BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Ada dua macam pengetahuan yaitu pengetahuan khusus yang mengenai yang satu saja dan pengetahuan umum yang berlaku bagi semua dan segala sesuatu didalamnya. Baik pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik manusia berlandaskan pengalaman yang dialami maupun berlandaskan pengalaman orang lain. Perbedaan kedua pengalaman itu adalah pengalaman khusus cukup sekali sentuhan indera (dan biasanya dengan inderanya sendiri), sedangkan pada pengetahuan umum ada kemungkinan memerlukan deretan pengalaman serta juga memerlukan tindakan manusia yang lebih banyak untuk mengambil suatu keputusan. Pengalaman orang lain juga seringkali diperlukan atau dipergunakan (Poedjawijatna, 1967: 9-10). Menurut Soejono Soemargono filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai hakikat pengetahuan. Filsafat pengetahuan adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil pemahaman manusia mengenai atau terhadap barang sesuatu tertentu, sehingga filsafat pengetahuan menunjuk dua macam segi kenyataan. Pertama menunjuk kepada pemikiran mengenai barang sesuatu tertentu dan kedua menunjuk kepada adanya sesuatu yang diusahakan untuk dipahami. Jika dilihat dari dua segi kenyataan tersebut maka filsafat pengetahuan itu 1 senantiasa bersangkutan atau menyangkut dua hal pokok yaitu menyangkut halhal yang bersifat subjektif dan objektif. Dapat disimpulkan bahwa filsafat pengetahuan sebagai pemikiran menunjuk kepada sesuatu yang pada dasarnya bersifat subjektif, namun sebagai hasil pemahaman atau pemikiran bersifat objektf (Soemargono, 1983: 1-4). Menurut J.J Davies ilmu adalah suatu struktur yang dibangun di atas fakta. Ilmu itu objektif maka pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang dapat dipercaya karena pengetahuan ilmiah telah dibuktikan kebenarannya secara objektif (Chalmers, 1983:1). Ilmu berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan satu kepingan pengetahuan satu keputusan tersendiri; sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Ciri hakiki dari ilmu salah satunya adalah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan dan ide yang terpisah-pisah. Ilmu sebaliknya menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Tidak hanya ilmu, pengetahuan juga memiliki metodologi yang digunakan untuk mengkaji kajian. Cara berpikir metodis, tertata rapi serta logis digemari masyarakat zaman sekarang. Masyarakat zaman sekarang sangat mendewakan ilmu. Fenomena dirasa lebih baik jika bisa dinalar oleh akal sehat. Fenomena apapun yang terjadi diteliti agar dapat dijelaskan secara ilmiah. Masyarakat kemudian lebih percaya pada sesuatu yang bisa dijelaskan secara rasional dan bisa ditangkap oleh akal 2 sehat. Ilmu seolah-olah adalah suatu bidang yang berada diatas bidang-bidang pengetahuan lain. Objek yang hendak dibahas disini adalah metodologi konsep pra-Adam. Konsep pra-Adam adalah salah satu penjelasan terhadap fenomena yang ada. Konsep pra-Adam adalah jalan keluar yang dikemukakan oleh beberapa ahli untuk menjelaskan pluralitas manusia yang ada saat ini. Konsep pra-Adam menjelaskan tentang keberadaan ‘manusia’ sebelum Adam turun ke bumi. Para ahli percaya bahwa konsep pra-Adam merupakan jawaban dari keberagaman bentuk fisik manusia. Konsep pra-Adam berkembang dari masa ke masa karena perkembangan ilmu dan pengetahuan memengaruhi para ahli dalam mengambil sikap dan mengembangkan konsep ini. Mulai dari Isabelle Duncan yang pertama kali menggunakan istilah pre-adamite man pada tahun 1860an. Isabelle Duncan menuliskan pemikirannya tentang konsep pra-Adam dalam bukunya yang berjudul Pre-adamite Man yang membahas konsep pra-Adam dengan latar belakang teologi. Konsep Pra-Adam tidak hanya dibahas oleh teologi tapi juga dibahas oleh bapak evolusi yaitu Charles Darwin dengan teori evolusinya yang menghasilkan pro dan kontra