bab ii konsep dan pengaturan lembaga ganti rugi dalam

advertisement
BAB II
KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM
PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDABENDA ANGKASA BUATAN
2.1
Konsep Benda-Benda Angkasa Buatan
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sejarah telah menunjukkan
bahwa aktifitas manusia di luar angkasa terus berkembang guna memberikan
manfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Berdasarkan International
Telecommunications Union (ITU)1, benda angkasa buatan adalah kendaraan
buatan manusia yang dipergunakan di luar bagian atmosfir permukaan bumi.
Sedangkan menurut NASA2, benda angkasa buatan merupakan “pesawat, baik
berawak maupun tak berawak manusia, yang ditujukan ke orbit bumi atau lintasan
angkasa lain. Dengan kata lain, benda angkasa buatan dapat berupa satelit,
1
ITU dibentuk di Paris pada tahun 1865 dengan nama International Telegraph Union dan
menjadi International Telecommunications Union pada tahun 1932. Pada tahun 1947 ITU
menjadi badan sendiri dalam organisasi PBB. Pada awalnya wilayah keahlian ITU merupakan
telegraf, namun sekarang ITU telah mencakup seluruh sektor ICT, dari penyiaran digital ke
Internet, dan dari teknologi mobile untuk TV 3D. ITU melakukan banyak perkembangan di bidang
satelit komunikasi yang berfungsi untuk kepentingan perkembangan ekonomi, teknologi dan ilmu
pengetahuan serta melakukan harmonisasi kominikasi antar negara.
2
Kongres dan Presiden Amerika Serikat mendirikan National Aeronautics and Space
Administration (NASA) pada tanggal 1 Oktober 1958, mengingat adanya urgensi untuk
menyediakan sarana dan prasarana eksplorasi penerbangan di luar atmosfir permukaan bumi.
NASA pertama kali mengadakan program astronot tunggal untuk penerbangan luar angkasa
bernama Mercury selama 1961-1963 untuk memastikan apakah manusia bisa bertahan hidup di
ruang angkasa dan program-program lainnya yang menerbangkan astronot ke luar angkasa
sampai para remote sensing melalui satelit bumi untuk mengumpulkan informasi serta
pemantauan lingkungan) serta lokakarya orbital lainnya untuk astronot dan Skylab. (Steve Garber
and Roger Launius dalam The Brief History of NASA).
17
18
peluncur satelit, stasiun luar angkasa, kontainer atau pesawat lainnya yang
ditujukan ke luar angkasa.3
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang telah dicapai di
bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup
besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di
ruang angkasa. Kegiatan dalam bidang keantariksaan ini nampaknya akan terus
meningkat baik mengenai jumlah negara yang terlibat di dalamnya maupun
mengenai ruang lingkupnya. Pendaratan yang dilakukan oleh astronot Amerika
Serikat di bulan dengan mulus merupakan kejadian yang menggemparkan dunia
internasional dan sekaligus menaikkan gengsi Amerika Serikat di forum
internasional.
Memang, berbagai bentuk pesawat ruang angkasa (flight instrumentalities)
telah diciptakan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang bernama Rusia).
Berbagai bentuk satelit, stasiun ruang angkasa serta kendaraan ruang angkasa
lainnya telah mengorbit bumi atau menjelajahi ruang angkasa. Semua alat-alat
atau benda-benda buatan manusia itu telah dimanfaatkan guna peningkatan
kualitas dan taraf hidup manusia, penelitian ilmu pengetahuan dan pencarian
sumber-sumber alam baru.
Salah satu hal yang sedang berkembang pesat dalam era modern ini adalah
komersialisasi ruang angkasa. Hal ini adalah suatu fenomena baru memasuki abad
3
Luis Fernando Fiallos Pazmino, “Legal Aspects of Launching and Operating Spacecraft”,
(Tesis Master McGill University, 2003), hlm. 32.
19
ke-21 ini. Walaupun era komersialisasi ruang angkasa telah berlangsung dalam
dunia ini, namun belum ada perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur
pengertian dan istilah komersialiasi ruang angkasa atau definisi istilah lain yang
mempunyai maksud yang sama. Untuk sementara dapat dikemukakan bahwa
komersialisasi ruang angkasa itu adalah segala macam aktivitas yang
berhubungan ruang angkasa untuk memperoleh suatu keuntungan ekonomis.
Aktivitas komersial ini dilakukan oleh badan-badan pemerintah ataupun
swasta, nasional maupun badan internasional antara lain NASA dan Organisasi
Internasional lainnya. Banyak juga aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh badanbadan semi pemerintah yang melibatkan perusahaan swasta atau yang sahamnya
dimiliki swasta.
Bentuk-bentuk aktivitas yang telah atau sedang berkembang untuk di
komersialkan adalah :4
1. komunikasi
2. penginderaan jauh
3. sistem transportasi ruang angkasa
4. pengolahan bahan
5. pembangkit tenaga
4
Wahyuni Bahar, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Aktivitas Komersial di Ruang
Angkasa, Hukum Dan Perkembangannya, Editor E. saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar
Kantaatmadja, (Bandung: Remaja Karya CV, 1988), hlm. 165.
20
6. pertambangan
Semua bentuk kegiatan atau aktivitas di atas sangat menentukan tingkat
kemajuan di masa yang akan datang. Aktivitas komersial di ruang angkasa di satu
sisi memang memberikan dampak positif bagi kehidupan tetapi di sisi lainnya
aktivitas komersial ruang angkasa juga dapat menimbulkan dampak negatif.
Salah satu indikator perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas komersial
di ruang angkasa adalah besarnya peningkatan frekuensi dan jumlah peluncuran
satelit serta penempatan benda antariksa (satelit dan roket) di ruang angkasa.
