ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI FRAKSI ETIL

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI
FRAKSI ETIL ASETAT TUMBUHAN PAKU
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AGUNG PRIYANTO
NIM. 109102000011
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JULI 2013/1434 H
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar. `
Nama
: Agung Priyanto
NIM
: 109102000011
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Juli 2013
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: AgungPriyanto
NIM
: 109102000011
Program Studi
: Farmasi
Judul
: Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil Asetat
Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt
NIP : 197806302006042001
Puteri Amelia, M.Farm., Apt
NIP : 198012042011012004
Mengetahui,
Kepala Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Drs. Umar Mansur, M.Sc
iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh
Nama
NIM
Program Studi
Judul
:
: Agung Priyanto
: 109102000011
: Farmasi
: Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari Fraksi Etil Asetat
Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Ismiarni komala, M.Sc., Ph.D., Apt (
)
Pembimbing II
: Putei Amelia, M.Farm., Apt
(
)
Penguji I
: Prof. Atiek Soemiati, M.Si., Apt
(
)
Penguji II
: Eka Putri, M.Si., Apt
(
)
Ditetapkan di
Tanggal
: Ciputat
: Juli 2013
v
ABSTRAK
Nama
: Agung Priyanto
Program studi : Farmasi
Judul
:Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat
Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Tumbuhan paku digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional seperti
pengobatan inflamasi, infeksi, impotensi dan permasalahan dalam kehamilan.
Ekstrak etanol Nephrolepis falcata dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan
dengan nilai IC5072 µg/mL (Komala, 2012). Studi pendahuluan terhadap aktivitas
antioksidan, menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dan etil asetat dari
Nephrolepis falcata aktif dalam menangkap radikal 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl
(DPPH). Studi lebih lanjut dalam mengisolasi komponen kimia dari ekstrak etil
asetat, memperoleh senyawa aktif antioksidan, yang diduga sebagai senyawa
β-sitosterol. Struktur kimia di elusidasi dengan menggunakan metode
spektroskopi antara lain (FTIR, UV-Visible dan 1H-RMI) dan data yang diperoleh
di hubungkan dengan literatur data dari β-sitosterol. β-sitosterol telah diketahui
memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 389,5 µM (Baskar, et al., 2010)
Kata Kunci : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, tumbuhan paku, β-sitosterol,
triterpenoid.
vi
ABSTRACT
Name
: Agung Priyanto
Program study : Pharmacy
Title
: Isolation of Active Antioxidant Compound from Ethyl Acetate
Fraction of Ferns Nephrolepis falcata (Cav) C. Chr..
Ferns widely used in traditional medicine against inflammation, infection,
impotence and problems in pregnancy. Ethanol extract of Nephrolepis falcata was
reported to have antioxidant activity with IC50 value 31,72 µg/mL (Komala, 2012).
Preliminary study on the antioxidant activity, showed that n-hexane and ethyl
acetate extracts of Nephrolepis falcata were active scavenging free radical
2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). Further study on the isolation of the
chemical components of the Ethyl acetate extract gave the active antioxidant
compound, which was suggested as β-sitosterol. The structure were elucidated by
using spectroscopic data such as (FTIR, UV-Visible and 1H-NMR) and the data
were compared to the reference data of β-sitosterol. β-sitosterol was known to
have antioxidant activity with IC50 value 389,5 µM (Baskar, et al., 2010).
Keyword : Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr, ferns, β-sitosterol, triterpenoid.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmaanirrahiim
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi dengan judul “Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dari
Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr”. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan
tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt dan Ibu Puteri Amelia, M.Farm.,
Apt. Selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, waktu, serta
motivasi kepada penulis selama penelitian.
2. Prof.DR (hc). Dr. M. K Tadjudin, Sp. And. Selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
3. Drs. Umar Mansur, M.Sc. Selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatulah Jakarta.
4. Dosen-dosen, staff, karyawan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah
Jakarta serta karyawan Perpustakaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
5. Kepada Ka Eris, Ka Tiwi, Ka Lisna, Ka Liken Ka Rani, Ka Yopi, Ka
Rahmadi yang telah memberi banyak bantuan kepada penulis selama
penelitian di kampus.
6. Kepada kedua orang tua penulis bapak Jasmo, dan Ibu Sudjinem, kakak
Rahayu Apriyanti dan adik Aisyah Khumairah yang senantiasa memberi
viii
support, semangat dan doanya kepada penulis. dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Kepada Dyah Mundir Sari yang telah memberikan motivasi, dukungan dan
semangat kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat Farmasi angkatan 2009. Muhammad Arif, Gian Pertela
Muchammad Irsyad, Wardah Nabiella, Fauziah Utami, Widya Larasaty
Risda Yulianti, Indah fadlul Maula dan seluruh teman-teman farmasi
angkatan 2009, Terima kasih untuk semangat dan motivasinya.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan di laboratorium PHA, Ferry Indar
Ardiansyah, M. Muaffaq Zaki, Siti Zamilatul Azkiyah, Putri Assifa,
Maulida Putri Ahdaini.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima segala saran
dan kritik.
Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai
amal ibadah dan dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Aamiin.
Ciputat, Juli 2013
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIRUNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Agung Priyanto
NIM
: 109102000011
Program studi
: Farmasi
Fakultas
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya
ilmiah saya dengan judul
ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI FRAKSI ETIL
ASETAT TUMBUHAN PAKU Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
: Ciputat
Pada Tanggal :
Juli 2013
Yang menyatakan,
(Agung Priyanto)
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...............................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................
ABSTRAK............................................................................................................
ABSTRACT ........................................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xi
xiv
xv
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................
1
1
3
3
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
2.1 Tumbuhan Paku .................................................................................
2.1.1 Habitat Tumbuhan Paku .........................................................
2.1.2 Penggunaan Tradisional Tumbuhan Paku ..............................
2.2 Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr .....................................................
2.2.1 Klasifikasi...............................................................................
2.2.2 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologis .............................
2.3 Radikal Bebas .....................................................................................
2.3.1 Reaksi Perusakan Radikal Bebas Terhadap Sel .....................
2.4 Antioksidan ........................................................................................
2.5 Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH .............................
2.6 Ekstrak dan Ekstraksi .........................................................................
2.6.1 Ekstraksi Cara Dingin ............................................................
2.6.2 Ekstraksi Cara Panas ..............................................................
2.6.3 Macam-macam Teknik Ekstraksi Lain...................................
2.7 Pelarut.................................................................................................
2.8 Vaccum Rotary Evaporator ................................................................
2.9 Metode Isolasi ....................................................................................
2.9.1 Kromatografi ..........................................................................
2.9.2 Kromatografi Lapis Tipis .......................................................
2.9.3 Identifikasi Kromatogram ......................................................
5
5
5
5
7
7
7
8
9
9
10
12
13
14
15
16
18
19
19
20
23
xi
2.9.4 Sistem Fase Gerak Pada KLT ................................................
2.9.5 Kromatografi Gas ...................................................................
2.9.6 Kromatografi Kolom ..............................................................
2.10 Elusidasi Struktur .............................................................................
2.10.1 UV-Visible ..............................................................................
2.10.2 Spektrofotometri Infra Merah ................................................
2.10.3 Spektrofotometri Massa .........................................................
2.10.4 Kromatografi Gas-Spektrofotometri Massa (KG-SM)...........
2.10.5 Resonansi Magnetik Inti (RMI) .............................................
2.11 Kerangka Konsep .............................................................................
24
24
25
26
26
27
28
28
29
30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 31
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 31
3.2 ALAT DAN BAHAN ........................................................................ 31
3.2.1 Alat ......................................................................................... .31
3.2.2 Sampel Tumbuhan .................................................................. 31
3.2.3 Bahan Kimia ........................................................................... 31
3.2.4 Instrumen ................................................................................ 32
3.3 PROSEDUR KERJA ......................................................................... 32
3.3.1 Pemeriksaan Sampel Tumbuhan ............................................ 32
3.3.2 Penyiapan Simplisia ............................................................... 32
3.3.3 Pembuatan Ekstrak ................................................................. 32
3.3.4 Kromatografi Lapis Tipis ....................................................... 33
3.3.5 Skrining Fitokimia .................................................................. 34
3.3.6 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH .............. 35
3.3.7 Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dengan
Kromatografi Kolom .............................................................. 36
3.3.8 Pemurnian Kristal ................................................................... 37
3.3.9 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Senyawa
Murni ...................................................................................... 37
3.3.10 Uji Kemurnian Senyawa Aktif Antioksidan .......................... 37
3.3.10.1 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi ..................... 38
3.3.10.2 Uji Titik Leleh ....................................................... 38
3.3.10.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) .................................................................. 39
3.3.11 Penentuan Struktur Molekul ................................................... 39
3.3.11.1 UV-Visible .............................................................. 39
3.3.11.2 FTIR ....................................................................... 39
3.3.11.3 1H-RMI .................................................................. 39
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
4.1 Penyiapan Bahan ...............................................................................
4.2 Ekstraksi ............................................................................................
4.3 Hasil Penapisan Fitokimia ..................................................................
4.4 Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ..............................................
4.5 Hasil Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH ................
4.6 Hasil Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom .................................
4.7 Hasil Uji Kemurnian Senyawa ...........................................................
xii
40
40
41
41
42
43
44
46
4.7.1 Hasil Uji Titik Leleh (Melting Point) .......................................
4.7.2 Hasil KCKT ..............................................................................
4.7.3 Hasil KLT 2 Dimensi................................................................
4.8 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Fraksi F2.D ...........................
4.8.1 Hasil UV-Visible .......................................................................
4.8.2 Hasil Spektrofotometri Infra Merah .........................................
4.8.3 Hasil Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-RMI) .....................
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
5.1 Kesimpulan ........................................................................................
5.2 Saran ..................................................................................................
46
46
46
47
47
48
48
53
53
53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 54
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ....................................................
Gambar 2.2 Struktur molekul senyawa seskuiterpenoid tipe drimane ..................
Gambar 2.3 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid .....
Gambar 2.4 Reaksi penghambatan antioksidan terhadap radikal DPPH .............
Gambar 3.1 KLT 2 dimensi ..................................................................................
Gambar 4.1 Hasil uji kualitatif antioksidan ekstrak ..............................................
Gambar 4.2 Hasil uji kualitatif antioksidan isolat .................................................
Gambar 4.3 Hasil KLT 2 dimensi dari senyawa fraksi F2.D ................................
Gambar 4.4 Struktur molekul β-sitosterol.............................................................
xiv
7
8
10
12
36
42
44
46
51
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Penggunaan Tumbuhan Paku Sebagai Bahan Obat Tradisional ........... 6
Tabel 4.1 Hasil Rendemen Ekstrak n-Heksana dan Etil Asetat ............................ 41
Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat ..................................... 42
Tabel 4.3 Hasil Isolat Dari Ekstrak Etil Asetat ..................................................... 45
Tabel 4.4 Data Geseran Kimia Proton Senyawa Fraksi F2.D yang
diukur pada frekuensi 500 MHz dengan pelarut CDCl3 ....................... 49
Tabel 4.5 Perbandingan Serapan Gugus Fungsi Senyawa
Fraksi F2.D Dengan Senyawa β-sitosterol ........................................... 50
Tabel 4.6 Perbandingan Geseran Kimia Proton Senyawa
Fraksi F2.D Dengan β-sitosterol........................................................... 51
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil determinasi tumbuhan paku Nephrolepis falcata .................
Lampiran 2. Bagan alur ekstraksi tumbuhan paku Nephrolepis falcata .............
Lampiran 3. Uji kromatografi lapis tipis ekstrak etil asetat dan
n-heksana Nephrolepis falcata ......................................................
Lampiran 4. Bagan isolasi senyawa aktif antioksidan tumbuhan paku
Nephrolepis falcata .......................................................................
Lampiran 5. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan KCKT .......................
Lampiran 6. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan UV-Visible .................
Lampiran 7. Hasil Spektrum IR Senyawa Fraksi F2.D ......................................
Lampiran 8. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa Fraksi F2.D ...............................
Lampiran 9. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ..................
Lampiran 10. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ..................
Lampiran 11. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ...................
Lampiran 12. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ...................
Lampiran 13. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ...................
Lampiran 14. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar) ...................
Lampiran 15. Spektrum 1H-RMI senyawa β-Sitosterol ........................................
xvi
61
62
63
64
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tumbuhan telah banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional
sejak zaman dahulu. Berbagai jenis tumbuhan obat telah digunakan oleh
sekitar 80% dari populasi masyarakat dunia, meskipun dalam kebanyakan
kasus, tidak ada penelitian ilmiah yang telah dilakukan untuk membuktikan
khasiat tumbuhan obat tersebut (Verpoorte, et al., 2006). Setidaknya 80%
dari populasi masyarakat dunia diperkirakan masih akan menggunakan obat
tradisional seperti dalam perawatan kesehatan. Dari 40.000 sampai 70.000
jenis tumbuhan obat, sekitar 20% dari semua spesies adalah tumbuhan
tingkat tinggi (Verpoorte, et al., 2006).
Aktivitas farmakologi dari tumbuhan obat, sering tergantung dari
keberadaan
senyawa
bioaktif
yang
disebut
metabolit
sekunder
(Bruneton, 1999; Heinrich, et al., 2004). Dalam tumbuhan, metabolit
sekunder memiliki fungsi penting sebagai perlindungan terhadap predator,
mikroba patogen atas dasar sifatnya yang beracun, dan perlindungan
terhadap herbivora, mikroba, serta beberapa di antaranya juga terlibat dalam
pertahanan
terhadap
stres
abiotik
(misalnya
paparan
UV-B)
(Schafer, et al., 2009), metabolit sekunder juga penting untuk komunikasi
dari tumbuhan dengan organisme lain (Rosenthal, et al., 1991). Metabolit
sekunder dari tumbuhan yang memiliki aktivitas sebagai obat, dilaporkan
terdiri dari lilin, asam lemak, alkaloid, terpenoid, fenolat, antara lain fenolat
sederhana, flavonoid, glikosida, dan turunannya (Sarker, et al., 2006).
Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tumbuhan
obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun belum dikelola
secara maksimal. Kekayaan alam tumbuhan di Indonesia meliputi 30.000
jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis
diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat. Jumlah ini merupakan
90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia (Pers, 2010). Berdasarkan hasil
1
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
penelitian, dari sekian banyak jenis tumbuhan obat, baru 20-22% yang
dibudidayakan (Pers, 2010). Potensi tumbuhan obat di Indonesia, termasuk
tumbuhan obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat
bermanfaat dari segi ekonomi, sosial, budaya maupun lingkungan.