yang berkepanjangan. Teori evolusi Darwin menyoroti konsep pra-Adam dari metodologi biologi yang menjelaskan bahwa asal usul makhluk hidup mungkin berasal dari awal yang tunggal. Konsep praAdam pun tidak luput dibahas oleh antropologi ragawi, serta arkeologi. Konsep pra-Adam dari tahun ke tahun semakin banyak dibahas berbagai bidang kajian 3 dan pembahasannya semakin detil karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ini menyebabkan banyaknya metodologi yang digunakan oleh para ahli dari berbagai bidang kajian termasuk pengetahuan non ilmiah dalam melakukan penelitian terhadap konsep pra-Adam. Penulis hendak memaparkan perihal plurimetodologi yang digunakan dalam mengkaji konsep pra-Adam yang sesuai dengan pemikiran Feyerabend. Feyerabend menentang monometodologi untuk menjelaskan suatu fenomena secara utuh. Feyerabend dikenal dengan paham metodologi pluralistiknya. Feyerabend menganggap bahwa menggunakan metodologi yang plural akan menciptakan kajian yang lengkap seutuhnya. Pluralitas adalah salah satu komposisi dari kritik yang harus disertai dalam setiap opini untuk kajian dalam pengetahuan maupun filsafat (Farrell, 2000:260). 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merincikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana metodologi konsep pra-Adam menurut para ahli? 2. Bagaimana prinsip anything goes/plurimetodologi Paul Feyerabend? 3. Bagaimana konsep metodologi pra-Adam ditinjau dari pemikiran Paul Feyerabend? 4 2. Keaslian Penelitian Penulis belum menemukan skripsi atau buku-buku yang membahas secara terperinci judul tulisan ini. Penulis hanya menemukan beberapa skripsi dan buku yang isinya dapat digunakan sebagai bahan dasar penulisan tulisan ini, yaitu: 1. Snobelen, Stephen. 2001. Of Stones,Men and Angels: The Competing Myth of Isabelle Duncan’s Pre-Adamite Man (1860). Artikel dalam jurnal yang menjelaskan tentang konsep pra-Adam dari latar belakang teologis dan ilmiah. 2. Indayani Diah, 1995,Anarkisme Epistemologi: Kritik Paul K. Feyerabend Atas Metode dan Praktek Ilmu, skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini membahas tentang anarkisme epistemologi sebagai kritik Feyerabend serta pentingnya pengkajian tentang metode dan praktek kajian dari Feyerabend. 3. Buku karya Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, 2009, Sangiran Menjawab Dunia terbitan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Buku ini berisikan sejarah manusia purba dari seluruh dunia secara umum dan manusia purba secara spesifik di Sangiran dilihat dari segi antropologi, arkeologi, geologi dan morfologi. 3. Manfaat yang Diharapkan Penelitian konsep Pra-Adam diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi Peneliti 5 Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif dalam pengembangan dan melengkapi studi tentang metodologi konsep pra-Adam. b. Bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Penulis berharap penelitian ini dapat mengubah pandangan para ahli tentang penegasan kecukupan satu metodologi khusus untuk membahas suatu fenomena dan dapat menambah pembendaharaan informasi tentang kajian plurimetodologi Feyerabend serta kajian konsep pra-Adam di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada maupun Universitas lain. c. Bagi bangsa Indonesia Penulis berharap dapat memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia khususnya ahli yang lingkup studinya seputar kajian konsep praAdam serta plurimetodologi Feyerabend. B. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan metodologi konsep pra-Adam menurut ahli dari Biologi, Paleoantropologi, Teologi serta mitos suku Toraja. 2. Memaparkan prinsip anything goes Paul Feyerabend. 3. Menganalisis metodologi konsep pra-Adam dari perspektif Paul Feyerabend. 