BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah suatu perundang-undangan yang berlaku dalam lingkup nasional. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka daerah mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan yang berada di wilayah lautnya. Dalam hal ini batas daerah di laut menjadi bernilai strategis sehingga penentuan dan penegasan batas daerah di laut juga menjadi semakin penting (Abidin, 2001). Namun pada kenyataannya, UU No.22/1999 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No.22/1999 rawan terjadi salah interpretasi oleh daerah karena UU tersebut menyatakan bahwa provinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai (Pasal 3). Ini adalah definisi membagi “teritori” bahwa ada laut provinsi dan laut kabupaten/kota sehingga dapat memicu konflik perebutan sumber daya alam di laut. Padahal yang dimaksud adalah mengatur kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini kemudian disempurnakan dalam UU No.32/2004 Pasal 18 dengan menyebutkan istilah ”kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut”. Kewenangan ini hanya berlaku untuk mengelola sumber daya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut seperti kekuasaan daerah atas wilayah darat (Arsana, 2005). 7 UU No.32/2004 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut pada provinsi paling jauh 12 mil laut diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sepertiganya untuk wilayah kewenangan laut kabupaten/kota. Ditegaskan di sini bahwa tidak disebutkan 4 mil laut untuk kewenangan laut kabupaten/kota mengingat tidak mungkin bagi kabupaten /kota mengklaim selebar 4 mil laut apabila provinsinya juga tidak bisa mengklaim wilayah laut secara penuh hingga 12 mil laut (makna Pasal 18 ayat 5). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka sangat penting bagi pemerintah daerah masing-masing provinsi dan kabupaten/kota sebagai pelaksana utama otonomi untuk memahami, mengatur, dan menetapkan wilayah kewenangannya di laut. Hal ini berkaitan erat dengan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di laut agar dapat dikelola secara maksimal (Arsana, 2005). Agar seluruh pekerjaan penentuan batas wilayah dilaksanakan secara optimal, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan petunjuk teknis yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 (Permendagri No.1/2006) tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah” yang mengacu kepada UU No.32/2004. Pedoman inilah yang akan dijadikan petunjuk teknis terbaru di dalam pekerjaan penetapan batas daerah di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut, maka setiap provinsi dan kabupaten/kota yang belum dan akan menentukan batas kewenangan di wilayah laut, harus berpedoman pada Permendagri No.1/2006. Di bawah ini dijelaskan lebih lanjut mengenai dasar hukum penentuan batas laut daerah tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006. 2.1.1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini merupakan UU terbaru yang menggantikan UU No.22/1999 yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun pasal dalam UU No.32/2004 yang berkaitan tentang penegasan batas laut antara lain yaitu : 8 a.Pasal 18 ayat 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. b.Pasal 18 ayat 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dan/atau di dasar laut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. c.Pasal 18 ayat 3. Kewenangan mengelola yang dimaksud pada ayat 1 meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut; Pengaturan administratif; Pengaturan tata ruang; Penegakan hukum; Ikut serta memelihara keamanan; Ikut serta mempertahankan kedaulatan negara. d.Pasal 18 ayat 4. Batas kewenangan paling jauh bagi provinsi adalah 12 mil, sementara untuk kabupaten/kota adalah sepertiganya. e.Pasal 18 ayat 5. Apabila jarak antar provinsi kurang dari 24 mil, maka kewenangan mengelola dibagi sama jarak atau dengan prinsip garis tengah (median line) untuk kabupaten/kota adalah sepertiga kewenangan provinsi. 2.1.