Frekuensi dan peluncuran satelit pun akan semakin meningkat mengingat
meningkatnya kebutuhan akan pemanfaatan satelit baik untuk keperluan
telekomunikasi
maupun
keperluan
lainnya
seperti:
penginderaan
jauh,
meteorologi, navigasi, siaran televisi secara langsung melalui satelit serta kegiatan
militer.
Perkembangan kegiatan antariksa dan peluncuran benda-benda antariksa
buatan manusia yang selanjutnya disebut sebagai benda antariksa (space objects)
yang diakibatkan oleh komersialisasi ruang angkasa akan berlanjut tanpa
hentinya. Pada saat ini banyak sekali benda-benda antariksa buatan manusia
berupa satelit, fragment dari satelit atau roket yang berada di ruang angkasa, dan
itu semua akan semakin bertambah banyak seiring dengan terus berjalannya
aktivitas komersial di ruang angkasa.
Adapun pengoperasian benda-benda angkasa buatan tersebut berlangsung
untuk aktifitas luar angkasa sebagai berikut:
21
1. Satelit komunikasi (Communication Satellite)
Berdasarkan ITU, Radio Regulation sebagaimana diperbarui oleh WRC97, telekomunikasi memuat setiap transmisi, emisi, atau penerimaan tanda, sinyal,
tulisan, gambar dan suara melalui wire, radio, optik atau sistem elektromagnetik
lainnya.5
2. Remote sensing
3. Global Navigation Satellite System (GNSS)
4. Wisata Luar Angkasa (Space Tourism)
5. Transportasi Komersil Angkasa (Commercial Space Transport)
Sehubungan dengan hal di atas, berikut jenis-jenis benda angkasa buatan
yang telah berkembang hingga saat ini:
1. Satelit
Satelit buatan merupakan benda yang mengitari benda lain yang massanya
lebih besar dan gerakan ditentukan oleh kekuatan dari benda lainnya.
Misalnya satelit Palapa yang mengelilingi Bumi. Satelit Buatan terdiri dari
macam-macam jenis tergantung dari fungsinya.
“Berikut jenis-jenis satelit buatan:6
5
Luis Fernando Fiallos Pazmino, Op.Cit., hlm. 12.
6
Ibid., hlm. 35.
22
1. Satelit astronomi adalah satelit yang digunakan untuk mengamati
planet, galaksi, dan benda luar angkasa lainnya.
2. Satelit komunikasi adalah satelit buatan yang dipasang di angkasa
dengan tujuan telekomunikasi.
3. Satelit pengamat bumi adalah satelit yang dirancang khusus untuk
mengamati bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi,
pembuatan peta, dan lain sebagainya.
4. Satelit navigasi adalah satelit yang menggunakan sinyal radio yang
disalurkan ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi
sebuah titik dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar
bangunan.
5. Satelit mata-mata adalah satelit pengamat bumi yang digunakan untuk
tujuan militer atau mata-mata.
6. Satelit cuaca adalah satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca
dan iklim di bumi.
7. Satelit tenaga surya adalah satelit yang diusulkan dibuat di orbit Bumi
tinggi yang menggunakan transmisi tenaga gelombang mikro untuk
menyorotkan tenaga surya kepada antena sangat besar di bumi yang
dpaat digunakan untuk menggantikan sumber tenaga konvensional.
8. Stasiun angkasa adalah struktur buatan manusia yang dirancang
sebagai tempat tinggal manusia di luar angkasa. Stasiun luar angkasa
dibedakan dengan pesawat angkasa lainnya oleh ketiadaan propulsi
pesawat angkasa utama atau fasilitas pendaratan; Dan kendaraan lain
digunakan sebagai transportasi dari dan ke stasiun. Stasiun angkasa
dirancang untuk hidup jangka-menengah di orbit, untuk periode
mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan.
9. Satelit miniatur adalah satelit yang ringan dan kecil. Klasifikasi baru
dibuat untuk mengkategorikan satelit-satelit ini: satelit mini (500–200
kg), satelit mikro (di bawah 200 kg), satelit nano (di bawah 10 kg).”
Sejak keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelitnya yang diberi nama
Sputnik I, maka Amerika Serikat berusaha pula untuk menyaingi atau setidaktidaknya mensejajarkan kedudukannya dengan pihak Uni Soviet dalam berbagai
kemajuan khususnya teknologi ruang angkasa.
2. Kendaraan Peluncur (Launch Vehicle)
23
Kendaraan Peluncur merupakan benda angkasan buatan yang digunakan
untuk memindahkan manusia dan kargo dari dan ke orbit bumi, atau dapat pula
membawa satelit yang akan ditempatkan di sekitar bumi. Kendaraan peluncur ini
dapat digunakan secara berulang kali (Reusable Launch Vehicle) dan sekali pakai
(Expendable Launch Vehicle).7
3. Stasiun Luar Angkasa (Space Station)
Stasiun luar angkasa digunakan untuk berbagai macam fungsi dan
kegunaan terutama, dimana tidak hanya digunakan untuk kepentingan penelitian
namun juga untuk kepentingan umum. Adapun stasiun ini dipergunakan untuk
berbagai uji material yang tidak dapat diuji secara efektif di bumi dalam bidang
farmasi, pula stasiun ini dipergunakan bagi manusia dalam hal mengeksplorasi
ruang angkasa berupa perjalanan ke planet lainnya atau bintang.8
2.2 Konsep Pengoperasian Benda-Benda Angkasa Buatan
Pengoperasian benda angkasa buatan dalam menyelenggarakan kegiatan
luar angkasa diatur dalam Konvensi Peaceful Uses of Outer Space, terlebih lagi
setelah dibentuknya komite ad hoc yakni Committee on the Peaceful Uses of
Outers Space (COPUOS). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, COPOUS
merupakan badan yang membantu pembentukan Outer Space Treaty dimana
Outer Space Treaty menyatakan bahwa negara harus bertanggung jawab atas
7
Ibid., hlm. 38.
