universitas indonesia preparasi dan uji kinerja matriks kitosan untuk

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
PREPARASI DAN UJI KINERJA MATRIKS KITOSAN
UNTUK RILIS TERKENDALI OBAT PARASETAMOL PADA
PH SISTEM PENCERNAAN
SKRIPSI
MUHAMMAD IBNU SYAFIQ HUSAIN
0806456682
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
HALN JUDUL
UNIVERSITAS INDONESIA
PREPARASI DAN UJI KINERJA MATRIKS KITOSAN
UNTUK RILIS TERKENDALI OBAT PARASETAMOL PADA
PH SISTEM PENCERNAAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Teknik
MUHAMMAD IBNU SYAFIQ HUSAIN
0806456682
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
JURUSAN TEKNIK KIMIA
DEPOK
JUNI 2012
ii Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
HALAM
MAN PERN
NYATAAN
N ORISINIL
LITAS
Sk
kripsi ini ad
dalah hasil karya
k
sendirri
dan semua sumber baiik yang diku
utip maupu
un dirujuk
teelah saya nyyatakan den
ngan benar..
Nama
N
Ibnu Syafiq
: Muhammad
M
q Husain
NPM
N
: 08806456682
Tanda
T
tang
gan
:
Tanggal
T
: 277 Juni 2012
iii Universitas
s Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
:
Nama
:
Muhammad Ibnu Syafiq Husain
NPM
:
0806456682
Program Studi
:
Teknik Kimia
Judul Skripsi
:
PREPARASI DAN UJI KINERJA MATRIKS
KITOSAN UNTUK RILIS TERKENDALI
OBAT PARASETAMOL PADA PH SISTEM
PENCERNAAN
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 :
Ir. Kamarza Mulia, M.Sc, Ph.D
( ............................ )
Pembimbing 2 :
Ir. Elsa Krisanti Mulia, M.Sc, Ph.D
( ............................ )
Penguji I
:
Dr,-Ing, Ir, M, Tech Misri Gozan
( ............................ )
Penguji II
:
Dr. Ir. Praswasti PDK Wulan, M.T.
( ............................ )
Penguji III
:
Dr. rer. nat. Ir. Yuswan Muharam M.T. ( ............................ )
Ditetapkan di :
Depok
Tanggal
27 Juni 2012
:
iv Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya,
makalah skripsi dengan judul “PREPARASI DAN UJI KINERJA MATRIKS
KITOSAN UNTUK RILIS TERKENDALI OBAT PARASETAMOL PADA
PH SISTEM PENCERNAAN” ini dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis.
Penulisan makalah skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
mencapai gelar Sarjana Jurusan Teknik Kimia pada Fakultas Teknik Universitas
Indonesia. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
(1) Ir. Kamarza Mulia, M.Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing dalam penelitian
ini.
(2) Ir. Elsa Krisanti Mulia, M.Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing dalam
penelitian ini.
(3) Keluarga atas dukungan dan doanya.
(4) Teman-teman Teknik Kimia UI 2008 atas dorongan, semangat, dan bantuan
informasinya.
(5) Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah ikhlas
membantu penulis selama penyusunan proposal ini.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi yang setiap
orang yang membacanya dan membawa kontribusi yang berarti bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan.
Depok, 27 Juni 2012
Penulis
v Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
HALAM
MAN PERN
NYATAAN PERSETU
UJUAN PUB
BLIKASI TU
UGAS
AKHIR UNTUK K
KEPENTING
GAN AKAD
DEMIS
Sebagai sivitas akadem
mik Universiitas Indonessia, saya yanng bertandaa tangan di
bawah
b
ini:
Nam
ma
:
Muhammad Ibnu Syafiq Husaain
NPM
M
:
08064456682
Proggram Studi :
Teknikk Kimia
Depaartemen
:
Teknikk Kimia
Faku
ultas
:
Teknikk
Jeniss Karya
:
Skripssi
demi
d
pengeembangan ilmu
i
pengettahuan, men
nyetujui unntuk membeerikan hak
kepada
k
Univversitas Indo
onesia Hak Bebas Roya
alti Noneksklusif (Non-Exclucive
Royalty
R
Freee Right) atas karya ilmiaah saya yangg berjudul:
“PREPAR
RASI DAN UJI
U KINER
RJA MATRIIKS KITOS
SAN UNTU
UK RILIS
TER
RKENDALI OBAT PA
ARASETAM
MOL PADA
A PH SISTE
EM
PEN
NCERNAAN
N”
beserta
b
perangkat yang ada (jikaa diperlukann). Dengann Hak Bebaas Royalti
Noneksklusi
N
if
ini
Universitas
Indonnesia
beerhak
m
menyimpan,
mengalihme
m
edia/formatk
kan, mengeloola dalam bentuk
b
panggkalan data (database),
merawat,
m
m
mempublikasi
ikan karya ttulis saya seelama tetap m
mencantum nama saya
sebagai penu
ulis/penciptaa dan sebagaai pemilik Haak Cipta.
Demikian
D
peernyataan in
ni saya buat dengan
d
sebennarnya.
Depook, 27 Juni 2012
2
Muhammad Ibnu Syaffiq Husain
NPM
M. 08064566682
vi Universitas
s Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Muhammad Ibnu Syafiq Husain
NPM
: 0806456682
Judul Penelitian : “PREPARASI DAN UJI KINERJA MATRIKS KITOSAN
UNTUK RILIS TERKENDALI OBAT PARASETAMOL
PADA PH SISTEM PENCERNAAN”
Pembimbing
: Ir. Kamarza Mulia, M.Sc, Ph.D
Preparasi kitosan bertujuan untuk menghasilkan matriks kitosan yang dapat
memberikan rilis terkendali senyawa bioaktif pada sistem pencernaan. Pemilihan
metode preparasi penautan silang dengan tripolifosfat untuk menjerat obat dan
metode gelasi ionotropik dengan alginat untuk mencegah peluruhan matriks
kitosan pada lambung serta memiliki profil rilis yang sesuai dengan waktu tinggal
sistem pencernaan. Matriks kitosan dievaluasi berdasarkan kandungan senyawa
bioaktif dalam kitosan serta profil rilis yang linier terhadap waktu. Matriks kitosan
dengan metode preparasi taut silang dan gelasi ionotropik memiliki rilis yang
rendah pada kondisi asam dan rilis yang sesuai dengan waktu tinggal sistem
pencernaan. Pemuatan obat didalam matriks kitosan didapatkan sebesar 4% dan
efisiensi enkapsulasi didapatkan sebesar 10%.
Kata kunci: Alginat, Gelasi Ionotropik , Kitosan, Matriks, Penaut silang.
Tripolifosfat.
vii Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Muhammad Ibnu Syafiq Husain
Studend ID
: 0806456682
Research Title
: “PREPARATION AND EVALUATION OF CHITOSAN
MATRIC FOR DRUG CONTROLLED RELEASE OF
PARACETAMOL IN DIGESTIVE SYSTEM PH”
Research Advisor : Ir. Kamarza Mulia, M.Sc, Ph.D
Chitosan preparation is used to produce chitosan matrix that impacts controlled
release in digestive system. Crosslinking method by tripolyphospate impacts of
drug loading and ionotropic gelation method impacts to avoid release in acid pH
digestive system and compatible in residence time of each digestive organ.
Chitosan matrix will be evaluated by its drug loading and release profile. Chitosan
matrix by crosslinking agent method and ionotropic gelation method able to
reduce drug release in acidic condition and have time release suitable with
digestive system time. Chitosan matrix also able to load 4% of drug and have 10%
as value of encapsulation efficiency.
