Keserasian Hidup Manusia dengan Ekosistem Laut : Kajian

advertisement
seorang manusia sampai ia menyempurnakan pengetahuan spiritualnya sebagai insan sejati di
hadapan Sang Pencipta. Kisah perjalanan tersebut terdiri dari perjalanan secara lahir di dunia
nyata sampai kisah peristiwa batin Raden Mursada dan para tokoh-tokoh lainnya dalam
memaknakan peristiwa yang telah dialaminya, sampai akhirnya mereka mendapatkan ilmu
yang diyakini sebagai pemberian Sang Pencipta. Pengembaraannya bukan diawali pencarian
saudaranya yang hilang, tetapi pengembaraan tersebut merupakan pencarian jampi tirta
pulayat selanjutrnya mencakup pencarian ilmu spiritual. Dalam teks Serat Mursada juga
dikisahkan peran Nabi Sulaiman yang menunjukkan jalan bagi Raden Mursada untuk menuju
dasar lautan, seperti ketika Bima (Mahabarata) melakukan perjalanan spiritual ke dasar
samudra untuk mencari tirta prawita suci yaitu air kehidupan yang merupakan simbol
pemahaman umat di hadapan Penciptanya. Raden Mursada adalah penganut aliran mistik
radikal yang menyeleweng, salah satu kisahnya adalah pada permulaan pencarian ilmunya ia
tidak berguru pada kiyai atau melakukan 5 rukun Islam tetapi. ia bersemadi di atas batu
menjaga jimat wesi kuning sebagai sarana berjumpa dengan raja ikan Raja Mina. Raja Mina
menjadi sahabatnya yang menunjukkan jalan menuju pemahaman spiritual.
Pilihan kosa kata yang digunakan dalam teks Serat Mursada adalah bahasa Jawa
Pesisiran, terdapat perubahan penyebutan kata misalnya: punika (bahasa Jawa Mataraman)
menjadi punekah (bahasa Jawa Pesisiran), arya menjadi arja, pupuh menjadi puh. Tingkatan
bahasa (krama) yang digunakan juga berbeda, misalnya dalam bahasa Jawa Mataraman ketika
membahasakan orang yang dimuliakan menggunakan kata pirsa di dalam teks Serat Mursada
menggunakan kata ningal. Pemakaian ejaan atau tulisan jenis Pesisir atau pasisir ini sering
disebut dengan gaya ortografik pélo pilêg, yaitu bahasa Jawa yang ditulis dengan
menghilangkan huruf sengau sehingga bunyinya tidak sempurna, seperti orang pilek’. Ciri lain
ejaan pesisir ini adalah penggantian vokal è, é menjadi “i” atau sebaliknya, dari “i” menjadi é,
è. Kasus ini timbul sebagai akibat transkripsi antara manuskrip pégon dan aksara Jawi. Aksara
“ya” dalam pegon, digunakan untuk mewakili vokal è, é, maupun “i”, sehingga dapat
menimbulkan variasi dalam proses transkripsi. (Behrend, 1995: 53).
Teks Serat Mursada ditulis menggunakan aturan puisi Jawa macapat, yang terikat
aturan metrum (guru gatra, guru lagu, guru wilangan) beserta filosofi tiap nama macapatnya.
Dalam teks Serat Mursada, irama teks dan irama kehidupan tokoh disajikan dalam bentuk
macapat. Karakter ruh atau suasana kondisi disesuaikan dengan aturan macapat yang dipilih,
hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan batin tokoh dalam menjalani liku-liku
perjalanan hidupnya. Senada dengan pernyataan Khan (1996:195) irama memainkan peran
penting yang bukan hanya pada tubuh saja tetapi juga dalam pikiran.
Serat Mursada merupakan variasi karya sastra macapat yang berkarakter Jawa
Pesisiran. Serat Mursada ditulis dengan aturan metrum macapat namun tidak seluruhnya
mengikuti filosofi tiap nama pupuhnya, dan ada beberapa pergeseran bunyi (guru lagu) dan
jumlah sukukatanya (guru wilangan). Akhirnya terdapat kecurigaan bahwa pergeseran tersebut
merupakan upaya pengarang untuk menciptakan estetika dan variasi simbol pengetahuan
spiritual bagi pembacanya dalam upaya menegaskan bahwa karakter Sastra Pesisiran itulah
yang mampu menyatu dengan masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir utara pulau Jawa.
Masyarakat pesisir menggantungkan kehidupannya kepada ekosistem laut, sehingga
kelestarian laut harus diselamatkan.
