optimalisasi kondisi ekstraksi kurkuminoid temulawak: waktu, suhu

advertisement
OPTIMALISASI KONDISI EKSTRAKSI
KURKUMINOID TEMULAWAK: WAKTU, SUHU,
DAN NISBAH
RAHMAT SULAEMAN BASALMAH
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
OPTIMALISASI KONDISI EKSTRAKSI
KURKUMINOID TEMULAWAK: WAKTU, SUHU,
DAN NISBAH
RAHMAT SULAEMAN BASALMAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
RAHMAT SULAEMAN BASALMAH. Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid
Temulawak: Waktu, Suhu, dan Nisbah. Dibimbing oleh GUSTINI SYAHBIRIN dan
BAMBANG SRIJANTO.
Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan jamu dan obat. Khasiat temulawak dalam menyembuhkan
berbagai penyakit terutama disebabkan oleh adanya senyawa kurkuminoid. Bermacammacam perlakuan digunakan dalam mengoptimalkan ekstraksi kurkuminoid yang terdapat
dalam temulawak. Dalam penelitian ini, temulawak direfluks dalam etanol dengan nisbah
bahan baku terhadap pelarut 1:4, 1:6, dan 1:8 selama 1, 2, 3, dan 4 jam dengan
pemanasan pada suhu 35, 45, dan 55 °C. Setelah itu, ekstrak dipekatkan dengan penguap
putar pada suhu 40 °C dan diukur kadar kurkuminoidnya. Nilai kadar kurkuminoid
optimum diperoleh pada suhu 35 °C, nisbah bahan baku-pelarut 1:4.8799, dan waktu
ekstraksi 1.4 jam. Hasil validasi kadar kurkuminoid dalam ekstrak etanol temulawak
dengan metode permukaan respons adalah 19.8815% sementara dengan spektrofotometri
sinar tampak diperoleh kadar kurkuminoid sebesar 20.3%.
ABSTRACT
RAHMAT SULAEMAN BASALMAH. Extraction Condition Optimization of
Temulawak Curcuminoid: Time, Temperature, and Ratio. Supervised by GUSTINI
SYAHBIRIN and BAMBANG SRIJANTO.
Temulawak is a plants mostly used as a raw material in herbs and medicines
production. Efficacy of temulawak on disease treatment caused by curcuminoid
compounds. Various treatments were applied to optimize the curcuminoid extraction
from temulawak. In this research, temulawak was refluxed in ethanol with sample to
solvent ratio of 1:4, 1:6, and 1:8 for 1, 2, 3, and 4 hours at 35, 45, and 55 °C. The extract
was concentrated using rotary evaporator at 40 °C, the curcuminoid content was
measured. The optimum curcuminoid content in temulawak was obtained at 35 °C, with
sample to solvent ratio of 1:4.8799, and extraction time of 1.4 hours. Validation result of
curcuminoid content in temulawak ethanol extract was 19.8815% and 20.3% using
response surface methods and visible spectrophotometry, respectively.
OPTIMALISASI KONDISI EKSTRAKSI
KURKUMINOID TEMULAWAK: WAKTU, SUHU,
DAN NISBAH
RAHMAT SULAEMAN BASALMAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul
: Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak: Waktu, Suhu, dan
Nisbah
Nama : Rahmat Sulaeman Basalmah
NIM : G44201051
Disetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Gustini Syahbirin, M.S.
NIP 131842414
Ir. Bambang Srijanto
NIP 680003303
Diketahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131473999
Tanggal lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, penulis hanturkan ke hadirat Allah SWT atas
segala rahmat, kasih sayang, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan
mulai Juli 2005 sampai Maret 2006 di Laboratorium Kimia Organik FMIPA IPB dan
Laboratorium Farmasi BPPT dengan judul Optimalisasi Kondisi Ekstraksi
Kurkuminoid Temulawak: Waktu, Suhu, dan Nisbah.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Gustini Syahbirin, MS
dan Bapak Ir. Bambang Srijanto selaku pembimbing yang baik atas segala bimbingan,
dorongan semangat, dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan
penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta
dan adikku tersayang yang selalu memberikan doa, dorongan semangat, bantuan materi,
kesabaran, dan kasih sayang kepada penulis.
Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Tommy, Endang dan Emil, atas
bantuannya dalam mencari pustaka; kepada Mas Dwi atas bantuannya dalam analisis
RSM; kepada para laboran di Kimia Organik, khususnya Bapak Sabur, yang selalu mau
berdiskusi untuk mencari solusi bagi masalah yang penulis temui dalam penelitian di Lab
Organik; kepada Kak Riki atas bantuannya dalam analisis kurkuminoid, kepada Bang
Salim, Mbak Ani, Mbak Inul, Tika, dan Om Farid atas bantuannya mengolah rimpang
temulawak, kepada Mas Indra, Kang Agung, Joe, Mas Zaim, Mbak Etta atas kerjasama
yang baik dalam laboratorium. serta kepada Mas Heri , Bapak Nano, M. Faisal Ismail dan
Ilkomers’38 atas segala fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan. Penghargaan yang
tak terhingga tak lupa penulis sampaikan kepada alm. Ibu Zuraida Fatma, Kak Budi, Kak
Ian, Mbak Ega, Bang Ucup dan Dedy atas segala bantuannya, serta kepada teman-teman
Kimia 38 atas persaudaraan yang terjalin selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2006
Rahmat Sulaeman Basalmah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 1985 dari ayah Daud
Basalmah dan ibu Mulyani. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis sampai dengan tingkat SMU diselesaikan di Jakarta.
Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU SULUH Jakarta dan pada tahun yang sama lulus
dari seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih
Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Bidang yang diminati penulis ialah kimia organik.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi seperti Badan
Eksekutif Mahasiswa TPB dan FMIPA IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum di Laboratorium Kimia Organik dan Kimia Fisik IPB. Tahun 2005 penulis
melaksanakan praktik lapangan di Thames Water Overseas (TPJ) Jakarta.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................... viii
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Temulawak........ ......................................................................................... 1
Kompisisi Kimia Temulawak ................................................................................ 2
Ekstraksi................................................................................................................. 2
Optimalisasi Kondisi Operasi ................................................................................ 4
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid.......................................................................... 4
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ...................................................................................................... 5
Metode................................................................................................................... 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Proksimat Temulawak ............................................................................. 6
Perlakuan Pendahuluan ......................................................................................... 6
Ekstraksi ................................................................................................................ 6
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid ......................................................................... 7
Optimalisasi Kadar Kurkuminoid.......................................................................... 8
Validasi Ekstrak..................................................................................................... 10
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan................................................................................................................ 10
Saran ...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 10
LAMPIRAN ................................................................................................................... 12
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia temulawak ....................................................................................... 2
2 Perbandingan teknik metamodeling............................................................................. 4
3 Kadar proksimat temulawak kering ............................................................................. 6
4 Presentase ukuran butir temulawak ............................................................................. 6
5 Hasil validasi ekstrak optimum.................................................................................... 10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman temulawak .................................................................................................... 1
2 Rimpang temulawak .................................................................................................... 2
3 Struktur kurkuminoid................................................................................................... 2
4 Kurva rendemen ekstrak temulawak............................................................................ 7
5 Kurva hubungan antara absorbansi dan konsentrasi standar kurkumin ....................... 7
6 Kurva kadar kurkuminoid ekstrak ............................................................................... 8
7 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:4 terhadap kadar
kurkuminoid................................................................................................................. 8
8 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:4 terhadap kadar
kurkuminoid................................................................................................................. 9
9 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:4 terhadap kadar
kurkuminoid................................................................................................................. 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir penelitian ................................................................................................ 13
2 Prosedur analisis proksimat rimpang temulawak ........................................................ 14
3 Data hasil rendemen ekstraksi temulawak ................................................................... 16
4 Data kadar kurkuminoid ekstrak temulawak ............................................................... 17
5 Kurva 3 dimensi pengaruh waktu dan suhu terhadap kadar kurkuminoid................... 18
6 Hasil analisis ANOVA dan koefisien kuadratik .......................................................... 20
7 Hasil uji Duncan pada validasi kadar kurkuminoid optimum...................................... 21
1
PENDAHULUAN
Hampir setiap menit kita ditawari berbagai
iklan obat–obatan suplemen di televisi, mulai
dari produk lokal sampai impor. Semua
menjanjikan aman untuk dikonsumsi. Obatobatan ini merupakan adopsi dari suplemen
yang banyak dipajang di apotek dan toko obat
ternama. Masyarakat seolah tersihir oleh
produk-produk pabrik itu dan tanpa pikir
panjang menghabiskan banyak dana untuk
membelinya. Padahal lebih baik jika kita
’kembali ke alam’ dengan obat-obatan herbal,
yakni memanfaatkan tanaman tradisional
sebagai
obat.