Key word: Alginate, Chitosan, Crosslinking, Ionotropic Gelation, Matrix,
Tripolyphospate.
viii Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... xii
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 3
1.4 Batasan Masalah ............................................................................................ 3
1.5 Sistematika Penulisan .................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5
2.1 Kitosan .......................................................................................................... 5
2.2 Sistem Matriks............................................................................................... 6
2.3 Preparasi Kitosan........................................................................................... 7
2.3.1 Metode Penautan Silang ......................................................................... 7
2.3.2 Metode Ionotropic Gelation ................................................................... 8
2.4 Sistem Pencernaan Tubuh ............................................................................. 8
2.5 Senyawa Bioaktif ........................................................................................ 10
2.6 Mekanisme Rilis .......................................................................................... 11
2.7 Kanker Usus ................................................................................................ 12
2.8 Analisis Sampel ........................................................................................... 13
2.8.1 Scanning Electron Microscope (SEM) ................................................. 13
2.8.2 Spektofotometri UV-Visible ................................................................. 13
BAB 3 METODE PENELITIAN ......................................................................... 14
3.1 Diagram Penelitian Keseluruhan ................................................................. 14
ix Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................... 15
3.2.1 Alat ....................................................................................................... 15
3.2.2 Bahan .................................................................................................... 16
3.3 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 17
3.3.1 Metode Penautan Silang ....................................................................... 17
3.3.2 Metode Ionotropic Gelation ................................................................. 18
3.3.3 Karakterisasi Kitosan ........................................................................... 18
3.3.4 Uji Kinerja Metode Preparasi Kitosan................................................. 18
3.3.5 Preparasi Media Fluida Sintetik ........................................................... 19
3.3.6 Preparasi Metode Kalibrasi .................................................................. 19
3.3.7 Rilis Obat pada Fluida Sintetik ............................................................. 20
3.3.8 Variabel Penelitian ............................................................................... 21
3.3.9 Teknik Pengambilan Data .................................................................... 22
3.3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................ 22
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 24
4.1 Preparasi Matriks Kitosan ......................................................................... 24
4.2 Rilis In Vitro ............................................................................................. 30
4.2.1 Rilis Obat Pada Kondisi Paralel ........................................................... 31
4.2.2 Pengaruh Ionotropic gelation terhadap Difusi Obat............................. 39
4.2.3 Rilis Obat Pada Kondisi Seri ................................................................ 43
4.3 Penjeratan Obat ......................................................................................... 45
4.3.1 Efisiensi Enkapsulasi ............................................................................ 46
4.3.2 Pemuatan Obat (Drug Loading) ........................................................... 48
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 50
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 50
5.2 Saran ......................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN .......................................................................................................... 55
x Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Struktur Kitosan ................................................................................. 5
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 14
Gambar 3. 2 Grafik Konsentrasi Parasetamol dan Absorbansi ............................. 20
Gambar 3. 3 Grafik Efisiensi Pelepasan Parasetamol dan Waktu ........................ 23
Gambar 4. 1 Kitosan ............................................................................................. 25
Gambar 4. 2 Parasetamol ...................................................................................... 25
Gambar 4. 3 Struktur Senyawa Ionik Tripolifosfat .............................................. 26
Gambar 4. 4 (a) Ikatan Kitosan dan TPP (b) Lapisan Taut Silang Kitosan dan
TPP ........................................................................................................................ 27
Gambar 4. 5 Struktur Alginat................................................................................ 28
Gambar 4. 6 Interaksi Alginat dan Kitosan .......................................................... 28
Gambar 4. 7 Peristiwa Ionotropic Gelation pada Alginat ..................................... 29
Gambar 4. 8 Struktur Senyawa Bead Kedua Matriks Kitosan.............................. 29
Gambar 4. 9 Kurva Fluida Sintetik Standar Pengaruh Konsentrasi terhadap
Absobansi .............................................................................................................. 30
Gambar 4. 10 Rilis Obat Paralel pH 1,2 Pengaruh Rilis Obat terhadap Waktu Rilis
............................................................................................................................... 32
Gambar 4. 11 Rilis Obat Paralel pH 4 .................................................................. 34
Gambar 4. 12 Rilis Obat Paralel pH 7,4 ............................................................... 36
Gambar 4. 13 Morfologi Matriks Kitosan dalam Fluida Sintetik pH (a) 1,2 (b) 4
(c) 7,4 .................................................................................................................... 39
Gambar 4. 14 Pengaruh CaCl2 terhadap Rilis Obat .............................................. 41
(b)
Gambar 4. 15 Efek difusi fluida sintetik (a) Konsentrasi CaCl2 12%
Konsentrasi CaCl2 6% ........................................................................................... 42
Gambar 4. 16 Simulasi Pelepasan Obat pada Sistem Pencernaan Tubuh Manusia
............................................................................................................................... 44
Gambar 4. 17 Pencucian pada Bead dengan Konsentrasi Fluida sintetik CaCl2 (a)
12 % (b) 6 % ......................................................................................................... 47
Gambar A. 1 Larutan Kitosan, Asam Asetat dan Parasetamol ............................. 55
Gambar A. 2 Larutan Penaut Silang Tripolifosfat ................................................ 55
Gambar A. 3 Bead Pertama Setelah Penautan Silang ........................................... 56
Gambar A. 4 Bead Pertama Setelah Disaring ....................................................... 56
Gambar A. 5 Bead Pertama Setelah Digerus ........................................................ 57
Gambar A. 6 Larutan Alginat dan Kitosan ........................................................... 57
Gambar A. 7 Pembentukan Bead Kedua Setelah Disaring ................................... 58
Gambar A. 8 Bead Kedua Setelah Digerus ........................................................... 58
Gambar B. 1 Simulasi Sistem Pencernaan Manusia ............................................. 75
xi Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Alat dan Perincian Alat yang Digunakan ............................................ 15
Tabel 3. 2 Bahan dan Perincian Bahan yang Digunakan ...................................... 16
Tabel 4. 1 Rilis Obat Paralel pH 1.2 ..................................................................... 31
Tabel 4. 2 Rilis Obat Paralel pH 4 ........................................................................ 33
Tabel 4. 3 Rilis Obat Paralel pH 7,4 ..................................................................... 35
Tabel 4. 4 Perbandingan Rilis Obat terhadap Ionotropic gelation ....................... 40
Tabel 4. 5 Simulasi Pelepasan Obat pada Sistem Pencernaan Tubuh Manusia.... 43
Tabel 4. 6 Perbandingan Efisiensi Enkapsulasi terhadap Variasi Variabel
Ionotropic Gelation ............................................................................................... 47
Tabel 4. 7 Perbandingan Pemuatan Obat terhadap Variasi Proses Ionotropic
Gelation................................................................................................................. 48
Tabel B. 1 Kurva Pembuatan Larutan Standar ..................................................... 59
Tabel B. 2 Rilis Obat Pada pH 1,2 ........................................................................ 61
Tabel B. 3 Rilis Obat Pada pH 4 ........................................................................... 62
Tabel B. 4 Rilis Obat Pada pH 7,4 ........................................................................ 63
Tabel B. 5 Penjeratan Obat Pada Kondisi Paralel................................................. 64
Tabel B. 6 Penjeratan Obat & Loading Obat Pada Kondisi Paralel ..................... 64
Tabel B. 7 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 1 ................................................... 65
Tabel B. 8 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 1(Lanjutan) .................................. 66
Tabel B. 9 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 1 (Lanjutan) ................................. 67
Tabel B. 10 Penjeratan Obat & Loading Obat Pada Kondisi Seri Trial 1 ............ 67
Tabel B. 11 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 2 ................................................. 68
xii Universitas Indonesia Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit mematikan di Indonesia dengan menjadi salah
satu penyumbang kematian terbesar selain penyakit jantung (Depkes, 2012). Salah
satu jenis penyakit kanker yang menyerang bagian pencernaan adalah kanker usus
yang bentuk penanganannya dapat dilakukan dengan cara pemberian senyawa
bioaktif terapi oral (Marks & Fox, 1991). Untuk terapi yang maksimal, senyawa
bioaktif tersebut diharapkan dapat bekerja pada organ yang sakit dengan
melepaskan senyawa bioaktif tersebut tepat pada organ yang sakit. Metode yang
digunakan untuk melepaskan senyawa bioaktif secara tepat pada organ yang sakit
disebut dengan rilis terkendali (controlled release). Obat tersebut pun diharapkan
rilis dengan perlahan dan stabil agar mencapai efek terapetiknya (efek yang
dicapai oleh suatu obat dengan komposisi tertentu untuk menyembuhkan) dan
tidak rilis secara berlebihan yang dapat mengakibatkan overdosis sehingga rilis
tersebut sering disebut dengan rilis perlahan (slow release).
