PERSOALAN KERACUNAN LAMTORO (LEUCAENA LEUCOCEPHALA) MASIH BELUM TUNTAS Jacob Nulik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT ABSTRAK Lamtoro (Leucaena leucocephala) merupakan pakan andalan yang dominan bahkan sampai 100% menyusun ransum penggemukan ternak sapi di Amarasi, Kabupaten Kupang, berlangsung sejak tahun 1970-an. Penggunaan lamtoro hingga 100% di Amarasi ini secara umum dan kasat mata tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan mimosin, di mana ternak sapi sangat mungkin telah memiliki mikroba penting dalam rumen yang mampu mendegradasi mimosin dalam pakan. Namun penggunaan lamtoro tidaklah dengan cepat menyebar ke tempat lain di NTT dengan penggunaan seintens di Amarasi. Masih ditemukan kasus-kasus tanda-tanda keracunan mimosin pada ternak yang mengkonsumsi lamtoro dalam jumlah banyak di tempat lain, yang kemungkinan telah menghambat penggunaan lamtoro sebagai pakan di NTT. Metoda yang dikembangkan Jones untuk mendeteksi DHP dalam urine ternak ternyata belum begitu peka untuk mendeteksi bentuk 2,3 DHP dan untuk 3,4 DHP pada ternak yang mengkonsumsi lamtoro asal tanah-tanah alkalin, seperti Timor, konsentrasi acid masih perlu ditambahkan untuk dapat mendeteksi 3,4 DHP. Masalah-masalah tersebut masih memerlukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam, antara lain untuk mengidentifikasi dan mengisolasi serta mengembangkan pemanfaatan mikroba pendegradasi mimosin yang efktif, sehingga pemanfaatan lamtoro sebagai pakan berkualitas dan produktif pada kondisi kering NTT dapat lebih ditingkatkan. Kata Kunci: Lamtoro (Leucaena leucocephala), Amarasi, NTT, Ternak sapi; 3,4 mimosin. DHP; 2,3 DHP, PENDAHULUAN Andalan pakan hijauan asal Lamtoro (Leucaena leucocephala Lam. de Wit) dalam memenuhi kebutuhan ternak sapi di Nusa Tenggara Timur, secara umum, dan di Kecamatan Amarasi - Kabupaten Kupang, secara khusus telah berlangsung cukup lama. Penggunaan lamtoro di Kecamatan Amarasi sudah berlangsung sejak tahun 1970-an ketika progam Panca Usaha Ternak Potong (PUTP) mulai digalakkan oleh Dinas Peternakan. Walaupun pada tahun 1987 lamtoro mulai terganggu pemanfaatannya oleh serangan hama kutu loncat (Heteropsyla cubana), yang mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman ini, namun kondisi ini secara alamiah telah relatif pulih, hingga pemanfaatan lamtoro masih berlanjut hingga sekarang. Hasil penelitian dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa L. leucocephala cv. Tarramba, yang diperkenalkan lewat kegiatan ACIAR mulai tahun 2003 di Timor lebih toleran terhadap serangan hama kutu loncat dibandingkan dengan kultivar-kultivar lainnya yang telah banyak dikembangkan di NTT (K28, K500 dan lainnya) sebelumnya. Hal ini membawa harapan yang lebih baik guna pengembangan tanaman pakan asal hijauan lamtoro di NTT secara umum, dan di Pulau Timor, khususnya. Penggunaan lamtoro sebagai pakan ternak di Amarasi secara kasat mata tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan, walaupun diberikan kepada ternak sebagai pakan dominan dan bahkan sampai 100%. Namun di beberapa tempat lain di NTT, diamati adanya kasus keracunan dengan tanda-tanda seperti bulu-bulu pada bagian badan dan ekor ternak yang rontok dan pertumbuhan ternak yang terhambat ketika lamtoro diberikan dalam jumlah banyak. Kasus keracunan ini antara lain diamati pada kegiatan penelitian kerjasama antara BPTP NTT dan ACIAR tahun 2007 di Kebun Percobaan Lili (BPTP NTT) menggunakan ternak sapi Bali yang didatangkan dari lokasi Kecamatan Insana TTU dengan tandatanda ternak banyak mengeluarkan air liur dan berbusa, ternak mengalami gugur bulu pada bagian badan dan ekornya, dan uji coba kandungan 