8
Ibid., hlm. 43
24
setiap kegiatan nasionalnya yang dilakukan di luar angkasa dalam hal
mempergunakan dan mendayagunakan benda angkasa buatan.
Outer Space Treaty mewajibkan negara yang mengoperasikan benda
angkasa buatan untuk mendaftarkan setiap benda angkasa buatan yang
diluncurkan keluar angkasa, guna mengetahui negara mana yang nantinya akan
bertanggung jawab apabila terjadi kerugian yang timbul dalam hal benda angkasa
buatan tersebut mengalami kegagalan fungsi dan jatuh ke permukaan bumi.
Adapun Outer Space Treaty membatasi pengoperasian benda angkasa
buatan untuk hal-hal yang berhubungan dengan senjata nuklir atau senjata yang
massanya dapat merusak luar angkasa serta kewajiban negara peluncur untuk
tidak
mengintervensi
kepentingan
negara
peluncur
lainnya
dalam
hal
mengeksplorasi dan menggunakan ruang angkasa. Hal tersebut menjadi tujuan
diwajibkannya pendaftaran benda angkasa buatan sebelum diluncurkan ke ruang
angaksa.
Dalam Liability Convention dijelaskan bahwa negara peluncur atau negara
yang ikut bersama-sama meluncurkan atau negara yang memberi fasilitas
peluncuran atau
Organisasi Internasional yang ikut serta dalam peluncuran
benda-benda ruang angkasa, harus bertanggung jawab secara internasional atas
kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh negara lain baik terhadap harta
benda dan manusia, badan hukum maupun terhadap masalah kerugian yang
diderita oleh suatu pesawat udara dalam penerbangan sebagai akibat dari
pelaksanaan keantariksaan dari negara peluncur. Tanggung jawab yang harus
25
dipikul oleh negara peluncur adalah tanggung jawab mutlak dan anggung jawab
berdasarkan kesalaham. Prinsip ini terdapat dalam artikel I, II, III, IV, V dan
artikel VI Liability Convention 1972.
Berdasarkan artikel I ayat (c) negara peluncur bukan hanya negara yyang
meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat dikategorikan
sebagai negara peluncur, yaitu negara yang mendapat kesempatan ikut
meluncurkan obyek ruang angkasa, negara yang wilayahnya atau yang
memberikan fasilitas dari mana obyek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut
bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu.
Maka dengan demikian, suatu negara dapat memenuhi syarat sebagai
negara peluncur apabila :9
1. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayahnya
dengan menggunakan sarananya sendiri; atau
2. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara
lain, berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan
sarananya sendiri atau sarana setempat; atau
3. Mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain atau
badan nonpemerintah lainnya; atau
9
J.E.S. Fawcett, Outer Space : New Challenges to Law and Policy, Clarendon Press,
Oxford, 1984, hlm. 25.
26
4. Menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain
di dalam wilayah negara lain itu.
Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di
dalam upaya peluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal ini mereka
menentukan siapa yang akan menjadi negara pendaftarnya (State of Registry).
2.3 Konsep Ganti Rugi Akibat Pengoperasian Benda-Benda Angkasa
Buatan
Outer Space Treaty merupakan magna charta10 dari rezim hukum
angkasa, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dasar yang harus dipatuhi dalam
menjalankan kegiatan ruang angkasa. Sementara Liability Convention yang
merupakan penjelasan dari Pasal VI dan VII dari Outer Space Treaty, lebih
khusus mengatur mengenai konsep liability dalam hal terjadi damage. Dengan
demikian, ketentuan keduanya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan,
khususnya ketika membahas mengenai damage yang terjadi di ruang angkasa.
Liability Convention merupakan pengaturan mengenai tanggung jawab
untuk kerugian yang ditimbulikan oleh space objects atau benda angkasa.
Liability Convention digunakan sebagai pedoman dasar untuk mengajukan ata
10
Magna Charta atau The Great Charter adalah piagam yang diberikan oleh Raja John
dari Inggris pada tahun 1215. Piagam ini merupakan perjanjian perdamaian pertama, yang
menjadi jaminan mendasar bagi warga negara Inggris. Prinsip-prinsip di dalamnya mengatur
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebebasan, kebahagiaan, serta kenikmatan
hidup. Prinspi prinsip ini kemudian menjadi dasar konstitusi Inggris.
Maksud dari istilah ‘magna charta dari rezim hukum angkasa’ adalah prinsip-prinsip
yang menjadi dasar atau prinsip utama yang mengatur hukum angkasa.
27
mengklaim pertanggung jawaban atas benda angkasa yang jatuh ke bumi.
Liability Convention ini mengandung 4 lingkup atau sudut pandang, yaitu lingkup
geografis, lingkup benda (material), lingkup fungsional/personal, dan lingkup
waktu. Dengan meninjau keempat susut pandang ini, maka dapat terlihat hal-hal
seperti: di wilayah ruang mana saja konvensi ini dapat berlaku; dapat dikenakan
pada siapa saja serta apa saja yang menjadi tujuan darikonvensi dan akhirnya
dapat pula dilihat waktu berlakunya konvensi ini.