METODE PENELITIAN
Tujuan akhir dalam penelitian ini adalah memaknakan simbol-simbol alam dalam Serat
Mursada. Ketika simbol sudah dipahami akan mamberi inspirasi dan kesadaran manusia untuk
memperlakukan alam secara baik. Pemahaman yang dimaksud dalam penelitian ini
sesungguhnya berkaitan dengan pemahaman spiritual, dengan pendekatan spiritual maka
kedekatan manusia alam dan Tuhan akan terwujud.
Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) mengemukakan gagasan tentang
ecocriticism, melalui buku dengan judul “The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary
Ecology”. Konsep ekologi melalui sastra, yaitu bumi tempat hidup manusia dan sastra sebagai
objek kajian yang akan mengispirasi kelestarian bumi tersebut. Ekokritisisme tersebut diartikan
merupakan kegiatan studi tentang hubungan antara sastra dengan alam kehidupan (Glotfelty,
1996).
Sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang menggunakan
medium bahasa, semiotik tingkat pertama. Bahasa adalah tanda (simbol) yang sudah
mempunyai arti dan mempunyai konvensi sendiri karena bahasa merupakan lembaga
masyarakat. Dengan demikian, bahasa itu disesuaikan dengan konvensi sastra sebab sastra juga
merupakan lembaga masyarakat yang mempunyai konvensi sendiri. Jadi dalam sastra ada
konvensi bahasa yang merupakan konvensi di luar sastra dan konvensi sastra yang disebut
konvensi tambahan. Baik konvensi bahasa maupun konvensi tambahan memberikan makna
dalam sajak (Pradopo, 2007:210)
Klasifikasi simbol diperoleh dengan memanfaatkan teori simbol Roland Barthes
Barthes (2007:389 - 391) menyebutkan beberapa langkah yang perlu dilakukan peneliti dalam
mengolah suatu teks mentah yang ingin dimaknakan simbolnya sebagai berikut: pertama
dengan memotong-motong teks yang diajukan menjadi beberapa beberapa bagian [melekatberdekatan] dan yang umumnya sangat pendek (sebuah kalimat, satu bagian kalimat, maksimal
sebuah kelompok yang terdiri dari tiga atau empat kalimat); dalam teks Serat Mursada
diperlukan pemaknaan per nama pupuh (bait). Pupuh tersebut tersusun dari pilihan kata yang
disesuaikan dengan simbol yang ingin ditunjukkan atau disesuaikan dengan suku kata
(wilangan) dan bunyi (lagu). Kedua, untuk setiap kata, dilakukan pengamatan makna-makna
yang bisa dibangkitkan pada kata tersebut. Dengan makna [sens], tidak berbicara tentang
makna-makna kata atau kelompok-kelompok kata yang terdapat dalam kamus dan gramatika;
dalam teks Serat Mursada diperlukan pemaknaan kedua demi mencapai mitos yang dianggap
sebagai ilmu pengetahuan. mitos sebagai arti bahasa tingkat dua dicari bersadarkan pesan teks
yang tersirat. Ketiga analisis kita akan bersifat progresif: dilakukan langkah demi langkah
menyusuri aliran pemaknaan sepanjang teks Serat Mursada, dicari satu benang merah yang
membangun satu pemaknaan yang utuh. Terakhir, dalam arti tertentu kelupaan makna adalah
bagian dari pembacaan: yang terpenting bagi peneliti adalah bahwa kita bisa menunjukkan
beberapa keberangkatan [départs] makna, bukan memperlihatkan ke-sampai-an. Apa yang
menjadi dasar sebuah teks bukanlah sebuah struktur yang internal, tertutup, yang bisa dihitung,
melainkan sketsa [débauché] teks itu yang bisa ditemukan pada beberapa teks lain, pada
beberapa kode lain, pada beberapa signe lain. Jadi setelah penelitian teks Serat Mursada ini
sampai pada kesimpulan, maka masih memungkinkan apabila analisis dilanjutkan sehingga
menemukan pemaknaan baru, atau bisa pula pemaknaan dari sudut pandang lain.
Potongan teks-teks yang mempunyai makna menjadi objek akan dianalisis melalui
konsep ekokritisisme. Cheryll, dan Harold Fromm (1996) mengajukan beberapa permasalahan
antara sastra dan alam. Alam direpresentasikan dalam irama sastra. Sastra merupakan ilmu
yang terbuka bagi setiap unsur kehidupan. Timbal balik antara kajian sastra dan wacana
lingkungan merupakan analisis budaya pada green moral and political agenda. Ekokritisisme
berkaitan rapat dengan perkembangan teori filsafat dan politik yang berorientasikan terhadap
lingkungan.