Kitosan merupakan polimer alam yang ramah lingkungan, dengan potensi
yang besar untuk aplikasi farmasi karena sifatnya yang biokompatibel,
biodegradabel, dan non-toksisitas. Kitosan dapat direkayasa dalam bentuk yang
berfungsi sebagai depot untuk melepaskan senyawa bioaktif secara terkendali
sehingga rilis bioaktif dapat dikontrol pada organ yang sakit (Prabaharan, 2008).
Sifat lain dari kitosan yaitu memiliki gugus amino dengan nilai pKa~6,5 sehingga
dapat terprotonasi pada pH rendah dan larut dalam suasana asam. Kitosan yang
ingin diformulasikan untuk penyembuhan penyakit akut pada sistem pencernaan
seperti kanker usus dikhawatirkan akan melarut seluruhnya sebelum sampai ke
usus sebagai organ yang sakit sehingga preparasi lanjutan diperlukan.
Preparasi lanjutan kitosan yang dipilih untuk sediaan oral akan dilakukan
dengan metode yang menghindarkan kitosan melarut dengan cepat karena asam
lambung. Metode tesebut pun harus menggunakan bahan dengan tingkat toksisitas
sangat rendah sehingga tidak memberikan efek samping. Metode preparasi
1 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
2 alternatif yang digunakan adalah sistem yang berdasarkan kitosan dan alginat.
Kitosan dengan gugus amino merupakan zat yang larut dalam pH rendah dan
tidak larut dalam pH tinggi. Sedangkan alginat merupakan senyawa dengan gugus
karboksil yang tidak larut dalam pH rendah. Dengan melakukan pencampuran
kedua zat tersebut, gugus amino dari kitosan dan gugus karboksil dari sodium
alginat secara ionik berinteraksi untuk membentuk polielektrolit kompleks
(George et al, 2006). Kompleksasi antara kitosan dengan alginat akan mengurangi
porositas dari gel. Matriks kitosan yang dibentuk diharapkan dapat menjerat obat
semaksimal mungkin. Penjeratan antara obat dengan kitosan pun dapat dilakukan
dengan menggunakan senyawa tripoliposfat dengan tingkat toksisitas yang sangat
rendah sehingga terbentuk lapisan matriks dimana obat dapat terjerat di dalamnya
(Shu & Zhu, 2002). Penjeratan obat semaksimal mungkin dengan metode
penautan silang menggunakan tripolifosfat serta mengurangi kelarutan kitosan
pada pH rendah dengan metode gelasi ionotropik menggunakan alginat di dalam
sistem matriks kitosan diharapkan merupakan kombinasi yang sangat baik yang
dapat membentuk matriks kitosan yang tahan terhadap pH asam serta memiliki
rilis yang sesuai dengan waktu tinggal sistem pencernaan.
Penelitian ini akan diuji kinerjanya dengan Scanning Electron Microscope
(SEM) untuk mengetahui morfologi partikel dan Spektofotometri UV-Visible
untuk mengukur profil rilis senyawa bioaktif pada fluida sintetik organ
pencernaan yang dilakukan secara seri (simulasi sistem pencernaan dengan waktu
tinggal sistem pencernaan dan kondisi pH sistem pencernaan) dan paralel (matriks
kitosan diuji secara terpisah di masing-masing fluida sintetik). Penerapan sistem
matriks berbasis kitosan yang menggabungkan aspek-aspek rilis terkendali di
sistem pencernaan, kitosan sebagai produksi lokal, dan rekayasa, diharapkan juga
dapat menjadi pendekatan alternatif untuk pemanfaatan keberagaman senyawa
bioaktif tradisional yang lebih terjangkau oleh masyarakat luas.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini akan dilakukan untuk meneliti sejauh mana pengaruh
metode preparasi untuk mencegah peluruhan kitosan pada lambung serta sejauh
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
3 mana pengaruh metode preparasi untuk mengontrol rilis senyawa bioaktif pada
kitosan yang sesuai dengan waktu tinggal dalam sistem pencernaan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah menghasilkan
kitosan yang
meluruh
minimum di dalam lambung serta memiliki waktu rilis yang sesuai dengan waktu
tinggal setiap organ pencernaan sampai dengan usus besar sebagai organ sumber
penyakit akut.
1.4 Batasan Masalah
Berikut ini adalah penjabaran ruang lingkup penelitian ini:
1. Polimer alami yang digunakan adalah kitosan
2. Metode preparasi yang digunakan sistem yang berbasis kitosan,
tripolifosfat dan alginat
3. Senyawa model obat yang digunakan adalah senyawa model
parasetamol
4. Media yang digunakan adalah fluida sintetik yang memiliki pH sistem
pencernaan
5. Karakterisasi metode preparasi dapat dilakukan dengan SEM dan uji
kinerja metode preparasi dapat dilakukan dengan Spektofotometri UVVisible.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dilakukan dengan membagi tulisan menjadi tiga
bab, yaitu:
BAB 1:
PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah yang dibahas, tujuan
dilakukannya penelitian, batasan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB 2:
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
4 Bab ini berisi penjelasan kitosan, sistem matriks, preparasi kitosan,
sistem pencernaan tubuh, senyawa bioaktif, mekanisme rilis, kanker
usus sebagai salah satu contoh pemyakit akut di dalam sistem
pencernaan serta metode analisis.
BAB 3:
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang diagram alir penelitian, bahan dan peralatan
yang digunakan dalam penelitian, prosedur penelitian, variabel, serta
teknik pengambilan dan pengolahan data.
BAB 4:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisis preparasi mikrosfer kitosan, rilis in vitro
matriks kitosan, dan penjeratan obat.
BAB 5:
KESIMPULAN DAN SARAN
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitosan
Kitosan merupakan modifikasi kimia dari kitin yang dapat ditemukan pada
cangkang udang. Kualitas dan nilai ekonomi kitosan ditentukan oleh besarnya
derajat deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasi suatu kitosan, semakin tinggi
kualitas dan harga jualnya. Kitosan adalah jenis polimer rantai yang tidak linier.
Kitosan mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai (1,4)-2Amino-2-Deoksi -D-Glukosa, yang mempunyai berat molekul rata-rata 120.000.
Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Struktur Kitosan
(Shu & Zhu, 2001)
Adanya gugus amino yang bebas merupakan salah satu faktor yang membuat
peluruhan kitosan ketika terjadi interaksi dan penetrasi antara larutan asam
lambung dengan kitosan sehingga kitosan memerlukan metode preparasi untuk
mencegah peluruhannya pada larutan tersebut.
Kitosan merupakan senyawa yang sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan
0.5% H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak larut dalam air, pelarutpelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam – asam mineral pada pH di
atas 6,5. Dengan adanya sejumlah asam, maka dapat larut dalam air – methanol,
air – etanol, air – aseton, dan campuran lainnya. Oleh karena itulah, kitosan
membutuhkan metode preparasi untuk mencegah kelarutannya pada lambung.
Multiguna kitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat kitosan, antara lain:
•
Polimer poliamin berbentuk linear,
•
Bersifat muchoadhesive (menempel pada membran mukos),
5 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
6 •
Biodegradable (dapat terdegradasi di dalam tubuh manusia),
•
Non toksik di dalam tubuh
•
Berbentuk gel dengan polianion,
•
Berat molekul tinggi,
•
Densitas tinggi,
•
Viskositas bervariasi,
•
Dapat dimodifikasi secara kimia.