Selain
lebih
murah,
keamanannya lebih terjaga.
Nama temulawak pasti tidak asing lagi
bagi masyarakat di pulau Jawa. Di daerah
Jawa Tengah, tanaman bernama Latin
Curcuma xanthorhiza Roxb. ini dikenal
sebagai minuman eksotik dengan cita rasa
khas. Temulawak yang dicampurkan dengan
gula dan kunyit, lalu diseduh dengan air panas
dapat
menghasilkan
rasa
tersendiri.
Masyarakat
Jawa
Tengah
biasanya
memberikan ramuan ini kepada anak-anak
untuk meningkatkan nafsu makan mereka
(Darma 1980).
Sebagian besar obat tradisional disajikan
dalam bentuk ekstrak karena penyajiannya
dinilai lebih efisien dan praktis. Penyajiannya
pada umumnya dilakukan dengan merendam
rajangan atau serbuk bahan dengan air panas.
Hal
ini
merupakan
pilihan
yang
menguntungkan karena biaya produksi yang
murah.
Khasiat
temulawak
dalam
menyembuhkan berbagai penyakit terutama
disebabkan adanya senyawa kurkuminoid.
Berdasarkan sifat kelarutannya, kurkuminoid
tidak larut sempurna dalam air, maka
penggunaan pelarut organik merupakan salah
satu pilihan yang perlu mendapatkan perhatian
meskipun biaya produksi menjadi lebih
mahal. Salah satu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi besarnya biaya produksi ialah
dengan mengoptimalkan ekstrak yang
diperoleh.
Kondisi ekstraksi yang berbeda dapat
menghasilkan senyawa kurkuminoid dalam
jumlah yang berbeda pula. Oleh karena itu,
perlu dilakukan optimalisasi kondisi operasi
ekstraksi rimpang temulawak agar jumlah
kurkuminoid yang dihasilkan meningkat,
sekaligus menghasilkan pengetahuan baru
yang dapat diaplikasikan dalam industri obatobatan. Pada penelitian ini, dilakukan
ekstraksi rimpang temulawak menggunakan
pelarut etanol dengan variasi waktu, suhu, dan
perbandingan jumlah bahan baku-pelarut,
kemudian ekstrak dengan kadar kurkuminoid
terbesar
divalidasi
dengan
standar
kurkuminoid.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.)
merupakan tanaman yang memiliki klasifikasi
sebagai berikut: divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae,
bangsa Zingiberaceae, marga Curcuma, dan
jenis Curcuma xanthorrhiza Roxb. Curcuma
berasal dari kata arab kurkum yang berarti
kuning. Xanthorrhiza berasal dari kata
Yunani: xanthos berarti kuning dan rizha
berarti umbi akar. Dalam bahasa Indonesia
disebut temulawak (Liang et al 1985). Di
Indonesia temulawak dikenal dengan berbagai
nama daerah, misalnya temulawak (Sumatera,
Jawa), koneng gede (Sunda), di Madura
dikenal sebagai temolabak (Dalimartha 2000).
Gambar 1 Tanaman temulawak.
Temulawak termasuk tumbuhan berbatang
semu yang batangnya berasal dari pelepahpelepah daun yang saling menutup
membentuk batang. Batang semu ini tumbuh
dari rimpang (Sidik 1985). Tinggi tumbuhan
dapat mencapai 2 m, berwarna hijau cokelat.
Tiap tumbuhan berdaun antara 2 dan 9 helai,
bentuk daunnya bulat memanjang atau lanset.
Daun berwarna hijau terang sampai hijau
gelap dengan ukuran panjang 31–84 cm, lebar
10–18 cm. Daun termasuk tipe daun
sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun,
tangkai daun, dan helai daun. Kadang-kadang
terdapat lidah daun (ligula). Pada sisi kiri dan
kanan ibu tulang daun, terdapat semacam pita
memanjang dengan warna merah keunguan
(Dalimartha 2000).
Curcuma xantorrhiza Robx. merupakan
spesies kurkuma terbanyak, sering kali
ditemukan dalam semak-semak hutan jati,
tetapi ada juga yang ditanam atau
dibudidayakan khususnya di daerah pulau
2
Jawa (Dharma 1980). Temulawak dapat
tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi
sampai ketinggian 750 m di atas permukaan
laut. Sudarman dan Harsono (1980)
menyatakan bahwa temulawak dapat tumbuh
hingga ketinggian 1800 m di atas permukaan
laut. Temulawak dapat tumbuh di tanah-tanah
berkapur, tanah ringan berpasir, atau tanah liat
yang keras, dengan curah hujan rata-rata
1500–4000 mm/tahun (Djakamiharja 1985).
Sebagai obat tradisional, temulawak paling
umum dipakai untuk gangguan hati dan
penyakit kuning, baik berupa air perasan
ataupun rebusan. Menurut Sidik et al. (1992),
penggunaan temulawak dalam ramuan obat
tradisional sebagai bahan utama (remedium
cardinale), bahan penunjang (remedium
adjuvans), korigensia warna (corrigentia
coloris), dan korigensia aroma (corrigentia
odoris).
Komposisi Kimia Temulawak
Rimpang temulawak segar mengandung
minyak atsiri, lemak, zat warna (pigmen),
protein, resin, selulosa, pentosa, pati, mineral,
dan sebagainya. Kadar masing-masing zat
tersebut bergantung pada umur rimpang yang
dipanen, selain dipengaruhi oleh letak dan
ketinggian tempat temulawak (Sidik 1985).
Gambar 2 Rimpang temulawak.
Kandungan kimia rimpang temulawak
dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi,
yaitu fraksi pati, kurkuminoid, dan minyak
atsiri (Sidik et al. 1992). Kandungan senyawa
rimpang temulawak tersebut disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia temulawak
Komponen senyawa
Kadar (%)
Pati
Lemak
Minyak Atsiri
Kurkumin
Protein
Serat Kasar
27.62
5.38
10.96
1.93
6.44
6.89
Sumber: Suwiah 1991. Berdasarkan bobot rimpang kering
dengan kadar air 10%.
Fraksi kurkuminoid merupakan komponen
yang memberi warna kuning pada rimpang
temulawak. Fraksi ini juga digunakan sebagai
zat warna dalam makanan, minuman, atau
kosmetika. Komponen kurkuminoid diketahui
mempunyai berbagai aktivitas hayati dalam
spektrum yang luas. Fraksi kurkuminoid
dalam rimpang temulawak terdiri atas dua
komponen,
yaitu
kurkumin
dan
desmetoksikurkumin. Hal ini berbeda dengan
kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit
(Curcuma domestica Val.) yang mengandung
sebuah komponen lainnya, yaitu bisdesmetoksikurkumin (Sidik et al. 1992).
OH
HO
R2
R1
O
R2
R1
Ome OMe
Ome
H
H
H
OH
: Kurkumin
: Desmetoksikurkumin
: Bis–Desmetoksikurkumin
Gambar 3 Struktur kurkuminoid.
Kurkumin mempunyai rumus molekul
C21H20O6 dengan bobot molekul 368,
sedangkan desmetoksikurkumin mempunyai
rumus molekul C20H18O5 dengan bobot
molekul
sebesar
338.
Dengan
membandingkan struktur kimia kurkumin,
desmetoksikurkumin,
dan
bisdesmetoksikurkumin,
dan
berdasarkan
aktivitas kurkumin sinergisme dengan
desmetoksikurkumin, gugusan aktif pada
kurkuminoid diduga terletak pada gugus
metoksil,
karena
pada
bisdesmetoksikurkumin, kedua gugus metoksil
telah tersubstitusi oleh atom hidrogen.