HASIL
Kesatuan Hidup Manusia Dengan Alam
Alam dalam Serat Mursada berfokus pada kehidupan laut dan isinya. Masyarakat
pesisiran mendapatkan kehidupan dari kekayaan laut. Masyarakat akan menafsirkan dan
memahami makna simbol-simbol alam laut sampai pada spirit kehidupan jiwanya, sehingga
alam laut akan terselamatkan. Berikut pembagasan simbol-simbol alam laut yang terdapat pada
Serat Mursada.
Ratuning Ulam (Raja Ikan)
Raja Mina adalah ratuning ulam (raja ikan) yang dikisahkan sebagai penguasa lautan.
Ia adalah sarana kekuatan Sang Pencipta yang mengantarkan Raden Mursada menuju Pulo
Salaka atau Pulo Pethak, yaitu pulau di tengah samudra tempat tirta prawita suci (air
kehidupan). Air kehidupan inilah yang menjadi tujuan utama pencarian perjalanan Raden
Mursada.
Banyu (air)
Air yang digunakan Ki Masghut untuk mensucikan jasad Dewi Sukarsi mengalir ke
tanah luas kemudian menyuburkan segala tanaman yang dilaluinya. Air yang dibawa Ki
Masghut menyirami jasad suci Dewi Sukarsi
Tan suwi wata nera
Kye Ke Masghut Masirrut nulya prapti
pan sawya amikul banyu
bakta samudra punika
kula nila jêng binuwang
sarwi anyiram Gustini
(pangkur II/15)
Sepasang suami istri Ki Nambi dan Nyai Nambi mendapatkan hasil pertanian yang
melimpah karena ladangnya di lalui air dari jasat Dewi Sukarsi. Disaksikan Raden Mursada
dan punakawannya, ladangnya ditumbuhi jagung, kacang, kol, kentang yang subur dan berbuah
banyak:
.
pan lajêng milo tatêgal
Radyan Mursada kalawan punakawani
sabarang tinandur tulus
sato kewan tanna
kuwi milo kang raksa rahena dalu
jagung kacang gubis kênthang
pare siti nandur adi
(pangkur II/33)
Jaladri (laut)
Ketika Raden Mursada melepaskan ikan (Raja Mina) maka laut bercahaya.
Perirtiwa tersebut merupakan pengalaman pertama atau ujian pertama Raden Mursada dalam
menjalani kehidupan santri. Yaitu sebagai insan Sang Pencipta yang berserah pada
kekuatanNya. Sejak peristiwa itu masyarakat lingkungan laut tersebut mendapatkan kehidupan
yang tentram dan bayak mendapatkan hasil laut.
Wus tinarek kang maisa kawandasa
pan sami dipun suraki
lir wung adu ayam
pan suka sakwi tumingal
kongse murub pan jaladri
cengak sadasa
wong kawula sira ningali
(durma IV/1)
Ombak, ikan-ikan, pulo salaka
Ketika Raden Mursada tiba di tepi lautan (pesisir) kemudian akan mengarungi lautan
untuk menuju pulau salaka (pulo pethak), ia melihat ombak yang besar. Raden Mursada
bersemadi di atas batu, selanjutnya Raja Mina datang membanntu supaya Raden Mursada naik
ke punggungnya, ombak yang besar menjadi reda berkat dibantu oleh ikan-ikan kecil yang
menata arus ombak yang akan dilalui:
sampun prapting pinggir pasisir
lampahi radyan mursada
kiwuwan manahe mangke
ningali sagara umbak
lampahi tan manggi marga
mêkas radyan alunggu
nganggi watu kaya balayya
(artati VII/17)
Pada pereistiwa tersebut beberapa kekuatan alam bersatu, yaitu penghuni lautan,
ombak, seluruhnya mendukung Raden Mursada mencapai pulo pethak untuk mendapatkan tirta
amerta (jampi kehidupan).
