalah benarkah
para ilmuwan dapat bertumpu pada yang disebut “Unified Science” yang
monometodologis ataukah mereka menghadapi plurimetodologi pada ilmu-ilmu
sebagai suatu keseluruhan (Noerhadi, 1994: 2-3).
12
Para ahli seringkali bersikukuh menggunakan satu metode untuk
menjelaskan suatu fenomena. Para ahli menganggap satu metode pasti saja sudah
cukup untuk mengkaji secara utuh suatu fenomena. Feyerabend berlainan dengan
anggapan para ahli, menentang pemikiran monometodologi. Feyerabend
membahas argumennya dalam buku Against Method. Menurut Feyerabend
metode yang sudah pasti atau teori rasionalitas yang sudah pasti, akan membawa
sudut pandang orang menjadi naïf begitu juga pada lingkungan sekitarnya, hanya
ada satu prinsip yang bisa dipertahankan dibawah segala keadaan dan dalam
segala tingkat perkembangan manusia. Prinsip itu adalah apa saja boleh.
(Feyerabend, 1978 : 27-28)
“The idea of a fixed method, or of a fixed theory of rationality, rest on too
naïve a few of man and his social sorroundings. To those who look at the
rich material provided by history and who are not intent on impoverishing it
in order to please their laver instincts, their craving for intellectual security
in the form of clarity, presicion, objectivity, truth. It will become clear that
there is only one principle that can be defended under all circumstances and
in all stages of human development. It is the principle anything
goes.”(Feyerabend, 1978: 27-28)
Feyerabend seperti yang dijelaskan di atas, berargumen bahwa tidak ada
satu metodologi yang bisa menjelaskan secara utuh suatu fenomena. Menurut
Feyerabend setiap metodologi pasti memiliki batasan-batasannya masing-masing
(Feyerabend 1975:32). Prinsip anything goes adalah prinsip abstrak yang harus
dapat diteliti dan diterangkan ke dalam penjelasan yang konkrit. Penelitian serta
pengujian prinsip anything goes dimaksudkan untuk menelaah akibat dari
counterrule (melawan aturan) yang menentang beberapa aturan yang dikenal
dalam bidang ilmu (Diah, 1995:58). Feyerabend juga menekankan pada konsep
suatu metodologi yang tidak mungkin bertahan selamanya, karena kajiannya terus
13
berkembang sehingga metodologinya pun mau tak mau pasti ikut berkembang.
Kajian selalu ada kemungkinan salah karena adanya pembaharuan setiap saat.
Semua metodologi memiliki keterbatasannya dan satu-satunya “hukum” yang
bertahan adalah apa saja boleh.
Pluralisme dalam teori dan pandangan metafisika tidak hanya penting
untuk metodologi tetapi juga menjadi bagian dari cara berpikir kemanusiaan.
Untuk mempertahankan kebebasan dari kreasi seni dan menggunakannya secara
maksimal sangatlah mungkin, tidak hanya sebagai jalan untuk pelarian tetapi juga
sebagai suatu tujuan untuk menemukan dan mungkin mengubah komponenkomponen dalam dunia yang ditinggali ini. Kebetulan ini adalah bagian dari
keseluruhan (dunia yang ditinggali) adalah salah satu argumen penting yang
membantu dalam metodologi pluralistik. (Feyerabend, 1978:52)
Tulisan ini mencoba menjelaskan plurimetodologi yang dianut Feyerabend
untuk mengkaji konsep pra-Adam. Konsep pra-Adam tidak hanya bisa dibahas
oleh satu metodologi karena satu metodologi tidak akan bisa membahas secara
utuh. Tidak ada suatu metodologi pasti yang bisa dengan sempurna menjelaskan
konsep pra-Adam kecuali hukum apa saja boleh.
E. Metode Penelitian
1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Bahan dan materi penelitian
didapatkan dari pustaka yang membahas tentang konsep pra-Adam serta Paul K.
14
Feyerabend. Data pustaka ini dibagi menjadi dua, yaitu pustaka primer dan
pustaka sekunder.
a. Pustaka primer penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Buku The Origin of Species, Asal-usul Spesies karya Charles Darwin
yang
diterjemahkan
tahun
2002,
penerbit
Ikon
Teralitera:
Yogyakarta.
2.
Jurnal Of Stones, Men and Angels: The Competing Myth of Isabelle
Duncan’s Pre-Adamite Man (1860) karya Stephen Snobelen, tahun
2001, penerbit Elsevier Science: Great Britain.
3.
Buku Against Method, karya Paul K. Feyerabend, tahun 1978,
penerbit Lowe and Brydone Printers Ltd: London
b.
Pustaka sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal dan bahan-
bahan lainnya yang berkaitan dengan konsep pra-Adam serta pemikiran
Feyerabend.
2. Jalannya Penelitian
Penulis melakukan penelitian ini dengan langkah-langkah seperti berikut
ini:
a.
Mengumpulkan data pustaka kajian sebanyak mungkin, baik objek
material maupun objek formal penelitian.
b.
Setelah data pustaka terkumpul kemudian langkah selanjutnya
adalah pembahasan objek material dan objek formal penelitian.
15
c.
Langkah terakhir adalah analisis sistematis atas kajian objek
material dan objek formal.
3. Analisis Hasil
Penulis menggunakan tiga jenis metode berdasarkan metode-metode yang
tertulis di dalam buku Metode Penelitian Filsafat oleh Anton Bakker dan Charis
Zubair, yaitu:
1. Deskripsi, yaitu menjelaskan secara rinci konsep pra-Adam yang ditinjau
dari berbagai bidang kajian.
2. Interpretasi, yaitu memberi pemahaman tentang plurimetodologi yang
digunakan untuk menjelaskan konsep pra-Adam secara utuh.
3. Heuristika, yaitu memberikan pemahaman baru tentang studi metodologi
terutama plurimetodologi.
4. Hasil yang telah Dicapai
Penelitian ini dapat mencapai hasil sebagai berikut ini:
1.
Memperoleh gambaran metodologi konsep pra-Adam dari berbagai
pandangan pengetahuan.
2.
Memperoleh
pemahaman
tentang prinsip
anything
goes
Paul
Feyerabend.
3.
Pemahaman tentang plurimetodologi konsep pra-Adam dari perspektif
Paul Feyerabend.
16
5. Sistematika Penulisan
BAB I
: berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang
diharapkan serta sistematika penulisan.
BAB II
:
membahas
tentang
kajian
objek
formal
mengenai
plurimetodologi Feyerabend.
BAB III : membahas tentang kajian objek material penelitian yaitu
metodologi konsep pra-Adam yang ditinjau dari biologi,
antropologi ragawi, arkeologi, teologi serta pro dan kontra
terhadap konsep pra-Adam.
BAB IV : analisis tentang plurimetodologi yang digunakan untuk mengkaji
secara utuh konsep pra-Adam.
BAB V
: kesimpulan serta saran penulis sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya.
17
Download