Sifat-sifat tersebutlah yang membuat kitosan dapat dijadikan sebagai pembawa
senyawa bioaktif yang aman di dalam tubuh manusia.
2.2 Sistem Matriks
Sistem matriks merupakan sistem yang paling sederhana dan sering
digunakan dalam pembuatan sistem rilis lambat. Matriks adalah zat pembawa
padat yang didalamnya obat tersuspensi secara merata, zat pembawa ini umumnya
memperpanjang laju pelepasan obat. Obat berada dalam persen yang lebih kecil
dari matriks sehingga matriks dapat memberikan perlindungan yang lebih besar
terhadap air dan obat akan berdifusi keluar secara lambat (Shargel et al, 2005).
Dikenal ada tiga macam bentuk matriks penghalang yang dapat digunakan untuk
memformulasikan tablet dengan matriks :
a. Golongan matriks penghalang dari bahan yang tidak larut (skeleto
matriks), dirancang utuh dan tidak pecah dalam saluran pencernaan. Zat
aktif dibuat dengan berbagai cara salah satunya zat aktif dicampur dengan
satu atau lebih bahan tambahan dengan tidak larut dalam saluran cerna,
kemudian digranul. Tahap yang menentukan laju pelepasan obat dari
formula ini adalah penetrasi cairan dalam matriks yang dapat dinaikkan
dengan menggunakan bahan pembasah sehingga dapat menambah
perembesan air kedalam matriks yang menyebabkan disolusi dan difusi
obat dari saluran-saluran yang dibentuk dalam matriks (Ansel et al, 1995).
b. Golongan matriks dari bahan yang tidak larut dalam air tetapi dapat
terkikis oleh medium elusi. Golongan berupa lilin, lemak, asam stearat,
polietilen glikol. Pelepasan obat proses difusi, erosi dan lepasnya obat
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
7 lebih cepat dibandingkan polimer yang tidak larut. Pelepasan zat aktif dari
matriks hidrofob ditentukan oleh sifat dan presentase bahan pembawa
berlemak, ukuran ganda, jumlah granolometer, kelarutan zat aktif dan gaya
kempa, pH saluran cerna, dan reaksi enzimatik.
c. Golongan pembentuk matriks yang tidak dapat dicerna dan dapat
membentuk gel didalam saluran pencernaan. Contoh bahan ini adalah
natrium
alginat,
metil
selulosa,
galaktomenosa.
Pelepasan
obat
dikendalikan melalui penetrasi air, melalui lapisan yang terbentuk karena
hidrasi polimer dan difusi obat melalui polimer yang terhidrasi (Ansel, et
al., 1995).
2.3 Preparasi Kitosan
Penggunaan kitosan pada obat akan memberikan efek pelepasan obat
terkontrol dengan memberikan perlakuan khusus dan memperhatikan berbagai
kombinasi antara obat – polimer. Sistem berbasis mikrosfer memiliki permukaan
yang besar untuk rasio volume, dapat meningkatkan umur konstituen aktif dan
kontrol pelepasan senyawa bioaktif. Metode preparasi yang digunakan adalah
metode penautan silang dan metode ionotropic gelation.
2.3.1 Metode Penautan Silang
Penggunaan penaut silang memiliki kemungkinan menimbulkan toksik
serta efek-efek lain yang tidak diinginkan (Illum, 1998). Preparasi penaut silang
yang menggunakan anion lebih sederhana dibandingkan dengan polianion.
Sebagai contoh, penaut silang TPP (Tripolifosfat) dapat dipersiapkan dengan
mencampurkan droplet kitosan ke dalam larutan TPP dan telah dibuktikan pada
penelitian sebelumnya bahwa TPP aman digunakan di dalam dunia farmasi
(Kawashima et al, 1985). Kitosan memiliki kekuatan mekanikal yang buruk
sehingga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya di dunia farmasi. Pada
studi sebelumnya pun telah dikembangkan bahwa untuk memperbaiki kekuatan
mekanik dari partikel kitosan sampai dengan 10 kali lipat dapat dilakukan dengan
menggunakan TPP sebagai penaut silang karena terdapat interaksi elektrostatik
antara TPP dengan kitosan (Shu et al, 2001). Analisis lapisan permukaan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
8 menunjukkan bahwa penautan silang kitosan dengan difusi anion tahap demi
tahap akan mempengaruhi sifat partikel kitosan secara signifikan (Shu & Zhu,
2000). Semakin cepat waktu difusi untuk masing-masing penaut silang maka
semakin buruk sifat dan bentuk yang didapatkan dari partikel kitosan.
2.3.2 Metode Ionotropic Gelation
Dalam aplikasi metode ionotropic gelation, matriks yang dibuat dari
polimer tipe gel (seperti alginat) dibuat dengan melarutkan polimer dalam larutan
berair kemudian mensuspensikan bahan aktif dalam campuran, selanjutnya
menggunakan alat untuk mendapatkan mikrodroplet. Mikrodroplet tersebut
dijatuhkan ke hardening bath. Hardening bath biasanya mengandung larutan
kalsium klorida, dimana ion kalsium divalent menyambung silang polimer
membentuk matriks tergelatinasi. Metode ini melibatkan sistem semua cairan dan
menghindari residu pelarut dalam matriks (Yu et al, 2008).
2.4 Sistem Pencernaan Tubuh
Sistem pencernaan manusia memiliki mekanisme yang sangat kompleks
(Anthea et al, 1993). Pada dasarnya sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai
anus) berfungsi sebagai penerima makanan, pemecah makanan menjadi zat-zat
gizi, penyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta pembuang bagian makanan
yang tidak dapat dicerna dari tubuh. Di bagian mulut, lidah mengandung enzim
yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Pada organ ini,
matriks kitosan tidak disimulasikan karena sangat cepatnya kontak obat yang
langsung ditelan oleh pasien di mulut sehingga aman dan tidak akan merubah sifat
dan bentuknya. Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran berotot yang
berdinding tipis dan dilapisi oleh selaput lendir. Kerongkongan menghubungkan
tenggorokan dengan lambung. Makanan didorong oleh gelombang kontraksi dan
relaksasi otot ritmik yang disebut dengan peristaltik. Pada organ sistem
pencernaan ini pun tidak disimulasikan pada matriks kitosan karena partikel
kitosan yang akan dibuat untuk penyalutan obat berukuran lebih kecil daripada
diameter ruang peristaltik kerongkongan (±5 cm) sehingga tidak akan terpengaruh
oleh gaya mekanik kerongkongan.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
9 Lambung merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk
seperti kandang keledai, terdiri dari 3 bagian yaitu kardia, fundus dan antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk
cincin (sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Lambung berfungsi sebagai
gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan
dengan enzim-enzim. Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang
diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi
juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh
berbagai bakteri. Suasana asam dirangsang oleh saraf yang menuju ke lambung,
gastrin (hormon yang dilepaskan oleh lambung) dan histamin (zat yang dilepaskan
oleh lambung). Enzim-enzim yang diproduksi di dalam lambung membuat organ
ini memiliki sifat asam. Kitosan memiliki gugus amino dengan nilai pKa~6,5
sehingga dapat terprotonasi pada pH rendah dan larut dalam suasana asam pada
lambung (Prabaharan, 2008). Oleh karena itulah pada organ pencernaan ini,
diperlukan adanya simulasi untuk matriks kitosan yang telah diaplikasikan dalam
metode preparasi. Organ lambung sendiri akan disimulasikan dengan fluida
sintetik lambung yang memiliki pH 1,4 sesuai dengan waktu perjalanan obat
dilambung, yaitu selama 2 jam.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus halus. Usus halus yang
memiliki bagian duodenum yang menerima enzim pankreatik dari pankreas dan
empedu dari hati. Cairan tersebut merupakan bagian yang penting dari proses
pencernaan dan penyerapan. Dinding usus halus pun kaya akan pembuluh darah
yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Oleh karena
itulah rilis pada obat di usus halus pun tidak dihindari karena senyawa bioaktif
yang akan digunakan akan melakukan penanganan penyakit secara mikroskopis
lewat organ ini. Senyawa bioaktif dapat mematikan sel kanker secara
mikroskopis, dalam artian, zat yang bersifat sitotoksik akan terserap di dalam
darah dari usus halus, kemudian akan berperan sebagai inhibitor di dalam sistem
transfer elektron mitokondria organ yang sakit sehingga akan mengurangi
pembentukan ATP dari mitokondria sehingga sel kanker tidak mendapatkan
bahan baku untuk tumbuh dan pada akhirnya mati dengan sendirinya
(Londershausen et al, 1991). Organ usus halus sendiri akan disimulasikan dengan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
10 fluida sintetik usus halus yang memiliki pH 4 untuk duodenum selama 1 jam dan
pH 7,4 sesuai dengan waktu perjalanan obat bagian terbesar dari usus halus, yaitu
jejunum dan ileum selama 5 jam.