2.3.1
Tujuan Mengenai Konsep Liability
Untuk membahas mengenai tanggung jawab negara dalam hal terjadi
damage, maka diperlukan adanya tinjauan mengenai konsep tanggung jawab
negara atau dalam hal ini adalah konsep yang disebut dengan liability. Dalam hal
damage terjadi di wilayah ruang angkasa, maka berlaku konsep fault liability
terhadap pemilik dari benda angkasa tersebut.11 Apabila pemilik terhadap suatu
benda angkasa terdapat lebih dari satu, maka berlaku konsep joint liability
terhadapnya.12 Namun demikian, dalam rezim hukum angkasa terdapat konsep
tanggung jawab negara selain liability, yaitu responsibility. Hal ini seringkali
menimbulkan kerancuan dalam implementasinya. Maka dari itu, tinjauan
mengenai konsep liability ini dibahas dalam tiga sub-bab, yaitu 1) perbedaan
konsep tanggung jawab negara antara liability dengan responsibility, 2) konsep
fault liability, serta 3) konsep joint liability.
11
Pasal III, Liability Convention.
12
Pasal V, Liability Convention.
28
2.3.2
Perbedaan konsep tanggung jawab negara antara liability dengan
responsibility
Sebelum masuk pada pembahasan konsep liability secara lebih lanjut,
penulis perlu membahas dan membedakan mengenai dua jenis konsep tanggung
jawab negara. Dua konsep tanggung jawab negara yang dimaksud adalah
responsibility dan liability. Keduanya merupakan dua terminologi penting yang
terkandung pada hukum internasional. Meskipun memiliki makna yang sama
yaitu tanggung jawab, namun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua konsep
tersebut. Outer Space Treaty 1967 mengatur mengenai responsibility pada Pasal
VI, dan pada Pasal VII dari perjanjian yang sama mengatur mengenai liability.
Pasal VI Outer Space Treaty berbunyi sebagai berikut:
“State Parties to the Treaty shall bear international responsibility for
national activities in outer space, [......] whether such activities are carried out by
governmental agencies or by non-governmental entities, and for assuring that
national activities are carried out in conforminty with the provisions set forth in
the present Treaty. [......] ”
Dapat dilihat bahwa Pasal VI Outer Space Treaty berbicara mengenai
international responsibility sebuah negara. Dalam hal tersebut Negara
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa segala aktivitas nasional yang
berhubungan dengan kegiatan eksplorasi ruang angkasanya, baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh privat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
29
perjanjian tersebut.13 Sedangkan Pasal VII dari perjanjian yang sama, berbunyi
sebagai berikut:
“Each State Party that launches or procures the launching of an object
into outer space, [.....], is internationally liable for damage to another State Party
to the Treaty or to its natural or juridical persons by such object or its component
parts [......]”
Konsep tanggung jawab yang diatur pada pasal VII di atas menekankan
pada liability atau tanggung jawab sebuah negara terhadap kerusakan atau damage
yang disebabkan kepada negara peserta lainnya, warga negaranya, dan juga
properti dari negara tersebut.14
Sepintas dua konsep tersebut terlihat berdiri sendiri dan tidak terikat satu
sama lain. Namun demikian pada faktanya, beberapa terjemahan otentik dari
Outer Space Treaty, seperti Cina, Prancis, Rusia, Spanyol, dan Indonesia hanya
menggunakan satu terminologi untuk menjelaskan keduanya.15 Adanya satu
terminologi yang menerjemahkan dua konsep berbeda ini seringkali menimbulkan
kerancuan. Hal ini telah lama menjadi bahan diskusi yang dibicarakan oleh para
penulis hukum ruang angkasa mengenai bagaimana seharusnya memberikan
13
Frans G. Von der Dunk, “Liability versus Responsibility in Space Law: Misconception
or Misconstruction?”, Proceedings of the Thirty-fourth Colloquium on the Law of Outer Space,
(1992), hal 363.
14
15
Ibid.
Bin Cheng, “Article VI of the 1967 Space Treaty Revised: „International
Responsibility‟, „National Activities‟, and „The Appropriate State‟ ”, Journal of Space Law Vol.
26-1, (1998), hal. 10.
30
interpretasi terhadap definisi yang samar terhadap liability dan responsibility pada
Pasal VI dan Pasal VII.16
Perbedaan yang mendasar dari konsep responsibility dan liability adalah
bahwa responsibility menekankan pada adanya suatu tindakan pelanggaran
terhadap hukum internasional. Sementara liability menekankan pada timbulnya
efek berbahaya (harmful effect) dari suatu aktivitas yang tidak harus semata-mata
merupakan pelanggaran hukum internasional.17
Seorang ahli hukum angkasa, Bin Cheng, menjelaskan mengenai
perbedaan dari kedua konsep tersebut, bahwa :
i.
Responsibility merupakan pertanggungjawaban terhadap suatu
tindakan maupun kelalaian pada pentaatan terhadap sistem norma,
baik norma moral, agama, politik, atau norma lainnya. Pada norma
hukum, responsibility merupakan tanggung jawab seseorang untuk
memenuhi segala kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya,
serta segala pelanggaran dari kewajiban hukum tersebut.18
Pelanggaran terhadap kewajiban hukum menimbulkan kewajiban
lainnya, yaitu untuk melakukan reparasi terhadap segala kerusakan
16
Von Der Dunk, “Liability versus Responsibility in Space Law: Misconception or
Misconstruction?”.
17
18
Rebecca M. Wallace, International Law, (Sweet & Maxwell, 2003), hal. 203.
Bin Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and
Tribunals Part III: General Principles of Law in the Concept of Responsibility, (Cambridge:
Grotius, 1987), hal. 163-164.
31
yang disebabkannya.19 Namun apabila tidak terjadi kerusakan yang
ditimbulkan dari pelanggaran tersebut, maka tanggung jawab yang
dibebankan adalah untuk kembali mengikuti norma yang berlaku
demi terciptanya keserasian hukum. Contoh konkritnya adalah
ketika seorang pengemudi melanggar lampu merah. Apabila
pelanggaran
tersebut
menimbulkan
adanya
korban,
maka
pengemudi bertanggung jawab untuk melakukan reparasi terhadap
korban. Namun pada kebanyakan pelanggaran lampu lalu lintas,
tidak terdapat korban maupun kerugian yang disebabkan olehnya.
