BAB II KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDABENDA ANGKASA BUATAN 2.1 Konsep Benda-Benda Angkasa Buatan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sejarah telah menunjukkan bahwa aktifitas manusia di luar angkasa terus berkembang guna memberikan manfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Berdasarkan International Telecommunications Union (ITU)1, benda angkasa buatan adalah kendaraan buatan manusia yang dipergunakan di luar bagian atmosfir permukaan bumi. Sedangkan menurut NASA2, benda angkasa buatan merupakan “pesawat, baik berawak maupun tak berawak manusia, yang ditujukan ke orbit bumi atau lintasan angkasa lain. Dengan kata lain, benda angkasa buatan dapat berupa satelit, 1 ITU dibentuk di Paris pada tahun 1865 dengan nama International Telegraph Union dan menjadi International Telecommunications Union pada tahun 1932. Pada tahun 1947 ITU menjadi badan sendiri dalam organisasi PBB. Pada awalnya wilayah keahlian ITU merupakan telegraf, namun sekarang ITU telah mencakup seluruh sektor ICT, dari penyiaran digital ke Internet, dan dari teknologi mobile untuk TV 3D. ITU melakukan banyak perkembangan di bidang satelit komunikasi yang berfungsi untuk kepentingan perkembangan ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan serta melakukan harmonisasi kominikasi antar negara. 2 Kongres dan Presiden Amerika Serikat mendirikan National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada tanggal 1 Oktober 1958, mengingat adanya urgensi untuk menyediakan sarana dan prasarana eksplorasi penerbangan di luar atmosfir permukaan bumi. NASA pertama kali mengadakan program astronot tunggal untuk penerbangan luar angkasa bernama Mercury selama 1961-1963 untuk memastikan apakah manusia bisa bertahan hidup di ruang angkasa dan program-program lainnya yang menerbangkan astronot ke luar angkasa sampai para remote sensing melalui satelit bumi untuk mengumpulkan informasi serta pemantauan lingkungan) serta lokakarya orbital lainnya untuk astronot dan Skylab. (Steve Garber and Roger Launius dalam The Brief History of NASA). 17 18 peluncur satelit, stasiun luar angkasa, kontainer atau pesawat lainnya yang ditujukan ke luar angkasa.3 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah dicapai di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di ruang angkasa. Kegiatan dalam bidang keantariksaan ini nampaknya akan terus meningkat baik mengenai jumlah negara yang terlibat di dalamnya maupun mengenai ruang lingkupnya. Pendaratan yang dilakukan oleh astronot Amerika Serikat di bulan dengan mulus merupakan kejadian yang menggemparkan dunia internasional dan sekaligus menaikkan gengsi Amerika Serikat di forum internasional. Memang, berbagai bentuk pesawat ruang angkasa (flight instrumentalities) telah diciptakan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang bernama Rusia). Berbagai bentuk satelit, stasiun ruang angkasa serta kendaraan ruang angkasa lainnya telah mengorbit bumi atau menjelajahi ruang angkasa. Semua alat-alat atau benda-benda buatan manusia itu telah dimanfaatkan guna peningkatan kualitas dan taraf hidup manusia, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian sumber-sumber alam baru. Salah satu hal yang sedang berkembang pesat dalam era modern ini adalah komersialisasi ruang angkasa. Hal ini adalah suatu fenomena baru memasuki abad 3 Luis Fernando Fiallos Pazmino, “Legal Aspects of Launching and Operating Spacecraft”, (Tesis Master McGill University, 2003), hlm. 32. 19 ke-21 ini. Walaupun era komersialisasi ruang angkasa telah berlangsung dalam dunia ini, namun belum ada perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur pengertian dan istilah komersialiasi ruang angkasa atau definisi istilah lain yang mempunyai maksud yang sama. Untuk sementara dapat dikemukakan bahwa komersialisasi ruang angkasa itu adalah segala macam aktivitas yang berhubungan ruang angkasa untuk memperoleh suatu keuntungan ekonomis. Aktivitas komersial ini dilakukan oleh badan-badan pemerintah ataupun swasta, nasional maupun badan internasional antara lain NASA dan Organisasi Internasional lainnya. Banyak juga aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh badanbadan semi pemerintah yang melibatkan perusahaan swasta atau yang sahamnya dimiliki swasta. Bentuk-bentuk aktivitas yang telah atau sedang berkembang untuk di komersialkan adalah :4 1. komunikasi 2. penginderaan jauh 3. sistem transportasi ruang angkasa 4. pengolahan bahan 5. pembangkit tenaga 4 Wahyuni Bahar, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Aktivitas Komersial di Ruang Angkasa, Hukum Dan Perkembangannya, Editor E. saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja, (Bandung: Remaja Karya CV, 1988), hlm. 165. 