Menurut Rismunandar (1988), rimpang
temulawak mengandung kurkumin 1,4–4%,
sedangkan
menurut
Suwiah
(1991),
temulawak mengandung kurkumin sebesar
1,93%. Pigmen kurkumin larut dalam pelarut
polar seperti etanol, karena tingkat kepolaran
kurkumin hampir sama dengan etanol 95%.
Ekstraksi
Istilah ekstraksi digunakan untuk setiap
proses yang di dalamnya komponenkomponen pembentuk suatu bahan berpindah
ke dalam cairan lain (pelarut). Metode paling
sederhana untuk mengekstraksi padatan
adalah dengan mencampurkan seluruh bahan
dengan pelarut, lalu memisahkan larutan
dengan padatan tidak terlarut.
3
Menurut
Purseglove et al. (1981),
ekstraksi
rimpang
temulawak
untuk
memperoleh oleoresin dapat dilakukan
menggunakan pelarut polar. Somaatmadja
(1981) menyatakan bahwa etilena diklorida
merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan, tetapi etanol pelarut paling aman
karena tidak beracun. Etanol dapat
mengekstraksi oleoresin lebih banyak
dibandingkan dengan pelarut organik lainnya,
seperti aseton dan heksana.
Perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi
dilakukan bergantung pada sifat senyawa
dalam bahan yang akan diekstraksi (Robinson
1995). Perlakuan pendahuluan untuk bahan
yang mengandung minyak dapat dilakukan
dengan beberapa cara, di antaranya dengan
pengeringan bahan baku sampai kadar air
tertentu
dan
penggilingan
untuk
mempermudah proses ekstraksi dengan
memperbesar kontak antara bahan dan pelarut
(Harborne 1996).
Menurut List (1989), perendaman suatu
bahan dapat menaikkan permeabilitas dinding
sel melalui tiga tahapan: (1) masuknya pelarut
ke dalam dinding sel tanaman dan
membengkakkan sel; (2) senyawa yang
terdapat pada dinding sel tanaman akan lepas
dan masuk ke dalam pelarut; (3) difusi
senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar
dari dinding sel tanaman. Proses ekstraksi
padat-cair dipengaruhi oleh banyak faktor, di
antaranya lamanya ekstraksi, suhu yang
digunakan, pengadukan, dan banyaknya
pelarut yang digunakan (Harborne 1996).
Ria
(1989)
dalam
penelitiannya
mengekstraksi rimpang temulawak dengan
metode maserasi menggunakan 400, 600, dan
800 mL pelarut, selama 1, 3, dan 5 jam, serta
berukuran partikel 40 dan 60 mesh untuk
melihat pengaruh jumlah pelarut, lama
ekstraksi, dan ukuran partikel terhadap
rendemen dan mutu oleoresin. Bahan baku
diekstrak pada suhu 50 °C dengan kecepatan
pengadukan 700 rpm dan menggunakan
pelarut metanol, didapatkan bahwa rendemen
ekstrak yang diperoleh berkisar antara 15.70
dan 19.19%. Rendemen terbesar diperoleh
pada saat jumlah pelarut 600 mL, waktu
ekstraksi 3 jam, dan ukuran partikel 40 mesh.
Kadar kurkumin yang diperoleh 1.86–3.06%.
Suwiah (1991) melakukan ekstraksi
rimpang temulawak dengan metode refluks
pada suhu 70 °C untuk pelarut etanol 50 dan
95% serta 100 °C untuk pelarut air untuk
mendapatkan pengaruh perlakuan bahan dan
jenis pelarut pada pembuatan temulawak
instan terhadap rendemen dan mutunya.
Ekstraksi dilakukan dengan kecepatan
pengadukan magnetik skala 7, lama ekstraksi
3 jam, dan ukuran partikel 60 mesh, dari
metode ini didapatkan rendemen sebesar
21.87–66.74%, sementara kadar kurkumin
yang diperoleh 0.54–1.94%.
Widyastuti (1995) melakukan ekstraksi
kurkumin menggunakan metode maserasi
dengan pengadukan untuk melihat pengaruh
perbandingan pelarut dan lama ekstraksi
terhadap kadar kurkumin yang diperoleh.
Kondisi ekstraksi yang digunakan sebagai
berikut: perbandingan bahan dengan pelarut
1:5, 1:6, dan 1:7, serta lama ekstraksi 3, 4, dan
5 jam dengan pelarut aseton. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa ekstraksi
selama 5 jam menghasilkan rerata rendemen
sebesar 10.99% lebih besar dibandingkan
dengan 3 jam (8.59%) dan 4 jam (9.92%).
Sementara itu, kadar kurkumin ekstrak yang
diperoleh untuk waktu ektraksi 3, 4, dan 5 jam
berturut–turut sebesar 67.30%, 72.62% dan
77.52%.
Sidik (1985) mengisolasi kurkuminoid
menggunakan beberapa metode ekstraksi
dengan 9 sistem yang berbeda. Sistem ke-1,
menggunakan metode Soxhletasi dengan
pelarut eter minyak bumi. Residu diekstraksi
ulang dengan alkohol. Sistem ke-2,
menggunakan teknik maserasi menggunakan
pelarut alkohol. Sistem ke-3, 4, dan 5
menggunakan teknik Soxhletasi berturut-turut
dengan aseton, heksana, dan eter minyak bumi
sebagai pelarut. Residu di sistem ke-5
disoxhletasi ulang dua kali berturut–turut
dengan heksana dan aseton, diuapkan pada
tekanan rendah, lalu dibiarkan mengendap.
Sistem ke-6, 7, dan 8 menggunakan teknik
refluks berturut-turut dengan aseton, heksana
dan etanol sebagai pelarut. Sistem ke-9,
menggunakan teknik Soxhletasi dengan eter
minyak bumi sebagai pelarut. Residu
disoxhletasi ulang dengan benzena. Hasil
penelitian isolasi kurkuminoid dengan
berbagai ekstraksi ini menghasilkan bahwa
sistem isolasi ke-3 dan 8 menunjukkan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan sistemsistem lainnya.
Aan (2004) melakukan ekstraksi kurkumin
menggunakan metode maserasi dengan
pengadukan 280 rpm untuk melihat pengaruh
waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut
aseton. Kondisi ekstraksi yang digunakan
adalah suhu ruang dan 35 °C, nisbah pelarut
1:5 dan 1:8, serta lama ekstraksi 2, 6, 12, 18,
dan 24 jam. Diperoleh bahwa waktu ekstraksi
24 jam menghasilkan ekstrak lebih banyak
4
dibandingkan dengan waktu lainnya. Nisbah
pelarut 1:8 menghasilkan rendemen rerata
yang
lebih
banyak
(9.05–10.1%)
dibandingkan dengan nisbah pelarut 1:5
(8.64–9.85%). Kadar kurkumin rerata yang
terekstraksi dengan nisbah pelarut 1:8 (0.99–
1.39%) lebih tinggi dibandingkan dengan
nisbah 1:5 (0.93–1.25%). Suhu 35 °C
menghasilkan rendemen ekstrak lebih banyak
(9.34–10.01%) dibandingkan dengan suhu 27
°C (8.64–9.85%). Suhu 35 °C menghasilkan
kadar kurkumin terekstraksi relatif lebih besar
(1.13–1.52%) dibandingkan dengan suhu 27
°C (0.8–1.2%). Kadar kurkumin optimum
diperoleh pada saat ekstraksi berlangsung 18
jam pada suhu 35 °C, dan nisbah pelarut 1:8.
Yusro (2004) melakukan ekstraksi
kurkumin menggunakan metode maserasi
dengan pengadukan 100 rpm untuk melihat
pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut
pada ekstraksi kurkumin dari temulawak
dengan pelarut etanol. Ekstraksi dilakukan
pada suhu ruang dan 35 °C, dengan nisbah
pelarut 1:5 dan 1:8, selama 2, 6, 12, 18, dan
24 jam. Diperoleh kadar kurkumin sebesar
0.73–1.58%. Kondisi ekstraksi terbaik terjadi
pada suhu 35 °C, nisbah bahan baku dengan
pelarut 1:5, dan waktu ekstraksi 18 jam
dengan nilai rerata kurkumin yang terekstrak
sebesar 1.58%, efisiensi sebesar 44.38–
93.49%.
