II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Je nis Subsidi Moor (2001) mendefinisikan subsidi dengan “all measures that keep prices for consumers below market level or keep prices for producers above market level or that reduce costs for consumers and producers by giving direct and indirect support” (Subs idi ada lah selur uh kebijaka n yang ditujuka n untuk membantu konsumen tertentu agar dapat membayar produk dengan harga di bawah harga pasar, atau dapat juga berupa kebijaka n yang ditujuka n untuk membantu produsen agar memperoleh pandapatan di atas harga yang dibayar oleh konsumen, dengan cara memberikan bantuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung). Sedangkan Handoko dan Patriadi (2005) mendefinisikan subsidi sebagai suatu pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapa i tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memprod uksi atau mengko nsumsi suatu prod uk da lam kuantitas yang lebih besar atau pada harga ya ng lebih murah. Sementara berkaitan dengan subs idi energi, termasuk subsidi listrik, Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) mendefinisikan subsidi energi sebagai “any government action that concerns primarily the energy sector that lowers the cost of energy production, raises the price received by energy producers or lowers the price paid by energy consumers” (Subsidi energi adalah setiap kebijakan pemerintah pada sektor energi untuk menurunka n biaya produksi dengan menaikan harga yang diterima produsen atau konsumen membeli dengan harga lebih murah). 16 Dalam konteks ketenagalistrikan di Indonesia, subsidi energi listrik merupaka n jumlah da na yang harus dibayar Pemerintah kepada PT. PLN (Persero) yang dihitung berdasarkan selisih negatif antara harga jual tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing golongan tarif dikurangi biaya pokok penyediaan/BPP (Rp/kWh) pada tegangan di masing- masing golongan tarif ditambah margin (persentase dari BPP) dikalikan volume penjualan (kWh) untuk setiap golongan tarif. 1 Sementara jenis subsidi menurut Suparmoko da lam Handoko dan Pariadi (2005) secara garis besar dibedakan da lam dua be ntuk yaitu subs idi da lam be ntuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Subs idi bentuk uang biasanya diberikan pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk uang kepada konsumen mempunyai keunggulan lebih murah bagi pemerintah daripada subsidi dalam bentuk penuruna n harga, da n memberikan kebebasan dalam membelanjakannya. Sedangkan subsidi dalam bentuk barang adalah subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu. Biasanya pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran dibawah harga pasar. Dampak subsidi be ntuk barang ini antara lain: (i) dapat mengurangi jumlah pembelian untuk barang yang disubsidi tetapi konsumsi total bertambah, (ii) secara total konsumsi tidak berubah, hal ini dapat terjadi jika pemerintah disamping memberikan subsidi juga 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.02/2007 17 menarik pajak yang sama besarnya dengan subsidi, (iii) konsumsi dapat menjadi terlalu tinggi (overconsumption), jika jumlah yang disediakan oleh pemerintah lebih besar daripada jumlah sesungguhnya yang tersedia untuk dibeli konsumen, atau (iv) sebaliknya konsumsi menjadi terlalu rendah (underconsumption), apabila jumlah subsidi yang disediakan oleh pemerintah lebih kecil daripada jumlah yang diharapkan oleh konsumen. 2.2. Efek Pemberian Subsidi Menurut Reiche dan Teplitz (2009), secara garis besar alasan pemberian subsidi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Pasar gagal untuk mendapatkan titik temu antara permintaan dan penawaran dengan cara yang paling menguntungkan. Subsidi berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan, hal ini dapat terjadi sepanjang biaya sosialnya tidak melebihi nilai keuntungan. Ada berbagai alasan yang mendukung alasan ini, seperti kegagalan pasar (market failures), pasar tidak sempurna (market imperfections), da n eksternaliti (externality). 