Setelah melewati usus halus, organ pencernaan berikutnya adalah usus
besar. Usus besar menghasilkan lendir dan berfungsi menyerap air dan elektrolit
dari tinja. Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Organ ini
merupakan target utama dari rilis senyawa bioaktif. Mayoritas komposisi senyawa
bioaktif dilepaskan pada organ ini sebagai salah satu bentuk penanganan
makroskopis dari penyakit kanker usus. Obat herbal yang dilepaskan di bagian
usus besar diharapkan dapat berperan sebagai inhibitor dalam oksidase NADH
yang ditemukan dalam membran plasma sel tumor di usus besar sehingga
membunuh sel kanker yang berada di lapisan luar usus besar (Moire et al, 1995).
Waktu lamanya obat di dalam organ ini diperkirakan berlangsung selama 12 jam.
Organ usus besar sendiri akan disimulasikan dengan fluida sintetik usus besar
yang memiliki pH 6,8 sesuai dengan waktu perjalanan obat tersebut. Organ
pencernaan terakhir adalah anus yang merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot
(sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup. Pada organ ini tidak dilakukan
simulasi terhadap kitosan karena tidak adanya objektif untuk melepas senyawa
bioaktif pada anus.
2.5 Senyawa Bioaktif
Obat yang akan dipilih untuk disalut dengan kitosan yang akan dipreparasi
dengan metode terpilih untuk melepaskan obat ke dalam usus besar sebagai target
utama dan usus halus sebagai target sampingan diharapkan merupakan senyawa
bioaktif yang memiliki karakteristik:
•
Mudah didapat sebagai salah satu bentuk optimasi pemanfaatan
keberagaman senyawa bioaktif tradisional di Indonesia
•
Aman sehingga tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
11 •
Murah sehingga dapat menjadi alternatif pilihan obat masyarakat di
Negara berkembang seperti Indonesia
•
Memiliki kinerja yang baik sehingga obat dapat benar-benar efektif
dalam membantu kesembuhan pasien
Pendekatan yang dipakai oleh penulis terhadap karakteristik tersebut
adalah obat herbal. Beberapa penelitian telah mendukung kriteria-kriteria yang
telah disebutkan diatas. Salah satunya adalah pembuktian dari Annonaceous
acetogenin yaitu zat yang tedapat pada sirsak, terbukti secara in vitro memiliki
kemampuan sitotoksik 10.000 kali lebih kuat daripada terapi kemoterapi (Rieser
et al, 1997). Salah satu penelitian pun menyebutkan bahwa Annonaceous
acetogenin bekerja secara spesifik terhadap beberapa jenis kanker dan relatif tidak
toksik terhadap sel normal. (Oberlies et al, 1995). Pendekatan dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi fasilitas rilis obat terkendali dari senyawa bioaktif
tradisional sehingga dapat memenuhi karakteristik diatas. Namun dikarenakan
ekstraksi Acetogenin yang masih dalam tahap penelitian, untuk percobaan kali ini,
peneliti masih menggunakan parasetamol yang merupakan senyawa bioaktif
pendamping dari obat kanker berfungsi untuk mencegah peradangan yang
disebabkan oleh sel kanker di organ yang sakit dan adanya pembengkakan sebagai
efek samping dari zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Parasetamol (obat anti
peradangan yang larut dalam air), dipilih karena kestabilannya dalam suasana
asam dan netral atau sedikit basa untuk waktu kurang dari 24 jam (Granberg &
Rasmuson, 1999).
2.6 Mekanisme Rilis
Peristiwa rilis obat atau zat aktif dari polimer dapat terjadi melalui tiga
mekanisme yaitu difusi, degradasi dan penggembungan (swelling) yang diikuti
dengan difusi. Difusi terjadi ketika sebuah obat atau zat aktif mengalir melalui
pori – pori yang terdapat pada matriks polimer atau melalui ruang antara rantai –
rantai polimer. Ukuran pori di dalam matriks polimer yang seragam serta
ketebalan matriks yang tidak berubah menyebabkan proses rilis obat berjalan
konstan sepanjang periode tertentu. Rilis zat aktif juga dapat terjadi ketika rantai –
rantai polimer mengalami penggembungan akibat kondisi tubuh yang berubah
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
12 karena terjadinya perubahan pH, suhu, enzim atau stimulus – stimulus yang lain.
Setelah rantai – rantai polimer menggembung maka zat aktif akan dengan mudah
berdifusi dan setelah stimulusnya berkurang atau hilang akibat penyakitnya sudah
disembuhkan maka rantai – rantai polimer akan kembali lagi ke konfigurasi awal
dengan tidak mengeluarkan zat aktif kembali. Hal ini akan menghilangkan
kemungkinan terjadinya overdosis obat. Setelah melepaskan semua zat aktif yang
dikandungnya maka matriks polimer akan mengalami degradasi sebagai hasil dari
hidrolisis rantai – rantai polimer menjadi molekul – molekul kecil yang dapat
diterima oleh sistem tubuh kita. (Kusumastuti, 2009).
2.7 Kanker Usus
Kanker merupakan salah satu penyakit serius yang ada di Indonesia.
Kanker merupakan penyakit mematikan dengan menjadi penyumbang kematian
ketiga terbesar setelah penyakit jantung (Depkes, 2012). Kanker adalah suatu
penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur
multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler.
Usus besar merupakan bagian dari sistem pencernaan dimana material
sisa pencernaan disimpan. Rektum adalah akhir dari bagian usus besar yang
berhubungan langsung dengan anus. Tumor di usus besar tumbuh dari dindingdinding usus besar yang beerikutnya disebut sebagai polip. Polip yang terus
bertahan lama di organ ini berikutnya akan tumbuh kembang menjadi sel kanker.
Oleh karena itulah salah satu bentuk pengobatan yang akan diberikan langsung
pada usus besar sehingga senyawa bioaktif langsung kontak dengan sel kanker
yang ada di organ tersebut.
Sel kanker yang terdapat pada usus besar juga mampu untuk berkembang
ke organ lain seperti otak, tulang, hati dan paru-paru (Weinberg, 2007) secara
metatesis. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menginvasi jaringan pembuluh
darah dan menemukan jalannya ke aliran darah. Pada aliran darah, sel kanker
dapat memasuki bagian tubuh lain secara virtual dan membuat jaringan baru di
organ tubuh tersebut. Oleh karena itulah senyawa bioaktif pun harus disebarkan
ke organ lain melalui pembuluh darah yang ada di dinding-dinding usus halus.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
13 2.8 Analisis Sampel
Metode analisis yang digunakan adalah Scanning Electron Microscope
(SEM) untuk mengetahui morfologi partikel dan Spektofotometri UV-Visible
untuk mengukur profil rilis senyawa bioaktif pada masing-masing fluida sintetik.
