CONTOH NASKAH PUBLIKASI NASKAH PUBLIKASI PRINSIP CABOTAGE DALAM KEGIATAN PENERBANGAN DI INDONESIA Oleh Harry Purwanto Bagian Hukum Internasional No. Kontrak: 1404/H.01.H-FH/N/2014 Unit Penelitian Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2014 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Permasalah Wilayah udara nasional suatu Negara di samping sebagai wilayah pertahanan 1, juga sebagai sumber kekuatan ekonomi Negara, yang pada gilirannya secara tidak langsung sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat.Melalui wilayah udara yang berada di bawah kedaulatannya, Negara dapat memanage wilayah udaranya bagi lintas penerbangan.Pengembangan jalur-jalur penerbangan secara luas, baik dalam lingkup nasional maupun lingkup internasional sangat diperlukan dalam era liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa penerbangan.Liberalisasi perdagangan jasa penerbangan dimaksudkan memperluas akses pasar bagi penyedia jasa asing dan atau mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap penyedia jasa.Dewasa ini perdagangan jasa, khususnya jasa penerbangan telah mendapatkan pengaturan dalam GATS (General Agreement on Trade in Services). Persoalan dalam kegiatan penerbangan tidak semata-mata menyangkut pesawat udara sebagai sarana transportasi udara, namun yang penting adalah masalah wilayah udara yang dilalui atau dimasuki oleh pesawat udara tersebut.Bagi pesawat udara memiliki kebebasan penerbangan dalam wilayah udara bebas, sedangkan bagi pesawat udara yang berada dalam wilayah yang berada di bawah kedaulatan Negara tunduk pada aturan atau hukum nasional Negara yang bersangkutan.Perlu diperhatikan bahwaprinsip kedaulatan memainkan peranan yang penting dalam aktivitas penerbangan. Hal ini seperti yang termuat di Pasal 1 Konvensi Chicago 19442 yang mengatur bahwa ruang udara adalah bersifat utuh dan ekskulsif (complete and exclusive). Konsekuensinya, negara di bawahnya (negara kolong) memiliki hak yang bersifat absolut atas ruang udaranya.Setiap Negara memiliki hak menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh Negara asing. Dengan cara ini suatu Negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk dan 1 Sebagaimana yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2014, bahwa Pakistan telah melakukan serangan udara kepada Taliban demi menjaga keutuhan dan tetap tegaknya Negara Pakistan. 2 Article 1 Chicago Convention 1944, The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. 2 dari wilayahnya.3Hal demikian sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 4 bahwa setiap aktivitas ruang udara haruslah mendapatkan “special permission” dari negara kolong.Pemberian “special permission” terhadap aktivitas penerbangan di ruang udara diberikan kepada setiap aktivitas penerbangan komersial yang bersifat terjadwal yang dilakukan secara bilateral (bilateral agreements) antar negara (Govenment to Government) yang saling mempertukarkan kebebasan di udara (freedom of the air).Guna mewujudkan pertukaran kebebasan di udara dengan tanpa mengurangi eksistensi kedaulatan Negara di ruang udara keberadaan prinsip cabotage menjadi sangat berarti. Awalnya prinsip cabotage muncul dalam kegiatan pelayaran, sehingga merupakan bagian dari hukum laut.Melalui prinsip cabotage dalam hukum laut, Negara pantai dapat melarang kapal-kapal asing untuk berlayar dan berdagang sepanjang pantai dalam wilayah Negara pantai tersebut.Berdasarkan prinsip cabotage, Negara memiliki hak prerogative untuk mengizinkan atau melarang beroperasinya kapal-kapal asing antara dua tempat atau lebih dalam wilayah Negara yang bersangkutan.5 Dalam hukum udara, prinsip cabotage pertama kali mendapatkan pengaturan dalam Konvensi Paris 1919, yaitu Pasal 16. Menurut Pasal 16 tersebut bahwa setiap Negara anggota Konvensi Paris 1919 berhak melarang pesawat udara asing dan mencadangkan untuk keperluan penerbangan nasional pengangkutan penumpang, kargo dan pos dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah. Kemudian prinsip cabotage yang demikian mendapat pengaturan kembali dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.Kemudian dalam perkembangannya, prinsip cabotage tersebut dapat diperjanjikan antar Negara.Hal ini sesuai dengan ciri khas keberadaan lintas penerbangan internasional yang selalu diawali oleh adanya perjanjian bilateral antar Negara. 3 E.Saefullah Wiradipradja, 1990, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan Bandung, 1990, hlm.21. 4 Article 6 Chicago Convention 1944, No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization. 5 Mieke Komar Kantaatmadja, 1988, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung, hlm.3-4. 3 Dewasa ini berkait dengan maraknya liberalisasi perdagangan termasuk perdagangan jasa penerbangan, keberadaan prinsip cabotage dalam tataran implementasinya dalam masyarakat internasional masih menimbulkan pro dan kontra. Artinya, praktek di beberapa Negara menerima prinsip cabotase, sedangkan beberapa Negara lain belum menerima prinsip cabotage dalam kaitannya dengan perdagangan jasa penerbangan di wilayahnya. Indonesia sendiri hingga saat ini secara yuridis belum menerima prinsip cabotage.Sehingga jasa penerbangan yang ada di dalam negeri masih dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional, walaupun perusahaan penerbangan nasional sering mengadakan joint operation dengan perusahaan penerbangan asing.Adanya praktek yang demikian menimbulkan dugaan sementara bahwa Indonesia mengarah untuk menerima prinsip cabotage dalam bidang penerbangan. Berdasarkan uraian uraian di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerimaan negara-negara terhadap prinsip cabotage dalam bidang penerbangan ? 