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan yang distribusinya tersebar
luas di Indonesia dan menjadi salah satu sumber kekayaan alam Indonesia.
Tumbuhan paku sangat mudah tumbuh di Indonesia karena iklim Indonesia
sangat cocok untuk pertumbuhan tumbuhan tersebut. Tumbuhan paku
merupakan tumbuhan yang dikenal pertama kali memiliki sistem pembuluh
sejati. Tumbuhan ini tidak menghasilkan biji dan mereka merupakan
tumbuhan yang paling sederhana diantara tumbuhan yang memiliki sistem
pembuluh sejati (Tracheophytes). Tumbuhan paku distribusinya tersebar
luas di seluruh dunia dan jumlahnya melimpah dalam studi geologi.
Tumbuhan paku tumbuh dengan baik di tempat lembab, dingin dan teduh
serta tersedianya air (Fathima, et al., 2007).
Berdasarkan studi fitokimia, tumbuhan paku telah dilaporkan
mengandung senyawa golongan flavonoid, terpenoid, senyawa fenol dan
xanton (Soeders, 1985). Beberapa tumbuhan paku juga telah dilaporkan
memiliki aktivitas biologis seperti antibakteri, antihelmintik, ekspektoran
dan antioksidan (Lai, 2011).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah oksidasi dari
molekul lain dengan cara menghalangi inisiasi atau propagasi dari reaksi
oksidasi berantai. Di dalam industri makanan, antioksidan digunakan sejak
lama sebagai bahan aditif untuk melindungi produk makanan dari reaksi
oksidasi yang berhubungan dengan penurunan kualitas makanan seperti
berbau tengik (Lee, et al., 2004).
Telah dilaporkan bahwa antioksidan alami terdapat dalam banyak
tumbuhan yang berfungsi dalam mengurangi kerusakan sel dan membantu
mencegah mutagenesis, karsinogenesis dan penuaan akibat aktivitas radikal
bebas (Lee, et al., 2004). Antioksidan alami telah diisolasi dari berbagai
macam
buah-buahan,
sayur-sayuran
dan
tumbuhan
obat
(Boveris et al., 2001).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
3
Nephrolepis falcata merupakan salah satu tumbuhan paku yang sangat
mudah ditemukan di Indonesia yang banyak digunakan sebagai tanaman
hias. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian mengenai tumbuhan
ini masih sangat sedikit, baik usaha dalam menentukan metabolit sekunder
maupun dalam penggunaannya sebagai bahan obat. Tetapi spesies lain dari
genus Nephrolepis, yaitu Nephrolepis radicans dilaporkan memiliki
aktivitas antioksidan (Dayanti & Suyatno, 2012), dan Nephrolepis bisserata
dilaporkan
memiliki
aktivitas
sebagai
antioksidan
dengan
nilai
lC50 0,53 mg/mL (Lai, 2011).
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Komala, 2012),
telah
dilaporkan
bahwa
ekstrak
etanol
70%
dari
tumbuhan
Nephrolepis falcata yang diambil dari wilayah kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai lC50 31,72
µg/mL. Untuk mengetahui jenis metabolit sekunder dalam tumbuhan ini
yang memberikan aktivitas antioksidan, maka dilakukan penelitian lebih
lanjut dalam mengisolasi kandungan metabolit sekunder dari tumbuhan
Nephrolepis falcata yang memiliki aktivitas antioksidan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan penelusuran pustaka, belum diketahuinya senyawa yang
memberikan
aktivitas
antioksidan
dalam
tumbuhan
paku
Nephrolepis falcata (cav,) C.Chr.
1.3
Tujuan Penelitian
a.
Mengetahui senyawa aktif antioksidan dari fraksi etil asetat tumbuhan
paku Nephrolepis falcata.
b.
Menentukan struktur kimia dari senyawa murni hasil isolasi yang
diduga
memiliki
aktivitas
antioksidan
dari
tumbuhan
paku
Nephrolepis falcata.
c.
Mengidentifikasi aktivitas antioksidan dari senyawa hasil isolasi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
4
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai khasiat dari tumbuhan Nephrolepis falcata, sehingga
dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Penelitian ini juga
diharapkan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dengan memberikan informasi terhadap aktivitas antioksidan tumbuhan
Nephrolepis falcata. Mengingat tumbuhan ini belum pernah diteliti
sebelumnya, diharapkan ditemukan senyawa baru yang nantinya mungkin
didapatkan yang akan memperkaya pengetahuan dalam bidang kimia bahan
alam.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tumbuhan Paku
Secara taksonomi tumbuhan paku berada diantara tumbuhan tingkat tinggi
(gymnosperma dan angiosperma) dan tumbuhan lumut (bryophyta). Berbeda
dengan alga dan lumut, tumbuhan paku telah memiliki jaringan pengangkut
seperti xilem dan floem tetapi tidak menghasilkan biji untuk reproduksi
seksualnya (Pooja, 2004).
2.1.1 Habitat Tumbuhan Paku
Habitat tumbuhan paku terdiri dari kondisi iklim yang rendah dengan lokasi
khusus pada tempat-tempat lembab dan teduh. Gangguan kecil terhadap kondisi
iklim tempat tumbuh mereka, dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar
spesies.
Tumbuhan paku terdapat dalam jumlah besar di hutan tropis, subtropis,
temperatur dan kelembaban yang rendah dan siklus hidup mereka didasarkan pada
keberadaan hutan (Dudani, et al., 2010).
2.1.2 Penggunaan Tradisional Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku telah banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional di
beberapa negara, seperti di kepulauan Hawaii yang menggunakan tumbuhan paku
dari spesies Nephrolepis sebagai bahan obat dalam penyembuhan beberapa
penyakit, diantaranya penyakit diabetes, infeksi yang disebabkan jamur ataupun
bakteri. Selanjutnya tumbuhan paku spesies Nephrolepis tuberosa yang secara
tradisional digunakan untuk menurunkan demam. Bagian daun dari tanaman ini
digunakan untuk mengobati perdarahan pada luka dan akar dari tanaman ini
digunakan
dalam
mengobati
infeksi
serta
sebagai
obat
batuk
(Ja & Sharma, 2012)
Beberapa tumbuhan paku yang digunakan sebagai bahan obat tradisional
antara lain (Lai, et al., 2011):
5
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
6
Tabel 2.1. Penggunaan Tumbuhan Paku Sebagai Bahan Obat Tradisional.
Nama Tumbuhan
Acrostichum aureum
(Pteridaceae)
Blechnum orientale
(Blechnaceae)
Cibotium barometz
(Dicksoniaceae)
Penggunaan Sebagai Obat Tradisional
Sinus, sakit tenggorokan, kesehatan pada
kehamilan, sembelit, obat penurun panas
dan nyeri dada.
Untuk pengobatan luka lecet, abses dan
impotensi.
Untuk pengobatan tifus, dispepsia, batuk
dan untuk pengobatan penyakit ginjal
dan hati.
Sebagai
antihelmintik,
antibakteri,
Dicranopteris linearis
pengobatan penyakit asma, gangguan
(Gleicheniaceae)
pencernaan,
wasir,
tukak
lambung,
epilepsi dan nyeri usus buntu.
Untuk pengobatan tifus, TBC, dispepsia,
Drynaria quercifolia
penyakit paru-paru, sebagai ekspektoran,
(Polypodiaceae)
antihelmintik, meredakan sakit kepala
dan radang usus.
Lygodium circinnatum
Untuk menetralkan racun ular dan luka
(Schizaeaceae)
akibat sengatan serangga.
Nephrolepis biserrata
(Nephrolepidaceae)
Pityrogramma calomelanos
(Hemionitidaceae)
Pyrossia nummularifolia
Untuk pengobatan luka lecet dan abses
Untuk pengobatan sakit ginjal
Sebagai obat batuk
(Polypodiaceae)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
7
2.2
Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr
Gambar 2.1. Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr
(Sumber: Koleksi Pribadi, Februari 2013)
2.2.1 Klasifikasi
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Pteridophyta
Class
: Polypodiopsida = Filicopsida
Order
: Polypodiales
Family
: Davalliaceae
Genus
: Nephrolepis
Species
: Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr.
(http://plants.usda.gov, USA Departement Of Agriculture, Maret 2013)
2.2.2 Kandugan Kimia dan Aktivitas Biologis
Belum ada penelitian sebelumnya yang mempublikasikan mengenai
kandungan kimia dari Nephrolepis falcata. Tetapi spesies lain dari genus
Nephrolepis yaitu Nephrolepis biserrata diketahui bahwa tumbuhan ini
mengandung senyawa seskuiterpenoid tipe drimane (Seims, et al., 1996), dan
dilaporkan bahwa tumbuhan ini memiliki aktivitas sebagai antioksidan
(Lai, et al., 2011). Aktivitas biologis Nephrolepis falcata dilaporkan, bahwa
ekstrak etanol 70% dari tumbuhan tersebut memiliki aktivitas sebagai antioksidan
dengan nilai IC50 31,72 µg/mL (Komala, 2012).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
8
Gambar 2.2. Struktur Molekul Senyawa Seskuiterpenoid Tipe Drimane
(Seims, et al., 1996).
2.3
Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa-senyawa yang
mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan yang bersifat sangat
reaktif dan tidak stabil (Surai, 2003). Agar menjadi stabil, radikal bebas
memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron di sekitarnya, sehingga
terjadi perpindahan elektron dari molekul donor ke molekul radikal untuk
menjadikan radikal tersebut stabil (Simanjuntak, et al., 2012).
Senyawa radikal yang terdapat dalam tubuh (prooksidan) dapat berasal dari
luar tubuh (eksogen) atau terbentuk di dalam tubuh (endogen) dari hasil
metabolisme zat gizi secara normal (Muchtadi, 2000). Secara eksogen, senyawa
radikal antara lain berasal dari polutan, makanan atau minuman, radiasi, ozon dan
pestisida (Supari, 1996). Sedangkan secara endogen, senyawa radikal dapat timbul
melalui beberapa macam mekanisme seperti autooksidasi, aktivitas oksidasi dan
sistem transpor elektron.
Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada sel dengan cara
mengoksidasi DNA, sehingga DNA mengalami mutasi dan dapat menyebabkan
penyakit degeneratif (Wang, et al., 2002), senyawa radikal bebas juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh sehingga terjadi proses penuaan dan
menimbulkan penyakit autoimun (Muchtadi, 2000)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
9
2.3.1 Reaksi Perusakan Radikal Bebas Terhadap Sel
a. Peroksidasi Lemak
Membran sel kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA),
yang mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi; proses tersebut
dinamakan peroksidasi lemak. Hal ini sangat merusak, karena merupakan
suatu proses berkelanjutan. Pemecahan hidroperoksida lemak sering
melibatkan katalisis ion logam transisi (Droge, 2002).
b. Kerusakan Protein
Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap radikal bebas daripada
PUFA, sehingga kecil kemungkinan terjadinya reaksi berantai yang cepat.
Serangan radikal bebas terhadap protein sangat jarang kecuali bila sangat
ekstensif. Hal ini terjadi hanya jika radikal tersebut mampu berakumulasi
(jarang pada sel normal), atau bila kerusakannya terfokus pada daerah
tertentu dalam protein. Salah satu penyebab kerusakan terfokus adalah jika
protein berikatan dengan ion logam transisi (Droge, 2002).
c. Kerusakan DNA
Seperti pada protein, kecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada
DNA menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada
lesi pada susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum
replikasi, maka akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang
DNA jika terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis
(Allen, et al., 2000).
2.4
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal
bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari
metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik
yang terjadi dalam tubuh (Goldberd, 2003). Senyawa antioksidan dapat berfungsi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
10
sebagai penangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam-logam
peroksida dan berfungsi sebagai senyawa pereduksi (Andlauer, et al., 1989) .
Antioksidan dapat menangkap radikal bebas sehingga dapat menghambat
mekanisme oksidatif yang merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif
seperti
penyakit
jantung,
kanker,
katarak,
disfungsi
otak
dan
artritis
(Miller, et al., 2000). Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi, fungsi
pertama yaitu merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi
atom hidrogen. Antioksidan yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut
sebagai antioksidan primer.
Antioksidan tersebut dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke
radikal lipida (R*,ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil
dibandingkan radikal lipida. Fungsi kedua merupakan mekanisme fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme
diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal
lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon, 1990).
Inisiasi
: R*
+
AH
RH + A*
+
AH
RH + A*
Radikal lipid
Propagasi
: ROO*
Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer Terhadap Radikal Lipid
(Gordon, 1990).
2.5
Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH
Metode DPPH merupakan salah satu metode untuk menentukan aktivitas
antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl
(DPPH) sebagai senyawa pendeteksi (Surai, 2003). DPPH (2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl) adalah senyawa radikal bebas yang stabil yang dapat bereaksi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
11
dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH
tereduksi (Surai, 2003).
Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) digunakan secara luas untuk
menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau atom
hidrogen. Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas total
antioksidan baik dalam pelarut polar maupun nonpolar. Beberapa metode lain
terbatas mengukur komponen yang larut dalam pelarut yang digunakan dalam
analisa. Metode DPPH mengukur semua komponen antioksidan, baik yang larut
dalam lemak maupun dalam air (Prakash, 2001).
Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah, cepat dan peka,
serta hanya memerlukan sedikit sampel. DPPH adalah senyawa radikal bebas
stabil kelompok nitrit oksida. Senyawa ini mempunyai ciri-ciri padatan berwarna
ungu kehitaman, larut dalam pelarut DMF atau etanol/metanol, dengan rumus
molekul C18H12N5O6 (Prakash, 2001).
Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan memberikan
warna ungu dan menghasilkan absorbansi maksimum pada panjang gelombang
517 nm. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektronnya berpasangan.
Pengurangan intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan jumlah elektron
DPPH yang menangkap atom hidrogen. Sehingga pengurangan intensitas warna
mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal
bebas (Prakash, 2001).
Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan satuan persen aktivitas. Nilai
ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Molyneux, 2003).
absorbansi kontrol – absorbansi sampel
% Inhibisi =
X 100%
absorbansi Kontrol
Absorbansi kontrol yang digunakan dalam prosedur DPPH ini adalah absorbansi
DPPH, sedangkan blanko yang digunakan adalah etanol 95%. Berdasarkan rumus
tersebut, semakin tinggi tingkat diskolorisasi (absorbansi semakin kecil) maka
semakin tinggi nilai aktivitas penangkapan radikal bebas (Molyneux, 2003).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
12
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyn)
Gambar 2.4. Reaksi Penghambatan Antioksidan Terhadap Radikal DPPH
(Prakash, 2001).
Aktivitas antioksidan pada metode DPPH dinyatakan dengan IC 50
(Inhibition Concentration). IC50 adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi
ekstrak yang mampu menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil
nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik, suatu
senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05
mg/mL,aktivitas kuat untuk IC50 antara 0,05-0,1 mg/mL, aktivitas sedang jika IC50
bernilai 0.101–0.150 mg/mL dan aktivitas lemah jika IC50 bernilai 0,151 – 0,200
mg/mL (Blois, 1958).
2.6
Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan massa atau serbuk yang
tersisa, diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapakan
(Soesilo, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair, dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar pengaruh
cahaya matahari langsung (Tiwari, et al., 2011).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
13
Parameter
yang
mempengaruhi
kualitas
dari
ekstrak
adalah
(Tiwari, et al., 2011):
a) Bagian dari tumbuhan yang digunakan.
b) Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi.
c) Prosedur ekstraksi
Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi sampai ke material padat dari
tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan polaritas yang sesuai dengan
pelarutnya. Efektivitas ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada.
a) Bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh
b) Keaslian dari tumbuhan yang digunakan
c) Proses ekstraksi
d) Ukuran partikel
Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi
kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain :
a) Tipe ekstraksi
b) Waktu ekstraksi
c) Suhu ekstraksi
d) Konsentrasi pelarut
e) Polaritas pelarut
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua
cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Ditjen POM, 2000).
2.6.1 Ekstraksi Cara Dingin
a) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara
maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana,
sedangkan kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan
pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi,
serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut
disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
14
yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok
digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari, et al., 2011).
b) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
penyarian sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan
pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap
maserasi
antara,
(penetesan/penampungan
tahap
ekstrak),
perkolasi
terus
sampai
sebenarnya
diperoleh
ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali dari bahan (Ditjen POM, 2000).
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur
kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap
perendaman,
tahap
perkolasi
antara,
tahap
perkolasi
sebenarnya
(penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat). Untuk menentukan akhir dari pada perkolasi dapat dilakukan
pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir. Ini adalah prosedur
yang paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan aktif dalam
penyusunan tincture dan ekstrak cairan (Tiwari, et al., 2011).
2.6.2 Ekstraksi Cara Panas
a) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik
(Ditjen POM, 2000).
b) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas
yang
relatif
konstan
dengan
adanya
pendingin
balik
(Ditjen POM, 2000).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
15
c) Infusa
Infusa adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur
penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur yang digunakan (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit)
(Ditjen POM, 2000). Cara ini menghasilkan larutan encer dari komponen
yang mudah larut dari simplisia (Tiwari, et al., 2011).
d) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥300C) dan
temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Dekok adalah
ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit.
Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan
konstituen yang stabil terhadap panas (Tiwari, et al., 2011).
e) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur lebih tinggi dari
temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur
40-50oC (Ditjen POM, 2000).
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis
ekstraksi maserasi di mana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi
(Tiwari, et al., 2011).
2.6.3 Macam-macam Teknik Ekstraksi Lain
1) Sonikasi
Prosedur ekstraksi ini melibatkan penggunaan gelombang ultrasonik
dengan frekuensi mulai dari 20 kHz sampai 2000 kHz. Teknik ini
meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menghasilkan kavitasi.
Meskipun proses ini berguna dalam beberapa kasus, tetapi pada skala
besar aplikasinya terbatas karena biayanya yang tinggi. Satu kelemahan
dalam teknik ini adalah efek yang merusak dari energi ultrasonik (lebih
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
16
dari 20 KHz) yang menyebabkan konstituen tanaman membentuk radikal
bebas yang tidak diharapkan (Tiwari, et al., 2011).
2) Supercritical Fluid
Teknik ekstraksi supercritical fluid memberikan fakta bahwa gas
dapat berperilaku sebagai cairan ketika berada dibawah tekanan. Salah
satu contohnya adalah karbon dioksida yang dapat digunakan untuk
mengekstrak biomassa dan memiliki keuntungan bahwa setelah tekanan
dihilangkan, molekul gas akan meninggalkan ekstrak. Karbon dioksida
bertindak sebagai pelarut non polar, tetapi polaritas ekstraksi dengan
supercritical fluid dapat ditingkatkan dengan menambahkan agen tertentu,
yang biasanya berupa pelarut lain seperti metanol atau diklormetan
(Heinrich, 2004).
2.7
Pelarut
Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat lain.
kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat
tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi
(Ncube, et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari
pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat
mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat, dapat mengawetkan dan tidak
menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari, et al., 2011).
Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa yang ditargetkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang
akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan diekstraksi,
kemudahan dalam penanganan ekstrak untuk perlakuan berikutnya, toksisitas
pelarut dan potensial bahaya kesehatan dari pelarut (Tiwari, et al., 2011).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
17
Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi antara lain:
1) Air
Air adalah pelarut universal, biasanya digunakan untuk mengekstraksi
produk tumbuhan dengan aktivitas antimikroba. Meskipun pengobatan
secara tradisional menggunakan air sebagai pelarut, tetapi ekstrak tumbuhan
dari pelarut organik telah ditemukan untuk memberikan aktivitas
antimikroba
lebih
konsisten
dibandingkan
dengan
ekstrak
air
(Tiwari, et al., 2011).
Air juga melarutkan flavonoid (kebanyakan antosianin) yang tidak
memiliki aktivitas signifikan terhadap antimikroba dan senyawa fenolat
yang larut dalam air yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan.
2) Aseton
Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik
dari tumbuhan. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat bercampur dengan
air, mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah. Aseton digunakan
terutama untuk studi antimikroba (Tiwari, et al., 2011).
3) Alkohol
Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak etanol dibandingkan
dengan ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang
lebih tinggi pada ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air.
Konsentrasi yang lebih tinggi dari senyawa flavonoid terdeteksi dengan
etanol 70% karena polaritas yang lebih tinggi daripada etanol murni
(Tiwari, et al., 2011).
Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak
bahan intraseluler dari bahan tumbuhan. Metanol lebih polar dibanding
etanol namun karena sifatnya yang toksik, sehingga tidak cocok digunakan
untuk ekstraksi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
18
4) Kloroform
Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut
menggunakan n-heksana, kloroform dan metanol dengan konsentrasi
aktivitas tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin
dan terpenoid ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan
pelarut semipolar (Tiwari, et al., 2011).
5) Eter
Eter umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin dan
asam lemak (Tiwari, et al., 2011).
6) n-Heksana
n-Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil,
mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul
n-heksana adalah 86,2 gram/mol dengan titik leleh 94,3°C sampai 95,3°C.
Titik didih n-heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66°C sampai 71°C
(Daintith, 1994). n-Heksana biasanya digunakan sebagai pelarut untuk
ekstraksi minyak nabati.
7) Etil Asetat
Etil asetat merupakan pelarut dengan karakteristik semipolar. Etil asetat
secara selektif akan menarik senyawa yang bersifat semipolar seperti fenol
dan terpenoid.
2.8
Vacuum Rotary Evaporator
Vacuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan
suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia
tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan
dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas dan
diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor)
dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah Pelarutnya diuapkan,
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
19
akan
dihasilkan
ekstrak
yang
dapat
berbentuk
padatan
atau
cairan
(Nugroho, et al., 1999).
Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan.
Penggunaan vacuum rotary evaporator meningkatkan presentase plarut yang
terevaporasi
dibandingkan
dengan
menggunakan
waterbath
(Mutairi & Jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut
dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul, serta adanya
kondensor yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung
penerima (receiver flask).
2.9
Metode Isolasi
Suatu ekstrak yang telah dihasilkan dari suatu protokol ekstraksi yang sesuai
dan pengujian aktivitas biologis telah dilakukan (contohnya aktivitas antibakteri),
langkah selanjutnya adalah fraksinasi ekstrak menggunakan metode pemisahan
sehingga komponen biologis aktif dapat diisolasi (Heinrich, et al., 2004).
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan
menggunakan salah satu dari keempat teknik kromatografi atau gabungan teknik
tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah: kromatografi kertas (KKt),
kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi gas cair (KGC), dan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) (Harborne, 1987).
2.9.1 Kromatografi
Kromatografi merupakan metode pemisahan fisikokimia untuk memisahkan
campuran senyawa berdasarkan perbedaan waktu huni komponen campuran
dalam sistem fase diam dan fase gerak (Hostettman, et al., 1995). Prinsip
pemisahan dari kromatografi adanya distribusi komponen-komponen dalam fase
diam dan fase gerak berdasarkan sifat fisik komponen yang akan dipisahkan. Pada
dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase, yaitu fase diam
(stationer) dan fase gerak (mobile).
Menurut (Adrianingsih, 2009), persyaratan utama kromatografi antara lain:
1.
Ada fase diam dan fase gerak. Fase diam tidak boleh bereaksi
dengan fase gerak.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
20
2.
Komponen sampel harus larut dalam fase gerak dan berinteraksi
dengan fase diam.
3.
Fase gerak harus bisa mengalir melewati fase diam, sedangkan fase
diam harus terikat kuat di posisinya.
2.9.2 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan
kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan
bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada
KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat plastik.
Meskipun demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari
kromatografi kolom (Gritter, et al., 1991).
KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai
hasil kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem
pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom
(Gritter, et al., 1991).
Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan
preparatif. KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organik
dalam jumlah kecil, misalnya menentukan jumlah komponen dalam campuran dan
menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif.
Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari
sampel dalam jumlah besar berdasarkan fraksinya, yang selanjutnya fraksi-fraksi
tersebut
dikumpulkan
dan
digunakan
untuk
analisa
berikutnya
(Townshend, 1995).
Plat KLT yang umum digunakan adalah plat KLT analitik dengan ketebalan
0,1-0,2 mm dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan adsorben silika gel 60
F254 dengan ketebalan 0,2 mm. Plat kemudian ditempatkan ke dalam bejana
dengan fase gerak yang sesuai, dimana ketinggian fase gerak cukup untuk
membasahi bagian bawah plat dan tidak sampai membasahi dimana sampel
diaplikasikan. Fase gerak kemudian bermigrasi melewati adsorben dengan gaya
kaliper, dan proses ini dikenal sebagai pengembangan (Sarker, et al., 2006).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
21
KLT merupakan teknik yang benar-benar menguntungkan karena tingkat
sensitivitasnya
sangat
besar
dengan
jumlah
sampel
lebih
sedikit
(Brain & Turner, 1975). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang
atau cairan pengelusi, akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler
pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi
pada pengembangan secara menurun (descending) (Gritter, et al., 1991).
Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai
ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan
deteksi bercak (Gandjar & Rohman, 2007). Laju pergerakan fase gerak terhadap
fase diam dihitung sebagai retardation farctor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan
membandingkan jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang
ditempuh oleh fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT
merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut
organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh,
dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991). Adsorben umumnya
digunakan dalam KLT meliputi partikel silika gel ukuran 12 µm, alumina, mineral
oksida, selulosa, poliamida, polimer penukar ion (Gocan, 2002).
a) Silika Gel
Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan
fase stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisa dengan
KLT dilakukan dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel.
Fase diam ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar.
Untuk fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat
sedikit asam. Silika gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk
memperkuat pelapisannya pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya
lapisan tipis digunakan kaca dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau
5x10 cm. Pendukung yang lain berupa lembaran alumunium atau plastik
seperti ukuran di atas yang umumnya dibuat oleh pabrik.
Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila
disinari dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
22
dikenal dengan silika gel 60 F254 yang berarti silika gel dengan fluoresen
yang berpendar pada panjang gelombang 254 nm. Silika gel untuk fase non
polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya,
lemak, parafin, minyak silikon, raber gom, atau lilin, dengan fase gerak air
yang bersifat polar dapat digunakan sebagai eluen. Fase diam ini dapat
memisahkan banyak senyawa namun elusinya sangat lambat dan
keterulangannya kurang bagus (Sumarno,2001).
b) Alumina
Alumina merupakan adsorben yang paling banyak digunakan dalam
KLT (Gocan, 2002). Fase diam ini bersifat sedikit basa, lebih jarang
digunakan. Saat akan digunakan harus diaktifkan kembali dengan
pemanasan. Alumina yang digunakan sebagai fase diam untuk KLT
umumnya yang bebas air, sehingga mempunyai aktivitas penjerapan lebih
tinggi (Sumarno, 2001).
c)
Perlit Mineral
Perlit mineral adalah adsorben baru untuk KLT, yang dibuat dengan
mengkonversi SiO2 (70-75%) menjadi silikat yang larut dengan Na2CO3
(Gocan, 2002).
d) Kiselgur
Fase diam ini sebenarnya merupakan asam silika yang berbentuk amorf,
berasal dari kerangka diatomae, maka lebih dikenal dengan nama tanah
diatomae, kurang bersifat adsorptif dibanding silika (Sumarno, 2001).
e)
Magnesium Silikat
Fase diam ini hanya digunakan bila adsorben atau penjerap lain tidak
dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal dengan floresil
(Sumarno, 2001). Floresil (magnesium silikat) adalah endapan silika dan
magnesium. Sifat dan aplikasi dari floresil pada KLT dan KCKT ditinjau
dan dibandingkan dengan adsorben lainnya (Gocan, 2002).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
23
f)
Selulosa
Polaritasnya tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pemisahan secara
partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk
tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran
partikel yang digunakan kira-kira 50
m. Fase diam ini sekarang sudah
diganti dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti
halnya fase diam yang lain sehingga lebih efisien dan lebih banyak
digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomernya
(Sumarno, 2001).
g) Resin
Fase diam resin digunakan pada KLT penukar ion. Resin merupakan
polimer dari stirendivenil yang mengalami kopolimerisasi dan bersifat non
polar. Fase diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot
molekul tinggi dan bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim,
nukleotida. Sebagai fase gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat
(Sumarno, 2001).