2.8.1 Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning Electron Microscope menggunakan sinar elektron berenergi
tinggi difokuskan untuk menghasilkan berbagai sinyal pada permukaan sampel
padat. Sinyal yang berasal dari interaksi antara elektron – sampel mengungkapkan
informasi tentang sampel morfologi eksternal (tekstur), komposisi kimia dan
struktur kristal serta orientasi dari bahan yang membentuk sampel.
Pada
analisis
Scanning
Electron
Microscope,
photomicrograph
pemindaian elektron diambil pada tegangan percepatan 30 KV, tekanan chamber
0,6 mm Hg dan pembesaran asli 800 kali.
2.8.2 Spektofotometri UV-Visible
Spektrofotometer UV-Visible (sinar tampak) adalah analisa kuantitatif dan
kualitatif spesies kimia dengan pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam
spektroskopi.
Spektrofotometer
UV-Visible
adalah
pengukuran
panjang
gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi
oleh sampel, biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks
didalam larutan. Alat ini banyak bermanfaat untuk penentuan konsentrasi senyawa
– senyawa yang dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet 200–400nm atau
daerah sinar tampak 200–800 nm (Sastrohamidjojo, 1991). Pada penelitian ini
analisis spektrofotometer UV-Visible bertujuan untuk mengetahui profil rilis
kitosan dan obat terhadap waktu.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
BAB 3
METOD
DE PENELIITIAN
3 Diagra
3.1
am Penelitiaan Keseluru
uhan
Peneelitian dilakuukan di labboratorium Dasar
D
Prosees Kimia Departemen
D
T
Teknik
Kim
mia Fakultass Teknik Unniversitas Inndonesia. D
Diagram alir penelitian
m
matriks
kitosan untuk rillis terkendalli senyawa bioaktif
b
padaa pH sistem pencernaan
p
d
dengan
variaasi metode preparasi
p
dituunjukkan pada Gambar 3.1.
3
Gambar 3. 1 Diagram Alirr Penelitian
Tahaapan awal penelitian
p
addalah studi literatur yaang dilakukkan dengan
m
mempelajari
i jurnal puublikasi nasiional mauppun internassional yang berkaitan
d
dengan
pen
nelitian kitoosan sebeluumnya. Selaanjutnya koombinasi kiitosan dan
P
Parasetamol
l akan digunakan dengann preparasi metode
m
tercaantum yang diharapkan
d
m
menghasilka
an partikel berukuran kecil. Sellanjutnya partikel dikaarakterisasi
m
menggunaka
an Scanningg Electron M
Microscope (S
SEM) untuk mengetahuii morfologi
p
partikel
dann Spektofotoometri UV-V
Visible untu
uk mengukuur profil riliis senyawa
b
bioaktif
pad
da masing-m
masing fluidaa sintetik sistem pencernnaan. Selanjuutnya akan
d
dilakukan
an
nalisa hasil melalui
m
pembbahasan untuuk mencapaii suatu kesim
mpulan.
14
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
15 3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Pada penelitian matriks kitosan untuk rilis terkendali senyawa bioaktif
pada pH sistem pencernaan dengan variasi metode preparasi, digunakan alat dan
bahan sebagai berikut :
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam pengujian ini termasuk pada alat gelas, dapat
dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3. 1 Alat dan Perincian Alat yang Digunakan
Alat
Kegunaan
Batang pengaduk
Alat untuk mengaduk
Beker glass 250 Ml
Wadah
Beker glass 500 Ml
Wadah
Desikator vakum
Untuk mengeringkan dan menyimpan yang
terbentuk
Dryer
Mengeringkan bead kitosan
Inkubator
Untuk menjaga suhu fluida sintetik tetap
pada 37oC saat simulasi
Jarum suntik
Untuk membentuk bead dengan ukuran
tertentu
Kaca arloji
Wadah untuk menimbang kitosan bubuk
Kapas plug
Untuk menutup mulut tabung kerucut
Labu ukur 100 Ml
Wadah untuk melarutkan obat
Labu ukur 50 mL
Wadah untuk membuat larutan kitosan
Mixer maksimal putaran
Alat untuk mengaduk
2000 rpm
Mortar
Alat untuk menumbuk Bead
pH meter
Alat untuk mengukur pH pada pembuatan
PBS
Pipet tetes
Alat untuk menera labu ukur
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
16 Tabel 3. 2 Alat dan Perincian Alat yang Digunakan (Lanjutan)
Alat
Kegunaan
Pipet ukur
Alat untuk menambahkan suatu larutan
dengan volume tertentu
Saringan kawat
Menyaring Bead yang terbentuk
SEM
Karakterisasi kitosan
Sentrifuge
Untuk memisahkan padatan dengan cairan
saat mengambil sampel cair
Spektofotometri UV-
Uji kinerja mikrosfet kitosan yeng telah
Visible
dipreparasi
Tabung kerucut
Wadah untuk mencampurkan kitosan
Timbangan
Alat untuk menimbang bubuk kitosan
Wadah pengadukan
Sebagai media untuk mengaduk
3.2.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian dan perincian bahan yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3. 3 Bahan dan Perincian Bahan yang Digunakan
Bahan
Perincian Bahan
Alginat
Sebagai bahan pembentukan gelasi
Aquades
Sebagai pelarut
Asam asetat 2,5 %
Sebagai pelarut kitosan
Asam Klorida 0,2 M
Sebagai pelarut dalam membuat fluida
sintetik
Kalsium klorida
Sebagai larutan dalam hardening bath
Kitosan
Sebagai penyalut obat
Methanol
Sebagai pelarut parasetamol dalam uji
standar
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
17 Tabel 3. 4 Bahan dan Perincian Bahan yang Digunakan (Lanjutan)
Bahan
Kegunaan
Natrium Hidroksida 02 M
Sebagai pelarut dalam fluida sintetik
Parasetamol
Sebagai sampel obat
Potassium Biphtalate
Bahan pembuat fluida sintetik
Potassium Klorida
Bahan pembuat fluida sintetik
Potassium Phospate
Bahan pembuat fluida sintetik
Tripolifosfat
Sebagai senyawa penaut silang
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Metode Penautan Silang
Prosedur dilakukan dengan menggunakan cara kerja penautan silang
tripolifosfat (Yu et al, 2008).
‐
Kitosan (0,5 g) dilarutkan pada 2,5% (w/v) asam asetat (39,5 ml)
‐
Parasetamol (0,1 g) ditambahkan pada larutan pada pengocokan hingga
didapatkan suspensi yang merata disertai dengan pengadukan 2000 rpm
‐
Campuran tersebut disuntikkan sebanyak 10 ml dengan menggunakan
jarum dengan internal diameter 0,45 mm ke 4% (w/v) larutan TPP (100
ml) pada temperature ruangan
‐
Bead yang terbentuk dengan ukuran 0,98 mm didiamkan untuk mengeras
selama 15 menit di dalam larutan TPP lalu dicuci dengan air distilat,
disaring dan dikeringkan dengan dryer
‐
Bead kemudian dihancurkan dan digerus sampai mendapatkan bentuk
terkecil
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
18 3.3.2 Metode Ionotropic Gelation
Prosedur dilakukan dengan menggunakan cara kerja gelasi ionotropik
dengan CaCl2 (Yu et al, 2008).