2. Bagaimanakah kecenderungan Pemerintah Indonesia dalam mensikapi prinsip Cabotage dalam bidang penerbangan ? B. Maksud dan tujuan Artikel ini ditulis guna mengetahui dan menjawab permasalahan berkaitan dengan kencenderungan yang terjadi dalam dunia penerbangan berkaitan dengan keberadan prinsip cabotage, termasuk aktivitas penerbangan di Indonesia, yang nampaknya mengarah untuk meninggalkan prinsip cabotage. Bila terjadi demikian, lebih lagi bila kemudian Pemerintah Indonesia meninggalkan prinsip cabotage dalam bidang penerbangan, maka perlu dipertanyakan peran Pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap perusahaan penerbangan nasional. Diharapkan melalui tulisan ini dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Indonesia untuk lebih meningkatkan perannya dalam melakukan kontrol terhadap investasi asing, khususnya dalam bidang penerbangan. II. 4 PEMBAHASAN A. Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Prinsip Cabotage Ruang udara, seperti halnya wilayah pada umumnya banyak membawa manfaat bagi kepentingan manusia atau negara. Salah satunya untuk kegiatan penerbangan. Satu hal yang tidak dapat diingkari, yaitu akan menimbulkan berbagai masalah hukum. Antara lain penerbangan di ruang udara suatu negara bebas atau tidak. Atau negara kolom mempunyai kedaulatan atau tidak atas ruang udara di atasnya. Dalam hukum Romawi dikenal paling tidak ada dua asas yang berlaku atas ruang udara pada waktu itu. Pertama : bahwa wilayah ruang udara sebagai wilayah bebas atau res communis (hak bersama seluruh umat manusia). Teori ini diperkenalkan oleh Grotius, yang menganalogikan dengan wilayah laut pada waktu itu. Kedua: adanya prinsip bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-segala yang berada di atas permukaan tanah tersebut, sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanahnya. Prinsip ini dikenal dengan Cujus est Solum ejus est usque ad coelum. Kemudian 6 pendapat dari Grotius tersebut oleh Paul Fauchille diterapkan pada masalah kedaulatan di ruang udara. Ia berkata bahwa wilayah udara itu bebas. Namun pendapat tantangan yang 7 keras dari para sarjana Inggris, yang mendapat dukungan dari para ahli hukum seluruh dunia.Dalam pendapatnya para sarjana Inggris mengatakan bahwa “ruang itu tidak bebas”. Sehingga pada waktu itu tentang pemilikan ruang udara terdapat dua kelompok.Kelompok pertama; mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para penganutnya dapat dikelompokkan sebagai penganut teori bebas. Kelompok kedua, mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Kemudian pada tahun 1919 masyarakat internasonal, berhasil membentuk 8 konvensi internasional yaitu Convention Relating to The Regulation of Aerial Navigation, Signed at Paris, October 13, 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris 6 Priyatna Abdurrasyid, 2003, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Riefka, Jakarta, hlm. 49. 7 Johnson, Rights in Air Space, Manchester University Press, U.S.A., 1965, hlm. 21. 8 Ibid., hlm. 54, 62-63. 5 1919.Dalam Konvensi tersebut Pasal 1 menyebutkan bahwa:The High Contracting Parties recognise that every power has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.Berdasarkan Konvensi tersebut, negara mempunyai kedaulatan yang sempurna dan eksekutif atas ruang udara di atas wilayahnya. Dalam perjalananya, Konvensi Paris 1919 mulai ditinggalkan, dan masyarakat internasional berhasil membentuk konvensi yang senada yaitu Chicago Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago, on 7 December 1944 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Chicago 1944. Dalam Konvensi Chicago 1944 ini masalah kedaulatan negara di ruang udara kembali diatur dalam Pasal 1, bahwa: The Contracting states recognize that every state has complete and exclusive. Melalui Konvensi Chicago 1944, telah diakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan atas ruang udara. Jadi tidak terbatas hanya pada negara-negara pihak Konvensi saja. Namun, dalam pasal tersebut masih nampak samar-samar tentang arti complete, exclusive, territory dan air space, sehingga memunculkan berbagai penafsiran.9Khusus mengenai “teori kedaulatan” negara di ruang udara telah menjadi ketentuan yuridis. Bahkan oleh Priyatna Abdurrasyid dikatakan bahwa: “khusus tentang kedaulatan negara di ruang udara negara-negara telah sepakat bahwa keadaan ini telah merupakan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional yang telah dipertegas di dalam konvensi”.10 Konvensi Chicago 1944 merupakan hasil kesepakatan negara-negara anggota masyarakat internasional. Sekalipun demikian, Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan persoalan tertentu yaitu tidak adanya kesepakatan secara