2.9.3 Identifikasi Kromatogram
Ada beberapa cara untuk mendeteksi senyawa yang tidak berwarna pada
kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan
penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm)
atau jika senyawa itu dapat dieksitasi pada radiasi UV gelombang pendek dan
gelombang panjang (365 nm). Pada senyawa yang mempuyai dua ikatan rangkap
atau lebih dan senyawa aromatik seperti turunan benzena, mempunyai serapan
kuat di daerah 230-300 nm (Stahl, 1985).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah dari lapisan tipis yaitu
dengan menggunakan nilai Rf. Nilai Rf didefinisikan sebagai berikut
(Sastrohamidjojo, 2005).
Rf =
Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal
Jarak yang digerakkan oleh pelarut dari titik asal
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
24
Nilai Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga
standar. Nilai Rf yang diperoleh hanya berlaku untuk campuran tertentu dari
pelarut dan penjerap yang digunakan, meskipun demikian daftar dari harga-harga
Rf untuk berbagai campuran dari pelarut dan penjerap dapat diperoleh
(Sastrohamidjojo, 2005).
2.9.4 Sistem Fase Gerak Pada KLT
Polaritas fase gerak perlu diperhatikan pada analisa dengan KLT, sebaiknya
digunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah
mungkin. Campuran yang baik memberikan fase gerak yang mempunyai kekuatan
bergerak sedang. Secara umum dikatakan bahwa fase diam yang polar akan
mengikat senyawa polar dengan kuat sehingga bahan yang kurang sifat
kepolarannya akan bergerak lebih cepat dibandingkan bahan-bahan polar
(Gritter, et al., 1991).
Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini dikarenakan KLT
merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut
organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan senyawa contoh,
dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gritter, et al., 1991).
Pelarut yang ideal harus melarutkan linarut dan harus cukup baik sebagai
pelarut yang bersaing dengan daya serap penjerap. Keadaan yang ideal tersebut
mungkin terjadi jika pelarut tidak berproton seperti hidrokarbon, eter dan senyawa
karbonil dipakai sebagai pelarut pengembang (Gritter, et al., 1991).
2.9.5 Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan
senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan senyawa-senyawa gas
anorganik dalam suatu campuran. Sampel yang mudah menguap dan stabil
terhadap panas akan bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam
dengan suatu kecepatan yang terantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya
solut dari ujung kolom menghantarkan ke detektor (McNair, et al., 1998).
Kromatografi gas penggunaan utamanya ialah pada pemisahan senyawa
atsiri, yaitu asam lemak, mono dan seskuiterpen, hidrokarbon dan senyawa
belerang tinggi. Tetapi, keatsirian kandungan tumbuhan yang bertitik didih tinggi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
25
dapat diperbesar dengan mengubahanya menjadi ester dan/atau eter trimetil-silil
sehingga hanya sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok untuk
dipisahkan dengan cara KGC (Harborne, 1987).
Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisia kualitatif dan kuantitatif.
Untuk analisia kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi
dari komponen yang akan dianalisa dengan waktu retensi zat baku pembandig
(standar) pada kondisi analisa yang sama. Untuk analisa kuantitatif dilakukan
dengan cara perhitungan relatif dari tinggi atau luas puncak kromatogram
komponen yang dianalisa terhadap zat baku pembanding (standar) yang dianalisa
(McNair, et al., 1998).
Untuk pemisahan bahan-bahan yang mudah menguap, kromatografi gas
merupakan metode yang tepat karena kecepatannya, resolusinya yang tinggi dan
mudah digunakan (McNair, et al., 1998).
2.9.6 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang
digunakan
untuk
memisahkan
senyawa-senyawa
dalam
jumlah
banyak
berdasarkan adsorpsi dan partisi (Gritter, et al., 1991). Kromatografi kolom
membutuhkan zat terlarut yang terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya
fase diam dan yang lainnya fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui
media, hingga terpisah dari zat terlarut lain yang terelusi lebih awal atau akhir.
Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut
berbentuk cairan atau gas (Harborne, 1987).
Pada kromatografi kolom, tabung pemisah diisi penjerap. Penjerap yang
biasa digunakan ialah silika gel. Pengisian ini harus dilakukan secara berhati-hati
dan merata. Penjerap dapat dikemas dalam tabung dengan cara basah maupun
kering (Harborne, 1987). Cara basah, silika gel terlebih dahulu dijenuhkan dengan
cairan pengelusi yang akan digunakan. Kemudian dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit, sambil kran kolom
dibuka.
Kemudian pelarut dialirkan hingga silika gel mampat. Setelah silika gel
mampat, pelarut dibiarkan mengalir hingga batas adsorben. Kemudian kran
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
26
ditutup dan sampel dimasukkan, sampel yang dimasukkan terlebih dahulu
dilarutkan dalam pelarut hingga diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian
sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit
demi sedikit hingga semua sampel masuk. Selanjutnya kran dibuka dan diatur
tetesannya, serta ditambahkan dengan cairan pengelusi. Tetesan yang keluar
ditampung sebagai fraksi-fraksi (Gritter, et al., 1991).
Sedangkan cara kering, yaitu dengan memasukkan silika gel ke dalam
kolom yang telah diberi kapas sedikit demi sedikit dan diratakan dengan alat
pemampat kemudian ditambahkan dengan cairan pengelusi (Gritter, et al., 1991).
2.10 Elusidasi Struktur
Elusidasi struktur umumnya menggunakan teknik spektroskopi klasik
seperti spektrofotometri masa (SM) dan resonansi magnetik inti (RMI). Langkah
pertama, bagaimanapun harus memperoleh rekaman spektrum sinar inframerah
dan ultraviolet untuk menentukan adanya kelompok gugus fungsi tertentu dalam
suatu molekul (Heinrich, 2004).
2.10.1 UV-Visible
Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang
sangat
encer
dengan
pembanding
blanko
pelarut
serta
menggunakan
spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tanwarna diukur pada jangka
200-400 nm, senyawa berwarna pada jangka 200-700 nm. Prinsip kerja
spektrofotometer UV-Vis ialah interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan
molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke
orbital lebih tinggi (Harborne, 1987).
Pada kondisi ini, elektron tidak stabil dan dapat melepas energi untuk
kembali ke tingkat dasar, dengan disertai emisi cahaya. Besarnya penyerapan
cahaya sebanding dengan molekul, sesuai dengan hukum lambert-Beer:
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
27
(Day & Underwood, 1980).
A= ɛ B C
Keterangan:
A= Serapan/absorbansi
ɛ= Absortivitas molar
B= Tebal kuvet
C= Konsentrasi komponen
Sumber radiasi pada spektrofotometer UV-Vis berdasarkan panjang
gelombang terbagi menjadi 2, yaitu lampu deuterium dan tungstent. Lampu
deuterium menghasilkan sinar 160-500 nm. Lampu tungstent digunakan di daerah
sinar tampak 350-3500 nm. Sumber radiasi dikatakan ideal jika memancarkan
spektrum radiasi yang kontinyu, intensitasnya tinggi dan stabil pada semua
panjang gelombang.
2.10.2 Spektrofotometri Infra Merah
Spektrofotometri infra merah merupakan suatu metode yang mengamati
interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah
panjang
gelombang
0,75–1.000
m
atau
pada
bilangan
gelombang
13.000–10 cm-1. Spektrofotometer infra merah merupakan alat untuk mendeteksi
gugus fungsi, mengidentifikasi senyawa dan menganalisis campuran. Banyak pita
absorbsi yang terdapat dalam daerah yang di sebut daerah ”sidik jari” spektrum
(Harborne, 1987).
Spektrum infra merah suatu sampel dapat di ketahui letak pita serapan
yang
dikaitkan
dengan
adanya
suatu
gugus
fungsi
tertentu
(Day & Underwood, 1999). Spektrofotometer infra merah digunakan sebagai
analisa kualitatif untuk menentukan gugus fungsi. Gugus fungsi dapat
diintepretasi dengan memeriksa puncak absorbsi dari spektrum infra merah.
Daerah pada spektrum inframerah diatas 1200 cm-1 menunjukkan pita
spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus
fungsi dalam molekul yang telah ditelaah. Daerah dibawah 1200 cm-1
menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena
kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
28
secara subjektif pada skala sederhana yaitu kuat, menengah atau lemah
(Harborne, 1987).
2.10.3 Spektrofotometri Massa
Teknik ini memungkinkan untuk mengukur berat molekul dari senyawa
dan ion molekular yang diidentifikasi, teknik ini memungkinkan untuk mengukur
ion secara akurat, untuk memastikan jumlah dari atom hidrogen, karbon, oksigen
dan atom lain yang terdapat dalam suatu molekul. Teknik ini akan memberikan
hasil data berupa rumus molekul (Heinrich, 2004).
Sejumlah teknik ionisasi terdapat dalam Spektrofotometri massa, yang
mana electron impact digunakan secara luas. Teknik ini memberikan fragmentasi
yang baik dari molekul dan berguna untuk menentukan struktur dengan
menetapkan fragmentasi untuk kelompok gugus fungsi yang terdapat dalam
senyawa (Heinrich, 2004).
2.10.4 KG-SM (Kromatografi Gas-Spektrofotometri Massa)
Kromatografi gas dan spektrofotometri massa dapat digunakan untuk
memisahkan komponen dengan memberikan waktu retensi dan puncak elusi yang
dapat dimasukkan ke dalam spektrofotometer massa untuk memperoleh berat
molekul, karakteristik dan informasi fragmentasi (Heinrich, 2004). Teknik ini juga
dapat digunakan untuk komponen yang polar (senyawa yang larut dalam air)
seperti calistegines dan polihidroksil alkaloid jika dibuat turunannya dengan
komponen yang sesuai (trimetilsilil klorida) untuk meningkatkan volatilitasnya
(Heinrich, 2004).
Kromatografi gas saat ini merupakan metode analisa yang penting dalam
kimia
organik
untuk
menentukan
senyawa
tunggal
dalam
campuran.
Spektrofotometri massa sebagai metode deteksi yang memberikan data bermakna,
yang
diperoleh
dari
penentuan
langsung
molekul
zat
atau
fragmen
(Heinrich, 2004).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
29
2.10.5 Resonansi Magnetik Inti (RMI)
Radiasi pada daerah frekuensi radio digunakan untuk mengeksitasi
atom-atom, biasanya proton-proton (1H-RMI) atau atom-atom karbon-13
(13C-RMI), sehingga spinnya berubah dari sejajar menjadi sejajar melawan medan
magnet yang digunakan. Rentang frekuensi yang dibutuhkan untuk eksitasi dan
pola-pola pembagian kompleks yang dihasilkan sangat khas pada struktur kimia
molekul tersebut (Watson, 2009).
Spektra RMI biasanya ditentukan dari larutan substansi yang akan
dianalisa. Untuk itu pelarut yang digunakan tidak boleh mengandung atom
hidrogen karena akan mengganggu puncak spektrum. Ada dua cara untuk
mencegah gangguan oleh pelarut. Pertama dapat digunakan pelarut seperti
tetraklormetana, CCl4 yang tidak mengandung hidrogen atau pelarut yang atom
hidrogennya telah diganti dengan isotopnya yaitu deuterium, sebagai contoh
CDCl3 (Sudjadi, 1985).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
30
2.11
Kerangka Konsep
Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata
Determinasi
Ekstraksi Bertingkat Dengan
Pelarut n-Heksana dan Etil Asetat
Ekstrak n-Heksana
Ekstrak Etil Asetat
Uji Aktivitas Antioksidan Dengan
DPPH
Ekstrak Aktif
Antioksidan
Fraksinasi Dengan
Kromatografi kolom
Senyawa Hasil Isolasi
Uji Kemurnian
Senyawa
Penentuan Struktur Molekul
Dengan UV, IR, 1H-NMR
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di (Laboratorium Analisis Obat dan Pangan) dan
(Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia) Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Waktu penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, yaitu pada bulan
Januari 2013 sampai dengan bulan Juni 2013.
3.2
ALAT DAN BAHAN
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Ayakan No.40,
blender, timbangan analitik, kertas label, alumunium foil, kertas saring, kapas,
labu erlenmeyer (Duran), beker gelas (Duran), gelas ukur (Duran), corong
(Eyela), tabung reaksi, kolom kromatografi, spatula, batang pengaduk, pipet tetes,
seperangkat alat vaccum rotary evaporator, kaca arloji, cawan penguap, alat
melting point, pipa kapiler, vial, plat KLT dan bejana KLT.
3.2.2 Sampel Tumbuhan
Sampel
tumbuhan
yang
digunakan
adalah
tumbuhan
paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diperoleh di wilayah kampus FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selanjutnya dideterminasi di Herbarium
Bogoriense ( LIPI), Cibinong, Bogor.
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: n-heksana
(Brataco), etil asetat (Brataco), aquades, metanol grade HPLC, aquabides, silika
gel 60 F254 (0,063-0,200 mm for column chromatography) (Merck), lempeng
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
31
32
KLT (whatman, 250 µm 20 x 20 cm AL SIL G/UV, Felxible Plates for TLC, Cat
No. 4420222, coating silica gel) (Merck). Reagen kimia antara lain: Dragendorff,
Mayer, Wagner, ferri klorida, asam sulfat, natrium hidroksida, asam asetat,
kloroform, Liberman Buchardat, asam kloroda, natrium klorida, gelatin, Vanilin ,
dan asam perklorat.
3.2.4 Instrumen
Instrumen yang digunakan antara lain: spektrofotometer infra merah,
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), resonansi magnetik inti proton
(1H-RMI), lampu UV 254 nm dan 366 nm ( bioinstrument atta), UV-Visible.
3.3
PROSEDUR KERJA
3.3.1 Pemeriksaan Sampel Tumbuhan
Sampel tumbuhan Nephrolepis falcata sebanyak 10,1 kg yang diperoleh dari
halaman kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dilakukan
determinasi di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor.
3.3.2 Penyiapan Simplisia
Sampel daun tumbuhan Nephrolepis falcata sebanyak 10,1 kg disortasi
basah dan dilakukan pencucian dengan menggunakan air mengalir hingga bersih.
Selanjutnya sampel dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan terhindar dari
cahaya matahari, pengeringan dilakukan selama satu minggu hingga sampel
benar-benar kering. Sampel yang telah kering, disortasi kering kemudian
dihaluskan dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan no.40.