Diceritakan dalam pupuh dhandhanggula Pencarian jampi-jampi (obat) ditengah lautan
dilakukan oleh Raden Mursada dibantu oleh Raja Mina, raja ikan. Kerukunan antar makhluk
yang mengantarkan Raden Mursada merncapai Pulau Pethak. Di tengah laut di Pulau Pethak
Raden Mursada berjumpa dengan Gandruh Sari yang menjadi istrinya. Dhandhanggula
merupakan tembang yang menggambarkan orang yang hidupnya sudah kecukupan, tanpa
kekurangan sandang pangan). Juga menggambarkan hidup orang tersebut sedang merasa
senang senang nya, apa yang dicita citakan bisa tercapai, bisa memiliki keluarga, mempunyai
keturunan, hidup berkecukupan untuk sekeluarga. Sebab itu dia merasa bergemira hatinya, bisa
disebut lagu “dandhanggula”
Samudra
Ki kaula nama Gandruh Sari,
putranipun jeng Nabi Suliman,
punika kaula wiyusi,
ing Asrak nagaraning sun,
pramilane kaula prapti,
sapunika tatamba,
kasmaran maring wung Bagus,
tan wurung mati kedanan,
awak kaula,
lamun tan dika nambani,
pasthi lara kaula
(dhandhanggula II/10)
“Ini saya bernama Gandruh Sari, putrinya nabi Sulaiaman, ini saya jelaskan, di Asrak
negara saya, karenanya saya datang, untuk mencari obat, jatuh cinta kepada eangkau
Wong Bagus, jika gagal mati gila, badanku ini, seandainya engkau tidak
menyembuhkan, pasti saya akan sakit”
Obat yang dicari berada di tengah lautan, 3. tumibaakên ing sigara, Masaut lan Masrut
angling, umatur kaula raadyan, lumrahe Gusti wung mancing, kenuri rami kidardi, Raadin
Mursada muwun, dipun sungkawa atapa, anyêgta rolas bukti, kapindhoni wiruwa ing ratuning
ulam ( sinom tembang ke-3:)
(3. Menuju ke lautan, Masaut dan Masrut berkata, “wajarnya Gusti orang memancing,
tali pancinngnya rami kidardi”, Raden Mursada menangis, dengan sedih ia
memusatkan pikiran, menyatukan dua belas unsur, selanjutnya melihat Ratu Ikan)
Pada perjalanan Raden Mursada ke tengah lautan telah memberikan pelajaran tentang
kesatuan dua lautan kehidupan dan kematian. Mencari susushing angin kesjatian hidup di
hadapan Sang Pencipta. Pencarian asal mula kehidupan atau pencarian seorang umat dalam
kehidupan rohaninya sering dihadirkan dalam teks lain dengan tema sejenis, misalnya kisah
Dewa Ruci yaitu pertemuan Bima dengan Dewa Ruci di dasar lautan. Tubuh Bima yang besar
disuruh masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci yang kecil hanya sebesar ibu jarinya, dengan
kejujuran dan keteguhan hatinya Bima berhasil masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Di dalam
tubuh Dewa Ruci, Bima mendapatkan pemahaman tentang kesejatian hidup, asal usul
kehidupan (sangkanparaning dumadi). Bima mendapatkan kedamaian hidup lahir batin yang
sempurna. Namun ia harus kembali ke dunia nyata karena tugas kehidupan dunianya masih
terserak di mana-mana.
Lautan di dalam teks Serat Mursada dapat diartikan dari dua sisi yaitu lautan kehidupan
dan lautan kematian. Pencarian yang dilakukan oleh para penempuh mistis untuk mencari
pemahaman bagaimana pertemuan ini bisa terjadi di dunia nyata di tengah kehidupan duniawi.
Sebagai sumber adalah kisah Nabi Khidhir (Sviri, 2002:103) dilambangkan sebagai tempat
bertemuanya dua lautan kehidupan dan lautan kematian, yang terikat ruang dan yang tak terikat
ruang, yang terikat waktu dan yang tak terikat waktu. Khidhir hadir diseluruh kehidupan,
terkadang Khidhir dilukiskan tinggal di sungai dengan menggendarai ikan, selanjutnya Khidhir
menginjak bumi sehingga setiap tanah yang baru diinjaknya menjadi hijau ditumbuhi segala
macam tanaman. Dalam karakter Mursada juga demikian, pada mulanya ia menjadi anak
angkat Nyai Nambi, sehingga tanaman Nyai Nambi tumbuh subur, selanjutnya ia melapaskan
raja ikan (Raja Mina) yang berhasil dijaringnya dan akhirnya Raja Mina itu yang mengantarkan
Raden Mursada menuju pulau Pethak, tempat bersemanyamnya tirta amarta: air kehidupan
yang menyembuhkan segala penyakit. Dalam (Sviri, 2002:116) disebutkan bahwa Khidhir
tinggal di sebuah pulau hijau, dekat sumber Air Keabadian. Keabadian tersebut adalah
keabadiang Sang Pencipta.