20 6. pertambangan Semua bentuk kegiatan atau aktivitas di atas sangat menentukan tingkat kemajuan di masa yang akan datang. Aktivitas komersial di ruang angkasa di satu sisi memang memberikan dampak positif bagi kehidupan tetapi di sisi lainnya aktivitas komersial ruang angkasa juga dapat menimbulkan dampak negatif. Salah satu indikator perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas komersial di ruang angkasa adalah besarnya peningkatan frekuensi dan jumlah peluncuran satelit serta penempatan benda antariksa (satelit dan roket) di ruang angkasa. Frekuensi dan peluncuran satelit pun akan semakin meningkat mengingat meningkatnya kebutuhan akan pemanfaatan satelit baik untuk keperluan telekomunikasi maupun keperluan lainnya seperti: penginderaan jauh, meteorologi, navigasi, siaran televisi secara langsung melalui satelit serta kegiatan militer. Perkembangan kegiatan antariksa dan peluncuran benda-benda antariksa buatan manusia yang selanjutnya disebut sebagai benda antariksa (space objects) yang diakibatkan oleh komersialisasi ruang angkasa akan berlanjut tanpa hentinya. Pada saat ini banyak sekali benda-benda antariksa buatan manusia berupa satelit, fragment dari satelit atau roket yang berada di ruang angkasa, dan itu semua akan semakin bertambah banyak seiring dengan terus berjalannya aktivitas komersial di ruang angkasa. Adapun pengoperasian benda-benda angkasa buatan tersebut berlangsung untuk aktifitas luar angkasa sebagai berikut: 21 1. Satelit komunikasi (Communication Satellite) Berdasarkan ITU, Radio Regulation sebagaimana diperbarui oleh WRC97, telekomunikasi memuat setiap transmisi, emisi, atau penerimaan tanda, sinyal, tulisan, gambar dan suara melalui wire, radio, optik atau sistem elektromagnetik lainnya.5 2. Remote sensing 3. Global Navigation Satellite System (GNSS) 4. Wisata Luar Angkasa (Space Tourism) 5. Transportasi Komersil Angkasa (Commercial Space Transport) Sehubungan dengan hal di atas, berikut jenis-jenis benda angkasa buatan yang telah berkembang hingga saat ini: 1. Satelit Satelit buatan merupakan benda yang mengitari benda lain yang massanya lebih besar dan gerakan ditentukan oleh kekuatan dari benda lainnya. Misalnya satelit Palapa yang mengelilingi Bumi. Satelit Buatan terdiri dari macam-macam jenis tergantung dari fungsinya. “Berikut jenis-jenis satelit buatan:6 5 Luis Fernando Fiallos Pazmino, Op.Cit., hlm. 12. 6 Ibid., hlm. 35. 22 1. Satelit astronomi adalah satelit yang digunakan untuk mengamati planet, galaksi, dan benda luar angkasa lainnya. 2. Satelit komunikasi adalah satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan tujuan telekomunikasi. 3. Satelit pengamat bumi adalah satelit yang dirancang khusus untuk mengamati bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, pembuatan peta, dan lain sebagainya. 4. Satelit navigasi adalah satelit yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar bangunan. 5. Satelit mata-mata adalah satelit pengamat bumi yang digunakan untuk tujuan militer atau mata-mata. 6. Satelit cuaca adalah satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca dan iklim di bumi. 7. Satelit tenaga surya adalah satelit yang diusulkan dibuat di orbit Bumi tinggi yang menggunakan transmisi tenaga gelombang mikro untuk menyorotkan tenaga surya kepada antena sangat besar di bumi yang dpaat digunakan untuk menggantikan sumber tenaga konvensional. 8. Stasiun angkasa adalah struktur buatan manusia yang dirancang sebagai tempat tinggal manusia di luar angkasa. Stasiun luar angkasa dibedakan dengan pesawat angkasa lainnya oleh ketiadaan propulsi pesawat angkasa utama atau fasilitas pendaratan; Dan kendaraan lain digunakan sebagai transportasi dari dan ke stasiun. Stasiun angkasa dirancang untuk hidup jangka-menengah di orbit, untuk periode mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan. 9. Satelit miniatur adalah satelit yang ringan dan kecil. Klasifikasi baru dibuat untuk mengkategorikan satelit-satelit ini: satelit mini (500–200 kg), satelit mikro (di bawah 200 kg), satelit nano (di bawah 10 kg).” Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelitnya yang diberi nama Sputnik I, maka Amerika Serikat berusaha pula untuk menyaingi atau setidaktidaknya mensejajarkan kedudukannya dengan pihak Uni Soviet dalam berbagai kemajuan khususnya teknologi ruang angkasa. 2. Kendaraan Peluncur (Launch Vehicle) 23 Kendaraan Peluncur merupakan benda angkasan buatan yang digunakan untuk memindahkan manusia dan kargo dari dan ke orbit bumi, atau dapat pula membawa satelit yang akan ditempatkan di sekitar bumi. Kendaraan peluncur ini dapat digunakan secara berulang kali (Reusable Launch Vehicle) dan sekali pakai (Expendable Launch Vehicle).7 3. Stasiun Luar Angkasa (Space Station) Stasiun luar angkasa digunakan untuk berbagai macam fungsi dan kegunaan terutama, dimana tidak hanya digunakan untuk kepentingan penelitian namun juga untuk kepentingan umum. Adapun stasiun ini dipergunakan untuk berbagai uji material yang tidak dapat diuji secara efektif di bumi dalam bidang farmasi, pula stasiun ini dipergunakan bagi manusia dalam hal mengeksplorasi ruang angkasa berupa perjalanan ke planet lainnya atau bintang.8 2.2 Konsep Pengoperasian Benda-Benda Angkasa Buatan Pengoperasian benda angkasa buatan dalam menyelenggarakan kegiatan luar angkasa diatur dalam Konvensi Peaceful Uses of Outer Space, terlebih lagi setelah dibentuknya komite ad hoc yakni Committee on the Peaceful Uses of Outers Space (COPUOS). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, COPOUS merupakan badan yang membantu pembentukan Outer Space Treaty dimana Outer Space Treaty menyatakan bahwa negara harus bertanggung jawab atas 7 Ibid., hlm. 38. 