Meskipun demikian, setiap pengemudi tetap bertanggung jawab
untuk tidak melanggar kewajibannya dengan menaati lampu lalu
lintas demi tercapainya ketertiban dan keserasian hukum.
ii.
Sementara liability adalah terminologi yang digunakan untuk
menunjukkan kewajiban untuk menanggung konsekuensi yang
timbul dari pelanggaran norma hukum, khususnya adalah
kewajiban untuk melakukan reparasi terhadap segala kerusakan
yang disebabkan, berbentuk pembayaran moneter atau kompensasi.
Terminologi ini seringkali digunakan secara umum untuk
menunjukkan kewajiban hukum untuk memperbaiki kerusakan
atau kerugian yang terjadi, terlepas dari adanya kesalahan
19
Permanent Court of International Justice (PCIJ): Chorzow Factory case (Merits), Series
A, No. 17, hal. 29, dan 47 (1928) where the Court stated: "reparation must, as far as possible, wipe
out all the consequences of the illegal act and re-establish the situation which would, in all
probability, have existed if that act had not been committed".
32
apapun.20 Bentuk pembayaran moneter terhadap kerugian atau
kerusakan ini salah satunya adalah dengan restitutio in integrum21.
Pada
restitutio
in
integrum,
reparasi
dilakukan
untuk
mengembalikan keadaan seperti semula seakan-akan tidak pernah
terjadi kerusakan sebelumnya.22 Contoh konkrit dari konsep
liability ini adalah ketika adanya kecelakaan lalu lintas dan
menabrak gerobak. Terlepas dari ada atau tidaknya unsur
pelanggaran hukum yang dilakukan dalam kecelakaan tersebut,
pengemudi tetap harus bertanggung jawab untuk membayar
kompensasi terhadap semua kerugian yang ditimbulkannya.
Dengan
demikian,
konsep
responsibility
timbul
ketika
terdapat
pelanggaran hukum internasional. Pada Pasal VI dijelaskan bahwa responsibility
merupakan kewajiban negara untuk memberikan regulasi dan kontrol terhadap
aktivitas ruang angkasanya, baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun oleh
badan hokum privat, serta kewajiban suatu negara untuk memastikan bahwa tidak
melanggar ketentuan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Sementara itu
konsep
liability lebih menekankan pada kewajiban sebuah negara untuk
memberikan kompensasi atas terjadinya damage yang disebabkan oleh suatu
benda angkasa, terlepas dari damage tersebut disebabkan oleh adanya pelanggaran
20
Bin. Cheng, General Principles of Law as Applied by International Courts and
Tribunals Part III: General Principles of Law in the Concept of Responsibility.
21
Supra Note 41.
22
Ibid.
33
terhadap hukum internasional maupun tidak.23 Selain itu, konsekuensi yang
dihasilkan pada responsibility tidak serta merta melibatkan pembayaran
kompensasi atau ganti rugi, melainkan hanya memberikan kewajiban negara
untuk melakukan regulasi dan kontrol terhadap aktivitas ruang angkasanya sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam Outer Space Treaty.24 Sedangkan konsekuensi yang
timbul dari adanya liability adalah dengan serta merta mewajibkan pelaku untuk
melakukan kompensasi atau pembayaran moneter terhadap kerugian yang
ditimbulkannya.25 Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada rezim hokum angkasa, konsep responsibility lebih luas daripada konsep
liability. Dalam situasi apabila terdapat kerugian yang disebabkan oleh adanya
pelanggaran hukum, maka liability adalah bagian dari responsibility. Namun pada
situasi-situasi lainnya, responsibility dan liability adalah dua konsep yang berdiri
sendiri.
Liability Convention mengatur mengenai dua sistem liability yang berbeda
(dual system liability). Dua sistem liability ini dibedakan dari tempat terjadinya
damage, yaitu 1) di wilayah permukaan bumi, dan 2) di wilayah ruang angkasa.
Pada sistem yang pertama, berlaku absolute liability apabila damage terjadi di
wilayah permukaan bumi, hal ini diatur pada Pasal II. Sedangkan pada sistem
kedua, berlaku fault liability apabila damage terjadi di wilayah ruang angkasa,
23
W. B. Wirin, “Practical Implications of Launching State - Appropriate State
Definitions”, 37 IISL Proceeding, (1994), hal. 109.
24
Bin Cheng, “Article VI of the 1967 Space Treaty Revised: „International
Responsibility‟, „National Activities‟, and „The Appropriate State‟ ”, hal. 9.
25
Ibid.
34
dimana hal ini diatur pada Pasal III dari konvensi yang sama. Dengan demikian,
apabila damage disebabkan oleh tabrakan yang terjadi di ruang angkasa, maka
yang berlaku adalah sistem fault liability.
Pasal III Liability Convention yang memuat ketentuan mengenai fault
liability berbunyi sebagai berikut:
“In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the
earth to a space object of one launching State or to persons or property on board
such a space object by a space object of another launching State, the latter shall
be liable only if the damage is due to its fault ir the fault of persons for whom it is
responsible.”26
Dari ketentuan di atas, maka unsur terpenting yang harus dibuktikan agar
sebuah negara dapat dikatakan bertanggung jawab atau liable terhadap damage
yang terjadi, adalah unsur kesalahan atau fault dari negara tersebut. Namun
demikian, di dalam Liability Convention maupun Outer Space Treaty tidak
terdapat ketentuan maupun penjelasan lebih lanjut mengenai unsur fault.27 Hal ini
menimbulkan beragam interpretasi terhadap fault itu sendiri, yaitu definisi
mengenai apa yang dimaksud dengan fault serta unsur-unsur yang terkandung
dalam fault.