3,4 DHP dalam urine menurut petunjuk Jones (1987) menunjukkan tanda positif (dengan warna pink) (Pengamatan Dr. Esnawan Budisantoso, 2007, belum dipublikasikan). Pada penelitian pemberian pakan tambahan daun lamtoro pada ternak sapi ongole di Sumba Timur (KP Waingapu) tahun 2005 diamati bahwa daun level lamtoro sampai 30% dari total pakan yang diberikan mengakibatkan ternak mengalami gugur bulu yang sangat banyak dan ternak mengalami hambatan pertumbuhan. Menurut beberapa kejadian tanda-tanda keracunan yang ditemui tersebut, bisa kita berpraduga bahwa kemungkinan belum diadopsinya penggunaan lamtoro dengan lebih intensif seperti halnya di Amarasi oleh petani di lain lokasi sentra-sentra produksi ternak sapi di NTT karena adanya pengalaman buruk sebelumnya dengan penggunaan pakan lamtoro pada ternak sapinya sehingga petani enggan memanfaatkan pakan yang sebenarnya sangat berkualitas ini. Untuk itu dirasakan masih perlu dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam tentang masalah-masalah ini, sekaligus untuk mendapatkan solusi yang tepat pengembangan pemanfaatan lamtoro di Nusa Tenggara Timur. Penelitian dan pengkajian perlu dilakukan antara lain untuk mengidentifikasi mikroba yang efektif dalam mendegradasi DHP dapat pula melibatkan ternak kambing, yang selain lebih toleran terhadap pakan lamtoro, juga ada kemungkinan ternak ini dapat merupakan sumber mikroba yang efektif jika hasil penelitian dan pengajian menunjukkan atau memperoleh hasil yang demikian. Perlu pula dicari cara praktis untuk mentransfer mikroba yang diisolasi ini ke ternak sapi di lokasi-lokasi lain dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ternak serta dampaknya terhadap peningkatan pemanfaatan lamtoro sebagai pakan ternak berkualitas di Nusa Tenggara Timur. Gambar 1. Warna Pink yang terdeteksi pada urine ternak sapi Bali yang digunakan pada penelitian pemberian pakan legume lamtoro di KP Lili BPTP NTT tahun 2007 (Sumber: Dr. Esnawan Budisantoso). PENGEMBANGAN TANAMAN LAMTORO DI NUSA TENGGARA TIMUR Leucaena leucocephala telah masuk dan dikenal masyarakat, terutama petani, di Nusa Tenggara Timur sejak era penjajahan Belanda. Saat itu L. leucocephala dimasukkan ke NTT, terutama di kawasan Amarasi di Timor untuk mengatasi masalah lahan kritis dan untuk memberantas berkembangnya tanaman gulma Lantana camara, dan pengembangannya cukup berhasil karena dukungan kuat oleh Raja Amarasi, yang mengharuskan rakyatnya mengembangkan tanaman lamtoro dengan sistem sangsi dan penghargaan yang berjalan dengan baik (Nulik et al., 1996; Piggin dan Nulik, 2005). Sejak tahun 1970-an karena lamtoro telah berkembang dengan sangat baik, maka sumber pakan ini mulai dimanfaatkan oleh masayarakat tani sebagai pakan ternak dan kemudian pemerintah, dalam hal ini oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT, melihat peluang pengembangan usaha penggemukan ternak sapi (yang saat itu dikenal dengan istilah paron) melalui program PUTP (Panca Usaha Ternak Potong) yang berkembang dengan baik sejak saat itu (Nulik et al., 1996). Karena hal ini, kini Amarasi telah terkenal, baik di dalam maupun luar negeri, sebagai lokasi penggemukan ternak yang menggunakan lamtoro sebagai pakan dominan bahkan sampai 100% dengan ternak sapi yang tahan terhadap mimosin. Pengembangan tanaman lamtoro, di tempat lainnya di NTT dilakukan mulanya sebagai tanaman penghijauan dan sebagai usaha konservasi tanah dan air, namun pengembangan penggunaannya sebagai pakan ternak tidaklah secara intensif sebagaimana yang dilakukan di Amarasi. Sebab kurangnya adopsi pengembangan tanaman lamtoro maupun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi di tempat lain di NTT