8 Ibid., hlm. 43 24 setiap kegiatan nasionalnya yang dilakukan di luar angkasa dalam hal mempergunakan dan mendayagunakan benda angkasa buatan. Outer Space Treaty mewajibkan negara yang mengoperasikan benda angkasa buatan untuk mendaftarkan setiap benda angkasa buatan yang diluncurkan keluar angkasa, guna mengetahui negara mana yang nantinya akan bertanggung jawab apabila terjadi kerugian yang timbul dalam hal benda angkasa buatan tersebut mengalami kegagalan fungsi dan jatuh ke permukaan bumi. Adapun Outer Space Treaty membatasi pengoperasian benda angkasa buatan untuk hal-hal yang berhubungan dengan senjata nuklir atau senjata yang massanya dapat merusak luar angkasa serta kewajiban negara peluncur untuk tidak mengintervensi kepentingan negara peluncur lainnya dalam hal mengeksplorasi dan menggunakan ruang angkasa. Hal tersebut menjadi tujuan diwajibkannya pendaftaran benda angkasa buatan sebelum diluncurkan ke ruang angaksa. Dalam Liability Convention dijelaskan bahwa negara peluncur atau negara yang ikut bersama-sama meluncurkan atau negara yang memberi fasilitas peluncuran atau Organisasi Internasional yang ikut serta dalam peluncuran benda-benda ruang angkasa, harus bertanggung jawab secara internasional atas kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh negara lain baik terhadap harta benda dan manusia, badan hukum maupun terhadap masalah kerugian yang diderita oleh suatu pesawat udara dalam penerbangan sebagai akibat dari pelaksanaan keantariksaan dari negara peluncur. Tanggung jawab yang harus 25 dipikul oleh negara peluncur adalah tanggung jawab mutlak dan anggung jawab berdasarkan kesalaham. Prinsip ini terdapat dalam artikel I, II, III, IV, V dan artikel VI Liability Convention 1972. Berdasarkan artikel I ayat (c) negara peluncur bukan hanya negara yyang meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat dikategorikan sebagai negara peluncur, yaitu negara yang mendapat kesempatan ikut meluncurkan obyek ruang angkasa, negara yang wilayahnya atau yang memberikan fasilitas dari mana obyek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu. Maka dengan demikian, suatu negara dapat memenuhi syarat sebagai negara peluncur apabila :9 1. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayahnya dengan menggunakan sarananya sendiri; atau 2. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara lain, berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan sarananya sendiri atau sarana setempat; atau 3. Mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain atau badan nonpemerintah lainnya; atau 9 J.E.S. Fawcett, Outer Space : New Challenges to Law and Policy, Clarendon Press, Oxford, 1984, hlm. 25. 26 4. Menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain di dalam wilayah negara lain itu. Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di dalam upaya peluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal ini mereka menentukan siapa yang akan menjadi negara pendaftarnya (State of Registry). 2.3 Konsep Ganti Rugi Akibat Pengoperasian Benda-Benda Angkasa Buatan Outer Space Treaty merupakan magna charta10 dari rezim hukum angkasa, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dasar yang harus dipatuhi dalam menjalankan kegiatan ruang angkasa. Sementara Liability Convention yang merupakan penjelasan dari Pasal VI dan VII dari Outer Space Treaty, lebih khusus mengatur mengenai konsep liability dalam hal terjadi damage. Dengan demikian, ketentuan keduanya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, khususnya ketika membahas mengenai damage yang terjadi di ruang angkasa. Liability Convention merupakan pengaturan mengenai tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulikan oleh space objects atau benda angkasa. Liability Convention digunakan sebagai pedoman dasar untuk mengajukan ata 10 Magna Charta atau The Great Charter adalah piagam yang diberikan oleh Raja John dari Inggris pada tahun 1215. Piagam ini merupakan perjanjian perdamaian pertama, yang menjadi jaminan mendasar bagi warga negara Inggris. Prinsip-prinsip di dalamnya mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebebasan, kebahagiaan, serta kenikmatan hidup. Prinspi prinsip ini kemudian menjadi dasar konstitusi Inggris. Maksud dari istilah ‘magna charta dari rezim hukum angkasa’ adalah prinsip-prinsip yang menjadi dasar atau prinsip utama yang mengatur hukum angkasa. 27 mengklaim pertanggung jawaban atas benda angkasa yang jatuh ke bumi. Liability Convention ini mengandung 4 lingkup atau sudut pandang, yaitu lingkup geografis, lingkup benda (material), lingkup fungsional/personal, dan lingkup waktu. Dengan meninjau keempat susut pandang ini, maka dapat terlihat hal-hal seperti: di wilayah ruang mana saja konvensi ini dapat berlaku; dapat dikenakan pada siapa saja serta apa saja yang menjadi tujuan darikonvensi dan akhirnya dapat pula dilihat waktu berlakunya konvensi ini. 2.3.1 Tujuan Mengenai Konsep Liability Untuk membahas mengenai tanggung jawab negara dalam hal terjadi damage, maka diperlukan adanya tinjauan mengenai konsep tanggung jawab negara atau dalam hal ini adalah konsep yang disebut dengan liability. Dalam hal damage terjadi di wilayah ruang angkasa, maka berlaku konsep fault liability terhadap pemilik dari benda angkasa tersebut.11 Apabila pemilik terhadap suatu benda angkasa terdapat lebih dari satu, maka berlaku konsep joint liability terhadapnya.12 Namun demikian, dalam rezim hukum angkasa terdapat konsep tanggung jawab negara selain liability, yaitu responsibility. Hal ini seringkali menimbulkan kerancuan dalam implementasinya. Maka dari itu, tinjauan mengenai konsep liability ini dibahas dalam tiga sub-bab, yaitu 1) perbedaan konsep tanggung jawab negara antara liability dengan responsibility, 2) konsep fault liability, serta 3) konsep joint liability. 11 Pasal III, Liability Convention. 12 Pasal V, Liability Convention. 