multilateral berkaitan dengan 9 10 6 Menurut Wassenbergh, makna Pasal 1 tersebut, bahwa kedaulatan negara atas ruang udaranya adalah mencakup keseluruhan ruang udara di atas negara (dalam ketinggian tak terbatas) dan tak dapat dibagibagi. Penerapan pasal 1 tersebut akan sempurna, sepanjang tidak ada pembatasan secara tegas, baik melalui persetujuan khusus untuk itu, maupun ketentuan dalam konvensi lain.Beberapa ahli juga telah membuat penafsiran yang senada, yaitu antara lain : Menurut Shawcross dan Beamont coplete dan exclusive maksudnya without limit of height. Menurut Lemoine, complete dan exclusive diberi pengertian ‘kekuasaan yang lengkap dari negara di bawah, setidak-tidaknya secara teoritis sampai ketinggian yang tak terbatas, dan secara praktis semua daerah yang dapat dikuasai oleh manusia”. Sedangkan, menurut Lapradelle adalah suatu wilayah udara tanpa batas.Wassenbergh, Post-War International Civil Aviation Policy and the Law of the Air, The hague, Martinus Nijhoff, 1957, hlm.100.;E Suherman, Wilayah udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 5-6. Priyatna Abdurrasyid, 2003, ibid., hlm. 97.; Wassenberg, loc. cit. materi kebebasan di udara yang bisa dipertukarkan secara menyeluruh. Negara melalui perusahaan penerbangan nasional bisa melakukan kebebasan di udara menuju atau melewati negara lain harus didahului oleh adanya ”bilateral agreement” antar negara berdasarkan prinsip resiprositas. Berkait dengan kebebasan penerbangan, Konvensi Chicago 1944 baru berhasil merumuskan macam-macam kebebasan yang bisa dipertukarkan antar negara, sebagaimana di atur dalam International Air Services Transit Agreement11 (kedua lintas penerbangan yang demikian sering disebut sebagai Transit rights), dan International Air Transport Agreement, yang berhasil membuat kesepakatan atas lima kebebasan penerbangan (The Five Freedoms of The Air).12Dalam pelaksanaannya ketentuan dalam International Air Services Transit Agreementdan International Air Transport Agreement harus diperjanjikan secara bilateral, melalui “bilateral agreement” antar pemerintah. Kemudian, melalui teori dan praktek angkutan udara internasional atas lima kebebasan tersebut di atas dilengkapi dengan kategori baru, yaitu: - Sixth freedom, the privilege of carrying passengers, mail and cargo between the territories of two foreign states via territory of the home state of the aircraft. 11 Article 1, Section 1 International Air Services Transit Agreement: ech contracting State grants to the other contracting States the following freedoms of the air in respect of scheduled international air services: (1). the privilege to fly across the territory of state without landing, dan (2). the privilege to land for nontraffic purposes (technical landing). 12 Lima kebebasan itu adalah: First freedom, the privilege to fly across the territory of state without landing. Second freedom, the privilege to land for non-traffic purposes (technical landing) Third freedom, the privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in the territory of the state whose nationality the aircraft possesses. Fourth freedom, the privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory of the state whose nationality the aircraft possesses. Fifth freedom, the privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the territory af any other (third) state and the privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such territory. Article 1 Internastional Air Service Transit Agreement, Chicago, 7 Desember 1944; Wassenbergh, 1957, Post-War Internastional Civil Aviation Policy and the Law of the Air, Martinus Nijhoff, the Haque, hlm.1516.; Marek Zylicz, 1992, International Air Transport Law, Martinus Nijhoff Publishers, Netherland, hlm.80. 7 - Seventh freedom, the privilege of carrying passengers, mail and cargo between the territories of two foreign states without calling on the territory of the home state of the aircraft. - Eighth freedom, the privilege of cabotage (ie carrying passengers, mail and cargo from one point in the territory of a foreign state to other point in the same territory).13 Kebebasan ke delapan di atas muncul berkaitan dengan ketentuan Pasal 7 Konvensi Chicago, yang dikenal dengan prinsip Cabotage. Dalam bahasa Prancis, istilah ”cabotage” berasal dari kata ”cabot” atau ”chabot” yang artinya kapal kecil. Sedangkan dalam bahasa Spanyol ”cabotage” berasal dari kata ”cabo” yang berarti ”cape” atau tanjung yang artinya angkutan dari tanjung ke tanjung yang lain dalam satu pantai.14 Misalnya pelayaran dari Tanjung Emas ke Tanjung Perak. Dalam maritime encyclopedie (penerbitan C.de Boer, Bussum, Belanda) terbaca bahwa cabotage adalah pengangkutan orang dan barang melalui laut, udara, daratan dan perairan pedalaman antara dua tempat yang terletak dalam wilayah negara yang sama. Hak untuk melakukan cabotage ini diberikan kepada warga negara yang bersangkutan. Jika dilihat dari sisi bahasa, maka cabotage tersebut diambil dari kata caboter yg diartikan to sail along the coast, sementara menurut the american heritage dictionary of english language, 4th edition, "cabotage is trade or navigation in coastal waters, or, the exclusive right of a country to operate the air traffic within its territory".15Sedangkan menurut Black Law Dictionary, Cabotage a term from Spanish, isNavigation from cape to cape along the coast without going out into the open sea. In international law, cabotage is identified with coastingtrade so that it means navigating and trading along the coast between the ports thereof.16 13 Marek Zylicz, ibid. 14 K Martono dan Amad Sudiro, 2009, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.51. 