6 C. Tinjauan Pustaka Menurut T. Jacob pertanggalan (datasi) usia bumi secara ilmiah dengan memakai isotop menunjukkan, bahwa 4,6 biliun tahun yang lalu bumi sudah mendingin dan kulitnya sudah solid. Kemudian 590 juta tahun lalu mulai muncul makhluk hidup berturut-turut regna Monera, Protista dan Fungi, diikuti oleh Plantae dan Animalia. Reptilia mencapai puncak kejayaannya di era Mesozoik dengan dinosaurus yang meraja di semua benua. Ordo primates (termasuk manusia) muncul sesudah punahnya dinosaurus di Benua Lama, diwakili oleh pramonyet dan monyet. Manusia sendiri mulai berevolusi dari Australopithecus (A. anamensis), kemudian berlanjut ke Homo rudolfensis, Homo ergaster, Homo erectus sampai ke Homo sapiens (Jacob, 1999: 4-5). Berdasarkan ensiklopedia Manusia Purba karya Howell, manusia sejati pertama dimulai dengan adanya Homo erectus karena memiliki tungkai modern, rongga otak setengah dari rongga otak Homo sapiens, komunal serta sudah menggunakan api dan bahasa sejak 800 juta tahun yang lalu. Baru sekitar 300 juta tahun yang lalu hidup Homo sapiens purba yang merupakan peralihan antara Homo erectus dengan manusia modern. Sekitar 90 juta tahun yang lalu hidup Neanderthal yang rongga otaknya sudah hampir sama besarnya dengan manusia modern, berpakaian dasar serta membentuk alat. Setelah Neanderthal, manusia purba yang paling mendekati manusia modern adalah manusia cro-magnon, yang hidup sekitar 50 juta tahun yang lalu, merupakan seniman ulung pertama, terbukti dengan adanya lukisan gua, pahatan batu dan patung berukir yang tersebar di berbagai pelosok bumi. Akhirnya muncul manusia modern seperti manusia saat 7 ini yang ditandai dengan kebudayaannya yang maju serta sudah bisa bercocok tanam dan menjinakkan binatang (Howell, 1977: 45-49). Semua spesies manusia sebelum Homo erectus jelas terlihat mirip kera walaupun bipedal. Otak mereka relatif kecil dan muka mereka prognathous (menjorok ke depan) serta bentuk badan pada bagian-bagian tertentu lebih mirip kera daripada manusia, seperti dada runjung, leher kecil dan tak berpinggang (Leakey, 2003: xv). Konsep pra-Adam sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Isabelle Duncan pada tahun 1860an beberapa minggu setelah Darwin mengeluarkan buku Origin of Species. Isabelle Duncan merilis buku yang berjudul Pre-Adamite Man yang dimaksudkan untuk menyambungkan Kejadian dengan perkembangan kajian tentang bumi dan manusia pada masanya yang sudah berkembang pesat. Konsep pra-Adam menurut Duncan di dalam Injil diceritakan bahwa ada dua penciptaan. Manusia ditempatkan di bumi dalam setiap proses penciptaannya, tetapi hanya ras kedualah yang merupakan leluhur manusia zaman sekarang. Duncan dalam bukunya menggabungkan pendapat yang ada dalam ilmu pengetahuan dengan hermeneutika injil yang terinspirasi oleh rekonsiliasi antara kitab suci dan geologi (Snobelen, 2001 : 60). Preadamisme pertama kali ditemukan dalam literatur Yahudi Midrash dan Cabbala. Midrash Rabba mengajarkan keberadaan pewaris penduduk dunia yang mencapai puncaknya pada saat sekarang ini. Judah Halevi pada abad ke-20 membenarkan kemungkinan adanya masa sebelum Adam. Salah satu teori Yahudi mengajukan penciptaan terdahulu dengan melihat injil yang berawal dengan huruf 8 alfa ()א, huruf pertama dalam alfabet Ibrani, sedangkan dalam Kejadian berawal dengan huruf kedua yaitu beta ()ב. Teori Yahudi mengatakan bahwa tidak ada manusia sebelum Adam yang bisa bertahan sampai zaman Adam. Paracelsus, Giordano Bruno dan yang lain pada abad ke-16 mulai berargumentasi bahwa Tuhan menciptakan manusia di beberapa lokasi di muka bumi (Snobelen, 2001 : 61). Kebanyakan ahli teologi dan ahli sejarah alam sebelum masa Darwin terkecoh oleh konsep kreasionisme yaitu adaptasi yang dihasilkan seleksi alam terkesan sebagai hasil karya khusus sesuatu yang memiliki kecerdasan tinggi. Namun, setelah ada penjelasan tentang seleksi alam, produk evolusi dapat dipandang sebagai akibat kerja alam belaka dan bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan (Avise, 2007:25). Naturalis seperti Lamarck lebih menyoroti konsep pra-Adam dari sisi ilmu pengetahuan. Pertama Lamarck mencurahkan perhatian penuh pada kemungkinan bahwa semua perubahan yang ada pada dunia organik maupun anorganik yang merupakan akibat hukum dan bukan akibat penempatan yang menakjubkan. Lamarck tampaknya sangat terbawa pada kesimpulan mengenai perubahan spesies secara bertahap, karena sulitnya membedakan spesies dan varietas, dan karena adanya tahap yang hampir sempurna dari bentuk dalam kelompok tertentu. Lamarck mengenai cara modifikasi atau perubahan, menghubungkan sesuatu dengan tindakan langsung dari kondisi-kondisi fisik kehidupan, menghubungkan sesuatu dengan persilangan bentuk-bentuk yang sudah ada, serta banyak dipakai atau tidaknya, yakni hubungan dengan pengaruh 9 kebiasaan. Lamarck juga percaya akan hukum perkembangan yang progresif; dan semua bentuk kehidupan cenderung pada kemajuan ini agar bisa menyebabkan eksistensi produksi sederhana sekarang ini, Lamarck tetap mempertahankan bahwa bentuk-bentuk semacam itu sekarang dihasilkan secara spontan (Uraian Historis dalam buku Darwin, 2002 : xxxii – xxxiii). Darwin yang senada dengan Lamarck, menjelaskan bahwa asal usul makhluk hidup mungkin berasal dari awal yang tunggal. Sebagaimana ditulis Darwin “Ada keagungan dalam tamasya kehidupan ini, lengkap dengan beberapa kekuatannya, yang pada awalnya telah diembuskan ke dalam sedikit bentuk atau satu bentuk kehidupan saja; dan bahwa dari awal yang begitu bersahaja, tak terhitung bentuk kehidupan yang paling indah dan menakjubkan telah dan sedang berevolusi “ (Darwin, 2002: 490). Kesamaan leluhur berarti manusia memiliki leluhur yang sama dengan binatang lainnya. Darwin menceritakan bahwa semua makhluk hidup yang memiliki ciri yang sama atau homolog berasal dari leluhur yang sama. Evolusilah yang membuat mereka berbeda pada jaman sekarang (Mayr, 2001 : 27-28). Naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace yang juga menciptakan teori seleksi alam (theory of natural selection) yang berbeda dengan Darwin, menolak menerapkan teori seleksi alam diterapkan pada manusia. Wallace menganggap manusia terlalu cerdas, beradab dan canggih sebagai produk seleksi alam semesta. Menurut Wallace kemampuan Homo sapiens bukanlah hasil seleksi alam melainkan campur tangan suatu hal supernatural yang menjadikan manusia modern sedemikian istimewa (Leakey, 2003:6) 10 Beberapa waktu yang lalu masyarakat masih menerima pendapat Uskup Usher bahwa manusia diciptakan sekitar 4004 S.M dan bahwa Adam adalah manusia pertama yang berjalan di bumi. Sekarang pendapat itu sudah tidak begitu diterima lagi karena banyak bukti yang mengarah ke evolusi manusia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi biasanya percaya akan adanya evolusi pada binatang serta tanaman dan seringkali tertarik pada konsep evolusi manusia. Pada tahun 1856 ditemukan fosil Neanderthal yang disebut-sebut memiliki garis keturunan langsung dengan manusia purba hingga ke manusia modern. Studi tentang prasejarah bukan hanya mempelajari serta menginterpretasikan fosil manusia yang tersisa karena penginterpretasian fosil hanya sebagian kecil dari studi prasejarah. Para ahli masih harus mempelajari iklim, geografi, kultur serta flora dan fauna yang hidup pada masa lalu ketika manusia purba masih hidup hingga ke masa manusia modern seperti saat ini. (Leakey, 1960:1) Perlu ditekankan disini bahwa kisah tentang Adam adalah satu hal, sedangkan “Adam” itu sendiri adalah hal yang lain. Seperti Adam yang dikenal baik dalam keyakinan Yahudi, Kristen, maupun Islam. Adam disini hanya sebagai pemahaman awal mula manusia. Menurut Iqbal, seorang pemikir Islam, Adam bukanlah manusia pertama dalam wujudnya tetapi manusia pertama yang menggunakan akal pikirannya. Kisah Adam bukan kategori