28 2.3.2 Perbedaan konsep tanggung jawab negara antara liability dengan responsibility Sebelum masuk pada pembahasan konsep liability secara lebih lanjut, penulis perlu membahas dan membedakan mengenai dua jenis konsep tanggung jawab negara. Dua konsep tanggung jawab negara yang dimaksud adalah responsibility dan liability. Keduanya merupakan dua terminologi penting yang terkandung pada hukum internasional. Meskipun memiliki makna yang sama yaitu tanggung jawab, namun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua konsep tersebut. Outer Space Treaty 1967 mengatur mengenai responsibility pada Pasal VI, dan pada Pasal VII dari perjanjian yang sama mengatur mengenai liability. Pasal VI Outer Space Treaty berbunyi sebagai berikut: “State Parties to the Treaty shall bear international responsibility for national activities in outer space, [......] whether such activities are carried out by governmental agencies or by non-governmental entities, and for assuring that national activities are carried out in conforminty with the provisions set forth in the present Treaty. [......] ” Dapat dilihat bahwa Pasal VI Outer Space Treaty berbicara mengenai international responsibility sebuah negara. Dalam hal tersebut Negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa segala aktivitas nasional yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi ruang angkasanya, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh privat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam 29 perjanjian tersebut.13 Sedangkan Pasal VII dari perjanjian yang sama, berbunyi sebagai berikut: “Each State Party that launches or procures the launching of an object into outer space, [.....], is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty or to its natural or juridical persons by such object or its component parts [......]” Konsep tanggung jawab yang diatur pada pasal VII di atas menekankan pada liability atau tanggung jawab sebuah negara terhadap kerusakan atau damage yang disebabkan kepada negara peserta lainnya, warga negaranya, dan juga properti dari negara tersebut.14 Sepintas dua konsep tersebut terlihat berdiri sendiri dan tidak terikat satu sama lain. Namun demikian pada faktanya, beberapa terjemahan otentik dari Outer Space Treaty, seperti Cina, Prancis, Rusia, Spanyol, dan Indonesia hanya menggunakan satu terminologi untuk menjelaskan keduanya.15 Adanya satu terminologi yang menerjemahkan dua konsep berbeda ini seringkali menimbulkan kerancuan. Hal ini telah lama menjadi bahan diskusi yang dibicarakan oleh para penulis hukum ruang angkasa mengenai bagaimana seharusnya memberikan 13 Frans G. Von der Dunk, “Liability versus Responsibility in Space Law: Misconception or Misconstruction?”, Proceedings of the Thirty-fourth Colloquium on the Law of Outer Space, (1992), hal 363. 14 15 Ibid. Bin Cheng, “Article VI of the 1967 Space Treaty Revised: „International Responsibility‟, „National Activities‟, and „The Appropriate State‟ ”, Journal of Space Law Vol. 26-1, (1998), hal. 10. 30 interpretasi terhadap definisi yang samar terhadap liability dan responsibility pada Pasal VI dan Pasal VII.16 Perbedaan yang mendasar dari konsep responsibility dan liability adalah bahwa responsibility menekankan pada adanya suatu tindakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Sementara liability menekankan pada timbulnya efek berbahaya (harmful effect) dari suatu aktivitas yang tidak harus semata-mata merupakan pelanggaran hukum internasional.17 Seorang ahli hukum angkasa, Bin Cheng, menjelaskan mengenai perbedaan dari kedua konsep tersebut, bahwa : i. Responsibility merupakan pertanggungjawaban terhadap suatu tindakan maupun kelalaian pada pentaatan terhadap sistem norma, baik norma moral, agama, politik, atau norma lainnya. Pada norma hukum, responsibility merupakan tanggung jawab seseorang untuk memenuhi segala kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya, serta segala pelanggaran dari kewajiban hukum tersebut.18 Pelanggaran terhadap kewajiban hukum menimbulkan kewajiban lainnya, yaitu untuk melakukan reparasi terhadap segala kerusakan 16 Von Der Dunk, “Liability versus Responsibility in Space Law: Misconception or Misconstruction?”. 17 18 Rebecca M. Wallace, International Law, (Sweet & Maxwell, 2003), hal. 203. Bin Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals Part III: General Principles of Law in the Concept of Responsibility, (Cambridge: Grotius, 1987), hal. 163-164. 31 yang disebabkannya.19 Namun apabila tidak terjadi kerusakan yang ditimbulkan dari pelanggaran tersebut, maka tanggung jawab yang dibebankan adalah untuk kembali mengikuti norma yang berlaku demi terciptanya keserasian hukum. Contoh konkritnya adalah ketika seorang pengemudi melanggar lampu merah. Apabila pelanggaran tersebut menimbulkan adanya korban, maka pengemudi bertanggung jawab untuk melakukan reparasi terhadap korban. Namun pada kebanyakan pelanggaran lampu lalu lintas, tidak terdapat korban maupun kerugian yang disebabkan olehnya. Meskipun demikian, setiap pengemudi tetap bertanggung jawab untuk tidak melanggar kewajibannya dengan menaati lampu lalu lintas demi tercapainya ketertiban dan keserasian hukum. ii. Sementara liability adalah terminologi yang digunakan untuk menunjukkan kewajiban untuk menanggung konsekuensi yang timbul dari pelanggaran norma hukum, khususnya adalah kewajiban untuk melakukan reparasi terhadap segala kerusakan yang disebabkan, berbentuk pembayaran moneter atau kompensasi. Terminologi ini seringkali digunakan secara umum untuk menunjukkan kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan atau kerugian yang terjadi, terlepas dari adanya kesalahan 19 Permanent Court of International Justice (PCIJ): Chorzow Factory case (Merits), Series A, No. 17, hal. 29, dan 47 (1928) where the Court stated: "reparation must, as far as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-establish the situation which would, in all probability, have existed if that act had not been committed". 