15 http://www.incafo2013.org/buku/philosofi;Philosofi dan Makna dari Cabotage di Indonesia, di akses 22 Februari 2014. 16 Henry Campbell Balck, M.A, 1979, Black’s Law Dictionary, St, Paul Minn West Publhising Co, Prined in the United States of Ammerica, page 183. 8 Beradasarkan beberapa pengertian tersebut, bahwa keberadaan prinsip cabotage dalam kaitannya dengan transportasi, berkembang melalui hukum laut, yang kemudian berdasarkan prinsip analogi menjadi bagian juga hukum udara. Dalam kaitannya dengan hukum udara,prinsip cabotage mendapatkan pengaturan dalam Konvensi Paris 1919, yaitu dalam Pasal 16 yang menyatakan bahwa: setiap Negara anggota berhak melarang pesawat udara asing dan mencadangkan untuk keperluan penerbangan nasional pengangkutan penumpang, kargo, dan pos dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam wilayahnya. 17Kemudian prinsip cabotage dalam bidang penerbangan mendapatkan pengaturan lagi dalam Pasal 7 Konvensi Chicago 1944, bahwa; setiap Negara peserta mempunyai hak untuk menolak memberikan izin kepada suatu pesawat udara milik Negara Peserta lain, untuk maksud mengambil penumpang, pos dan cargo dengan mendapatkan bayaran atau sewa dari satu tempat ke tempat lain di dalam wilayahnya. Juga, setiap Negara peserta dapat melarang untuk memberikan secara khusus suatu privilege (cabotage) eksklusif kepada Negara peserta lain atau suatu perusahaan penerbangan milik Negara lain, dan menerima suatu privilege (cabotage) eksklusif semacam itu dari negara lain.18Pengaturan prinsip cabotage yang demikian adalah sejalan dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam dunia penerbangan, pada awalnya pelaksanaan prinsip cabotage yang sifatnya melintas batas wilayah terjadi pada negara-negara yang memiliki wilayah jajahan, seperti Inggris. Ketika keberadaan negara-negara yang tergabung dalam persemakmuran Inggris, penerbangan antara Darwin, Singapura, Kuala Lumpur, Hong Kong, dan London merupakan penerbangan dalam negeri dan termasuk penerbangan dengan prinsiphak 17 Article 16 Paris Convention; “Each contracting State shall have the right to establish reservations and restrictions in favour of its national aircraft in connection with the carriage of persons and goods for hire between two points on its territory”; K Martono dan Usman Malayu, 1996, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.27. 18 Article 7 Chicago Convention 1944, ““Each contracting State shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting States to take on in its territory passengers, mail and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each contracting State undertakes not to enter into any arrangements which specifically grant any such privilege on an exclusive basis, to any other State or an airline of any other State, and not to obtain any such exclusive privilege from any other State. Mieke Komar, loc.cit. 9 cabotage bagi Inggris.Bagi negara yang masih mempertahankan prinsip cabotage, pemberian izin beroperasinya perusahaan penerbangan asing dalam wilayah suatu negara karena adanya pertimbangan-pertimbangan khusus. Seperti Amerika Serikat pernah memberikan hak cabotage pada perusahaan penerbangan asing pada saat terjadinya pemogokan besar-besaran dari para piliotnya. Jadi dengan pertimbangan kepentingan nasionalnya, akhirnya dalam beberapa waktu Amerika Serikat meninggalkan prinsip cabotage.19 Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan jasa penerbangan yang sifatnya melintas batas negara, serta perkembangan dalam bidang perekonomian, khususnya perdagangan jasa20 penerbangan, maka prinsip cabotage menjadi salah satu objek dalam perjanjian angkutan udara. Dalam era globalisasi, perdagangan internasional mengarah pada munculnya kebijakan liberalisasi perdagangan, baik dalam sekala regional maupun sekala global/multilateral.Pada awalnya liberalisai perdagangan lebih banyak menyangkut barang, namun dalam perkembangannya menyangkut juga bidang jasa, termasuk di dalamnya jasa penerbangan.Dalam bentuknya yang ideal, liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan di mana setiap perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas-batas wilayah negaranya. Ini berarti termasuk di dalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain. Sedikit berbeda dengan perdagangan barang, pada perdagangan jasa penerbangan, khusunya yang menyangkut hak lintas penerbangan tidak bisa terjadi tanpa adanya bilateral agreement di antara para pihak.Bahkan, terhadap perdagangan jasa penerbangan mendapatkan pengecualian atas berlakunya prinsip Most Favoured Nations sebagaimana terdapat dalam GATT.Di kawasan Eropa, liberalisasi sudah dimulai beberapa tahun yang lalu.Awalnya memang terjadi bahwa Penerbangan dari 19 K Martono, 2009, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 tahun 2009, Mandar Maju, Bandung., hlm.11. 