Optimalisasi Kondisi Operasi
Optimalisasi bertujuan menemukan nilai
peubah dalam proses yang menghasilkan nilai
terbaik pada syarat–syarat kondisi yang
digunakan. Penyelesaian optimalisasi terfokus
pada pemilihan peubah terbaik di antara
keseluruhan dan proses metode kuantitatif
yang efisien termasuk komputer, serta
perangkat lunak program komputasi yang
termasuk dalam pemilihan yang tepat dan
hemat biaya. Selain itu, untuk menjalankan
komputer membutuhkan analisis yang kritis,
pemahaman pada kesesuaian suatu objek, dan
pengalaman sebelumnya yang kadang disebut
“engineering
judgement”
sebelum
menghasilkan informasi yang berguna.
Konsep desain optimalisasi adalah
memperlihatkan semua kemungkinan analisis
percobaan. Response surface metamodels,
metode desain percobaan (dikenal sebagai
response surface methods (RSM)) lebih
menjanjikan. Metode ini terkenal dalam kimia
dan teknik industri, desain percobaan ini
merupakan bagian dari metode statistika yang
digunakan sebagai “kecerdasan” karena
dengan simulasi ataupun percobaan dapat
memberikan hasil yang tidak jauh berbeda.
Desain percobaan bergantung pada
analisis ragamnya atau ANOVA, untuk
memilih beberapa titik di luar dari data
peubah yang dimiliki memerlukan data yang
lebih banyak lagi. Metamodels dapat
memberikan hasil yang lebih cerdas untuk
memilih data berdasarkan metode regresi
standar berupa model polynomial dengan
memberikan input untuk mendapatkan output
yang diinginkan.
Keuntungan menggunakan RSM sangat
banyak. Berikut adalah ringkasan dari
kemampuan RSM dibandingkan teknik
modeling lainnya yang dapat dilihat kualitas
yang diinginkan.
Tabel 2 Perbandingan teknik metamodeling
Tipe Desain
Response
Surface
Methods
Neural
Networks
Model dinamik
Ya
Ya
linear
Model dinamik
Ya
Ya
non–linear
Model
Ya
Ya
fenomena
stokastik
Data yang
dibutuhkan
Rendah
Tinggi
terhadap output
yang diberikan
Kemampuan
untuk
Variabel
Mudah
menghancurkan
pembalik
identifikasi
Sumber: Amanda L. Cundy 2003
Traditional
Model
Reduction
Methods
Ya
Tidak
Tidak
Sedang
Variabel
pembalik
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid
Analisis kurkuminoid dapat dilakukan
dengan beberapa cara, misalnya spektroskopi
sinar tampak, titrasi volumetri, dan
kromatografi.
Analisis
kuantitatif
kurkuminoid
dapat
dilakukan
dengan
spektroskopi sinar tampak berdasarkan pada
reaksi pembentukan rubrokurkumin atau
rososianin pada panjang gelombang 420 nm
(Sidik et al. 1992).
Metode spektroskopi sinar tampak
dilakukan
dengan
cara
melarutkan
kurkuminoid ke dalam tetrahidrofuran (THF)
selama 24 jam, kemudian dilarutkan kembali
dengan metanol sebelum diukur serapannya.
THF merupakan pengekstrak kurkuminoid
paling baik jika dibandingkan dengan etanol,
aseton, dan etil asetat. Hal ini berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Batubara et al.
(2004) yang melakukan pemisahan ekstrak
temulawak menggunakan kromatografi lapis
5
tipis (KLT). Ekstrak THF memunculkan 5
noda yang berarti memiliki jenis zat yang
terekstrak lebih banyak dibandingkan dengan
ekstrak etil asetat yang hanya membentuk 4
noda. Selain itu, intensitas warna kurkuminoid
yang terbentuk pada lempeng KLT pada
ekstrak THF lebih pekat dibandingkan dengan
ekstrak etil asetat.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang
digunakan ialah
rimpang temulawak berumur 9 bulan berasal
dari Biofarmaka, akuades, NaOH 0.02N,
NaOH 45%, KI, HCl 0.02N, HCl 25%,
larutan Luff Schrool, larutan H2SO4,
CuSO4·5H2O, indikator amilum, etanol teknis,
THF (Unichrom), metanol GR untuk HPLC
(Scharlau ME 0315), dan standar kurkumin
(sigma).
Alat–alat yang digunakan ialah alat-alat
kaca, spektronic20D+, perangkat Kjeltech®,
oven, eksikator, perangkat refluks, dan
penguap putar Buchi R-114.
Metode
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kimia Organik, Departemen Kimia FMIPA
IPB dan Laboratorium Farmasi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Serpong. Bagan alir penelitian secara umum
terdapat pada Lampiran 1.
Perlakuan Pendahuluan
Perlakuan pendahuluan yang dilakukan
meliputi
pengecilan
ukuran
rimpang
temulawak yang diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka sampai ketebalan ±5–7 mm,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
50 °C sampai kadar air kurang dari 10% dan
digiling. Setelah itu, sampel diayak
menggunakan pengayak berukuran 20, 40, 60,
80, dan 100 mesh. Serbuk yang dipisahkan
dihitung persen jumlahnya berdasarkan
pemisahan pengayakan dan disimpan dalam
lemari pendingin. Selain itu, dilakukan juga
analisis kandungan proksimat terhadap
rimpang segar temulawak (Lampiran 2).
Ekstraksi
Etanol terlebih dahulu dipanaskan dalam
labu refluks berukuran 500 mL sampai
kondisi operasi yang diinginkan, kemudian
sebanyak 25 g serbuk temulawak dimasukkan
ke dalamnya dengan waktu, suhu, dan nisbah
pelarut sesuai dengan kondisi operasi.
Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan dengan berbagai ukuran mesh dan
pengadukan pada putaran 100 rpm adalah:
a. Variabel waktu
a. Waktu1 = 1 jam
b. Waktu2 = 2 jam
c. Waktu3 = 3 jam
d. Waktu4 = 4 jam
b. Variabel suhu
a. Suhu1 = 35 °C
b. Suhu2 = 45 °C
c. Suhu3 = 55 °C
c. Variabel nisbah pelarut
a. Nisbah Pelarut 1 = 1:4
b. Nisbah Pelarut 2 = 1:6
c. Nisbah Pelarut 3 = 1:8
Setelah ekstraksi selesai, ekstrak disaring.
Filtrat dimasukkan ke dalam botol untuk
selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar
untuk menentukan besarnya rendemen.
Penguapan dilakukan menggunakan suhu
40 °C sampai tidak ada distilat yang menetes.
Rendemen ditentukan dengan membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh setelah
dipekatkan terhadap bobot sampel kering yang
diekstraksi. Ekstrak yang telah dipekatkan
selanjutnya
dianalisis
kandungan
kurkuminoidnya dengan cara mengukur
serapannya menggunakan spektrofotometer
pada 420 nm.
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid
Pembuatan
kurva
standar
kurkuminoid. Standar kurkuminoid dibuat
dengan cara melarutkan standar kurkumin ke
dalam metanol dengan konsentrasi 1000 ppm
dan kemudian dilakukan pengenceran sampai
didapatkan konsentrasi 0.2, 0.4, 0.8, 1.6, dan
3.2 ppm. Setelah itu dilakukan pengukuran
serapan menggunakan spektrofotometer sinar
tampak pada panjang gelombang 420 nm.
Analisis
kurkuminoid
sampel
temulawak. Sebanyak 0.3 g sampel
temulawak ditimbang, kemudian dimasukkan
ke dalam labu takar 10 mL. Setelah itu
ditambahkan tetrahidrofuran (THF) sampai
tanda batas dan disimpan selama 24 jam pada
suhu kamar. Setelah 24 jam penyimpanan,
supernatan temulawak diambil dan diencerkan
sampai
1250
kali
dengan
metanol
menggunakan labu ukur dengan volume 10
mL. Kemudian dikocok sampai larut
sempurna dan larutan diukur serapannya pada
panjang gelombang 420 nm.