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 Permendagri No.1/2006 tentang “Pedoman Penegasan Batas Daerah” ini merupakan petunjuk teknis untuk penegasan batas yang mengacu pada UU No. 32/2004. Pasal-pasal pada Permendagri No.1/2006 yang terkait tentang penetapan batas laut antara lain : a.Pasal 1 ayat 6. Batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dan daftar koordinat di peta yang dalam implementasinya merupakan batas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut. b. Pasal 1 ayat 10. Pelacakan batas daerah di laut adalah kegiatan untuk menentukan letak batas di laut berdasarkan kesepakatan dan penentuan lokasi titik acuan. c. Pasal 1 ayat 11. Titik acuan adalah titik yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan posisi titik awal. d.Pasal 1 ayat 12. Titik awal adalah titik koordinat yang terletak pada garis pantai dan ditetapkan sebagai titik untuk menentukan garis dasar. e. Pasal 1 ayat 13. Garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan. 9 f. Pasal 15 ayat 2. Pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi : 1. Batas antara dua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berdampingan , diukur mulai dari titik batas sekutu pada garis pantai antara kedua daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota ke arah laut yang ditetapkan berdasarkan prinsip sama jarak. 2. Batas antara dua daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 24 mil laut , diukur berdasarkan prinsip garis tengah. 3. Batas antara dua daerah kabupaten dan daerah kota dalam satu daerah provinsi yang saling berhadapan dengan jarak kurang dari 8 mil laut, diukur berdasarkan prinsip garis tengah. 4. Batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut , diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. 2.2 Aspek Teknis Penetapan Batas Laut Daerah Berdasarkan aspek hukum penetapan batas laut daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai aspek teknis dalam pekerjaan penetapan batas laut. Dimana aspek teknis yang akan dijelaskan berikut adalah aspekaspek geodesi. 2.2.1 Garis Pantai dan Garis Air Rendah Garis pantai adalah garis batas antara laut dan darat. Dalam kamus hidrografi IHO (1970) disebutkan bahwa garis pantai adalah garis pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Secara periodik tinggi permukaan air laut selalu berubah, sehingga terdapat dua variasi yang ekstrim, yaitu bentuk garis pantai pada saat pasang tinggi dan pada surut 10 rendah. Garis pantai yang teridentifikasi secara visual di lapangan saat survei dilakukan adalah perpotongan bidang permukaan air sesaat terhadap topografi pantai. Garis pantai yang tergambar di atas peta adalah perpotongan antara topografi pantai dengan kedudukan tertentu tinggi muka laut yang ditetapkan sebagai bidang referensi vertikal. Penggunaan garis air tinggi rata-rata, garis air tertnggi atau garis air terendah sebagai bidang permukaan laut yang dipotongkan dengan topografi pantai akan sangat tergantung dari aplikasi surveinya, antara lain untuk penetapan batas wilayah, pembuatan peta navigasi atau peta perencanaan wilayah. Dalam tugas akhir ini, garis pantai diperlukan untuk menetapkan batas wilayah Kabupaten Selayar. Berdasarkan Permendagri No.1/2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah dalam Pasal 1 ayat 13, dinyatakan bahwa garis pantai adalah garis yang dibentuk oleh perpotongan garis air rendah dengan daratan. Garis air rendah didefinisikan sebagai perpotongan bidang permukaan air laut rendah dengan pantai. Dengan kata lain, garis air rendah adalah suatu garis sepanjang pantai atau tepi laut dimana permukaan air laut berada saat kedudukan air terendah. Secara praktis bidang pertemuan tersebut diwakili oleh muka surutan peta atau chart datum (Djunarsjah, 1998). Chart datum digunakan sebagai referensi kedalaman suatu titik. Selanjutnya bidang referensi kedalaman tersebut disebut datum vertikal. Dalam UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, garis air rendah didefinisikan sebagai garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah. Penetapan