20 Jasa dalam perundingan pembentukan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization atau WTO), pada putaran Uruguay di Marakas telah diterima sebagai salah satu komodite yang menjadi objek perdagangan, termasuk jasa penerbangan. 10 Eropa punya keterbatasan melayani rute di Amerika Serikat dan sebaliknya.Sekarang, hambatan ini tidak ada lagi. Maskapai Eropa bisa terbang ke setiap tujuan di Amerika Serikat dari setiap bandar udara di Eropa. Jadi mereka sekarang boleh menawarkan jasa penerbangan tidak hanya di negara-negara anggota Uni Eropa, melainkan juga di Amerika Serikat. B. Implikasi Prinsip Cabotage Udara di Indonesia. 1. Landasan yuridis. Cabotage dalam kaitanya dengan transportasi adalah kata yang sering digunakan untuk merujuk pada angkutan barang atau penumpang antara dua titik di negara yang sama dengan kapal yang terdaftar di negara lain. Kini, cabotage juga mencakup penerbangan, kereta api, dan transportasi jalan. Bagi Indonesia prinsip cabotage masih dipertahankan untuk angkutan udara, angkutan darat dan perkereta apian.21 Ditinggalkannya prinsip cabotage dalam angkutan laut sejatinya untuk memenuhi kekurangan angkutan yang disediakan oleh perusahaan pelayaran, termasuk didalamnya untuk angkutan barang dan kargo. Hal demikian disebabkan oleh salah satunya kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan masingmasing pulau dihuni oleh penduduk Indonesia serta terdapat sumber kekayaan alam yang melimpah. Antara satu pulau dengan pula yang lain dipisahkan oleh wilayah perairan yang cukup luas. Pada masing-masing pulau tersedia tanjung (cape) atau pelabuah, sehingga akan memudahkan merapatnya kapal laut yang melakukan pengangkutan antar pulau. Hal ini berbeda dengan angkutan udara, yang dulunya hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan penerbangan nasional, karena memang kebutuhan untuk angkutan udara masih terbatas, dan dari sisi volume angkutan orang dan barang tidak sebanyak angkutan laut. Sebagaimana di singgung di atas, beberapa 21 11 Sebagaimana ditegaskan dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2014, bahwa untuk bidang usaha angkutan orang dengan moda darat baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek angkutan antar kota antar propinsi, atau antar daerah, dan angkutan lintas batas Negara pemerintah hanya memberikan izin untuk modal dalam negeri 100% negara mempertahankan prinsip cabotage bagi penerbangan dimaksudkan untuk melindungi perusahaan penerbangan nasional. Di Indonesia, sejak pembahasan UURI No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 22 tetap mempertahankan prinsip cabotage.Pada saat itu terdapat dua pendapat yang saling bertolak belakang. Pendapat pertama, menghendaki melepaskan prinsip cabotage dengan pertimbangan bilamana Indonesia tidak melepaskan prinsip cabotage, bila kemudian Eropa menjadi Uni maka Garuda Indonesia tidak dapat melakukan penerbangan dari Roma, Italia ke Schippol di Belanda, karena rute tersebut merupakan termasuk rute dalam negeri bagi Uni Eropa. Pendapat kedua, menghendaki tetap mempertahankan prinsip cabotage dengan pertimbangan: a. untuk melindungi perusahaan penerbangan nasional. Bila diizinkan persusahaan penerbangan asing beroperasi di wilayah Indonesia, dikawatirkan perusahaan penerbangan nasional tidak mampu bersaing dengan persusahaan penerbangan asing. b. bahwa adanya kekawatiran transportasi di Eropa menjadi Uni adalah kecil kemungkinannya. Karena Belanda tidak akan menyerahkan traffic right kepada Uni Eropa, karena sebagian besar pendapatan nasional di Belanda dari sektor Transportasi Udara. Posisi geografis udara Belanda adalah sangat strategis, karena sebagian besar transportasi dari atau ke Eropa akan melalui Schippol. c. Pertimbangan keamanan negara. Sesuai dengan pasal-pasal dalam Konvensi Chicago 1944, setiap penerbangan yang melalui suatu negara harus mendapatkan izin dari negara kolong.23 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam pendapat kedua tersebut akhirnya UURI No.15 Tahun 1992 tetap mempertahankan prinsip cabotage udara, sebagaimana nampak dalam Pasal 36 jo. Pasal 39, bahwa kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan di dalam negeri hanya dapat diusahakan oleh badan 22 UU ini saat ini sudah digantikan oleh UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 23 K Martono dan Amad Sudiro, op.cit., hlm.52. 12 hukum Indonesia yang telah mendapat izin.Sehingga bagi perusahaan angkutan udara asing dilarang melakukan angkutan udara niaga di dalam negeri.24Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 7 Konvensi Chicago 1944 tentang cabotage udara. Hanya saja dalam tataran implementasinya pernah terjadi kesalahan dari Pemerintah Indonesia, yaitu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1970 sebagai pengesahan perjanjian antara Indonesia dengan Thailand berkaitan dengan pertukaran hak lintas penerbangan. Dalam Kepres tersebut Pemerintah Indonesia member izin (hak cabotage) kepada Thailand yang mengizinkan penerbangan Jakarta – Medan – Singapura – Kuala Lumpur _ Bangkok – Hong Kong – Tokyo pp. Penerbangan Jakarta – Medan adalah cabotage. Prinsip cabotage dalam UURI No.15 Tahun 1992 tersebut kemudian tetap dipertahankan dalam UURI No.1 Tahun 2009 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 85 ayat (1), bahwa Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapatdilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yangtelah mendapat izin usaha angkutan udara niagaberjadwal.Melalui Pasal 85 ayat (1) tersebut hanya perusahaan penerbangan nasional yang dapat beroperasi di dalam wilayah Indonesia. Bahkan keberadaan Pasal 85 ayat (1) tersebut diperkuat oleh Pasal 108 ayat (2) dan (3), yang menyatakan bahwa: a. Badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. b. Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority). Melalui ketentuan dalam Pasal 108 tersebut dimaksudkan bahwa bila terjadi kepemilikan modal terpaksa terbagi antara pemilik modal nasional dengan pemilik modal asing, dengan adanya ketentuan single majority maka perusahaan penerbangan 24 13 Lihat Pasal 36 jo. Pasal 39 UURI No.1 Tahun 2009. tersebut tetap dalam penguasaan pemodal nasional atau badan hukum nasional. Ketentuan dalam Pasal 108kemudian diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden No.39 Tahun 2014 tertanggal 21 April 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres tersebut, khususnya dalam bidang angkutan udara ditegaskan bahwa angkutan udara niaga, Pemerintah mengizinkan modal asing maksimal 49%, memenuhi persyaratan khusus, dan pemilik modal nasional harus lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing, yang dalam hal ini tentunya modal nasional sebesar 51%. 2. Penerobosan Prinsip Cabotage Udara di Indonesia Pada tahap identifikasi perusahaan maskapai penerbangan, salah satu implementasi atas kedaulatan Negara di ruang udara eksklusivitas atas ruang udara suatu negara diartikan dengan nasionalitas suatu perusahaan maskapai penerbangan, dimana naionalitas perusahaan penerbangan dapat ditandai kepemilikan (ownership) dan kendali (control).Namun demikian, setiap negara menentukan standar yang berbeda-beda untuk hal ini. Amerika Serikat misalnya, menetapkan bahwa perusahaan maskapai penerbangan negara tersebut harus dimiliki minimal 75% sahamnya oleh warga negara Amerika Serikat, negara-negara Eropa menentukan kepemilikan saham minimal 51% harus dimiliki warga negaranya, sedangkan untuk Indonesia menentukan kepemilikan saham 51%. Besarnya pengaruh negara dan ketentuan mengenai nasionalitas suatu maskapai dalam pengaturan aktivitas penerbangan memaksa perusahaan maskapai penerbangan mencari model bisnis agar bisa terus melakukan aktivitas bisnis yang bersifat lintas negara dengan tidak bertentangan dengan ketentuan internasional yang memberikan ekskulsivitas ruang udara kepada negara. Beberapa model bisnis yang dilakukan adalah dengan melakukan aliansi bisnis ataupun code share dengan perusahaan maskapai penerbangan domestik untuk semua tujuan-tujuan domestik. Aliansi ataupun code share dengan perusahaan maskapai penerbangan domestik 14 memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, dimana bagi perusahaan penerbangan internasional, mereka dapat menjual tiket penerbangan internasional dengan tujuan akhir titik poin yang hanya dapat dicapai dengan penerbangan domestik. Sedangkan bagi perusahaan penerbangan domestik, aliansi ini secara langsung dapat menambah tingkat keterpenuhan pesawat dengan tujuan domestiknya.25 Model kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak ini pada perkembangannya, terutama perusahaan maskapai penerbangan yang bermodal kuat, berkembang menjadi suatu ekspansi bisnis dengan membeli saham perusahaan maskapai yang menjadi aliansi bisnisnya. Memaksimalkan keuntungan dengan membeli saham perusahaan maskapai penerbangan dari negara lain menjadi tujuan utama dari aksi korporasi. Sekalipun perusahaan maskapai penerbangan merupakan perusahaan swasta, namun demikian, berdasarkan ketentuan internasional maupun nasional yang berlaku, secara umum, ownership dan control badan hukum nasional atas suatu perusahaan maskapai haruslah bersifat mayoritas (majority).Sebagaimana disinggung di atas bahwa, bahwa berdasarkan hukum nasional Indonesia terkait dengan ownershipdi atur dalam Pasal 108 ayat (3) UURI No. 1 Tahun 2009 jo. Perpres Nomor 39 Tahun 2014,yang pada hakikatnya menyatakan bahwa kepemilikan saham nasional harus tetap lebih besar dari pemegang modal asing (single majority) dengan prosentasi minimal 51% untuk kepemilikan saham nasional. Sedangkan untuk ketentuan “control”, peraturan perundangan nasional masih belum mengatur terkait tentang ketentuan akan hal ini. Terhadap ketentuan single majority tersebut, praktek dilapangan menunjukkan gejala yang memperlemah posisi pemodal nasional.Hal ini di karenakan besaran modal nasional yang 51% terpecah menjadi beberapa pemegang saham atau pemilik modal, sehingga kepemilikannya tidak dapat single majority.Sedangkan pemodal asing tetap 49%. Berdasarkan komposisi demikian maka dalam rapat pemegang saham akan 25 15 Adhy Riadhy Arafah, S.H., LL.M (Adv, caslindonesia.blogspot.com/.../perangantarmaskapai-asia-tenggara.html.Diakses, 8 Mei 2014, jam 21.17 dikuasai oleh modal asing, sehingga kebijakan perusahaan berada di perusahaan penerbangan asing. Contoh yang demikian dapat di lihat pada para pemilik saham lokal pada PT Indonesia Air Asia (IAA), Maskapai Tiger Airways, dan Maskapai Silk Air.PT IAA dikuasai oleh empat pihak, 51% kepemilikan saham ada pada investor nasional, yaitu keluarga Sandjaja Wilaya 21%, Keluarga Pin Paris 20%, PT Fersindo Nusaperkasa sebanyak 10%, sedangkan sisanya yang 49% dikuasai oleh AirAsia Group (Malaysia). 