32 apapun.20 Bentuk pembayaran moneter terhadap kerugian atau kerusakan ini salah satunya adalah dengan restitutio in integrum21. Pada restitutio in integrum, reparasi dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula seakan-akan tidak pernah terjadi kerusakan sebelumnya.22 Contoh konkrit dari konsep liability ini adalah ketika adanya kecelakaan lalu lintas dan menabrak gerobak. Terlepas dari ada atau tidaknya unsur pelanggaran hukum yang dilakukan dalam kecelakaan tersebut, pengemudi tetap harus bertanggung jawab untuk membayar kompensasi terhadap semua kerugian yang ditimbulkannya. Dengan demikian, konsep responsibility timbul ketika terdapat pelanggaran hukum internasional. Pada Pasal VI dijelaskan bahwa responsibility merupakan kewajiban negara untuk memberikan regulasi dan kontrol terhadap aktivitas ruang angkasanya, baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun oleh badan hokum privat, serta kewajiban suatu negara untuk memastikan bahwa tidak melanggar ketentuan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Sementara itu konsep liability lebih menekankan pada kewajiban sebuah negara untuk memberikan kompensasi atas terjadinya damage yang disebabkan oleh suatu benda angkasa, terlepas dari damage tersebut disebabkan oleh adanya pelanggaran 20 Bin. Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and Tribunals Part III: General Principles of Law in the Concept of Responsibility. 21 Supra Note 41. 22 Ibid. 33 terhadap hukum internasional maupun tidak.23 Selain itu, konsekuensi yang dihasilkan pada responsibility tidak serta merta melibatkan pembayaran kompensasi atau ganti rugi, melainkan hanya memberikan kewajiban negara untuk melakukan regulasi dan kontrol terhadap aktivitas ruang angkasanya sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Outer Space Treaty.24 Sedangkan konsekuensi yang timbul dari adanya liability adalah dengan serta merta mewajibkan pelaku untuk melakukan kompensasi atau pembayaran moneter terhadap kerugian yang ditimbulkannya.25 Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada rezim hokum angkasa, konsep responsibility lebih luas daripada konsep liability. Dalam situasi apabila terdapat kerugian yang disebabkan oleh adanya pelanggaran hukum, maka liability adalah bagian dari responsibility. Namun pada situasi-situasi lainnya, responsibility dan liability adalah dua konsep yang berdiri sendiri. Liability Convention mengatur mengenai dua sistem liability yang berbeda (dual system liability). Dua sistem liability ini dibedakan dari tempat terjadinya damage, yaitu 1) di wilayah permukaan bumi, dan 2) di wilayah ruang angkasa. Pada sistem yang pertama, berlaku absolute liability apabila damage terjadi di wilayah permukaan bumi, hal ini diatur pada Pasal II. Sedangkan pada sistem kedua, berlaku fault liability apabila damage terjadi di wilayah ruang angkasa, 23 W. B. Wirin, “Practical Implications of Launching State - Appropriate State Definitions”, 37 IISL Proceeding, (1994), hal. 109. 24 Bin Cheng, “Article VI of the 1967 Space Treaty Revised: „International Responsibility‟, „National Activities‟, and „The Appropriate State‟ ”, hal. 9. 25 Ibid. 34 dimana hal ini diatur pada Pasal III dari konvensi yang sama. Dengan demikian, apabila damage disebabkan oleh tabrakan yang terjadi di ruang angkasa, maka yang berlaku adalah sistem fault liability. Pasal III Liability Convention yang memuat ketentuan mengenai fault liability berbunyi sebagai berikut: “In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the earth to a space object of one launching State or to persons or property on board such a space object by a space object of another launching State, the latter shall be liable only if the damage is due to its fault ir the fault of persons for whom it is responsible.”26 Dari ketentuan di atas, maka unsur terpenting yang harus dibuktikan agar sebuah negara dapat dikatakan bertanggung jawab atau liable terhadap damage yang terjadi, adalah unsur kesalahan atau fault dari negara tersebut. Namun demikian, di dalam Liability Convention maupun Outer Space Treaty tidak terdapat ketentuan maupun penjelasan lebih lanjut mengenai unsur fault.27 Hal ini menimbulkan beragam interpretasi terhadap fault itu sendiri, yaitu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan fault serta unsur-unsur yang terkandung dalam fault. 26 27 Pasal III, Liability Convention. Elise Epperson Crow, “Waste and Management in Space Addressing the Challenge of Orbital Debris”, 18 Southwestern Journal of International Law 707, (2012), hal.8. 