garis air rendah secara teliti merupakan pekerjaan yang rumit karena pertemuan antara daratan dan lautan pada dasarnya bukan merupakan suatu bidang yang tetap (Djunarsjah, 2003). Kedudukan garis air rendah yang selalu berubah tersebut disebabkan oleh adanya dinamika muka laut dan perubahan daratan akibat dari pengaruh astronomis dan non astronomis. Dalam prakteknya, garis air rendah ditunjukkan dengan ciri-ciri yang mudah dikenal pada peta, misalnya pinggir pulau. Adanya faktor skala pada peta, menyebabkan perbedaan yang sangat kecil antara garis air rendah dengan garis air tinggi pada saat pasang, sehingga kedua garis dapat digambarkan berimpit. Ilustrasi mengenai garis air rendah dan garis air tinggi dapat dilihat pada gambar 2.1 11 Muka Air Tinggi Garis Air Tinggi Muka Laut Rata-rata Muka Air Rendah Garis Air Rendah Gambar 2.1 Garis air rendah dan garis air tinggi 2.2.2 Titik Acuan (Reference points) dan Titik Awal (Basepoints) Titik Acuan adalah titik yang digunakan sebagai referensi untuk menentukan posisi titik-titik awal. Dalam proses penetapan dan penegasan batas di laut, hanya titiktitik acuan yang direpresentasikan di daerah pantai dengan suatu pilar atau tugu. Sementara titik awal dan titik batas laut tidak ditandai dengan pilar atau tugu karena selalu berada di bawah permukaan laut. Titik Awal atau Titik Pangkal merupakan titik-titik yang mempunyai koordinat geografis yang dapat digunakan untuk membentuk suatu Garis Dasar dimana batas laut suatu daerah akan ditentukan. Dalam hal ini titik awal menjadi penting karena sebagai dasar dalam penetapan suatu garis dasar. Dalam penetapan batas laut antara dua daerah yang bertetangga, penentuan titik awal merupakan hal yang sangat penting, karena hal ini menjadi dasar dalam penarikan garis dasar dari kedua daerah yang bersangkutan. Titik awal tidak dapat terlihat secara fisik di lapangan karena tidak diberi tanda fisik. Titik awal terletak pada air rendah, dan air rendah itu sendiri terletak di bawah permukaan air laut. Tetapi posisi titik awal dapat diketahui atau direkonstruksi dengan bantuan alat pengukur terhadap titik-titik acuan atau titik referensi dengan menentukan asimut dan jaraknya. 12 2.2.3 Garis Dasar (Baselines) Garis Dasar atau Garis Pangkal adalah acuan awal untuk menentukan batas wilayah laut suatu daerah. Dalam kaitannya dengan penentuan batas laut suatu negara pantai, dimana tertera dalam UNCLOS 1982 pasal 5, disebutkan bahwa pengertian garis pangkal adalah mengacu kepada suatu garis yang menghubungkan titik-titik terluar yang diukur pada kedudukan Garis Air Rendah (Low Water Line) sepanjang pantai yang ditunjukkan pada peta skala besar resmi dari suatu negara pantai. Dimana dari garis dasar ini lebar laut suatu daerah akan ditentukan. Pada dasarnya dalam UNCLOS 1982 dikenal beberapa macam garis dasar atau garis pangkal, antara lain: • Garis Dasar Normal (Normal Baseline) • Garis Dasar Lurus (Straight Baseline) • Garis Penutup (Closing Line) • Garis Dasar Kepulauan (Archipelagic Baseline) UNCLOS 1982 memberikan kebebasan kepada setiap negara pantai untuk menentukan garis dasar yang akan digunakan untuk menetapkan batas wilayah perairan negaranya. Dalam hal penentuan batas laut antara dua daerah, maka diperlukan kesepakatan mengenai penentuan garis dasar diantara daerah yang bersangkutan. Berikut ini akan diberikan penjelasan terperinci mengenai masing masing garis dasar tersebut. A. Garis Dasar Normal (Normal Baseline) Menurut UNCLOS 1982 (pasal 5, 6,11, dan 13) garis dasar normal didefinisikan sebagai garis air rendah sepanjang tepian daratan dan sekeliling pulau, atol, dan batas instalasi pelabuhan permanen yang ditandai dengan simbol yang sesuai pada peta laut skala besar. Ilustrasi dari garis dasar normal dapat dilihat pada gambar 2.2 13 Gambar 2.2 Garis Dasar Normal B. Garis Dasar Lurus (Straight Baseline) Garis Dasar Lurus merupakan alternatif lain dalam cara penarikan garis dasar dimana dalam kondisi geografi tertentu, tidak dimungkinkan untuk menarik garis dasar normal. Garis dasar lurus ini merupakan garis-garis lurus yang menghubungkan titik tertentu pada garis air rendah sepanjang pantai. Titik-titik tertentu tersebut dikenal sebagai titik-titik belok dari garis dasar lurus atau titik-titik awal. Adapun ketentuan-ketentuan tentang Garis Dasar Lurus ini dimuat dalam pasal 7 UNCLOS 1982, yang pengaturannya antara lain sebagai berikut: 1. Di tempat tempat dimana garis pantai menjorok jauh dan menikung ke dalam, atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis dasar darimana lebar laut wilayah diukur. 