Serbuk simplisia yang diperoleh kemudian ditimbang, Selanjutnya simplisia
disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari.
3.3.3 Pembuatan Ekstrak
Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin dengan
teknik maserasi bertingkat. Pelarut yang digunakan antara lain, n-heksana dan etil
asetat. Serbuk simplisia sebanyak 1,256 kg dimasukkan ke dalam wadah gelap
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
33
sehingga terhindar dari cahaya matahari. Selanjutnya dimasukkan pelarut
n-heksana ke dalam wadah yang berisi serbuk simplisia hingga serbuk terendam
±3 cm di atas permukaan simplisia. Pelarut n-heksana yang digunakan untuk
maserasi sebanyak 4,5 liter.
Maserasi dilakukan selama 1-2 hari dengan beberapa kali pengadukan. Hasil
maserasi disaring untuk memisahkan filtrat dengan ampas. Filtrat yang diperoleh
diuapkan dengan vaccum rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.
Ampas yang tersisa, kembali ditambahkan n-heksana dan proses maserasi
dilakukan kembali. Maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksana dilakukan
sebanyak 15 kali hingga pelarut yang digunakan terlihat bening yang menandakan
senyawa telah terekstraksi seluruhnya.
Selanjutnya maserasi diganti dengan perlarut etil asetat, volume etil asetat
yang digunakan sebanyak 4,5 liter. Prosedur ekstraksi sesuai dengan kegiatan
ekstraksi sebelumnya. Maserasi dengan menggunakan pelarut etil asetat dilakukan
sebanyak 10 kali hingga pelarut yang digunakan terlihat bening. Total pelarut
n-heksana yang digunakan untuk maserasi sebanyak 18 liter dan pelarut etil asetat
yang digunakan sebanyak 10 liter.
3.3.4 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak yang diperoleh, dianalisa dengan menggunakan kromatografi lapis
tipis untuk mengamati pola pemisahannya. Lempeng KLT dengan ukuran
5x10 cm, pada bagian atas dan bawah plat, dibuat garis tepi sepanjang 1 cm.
Selanjutnya dibuat sistem fase gerak yang terdiri dari n-heksana dan etil asetat
dengan berbagai perbandingan, setiap perbandingan kepolarannya ditingkatkan
10%. Fase gerak yang telah dibuat, dimasukkan ke dalam bejana KLT dan
dijenuhkan dengan memasukkan kertas saring ke dalamnya, hingga kertas saring
terbasahi semua. Selanjutnya, 10 mg ekstrak dilarutkan dengan 1 mL pelarut etil
asetat dan ditotolkan pada garis tepi bagian bawah plat dengan menggunakan pipa
kapiler.
Plat KLT dielusi di dalam masing-masing bejana KLT yang berisi fase
gerak, hingga fase gerak mencapai garis tepi bagian atas, kemudian diangkat. Plat
KLT dibiarkan kering dan dilihat pola pemisahannya secara langsung dan di
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
34
bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Dari hasil
KLT, dilihat kombinasi sistem fase gerak yang memberikan pola pemisahan yang
baik.
3.3.5 Skrining Fitokimia (Tiwari, et al., 2011; Fransworth, 1969)
1) Uji Alkaloid
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam larutan HCl encer kemudian disaring dan
filtrat dibagi menjadi dua tabung reaksi.
 Tes Mayer: filtrat A ditambahkan reagen Meyer (larutan kalium merkuri
iodida). Terjadinya endapan berwarna putih mengindikasikan adanya
senyawa alkaloid.
 Tes Dragendorff: filtrat B ditambahkan reagen Dragendorff (larutan
kalium bismut iodida) Terjadinya endapan berwarna merah bata
mengindikasikan adanya senyawa alkaloid.
2) Uji Flavonoid
Sejumlah Ekstrak dilarutkan dalam 5 mL air panas, didihkan selama 5 menit
lalu disaring. Filtrat ditambahkan serbuk Mg secukupnya, 1 mL asam klorida
pekat dan 2 mL etanol. Dikocok kuat dan dibiarkan terpisah. Terbentuk warna
merah, kuning atau jingga pada lapisan etanol menunjukkan adanya senyawa
flavonoid.
3)
Uji Saponin
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam 20 mL aquades, kemudian larutan
dikocok dalam labu ukur selama 15 menit. Terbentuknya lapisan busa setinggi
1 cm mengindikasikan adanya senyawa saponin.
4)
Uji Steroid dan Terpenoid
 Tes Salkowski: Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan
disaring. Kemudian filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan
dikocok. Terbentuknya warna kuning emas mengindikasikan adanya
senyawa tepenoid.
 Tes Liberman Buchardat: Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform
dan disaring, filtrat ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat,
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
35
kemudian
dipanaskan
dan
didinginkan.
Selanjutnya
larutan
ditambahkan beberapa tetes asam sulfat. Terbentuknya cincin coklat
mengindikasikan adanya senyawa steroid.
5)
Uji Fenol
Sejumlah ekstrak ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3. Terbentuknya
warna biru kehitaman mengindikasikan adanya senyawa fenol.
6)
Uji Tanin
Tes
gelatin:
Sejumlah ekstrak
ditambahkan
larutan
gelatin
yang
mengandung natrium hidroksida. Terbentuknya endapan putih mengindikasikan
adanya senyawa tanin.
7)
Uji Asam Lemak
Sejumlah ekstrak dicampur dengan 5 ml eter, kemudian diuapkan. Ekstrak
yang telah diuapkan ditotolkan di atas kertas saring dan dibiarkan kering. Bercak
transparan pada kertas saring setelah ditotolkan ekstrak mengindikasikan adanya
senyawa asam lemak.
8)
Uji Kumarin
Sejumlah ekstrak ditambahkan 1 mL NaOH 5 N dalam tabung reaksi,
kemudian dipanaskan selama beberapa menit di atas penangas air. Selanjutnya
larutan disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh dilihat
di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Terjadinya
fluoresensi dengan warna kuning kehijauan mengindikasikan adanya senyawa
kumarin.
3.3.6 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH
Uji kualitatif aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis. Larutan DPPH dengan konsentrasi 0,04% dalam 20 mL
metanol dibuat dengan cara menimbang 8 mg serbuk DPPH, kemudian dilarutkan
dalam 20 mL metanol pro analisis. Ekstrak yang sebelumnya telah dilakuakan
pemisahan dengan KLT, disemprot dengan reagen tersebut hingga seluruh plat
terbasahi. Plat yang telah disemprot dibiarkan selama 30 menit dalam ruangan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
36
tertutup. Selanjutnya dilihat pola bercak yang memberikan aktivitas antioksidan
pada plat KLT (Basma, et al., 2011).
3.3.7 Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Dengan Kromatografi Kolom
Ekstrak etil asetat yang memiliki aktivitas antioksidan setelah diuji secara
kualitatif dengan DPPH, selanjutnya difraksinasi dengan metode kromatografi
kolom. Kolom kromatografi yang digunakan memiliki ukuran tinggi 100 cm dan
diameter 5 cm. Kolom disiapkan dengan menyumbat pada bagian dasarnya
dengan menggunakan kapas. Selanjutnya kolom dialiri dengan pelarut n-heksana
dan kapas ditekan-tekan dengan batang pengaduk hingga tidak ada udara yang
terjerap.
Dibuat bubur silika dengan menimbang serbuk silika gel sebanyak 250 gram
kemudian didispersikan dengan pelarut n-heksana hingga menjadi bubur suspensi.
Bubur silika gel dimasukkan ke dalam kolom kromatografi dan Kolom dialiri
dengan menggunakan pelarut n-heksana. Pelarut yang menetes ditampung,
kemudian dimasukkan kembali ke dalam kolom sambil diketuk-ketuk. Proses ini
dilakukan hingga silika gel mampat. Tahap selanjutnya, ekstrak etil asetat
sebanyak 32 gram dipreadsorbsi dengan silika gel sebanyak 15 gram. Ekstrak
dimasukkan ke dalam kolom dan disumbat dengan kapas.
Selanjutnya dibuat sistem fase gerak dengan komposisi n-heksana dan etil
asetat dengan berbagai perbandingan. Sistem fase gerak yang digunakan adalah
sistem gradien, setiap gradien kepolarannya ditingkatkan 10%. Fraksinasi pertama
dilakukan dengan mengaliri kolom menggunakan fase gerak n-heksana 100%
sebanyak 250 mL. Pelarut yang menetes, ditampung dalam vial yang sebelumnya
telah diberi nomor. Penggantian gradien fase gerak dilakukan ketika gradien
sebelumnya telah habis digunakan untuk mengaliri kolom.
Fraksinasi dilakukan hingga fase gerak yang digunakan telah mencapai
gradien akhir yaitu etil asetat 100%. Pada tahap akhir kromatografi kolom, kolom
dicuci dengan mengaliri pelarut metanol 100% sebanyak 300 mL untuk
membersihkan silika gel dari sisa ekstrak yang masih menempel. Setiap fraksi
yang diperoleh, dilakukan kromatografi lapis tipis dan dilihat pola bercak yang
dihasilkan dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
37
Hasil KLT, dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan menyemprot reagen DPPH
dengan konsentrasi 0,04%. Fraksi yang memberikan pola bercak dengan nilai Rf
yang sama, digabungkan dalam satu vial yang selanjutnya akan difraksinasi
kembali untuk melakukan pemisahan lebih lanjut. Fraksinasi dengan kroatografi
kolom dilakukan hingga diperoleh senyawa murni.
3.3.8 Pemurnian Kristal
Pemurnian dilakukan terhadap kristal yang diperoleh dari hasil pemisahan
dengan kromatografi kolom yaitu (fraksi F2.A, F2.D dan F3.C). Prosedur
pemurnian dilakukan dengan mengalirkan pelarut n-heksana pada fraksi F2.A,
kemudian dikocok secara perlahan hingga n-heksana dapat melarutkan komponen
lain tanpa melarutkan kristal. Kemudian komponen yang terlarut dalam n-heksana
ditarik dengan pipet tetes yang sebelumnya telah disumbat kapas pada bagian
ujungnya dan komponen tersebut dipisahkan dari kristal. Pemurnian dilakukan
hingga kristal bersih. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap kristal dari
fraksi F2.D dan fraksi F3.C. Tetapi pada kristal fraksi F3.C menggunakan etil
asetat dalam proses pemurniannya karena etil asetat merupakan pelarut yang
cocok untuk pemurnian kristal fraksi F3.C.
3.3.9 Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Senyawa Murni
Kristal yang diperoleh, diuji aktivitas antioksidannya dengan menggunakan
DPPH. Setiap fraksi terlebih dahulu dilakukan kromatografi lapis tipis dengan
fase gerak n-heksana-etil asetat (8:2). Hasil KLT disemprot dengan DPPH 0,04%
dan didiamkan selama 30 menit dalam ruang gelap. Dari ketiga kristal yang
diperoleh, hanya kristal dari fraksi F2.D yang memiliki aktivitas antioksidan,
sehingga kristal tersebut yang akan diuji lebih lanjut.
3.3.10 Uji Kemurnian Senyawa Aktif Antioksidan
Uji kemurnian senyawa dengan menggunakan 3 metode, antara lain
kromatografi lapis tipis 2 dimensi (KLT 2 dimensi), uji titik leleh dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
38
3.3.10.1 Kromatografi Lapi Tipis 2 Dimensi (KLT 2 Dimensi)
Uji kemurnian senyawa dengan menggunakan KLT 2 dimensi. Dibuat
plat KLT dengan bentuk bujur sangkar yang setiap sisinya memiliki ukuran 5 cm.
Kemudian sejumlah kristal dilarutkan dengan etil asetat dan ditotolkan pada salah
satu sisi plat dengan pipa kapiler. Plat KLT dielusi dengan fase gerak
n-heksana-etil asetat (8:2) dan dibiarkan kering sesaat. Kemudian plat KLT
dielusi kembali pada sisi lainnya dengan menggunakan fase gerak yang sama.
Bercak dilihat di bawah lampu UV ( 254 nm dan 366 nm) dan disemprot dengan
pereaksi godyns sebagai penampak bercak.
Elusi Kedua
Sampel
Elusi Pertama
Gambar 3.1. KLT 2 Dimensi
3.3.10.2 Uji Titik Leleh
Pengujian titik leleh dengan menggunakan alat melting point. Serbuk
kristal dimasukkan dalam pipa kapiler yang telah ditutup pada salah satu ujungnya
kemudian diketuk-ketuk hingga kristal mampat. Selanjutnya Pipa kapiler
dimasukkan ke dalam alat melting point dan temperatur dinaikkan secara
perlahan-lahan. Lazimnya setiap menit temperatur dinaikkan sebanyak 10C. Titik
leleh ditandai pada saat kristal mulai meleleh hingga meleleh sempurna. Senyawa
dikatakan murni apabila memiliki titik leleh dengan rentang ± 20C.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
39
3.3.10.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Prosedur Pada KCKT, pertama dengan menentukan beberapa metode
instrumen yang digunakan, antara lain Fase gerak berupa metanol grade
HPLC-aquabides (60%:40%), panjang gelombang UV 239 nm, temperatur kolom
250C, laju alir fase gerak 0,4 mL/menit, volume injeksi sampel 20 µL dan waktu
alir adalah 15 menit. Dilakukan pencucian kolom selama 30 menit dengan
aquabides. Selanjutnya dilakukan baseline pada alat dan dicek konsistensi kolom
dengan melihat adanya puncak atau tidak pada kromatogram. Kristal yang telah
dilarutkan dengan metanol, dianalisa dan dilihat puncak yang dihasilkan. Senyawa
dikatakan murni apabila menghasilkan puncak tunggal pada kromatogram.
3.3.11 Penentuan Struktur Molekul
Penentuan struktur molekul dilakukan dengan menggunakan 3 alat
instrumen antara lain, UV-Visible, FTIR dan 1H-RMI.
3.3.11.1 UV-Visible
Kristal fraksi F2.D dilarutkan dengan menggunakan pelarut metanol.
Pada alat UV-Vis, terlebih dahulu ditentukan panjang gelombang yang digunakan
yaitu 200-400 nm. Kemudian dilakukan baseline pada alat dengan blanko berupa
metanol. Sampel dianalisa dan dilihat panjang gelombang yang dihasilkan.