2. Pemberian subsidi berkaitan aspek distribusi (distribustional considerations). Subsidi diberikan kepada kelompok masyarakat tersebut untuk dapat hidup layak pada tingkat tertentu. Dalam masalah ini subsidi biasanya dikaitkan dengan aspek kemiskinan (poverty), keterjangkauan (affordability) dan keadilan (fairness). Meskipun kedua alasan tersebut berbeda, tetapi dalam pelaksanaannya sangat sulit memisahkan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, pemulihan kegagalan pasar (market failures) untuk meningkatkankan efisiensi eko nomi 18 sering dijadikan dalih kebijakan pemberian subsidi yang dikaitkan dengan masalah pemerataan. Kebijakan pemberian subsidi mempunyai efek pos itif maupun negatif. Efek pos itif kebijakan pemberian subsidi terjadi apabila kebijakan ini dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki pos itif eksternalitas. Subsidi dapat meningkatkan output da n akan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya subsidi untuk pendidikan dan teknologi tinggi. Namun demikian, peningkatan jumlah subsidi akan mengakibatkan pajak yang lebih tinggi atau peningkatan harga untuk barang-barang konsumen. Hal initerjadi karena pajak merupakan sumber dana untuk subsidi. Menurut Basri dalam Handoko dan Pariadi (2005), subsidi yang tidak transparan dan tidak tepat sasaranakan mengakibatkan: (i) distorsi baru dalam perekonomian, (ii) inefisiensi, dan (iii) subsidi dinikmati oleh mereka yang tidak berhak. Agar subsidi dapat berjalan secara efektif, maka berdasar studi dan pengalaman di berbagai negara, United Nations Environment Programme (UNEP) merekomendasikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan subsidi tersebut, yaitu: 1. Well-targeted: subsidi diberikan hanya kepada mereka yang menjadi tujuan subs idi da n pantas menerimanya. 2. Efisien: subsidi tidak boleh mendorong produsen maupun ko nsumen untuk menyediaka n atau menggun aka n barang atau jasa yang disubs idi tersebut secara berlebihan. 3. Ada justifikasi yang jelas melalui mempertimbangkan untung ruginya. analisis yang tepat dengan 19 4. Prakt is: jumlah subsidi harus terjangkau dan biaya administrasinya serendah mungkin. 5. Transparan: publik bisa mengetahui berapa nilai subsidi dan siapa saja yang menerima. 6. Waktunya terbatas: waktu pemberian subsidi harus jelas, sehingga produsen maupun konsumen tidak kaget ketika subsidi tersebut dicabut. 2.3. Kemiskinan 2.3.1. Konsep dan Ukuran Ke miskinan Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian pemerintah. Berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan. BPS (2009) misalnya, mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) berupa maka nan da n buka n maka nan yang diuk ur dari sisi pe ngeluaran. Metode yang digunakan adalah dengan menghitung garis kemiskinan, baik untuk maka nan maupun non makanan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Sementara Bank Dunia menggunakan batas kemiskinan absolut dengan: a) US$ 1 per kapita per hari, dan b) US$ 2 per kapita per hari. Sedangkan BKKBN mendefinikan kemiskinan dengan pendekatan kesejahteraan rumah tangga. BKKBN membagi rumah tangga menjadi 5 (lima tingkat), yaitu keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera II, dan keluarga sejahtera III plus. Suatu rumah tangga dikategarikan keluarga miskin jika masuk dalam kagori pra sejahtera dan sejahtera I. 20 Dari berbagai metode pengukuran tingkat kemiskinan, saat ini ukuran kuantitatif lebih banyak digunakan oleh pengambil kebijakan, seperti jumlah pemilikan barang, jumlah kalori yang dikonsumsi atau tingkat pendapatan perkapita per bulan (Pattinama, 2009). Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinan yang biasa digunakan, yaitu: 1. Head Count Index (HCI-P 0 ), yaitu persentase pe nduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1 ) yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing- masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh ratarata pe ngeluaran pe nduduk da ri garis kemiskinan. 3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2 ) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara pe nduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara pe nduduk miskin. Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu: 1 q z − yi Pα = ∑ n i =1 z α dimana: α = 0, 1, 2 z = Garis kemiskinan 21 yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi < z q = Banyaknya pe nduduk yang be rada di bawah garis ke miskinan n = Jumlah pe nduduk Jika α=0, diperoleh Head Count Index (P 0 ), jika α=1 diperoleh Indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1 ) dan jika α=2 disebut Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index-P2 ). 