26 Demikian juga dengan Tiger Airways kepemilikan saham lokal sebesar 51%, namun terbagi atas 11% dikuasai oleh Temasek Group Pte, ltd, 16% dimiliki oleh Irelandia Investment Pte, ltd, dan 24% milik Indogo Partners Coorp., sedangkan yang 49% yang merupakan saham mayoritas dimiliki oleh Singapore Airlines Group. 27 Berdasarkan contoh atas dua kasus di atas, khususnya berkaitan dengan kepemilikan saham memang telah sesuai dengan peraturan perundangan nasional, hanya saja bila dikaji lebih mendalam maka dari sisi kepemilikan sahan tetap dikuasai oleh pemodal asing.Karena, patut diduga bahwa Temasek Group Pte, ltd, dan Irelandia Investment Pte, ltd, adalah anak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia; juga bahwa pemilik modal nasional yang berjumlah 51% tidak dimiliki oleh satu pemodal nasional. Akibat lebih jauh pemodal nasional bila tidak menyatu dalam pengambilan keputusan pada rapat umum pemegang saham tentu akan kalah suara. Bisa dilihat PT IAA dengan armada pesawatnya yang dikenal dengan Air Asia, telah melakukan penerbangan antara dari dan ke Bandar udara satu ke Bandar udara lain di Indonesia. Demikian juga Tiger Airways dengan armada pesawatnya yang dikenal dengan Tiger Mandala telah melayani rute penerbangan lebih dari 20 kota di Indonesia. Seperti, Ambon, Medan, Kendari, Makasar, Gorontalo, Banjarmasi, dan sebagainya. Sedikit berbeda dengan praktek yang terjadi dengan Silk Air, sebagaimana dikemukakan oleh Marvin, selaku Chief Execitive Officer (CEO) dari Silk Air yang menawarkan pengalaman penerbangan yang berbeda dengan maskapai lain. Di 26 http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/16/12025843/Investor.Lokal.AirAsia.Sepakat.Buat.Holding. 27 http://yovieardhi.blogspot.com/2014/05/sejarah-berdirinya-maskapai-low-cost.html. 16 antaranya adalah layanan untuk mengurus ”boarding pass” bagi penumpang yang hendak melanjutkan perjalanannya dari Singapura menuju rute penerbangan internasional lain. Layanan itu tak hanya bagi penumpang yang hendak memakai jasa maskapai itu, tapi juga penumpang yang hendak meneruskan perjalanan dengan pesawat milik Singapore Airlines. ”We are part of Singapore Arilines,” kata Marvin. Dengan fasilitas itu, rute Bandung-Singapura, bisa menjadi opsi bagi penumpang internasional yang hendak melanjutkan rute penerbangannya ke negara lain, yang selama ini memanfaatkan Bandara Soekarno Hatta. Menariknya lagi bahwa Penerbangan Silk Air dari dan ke Singapura termasuk Bandung sudah menerbangi sembilan Kota di Indonesia, dan bersama Singapore Airlines sudah menerbangi 11 Kota di Indonesia. Sehingga sesuai penjelasan CEO Silk Air di atas jika dari Bandung setelah tiba di Singapura selanjutnya terbang ke Menado, Pekanbaru, Medan atau Balikpapan adalah penerbangan internasional lagi dengan layanan “boarding pass” terusan. Padahal, misalnya penerbangan dari Bandung ke Menado merupakan penerbangan antar Kota dalam negeri yang mestinya harus dilayani Maskapai Nasional, jika tidak demikian namanya melanggar Undang-Undang Penerbangan karena melanggar prinsip cabotage. Tapi ini kan dengan mudah didebat bukan cabotage karena melalui Singapura sehingga menjadi Penerbangan Internasional. Hal yang sama jika melalui Kuala Lumpur, misal dengan Air Asia. Jadi lama-lama Singapore dan Kuala Lumpur akan menjadi “hub” transportasi udara di Indonesia. Bahkan jika lanjutan penerbangan dari Singapura ke kota-kota di luar negeri bahkan Singapura dan Kuala Lumpur bukan hanya “hub” akan tetapi berpotensi menjadi Pintu Gerbang (gateway) Indonesia. Susahnya jika dari Bandung mau ke Menado dengan Maskapai Penerbangan Nasional malah harus lewat Jakarta. Sehingga harus ke Jakarta dulu dengan jalan darat, sehingga akan lebih mudah melalui Singapura atau Kuala Lumpur. Adanya praktek-praktek penerbangan dalam negeri yang demikian, walaupun secara yuridis formal tidak melanggar undang-undang penerbangan, namun pada hakikatnya telah terjadi praktek terselubung atas pelanggaran prinsip cabotage. Hal demikian disebabkan oleh lemahnya pengawasan (baik langsung atau tidak langsung) 17 atas investasi di bidang angkutan udara, sehingga membuka peluang terjadinya penyelundupan hukum investasi, yang pada gilirannya pasar modal nasional dikuasai oleh pihak asing melalui badan hukum nasional dan hukum nasional yang dalam hal ini bentuknya cabotage terselubung, bila tidak mau dikatakan bahwa pelayanan penerbangan niaga di Indonesia telah melanggar prinsip cabotage. Dari sisi kebijakan, Pemerintah Indonesia terlalu memberi kebebasan rute penerbangan dalam negeri, maskapai penerbangan yang masuk ke Indonesia pada umumnya hanya termasuk kelas penerbangan murah (low cost carrier/LCC), bukan penerbangan kelas premium.Akibatnya secara ekonomis penumpang Indonesia lebih memilih layanan penerbangan murah dari maskapai penerbangan asing, termasuk penerbangan asing yang melakukan kerjasama dengan pengusaha nasional utuk pelayanan penerbangan niaga nasional. 