3.3.11.2 FTIR
Kristal fraksi F2.D sebanyak 0,5 mg, dicampur dengan KBr sebanyak
50 mg dan digerus homogen. Pada alat terlebih dahulu dilakukan baseline dengan
blanko berupa udara. sampel diletakkan ke dalam sel KBr dan dimasukkan ke
dalam alat dengan lubang mengarah ke sumber radiasi kemudian dilakukan
analisa.
3.3.11.3 1H-RMI
Kristal fraksi F2.D dilarutkan dalam kloroform dan dilakukan analisa
dengan 1H-RMI pada frekuensi 500 MHz.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penyiapan Bahan
Tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Bogoriense
(LIPI), Cibinong, Bogor, yang bertujuan untuk mengetahui keaslian tumbuhan
yang akan digunakan dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam
pemilihan tumbuhan. Hasilnya adalah tumbuhan yang diperoleh merupakan
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.Chr (Lampiran 1).
Tumbuhan paku yang diperoleh sebanyak 10,1 kg, disortasi untuk
memisahkan antara tumbuhan dengan kotoran dan kontaminan lainnya. Proses
pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan yang bertujuan untuk
meminimalisir adanya pemanasan yang dapat merusak senyawa yang terkandung,
mengingat senyawa yang akan diisolasi merupakan senyawa antioksidan, karena
senyawa tersebut sebagian besar dapat mengalami kerusakan dengan adanya
pemanasan. Pengeringan dengan cara ini, juga dapat meminimalisir terjadinya
kehilangan senyawa yang mudah menguap (atsiri) apabila dalam tanaman tersebut
mengandung senyawa minyak atsiri.
Penghalusan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel tumbuhan,
yang bertujuan untuk memaksimalkan dalam proses ekstraksi, karena semakin
kecil ukuran partikel, maka semakin besar luas permukaannya, sehingga kontak
antara pelarut dengan partikel tumbuhan semakin besar dan proses ekstraksipun
dapat berjalan maksimal. Dari 10,1 kg sampel daun segar Nephrolepis falcata,
diperoleh 1,256 kg simplisia kering yang selanjutnya Simplisia disimpan dalam
wadah
tertutup
rapat
untuk
menghindari
cemaran
oleh
mikroba
dan
mikroorganisme lainnya.
40
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
41
4.2
Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraksi cara dingin, yaitu
dengan metode maserasi. Prosedur ekstrasi dengan cara dingin dipilih, alasannya
untuk meminimalisir terjadinya pemanasan yang dapat menyebabkan kerusakan
terhadap senyawa yang tidak tahan panas. Proses ekstraksi ini menggunakan
teknik maserasi bertingakat dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang
berbeda-beda yaitu n-heksana yang merupakan pelarut non polar dan etil asetat
yang merupakan pelarut semi polar. Alasan penggunaan teknik ekstraksi
bertingkat, yaitu untuk memaksimalkan proses ekstraksi, di mana senyawa akan
terekstraksi berdasarkan sifat kepolarannya. Selain itu, teknik ini juga digunakan
untuk memperoleh hasil rendemen yang lebih banyak.
Dari proses maserasi, diperoleh 2 ekstrak kental, yaitu ekstrak dari pelarut
n-heksana yang memiliki bobot 20 gram dan ekstrak dari pelarut etil asetat yang
memiliki bobot 40 gram.
Tabel 4.1. Hasil Rendemen Ekstrak n-Heksana dan Etil Asetat
Total Simplisia
Ekstrak
Bobot
Rendemen
n-Heksana
20 gram
1,59%
Etil Asetat
40 gram
3,18%
1,256 Kg
4.3
Hasil Penapisan Fitokimia
Uji penapisan fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi komponen apa
saja yang terkandung dalam tanaman, sehingga memungkinkan untuk mengetahui
senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan. Dari hasil uji penapisan fitokimia,
ekstrak etil asetat positif mengandung beberapa komponen golongan senyawa
antara lain, steroid, terpenoid, flavonoid, dan asam lemak.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
42
Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat
4.4
No
Golongan Kimia
Hasil Pengamatan
1
Alkaloid
_
2
Flavonoid
+
3
Steroid
+
4
Terpenoid
+
5
Kumarin
_
6
Tanin
_
7
Asam Lemak
+
8
Fenol
_
9
Saponin
_
Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis dilakukan untuk mengetahui pola pemisahan
senyawa dari bercak yang dihasilkan. Keuntungan dari metode KLT ini, yaitu
analisisnya cepat dan sampel yang digunakan sedikit. Pola pemisahan yang baik
tergantung dari fase gerak yang digunakan. Penentuan fase gerak pada KLT
berguna dalam menentukan fase gerak yang akan digunakan dalam kromatografi
kolom.
Dari hasil uji kromatografi lapis tipis, ekstrak n-heksana dielusi dengan
menggunakan fase gerak dengan komposisi n-heksana dan etil asetat dengan
perbandingan 8:2, sedangkan ekstrak etil asetat dielusi dengan menggunakan fase
gerak n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 6:4. Pemilihan fase gerak
untuk kedua ekstrak cukup baik dengan terlihatnya banyak senyawa yang terpisah
(Lampiran 3).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
43
4.5
Hasil Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Dengan DPPH
Untuk mengetahui adanya senyawa antioksidan dalam tumbuhan paku
Nephrolepis falcata, dilakukan uji pendahuluan aktivitas antioksidan. Metode
yang digunakan yaitu dengan metode DPPH, alasannya karena metode ini
memiliki kelebihan, diantaranya, analisisnya mudah, cepat dan efisien, serta
memungkinkan mengetahui adanya senyawa yang bersifat sebagai antioksidan
yang dapat dilihat secara visual.
Eluen
Eluen
n-heksana:E.A (8:2)
n-heksana:E.A (6:4)
A
B
Gambar 4.1. Hasil Uji Kualitatif Antioksidan Ekstrak. (a). Ekstrak Etil Asetat
(b) Ekstrak n-Heksana.
Dari hasil uji aktivitas antioksidan, ekstrak etil asetat dan n-heksana
menunjukkan adanya aktivitas senyawa antioksidan. Ini diketahui dengan melihat
pola bercak setelah disemprot dengan pereaksi DPPH. Pola bercak yang
menimbulkan warna kuning dengan latar belakang ungu setelah disemprot dengan
DPPH, mengindikasikan adanya senyawa antioksidan (Aderogba, et al., 2012)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
44
4.6
Hasil Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom
Hasil pemisahan pada kromatografi kolom pertama, diperoleh fraksi
sebanyak 206 vial. Dari 206 fraksi, diperoleh 12 sub fraksi yang memiliki pola
bercak dengan nilai Rf yang sama antara lain F1.A merupakan fraksi no.(14),
F1.B gabungan fraksi no.(15-25), F1.C gabungan fraksi no.(26-34), F1.D
gabungan fraksi no.(35-52), F1.E gabungan fraksi no.(53-67), F1.F gabungan
fraksi No.(68-75), F1.G gabungan fraksi no.(76-97), F1.H gabungan fraksi
No.(98-113), F1.I gabungan fraksi No.(114-132), F1.J gabungan fraksi
no.(133-184), F1.K gabungan fraksi no.(185-188) dan F1.L gabungan fraksi
no.(189-206). Dari 12 sub fraksi, fraksi yang memberikan pola bercak dengan
aktivitas antioksidan yang banyak adalah fraksi F1.A dengan bobot 2,5 gram,
sehingga fraksi tersebut dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan kromatografi
kolom.
Hasil pemisahan pada kromatografi kolom kedua, diperoleh fraksi
sebanyak 128 vial. Dari 128 fraksi, diperoleh 6 sub fraksi dari hasil gabungan
fraksi yang memiliki pola bercak yang sama antara lain, F2.A gabungan fraksi
no.(46-50), F2.B gabungan fraksi no.(51-52), F2.C gabungan fraksi no.(56-70),
F2.D gabungan fraksi no.(71-90), F2.E gabungan fraksi no.(91-98) dan F2.F
gabungan fraksi no.(99-128). Dari 6 sub fraksi, fraksi yang memberikan pola
bercak dengan aktivitas antioksidan yang banyak adalah fraksi F2.A dengan bobot
658,7 mg, sehingga fraksi tersebut dilakukan pemisahan kembali dengan
kromatografi kolom untuk memperoleh senyawa yang lebih murni. Dari
kromatografi kolom II, juga diperoleh kristal berwarna putih yang terdapat pada
fraksi F2.A dan fraksi F2.D.
Hasil pemisahan pada kromatografi kolom ketiga, diperoleh 196 fraksi.
Dari 196 fraksi diperoleh 5 sub fraksi dari hasil gabungan fraksi yang memiliki
pola bercak yang sama antara lain, F3.A gabungan fraksi no.(30-47), F3.B
gabungan fraksi no.(48-61), F3.C gabungan fraksi no.(62-77), F3.D gabungan
fraksi no.(78-93) dan F3.E gabungan fraksi no.(93-110). Pada kromatografi kolom
III juga diperoleh kristal berwarna putih yang terdapat pada fraksi F3.C
(No.62-77). Dari hasil pemisahan dengan kromatografi kolom, diperoleh tiga
isolat yang tertera pada tabel di bawah.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
45
Tabel 4.3. Hasil Isolat Dari Ekstrak Etil Asetat
Fraksi
Organoleptik
Rf
Bentuk: Kristal jarum pendek
F2.A
0,675
Warna: Putih bening
Bentuk: Kristal jarum panjang
F2.D
0,325
Warna: Putih
Bentuk: Kristal jarum pendek
F3.C
0,67
Warna: Putih bening
Eluen
n-heksana:E.A
(8:2)
n-heksana:E.A
(8:2)
n-heksana:E.A
(8:2)
Bobot
5 mg
20 mg
80 mg
Dari ketiga kristal yang diperoleh, setelah dilakukan uji aktivitas antioksidan
dengan DPPH, hanya kristal fraksi F2.D yang aktif sebagai antioksidan, sehingga
kristal tersebut yang dianalisa lebih lanjut.
Eluen
n-heksana : E.A
(8:2)
Rf = 0,325
A
B
C
Gambar 4.2. Hasil Uji Kualitatif Aktivitas Antioksidan Isolat. (A). Kristal F2.A
(B) Kristal F2.D, (C) Kristal F3.C.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
46
4.7
Hasil Uji Kemurnian Senyawa
Hasil uji kemurnian senyawa meliputi: Hasil uji titik leleh, hasil KCKT
dan hasil KLT 2 dimensi.
4.7.1
Hasil Uji Titik Leleh (Melting Point)
Pengujian titik leleh bertujuan untuk mengetahui kemurnian senyawa
berdasarkan titik leleh senyawa uji. Senyawa dikatakan murni apabila memiliki
titik leleh dengan rentang ±20C. Hasil pengujian titik leleh dari senyawa fraksi
F2.D menunjukkan jarak leleh antara 132-1340C. Dari hasil tersebut diketahui
bahwa jarak antara titik awal senyawa tersebut meleleh hingga meleleh sempurna
adalah 20C, sehingga dapat diindikasikan bahwa senyawa dari fraksi F2.D telah
murni.
4.7.2
Hasil KCKT
Pengujian kemurnian senyawa selanjutnya menggunakan KCKT. KCKT
dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya memiliki sensitivitas
yang tinggi, kemampuan pemisahan yang cepat, teknik dengan resolusi tinggi dan
efisien. KCKT akan memberikan puncak tunggal apabila senyawa yang di analisa
telah murni.
Dari hasil pengujian kemurnian senyawa fraksi F2.D dengan KCKT,
menunjukkan puncak tunggal pada waktu retensi 5,672 menit. Hasil ini
mengindikasikan bahwa senyawa dari fraksi F2.D telah murni (lampiran 5).
4.7.3
Hasil KLT 2 Dimensi
KLT dua dimensi digunakan untuk menguji kemurnian suatu senyawa
dilihat dari bercak yang dihasilkan dengan kromatografi secara dua arah. Senyawa
dikatakan murni apabila memiliki bercak tunggal setelah dilakukan pengujian
dengan KLT dua dimensi. Hasil KLT dua dimensi dari senyawa fraksi F2.D
menunjukkan bercak tunggal dengan nilai Rf 0,325, sehingga dapat diindikasikan
bahwa senyawa dari fraksi F2.D telah murni.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
47
Eluen
n-heksana:etil asetat (8:2)
Rf = 0,325
Eluen: n-heksana:etil asetat (8:2)
Gambar 4.3. Hasil KLT 2 Dimensi Dari Senyawa Fraksi F2D,
Dengan Penampak Bercak: Pereaksi Godyns
4.8
Penentuan Struktur Molekul Senyawa fraksi F2.D.
Penentuan struktur molekul senyawa fraksi F2.D meliputi: Hasil
UV-Visible, spketrofotometri infra merah dan hasil 1H-RMI.
4.8.1
Hasil UV-Visible
UV-Visible
digunakan
untuk
mengetahui
karakteristik
senyawa
berdasarkan panjang gelombang maksimum yang dihasilkan. Panjang gelombang
dari suatu senyawa tergantung dari senyawa yang dianalisa, alasannya karena
syarat senyawa yang dapat dianalisa dengan UV-Visible adalah senyawa yang
memiliki gugus kromofor atau senyawa tersebut memiliki warna. Senyawa yang
memiliki gugus kromofor akan menghasilkan serapan dengan panjang gelombang
pada daerah UV (200-400 nm), sementara senyawa yang memiliki warna akan
menghasilkan serapan dengan panjang gelombang pada daerah tampak (visible)
(400-800 nm).
Dari hasil analisa senyawa dengan UV-Visible, senyawa dari fraksi F2.D
menghasilkan serapan pada panjang gelombang 239 nm. Senyawa yang dianalisa
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
48
tersebut memiliki panjang gelombang pada daerah UV (200-400 nm), sehingga
dapat diketahui bahwa senyawa tersebut memiliki gugus kromofor (Lampiran 6).
4.8.2
Hasil Spektrofotometri Infra Merah
Infra merah digunakan dalam menetukan struktur molekul senyawa
berdasarkan gugus fungsi dari senyawa yang dianalisa. Gugus fungsi suatu
senyawa dapat diketahui dari spektrum yang dihasilkan oleh infra merah, karena
setiap gugus fungsi memiliki karakteristik spektrum yang khas yang dihasilkan
oleh infra merah. Hasil analisa infra merah dari senyawa fraksi F2.D,
menunjukkan adanya serapan melebar dan kuat pada bilangan gelombang
3450-3426 cm-1, yang mengindikasikan adanya gugus OH. Selanjutnya terdapat
serapan dengan intensitas kuat pada bilangan gelombang 2936-2867 cm-1 yang
mengindikasikan adanya gugus CH alifatik, serapan dengan intensitas medium
terlihat pada bilangan gelombang 1646 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus
karbon dengan ikatan rangkap dua (alkena) C=C dalam struktur cincin
heterosiklik (Lampiran 7).