35 Diluar dari individual liability oleh Launching State yang dikemukakan di atas, Liability Convention juga mengatur mengenai liability dalam kondisi dua Launching State atau lebih bertanggung jawab secara renteng dan bersama-sama (jointly and severally liable) atas damage yang terjadi. Prinsip umum dalam sistem liability ini adalah apabila damage yang terjadi disebabkan oleh benda angkasa yang merupakan joint launching. Joint launching bisa diartikan sebagai adanya perjanjian antara dua negara atau lebih yang meluncurkan suatu benda angkasa,28 atau sebagai interpretasi dari Pasal I (c) Liability Convention, yaitu di dalamnya termasuk juga negara dari wilayah teritorialnya atau fasilitasnya suatu benda angkasa diluncurkan.29 Selanjutnya damage yang disebabkan oleh benda angkasa yang merupakan joint launching ini kemudian berdampak kepada Negara ketiga. Dalam hal ini, dua negara peluncur tersebut harus bertanggung jawab secara renteng dan bersama-sama terhadap negara ketiga.30 Sistem ini dikenal sebagai joint liability yang diatur pada Pasal IV dan Pasal V Liability Convention. Dalam joint liability, dua prinsip liability yaitu absolute dan fault liability berlaku juga pada sistem ini.31 Apabila damage terjadi di wilayah permukaan bumi atau pesawat terbang (aircraft in flight), maka berlaku sistem absolute 28 Valerie Kayser, Launching Space Objects Issues of Liability and Future Prospects, (Kluwer Academic Publishers, 2001), hal. 37. 29 Article V (3) Liability Convention: “A State from whose territory or facility a space object is launched shall be regarded as a participant in a joint launching.” 30 31 Pasal V, Liability Convention. W. F. Foster, “The Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects”, The Canadian Yearbook of International Law, (1972), hal.150. 36 liability.32 Sedangkan apabila damage terjadi di wilayah lain selain di permukaan bumi, maka dua negara peluncur tersebut harus bertanggung jawab secara tanggung renteng kepada negara ketiga, apabila damage tersebut disebabkan oleh salah satu ataupun kedua dua negara peluncur tersebut, ataupun karena kesalahan orang yang salah satu atau kedua negara peluncur tersebut bertanggung jawab terhadapnya.33 Selanjutnya mengenai pembagian porsi pembayaran diserahkan kepada persetujuan para negara peluncur. Tentu saja bagaimanapun pembagian orsi antara negara peluncur tersebut tidak boleh mengesampingkan atau engurangi hak negara ketiga untuk mendapatkan full compensation atau ganti rugi secara penuh.34 2.4 Konsep Pengaturan Lembaga Ganti Rugi 2.4.1 Pihak Pihak Yang Bertanggung Jawab Di dalam artikel II dari Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa : 32 Pasal IV (1a) Liability Convention: “ In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the earth to a space object of one launching State or to persons or property on board such a space object by a space object of another launching State, and of damage thereby being caused to a third State or to its natural or juridical persons, the first two States shall be jointly and severally liable to the third State, to the extent indicated by the following: a) If the damage has been caused to the third State on the surface of the earth or to aircraft in flight, their liability to the third State shall be absolute.” 33 Pasal IV(1b) Liability Convention: “b) If the damage has been caused to a space object of the third State or to persons or property on board that space object elsewhere than on the surface ofthe earth, their liability to the third State shall be based on the fault of either of the first two States or on the fault of persons for whom either is responsible.” 34 Pasal VI (2) Liability Convention: “In all cases of joint and several liability referred to in paragraph 1 of this Article, the burden of compensation for the damage shall be apportioned between the first two States in accordance with the extent to which they were at fault; if the extent of the fault of each of these States cannot be established, the burden of compensation shall be apportioned equally between them. Such apportionment shall be without prejudice to the right of the third State to seek the entire compensation due under this Convention from any or all of the launching States which are jointly and severally liable. ” 37 A Launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its Space Object on the surface of the Earth or to aircraft in flight. Dengan melihat ketentuan yang ditegaskan dalam artikel II di atas makan dapat diketahui tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh benda-benda angkasa di mana yang bertranggung jawab adalah Negara Peluncur (launching State). Sedangkan yang dimaksud dengan Negara peluncur selanjutnya dijelaskan di dalam artikel I ayat (c) yaitu : The term launching State means: (1) a state which launches or procures the launching of space object, (2) a state from whose territory or facility a space object is launched. Jadi berdasarkan artikel I ayat (c) Negara peluncur bukan hanya Negara yang meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat dikategorikan sebagai Negara peluncur, yaitu Negara yang mendapat kesempatan ikut meluncurkan objek ruang angkasa, Negara yang wilayahnya atau yang memberikan fasilitas dari mana objek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu. 38 Maka dengan demikian, suatu Negara dapat memenuhi syarat sebagai peluncur apabila ;35 1. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayahnya dengan menggunakan sarananya sendiri; atau 2. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara lain, berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan sarananya sendiri atau sarana setempat; atau 3. Mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain atau badan non pemerintah lainnya; atau 4. Menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain di dalam wilayah negara lain itu. Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di dalam upaya prluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal itu mereka akan menentukan siapa yang akan menjadi negara pendaftarnya (State of Registry). 2.4.2 Hal-Hal Yang Dipertanggung Jawabkan Negara peluncur (launching state) bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh benda-benda ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa. 35 J.E.S. Fawcett, Outer Space : New Challenges to Law and Policy, Clarendon Press, Oxford, 1984, hlm. 25. 39 Mengenai “Kerugian”, konvensi memberikan batasan sebagaimana yang dinyatakan di dalam artikel I ayat (a) sebagai berikut: The term damage means loss of life, personal injury or other impairment of health; or loss of damage to property of states or of person, natural or juridical, or property of international intergovernmental organization. Menilik artikel I ayat (a) di atas, maka kerugian yang dapat dipertanggung jawabkan oleh negara peluncur diartikan sebagai kerugian atau kerusakan yang diderita oleh orang (personil) secara individu atau kerugian yang berkaitan dengan rusaknya kesehatan seseorang atau kehilangan, rusaknya harta benda milik pribadi, badan hokum atau harta benda milik organisasi internasional yang bersifat antar pemerintah. Kerugian sebagaimana yang disebutkan di atas dapat terjadi di permukaan bumi, berarti dapat di wilayah darat atau wilayah laut suatu negara atau di wilayah yang bukan merupakan yurisdiksi dari negara mana pun, juga dapat terjadi di ruang udara dalam hal tertabraknya pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan dan akhirnya kerugian itu dapat pula terjadi di ruang angkasa dalam hal merugikan benda-benda ruang angkasa milik negara peluncur. Dengan memperhatikan artikel II dan III dari Liability Convention 1972 maka jelaslah bahwa konvensi ini memberikan dua alternatif pertanggung jawaban negara terhadap kerugian yang disebabkan oleh Space Object atau benda angkasa. Kedua alternatif tersebut merupakan suatu prinsip hokum yang dianut 40 konvensi ini dalam hal pertanggung jawaban negara mengenai aktivitasnya di ruang angkasa yang telah menimbulkan kerugian terhadap negara lainnya. Prinsip yang pertama, yaitu; jika kerugian itu terjadi di permukaan Bumi, misalnya tertimpa suatu bangunan oleh kepingan benda angkasa, rusak alam karena terjadi kontaminasi nuklir di permukaan bumi, meninggal manusia karena benda angkasa tersebut, tertabrak atau tertimpa pesawat udara oleh pecahan benda angkasa atau tertabrak oleh benda yang sementara diluncurkan ke ruang angkasa, maka dalam keadaan atau kejadian semacam ini negara peluncur bertanggung jawab secara penuh dan mutlak (absolute) terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga tersebut sebesar kerugian yang diderita. Pihak yang dirugikan dalam kejadian ini tidak perlu memberikan suatu pembuktian tentang adanya unsur kesalahan pada pihak negara peluncur, cukup dengan menunjukkan fakta adanya kerugian tersebut (establishing the fact of damage) yang disebabkan oleh suatu benda yang diidentifikasi sebagai milik negara peluncur. Alasan yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability) adalah ketidak mampuan pihak yang dirugikan untuk memberikan suatu pembuktian yang lengkap seperti yang lazim diperlukan dalam kasus ganti rugi yang umum, di mana diharuskan adanya pembuktian unsur kesalahan atau kelalaian yang disengaja.36 36 Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remaja Karya, Bandung, 1984, hlm. 127. 41 Hal ini disebabkan oleh adanya suatu asumsi bahwa mustahil bagi orang awam misalnya untuk mengerti maupun sanggup membiayai suatu pemeriksaan atau penelitian untuk mencari sebab-sebab teknis dari kesalahan di pihak operator. Dasar tanggung jawab absolut ini adalah dasar tanggung jawab yang berusaha melindungi pihak ketiga yang tidak turut serta dalam suatu kegiatan yang mengandung resiko berbahaya yang sangat tinggi, akan tetapi tanpa keinginannyadapat merasakan akibat buruk dari aktivitas tersebut.37 Prinsip kedua yang terdapat dalam konvensi adalah prinsip pertanggung jawaban atas dasar kesalahan (Liability based on Fault). Prinsip ini diberlakukan bila kerugian itu terjadi bukan di permukaan Bumi dan di udara, akan tetapi kerugian terjadi di ruang angkasa yakni dalam hal benda angkasa tersebut merugikan negara lain karena telah merusak atau menabrak benda angkasa milik negara peluncur lainnya yang telah ditempatkan pada orbitnya. 2.4.3 Pihak-Pihak Yang Berhak Atas Ganti Rugi Untuk mengtahui siapa-siapa yang berhak menuntut dan memperoleh ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh objek ruang angkasa milik negara peluncur , maka perlu mengetahui dalam ketentuan konvensi tentang kerugian yang dipertanggung jawabkan. Artikel I ayat (a) dari LiabilityConvention 1972 dinyatakan bahwa : 37 Ibid. 42 The term damage means loss of life, personal injury or other impairment of health; or loss of damage to property of states or of person, natural or juridical, or property of international intergovernmental organization. Berdasarkan artikel I ayat (a) di atas maka kerugian yang dipertanggung jawabkan adalah kerusakan yang diderita oleh orang secara individu atau kerugian yang berkaitan dengan rusaknya kesehatan orang, kehilangan, rusaknya harta benda milik negara atau milik pribadi, milik badan hukum atau harta benda milik organisasi internasional antar pemerintah. Dengan demikian jelaslah bahwa yang berhak atas ganti rugi adalah mereka yang secara nyata dirugikan yaitu : 1. Orang secara individu; 2. Negara; 3. Badan Hukum; 4. Organisasi Internasional antar pemerintah. Mengenai orang secara individu, badan hukum nasional, maka tuntutan ganti rugi itu harus dilakukan melalui negaranya atau diwakili oleh negaranya. Mereka-mereka yang berhak atas ganti rugi itu tidak dapat melaksanakan haknya untuk menuntut ganti rugi dalam hal kerugian tersebut disebabkan oleh benda angkasa yang diluncurkan oleh negaranya sendiri atau dalam hal mereka turut serta hadir dalam peluncuran karena adanya undangan dari negara peluncur. 