‐
Sodium alginate (1 g) dilarutkan pada air distilat (49 ml)
‐
Lalu partikel dari metode panutan silang yang telah digerus dimasukkan
pada larutan sodium alginat diaduk sampai merata disertai dengan
pengadukan 2000 rpm
‐
Sebanyak 10 ml dari campuran dimasukkan pada jarum dengan diameter
internal 0,6 mm pada 6% (w/v) larutran CaCl2 pada suhu ruang
‐
Bead dengan ukuran 1,8 mm didiamkan untuk mengeras selama 15 menit
di dalam larutan CaCl2
‐
Setelah dicuci dengan air distilat dan disaring, bead dikeringkan dengan
dryer
‐
Bead kemudian digerus sampai mendapatkan bentuk terkecil
3.3.3 Karakterisasi Kitosan
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dari material yang telah
dipreparasi. Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengetahui
morfologi partikel. disebarkan ke dalam rintisan kaca, kemudian tempatkan pada
mikroskop electron scanning. Karakterisasi kitosan dilakukan sebanyak 3 kali
sebagai tanda awal bahwa
kitosan berhasil terbentuk. Pemindaian elektron
photomicrograph diambil pada tegangan percepatan 30 KV, tekanan chamber 0,6
mmHg dan pembesaran asli 800 kali. Dari tahapan ini pun dapat diketahui ukuran
kitosan yang telah dipreparasi.
3.3.4 Uji Kinerja Metode Preparasi Kitosan
Uji kinerja metode preparasi hanya akan dilakukan ketika kitosan telah
terbentuk dengan acuan hasil karakterisasi menggunakan SEM. Pengujian
spektrofotometri UV-Visible bertujuan untuk mengetahui profil rilis obat dalam
kiosan terhadap waktu pada setiap fluida sintetik. Untuk uji kinerja metode
preparasi itu sendiri, data akan diambil secara triplo (pengujian tiga kali) sebagai
acuan untuk meminimalkan kesalahan pengambilan data.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
19 Sebelum dilakukan uji kinerja metode preparasi, akan dilakukan tahapan
preparasi media fluida sintetik serta uji metode kalibrasi sebagai langkah
pendukung penelitian.
3.3.5 Preparasi Media Fluida Sintetik
Pada percobaan kali ini, akan digunakan tiga jenis fluida sintetik didalam
tubuh yaitu Simulated Gastric Fluid sebagai uji organ lambung, Simulated
Intestinal Fluid sebagai uji organ usus halus, dan Simulated Colonic Fluid sebagai
uji organ usus besar. Pembuatan ketiga media tersebut akan digunakan dengan
cara sebagai berikut (Lawrence, 2007):
•
Simulated Gastric Fluid dengan pH 1,2 : Larutkan 0.7455 gram potassium
klorida dalam 85 ml HCL 0,2 M lalu ditambahkan dengan aquades sampai
200 ml sambil diaduk.
•
Simulated Intestinal Fluid dengan pH 4 : Larutkan 2,0425 gram potassium
biphtalate dan 0,1 ml HCL 0,2 M lalu ditambahkan dengan aquades
sampai 200 ml sambil diaduk.
•
Simulated Intestinal Fluid dengan pH 7,4 : Larutkan 1,361 gram potassium
phosphate dan 39,1 ml NaOH 0,2 M lalu ditambahkan dengan aquades
sampai 200 ml sambil diaduk.
•
Simulated Colonic Fluid dengan pH 6,8 : Larutkan 1,361 gram potassium
phosphate dan 22,4 ml NaOH 0,2 M lalu ditambahkan dengan aquades
sampai 200 ml sambil diaduk.
3.3.6 Preparasi Metode Kalibrasi
Penelitian ini dilakukan untuk dapat melihat proses rilis parasetamol
sebagai senyawa bioaktif di dalam fluida sintetik. Dalam hal ini perlu dibuat
kurva kalibrasi terlebih dahulu untuk mengetahui konsentrasi parasetamol yang
ada pada methanol sebagai senyawa yang parasetamol mudah larut didalamnya.
Panjang gelombang maksimum yang dipakai adalah 247 nm sebagai serapan
maksimum parasetamol dalam methanol. Berikut ini merupakan langkah-langkah
untuk membuat kurva kalibrasi parasetamol:
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
20 •
Melarutkan parasetamol di dalam methanol sehingga didapatkan
konsentrasi 4 mg/L; 8 mg/L; 12 mg/L; 16 mg/L; 20 mg/L dan 80 mg/L.
•
Masukkan larutan-larutan tersebut ke dalam kuvet dan masukkan ke dalam
spektrofotometer dengan panjang gelombang 247 nm.
•
Dari data yang didapat, dibuat grafik (absorbansi vs konsentrasi) sehingga
akan dihasilkan persamaan garis lurus y = mx ± b dengan y sebagai
representasi dari konsentrasi parasetamol dan x sebagai representasi dari
absorbansi.
Gambar 3. 2 Grafik Konsentrasi Parasetamol dan Absorbansi
3.3.7 Rilis Obat pada Fluida Sintetik
Efisiensi rilis obat dihitung dari segi persentase hilangnya senyawa
bioaktif pada fluida sintetik. Jumlah obat teoritis dapat ditentukan dengan
mengakumulasikan obat yang lepas dalam fluida sintetik ditambahkan dengan
obat yang tertperangkap di dalam methanol yang didiamkan selama satu hari
setelah simulasi waktu fluida sintetik sehingga dapat diketahui banyaknya obat
yang terperangkap dengan perincian sebagai berikut :
•
Menyiapkan kitosan yang telah dipreparasi
•
Ditambahkan 30 mL larutan fluida sintetik pertama (SGF) pada masingmasing kitosan yang telah dipreparasi lalu tabung ditutup dengan kapas
plug dan disimpan dalam inkubator pada temperatur 37 ° C.
•
Diambil 6 mL, dan digantikan dengan 6 mL untuk masing-masing larutan
fluida sintetik dengan rentang waktu 1 jam sekali untuk masing-masing
larutan fluida sintetik
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
21 •
Pengambilan filtrate dilakukan dengan jarum sintuk yang dialasi dengan
membrane sehingga serpihan matriks terhalang oleh membrane
•
Setiap pergantian fluida sintetik dibantu dengan sentrifuge sehingga
matriks kitosan benar-benar tepisah dari fluida sintetik sebelumnya dan
dapat dimasukkan ke dalam fluida sintetik berikutnya dengan urutan
sebagai berikut:
2 jam simulasi pada Simulated Gastric Fluid (SGF) pH 1,2
1 jam simulasi pada Simulated Intestinal Fluid (SIF) pH 4
5 jam simulasi pada Simulated Intestinal Fluid (SIF) ph 7,4
12 jam simulasi pada Simulated Colonic Fluid (SCF) pH 6,8
•
Filtrat digunakan untuk pengujian Spektrofotometri UV – Visible pada
panjang gelombang yang telah ditentukan sehingga didapatkan nilai
absorbansinya yang dapat
digunakan
untuk
mencari
konsentrasi
parasetamol yang pada akhirnya didapatkan massa rilis parasetamol pada
fluida sintetik dalam jangka waktu tertentu.
3.3.8 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas, variabel tetap dan variabel
terikat. Kondisi yang berbeda-beda pada variabel bebas digunakan untuk
mengetahui bagaimana hasil dari variabel terikat yang akan didapatkan. Variabel
terikat akan digunakan sebagai hasil analisis terhadap hasil yang didapatkan.
Variabel tetap digunakan sebagai kondisi yang akan disimulasikan untuk
mendapatkan hasil. Berikut adalah variabel yang akan digunakan dalam penelitian
ini:
•
variabel bebas: metode preparasi
•
variabel terikat: rilis senyawa bioaktif
•
variabel tetap: media fluida sintetik sistem pencernaan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
22 3.3.9 Teknik Pengambilan Data
Partikel dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM) untuk mengetahui morfologi partikel yang telah dilakukan metode
preparasi. Profil rilis berupa data kandungan Parasetamol dalam fluida lambung
sintetik, fluida usus halus sintetik dan fluida usus besar sintetik yang akan diamati
setiap satu jam dan dievaluasi bersama data-data lain dengan mengetahui profil
rilisnya pada masing-masing fluida sintetik untuk menetapkan metode optimal
dengan menggunakan Spektrometer UV-Visible.