6
Rancangan Percobaan
Hasil penelitian diolah dengan software
Modde 5 dengan program Response Surface
Metamodels
(RSM) untuk mengetahui
konsentrasi optimum ekstrak temulawak, serta
melihat pengaruh dari perubahan waktu, suhu,
dan nisbah pelarut terhadap kandungan
kurkuminoid ekstrak temulawak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Proksimat Temulawak
Analisis proksimat rimpang temulawak
dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia
rimpang temulawak yang digunakan. Hasil
analisis
proksimat
diketahui
bahwa
kandungan kurkuminoid yang terdapat dalam
rimpang sebesar 2.98%. Hasil ini tidak
berbeda jauh dengan beberapa hasil penelitian
yang telah dilakukan. Sidik et al. (1992)
mendapatkan bahwa kadar kurkuminoid di
dalam temulawak sebesar 3.16%. Secara
lengkap hasil analisis proksimat rimpang
temulawak dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kadar proksimat temulawak kering
Komponen senyawa
Kadar (%)
Air
Abu
Lemak
Pati
Protein
Kurkuminoid
10.11
3.61
7.77
7.33
6.45
2.98
Perbedaan nilai kandungan kurkuminoid
yang diperoleh dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya umur rimpang,
tempat tumbuh, dan metode analisis yang
digunakan. Rimpang temulawak memiliki
kandungan kurkuminoid terbesar pada saat
berumur sembilan bulan sejak masa tanam.
Perlakuan Pendahuluan
Perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi
menjadi penting artinya untuk mempermudah
proses ekstraksi. Perlakuan pendahuluan yang
dilakukan bergantung pada sifat senyawa
dalam bahan yang akan diekstraksi (Robinson
1995). Perlakuan pendahuluan yang dilakukan
pada penelitian ini meliputi pengeringan
rimpang dan pengecilan ukuran rimpang.
Persentase kadar ukuran butir yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Persentase ukuran butir temulawak
Ukuran butir
Kadar
(mesh)
(%)
20
26.31
40
41.39
60
23.87
80
7.64
100
0.79
Ekstraksi
Ekstraksi serbuk temulawak dilakukan
menggunakan metode refluks dengan bantuan
pengadukan pada kecepatan tetap. Ekstraksi
dilakukan
dengan
bantuan
pengaduk,
kondensor, dan pengatur suhu pada kondisi
tertutup.
Perancangan
alat
ekstraksi
didasarkan pada efektifitas ekstraksi. Etanol
merupakan pelarut yang volatil, sehingga
tidak memungkinkan ekstraksi dilakukan
dalam keadaan terbuka karena akan
mengakibatkan kehilangan pelarut dalam
jumlah yang cukup banyak. Kondensor
berfungsi menghindari terjadinya penguapan
pelarut. Pengadukan berfungsi meningkatkan
efektifitas ekstraksi. Penggunaan etanol
sebagai pelarut disebabkan karena beberapa
hal di antaranya kepolaran, toksisitas, dan
penelitian–penelitian sebelumnya.
Kurkuminoid merupakan senyawa yang
bersifat polar, kepolarannya disebabkan oleh
gugus –OH yang terdapat pada struktur
kurkuminoid. Kurkuminoid larut dalam
pelarut–pelarut mempunyai kepolaran yang
hampir sama. Etanol memliki kepolaran mirip
dengan
kurkuminoid
sehingga
cocok
digunakan untuk mengekstrak kurkuminoid.
Hasil penelitian Sidik (1985) sebelumnya
memperlihatkan kadar kurkuminoid terbesar
yang terekstrak terdapat dalam pelarut aseton
dan etanol.
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan
empat faktor waktu, yaitu 1, 2, 3, dan 4 jam,
tiga faktor suhu, yaitu 35, 45, dan 55 °C, serta
tiga faktor perbandingan bahan baku–pelarut,
yaitu 1:4, 1:6, dan 1:8. Pada umumnya
ekstraksi
menggunakan
refluks
tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama agar
diperoleh hasil yang maksimal karena pelarut
langsung bersatu dengan ekstrak. Adanya
pengadukan dapat mempercepat ekstraksi
sehingga
refluks
dengan
pengadukan
diperkirakan dapat maksimal dalam waktu
yang lebih cepat.
Pemilihan suhu 35, 45, dan 55 °C
didasarkan pada metode dan jenis pelarut
17.0000
15.0000
13.0000
11.0000
9.0000
1
2
3
4
Waktu (jam)
35; 1:4
45; 1:4
55; 1:4
35; 1:6
45; 1:6
55; 1:6
35; 1:8
45; 1:8
55; 1:8
Gambar 4 Kurva rendemen ekstrak temulawak
Rendemen ekstrak yang diperoleh dari
hasil penelitian ini lebih kecil jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Ria
(1989) dan Suwiah (1991), yakni sebesar
15.70–19.19% dan 21.81–66.74%. Hal ini
disebabkan karena beberapa hal di antaranya
ukuran serbuk, suhu, dan kecepatan
pengadukan yang digunakan berbeda. Suwiah
(1991) melakukan ekstraksi dengan ukuran
serbuk yang digunakan 60 mesh, suhu 70 °C,
dan kecepatan pengadukan dengan pengaduk
magnet skala 7, sedangkan pada penelitian ini
ukuran butir yang digunakan bervariasi dari
20–100 mesh, suhu dari 35–55 °C dan
kecepatan pengadukan pada 100 rpm.
Hasil rendemen ekstraksi yang diperoleh
cenderung mengalami peningkatan sampai
waktu ekstraksi 4 jam sehingga jika waktu
ekstraksi ditambah, rendemen kemungkinan
masih mengalami kenaikan. Hasil penelitian
ini menunjukkan rendemen hasil ekstraksi
rerata terbesar diperoleh saat ekstraksi 4 jam
sebesar 13.66%.
Analisis Kuantitatif Kurkuminoid
Pembuatan Kurva Standar Kurkuminoid
Kurva standar kurkuminoid diukur pada
panjang gelombang 420 nm. Kurva standar
untuk larutan kurkuminoid memiliki linieritas
yang tinggi dan ditunjukkan dengan nilai R2
yang hampir mendekati 1 (Gambar 5). Dari
grafik diperoleh persamaan garis y = 0,1844x
+ 0,0035 dengan R2 = 99,98%.
0.7000
0.6000
Absorbansi
yang digunakan. Metode refluks pada
umumnya dilakukan pada suhu tinggi tanpa
perlakuan pengadukan. Pemilihan suhu 55 °C
didasarkan pada pertimbangan bahwa etanol
memiliki titik didih sekitar 78 °C dan bersifat
volatil meskipun pada suhu ruang sehingga
perlakuan suhu yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan penguapan pelarut yang lebih
besar dan dapat merusak senyawa yang tidak
tahan panas. Pemilihan nisbah bahan baku–
pelarut 1:4, 1:6, dan 1:8 didasarkan pada hasil
penelitian sebelumnya. Widyastuti (1995)
melakukan ekstraksi kurkumin dengan nisbah
pelarut yang digunakan 1:5, 1:6, dan 1:7.
Hasil penelitiannya mempelihatkan bahwa
nisbah pelarut 1:5 menghasilkan kadar
kurkumin yang jauh berbeda dengan 1:6 dan
1:7. Pemilihan nisbah 1:4 dan 1:8 diharapkan
menghasilkan kadar kurkuminoid yang
berbeda nyata dibandingkan 1:5.
Rendemen yang dihasilkan untuk berbagai
macam waktu, suhu, dan nisbah cenderung
meningkat selaras dengan peningkatan waktu
(Lampiran 3). Hal ini disebabkan semakin
lama waktu ekstraksi, semakin lama waktu
kontak antara pelarut dan bahan baku
sehingga proses penetrasi pelarut kedalam sel
bahan baku akan semakin baik yang
menyebabkan semakin banyaknya senyawa
yang berdifusi keluar sel. Hasil yang diperoleh
memperlihatkan bahwa waktu ekstraksi 4 jam
(11.55–16.26%) menghasilkan rendemen
ekstrak yang lebih banyak dibandingkan
waktu 1 jam (9.91–11.67%), 2 jam (10.35–
12.46%), dan 3 jam (11.29–14.35%).
Peningkatan rendemen juga terjadi untuk
suhu maupun nisbah bahan baku–pelarut.