sejarah, tetapi kategori “legenda” atau “dongeng”. Ini membuka peluang bagi penafsiranpenafsiran baru terhadap teks-teks agama mengenai Adam. Kebenaran agama tentang Adam bukanlah kebenaran mutlak sehingga berbagai pendekatan kajian bisa mengulas tentang asal usul manusia (Muhyidin, 2009: 40). Banyaknya 11 pendekatan kajian yang mengulas konsep pra-Adam ini maka banyak juga metodologi yang dipakai. Konsep pra-Adam walaupun memiliki banyak pendekatan namun masing-masing pendekatan membahas satu konsep yaitu konsep pra-Adam. D. Landasan Teori Menurut Toeti Heraty Noerhadi dalam pidato upacara pengukuhannya sebagai Guru Besar Luar Biasa di UI, sudah lazim jika wilayah filsafat dibedakan menurut tiga wilayah. Pertama adalah bidang yang mengkaji kenyataan dalam arti yang seluas-luasnya, sifatnya tidak terhingga dengan pemilahan antara yang terjangkau secara inderawi (ontologi) dan terletak di luar jangkauan inderawi (metafisika). Kedua adalah bidang yang mencakup axiologi dengan pemilahan etika dan estetika. Wilayah yang ketiga yaitu yang mencakup bidang pengetahuan dengan pertanyaan “Apa yang dapat diketahui?”. Wilayah ketiga ini merupakan wilayah yang paling mendasar yaitu epistemologi yang mengkaji hakikat pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu pengetahuan menyangkut kajian filosofis tentang pengetahuan yang khusus. Pengetahuan yang khusus yaitu pengetahuan yang berpredikat ilmiah sebagai bentuk pengetahuan dengan ciri-ciri khas tertentu dan diperoleh dengan cara-cara tertentu juga yang memiliki urutan langkahlangkah atau yang disebut sebagai metodologi. Pertanyaannya adalah benarkah para ilmuwan dapat bertumpu pada yang disebut “Unified Science” yang monometodologis ataukah mereka menghadapi plurimetodologi pada ilmu-ilmu sebagai suatu keseluruhan (Noerhadi, 1994: 2-3). 12 Para ahli seringkali bersikukuh menggunakan satu metode untuk menjelaskan suatu fenomena. Para ahli menganggap satu metode pasti saja sudah cukup untuk mengkaji secara utuh suatu fenomena. Feyerabend berlainan dengan anggapan para ahli, menentang pemikiran monometodologi. Feyerabend membahas argumennya dalam buku Against Method. Menurut Feyerabend metode yang sudah pasti atau teori rasionalitas yang sudah pasti, akan membawa sudut pandang orang menjadi naïf begitu juga pada lingkungan sekitarnya, hanya ada satu prinsip yang bisa dipertahankan dibawah segala keadaan dan dalam segala tingkat perkembangan manusia. Prinsip itu adalah apa saja boleh. (Feyerabend, 1978 : 27-28) “The idea of a fixed method, or of a fixed theory of rationality, rest on too naïve a few of man and his social sorroundings. To those who look at the rich material provided by history and who are not intent on impoverishing it in order to please their laver instincts, their craving for intellectual security in the form of clarity, presicion, objectivity, truth. It will become clear that there is only one principle that can be defended under all circumstances and in all stages of human development. It is the principle anything goes.”(Feyerabend, 1978: 27-28) Feyerabend seperti yang dijelaskan di atas, berargumen bahwa tidak ada satu metodologi yang bisa menjelaskan secara utuh suatu fenomena. Menurut Feyerabend setiap metodologi pasti memiliki batasan-batasannya masing-masing (Feyerabend 1975:32). Prinsip anything goes adalah prinsip abstrak yang harus dapat diteliti dan diterangkan ke dalam penjelasan yang konkrit. Penelitian serta pengujian prinsip anything goes dimaksudkan untuk menelaah akibat dari counterrule (melawan aturan) yang menentang beberapa aturan yang dikenal dalam bidang ilmu (Diah, 1995:58). Feyerabend juga menekankan pada konsep suatu metodologi yang tidak mungkin bertahan selamanya, karena kajiannya terus 13 berkembang sehingga metodologinya pun mau tak mau pasti ikut berkembang. Kajian selalu ada kemungkinan salah karena