2.3.2. Penye bab Ke miskinan Chamber (1996) dalam Nugroho (2010) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan yang mengidentifikasi penyebab kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Pertama adalah pandangan ekonomi politik yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial. Kelompok ini memandang kemiskinan di pedesaan muncul sebagai akibat dari proses pengkonsentrasian kekayaan dan kekuasaan yang terjadi melalui tiga tingkatan, yaitu tingkatan global, nasional dan lokal. Kemiskinan pada tingkat global muncul akibat adanya hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang antara negara kaya dan negara miskin. Pada tingkat nasional, kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat ulah dari bebagai kelompok kepentingan, khususnya kelas menengah perkotaan yang berusaha memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan pedesaan melalui investasi pada industri dan jasa di pedesaan. Sementara pada tingkat lokal, kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal yang terus berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaannya. Adanya proses pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang pada tingkat global hingga lokal 22 menyebabkan kaum kaya menjadi semakin kaya dan kuat, sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut semakin miskin da n lemah. Kedua adalah kelompok pandangan ekologis fisik, yang melihat kemiskinan sebagai fenomena fisik. Kelompok ini mamandang kemiskinan pedesaan muncul sebagai akibat dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya dan lingkungan. Sebagian tenaga kerja terpaksa bermigrasi ke perkotaan atau ke lingkungan marginal agar dapat bertahan hidup. Selain itu parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan timbulnya kemiskinan di daerah pedesaan. 2.4. Inflas i Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau turunnya daya jual mata uang suatu negara (BPS, 2011). Inflasi merupakan kecenderungan harga barang dan jasa termasuk faktor- faktor produksi yang diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik terus menerus. Menurut Atmadja (1999) penyebab terjadinya inflasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) tarikan permintaan (demand pull inflation) dan (2) desakan biaya (cost push inflation). Inflasi yang disebabkan permintaan terjadi karena adanya tingginya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik kurva permintaan agregat ke kanan atas, sehingga terjadi excess demand. Inflasi yang disebabkan desakan harga terjadi karena adanya kenaikan harga faktor-faktor produksi (baik yang 23 berasal dari dalam negeri maupun luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikan harga komoditi di dalam pasar komoditi. Sedangkan menurut asalnya inflasi juga dibagi menjadi dua, yaitu: (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), yaitu inflasi yang timbul karena adanya defisit dalam pembiayaan, belanja negara, musim paceklik, dan bencana alam yang berkepanjangan, dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang disebabka n oleh ke naika n hargaharaga ko mod iti di negara lain yang memiliki hubungan perda gangan de ngan negara bersangkutan. Inflasi ini dapat menular baik melalui harga barang-barang impor maupun barang-barang ekspor. Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Akibat negatif yang ditimbulkan inflasi adalah: (1) menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang, dan (3) memperburuk pembagian kekayaan, khususnya yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006 dalam Nugroho, 2010). Selain itu inflasi juga dapat menurunkan nilai riil tabungan dan investasi, sehingga dapat membuat perekonomian tidak efisien, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan standar hidup. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan, jika garis kemiskinan dinaikkan, misal karena laju inflasi yang tinggi, akan berdampak pada peningkatan kemiskinan yang relatif besar. Sementara dampak positif inflasi (Putong, 2003 dalam Nugroho, 2010) antara lain: (1) bagi pengusaha barang-barang mewah barangnya menjadi lebih 24 laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat lebih selektif dalam konsumsi dan produksi diusahakan seefisien mungkin, (3) inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri yang dipercaya dan tangguh, dan (4) tingkat pengangguran menurun karena masyarakat terdorong melakukan kegiatan produksi. Angka inflasi dapat dihitung dari angka IHK (indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Index), yang biasanya diterbitkan setiap bulan, 3 bulan, atau satu tahun. Selain IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung menggunakan GNP atau PDB deflator, yaitu membandingkan GNP atau GDP yang diukur berdasarkan harga baerlaku (GNP atau GDP nominal) terhadap GNP atau PDB konstan (GNP atau PDB riil) 2.5. Dampak Subsidi terhadap Ke miskinan Dampak kebijakan pemberian subsidi terhadap tingkat kemiskinan dapat ditelusuri dengan dua pendekatan. Pertama, peningkatan anggaran subsidi listrik yang merupaka n kebijakan ekspa nsi fiskal akan meningkatkan belanja negara, sehingga kurva IS bergeser ke kanan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Akibatnya output nasional mengalami kenaikan dari Y 1 ke Y2 . Karena produksi nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N), sehingga kebutuhan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2 , pada kondisi penawaran tenaga kerja yang stabil di SL1 . Ini berarti penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan dari N 1 ke N 2 , sehingga tingkat upah juga meningkat dari W1 ke W 2 . Peningkatan tingkat upah dan pegurangan pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat mengalami kenaikan. Apabila peningkatan 25 r LM 1 r2 B A r1 IS2 IS1 O Y1 Y2 Y P AS1 P2 P1 AD2 AD1 O Y Y1 Y2 Y Y Y = f(N) Y2 Y1 O N1 N2 N W O Y SL1 W2 W1 DL2 DL1 O N1 N2 N Sumber: Mankiw, 2007 (modifikasi) Gambar 2. D ampak Pe mberian Subsidi terhadap Kemiskinan 26 daya beli masyarakat tersebut lebih tinggi daripada laju inflasi, maka sejumlah penduduk dapat melewati garis ke miskinan, yang be rarti jumlah penduduk miskin berkurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi listrik dapat mengurangi jumlah penduduk miskin. Pendeka tan kedua adalah de ngan pe ndeka tan harga. Adanya kebijakan pemberian subsidi listrik menyebabkan harga jual tenaga listrik lebih rendah dari yang seharusnya . Murahnya harga jual tenaga listrik menyebabka n biaya produksi lebih renda h da ri yang seharus nya, sehingga harga-harga umumnya mengalami penurunan. Penur unan harga- harga tersebut akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan masyarakat akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan. Namun terdapat hal yang krusial terkait dengan pendekatan pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat peningkatan subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan? Subsidi merupakan bagian dari transfer payment sebagaimana pengurangan pajak atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat atau pengurangan produksi karena adanya subsidi input. Sehingga transfer payment langsung ke masyarakat tersebut cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi. Hal lain yang muncul akibat kebijakan pemberian subsidi listrik adalah masalah biaya kesempatan (opportunity cost). Peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi listrik akan mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran subsidi listrik memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama 27 dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar? 2.6. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraa n Masyarakat Dengan pendekatan kurva penawaran dan permintaan tenaga listrik, da lam melihat dampak pemberian subsidi terhadap kesejahteraan masyarakat (welfare effect) dapat dianalisis menggunakan ilustrasi model consumer surplus (CS) dan produser surplus (PS). Consumer surplus didefinisikan sebagai perbedaan antara harga sebuah barang dimana ko nsumen bersedia memba yar dari harga sebe narnya yang diba yar oleh konsumen tersebut. Sedangkan produser surplus merupakan perbedaan antara harga jual barang yang sebenarnya diperoleh oleh perusahaan dengan harga jual (minimal) yang bersedia diterima oleh perusahaan tersebut. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi s rupiah untuk setiap kW h yang dikonsumsi. Hal ini menunjukka n ba hwa harga yang dibayar konsumen di bawah harga bersih yang diterima penyedia energi listrik s rupiah. Secara sederhana Gambar 3 memperlihatkan hubungan ini. P* dan Q* ada lah harga da n kuantitas pasar sebelum diberikan subsidi. P S adalah harga bersih yang diterima penjual, dan P D adalah harga yang dibayar konsumen setelah diberikan subsidi. P S – P D = s ada lah subs idi yang harus diba yar pe merintah. Adanya kebijakan pemberian subsidi terhadap output suatu barang menyebabkan kurva pe nawaran bergeser ke kanan dari S 1 ke S2 dan harga yang dibayar ko nsumen (P D ) lebih rendah dari harga yang semestinya (P*). Akibatnya ada peningkatan konsumsi barang yang disubsidi tersebut dari Q* ke Q1 . Pada kondisi Q1 , maka harga seharusnya yang diterima penjual adalah P S . Sehingga 28 subsidi tidak hanya dinikmati konsumen tetapi juga produsen. Karena pembeli membayar dengan harga lebih rendah, maka terjadi penambahan consumer surplus (ΔCS) yaitu bertambah seluas bidang b+d+e. Demikian pula untuk produsen, terjadi kenaikan produser surplus (ΔPS) sebesar area a+c. Besarnya subs idi yang harus diba yar pe merintah ada lah sQ 1 , yaitu sebesar bidang a+b+c+d+e+f. Perubahan total kesejahteraan akibat kebijakan pemberian subsidi adalah ΔCS ditambah ΔPS dikurangi besarnya subsidi, menjadi b+d+e+a+c(a+b+c+d+e+f)=-f. Segitiga f menunjukka n ada nya inefisiensi (dead weight loss) dalam perekonomian akibat kebijakan pemberian subsidi. Harga S1 PS P* PD a c b d e S2 subsidi f D O Q* Q1 Output Sumbe r: Pindyck dan Rubinfeld, 2003 (dimodifikasi) Gambar 3. Dampak Pe mberian Subsidi terhadap Kesejahteraan Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa subsidi pemerintah diperuntukkan untuk mengatasi kegagalan pasar tenaga listrik dan hanya diberikan kepada perusahaan yang skala ekonominya besar dalam rangka optimalisasi. Akibatnya perusahaan-perusahaan yang lain tidak mampu bersaing da n tutup. Sehingga perusahaan yang mendapat subs idi menjadi perusahaan monopo li alami. 29 2.7. Monopoli Alami Suatu pe rusahaan dikataka n monopo li alami adalah apabila perusahaan tersebut dapat memproduksi seluruh keluaran pasar dengan biaya yang lebih rendah daripada yang seharusnya dikeluarkan seandainya terdapat beberapa perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Monopoli alami timbul apabila ada skala ekonomi yang kuat seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa karena biaya rata-ratanya turun, maka biaya marjinalnya akan selalu di bawah biaya rata-rata. Seandainya tidak diatur, perusahaan monopo li tersebut akan memproduksi sebanyak Q m dan menjualnya pada harga P m . Pemerintah akan lebih suka menekan harga perusahaan itu ke bawah hingga mencapai tingkat bersaing P c , namun pada tingkat itu, harga tidak akan mencakup biaya rata-rata dan perusahaan bisa tutup. Seba gai alternatif adalah menetapka n harga pada P r , dimana biaya rata-rata dan penerimaan rata-rata saling berpotongan. Dalam hal ini, perusahaan tidak memperoleh laba monopoli, dan output akan diproduksi sebesar mungkin tanpa mengakibatkan bisnis perusahaan mati. Namun seba gai ko nsekuensi pe merintah harus memberika n subs idi harga sebesar selisih P r dengan P c dikalikan kWh yang konsumsi pelanggan sebesar Q c . 2.8. Penelitian yang Pernah Dilakukan 2.8.1. Tarif Listrik Makmun dan Abdurrahman (2003) menganalisis dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap pendapatan dan konsumsi listrik masyarakat menggunakan Model SNSE 2000.Mereka menyimpulkan bahwa kenaikan TDL mempunyai dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat, mengurangi permintaan terhadap industri maka nan, da n mengurangi pendapatan institusi.Mereka 30 menyarankan agar setiap mengambil kebijakan menaikan TDL pemerintah harus mempertimbangkan dampaknya yang terkecil sekalipun baik terhadap pereko nomian maupun masyarakat pe langgan PLN. Rp/kWh Pm Subsidi Pr AC Pc MC MR Qm AR Qr Qc kWh Sumber: Stiglitz, 2000 (Modifikasi) Gambar 4. Pengaturan Harga Monopoli Alami Dalam penelitian tentang dampak kenaikan TDL terhadap inflasi dan daya saing prod uk nasional menggunakan model Vector Autoregressive (VAR), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, FE–UI (2010) menyimpulkan bahwa kenaikan TDL akan mempengaruhi inflasi.Kenaika n 10 persen TDL akan memicu inflasi sebesar 1.5–2 persen. Penelitian itu juga menemukan bahwa kenaikan TDL secara bertahap mempuny ai dampak lebih rendah dari pada kenaikan TDL sekaligus.Kesimpulan penting lainnya adalah secara umum kenaikan TDL tidak mempengaruhi daya saing produk nasional.Dari hasil yang diperoleh, penelitian tersebut menyarankan regionalisasi tarif sesuai dengan kemampuan