Gugus alkena dalam struktur cincin heterosiklik ini diketahui karena
umumnya gugus fungsi alkena memiliki frekuensi serapan pada daerah
1640-1670 cm-1, sedangkan frekuensi serapan akan menurun apabila gugus alkena
berada di dalam struktur cincin heterosiklik (Pavia, et al., 2001).
Dari data spektrum infra merah dapat disimpulkan bahwa senyawa dari
fraksi F2.D memiliki gugus fungsi OH, CH alifatik, dan adanya gugus alkena
(C=C).
4.8.3
Hasil Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-RMI)
Analisa struktur dengan
1
H-RMI memungkinkan untuk mengetahui
Kedudukan proton dalam suatu struktur molekul. Data yang dihasilkan dari
1
H-RMI berupa pergeseran kimia yang dapat dianggap sebagai ciri bagian tertentu
dari suatu struktur molekul dan dapat membantu mengidentifikasi tiap gugus
suatu senyawa.
Dari data spektrum 1H-RMI, senyawa fraksi F2.D memiliki gugus fungsi
yang khas antara lain, terdapat 6 gugus metil (CH3), pada nilai geseran kimia
(0,6755 ppm, 0,8156 ppm, 0,8376 ppm, 0,8415 ppm, 0,9233 ppm, dan 1,0049
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
49
ppm), pada geseran kimia 2,761 ppm (m) mengindikasikan adanya gugus metilen
(CH2) yang berikatan dengan gugus alkena (C=C-CH2), pada geseran kimia
3,5148 ppm (m) mengindikasikan adanya gugus metin (CH) yang berikatan
dengan gugus OH (CH-OH) dan pada geseran kimia 5,3525 ppm (m)
mengindikasikan adanya satu sinyal proton yang berikatan dengan gugus alkena
(C=CH) (Lampiran 8-13).
Tabel 4.4. Data Geseran Kimia Proton Senyawa Fraksi F2.D Yang Diukur
Pada Frekuensi 500 MHz Dengan Pelarut CDCl3
δH
Gugus Fungsi
0,6755 ppm, (s)
3H (CH3)
0,8156 ppm, (m)
3H (CH3)
0,8376 ppm (m)
3H (CH3)
0,8415 ppm, (m)
3H (CH3)
0,9232 ppm, (d)
3H (CH3)
1,0049 ppm, (s)
3H (CH3)
2,761 ppm, (m)
2H (C=C-CH2)
3,5148 ppm, (m)
(CH-OH)
5,3525 ppm, (m)
1H (C=CH)
Dari hasil analisa instrumen di atas, senyawa F2.D memiliki kesamaan
struktur dengan senyawa golongan triterpenoid yaitu β-sitosterol. Dari data infra
merah, senyawa F2.D menunjukkan adanya karakteristik spektrum yang sesuai
dengan spektrum β-sitosterol. β-sitosterol sendiri memiliki spektrum yang khas
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
50
pada infra merah dengan adanya gugus OH pada bilangan gelombang
3373,6 cm-1, kemudian adanya gugus CH alifatik pada bilangan gelombang
2936 cm-1 sampai 2867 cm-1, adanya gugus alkena (C=C) pada bilangan
gelombang 1641 cm-1 dan adanya gugus CH2 pada bilangan gelombang 1457 cm-1
(Kamboj, et al., 2011; Sen, et al., 2012).
Tabel 4.5. Perbandingan Data Serapan Gugus Fungsi Senyawa Fraksi
F2.D Dengan Senyawa β-sitosterol.
β-sitosterol
Senyawa Fraksi F2.D
Gugus Fungsi
3425 cm-1
3446 cm-1
2936-2876 cm-I
2936-2876 cm-1
1641 cm-1
1646 cm-1
C=C
1457 cm-1
1457 cm-1
CH2
Selanjutnya
dari
data
yang
OH
diperoleh
CH Alifatik
1
H-RMI,
senyawa
F2.D
menunjukkan adanya gugus fungsi yang mirip dengan gugus fungsi yang dimiliki
β-sitosterol. Dari data 1H-RMI diketahui bahwa senyawa F2.D memiliki 6 gugus
metil yang mana merupakan ciri dari senyawa β-sitosterol. β-sitosterol memiliki
ciri spektrum yang khas, yaitu 6 gugus metil yang terdapat pada nilai geseran
kimia (0,68 ppm (s); 0,81 ppm (m); 0,83 ppm (m), 0,84 ppm (m); 0,92 ppm (d);
1,01 ppm (s). Selanjutnya pada geresan kimia 3,50 ppm (m) terdapat gugus metin
(CH) yang berikatan dengan gugus OH (CH-OH) pada karbon ke 3, dan pada
geseran kimia 5,35 ppm (m) terdapat satu proton yang berikatan dengan gugus
alkena (C=CH) pada atom karbon ke 6 (Hisham, et al., 2012).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
51
Tabel 4.6. Perbandingan Data Geseran Kimia Proton Senyawa Fraksi
F2.D Dengan β-sitoterol (Sosińka, et al., 2013)
δH
β-sitosterol
Senyawa F2.D
Gugus Fungsi
0,68 ppm (s)
0,6775 ppm (s)
3H (CH3)
0,81 ppm (d)
0,815 ppm (d)
3H (CH3)
0,83 ppm (d)
0,841 ppm (d)
3H (CH3)
0,85 ppm (t)
0,855 ppm (t)
3H (CH3)
0,92 ppm (d)
0,923 ppm (d)
3H (CH3)
1,01 ppm (s)
1,004 ppm (s)
3H (CH3)
0,93 ppm (m)
0,934 ppm (m)
1H (CH)
0,93 ppm (m)
0,941 ppm (m)
1H (CH)
1,02 ppm (m)
1,024 ppm (m)
1H (CH)
1,09 ppm (m)
1,098 ppm (m)
2H (CH2)
1,11 ppm (m)
1,108 ppm (m)
1H (CH)
1,16 ppm (m)
1,163 ppm (m)
2H (CH2)
1,20 ppm (m)
1,202 ppm (m)
2H (CH2)
1,25 ppm (m)
1,248 ppm (m)
2H (CH2)
1,26 ppm (m)
1,274 ppm (m)
2H (CH2)
1,34 ppm (m)
1,346 ppm (m)
2H (CH2)
1,35 ppm (m)
1,361 ppm (m)
1H (CH)
1,44 ppm (m)
1,375 ppm (m)
2H (CH2)
1,45 ppm (m)
1,456 ppm (m)
1H (CH)
1,48 ppm (m)
1,486 ppm (m)
2H (CH2)
1,51 ppm (m)
1,51 ppm (m)
2H (CH2)
1,57 ppm (m)
1,579 ppm (m)
2H (CH2)
1,66 ppm (m)
1,561 ppm (m)
1H (CH)
2,23 ppm (m)
2,34 ppm (m)
2H (CH2)
3,51 ppm (d)
3,514 ppm (d)
(CH-OH)
5,35 ppm (d)
5,352 ppm (d)
1H (CH)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
52
Kesamaan struktur ini juga diperkuat dengan data lainnya, yaitu data uji titik
leleh. Senyawa F2.D memiliki titik leleh dengan rentang 132-1340C. Berdasarkan
pustaka, sebelumya telah dilaporkan bahwa titik leleh β-sitosterol adalah
1330C (Woldeyes, et al., 2012) Dari data di atas dapat diperkirakan bahwa
senyawa F2.D adalah senyawa β-sitosterol.
β-sitosterol merupakan senyawa golongan triterpenoid yang memiliki
struktur utama yaitu siklopentana perhidrofenantren dengan rumus molekul
C29H50O. Senyawa ini secara alamiah terdapat dalam tumbuhan. Berdasarkan
struktur molekul, senyawa β-sitosterol memiliki 6 gugus metil (CH3), 11 gugus
metilen (CH2), 9 gugus metin (CH), dan adanya satu gugus hidroksil (OH) yang
berperan dalam memberikan aktivitas antioksidan. Berdasarkan pustaka,
β-sitosterol memiliki beberapa aktivitas biologis diantaranya sebagai analgesik,
antiinflamasi, antidiabetes dan antikanker. β-sitosterol juga memiliki aktivitas
antioksidan dengan nilai IC50 389,5 µM (Baskar, et al., 2010).
Gambar 4.4. Struktur Molekul β-sitosterol
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Senyawa fraksi F2.D yang diperoleh dari ekstrak etil asetat tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr diperkirakan adalah senyawa β-sitosterol. Ini
diketahui berdasarkan data infra merah yang menunjukkan adanya gugus fungsi
utama yaitu gugus OH, CH alifatik dan gugus alkena (C=C) yang merupakan ciri
khas dari struktur senyawa β-sitosterol. Ini diperkuat dengan adanya data 1H-RMI,
yang menunjukkan adanya gugus yang khas antara lain, adanya 6 gugus metil
(CH3), gugus metilen yang berikatan dengan ikatan rangkap karbon (C=C˗CH2),
gugus metin yang berikatan dengan gugus hidroksil (CH-OH) dan adanya satu
proton yang berikatan dengan ikatan rangkap karbon (C=CH). Berdasarkan
pustaka, senyawa fraksi F2.D memiliki gugus fungsi yang identik dengan
senyawa β-sitosterol, sehingga dapat diduga bahwa senyawa fraksi F2.D adalah
senyawa β-sitosterol.
5.2 Saran
1.
Perlu adanya data lebih lanjut mengenai penentuan struktur dari senyawa
fraksi F2D, yang meliputi data
13
C-RMI dan RMI dua dimensi (HMBC,
HMQC dan NOESY) sebagai data pendukung dari struktur senyawa F2D.
2.
Perlu dilakukan uji aktivitas antioksidan secara kuantitatif dari senyawa F2D
untuk mengetahui seberapa kuat aktivitas antioksidan dari senyawa tersebut.
3.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai isolasi antioksidan dari
tanaman ini. Karena diketahui masih banyak senyawa antioksidan yang
belum dapat diidentifikasi pada penelitian ini.
4.
Perlu juga dilakukan penelitian mengenai aktivitas farmakologi terhadap
tanaman ini, karena telah diketahui bahwa tanaman ini mengandung senyawa
yang berkhasiat sebagai obat.
53
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
45
DAFTAR PUSTAKA
Aderogba, A, M. Kgatle, T, D. McGaw, J, L. Eloff, N, J. 2011. Isolation of
Antioxidant Constituents from Combretum apiculatum subsp. Apiculatum.
South African Journal of Botany 79.
Adrianingsih, R. 2009. Penggunaan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) Dalam Proses Analisa Ion. Berita Dirgantara Vol.10 No.4.
Allen RG, Tressini M. 2000.Oxidative Stress and Gene Regulation. Free Radical
Biol Med 463-99.
Al-Mutairi, K, S. Al-jasser, S, M. 2012. Effect of Using Rotary Evaporator on
Date Dibs Quality.Journal of American Science 2012.
Andlauer, W. and P. Furst. 1998. Antioxidative Power of Phytochemicals With
Special Reference to Cereals. General Mills, Inc., Minneapolis, Minnesota.
Badami, S., Gupta, M.K., Suresh, B., 2003. Antioxidant Activity of the Ethanolic
Extract of Striga Orobanchioides. Journal of Ethnopharmacology 2852,
Baskar, A, A. Ignacimuthu, S. Paulraj, M, G. Numair, A, S, K. 2010.
Chemopreventive Potential of β-sitosterol In Experimental Colon Cancer
Model–An in Vitro and in Vitro Study. BMC Complementary and
Alternative Medicine, 10:24
Basma, A. A., Zakaria, Z., Latha, Y, L., Sasidharan, S. 2011. Antioxidant Activity
and Phytochemical Screening of the Methanol Extract of Euphorbia hirta
L. Aisan Pasific Journal of Tropical Medicine.
Benjamin A. Manickan V.S. 2007. Medicinal Pterodophyta from Western Ghat.
Indian Journal of Traditional Knowledge.
Blois, M. S,. 1958. Antioxidant Determination By The Use of a Stable Free
Radical, Nature. 181: 1199-1200.
Boveris, A.D., Galatro, A., Sambrotta, L., Ricco, R., Gurni, A.A., Puntarulo, S.,
2001. Antioxidant Capacity of a 3-deoxyanthocyanidin from Soybean.
Phytochemistry 58, 1097–1105.
54
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
55
Brain,
K,
R.
Turner,
T,
B.
1975.
The
Practical
Evaluation
of
Phytopharmaceutical. Wrights Sciencetechnia. Bristol.
Bruneton, J., (1999). Pharmacognosy, Phytochemistry and Medicinal Plants.
Intercept. Ltd. England, U.K.
Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Day,R. A., dan Underwood, A. L., 1999, Analisis Kimia Kuantitatif (Penerjemah
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka, Ph.D.), Penerbit Erlangga, Jakarta, hal:
491.
Dayanti, R. Suyatno. 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bagian
BatangTumbuhan Paku Nephrolepis radicans (burm.) kuhn.UNESA Journal
of Chemistry Vol.1, No. 1.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Droge W. 2002.Free Radicals in the Physiological Control of Cell Function.
Physiol Rev:47-95.
Dudani, S. Chandran, S, M, D. Ramachandra, T, V. 2012. Pteridophytes of
Western Ghats. Energy & Wetland Research group, Center of Ecological
Sciences, Indian Institute of Science, Bangalore – 50 012
Fathima, M. Shantha, N. Rajagovindan, P, N. 2005. Botany, Higher SecondaryFirst Year, Volume 1. Tamilnadu Texbook Coorporation.
Gandjar, I, G. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Hal: 353-367.
Gocan, s. 2002. Stationary Phases for Thin-Layer Chromatography. Journal of
Chromatographic Science, Vol. 40.
Goldberg, G. 2003. Plants: Diet and Health. I Owa State Press, Blackwell
Publishing Company, 2121 State Avenue, Ames, USA.