adanya pembaharuan setiap saat. Semua metodologi memiliki keterbatasannya dan satu-satunya “hukum” yang bertahan adalah apa saja boleh. Pluralisme dalam teori dan pandangan metafisika tidak hanya penting untuk metodologi tetapi juga menjadi bagian dari cara berpikir kemanusiaan. Untuk mempertahankan kebebasan dari kreasi seni dan menggunakannya secara maksimal sangatlah mungkin, tidak hanya sebagai jalan untuk pelarian tetapi juga sebagai suatu tujuan untuk menemukan dan mungkin mengubah komponenkomponen dalam dunia yang ditinggali ini. Kebetulan ini adalah bagian dari keseluruhan (dunia yang ditinggali) adalah salah satu argumen penting yang membantu dalam metodologi pluralistik. (Feyerabend, 1978:52) Tulisan ini mencoba menjelaskan plurimetodologi yang dianut Feyerabend untuk mengkaji konsep pra-Adam. Konsep pra-Adam tidak hanya bisa dibahas oleh satu metodologi karena satu metodologi tidak akan bisa membahas secara utuh. Tidak ada suatu metodologi pasti yang bisa dengan sempurna menjelaskan konsep pra-Adam kecuali hukum apa saja boleh. E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Bahan dan materi penelitian didapatkan dari pustaka yang membahas tentang konsep pra-Adam serta Paul K. 14 Feyerabend. Data pustaka ini dibagi menjadi dua, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. a. Pustaka primer penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Buku The Origin of Species, Asal-usul Spesies karya Charles Darwin yang diterjemahkan tahun 2002, penerbit Ikon Teralitera: Yogyakarta. 2. Jurnal Of Stones, Men and Angels: The Competing Myth of Isabelle Duncan’s Pre-Adamite Man (1860) karya Stephen Snobelen, tahun 2001, penerbit Elsevier Science: Great Britain. 3. Buku Against Method, karya Paul K. Feyerabend, tahun 1978, penerbit Lowe and Brydone Printers Ltd: London b. Pustaka sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal dan bahan- bahan lainnya yang berkaitan dengan konsep pra-Adam serta pemikiran Feyerabend. 2. Jalannya Penelitian Penulis melakukan penelitian ini dengan langkah-langkah seperti berikut ini: a. Mengumpulkan data pustaka kajian sebanyak mungkin, baik objek material maupun objek formal penelitian. b. Setelah data pustaka terkumpul kemudian langkah selanjutnya adalah pembahasan objek material dan objek formal penelitian. 15 c. Langkah terakhir adalah analisis sistematis atas kajian objek material dan objek formal. 3. Analisis Hasil Penulis menggunakan tiga jenis metode berdasarkan metode-metode yang tertulis di dalam buku Metode Penelitian Filsafat oleh Anton Bakker dan Charis Zubair, yaitu: 1. Deskripsi, yaitu menjelaskan secara rinci konsep pra-Adam yang ditinjau dari berbagai bidang kajian. 2. Interpretasi, yaitu memberi pemahaman tentang plurimetodologi yang digunakan untuk menjelaskan konsep pra-Adam secara utuh. 3. Heuristika, yaitu memberikan pemahaman baru tentang studi metodologi terutama plurimetodologi. 4. Hasil yang telah Dicapai Penelitian ini dapat mencapai hasil sebagai berikut ini: 1. Memperoleh gambaran metodologi konsep pra-Adam dari berbagai pandangan pengetahuan. 2. Memperoleh pemahaman tentang prinsip anything goes Paul Feyerabend. 3. Pemahaman tentang plurimetodologi konsep pra-Adam dari perspektif Paul Feyerabend. 16 5. Sistematika Penulisan BAB I : berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang diharapkan serta sistematika penulisan. BAB II : membahas tentang kajian objek formal mengenai plurimetodologi Feyerabend. BAB III : membahas tentang kajian objek material penelitian yaitu metodologi konsep pra-Adam yang ditinjau dari biologi, antropologi ragawi, arkeologi, teologi serta pro dan kontra terhadap konsep pra-Adam. BAB IV : analisis tentang plurimetodologi yang digunakan untuk mengkaji secara utuh konsep pra-Adam. BAB V : kesimpulan serta saran penulis sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya. 17