Suhu 55 °C (10.77–16.26%) memberikan
rendemen yang lebih banyak dibandingkan
suhu 45 °C (10.06–15.72%) dan suhu 35 °C
(9.91–15.81%). Peningkatan ini dikarenakan
fleksibilitas dinding sel bahan baku bertambah
dengan naiknya suhu yang digunakan
sehingga pelarut lebih mudah bergerak ke
dalam sel dan membawa senyawa yang
terlarut.
Faktor perbandingan bahan baku–pelarut
1:8 menghasilkan rendemen rata–rata yang
lebih besar dari nisbah 1:6 dan 1:4. Hal ini
terlihat dari Gambar 4, nisbah 1:8 (10.27–
16.26%) senantiasa memberikan nilai yang
lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah 1:6
(9.91–13.46%) dan nisbah 1:4 (10.05–
12.31%). Semakin banyak jumlah pelarut
yang
digunakan,
semakin
besar
kesetimbangan konsentrasi yang terbentuk
pada saat ekstraksi sehingga jumlah ekstrak
yang diperoleh semakin banyak.
Rendemen (%)
7
y = 0.1844x + 0.0035
R2 = 0.9998
0.5000
0.4000
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
Konsentrasi (ppm)
Gambar 5 Kurva hubungan antara absorbansi
dan konsentrasi standar kurkumin.
8
Analisis kurkuminoid temulawak
Kdr kurkuminoid
ekstrak (%)
Analisis
kadar
kurkuminoid
yang
terekstraksi ditentukan secara kuantitatif
menggunakan spektroskopi sinar tampak.
Data kurva standar yang diperoleh digunakan
untuk mengetahui kadar kurkuminoid pada
ekstrak temulawak. Kandungan kurkuminoid
dalam sampel temulawak sebesar 2.98%,
sedangkan kandungan kurkuminoid pada
masing–masing perlakuan terdapat pada
Gambar 6.
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
1
35; 1:4
45; 1:4
55; 1:4
2
waktu (jam)
35; 1:6
45; 1:6
55; 1:6
3
4
35; 1:8
45; 1:8
55; 1:8
Gambar 6 Kurva kadar kurkuminoid ekstrak.
Kadar kurkuminoid yang diperoleh dari
hasil analisis ekstrak hasil perlakuan ekstraksi
seperti terlihat pada Lampiran 4. Pengaruh
perlakuan
ekstraksi
terhadap
kadar
kurkuminoid yang terekstrak terlihat pada
Gambar
6.
Hasil
yang
diperoleh
memperlihatkan bahwa kadar kurkuminoid
yang
terekstraksi
berkurang
dengan
bertambahnya suhu, waktu, dan nisbah pelarut
yang digunakan. Suhu 35 °C menghasilkan
kadar kurkuminoid yang relatif lebih besar
(9.02–24.45%) dibandingkan dengan suhu 45
°C (5.18–15.72%) dan suhu 55 °C (1.87–
18.09%). Hal ini disebabkan karena semakin
tinggi suhu, semakin tinggi permeabilitas
dinding sel sehingga kurkuminoid yang
terdapat pada sampel diduga mengalami
kerusakan. Kadar kurkuminoid rerata yang
terekstraksi dengan nisbah 1:4 (3.96–23.30%)
lebih besar dibandingkan nisbah 1:6 (2.73–
24.45%) dan nisbah 1:8 (1.87–18.43%).
Perbandingan bahan baku 1:4 yang
memberikan nilai lebih besar dibandingkan
1:8 dapat diakibatkan pada nisbah 1:8 yang
terekstrak lebih besar senyawa–senyawa
bukan kurkuminoid.
Waktu
berpengaruh
cukup
nyata
disebabkan semakin lama waktu ekstraksi,
semakin lama waktu kontak antara pelarut
dengan bahan baku sehingga proses penetrasi
pelarut ke dalam sel bahan baku akan semakin
baik yang berakibat semakin banyaknya
senyawa yang berdifusi keluar sel. Kadar
kurkuminoid rerata yang terekstrak cenderung
meningkat selaras dengan peningkatan waktu
namun pada saat waktu ekstraksi 4 jam terjadi
penurunan
kadar
kurkuminoid
yang
terekstrak, seperti terlihat pada Gambar 6.
Kadar kurkuminod yang terekstrak pada
waktu 1 jam (1.86–23.30%), 2 jam (7.64–
17.13%), 3 jam (8.30–24.45%) dan 4 jam
(2.73–20.45%). Kadar kurkuminoid yang
menurun setelah waktu 3 jam diduga
diakibatkan karena kerusakan kurkuminoid.
Sifat
kurkuminoid
yang
fotosensitif
menyebabkan kurkuminoid dapat mengalami
dekomposisi oleh cahaya membentuk asam
ferulat (Tonnesen dan Karlsen 1985 dalam
Sidik 1992). Penurunan kadar kurkuminoid
setelah waktu ekstraksi 3 jam diakibatkan
semakin lama waktu kontak kurkuminoid
dengan cahaya, semakin banyak kurkuminoid
yang mengalami kerusakan.
Optimalisasi Kadar kurkuminoid
Kondisi operasi ekstraksi yang meliputi
waktu, suhu, dan nisbah bahan baku–pelarut
diamati untuk melihat pengaruhnya terhadap
kandungan kurkuminoid yang terekstrak pada
sampel temulawak. Pengaruh waktu dan suhu
terhadap kadar kurkuminoid dalam ekstrak
pada nisbah 1:4 terdapat pada Gambar 7
(Kurva 3 dimensi pada Lampiran 5).
Gambar 7 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu
dan suhu pada nisbah 1:4 terhadap
kadar kurkuminoid.
Gambar 7 memperlihatkan bahwa semakin
tinggi suhu ekstraksi, semakin kecil kadar
kurkuminoid yang terekstrak. Hal ini
disebabkan oleh semakin tinggi suhu
ekstraksi, semakin tinggi permeabilitas
dinding sel sehingga kurkuminoid yang
terdapat pada sampel diduga mengalami
kerusakan.
9
Waktu yang digunakan juga memberikan
pengaruh yang sama dengan suhu, semakin
lama waktu ekstraksi, semakin sedikit kadar
kurkuminoid. Kadar kurkuminoid menurun
diduga diakibatkan karena adanya kerusakan
kurkuminoid.
Gambar 8 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu
dan suhu pada nisbah 1:6 terhadap
kadar kurkuminoid.
Waktu dan suhu ekstraksi pada nisbah 1:6
(Gambar 8) berpengaruh sama dengan nisbah
1:4, yaitu semakin lama waktu dan semakin
tinggi suhu ekstraksi menurunkan kadar
kurkuminoid
yang
dihasilkan.
Kadar
kurkuminoid yang dihasilkan pada nisbah 1:6
lebih baik dari nisbah 1:4 karena semakin
banyak jumlah pelarut yang digunakan,
semakin besar kesetimbangan konsentrasi
yang terbentuk saat ekstraksi sehingga kadar
kurkuminoid yang diperoleh semakin banyak.
Pengaruh waktu dan suhu terhadap kadar
kurkuminoid dalam ekstrak pada nisbah 1:6
terdapat pada Gambar 8 (Kurva 3 dimensi
pada Lampiran 5).
Gambar 9 memperlihatkan kandungan
kurkuminoid yang semakin menurun dengan
bertambahnya suhu ekstraksi pada nisbah 1:8.
Hal ini serupa dengan nisbah 1:4 dan 1:6,
namun pengaruh suhu pada nisbah 1:8 tidak
sebaik nisbah 1:4 dan 1:6. Kadar kurkuminoid
yang dihasilkan pada nisbah 1:8 lebih rendah
dari nisbah lainnya yang dapat diakibatkan
pada nisbah 1:8 yang terekstrak lebih besar
senyawa–senyawa bukan kurkuminoid.
Pengaruh waktu pada nisbah 1:8
berbanding terbalik dengan nisbah 1:4 dan
nisbah 1:6. Semakin bertambahnya waktu
ekstraksi, semakin besar kadar kurkuminoid
yang terekstrak. Hal ini disebabkan oleh
semakin lama waktu ekstraksi, semakin lama
waktu kontak antara pelarut dan bahan baku
pada nisbah 1:8 sehingga proses penetrasi
pelarut ke dalam sel bahan baku semakin baik
yang berakibat semakin banyak senyawa yang
berdifusi keluar sel
Gambar 9 Kurva 2 dimensi pengaruh waktu
dan suhu pada nisbah 1:8
terhadap kadar kurkuminoid.