Penempuh jalan sufi selalu dianjurkan mempunyai seorang guru spiritual yang terus
diikuti tanpa harus bertanya. Khidir adalah guru Musa. Semasa mengikuti perjalanan Khidir,
Musa mengalami kegelisahan dalam pikirannya, namun ia dilarang bertanya, ia hanya
dianjurkan mengikuti, menyimak dan merasakan segala peristiwa yang diciptakan oleh Khidir.
Pertanyaan seorang murid adalah pertanyaan duniawi, maka dibiarkan gejolak dunia tersebut
terus mendidih sampai titik jenuh dan sirna menjadi udara (Sviri, 2002:128). Dalam teks Serat
Mursada Gandruhsari sesungguhnya adalah guru bagi Raden Mursada. Gandruhsari yang
menjadi istri Raden Mursada membawa perjalanan pemahaman sufi sejati. Berbagai simbol
spiritual yang ditunjukkan oleh Gandruhsari hanya dapat dimaknakan melalui perjalanan yang
panjang dengan pengendapan hati dan sukma.
Palastra (Kematian)
Palastra artinya kematian. Raden Mursada memandang kematian adalah kehendak
Yyang Widi penguasa jagad. Kematian akan mengalir secara lembut kemudian menyrirnakan
seluruh wujud fisik dunia yang ada. Lautan akan lenyap beserta seluruh penghuninya:
Radin Mursada alus dinira ngandika
yan atas karsa Yyang Widi
lah payuh pangannêni lêng
tan wandi yan sun palastra
yan sampun karsa Yang Widi
lajêng wus sirna
sawiji tanana kari
(durma IV/26)
Ajaran makrifat Syeh Siti Jenar menjelaskan tentang kematian adalah kehidupan yang
sempurna, sedangkan hidupan adalah kematian ruh yang tidak berharga. Hidup sejati dapat
diraih apabila telah melepas nyawanya dan menyatu dengan Dzat Pencipta yang sempurna.
Manusia hidup yang di berorientasi pada fisik semata seperti bangkai. Fisik manusia di dunia
sama dengan fisik hewam dan tumbuhan. Semuanya berasal dari unsur tanah, air, api, dan udara
(Wahyudi, 2007).
Pada teks Serat Mursada terdapat juga simbol-simbol yang berkonotasi negatif.
Simbol-simbol tersebut misalnya: brahala, sirrep, dan tujusaka. Brahala adalah jimat yang
terbuat dari batu, di dalam jimat tersebut bersemayam setan yang jahat. Kejahatannya adalah
bisa menyebabkan malapetaka seperti sakit sampai kematian.
Pan bangět kiněrsakit
rahena wěngngi kantaka
kang mahyang musang maruni
gustini ingkang atuwa
kang aduwi brahala
setan těka wung towanipun
kang saking nagara Malaka.
Asmaradhana I/3
Dhahwatul Arda dan Dhawatul Ardi adalah saudara kembar yang mempunyai ilmu
sirrep. Mereka menggunakan ilmu tersebut ketika hendak mengalahkan prajurit Ngerum.
Kemudian mereka menculik Dewi Suwarsi yang sedang tertidur.
Bala Errum din sireppi ingawiyat
sarta a//wur garimis
wung dalêm turu sadaya
tanapi wung tunggu lawang
tuwa anum samya guling
kapati sadaya
kennaji dahwatul ardi
Durma XIV/5
Tujusaka adalah pusaka ampuh yang dimiliki Raja Ikram. Pusaka tersebut bisa
menyakiti banyak orang. Ketika ia menancapkan pusaka tersebut di negara Yamani maka
seluruh masyarakat Yamani banyak yang sakit dan banyak yang mati.
wung Yamani samya gêrring semmaya
lanang wadun samya mati
padha misi sadaya
kênna tujusuka
gerring isuk mati suri
kiris sadaya wung yamani katha ngili
Durma XIV/32
Malapetaka yang menimpa masyarakat Yamani dapat diatasi oleh Raden Mursada
menggunakan kasiat yang dimiliki banyu urip. banyu urip atau tirta amerta adalah air suci
yang didapatkan Raden Mursada dari pulau di tengah samudra (Pulo Pethak).