belum dapat dimengerti dengan baik dan perlu dikaji untuk mengidentifikasi akar permasalahannya. Usaha untuk mengujiadaptasikan jenis-jenis tanaman lamtoro yang tahan atau toleran terhadap serangan hama kutu loncat telah mulai dilakukan sejak adanya kasus serangan pada tahun 1987 sampai saat ini. Hasil pengamatan ini antara lain membuahkan temuan bahwa L. leucocephala cv. Tarramba cukup toleran terhadap kutu loncat, terutama selama musim kemarau, sementara jenis yang diintroduksikan sebelumnya, seperti K28, masih terinvestasi dan daunnya tidak se-sehat dibandingkan dengan penampilan Tarramba. Jenis KX2 (hibrida antara L. palida dan L. leucocephala) ditemukan sangat tahan terhadap kutu loncat, namun saat ini masih sulit dalam pengembangannya karena masih harus menggunakan materi vegetatif yang keberhasilannya sangat rendah untuk kondisi lingkungan NTT (Nulik et al., 2005). Pekerjaan lanjutan untuk menghasilkan KX2 yang dapat dikembangkan menggunakan biji masih dalam progres yang kurang lebih membutuhkan 2 tahun lagi di Queensland University, Australia. Leucaena leucocephala cv.Tarrramba dapat menghasilkan hijauan 11-12 ton BK per ha per tahun, sedangkan KX2 dapat menghasilkan hijauan sampai 18 ton BK per ha per tahun, namun penampilan daunnya selama kemarau terlihat tidak sebaik yang dihasilkan oleh Tarramba. Leucaena collinsii didapat sangat tahan terhadap serangan kutu loncat dan lebih rendah kandungan mimosinnya vs L. leucocephala (<2%) walaupun ini masih membatasi penggunaannya pada ternak monogastrik hanya sampai <15% dalam BK ransum, juga produksi BK hijauannnya lebih rendah dibandingkan dengan L. leucocephala (Tropical Forages, 2006?). Gambar 2. Kondisi tanaman L. leucocephala cv. Tarramba pada bulan Oktober 2007 di lokasi Amarasi sebagai hasil pertumbuhan kembali ketika dipangkas pada bulan Juli-Agustus. Dari tampilan Gambar 2 di atas dapat dilihat bahwa tidak ada tanaman pakan lain yang dapat tumbuh pada kondisi kering seperti ini, terutama bagi jenis rumput-rumputan. Sehingga dengan masih mampunya tanaman lamtoro (dalam hal ini kultivar Tarramba) menghasilkan hijauan jika dipangkas selama musim kemarau, maka boleh dikatakan bahwa tanaman ini berpotensi untuk memberikan pendapatan bagi petani selama musim kemarau dengan memanfaatkannya sebagai sumber pakan berkualitas, yang akan dikonversikan menjadi daging oleh ternak sapi. Dengan kata lain sementara tanaman lainnya sudah tidak mampu lagi memberikan pendapatan bagi petani, lamtoro masih mampu. Dengan demikian boleh juga dikatakan tanaman lamtoro mampu memberikan pendapatan bagi petani sepajang tahun, baik selama musim hujan maupun sepanjang musim kemarau yang berlansung antara 7 sampai 9 bulan di NTT, di mana kebanyakan tanaman, bahkan yang tahan kering sekalipun, sudah tidak mampu memberikan hasil yang berarti. KASUS KERACUNAN LAMTORO DI BERBAGAI TEMPAT Mimosin [b-N-(3-hydroxy-4-pyridone)-a-minopropionic acid] adalah asam amino bebas yang terdapat dalam tanaman Leucaena leucocephala. Leucaena mengandung mimosin dalam semua bagian tanaman, 4-10% di tunas (Jones, 1979), 1-1.5% di dalam akar (Mathews and Rai, 1985) dan sekitar 0.5% dalam bintil-bintil akar (Soedarjo and Borthakur, 1998). Mimosin bersifat racun bagi ternak, yang dapat memberikan tanda-tanda seperti pembengkakan kelenjar tiroid, gugur bulu (Jones, 1979). Namun sebagian ternak mempunyai bakteri rumen yang dapat mendegradasi mimosin dan memanfaatkannya sebagai sumber nutrisi (Jones and Megarity, 1986). Mikroba rumen mendegradasikan mimosin menjadi 3 hydroxy 4 (IH) Pyridone (DHP) yang kemudian diabsorbsi kedalam aliran darah dan pada akhirnya dikeluarkan lewat urine. Ternak yang tahan