Hasil Analisis keragaman atau ANOVA
(Lampiran 6) menghasilkan persamaan suhu
ekstraksi, nisbah bahan baku-pelarut, waktu
ekstraksi, dan interaksinya terhadap respons
yang diukur, yaitu kadar kurkuminoid.
Menurut Edgar TF dan Himmelblau DM
(1988) optimalisasi bertujuan mencari atau
menemukan nilai pada variabel dalam proses
yang menghasilkan nilai terbaik dari syarat–
syarat kondisi yang digunakan. Nilai optimum
dari ekstraksi kurkuminoid yang diperoleh
dengan menggunakan software Modde 5.0
dengan program RSM adalah saat suhu 35 °C,
nisbah bahan baku–pelarut 1:4.8799, dan
waktu ekstraksi 1.4 jam.
Persamaan suhu ekstraksi, nisbah bahan
baku–pelarut, dan waktu ekstraksi terhadap
kadar kurkuminoid adalah:
Y = 11.3818 – 3,50588 a + 0,0565855 b –
0,322026 c + 1,28143 a2 + 0,809143 b2 –
1,44786 c2 – 0,045 ab + 0,0784025 ac +
1,63284 bc + 0,498978abc
Keterangan:
a
= suhu ekstraksi
b
= nisbah bahan baku pelarut
c
= waktu ekstraksi
= interaksi antar suhu
a2
b2
= interaksi antar nisbah
c2
= interaksi antar waktu
ab
= interaksi antara suhu ekstraksi
dan nisbah bahan baku–pelarut
ac
= interaksi antara suhu ekstraksi
dan waktu ekstraksi
10
bc
abc
= interaksi antara nisbah bahan baku
pelarut dan waktu ekstraksi
= interaksi antara suhu ekstraksi,
nisbah bahan baku–pelarut dan
waktu ekstraksi
Persamaan diatas memberikan pengaruh
nyata terhadap kadar kurkuminoid ekstrak
dengan nilai peluang (P) 0.027 (Lampiran 6)
yang lebih kecil daripada taraf α (5%). Hal ini
berarti perbedaan nilai suhu, nisbah, dan
waktu mempengaruhi kadar kurkuminoid
yang diperoleh.
Validasi Ekstrak
Suhu 35 °C, nisbah bahan baku–pelarut
1:4.8799, dan waktu ekstraksi 1.4 jam hasil
optimalisasi dari software Modde 5.0 dengan
program RSM, kemudian diperiksa dengan
melakukan validasi terhadap hasil ekstraksi
yang diperoleh. Hasil validasi ekstrak dapat
dilihat pada Tabel 5 (Lampiran 7).
Tabel 5 Hasil validasi ekstrak optimum
Respon
RSM
Validasi
Kadar
kurkuminoid
19.8815
20.3
Dari hasil validasi menunjukkan bahwa
nilai respons mendekati nilai dari program
RSM. Hal ini berarti nilai optimum kadar
kurkuminoid sesuai antara hasil ekstraksi dan
olahan data RSM.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai optimalisasi kadar kurkuminoid
temulawak terjadi saat suhu 35 °C, nisbah
bahan baku–pelarut 1:4.8799, dan waktu
ekstraksi 1.4 jam adalah 20.3%. Perubahan
suhu ekstraksi, nisbah bahan baku–pelarut,
dan waktu ekstraksi memengaruhi kadar
kurkuminoid yang diperoleh.
Saran
Disarankan untuk meneliti lebih lanjut
dugaan adanya senyawaan kurkuminoid yang
rusak selama ekstraksi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of
The Association of Official Analytical
Chemist. Virginia USA: AOAC
Aan. 2004. Pengaruh waktu, suhu dan nisbah
bahan baku–pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut
aseton
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Batubara I, Yusnira, Darusman LK. 2004.
Penentuan Kadar Kurkuminoid pada
Temulawak
Menggunakan
Metode
Spektroskopi dan Kromatografi Cairan
Kinerja Tinggi. Di dalam: Seminar
Nasional Hasil Penelitian MIPA 2004;
Semarang:
FMIPA
Universitas
Diponegoro. Hlm 57–60.
Cundy L, Amanda. 2003. Use of Response
Surface Metamodels
in Damage
Identification of Dynamic Structures.
Virginia: Blacksburg.
Dalimartha S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Darma AP. 1980. Tanaman Obat Tradisional
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djakamiharja S. Setyadiredja P, Sudjono I.
1985. Budidaya Tanaman Temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) dan Prospek
Pengembangan di Indonesia. Di dalam
Simposium
Nasional
Temulawak,
Bandung: Lembaga Penelitian Universitas
Padjajaran. Hlm 49–58.
Edgar TF, Himmelblau DM. 1988.
Optimization of chemical processes.
Chemical Engineering Series. New York:
McGraw–Hill International Editions.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia: Cara
Menganalisis Tanaman. Terjemahan K.
Padmawinata, I Sudiro. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Heyne K. 1987. Tanaman Berguna Indonesia.
Terjemahan Badan Litbang Kehutanan
Jakarta. Jilid I. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan.
11
Liang OB, Widjaja Y, Puspa S. 1985.
Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi, dan
Penggunaan
Komponen–komponen
Curcuma xantorriza Roxb. dan Curcuma
domestica. Proseding Simposium Nasional
Temulawak. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
List
PH,
Schmidt
PC.
1989.
Phytopharmaceutical Technology. Boston:
CRC Pr.
Montgomery DC. 1991. Design and Analysis
of Experiments. New York: John Wiley &
Sons.
Purseglove JW, EG Brown, GL Green,
Robbins SRG. 1981. Spices Vol. II. New
York: Longman.
Ria EB. 1989. Pengaruh jumlah pelarut, lama
ekstraksi, dan ukuran bahan terhadap
rendemen dan mutu oleoresin temulawak
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar.
1988.
Rempah–rempah
Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung:
Sinar Baru.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik
Tumbuhan Tinggi. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Somaatmadja
D.
1981.
Prospek
Perkembangan Industri Oleoresin di
Indonesia.[Komunikasi]. BBIHP no. 201.
Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A. 1992.
Temulawak (Curcuma xanthorriza Robx.).
Jakarta: Yayasan Pengembangan Obat
Bahan Alam Phytomedica.
Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan
dan jenis pelarut yang digunakan pada
pembuatan temulawak instant terhadap
rendemen dan mutunya [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Widyastuti. 1995. Mempelajari pengaruh
perbandingan serbuk kunyit dan lama
ekstraksi terhadap produksi kurkumin
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Yusro AK. 2004. Pengaruh waktu, suhu dan
nisbah bahan baku–pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut
etanol
[skripsi].
Bogor:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Rimpang Temulawak segar
Pemotongan (ketebalan ± 5–7 mm)
Pengeringan (suhu ± 50 °C)
Kadar air ≤10%
Penggilingan
Analisis proksimat:
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Kadar Pati
Total Nitrogen
Ekstraksi EtOH
Pemekatan (rotavapour)
Analisis Kurkuminoid
Analisis data RSM
Kondisi Optimal
Ekstraksi Validasi
14
Lampiran 2 Prosedur analisis proksimat rimpang temulawak
Analisis Kadar Air
Penentuan kadar air temulawak dilakukan dengan metode gravimetri. Sebanyak ±
1,0000 g temulawak dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui
bobotnya, kemudian cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105
o
C sampai bobotnya konstan. Setelah itu, dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang.