26
27
Pasal III, Liability Convention.
Elise Epperson Crow, “Waste and Management in Space Addressing the Challenge of
Orbital Debris”, 18 Southwestern Journal of International Law 707, (2012), hal.8.
35
Diluar dari individual liability oleh Launching State yang dikemukakan di
atas, Liability Convention juga mengatur mengenai liability dalam kondisi dua
Launching State atau lebih bertanggung jawab secara renteng dan bersama-sama
(jointly and severally liable) atas damage yang terjadi. Prinsip umum dalam
sistem liability ini adalah apabila damage yang terjadi disebabkan oleh benda
angkasa yang merupakan joint launching. Joint launching bisa diartikan sebagai
adanya perjanjian antara dua negara atau lebih yang meluncurkan suatu benda
angkasa,28 atau sebagai interpretasi dari Pasal I (c) Liability Convention, yaitu di
dalamnya termasuk juga negara dari wilayah teritorialnya atau fasilitasnya suatu
benda angkasa diluncurkan.29 Selanjutnya damage yang disebabkan oleh benda
angkasa yang merupakan joint launching ini kemudian berdampak kepada Negara
ketiga. Dalam hal ini, dua negara peluncur tersebut harus bertanggung jawab
secara renteng dan bersama-sama terhadap negara ketiga.30 Sistem ini dikenal
sebagai joint liability yang diatur pada Pasal IV dan Pasal V Liability Convention.
Dalam joint liability, dua prinsip liability yaitu absolute dan fault liability
berlaku juga pada sistem ini.31 Apabila damage terjadi di wilayah permukaan
bumi atau pesawat terbang (aircraft in flight), maka berlaku sistem absolute
28
Valerie Kayser, Launching Space Objects Issues of Liability and Future Prospects,
(Kluwer Academic Publishers, 2001), hal. 37.
29
Article V (3) Liability Convention:
“A State from whose territory or facility a space object is launched shall be regarded as a
participant in a joint launching.”
30
31
Pasal V, Liability Convention.
W. F. Foster, “The Convention on International Liability for Damage Caused by Space
Objects”, The Canadian Yearbook of International Law, (1972), hal.150.
36
liability.32 Sedangkan apabila damage terjadi di wilayah lain selain di permukaan
bumi, maka dua negara peluncur tersebut harus bertanggung jawab secara
tanggung renteng kepada negara ketiga, apabila damage tersebut disebabkan oleh
salah satu ataupun kedua dua negara peluncur tersebut, ataupun karena kesalahan
orang yang salah satu atau kedua negara peluncur tersebut bertanggung jawab
terhadapnya.33 Selanjutnya mengenai pembagian porsi pembayaran diserahkan
kepada persetujuan para negara peluncur. Tentu saja bagaimanapun pembagian
orsi antara negara peluncur tersebut tidak boleh mengesampingkan atau engurangi
hak negara ketiga untuk mendapatkan full compensation atau ganti rugi secara
penuh.34
2.4 Konsep Pengaturan Lembaga Ganti Rugi
2.4.1
Pihak Pihak Yang Bertanggung Jawab
Di dalam artikel II dari Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa :
32
Pasal IV (1a) Liability Convention: “ In the event of damage being caused elsewhere
than on the surface of the earth to a space object of one launching State or to persons or property
on board such a space object by a space object of another launching State, and of damage thereby
being caused to a third State or to its natural or juridical persons, the first two States shall be
jointly and severally liable to the third State, to the extent indicated by the following:
a) If the damage has been caused to the third State on the surface of the earth or to aircraft in
flight, their liability to the third State shall be absolute.”
33
Pasal IV(1b) Liability Convention: “b) If the damage has been caused to a space object
of the third State or to persons or property on board that space object elsewhere than on the
surface ofthe earth, their liability to the third State shall be based on the fault of either of the first
two States or on the fault of persons for whom either is responsible.”
34
Pasal VI (2) Liability Convention:
“In all cases of joint and several liability referred to in paragraph 1 of this Article, the burden of
compensation for the damage shall be apportioned between the first two States in accordance with
the extent to which they were at fault; if the extent of the fault of each of these States cannot be
established, the burden of compensation shall be apportioned equally between them. Such
apportionment shall be without prejudice to the right of the third State to seek the entire
compensation due under this Convention from any or all of the launching States which are jointly
and severally liable. ”
37
A Launching State shall be absolutely liable to pay compensation for
damage caused by its Space Object on the surface of the Earth or to aircraft in
flight.
Dengan melihat ketentuan yang ditegaskan dalam artikel II di atas makan
dapat diketahui tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh benda-benda angkasa di mana yang bertranggung jawab adalah
Negara Peluncur (launching State).
Sedangkan yang dimaksud dengan Negara peluncur selanjutnya dijelaskan
di dalam artikel I ayat (c) yaitu :
The term launching State means:
(1) a state which launches or procures the launching of space object,
(2) a state from whose territory or facility a space object is launched.
Jadi berdasarkan artikel I ayat (c) Negara peluncur bukan hanya Negara
yang meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat
dikategorikan sebagai Negara peluncur, yaitu Negara yang mendapat kesempatan
ikut meluncurkan objek ruang angkasa, Negara yang wilayahnya atau yang
memberikan fasilitas dari mana objek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut
bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu.
38
Maka dengan demikian, suatu Negara dapat memenuhi syarat sebagai
peluncur apabila ;35
1. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayahnya
dengan menggunakan sarananya sendiri; atau
2. Negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara
lain, berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan
sarananya sendiri atau sarana setempat; atau
3. Mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain atau
badan non pemerintah lainnya; atau
4. Menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain
di dalam wilayah negara lain itu.
Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di
dalam upaya prluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal itu mereka
akan menentukan siapa yang akan menjadi negara pendaftarnya (State of
Registry).