2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis dasar lurus tersebut akan tetap berlaku sampai diubah oleh negara pantai. 14 3. Penarikan garis dasar lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pantai, dan zona zona maritim yang terletak di dalam garis dasar demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. 4. Garis dasar lurus tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali jika diatasnya didirikan mercusuar atau bangunan permanen lainnya yang selalu timbul di atas permukaan laut, atau kalau secara umum penggunaannya sudah disepakati secara internasional. Ilustrasi dari garis dasar lurus dapat dilihat pada gambar 2.3 Gambar 2.3 Garis Dasar Lurus Dalam menetapkan panjang garis dasar lurus yang akan digunakan untuk penetapan batas wilayah laut daerah dapat ditetapkan jarak maksimum garis dasar lurus adalah 12 mil laut. Hal yang dapat dijadikan alasan atas disarankannya dalam pemilihan 12 mil laut tersebut adalah diterapkan untuk mendapatkan batas maksimum garis batas yang dapat diklaim oleh daerah di wilayah laut , yaitu batas wilayah laut propinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis dasar ke arah laut lepas dan perairan kepulauan. 15 C. Garis Penutup (Closing Line) Pada prinsipnya garis penutup merupakan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik pada muara sungai, teluk, instalasi pelabuhan dan sebagainya yang panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Terdapat dua macam garis penutup, yaitu: a. Garis Penutup Sungai Dalam pasal 9 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa apabila terdapat suatu sungai mengalir langsung ke laut, maka garis pangkal yang ditarik adalah suatu garis lurus yang melintasi mulut sungai atau muara sungai antara titik-titik pada garis air rendah kedua tepi sungai. Ilustrasi dari garis penutup sungai dapat dilihat pada gambar 2.4 Gambar 2.4 Garis Penutup Sungai b. Garis Penutup Teluk Ketentuan mengenai garis penutup teluk dalam UNCLOS 1982 diatur pada pasal 10. Menurut UNCLOS 1982 tersebut, teluk didefinisikan sebagai suatu lekukan pantai, dimana luasnya sama atau lebih luas dari luas setengah lingkaran yang mempunyai garis tengah yang melintasi mulut lekukan tersebut. Dalam penentuan garis penutup teluk, perlu diperhatikan dua kriteria sebagai berikut: 16 • UNCLOS 1982 hanya memperbolehkan garis penutup pada teluk yang diakui baik secara historis maupun secara yuridis, menjadi bagian dari suatu negara pantai. • Daerah teluk yang akan ditarik garis pangkalnya harus dilakukan pengujian secara matematis dengan metode setengah lingkaran. Ilustrasi dari garis penutup teluk dapat dilihat pada gambar 2.5 Gambar 2.5 Garis penutup Teluk Pengujian dengan metode setengah lingkaran dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan kedua titik masuk alamiah (natural entrance point). Kedua titik tersebut harus terletak pada kedudukan air rendah, kemudian dilakukan penghitungan luas dengan rumus setengah lingkaran (A2) dan luas perairan bila ditarik garis penutupnya (A1). Kategori teluk ialah apabila luas hitungan setengah lingkaran lebih kecil dibanding luas perairan teluk. Penarikan garis penutup teluk tidak boleh melebihi 24 mil laut. 17 Gambar 2.6 Konfigurasi pantai yang merupakan teluk Dari gambar 2.6 di atas, dapat dilihat bahwa: A1 = Luas perairan yang dibatasi oleh garis air rendah dengan garis penutup teluk. A2 = Luas setengah lingkaran yang berdiameter sepanjang garis penutup teluk. Karena A1 > A2, maka bentuk konfigurasi