Gordon, M. H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in vitro. Di dalam :
Hudson, B. J. F. (ed). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science,
London.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
56
Gritter, R, J; Bobbit, M, J; Schwarting, E, A. Introduction to Chromatography
(Pengantar Kromatografi), Edisi Kedua. Penerjemah kosasih Padmawinata.
Bandung: Penerbit ITB.
Hanja. Sharma R. 2012.Assessment of Antibacterial Properties of the fern
Nephrolepis tuberosa. International jornal pf Biology, Pharmacy and Allied
Sciences.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih P., Soediro Iwang. Bandung: Penerbit
ITB.
Heinrich, M. Barnes, J. Gibbons, S. Williansom, M, E. Fundamental of
Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia: Penerbit Elsevier.
Hisham, N, M, D. Lip, M, J. Suri, R. Shafit M, H. Kharis, Z. Shazlin, K. Normah,
A. Nabilah, N, F, M. 2012. Argowaste: Phytosterol from Durian Seed.
World Academy of Science, Engineering and Technology.
Hostettman, K; Hostettman, M; Maerston. 1995. Preparative Chromatography
Technique:Application in Natural Product Isolation. Cara Kromatografi
preparatif: Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam (diterjemahkan Oleh
Kosasih P) Bandung: Penerbit ITB.
Isnindar. Wahyuono, S. Setyowati, P, E. 2011. Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Antioksidan Daun Kesemek (diospyros kaki thunb.) Dengan Metode dpph
(2,2-Difenil-1- Pikrilhidrazil). Majalah Obat Tradisional, 16(3).
Ja, K., Sharma R. , 2012. Assesment of Antibacterial Properties of the Ferns
Nephrolepis tuberosa. IJBPAS, November, 2012, 1(10): 1524-1529
Kamboj, A. Saluja, K, A. 2010. Isolation of Stigmasterol and β-sitosterol from
Petroleum Ether Extract of Aerial Parts of Ageratum Conyzoides
(Asteraceae). International Journal of Pharmaceutical Sciences. Vol 3, issue
2011.
Khopkar, S, M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.
Komala, I. 2012.Laporan Penelitian Individu. uji aktivitas antioksidan tumbuhan
paku Indonesia.Program Studi Farmasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
57
Kumari, K. P. S., Sridevil. V., Lakshmi. C. V. V. M. 2012. Studies on
Phytochemical Screening of Aqueousextract Collected from Fertilizers
Affected Two Medicinal Plants. Journal of Chemical, Biological and
Physical Sciences. Vol.2.No.3, 1326-1332.
Lai, Y, H. Lim Y, Y. 2011. Evaluation of Antioxidant Activities of the Methanolic
Extracts of Selected Ferns in Malaysia. International Journal of
Environmental Science and Development, Vol. 2, No. 6.
Lee, Y, J. Yon, W, J. Kim, T, C. Lim, T, S. 2004. Antioxidant Activity of
Phenylpropanoid
Esters
Isolated
and
Identified
from Platycodon
grandiflorum A. DC. Journal Phytochemistry. Elsevier.
Lu, Y., Foo, Y., 2001. Antioxidant activities polyphenols from sage (Salvia
officinalis). Food Chemistry 75,Badami, S., Gupta, M.K., Suresh, B., 2003.
Antioxidant activity of theethanolic extract of Striga orobanchioides.
Journal of Ethnopharmacology2852, di dalam, Lee, Y, J. Yon, W, J. Kim, T,
C. Lim, T, S. 2004. Antioxidant activity of Phenylpropanoid Esters Isolated
and
Identified
from
Platycodon
grandiflorum
A.
DC.
Journal
Phytochemistry. Elsevier.
McNair, M, H; Miller, M, J. 1998. Basic Gas Chromatography. New York: John
Wiley & Son.
Miller, H. E., F. Rigelholf, L. Marquart, A. Prakash, M. Kanter. 2000. Antioxidant
Content of Whole Grain Breakfast Cereals, Fruits and Vegetables. Journal
of The American College of Nutrition. Vol. 19. No. 3.
Molyneux, P., 2004, The Use of DPPH to Estimate Antioxidant Activity, J.Sci.
Tecnol, 26 (2)
Muchtadi,
D.
2000.
Sayur-sayuran
Sumber
Serat
dan
Antioksidan:
MencegahPenyakit Degeneratif. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ncube NS, Afolayan AJ, Okoh AI. Assessment Techniques of Antimicrobial
Properties of Natural Compounds of Plant Origin: Current Methods and
Future Trends. African Journal of Biotechnology 2008; 7 (12):
Nugroho, B. W., Dadang, & Prijono, D. ńλλλ. “Pengembangan dan Pemanfaatan
Insektisida Alami”. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, IPB. Bogor..
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
58
Pavia, l, D. Lampman, M, G. Kriz, S, G. 2001. Introduction To Spectroscopy,
Third Edition. Departement of Chemistry Western Washington University
Bellingham, Washington.
Pers., 2010. Lokakarya Nasional Tanaman Obat Indonesia. Pusat Informasi
Kehutanan Republik Indonesia.
Pooja. 2004. Pterrdophyta Discovery Publishing House. India: di dalam, Komala,
I. 2012. Uji Aktivitas Tumbuhan Paku Indonesia. Program Studi Farmasi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Prakash, A. Rigelhof, F. Miller, E. 2001. Activity Antioxidant. Medallion
Laboratories.
Proctor PH, Reynolds ES. 1984. Free Radicals and Diseas In Man. Physiol Chem
Phys Med:175-95.
Rashid, A. Qureshi, Z, M. Raza, A, S. William, J. Arsyad, M. Quantitative
Determination of Antioxidant Potential of Artemisia Persica. Analele
Universită ii din Bucuresti–Chimie (serie nouă), vol ńλ no. ń.
Rates, K, M, S. 2001.Plants As Source Of Drugs. Toxicon 39.
Rosenthal GA, 1991. The Biochemical Basis For the Deleterious Effects of L
Canavanine. Phytochemistry: di dalam, M, Mazid., TA, Khan., F,
Muhammad. 2011. Role of Secondary Metabolites in Defense Mechanisms
Of Plants. Biology and Medicine, 3 (2) Special Issue:
Sarker, D, S. Latif, Z. Gray, I, A. 2006. Natural Product Isolation. Second
Edition. Humana Press. Totowa, New Jersey.
Sastrohamidjojo, H., 2005, Kromatografi. Penerbit Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta.
Schafer H, Wink M, 2009. Medicinally Important Secondary Metabolites in
Recombinant Microorganisms or Plants: Progress in Alkaloid Biosynthesis.
Biotechnology Journal.
Sen, A. Dhavan, P. Shulka, K, K. Singh, S. Tejovathi, G. 2012. Analysis of IR,
NMR and Antimicrobial Activity of β-sitosterol Isolated from Momordica
charantia. Science Secure Journal of Biotechnology, Volume 1, Issue 1.
Siems, K., Weigt F. Wollenweber. E. 1996. Dimarines from the Epicuticular Wax
of the Fern Nephrolepis biserrata. Phytochemistry 41.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
59
Simanjuntak, P., T. Parwati, L. E. Lenny, S. Tamat, R. Murwani. 2004. Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Benalu Teh, Scurrula
oortiana (Korth) Danser (Loranthaceae). Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia ISSN 1693-1831, Vol. 2 No. 1.
Soeder, R, W. 1985. Fern Constituens: Including Occurrence, Chemotaxonomy
and Physiological Activity. The Botanical Riview 51 (4), 442-536.
Soesilo, Slamet, Drs. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Departemen
kesehatan Republik Indonesia.
Sosińska, E. Przybylski, R. Hazendonk, P. Zhao, Y, Y. Curtis, M, J. 20ń3.
Characterisation of Non Polar Dimers Formed During Thermo Oxidative
Degradation of β-sitosterol. Food Chemistry. 464-474
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah :
Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Sudjadi, M,S., 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Penerbit Ghalia,
Indonesia, Jakarta.
Sumarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, Bagian Kimia Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Supari, F. 1996. Radikal Bebas dan Patofisiologi Beberapa Penyakit.
ProsidingSeminar
Senyawa
Radikal
dan
Sistem
Pangan:
Reaksi
Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama
Pusat StudiPangan dan Gizi-IPB dengan Kedutaan Besar Prancis, Bogor.
Surai, P. F. 2003. Natural Antioxidant in Avian Nutrition and Reproduction.
Bookcraft, Bath, England.
Tiwari, P. Kumar, B. Kaur, M. Kaur, G. Kaur, H. 2011. Phytochemical Screening
and Extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. Vol. 1.
Issue. 1.
Townshend, A. 1995. Encyclopedia of Analytical Science, Vol. 2. London:
Academic Press Inc.
Verpoorte, R. Kim, K, H. Choi, Y, H. 2006. Plants As Source of Medicines.
Amsterdam.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
60
Waller, R, G. Mangiafico, S. Richey, R, C. 1978. A Chemical Investigation of
Aloe
barbadensis
Miller.Department
of
Biochemistry,
Oklahoma
Agricultural Experimental Station, Oklahoma State University, Stillwater,
Oklahoma
Wang, S. Y., Y. H. Kuo, H. N. Chang, P. L. Kang, H. S. Tsay, K. F. Lin, N.
S.Yang, L. F. Shyur. 2002. Profiling and Characterization Antioxidant
Activities in Anoectochilus formosanus Hayata. Journal of. Agricultural
and. Food Chemistry. 50.1859-1865.
Watson, D, G. 2009. Analisis Farmasi : buku ajar untuk mahasiswa farmasi dan
praktisi kimi farmasi. Penerjemah: Winny R. Syarief, Edisi kedua. Jakarta:
EGC.
Woldeyes, S. Adane, L. Triku, Y. Muleta, D. Begashaw, T. 2012. Evaluation of
Antibacterial Activities of Compounds Isolated from Sida rhombifolia
Linn. (Malvaceae). Natural Products Chemistry & Research.Department of
Chemistry, Jimma University, Jimma, Ethiopia
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
61
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
62
Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata
Sampel daun segar
Nephrolepis falcata
(10,1 kg)




Disortasi
Dicuci
Dikeringkan
Dihaluskan
Serbuk kering daun
Nephrolepis falcata
(1,256 kg)
 Maserasi dengan 4,5 liter n-heksana
 Disaring
 Dievaporasi
Ekstrak n-heksana
(20 gram)
Uji pola KLT dan uji kualitatif
aktivitas antioksidan dengan DPPH
Ekstrak etil asetat
(40 gram)
Ampas
 Remaserasi dengan 4,5
liter etil asetat
 Disaring
 Dievaporasi
Ampas
Uji pola KLT dan uji kualitatif
aktivitas antioksidan dengan DPPH
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
63
LAMPIRAN 3 Uji Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Etil Asetat dan n-Heksana
Nephrolepis falcata.
A
B
A
A
B
B
Keterangan: Gambar A: Kromatografi lapis tipis (A) ekstrak etil asetat,
(B)
ekstrak
n-heksana,
fase
gerak
n-heksana:etil asetat dengan perbandingan 6:4.
Gambar B: Kromatografi lapis tipis (A) ekstrak etil asetat,
(B)
ekstrak
n-heksana,
fase
gerak
n-heksana:etil asetat dengan perbandingan 8:2
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
64
Lampiran
4.
Bagan
Isolasi
Senyawa
Aktif
Antioksidan
Tumbuhan
Paku
Nephrolepis falcata
Ekstrak etil asetat 32 gram, dipreadsorbsi
dengan 15 gram silika gel
Kromatografi kolom I
 Silika gel 250 gram
 Fase gerak n-heksana:etil asetat
 Total 206 fraksi
F1.A
(14)
F1.E
(53-67)
F1.C
(26-34)
.
F1.B
(15-25)
F1.D
(35-52)
F1.G
(76-97)
F1.F
(68-75)
F1.K
(185-188)
F1.I
(114-132)
F1.H
(98-113)
F1.J
(133-184)
F1.L
(189-206)
Uji aktivitas antioksidan
dengan DPPH
F1.A
(14)
Kromatografi kolom II
 Silika gel 40 gram
 Fase gerak n-heksana:etil asetat
 Total 128 fraksi
F2.A
(46-50)
(Kristal, 5 mg)
F2.B
(51-52)
F2.C
(56-70)
F2.D
(71-90)
(Kristal, 20 mg
F2.E
(91-98)
F1.F
(99-128)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
65
LANJUTAN ISOLASI SENYAWA ANTIOKSIDAN
F2.A
(46-50)
(kristal, 5mg)
F2.C
(56-70)
F2.B
(51-52)
F2.D
(71-90)
(kristal, 20 mg)
F2.E
(91-98)
F1.F
(99-128)
Uji aktivitas antioksidan
dengan DPPH
F2.A
(46-50)
Kromatografi kolom III
 Silika gel 10 gram
 Fase gerak n-heksana:etil asetat
 Total 196 fraksi
F3.A
(30-47)
F3.B
(48-61)
F3.C
(62-77)
F3.D
(78-93)
F3.E
(93-110)
Uji aktivitas antioksidan
dengan DPPH
F3.C
(kristal, 80 mg)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
66
LANJUTAN ISOLASI SENYAWA ANTIOKSIDAN
F2.D
(kristal, 20 mg)
F2.A
(kristal, 5 mg)
F3
(kristal, 80 mg)
Pemurnian
senyawa
Uji aktivitas antioksidan dengan
DPPH
F2.D
(kristal, 20 mg)
Uji kemurnian
KLT 2D
KCKT
Titik leleh
Penentuan struktur
molekul
IR
UV-Vis
1
H-RMI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
67
Lampiran.5. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan KCKT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
68
Lampiran 6. Hasil analisis senyawa fraksi F2.D dengan UV-Visible
max = 23λ.0 nm
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
69
Lampiran7. Hasil spektrum IR senyawa fraksi F2.D
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
70
Lampiran 8. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa Fraksi F2.D
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
71
Lampiran 9. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
72
Lampiran 10. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa fraksi F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
73
Lampiran 11. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa fraksi F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
74
Lampiran 12. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa Fraksi F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
75
Lampiran 13. Hasil spektrum 1H-RMI senyawa fraksi F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
76
Lampiran 14. Hasil Spektrum 1H-RMI Senyawa Fraksi F2.D (Diperbesar)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
77
Lampiran 15. Spektrum 1H-RMI Senyawa β-Sitosterol (Hisham, et al., 2012)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Download