Pan nagara asal pêttêng dadi padhdhang
kasuran Gandruh Sari
setan bêlês sirna sadaya
wung yamani ingkang pêjja
dining titis banyu urip
waluya sadaya
ingkang mati samya tangi.
Durma XIV/36
Air kehidupan (banyu urip) tersebut merupakan lambang puncak kesempurnaan ilmu spiritual
yang dicapai Raden Mursada. Perjalanan Raden Mursada sebagai seorang santri yang mencari
ilmu keilahian mencapai puncaknya ditandakan ketika ia mampu mendapatkan jampi banyu
urip di tengah samudra yaitu di Pulo Salaka atau Pulo Pethak.
Filosofi pada teks Serat Mursada sebagian besar menggunakan filosofi tembang
asmaradhana, sinom dan durma. Raden Mursada adalah santri yang berusia muda (sinom/nomnoman: muda) ia mempunyai rasa cinta (asmaradhana) yang besar. Rasa cinta tersebut
ditujukkan melalui darma (durma) yang mulia bagi Sang Pencipta. Pengarang menciptakan
estetika dan variasi simbol pengetahuan spiritual bagi pembacanya dalam upaya menegaskan
bahwa karakter Sastra Pesisiran mampu menyatu dengan masyarakat Jawa yang tinggal di
pesisir utara pulau Jawa. Peristiwa-peristiwa filosofis tersebut berhubungan dengan tirta
amerta atau tirta pulayat (air kehidupan), dan hampir seluruhnya terjadi di likungan laut, yaitu
pesisir, pulau di tengah lautan, dan berhubungan dengan kehidupan penghuni laut. Jadi dalam
penelitian ini ditemukan karakter Macapat Pesisiran yang melahirkan mitos baru.
SIMPULAN
Penelitian ini mengambil pokok pikiran spiritual santri lelana yaitu perjalanan spiritual
seorang santri dalam mencapai pemaknaan kehidupan umat di hadapan Sang Pencipta. Alasan
pemilihan tema spiritual karena spirit atau kejiwaan manusia yang telah menyatu dengan alam
akan memelihara alam secara utuh yang merupakan bagian kehidupannya. Pesan yang
terkandung di dalam teks Serat Mursada bisa dimaknakan lebih luas, yaitu bukan hanya berisi
tentang pesan kehidupan umat Islam namun dapat dimanfaatkan bagi seluruh umat dengan
berbagai keyakinan. Teks tersebut tersusun oleh diksi-diksi spirit Islam dan Hindu.
Simbol-simbol spiritual yang terdapat pada teks Serat Mursada dapat dimaknakan dengan
memahami seluruh peristiwa yang terjadi dalam kisah perjalanan Raden Mursada. Pengarang
mengambil ajaran pokok Islam yang dirangkai menggunakan arturan tembang macapat
selanjutnya menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial masyarakat Jawa Pesisiran.
Pesan spiritual pada Serat Mursada telah menjadi mitos yang diyakini masyarakat
pesisir sampai masa sekarang, sebagai contoh upacara petik laut yang dilakukan setiap tanggal
1 Suro. Upacara tersebut merupakan ritual penghormatan masyarakat pesisir bagi anugrah yang
didapatkan dari laut dan simbol penghargaan terhadap laut dengan cara menjaga
kelestariannya. Di setiap kelompok masyarakat persisir Jawa meyakini bahwa di laut terdapat
sosok yang mbaureksa (sosok ghaib yang berkuasa). Peristiwa tersebut diartikan sebagai
simbol perilaku manusia untuk menjaga kelestarian lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. “Mytologies”, dalam Mitologi. Nurhadi (ed). 2004. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
_____.1985. ”L’aventure Sémiologique”, dalam Petualangan Semiologi. Wening Udasmoro
(ed). 2007. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Behrend, T.E. 1995. Struktur dan Perubahan dalam Puisi Jawa 1600 – 1930. Jakarta: INIS.
Glotfelty , Cheryll dan Harold Fromm. 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in
Literary Ecology. Athens: The University of Georgia Press
Hutomo, Suripan Sadi, dkk. 1984. Penelitian Bahasa dan Sastra Babad Demak Pesisiran.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Khan, Hazrat Inayat. 2002. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
Press.
University
Susilo, Joko. 2011. “Serat Mursada: Suntingan Teks Disertai Telaah Falsafah Jawa”. Skripsi.
Surabaya: Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
Sviri, Dr. Sara. 2002. Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung: Pustaka Hidayah.
Wahyudi, Agus. 2007. Makrifat Jawa: Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Wali Songo.
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Download