pantai di atas merupakan suatu teluk. Gambar 2.7 Konfigurasi pantai yang bukan berupa teluk 18 Dari gambar 2.7 di atas, dapat dilihat bahwa: A1 = Luas perairan yang dibatasi oleh garis air rendah dengan garis penutup teluk. A2 = Luas setengah lingkaran yang berdiameter sepanjang garis penutup teluk. Karena A2 > A1, maka bentuk konfigurasi pantai di atas bukan merupakan suatu teluk. D. Garis Dasar Lurus Kepulauan (Archipelagic Baseline) Garis dasar lurus kepulauan didefinisikan sebagai garis dasar lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau atau karang-karang terluar. Untuk lebih jelasnya, garis dasar lurus kepulauan diperlihatkan pada gambar 2.8 Gambar 2.8 Garis Dasar lurus Kepulauan Dalam peraturan UNCLOS, garis dasar lurus kepulauan hanya dapat diterapkan oleh suatu negara kepulauan yang memenuhi kriteria-kriteria serta kondisi geografi yang sesuai dengan ketentuan ketentuan UNCLOS 1982. Adapun ketentuan-ketentuan tentang garis dasar kepulauan ini dimuat dalam pasal 47 UNCLOS 1982 yaitu antara lain: 1. Suatu negara kepulauan dapat menarik garis dasar kepulauan apabila perbandingan antara wilayah perairan dan wilayah daratannya adalah antara 1 : 1 sampai dengan 9 : 1. 19 2. Panjang dari setiap garis dasar kepulauan tidak boleh lebih dari 100 mil laut, kecuali 3 % dari jumlah seluruh garis dasar boleh mencapai panjang maksimal 125 mil laut. 3. Garis dasar kepulauan tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut (Low Tide Elevation), kecuali kalau di tempat tersebut sudah didirikan mercusuar atau bangunan permanen lainnya yang selalu timbul di atas permukaan laut, atau kalau elevasi surut tersebut masih dalam kawasan Laut Wilayah dihitung dari pulau terdekat. 2.2.4 Satuan Jarak (Unit Of Distance) Satuan jarak yang umum digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah perairan yang diukur dari garis dasar adalah mil laut (nautical mile). Satuan mil laut didefinisikan sebagai suatu panjang busur meridian yang membentuk sudut satu menit ( 1’) pada titik pusat lengkungan meridian. Pada tahun 1929, IHO sepakat untuk menetapkan satuan panjang standar dan berlaku umum yaitu 1 mil laut sama dengan 1852 meter. 2.2.5 Penentuan Garis Batas Daerah di Laut Penentuan garis batas daerah ke arah laut lepas dan kepulauan dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan batas batas wilayah daerah yang memiliki pantai yang bebas, pantai yang berdampingan, pantai yang berhadapan, batas daerah terhadap pulaunya di luar garis batas dan batas daerah dengan negara tetangga. 2.2.5.1 Pantai yang Bebas Untuk pantai yang bebas, pengukuran batas sejauh 12 mil laut untuk batas wilayah laut daerah provinsi dan 4 mil laut untuk batas wilayah kabupaten dan kota dari garis dasar lurus, pengukuran garis batasnya dapat dilakukan seperti dijelaskan pada gambar 2.9 20 Gambar 2.9 : Pengukuran Batas pada Pantai yang bebas Garis yang menunjukkan batas wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota ditentukan berdasarkan garis dasar atau garis pangkal. Pada kondisi yang memungkinkan, garis batas wilayah ditarik sejajar dengan garis dasar yang diperoleh dengan cara diukur tegak lurus dari garis dasar sejauh 12 mil laut untuk wilayah laut provinsi dan 4 mil laut untuk wilayah laut daerah kabupaten dan kota. 2.2.5.2 Pantai Daerah yang Saling Berdampingan Batas wilayah laut dari dua daerah yang saling berdampingan, ditetapkan dengan garis tegak lurus pada garis dasar ditarik dari titik batas antara 2 daerah di darat, dan ditetapkan berdasarkan prinsip garis tengah (median). Garis tengah merupakan garis yang titik-titiknya mempunyai jarak yang sama terhadap titik-titik terdekat pada garis dasar kedua daerah yang berdampingan tersebut. Pengukuran batas bersama daerah berdampingan dapat dilihat pada gambar 2.10 21 Gambar 2.10 Penarikan garis tengah pada daerah yang berdampingan Cara penarikan garis tengah pada gambar di atas adalah sebagai berikut: 1. Sebuah garis tegak lurus terhadap garis pantai ditarik atau kemiringan garis pantai ditarik berdasarkan titik 1. Garis tersebut merupakan perpanjangan dari garis batas wilayah daerah di darat. 