atau toleran terhadap 3,4 DHP urinenya akan bebas dari 3,4 DHP atau bahkan turunannya 2,3 DHP, oleh karena mikroba dalam rumen dapat mendegradasi baik 3,4 DHP maupun 2,3 DHP, sehingga tidak terdeteksi dalam urine ternak (TGS, 2005). Kasus keracunan lamtoro, mulanya diamati dan dipublikasikan oleh Jones et al., (1985) ketika ternak sapi di Australia diberikan pakan lamtoro dengan sistem renggut langsung dari lahan pertanaman lamtoro. Ternak sapi yang mengalami keracunan lamtoro menunjukkan tanda-tanda antara lain: gugur bulu pada bagian tubuh dan ekor ternak, pertumbuhan yang terhambat dan jelek, ternak mengeluarkan air liur yang berlebihan, dan terjadi pembengkakan pada kelenjar tyroid. Ini umumnya pada ternak yang dalam urinenya terdeteksi adanya 3,4 DHP dengan warna reaksi urine pink. Sementara metode deteksi yang dikembangkan oleh Jones tersebut belum begitu peka untuk mendeteksi adanya 2,3 DHP. Selanjutnya akibat keracunan dengan masih ditemukan 2,3 DHP dalam urine (warna reaksi biru) belum dimengerti dengan baik dan masih memerlukan penelitian dan kajian lebih jauh. Pengamatan pada ternak kambing yang disuntikan dengan mimosin maupun 2,3 DHP tidak menunjukkan gejala-gejala keracunan yang berarti sepertihalnya pada 3,4 DHP, kecuali ada sedikit penurunan konsumsi pakan (Reis et al., 1999). Penurunan konsumsi pakan ini, tentunya dapat mengakibatkan penurunan performans pertumbuhan pada ternak juga, yang perlu dikaji lebih jauh, terutama pada ternak sapi, yang tidak setoleran dibandingkan ternak kambing. Walaupun kasus kematian jarang terjadi oleh akibat keracunan mimosin, namun temuan di Australia mendapatkan bahwa ternak yang bergantung kepada lamtoro pada awal hujan dengan banyak pertumbuhan tunas muda dan dikonsumsi dengan sangat banyak dapat mengakibatkan kematian yang tiba-tiba, ini dijumpai dalam beberapa kasus di daerah Taroom, Australia. Hasil post mortems pada ternak ini diperoleh bahwa rumen dipadati dengan lamtoro muda, terjadi perdarahan internal di hati dan jantung, serta test darah menunjukkan bahwa level tyroxine dari 50 turun menjadi sektar 4-10, yang berarti bahwa kelenjar tiroid sangat terganggu. Keberadaan 3,4 DHP pada ternak yang mengkonsumsi Lamtoro asal lokasi dengan tanah yang tinggi alkalin (hingga urin juga tinggi alkalinnya) kadang tidak terdeteksi dengan metoda Jones yang menggunakan konsentrasi NHCl … namun jika ditingkatkan baru dapat terdeteksi. Dengan menambahkan acid sebanyak 3 tetes dari yang direkomendasikan ternyata baru warna pink cerah dapat terlihat yang mengkonfirmnasi adanya keracunan mimosin (Shelton and Larsen, 2001). Hal yang sama juga dutemukan oleh Dr. Esnawan Budisantoso (2007, belum dipublikasikan) seperti dijelaskan sebelumnya, pada ternak sapi yang mengkonsumsi lamtoro di Timor. Timor didominasi dengan tanahtanah yang basa dengan kandungan alkalin yang tinggi (pH dapat berkisar antara 7-9). SOLUSI PEMANFAATAN LAMTORO DAN MENGATASI MASALAH KERACUNAN SAMPAI SAAT INI Untuk mengatasi pengaruh keracunan ini selanjutnya Jonnes dan Megarrity (1986) menemukan bahwa ternak kambing di Hawaii yang mengkonsumsi lamtoro sampai 100% ternyata tidak mengalami kasus keracunan ini, dan dengan mengambil miroba (lewat cairan rumen) dan dimasukkan ke dalam rumen ternak sapi yang mengalami kasus keracunan di Australia tersebut dan ternyata dalam beberapa minggu ternak ini dapat pulih kembali dan bahkan memberikan pertumbuhan yang sangat baik, sehingga pengembangan lamtoro di Australia makin marak. Alison et al. (1992) berhasil mengisolasi mikroba dari jenis Synergistes jonesii dari rumen ternak kambing yang tahan terhadap mimosine, di mana mikroba ini mampu memetabolisir