28 Akibat lebih jauh perusahaan-perusahaan penerbangan nasional kalah bersaing dengan perusahaan penerbangan hasil code shere, yang dalam beberapa hal kepemilikan modalnya walaupun tidak melanggar prinsip single majority, namun kenyataanya terbagi atas beberapa pemilik modal. Bahkan salah satu atau duanya adalah anak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Bahkan induk perusahaan asing tersebut berasal dari negara yang sama dari pemilik modal asing yang 41%. III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, bahwa: 1. Penerimaan Negara terhadap keberadaan prinsip cabotage udara hingga dewasa masih terdapat kelompok yang masih mempertahankan prinsip cabotage demi melindungi perusahaan penerbangan nasional serta keamanan Negara. Namun, dalam praktek mengarah terjadinya penyelundupan cabotage udara. Kelompok Negara lain, telah meninggalkan 28 18 Adi Kusumaningrum, 2012, Prinsip Cabotage Dalam Industri Penerbangan Indonesia di Era Asia Single Aviation Market 2015, Arena Hukum, hlm.3. prinsip cabotage, hal ini sejalan dengan perkembangan liberalisasi perdagangan jasa penerbangan. 2. Bagi Pemerintah Indonesia pada secara yuridis masih mempertahankan prinsip cabotage bagi angkutan udara, walaupun dalam prakteknya terjadi cabotage terselubung. Dalam beberapa perusahaan penerbangan asing yang dapat meroperasi dalam wilayah Indonesia. B. Saran. Bila pemerintah ingin memberikan perlindungan terhadap perusahaan penerbangan dalam negeri, hendaknya pengawasan terhadap investasi dalam bidang angkutan udara lebih ditingkatkan, sehingga praktek cabotage terselubung dapat segera diakhiri.Peningkatan pengawasan juga dalam rangka penegakan hukum atas prinsip cabotage sebagaimana yang masihmenjadi komitmen Pemerintah Indonesia. 19 DAFTAR PUSTAKA Adi Kusumaningrum, 2012, Prinsip Cabotage Dalam Industri Penerbangan Indonesia di Era Asia Single Aviation Market 2015, Arena Hukum. Adhy Riadhy Arafah, S.H., LL.M (Adv, caslindonesia.blogspot.com/.../perangantarmaskapai-asia-tenggara.html.Diakses, 8 Mei 2014, jam 21.17 Anthony Aust, 2005, Handbook of International Law, New York: Cambridge University Press Basuki Antariksa, Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing Pariwisata di Indonesia, http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/5654_1841Art2.pdf; Di akses 22 Februari 2014 E Saefullah W, 1990, Tinjauan Singkat Atas Berbagai Perjanjian Internasional di Bidang Hukum Udara, Lisan, Bandung. E Suherman, 1984, Wilayah udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung. Johnson, 1965, Rights in Air Space, Manchester University Press, U.S.A. F Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum, CV Ganda, Yogyakarta. Gul Sarugul, 2004, The Evolving Concept of Sovereignty in Air Law, McGill University, Faculty of Law Institute of Air & Space Law, Montreal. Henry Campbell Balck, M.A, 1979, Black’s Law Dictionary, St, Paul Minn West Publhising Co, Prined in the United States of Ammerica K Martono dan Usman Malayu, 1996, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. K Martono, 2009, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 tahun 2009, Mandar Maju, Bandung., 20 K Martono dan Amad Sudiro, 2009, Hukum Angkutan Udara; Berdasarkan UU RI No.1 Tahun 2009, Radjawali Perss, Jakarta. Marek Zylicz, 1992, International Air Transport Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, The Netherlands Mieke Komar Kantaatmadja, 1988, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung Mochtar Kusumatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Nicholas Grief, 1994, Public International Law in the Airspace of the High Seas, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, The Netherlands Peter Malanzcuk, Akehurst’s , 1997, Modern Introduction to International Law, New York: Routledge Priyatna Abdurrasyid, 2003, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati, Jakarta. Tanja L. Masson – Zwaan, Pablo MJ. Mendes de Leon, 1992, Air and Space Law :De Leqe Ferenda, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht/ Boston, Theodore A. Couloumbis, James H. Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, Keadilan dan Power. Wassenbergh, 1957,Post-War International Civil Aviation Policy and the Law of the Air, The hague, Martinus Nijhoff. Yuwono Agung Nugroho, 2006, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta, Peraturan Perundangan dan Konvensi Chicago Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago, on 7 Desember 1944. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Wilayah Negara, Lembaran Negara Republik ndonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956 Internet 21 http://library.arcticportal.org/1580/1/1919_Paris_conevention.pdf., diakses 15 januari 2006 http://www.mcgill.ca/files/iasl/chicago1944a.pdf, diakses 15 Januari 2006. http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/16/12025843/Investor.Lokal.AirAsia.Sepaka t.Buat.Holding. http://yovieardhi.blogspot.com/2014/05/sejarah-berdirinya-maskapai-low-cost.html. 22