Kadar air temulawak dihitung dengan persamaan:
Kadar air = (X - Y) × 100%
X
keterangan: X = berat sampel mula–mula (g)
Y = berat sampel kering (g)
Analisis Kadar Abu
Penentuan kadar abu Temulawak dilakukan dengan metode gravimetri. Cawan
porselen dibersihkan dan dimasukkan ke dalam tanur untuk menghilangkan sisa–sisa
kotoran yang menempel dalam cawan, kemudian didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Sebanyak ± 0,5000 g temulawak dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan
dipanaskan sampai tidak berasap, kemudian dibakar dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 oC sampai diperoleh abu berwarna putih. Setelah itu, cawan beserta isinya
dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu temulawak dihitung dengan
persamaan:
Berat abu (g)
Kadar abu =
× 100%
Berat cuplikan (g)
Analisis Kadar Lemak
Labu lemak yang bersih yang ditambahkan beberapa batu didih ditimbang bobot
kosongnya. Labu lemak ini diisi dengan pelarut petroleum benzin. Sebanyak 3 g
temulawak kering dibungkus dengan kertas saring yang dibuat dengan bentuk
selongsong. Selongsong ini ditempatkan dalam alat soklet yang disambungkan dengan
radas refluks dan labu lemak. Ekstraksi dilakukan selama ± 6 jam. Setelah larutan lemak
dalam pelarut disulingkan, diperoleh kembali pelarut yang semula dipakai dan lemak
dalam labu lemak.
Bobot Lemak (g)
Kadar lemak =
× 100%
Bobot Contoh (g)
Analisis Kadar Pati
Sebanyak 10 mL ekstrak gula pereduksi ditambah dengan 25 mL larutan Luff Schoorl
dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 100 mL, selanjutnya dipanaskan hingga larutan
mendidih, dan dibiarkan selama ± 10 menit. Setelah dingin ditambahkan 10 mL KI 20%,
25 mL H2SO4 25% dan langsung dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N sampai warnanya
menjadi kuning muda, ditambahkan 2 tetes indikator pati dan titrasi dilanjutkan sampai
warna biru kehitaman hilang. Titrasi dilakukan duplo. Prosedur tersebut berlaku pula
untuk blanko dengan mengganti contoh dengan destilata. Kadar gulanya dapat ditentukan
dengan tabel Luff Schoorl berdasarkan selisih titran antara blanko dengan contoh.
15
Lanjutan Lampiran 2
Analisis Kadar Total Nitrogen
Analisis nitrogen ini dilakukan dengan metode Kjeldahl terhadap daging pisang batu
untuk menentukan % N total. Sebanyak 0,5–1 g contoh ditimbang dalam labu dekstruksi.
Kemudian ditambahkan 12 mL H2SO4 pekat dan tablet selenium (sebagai katalis),
dekstruksi larutan tersebut selama 45 menit sampai jernih. Larutan hasil dekstuksi
tersebut ditempatkan pada alat destilasi Kjeltech®, kemudian didestilasi uap. Uapnya
ditampung ke dalam erlenmeyer yang berisi asam borat 4% dan indikator BCG–MM.
Selesai destilasi, destilat yang diperoleh dititrasi dengan HCl 0,02N sampai titik akhir
yang ditandai dengan perubahan warna dari biru menjadi merah muda. Dilakukan juga
penetapan blanko.
16
Lampiran 3 Data hasil rendemen ekstraksi temulawak
Suhu
Nisbah
Waktu
35
1:4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1:6
1:8
45
1:4
1:6
1:8
55
1:4
1:6
1:8
Ulangan 1
10.32
10.35
11.28
11.54
22.33
30.79
18.40
29.07
48.89
11.95
13.21
15.80
10.07
10.60
11.43
12.11
10.15
10.90
12.40
12.70
10.26
11.37
13.97
15.70
11.62
12.05
12.89
13.02
12.01
13.01
13.39
14.06
12.26
12.76
14.34
16.28
Rendemen (%)
Ulangan 2 Ulangan 3
9.83
10.01
10.36
10.36
11.28
11.30
11.55
11.56
9.92
9.91
10.72
10.71
12.47
12.50
12.54
13.39
10.66
10.67
11.97
11.97
13.24
13.26
15.79
15.84
10.01
10.09
10.60
10.63
11.40
11.43
12.11
12.14
10.19
10.18
10.89
10.88
12.39
12.42
12.71
12.72
10.27
10.28
11.36
11.38
14.01
14.02
15.73
15.73
10.36
10.35
10.83
10.85
11.60
11.61
11.95
11.96
11.00
11.03
11.23
11.25
12.40
12.41
13.16
13.16
11.37
11.37
12.33
12.31
14.37
14.36
16.23
16.27
Rataan
10.05
10.36
11.29
11.55
9.91
10.71
12.49
12.97
10.66
11.96
13.24
15.81
10.06
10.61
11.42
12.12
10.17
10.89
12.40
12.71
10.27
11.37
14.00
15.72
10.77
11.24
12.03
12.31
11.35
11.83
12.73
13.46
11.67
12.46
14.35
16.26
17
Lampiran 4 Data kadar kurkuminoid ekstrak temulawak
Suhu
Nisbah
Waktu
Rataan
Kadar Kurkuminoid (%)
35
1:4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
26.21
17.11
10.48
8.71
13.29
17.21
29.02
20.89
16.85
15.33
17.85
9.41
6.93
8.04
12.37
15.27
6.98
9.32
13.36
5.42
6.68
13.18
16.08
15.50
17.48
12.93
8.62
3.83
8.49
2.35
5.45
2.86
2.00
14.55
13.14
9.05
1:6
1:8
45
1:4
1:6
1:8
55
1:4
1:6
1:8
18
Lampiran 5 Kurva 3 dimensi pengaruh waktu dan suhu terhadap kadar kurkuminoid
ekstrak temulawak
Pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:4 terhadap kadar kurkuminoid
Pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:6 terhadap kadar kurkuminoid
19
Lanjutan Lampiran 5
Pengaruh waktu dan suhu pada nisbah 1:8 terhadap kadar kurkuminoid
20
Lampiran 6 Hasil analisis ANOVA dan koefisien kuadratik
Analisis ANOVA untuk kadar kurkuminoid
kadar
DF
SS
Total
Constant
36
1
6549.79
5189.76
MS
(variance)
181.939
5189.76
Total Corrected
Regression
Residual
35
10
25
1360.03
617.901
742.125
Lack of Fit
(Model Error)
Pure Error
(Replicate Error)
25
0
N = 36
DF = 25
Comp. = 1
Q2 =
R2 =
R2 Adj. =
F
p
SD
38.8579
61.7901
29.685
2.08153
0,027
6.23361
7.86067
5.44839
––
––
––
––
––
––
––
0.104
0.454
0.236
Cond. no. =
Y–miss =
RSD =
––
5.9315
0
5.4484
Analisis Koefisien Kuadratik untuk kadar kurkuminoid
kadar
Constant
suh
nis
wak
suh*suh
nis*nis
wak*wak
suh*nis
suh*wak
nis*wak
suh*nis*wak
N = 36
DF = 25
Comp. = 1
Coeff. SC
11.3818
–3.50588
0.0565855
–0.322026
1.28143
0.809143
–1.44786
–0.045
0.0784025
1.63284
0.498978
Q2 =
R2 =
R2 Adj. =
Std. Err.
2.32623
0.920947
0.920947
0.920947
1.32089
1.32089
1.16751
0.93401
0.93401
0.93401
0.947259
0.104
0.454
0.236
P
4.91901e–005
0.000812317
0.951496
0.729516
0.341276
0.54569
0.226444
0.961951
0.933773
0.0927012
0.603003
Conf. int(±)
4.79096
1.89673
1.89673
1.89673
2.72043
2.72043
2.40454
1.92363
1.92363
1.92363
1.95092
Cond. no. =
Y–miss =
RSD =
Conf. lev. =
5.9315
0
5.4484
0,95
21
Lampiran 7 Hasil uji Duncan pada validasi kadar kurkuminoid optimum
The SAS System
23:38 Tuesday, May 13, 1997
1
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for kkmn
NOTE:
This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Confidence Interval for Mean
Mean
Level (%) Lower Limit
19.8815
99.0000
19.6827
19.8815
95.0000
18.8874
Upper Limit
20.0803
20.8756
Parameter (Mu)
19.8815
Signed Rank Test for Location
N ^= Mu
N > Mu
Statistic
1
1
0.5000
P-Value
1.0000
Parameter (Mu)
20.3
Signed Rank Test for Location
N ^= Mu
N > Mu
Statistic
1
1
0.5000
P-Value
1.0000
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
A
C
C
C
Mean
A
18.8874
B
B
B
B
B
B
B
B
B
19.6827
19.8815
20.0803
20.3000
D
20.8756
Download