2.4.2
Hal-Hal Yang Dipertanggung Jawabkan
Negara peluncur (launching state) bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh benda-benda ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa.
35
J.E.S. Fawcett, Outer Space : New Challenges to Law and Policy, Clarendon Press,
Oxford, 1984, hlm. 25.
39
Mengenai “Kerugian”, konvensi memberikan batasan sebagaimana yang
dinyatakan di dalam artikel I ayat (a) sebagai berikut:
The term damage means loss of life, personal injury or other impairment
of health; or loss of damage to property of states or of person, natural or
juridical, or property of international intergovernmental organization.
Menilik artikel I ayat (a) di atas, maka kerugian yang dapat dipertanggung
jawabkan oleh negara peluncur diartikan sebagai kerugian atau kerusakan yang
diderita oleh orang (personil) secara individu atau kerugian yang berkaitan dengan
rusaknya kesehatan seseorang atau kehilangan, rusaknya harta benda milik
pribadi, badan hokum atau harta benda milik organisasi internasional yang
bersifat antar pemerintah.
Kerugian sebagaimana yang disebutkan di atas dapat terjadi di permukaan
bumi, berarti dapat di wilayah darat atau wilayah laut suatu negara atau di wilayah
yang bukan merupakan yurisdiksi dari negara mana pun, juga dapat terjadi di
ruang udara dalam hal tertabraknya pesawat udara yang sedang melakukan
penerbangan dan akhirnya kerugian itu dapat pula terjadi di ruang angkasa dalam
hal merugikan benda-benda ruang angkasa milik negara peluncur.
Dengan memperhatikan artikel II dan III dari Liability Convention 1972
maka jelaslah bahwa konvensi ini memberikan dua alternatif pertanggung
jawaban negara terhadap kerugian yang disebabkan oleh Space Object atau benda
angkasa. Kedua alternatif tersebut merupakan suatu prinsip hokum yang dianut
40
konvensi ini dalam hal pertanggung jawaban negara mengenai aktivitasnya di
ruang angkasa yang telah menimbulkan kerugian terhadap negara lainnya.
Prinsip yang pertama, yaitu; jika kerugian itu terjadi di permukaan Bumi,
misalnya tertimpa suatu bangunan oleh kepingan benda angkasa, rusak alam
karena terjadi kontaminasi nuklir di permukaan bumi, meninggal manusia karena
benda angkasa tersebut, tertabrak atau tertimpa pesawat udara oleh pecahan benda
angkasa atau tertabrak oleh benda yang sementara diluncurkan ke ruang angkasa,
maka dalam keadaan atau kejadian semacam ini negara peluncur bertanggung
jawab secara penuh dan mutlak (absolute) terhadap kerugian yang diderita oleh
pihak ketiga tersebut sebesar kerugian yang diderita.
Pihak yang dirugikan dalam kejadian ini tidak perlu memberikan suatu
pembuktian tentang adanya unsur kesalahan pada pihak negara peluncur, cukup
dengan menunjukkan fakta adanya kerugian tersebut (establishing the fact of
damage) yang disebabkan oleh suatu benda yang diidentifikasi sebagai milik
negara peluncur.
Alasan yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability)
adalah ketidak mampuan pihak yang dirugikan untuk memberikan suatu
pembuktian yang lengkap seperti yang lazim diperlukan dalam kasus ganti rugi
yang umum, di mana diharuskan adanya pembuktian unsur kesalahan atau
kelalaian yang disengaja.36
36
Mieke Komar Kantaatmadja, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remaja
Karya, Bandung, 1984, hlm. 127.
41
Hal ini disebabkan oleh adanya suatu asumsi bahwa mustahil bagi orang
awam misalnya untuk mengerti maupun sanggup membiayai suatu pemeriksaan
atau penelitian untuk mencari sebab-sebab teknis dari kesalahan di pihak operator.
Dasar tanggung jawab absolut ini adalah dasar tanggung jawab yang berusaha
melindungi pihak ketiga yang tidak turut serta dalam suatu kegiatan yang
mengandung resiko
berbahaya
yang sangat
tinggi,
akan tetapi
tanpa
keinginannyadapat merasakan akibat buruk dari aktivitas tersebut.37
Prinsip kedua yang terdapat dalam konvensi adalah prinsip pertanggung
jawaban atas dasar kesalahan (Liability based on Fault). Prinsip ini diberlakukan
bila kerugian itu terjadi bukan di permukaan Bumi dan di udara, akan tetapi
kerugian terjadi di ruang angkasa yakni dalam hal benda angkasa tersebut
merugikan negara lain karena telah merusak atau menabrak benda angkasa milik
negara peluncur lainnya yang telah ditempatkan pada orbitnya.
2.4.3
Pihak-Pihak Yang Berhak Atas Ganti Rugi
Untuk mengtahui siapa-siapa yang berhak menuntut dan memperoleh ganti
rugi atas kerugian yang disebabkan oleh objek ruang angkasa milik negara
peluncur , maka perlu mengetahui dalam ketentuan konvensi tentang kerugian
yang dipertanggung jawabkan.
Artikel I ayat (a) dari LiabilityConvention 1972 dinyatakan bahwa :
37
Ibid.
42
The term damage means loss of life, personal injury or other impairment
of health; or loss of damage to property of states or of person, natural or
juridical, or property of international intergovernmental organization.
Berdasarkan artikel I ayat (a) di atas maka kerugian yang dipertanggung
jawabkan adalah kerusakan yang diderita oleh orang secara individu atau kerugian
yang berkaitan dengan rusaknya kesehatan orang, kehilangan, rusaknya harta
benda milik negara atau milik pribadi, milik badan hukum atau harta benda milik
organisasi internasional antar pemerintah.