43 Mengenai kekecualian dalam penuntutan ganti rugi ini dinyatakan di dalam artikel VII Space Liability Convention 1972 sebagai berikut : The provisions of this Convention shall not apply to damage caused by a space object of launching state to : a. Nationals of that Launching State; b. Foreign Nationals during such time as they are participating in the operating of the space object from the time of its launching or at aby stage there after until its descent, or during such time as they are in the immediate vicinity of a planned launching or recovery area as the result of an invitation by launching state. Dengan adanya ketentuan sebagaimana tercantum dalam artikel VII Space Liability Convention 1972 itu maka jelaslah bahwa warga negara dari negara peluncur kehilangan hak untuk memperoleh ganti rugi, demikian pula warga negara asing selama mereka pada waktu tertentu ikut melakukan operasi kegiatan pada saat objek ruang angkasa tersebut diluncurkan atau sampai saat setiap tingkatan objek ruang angkasa tersebut dilepaskan atau selama jangka waktu secepat mungkin berada di sekitar tempat perencanaan peluncuran atau tempat penemuan kembali karena adanya undangan dari negara peluncur tersebut. 2.5 Pengaturan Lembaga Ganti Rugi 44 Untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh objek ruang angkasa, maka pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi tersebut harus melakukan tuntutan terhadap negara peluncur melalui negaranya. Mengenai hal ini, Space Liability Convention 1972 memberikan ketentuan, yaitu : 1. Suatu tuntutan kompensasi atas kerugian/kerusakan harus di lakukan terhadap negara peluncur melalui saluran diplomatic. Jika suatu negara tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan negara peluncur, maka pengajuan tuntutan dapat dilakukan melalui permohonan negara yang lain untuk melakukan penuntutan terhadap negara peluncur atau melalui cara-cara lain berdasarkan konvensi untuk kepentingan penuntutan demikian. Tuntutan dapat juga dilakukan melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa untuk kepentingan negara penggugat dan negara peluncur dimana keduanya adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, (artikel IX); 2. Suatu tuntutan untuk kompensasi atas kerusakan yang diderita dapat diajukan kepada negara peluncur tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal terjadinya kerusakan/kerugian atau sejak diketahuinya adanya ciri-ciri negara peluncur harus bertanggung jawab, (artikel X ayat 1); 45 3. Kompensasi yang harus dibayar oleh negara peluncur sebagai negara yang bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian yang diderita berdasarkan konvensi, harus sesuai prinsip hukum internasional serta prinsip persamaan derajat dan keadilan, (artikel XII); 4. Jika negara berdasarkan penuntut konvensi dan setuju negara pembayar mengenai bentuk kompensasi lain dari kompensasi, maka kompensasi demikian harus dibayarkan berdasarkan mata uang dari negara penuntut atau jika negara itu mengajukan permohonan bahwa mata uang tersebut adalah mata uang dari negara yang membayar kompensasi, (artikel XIII); 5. Dengan kehendak masing-masing pihak yang berkaitan dengan penuntutan dan menyatakan bilamana penyelesaian suatu tuntutan tidak dapat dicapai melalui perundingan diplomatik, maka dalam jangka waktu satu tahun dari sejak tanggal pemberitahuan negara penuntut kepada negara peluncur, maka masing-masing pihak berhubungan dengan suatu Komisi Penuntut yang dapat dilakukan melalui permohonan salah satu pihak, (artikel XIV); 6. Komisi Penuntut harus mempunyai komposisi yang terdiri dari tiga anggota, satu ditunjuk oleh negara penuntut, satu lagi oleh negara peluncur dan yang satunya adalah anggota dari pihak ketiga. Ketua komisi dapat dipilih oleh pihak-pihak yang mengadakan 46 persetujuan kerja sama dalam jangka waktu dua bulan. Jika dalam persetujuan itu tidak dapat dipilih seorang ketua, maka salah satu pihak dapat mengajukan permintaan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunjuk ketua dalam jangka waktu tidak lebih dari dua bulan, (artikel XV). Komisi penuntut akan memutuskan melalui jasa-jasa baik bagi suatu penuntutan untuk pembayaran kompensasi dan menentukan jumlah kompensasi yang harus dibayar sejauh hal itu memungkinkan, (artikel XVIII). Keputusan Komisi merupakan keputusan akhir dan mengikat jika telah disetujui oleh masing-masing pihak, (artikel XIX ayat 2). 7. Tidak satu pun ketentuan dari konvensi akan menghalangi suatu negara atau individu maupun badan hukum untuk melakukan penuntutan di hadapan Mahkamah/Peradilan atau Peradilan Administratif atau Badan Peradilan lainnya terhadap negara peluncur, (Pasal XI ayat 2).