2. Titik 2 ditentukan sedemikian rupa dimana jarak titik 2 ke titik 1 ( garis 12 ) dan titik 2 ke titik awal terdekat salah satu daerah adalah sama. Dari gambar tersebut titik awal yang terdekat adalah titik c yang terdapat pada daerah B. 3. Titik 3 berada pada garis dimana titik titik sepanjang garis tersebut mempunyai jarak yang sama terhadap titik c dan titik 1. Titik 3 yang merupakan titik tengah berikutnya ditentukan sedemikian rupa, dimana jarak titik 3 ke titik 1, titik 3 ke titik c, dan titik 3 ke titik a adalah sama. 4. Selanjutnya diperoleh titik 4 dan titik 5 dengan cara yang sama, sehingga garis garis yang dihasilkan akan membentuk garis tengah. 22 2.2.5.3 Pantai Daerah yang Saling Berhadapan Untuk kondisi dimana dua daerah yang mempunyai pantai yang berhadapan, akan terdapat masalah dalam penentuan batas wilayah perairannya apabila jarak antar kedua provinsi kurang dari 24 mil laut atau antar kabupaten/kota kurang dari 8 mil laut, karena apabila wilayah perairan yang demikian ditentukan secara normal, maka akan salling tumpang tindih. Oleh karena itu penarikan garis batas wilayah untuk kasus demikian didasarkan pada prinsip garis tengah. Gambar 2.11 Penarikan garis tengah pada daerah yang berhadapan Cara penarikan garis tengah pada gambar 2.11 di atas adalah sebagai berikut : 1. Dari titik awal 1 ke titik awal 2 ditarik sebuah garis lurus. Pada garis tersebut ditentukan titik tengahnya dan ditarik garis tegak lurus dengan garis 12. 2. Titik-titik yang berada pada garis tegak lurus tersebut mempunyai jarak yang sama ke titik 1 dan titik 2. Pada garis sumbu tersebut ditentukan titik A sedemikian rupa dimana titik A tersebut mempunyai jarak yang sama terhadap titik 1, 2, dan 4. Maka garis a yang didapat adalah garis sama jarak. 3. Titik tengah berikutnya yaitu titik B diperoleh dengan menarik garis sama jarak b yaitu memiliki jarak yang sama ke titik 1,3, dan 4. 23 4. Dengan cara yang sama ditentukan titik-titik tengah berikutnya. Garis yang menghubungkan titik-titik tengah A, B, C dan seterusnya merupakan garis sama jarak. 2.2.5.4 Batas Daerah Terhadap Pulaunya di Luar Garis Batas Untuk mengukur batas wilayah laut pulau kecil yang berada dalam satu daerah provinsi dan jaraknya lebih dari dua kali 12 mil laut, diukur secara melingkar dengan lebar 12 mil laut. Hasil pengukuran dan penentuan batas daerah di wilayah laut dilengkapi dengan daftar koordinat titik batas daerah di wilayah laut. Kemudian untuk wilayah laut kabupatennya diukur sejauh 4 mil laut. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.12 Gambar 2.12 : Penarikan batas daerah terhadap pulaunya di luar garis batas 2.2.6 Peta Batas Daerah Dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah akan membutuhkan suatu peta yang memuat batas-batas wilayahnya. Dalam peta tersebut terdapat data-data dan informasi tentang wilayah daerah tersebut, sehingga dapat dijadikan acuan untuk perencanaan dan pembangunan wilayah sesuai dengan penataan ruang wilayahnya sebagai pedoman dalam pemanfaatan sumber daya alamnya secara optimal. 24 Berbeda dengan batas daerah di darat dimana pemisah antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta, batas daerah di laut adalah pemisah antara daerah yang berbatasan berupa garis khayal (imajiner) di laut dengan dilampirkan daftar koordinat geografis titik batas luarnya di peta. Daftar koordinat geografis titik batas ini adalah daftar posisi titik batas yang ditulis dalam derajat lintang dan bujur. Dalam Permendagri No.1/2006 pasal 17 disebutkan bahwa peta batas daerah berpedoman pada penggunaan skala minimal yaitu 1 : 500.000 untuk peta wilayah daerah propinsi, 1: 100.000 untuk wilayah daerah kabupaten, dan 1: 50.000 untuk wilayah daerah kota. Dalam penentuan batas wilayah laut daerah propinsi, kabupaten dan kota, skala peta yang digunakan disesuaikan dengan berpedoman pada tingkat ketelitian minimal yang digunakan dalam penataan ruang wilayah yang diatur dalam Permendagri di atas. 25