bayar konsumen dan pelayanan PLN. 31 Penelitian kemampuan bayar pelanggan pada PT PLN (Persero) oleh Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB (2009)disimpulkan bahwa meskipun secara umum pelanggan rumah tangga menyatakan tarif yang diberlakukan PLN sudah sesuai, tetapi ketidakmampuan membayar pelanggan rumah tangga 450VA dan 900VA masih cukup tinggi masing- masing mencapai 15,33 persen dan 12,20 persen. Penelitian itu juga menemuka n ketidakmampuan membayar tiap daerah tidak sama. Berdasar data yang diperoleh, penelitian tersebut menyarankan untuk rumah tangga selain 450VA dan 900VA dapat dilakukan penyesuaian tarif yang berkeadilan.Untuk pelanggan sosial, bisnis dan industri juga dapat dikenakan tarif yang sesuai, kecuali untuk lembaga sosial yang terpasang daya 450VA yang harus tetap disubsidi. 2.8.2. Subsidi Listrik Berbagai pendapat disampaikan tentang masih perlu atau tidaknya subsidi listrik. Handoko dan Patriadi (2005) menyatakan bahwa subsidi listrik masih dapat dipe rtahankan de ngan arah yang jelas, serperti subsidi dikhususka n untuk pelanggan sosial, rumah tangga miskin, da n usaha kecil/menengah.Di samping itu, PT PLN juga harus memiliki mekanisme yang dapat mencegah pencurian listrik atau inefisiensi dalam konsumsi listrik. Selanjutnya, Purwoko (2003) menganalisis tentang peran subsidi bagi industri da n rumah tangga pengguna listrik. Dia mempe lajari dan menganalisis trend kebutuhan energi listrik di masa yang akan datang dan membandingkan praktek-praktek subsidi listrik di beberapa negara ASEAN yaitu Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain bahwa:subsidi listrik di Indonesia masih diperlukan 32 dalam rangka membantu masyarakat yang kurang mampu agar dapat menikmati fasilitas listrik serta memperluas jaringa n listrik agar dapat menjangkau daerahdaerah terpencil; untuk membantu masyarakat yang kurang mampu diperlukan subsidi silang antar kelompok pelanggan; pemerintah perlu memberi subsidi kepada PT. PLN (Persero) untuk memperluas jaringan listrik; agar subsidi silang antar pelanggan dapat terjadi, maka tarif listrik yang ada saat ini perlu dinaikkan secara bertahap, hingga menjadi sama dengan biaya produksi listrik. Nguyen (2008) dalam penelitiannya tentang dampak kenaikan tarif listrik terhadap harga-harga di Vietnam menemukan bahwa kenaikan tarif listrik akan memicu kenaikan harga di seluruh sektor yang lain, ini berarti akan terjadi inflasi. Berdasar pe nelitian yang dilakuka n World Bank (2002) tentang subsidi listrik untuk irigasi di India menemukan bahwa paket reformasi percepatan sektor kelistrikan, termasuk penyesuaian tarif dan investasi untuk meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan pendapatan petani 40 – 100 persen. Untuk memastikan kelangsungan dan peningkatan dukungan reformasi sektor kelistrikan, para pembuat kebijakan harus mendefinisikan, mengkomunikasikan, dan membuat konsensus secaraterang dan jelas bahwa dengan biaya yang lebih tinggi maka mutu pelayanan juga akan terus meningkat. United Nations Environment Programme (2008) dalam laporannya tentang reformasi subsidi energi menyatakan bahwa salah satu dampak negatif adanya subs idi pada suatu barang atau jasa de ngan pe mbe rian harga di ba wah harga yang seharusnya adalah memicu penggunaan produk tersebut lebih tinggi dan mengurangi keinginan menggunakannya secara efisien. UNEP juga menemukan meskipun rumah tangga miskin dapat manfaat dari subsidi tersebut, tapi nilainya 33 sangat kecil karena konsumsinya yang juga cenderung kecil. Rumah tangga kayalah yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dengan subsidi tersebut. Koplow (2004) dalam penelitiannya mengenai subsidi terhadap industri energi menyimpulkan bahwa berbagai subsidi yang nilainya ratusan milyar dollar per tahun di berbagai negara telah menghalangi pasar untuk lebih jernih dan efisien dalam menyediakan berbagai jasa di bidang energi.Di samping itu juga meningkatkan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.Untuk mengatasinya diperlukan ke maua n po litik yang kuat dari semua pihak yang terlibat. Pada penelitian lain, Ritschel dan Smestad (2003) menganalisis tentang subsidi sektor energi dalam deregulasi pasar sektor kelistrikan di negara bagian California. Mereka menyimpulkan bahwa intervensi pemerintah untuk mengurangi dampak krisis energi telah