DHP. Ternyata mikroba ini mampu bertumbuh hanya dari DHP dan dua jenis asam amino yang tidak lasim yaitu arginin dan histidin (McSweeney et al., 1993). Selanjutnya kultur dari organisme ini digunakan sebagai inokulan untuk melindungi ternak ruminansia di tempat lain terhadap keracunan mimosin (Quirk et al., 1998; Hammond et al., 1989) dan sekali telah establish organisme ini dapat menyebar ke ternak lain dalam kelompok melalui kontak sehari-hari lewat air liur. Mikroba S. jonesii bersifat anaerobic dan dapat mati jika berkontak langsung dengan oksigen. Sehingga jangan bergantung pada cara mencampurkan kotoran ternak sapi dengan air minum. Jika ternaknya telah diinokulasi dengan berhasil, maka keberadaan mikroba ini dapat bertahan sampai sekitar 9 bulan, dan pengecekan kembali perlu dilakukan apakah ternak masih bebas dari pengaruh mimosin atau DHP (3,4 atau 2,3) dan lakukan tindak lanjut sesuai kondisi yang diperoleh. Gambar 3. Ternak sapi yang mengalami tanda-tanda keracunan mimosin 3,4 DHP (kiri) dan ternak yang sama setelah 4 minggu drenching (dicekoki) dengan S. jonesii. KAJIAN-KAJIAN PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN LAMTORO YANG MASIH PERLU DILAKUKAN Cara deteksi adanya kasus keracunan sebelumnya telah dikembangkan oleh Jones (1987), namun akhir-akhir ini cara deteksi ini diketahui belum begitu peka untuk mendeteksi kasus sub-clinical toxicity (atau toxisitas yang tidak terlihat secara kasat mata). Tanda keracunan dengan kasus ke dua ini adalah terdapatnya 2,3 DHP dalam urine yang oleh hasil uji coba yang dikembangkan saat ini menampakkan warna biru pada reaksi urine ternak. Namun belum dimengerti dengan baik pengaruh pada ternak yang menunjukkan adanya kasus keracunan sub-clinical ini, dan ini perlu dilakukan atau diketahui lewat penelitian dan pengkajian yang lebih baik lagi. Berkembangnya penanaman dan pemanfaatan lamtoro yang belum meluas di tempat lain di NTT seperti halnya di Amarasi perlu dikaji dengan baik. Ini perlu dilakukan untuk mendapatkan atau mengidentifikasi akar permasalahan belum diadopsi dengan baiknya pemanfaatan daun lamtoro sebagai pakan ternak sapi. Perlu dilihat apakan ini memang diakibatkan oleh adanya pengalaman petani sebelumnya dengan pemanfaatan pakan lamtoro dan adanya kasus keracunan sehingga petani secara turun-temurun kemudian tidak memanfaatkan sumber pakan ini dengan baik sebagai pakan ternak sapi. Perlu dilihat juga apakah ini kemungkinan diakibatkan oleh karena belum biasa menggunakan lamtoro sebagai pakan ternak dan karena itu ternak sapi belum beradaptasi yang selanjutnya bakteri penghancur mimosin tidak berkembang dalam rumen ternak dan seterusnya berkaitan dengan kejadian keracunan jika ternak dipaksa mengkonsumsi lamtoro. Hasil studi preliminari pada bulan Oktober 2007 yang secara cepat dilakukan di Kabupaten Kupang di Lokasi Amarasi, Kebun Percobaan BPTP NTT di Lili dan di Desa Silu dengan menggunakan metoda pendeteksian DHP dalam urine yang telah diperbaiki, ditemukan bahwa ada ternak yang memang bebas dari pengaruh mimosin dan ada juga ditemukan pada level mild (2,3 DHP) yaitu warna biru (Tube No 5 dari kiri Gambar 4). Ini ternyata ditemukan di lokasi Amarasi, namun ternak sapi ini berasal dari lokasi luar Amarasi yang ditampung sementara sebelum dipasarkan. Dan yang sama sekali bersih dari pengaruh DHP adalah juga berasal dari lokasi Amarasi (mengkonsumsi lomtoro secara dominan), dan ternaknya memang lahir dan digemukkan di lokasi ini juga. Namun ada juga ternak yang sudah dimasukkan untuk beberapa minggu yang benar-benar urinnya bebas dari DHP. Ini menimbulkan indikasi adanya kepentingan melakukan pengkajian dan penelitian untuk