Dengan demikian jelaslah bahwa yang berhak atas ganti rugi adalah
mereka yang secara nyata dirugikan yaitu :
1. Orang secara individu;
2. Negara;
3. Badan Hukum;
4. Organisasi Internasional antar pemerintah.
Mengenai orang secara individu, badan hukum nasional, maka tuntutan
ganti rugi itu harus dilakukan melalui negaranya atau diwakili oleh negaranya.
Mereka-mereka yang berhak atas ganti rugi itu tidak dapat melaksanakan
haknya untuk menuntut ganti rugi dalam hal kerugian tersebut disebabkan oleh
benda angkasa yang diluncurkan oleh negaranya sendiri atau dalam hal mereka
turut serta hadir dalam peluncuran karena adanya undangan dari negara peluncur.
43
Mengenai kekecualian dalam penuntutan ganti rugi ini dinyatakan di
dalam artikel VII Space Liability Convention 1972 sebagai berikut :
The provisions of this Convention shall not apply to damage caused by a
space object of launching state to :
a. Nationals of that Launching State;
b. Foreign Nationals during such time as they are participating in the
operating of the space object from the time of its launching or at
aby stage there after until its descent, or during such time as they
are in the immediate vicinity of a planned launching or recovery
area as the result of an invitation by launching state.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana tercantum dalam artikel VII Space
Liability Convention 1972 itu maka jelaslah bahwa warga negara dari negara
peluncur kehilangan hak untuk memperoleh ganti rugi, demikian pula warga
negara asing selama mereka pada waktu tertentu ikut melakukan operasi kegiatan
pada saat objek ruang angkasa tersebut diluncurkan atau sampai saat setiap
tingkatan objek ruang angkasa tersebut dilepaskan atau selama jangka waktu
secepat mungkin berada di sekitar tempat perencanaan peluncuran atau tempat
penemuan kembali karena adanya undangan dari negara peluncur tersebut.
2.5 Pengaturan Lembaga Ganti Rugi
44
Untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diakibatkan oleh objek
ruang angkasa, maka pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi tersebut harus
melakukan tuntutan terhadap negara peluncur melalui negaranya.
Mengenai hal ini, Space Liability Convention 1972 memberikan ketentuan,
yaitu :
1. Suatu tuntutan kompensasi atas kerugian/kerusakan harus di
lakukan terhadap negara peluncur melalui saluran diplomatic. Jika
suatu negara tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan negara
peluncur, maka pengajuan tuntutan dapat dilakukan melalui
permohonan negara yang lain untuk melakukan penuntutan
terhadap negara peluncur atau melalui cara-cara lain berdasarkan
konvensi untuk kepentingan penuntutan demikian. Tuntutan dapat
juga dilakukan melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa untuk kepentingan negara penggugat dan negara peluncur
dimana keduanya adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa,
(artikel IX);
2. Suatu tuntutan untuk kompensasi atas kerusakan yang diderita
dapat diajukan kepada negara peluncur tidak lebih dari satu tahun
sejak
tanggal
terjadinya
kerusakan/kerugian
atau
sejak
diketahuinya adanya ciri-ciri negara peluncur harus bertanggung
jawab, (artikel X ayat 1);
45
3. Kompensasi yang harus dibayar oleh negara peluncur sebagai
negara yang bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian yang
diderita berdasarkan konvensi, harus sesuai prinsip hukum
internasional serta prinsip persamaan derajat dan keadilan, (artikel
XII);
4. Jika
negara
berdasarkan
penuntut
konvensi
dan
setuju
negara
pembayar
mengenai
bentuk
kompensasi
lain
dari
kompensasi, maka kompensasi demikian harus dibayarkan
berdasarkan mata uang dari negara penuntut atau jika negara itu
mengajukan permohonan bahwa mata uang tersebut adalah mata
uang dari negara yang membayar kompensasi, (artikel XIII);
5. Dengan kehendak masing-masing pihak yang berkaitan dengan
penuntutan dan menyatakan bilamana penyelesaian suatu tuntutan
tidak dapat dicapai melalui perundingan diplomatik, maka dalam
jangka waktu satu tahun dari sejak tanggal pemberitahuan negara
penuntut kepada negara peluncur, maka masing-masing pihak
berhubungan dengan suatu Komisi Penuntut yang dapat dilakukan
melalui permohonan salah satu pihak, (artikel XIV);
6. Komisi Penuntut harus mempunyai komposisi yang terdiri dari tiga
anggota, satu ditunjuk oleh negara penuntut, satu lagi oleh negara
peluncur dan yang satunya adalah anggota dari pihak ketiga. Ketua
komisi
dapat
dipilih
oleh
pihak-pihak
yang
mengadakan
46
persetujuan kerja sama dalam jangka waktu dua bulan. Jika dalam
persetujuan itu tidak dapat dipilih seorang ketua, maka salah satu
pihak dapat mengajukan permintaan kepada Sekretaris Jendral
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menunjuk ketua dalam jangka
waktu tidak lebih dari dua bulan, (artikel XV).
Komisi penuntut akan memutuskan melalui jasa-jasa baik bagi
suatu penuntutan untuk pembayaran kompensasi dan menentukan
jumlah
kompensasi
yang
harus
dibayar
sejauh
hal
itu
memungkinkan, (artikel XVIII).
Keputusan Komisi merupakan keputusan akhir dan mengikat jika
telah disetujui oleh masing-masing pihak, (artikel XIX ayat 2).
7. Tidak satu pun ketentuan dari konvensi akan menghalangi suatu
negara atau individu maupun badan hukum untuk melakukan
penuntutan di hadapan Mahkamah/Peradilan atau Peradilan
Administratif atau Badan Peradilan lainnya terhadap negara
peluncur, (Pasal XI ayat 2).
Download