mengisolasi pengguna listrik dari keadaan pasar yang sebe narnya, mencegah keingina n meningkatkan konservasi energi, dan pindah ke energi alternatif ya ng terbaruka n. Komives, et al. (2009) meneliti tentang dampak subsidi listrik untuk rumah tangga di Meksiko terhadap kemiskinan.Mereka menemukan beberapa hal mulai evaluasi berbagai alternatif sampai skema harga/subsidi untuk listrik rumah tangga. Beberapa temuan tersebut diantaranya: (i) peruba han harga tanpa dibarengi penghapusan subsidi untuk sebagian besar pelanggan tidak akan menghilangan kesenjangan di masyarakat, (ii) pengurangan subsidi akan menyebabkan kenaikan tagihan listrik yang berarti akan mengurangi disposable income rumah tangga, dan (iii) pengurangan biaya dapat mengimbangi kebutuhan menaika n harga, dan pengurangan biaya dengan sendirinya akan menghasilkan 34 porsi yang lebih besar untuk tambahan subsidi bagi rumah tangga golongan rendah. 2.8.3. Keterkaitan Subsidi denga n Kemiskinan Dalam penelitiannya tentang ketimpangan distribusi pendapatan, krisis ekonomi dan kemiskinan, Setianegara (2008) menekankan pentingnya masalah pemerataan distribusi pendapatan. Dia menyimpulkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia terjadi antar daerah, antar propinsi, dan dalam propinsi. Setianegara juga menambahkan bahwa para pengambil kebijakan ekonomi harus mempe rhatika n masalah kesenjangan ini karena beberapa alasan, yitu: (i) sebagian masyarakat memandang pemerataan pendapatan sebagai tujuan yang layak dicapai karena menyangkut masalah keadilan sosial, (ii) kebijakan pemerataan pendapatan, baik langsung maupun tidak langsung dijalankan untuk menurunkan kemiskinan, dan (iii) kebijakan pemerataan dalam semua bidang dapat meningkatkan kohesi sosial dan mengurangi konflik politik. Ritonga (2005) meneliti tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan di Indonesia. Dia menyimpulkan bahwa pendapatan nasional yang diterima penduduk berpenghasilan tinggi cenderung membesar, sedangkan untuk golongan berpenghasilan rendah tidak ada peningkatan berarti. Peningkatan pendapatan 20 persen penduduk berpenghasilan tinggi lebih cepat dari pada 80 persen penduduk yang lain. Akibatnya kesenjangan menjadi lebih lebar. Dia menambahkan berbagai indikator harus menjadi perhatian dalam memahami distribusi pendapatan di negara berkembang seperti Indonesia, seperti jumlah orang miskin, kesenjangan absolut, kesenjangan konsumsi, kesenjangan etnik, dan lain- lain. 35 Maipita, Jantan, dan Razak (2010) dalam penelitiannya tentang dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja ekonomi dan angka kemiskinan di Indo nesia menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) salah satu kesimpulannya menyebutkan bahwa peningkatan subsidi menghasilkan penurunan harga pada sektor pertambangan dan pengalian, manufaktur, serta listrik, gas, dan air. Sementara dampak peningkatan subsidi terhadap kemiskinan menunjukkan penurunan yang signifika n, khususnya area pedesaan. Dari penelitian-penelitian di atas dapat dilihat bahwa penelitian yang telah dilakukan, terutama di Indo nesia, lebih banyak terfokus pada analisis kebijakan baik keuntungan maupun kerugiannya dan analisis akibat pengurangan subsidi listrik seperti analisis kenaikan TDL, tetapi belum ada yang menganalisis faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik menggunakan analisis kuantitatif. Sehingga masih ada celah untuk melengkapi penelitian-penelitian tersebut yaitu untuk mengidentifikasi faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik dan seberapa besar dampak kebijakan pe mberian subsidi listrik terhadap tingkat kemiskinan. Untuk itu, penelitian ini akan mengidentifikasi variabel- variabel ekonomi yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik serta menganalisis dampaknya terhadap tingkat kemiskinan di Indo nesia menggunakan model ekonometrika. Penelitian untuk mengidentifikasi variabelvariabel ekonomi yang mempengaruhi besarnya subsidi listrik serta dampaknya terhadap tingkat kemiskinan sangat penting terutama bagi para pembuat kebijakan pada sektor kelistrikan. Di samping sebagai evaluasi kebijakan subsidi yang dilakukan selama ini, juga mencari solusi yang tepat untuk merumuskan kebijakan 36 subsidi yang lebih terarah dan berkeadilan tanpa mengabaikan kelangsungan perusahaan penyedia tenaga listrik di masa mendatang.