mengidentifikasi mikroba yang dapat mengatasi pengaruh mimosin dan mengisolasikan serta mengembangkan dan mempergunakannya untuk ternak di lokasi yang sebelumnya ternak sapi belum biasa dengan mengkonsumsi pakan lamtoro, terutama dalam jumlah banyak, seperti halnya yang dipraktekkan di kawasan Amarasi. Gambar 4. Preliminari pengamatan yang dilakukan dengan metoda yang diperbaiki untuk pendeteksian adanya tanda keracunan lamtoro di beberapa lokasi, antara lain Amarasi, Lili dan Silu, Kabupaten Kupang (Tube 1 bebas, Tube 5 warna biru 2,3 DHP mild toxicity). PENUTUP Jika penelitian dan pengkajian kasus keracunan lamtoro ini dapat dilakukan dan dapat diketahui sebab-sebab mengapa adopsi pemanfaatan daun lamtoro sebagai pakan ternak sapi dominan berjalan lambat maupun mendapatkan pengetahuan yang baik dari kasus keracuanan sub-klinis dan akibatnya secara pasti pada produksi ternak maupun cara-cara efektif mengatasinya, maka kita harapkan lomtoro dapat lebih diberdayakan pemanfaatannya di tempat selain Amarasi. Juga diharapkan dari kegiatan ini pengembangan tanaman pakan lamtoro makin digiatkan, diperbanyak, diperluas areal pengembangannya, terutama untuk jenis-jenis lamtoro yang toleran dan bahkan yang tahan terhadap serangan kutu loncat (seperti cv. Tarramba dan KX2). Dalam hal ini diharapkan KX2 telah dapat dikembangkan dengan menggunakan biji dan bukan lagi dengan menggunakan materi vegetatif yang keberhasilannya masih sangat rendah untuk NTT. Pengembangan dengan biji diharapkan akan dapat dilakukan dalam dua tahun waktu penelitian lagi. DAFTAR PUSTAKA Allison, M. J., W. R. Mayberry, C. S. McSweeney, and D. A. Stahl. (1992). Synergistes jonesii, gen. nov., sp. nov.: A Rumen Bacterium That Degrades Toxic Pyridinediols. Syst. Appl. Microbiol. 15:522-529. Jones, R. J. 1985. Leucaena Toxicity And The Ruminal Degradation Of Mimosine. In: A. A. Seawright, M. P. Hegarty, L. F. James, and R. F. Keeler (Ed.) Plant Toxicology. Proc. of the Australia-U.S.A. Poisonous Plants Symp. Queensland Department of Primary Industries, Yeerongpilly, Queensland, Australia, pp 111-119. Jones, R.J. and R.G. Megarrity (1986). Successful Transfer Of Dihydroxypyridine-Degrading Bacteria From Hawaiian (USA) Goats To Australian Ruminants To Overcome The Toxicity Of Leucaena. Aust. J., 63, 259-262. Mathews, A. & Rai, V. P. (1985). Mimosine Content Of Leucaena Leucocephala And Sensitivity Of Rhizobium To Mimosine. J Plant Physiol 117, 377–382. Nulik, J., D. Kana Hau dan Asnah. (1996). The Amarasi Farming Systems, Its Economica Aspects And The Adoption Of Group Pen Feeding System. ACIAR Nulik, J et al. (2003). Amarasi, Its Farming Systems And The Adoption Of Group Pen System In Beef Cattle Fattening. ACIAR Proceedings. Piggin, C., and Jacob Nulik (2005). The Success Story Of Leucaena Leucocephala Usage In Amarasi System. Proceedings of The XX International Grassland Congress, Ireland UK, June-July 2005. Reis P,J., R. Puchala, T. Sahlu and A.L. Goetsch. (1999). Effects Of Mimosine And 2,3-Dihydroxypyridine On Fiber Shedding In Angora Goats. J. Anim. Sci. 1999. 77:1224–1229 Soedarjo, M. & Borthakur, D. (1998). Mimosine, A Toxin Produced By The Tree-Legume Leucaena Provides A Nodulation Competition Advantage To Mimosine-Degrading Rhizobium Strains. Soil Biol Biochem 30, 1605–1613. Soedarjo, M., Hemscheidt, T. K. & Borthakur, D. (1994). Mimosine, A Toxin Present In Leguminous Trees (Leucaena Spp.), Induces A Mimosine-Degrading Enzyme Activity In Some Strains Of Rhizobium. Appl Environ Microbiol 60, 4268–4272. Shelton, M., and P. Larsen (2001). Mimosine Toxicity In Southern Texas. Tropical Grassland Society of Australia Inc. Vol. 17, No. 1, March 2001.