3.3.10 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Banyaknya data untuk profil rilis diambil setiap setengah jam di masingmasing fluida sintetik. Efisiensi rilis obat dihitung dari segi persentase hilangnya
senyawa bioaktif pada fluida sintetik, sesuai dengan rumus berikut:
E isiensi Rilis %
x 100
[3.1]
Jumlah obat teoritis dalam ditentukan dengan perhitungan asumsi bahwa
seluruh obat dalam larutan kitosan yang digunakan akan terperangkap dalam dan
tidak terjadi kehilangan pada setiap tahap penyusunan . Kurva kalibrasi yang telah
dijelaskan pada subbab 3.3.3.2 dari setiap fluida sintetik akan memberikan
persamaan garis linear:
y = mx ± b
[3.2]
Dengan y sebagai representasi dari konsentrasi parasetamol dan x sebagai
representasi dari absorbansi. Dari persamaan berikut dapat diketahui konsentrasi
parasetamol setiap setengah jam di masing-masing fluida sintetik. Konsentrasi
fluida sintetik kemudian di konversi untuk mengetahui banyaknya massa
parasetamol sebagai jumlah rilis obat satuan waktu tertentu di masing-masing
fluida sintetik. Persamaan konsentrasi suatu zat dapat diturunkan sebagai berikut:
M
[3.3]
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
23 Dengan M adalah konsentrasi larutan, m adalah massa larutan dan V adalah
volume larutan. Untuk mengetahui massa parasetamol sebagai jumlah rilis
senyawa bioaktif p\ada fluida sintetik dapat digunakan penurunan rumus sebagai
berikut:
m
xM
[3.4]
Dengan m adalah massa parasetamol. Untuk data yang didapat dengan SEM, data
hasil karakterisasi berupa morfologi kitosan akan dianalisa lebih lanjut dengan
persamaan-persamaan umum untuk karakterisasi. Data yang akan didapatkan akan
disajikan di dalam bentuk grafik untuk masing-masing fluida sintetik organ sistem
pencernaan seperti pada Gambar 3.3.
Gambar 3. 3 Grafik Efisiensi Pelepasan Parasetamol dan Waktu
Evaluasi hasil percobaan akan dilakukan dengan memperhatikan 3 kriteria
berikut:
•
Metode yang terpilih merupakan metode yang dapat menghindari
peluruhan pada lambung semaksimal mungkin,
•
Metode yang terpilih merupakan metode yang dapat melepaskan
komposisi senyawa bioaktif lebih banyak dan perlahan pada usus halus
dan usus besar daripada lambung karena penanganan secara
mikroskopis diarahkan pada organ usus halus yang memiliki banyak
pembuluh darah yang dapat memfasilitasi bentuk penanganan
mikroskopis
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian hasil dan pembahasan, terdapat beberapa hal yang akan
dibahas yang berkaitan dengan tujuan penelitian untuk menahan rilis obat pada
pH lambung, merilis obat pada pH usus halus dan usus besar serta memiliki waktu
tinggal obat yang sesuai dengan waktu tinggal organ pencernaan. Hasil dan
pembahasan yang akan dianalisis diantaranya adalah preparasi matriks kitosan,
perilaku rilis in vitro matriks kitosan pada fluida sintetik serta penjeratan obat
pada matriks kitosan.
4.1
Preparasi Matriks Kitosan
Pada dasarnya, matriks kitosan dibuat dengan menerapkan dua prinsip
utama dalam sistem rilis terkendali, yaitu menjerat obat di dalam matriks kitosan
dan mengatur sistem dalam matriks dengan komposisi tertentu sehingga mayoritas
dari obat dapat dilepaskan di usus halus dan usus besar sebagai target organ
sistem pencernaan (Yu et al, 2008). Preparasi matriks kitosan diatur sedemikian
rupa sehingga obat dapat terperangkap dalam matriks kitosan serta obat dapat
dirilis ketika melakukan kontak dengan fluida sintetik secara perlahan dan pada
organ sistem pencernaan yang diinginkan. Secara berurutan, sistem matriks dibuat
dengan urutan sebagai berikut:
1. Agitasi kitosan, parasetamol dan larutan asam asetat
Pada awalnya kitosan, parasetamol dan asam asetat dicampurkan
bersamaan dan diagitasi sampai homogen. Alasan dipilihnya asam asetat sebagai
pelarut karena sifatnya sebagai pelarut protik hidrofilik dengan konstanta
dielektrik yang sedang yaitu 6.2, sehingga dapat melarutkan baik senyawa polar
maupun senyawa non-polar (Prabaharan, 2008). Pada Gambar 4.1 menunjukkan
struktur senyawa kitosan sebagai polimer.
24 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
25 Gambar 4. 1 Kitosan
(Shu & Zhu, 2001)
Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya
terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO- (Richens, 1997). H+ dari asam
asetat yang melakukan kontak dengan gugus amina kemudian memprotonasi
gugus amina yang bersifat basa sehingga akan bertindak sebagai akseptor H+ dari
kitosan sehingga menjadi gugus -NH3+.
Dalam struktur fenol yang terdapat pada parasetamol yang ditunjukkan
pada Gambar 4.2, gugus karboksil yang mengikat O dari suatu fenol tidak mudah
terputuskan karena ikatan karbon tersebut memiliki orbital hibrida karbon sp2
yang lebih kuat daripada ikatan oleh gugus karboksil dengan orbital sp3 pada
ikatan karbon pada umumnya (Martino et al, 1996). Dengan kuatnya ikatan
intramolekul parasetamol karena peristiwa resonansi, ikatan kimia parasetamol
dengan senyawa lain sulit terjadi. Ikatan yang terjadi antara parasetamol dengan
molekul lain merupakan ikatan fisik yaitu ikatan hidrogen antara parasetamol
dengan kitosan. Ikatan hidrogen parasetamol terhadap senyawa lain terjadi karena
disebabkan oleh adanya gaya tarik antar molekul yang terjadi antara dua muatan
listrik parsial dengan polaritas yang berlawanan (Fairbrother, 1974). Gugus fenol
dari parasetamol yang yang memiliki atom O serta mempunyai pasangan elektron
bebas.
Gambar 4. 2 Parasetamol
(Granberg & Rasmunson, 1999)
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
26 Gugus amina yang kemudian memiliki muatan H+ akan berikatan hidrogen dengan
gugus O dari fenol pada parasetamol sehingga letak senyawa obat akan berada
disekitar gugus amina (Yu et al, 2008).
2. Pembentukan bead pertama dengan larutan tripolifosfat
Fluida sintetik tripolifosfat dibuat dengan melarutkan sodium tripolifosfat
di dalam air distilat. Dalam fluida sintetik tersebut senyawa ionik akan terdisosiasi
menjadi ion-ionnya sehingga sodium tripolifosfat pun akan menjadi Na+ dan TPP(Richens, 1997). Kitosan yang memiliki gugus amina yang terprotonasi (NH3+)
akan berikatan dengan TPP- sehingga terjadilah fenomena cross linking atau
tautan silang (Shu et al, 2000). Struktur TPP dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4. 3 Struktur Senyawa Ionik Tripolifosfat
(Shu & Zhu, 2001)
Dalam proses penautan silang oleh larutan TPP (Tripolifosfat), gugus amina yang
telah terprotonasi (NH3+) akan berikatan dengan gugus O- dari TPP (Shu et al,
2000). Kondisi dimana jaringan molekul pertama terbentuk dikenal dengan istilah
gel-point karena membentuk suatu gel (Patel, 2010). Lapisan taut silang antara
kitosan dengan TPP akan memperangkap obat yang berikatan fisik dengan kitosan
yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
27 Gambar 4. 4 (a) Ikatan Kitosan dan TPP (b) Lapisan Taut Silang Kitosan dan TPP
Parasetamol yang berikatan hidrogen dengan kitosan dan terperangkap diantara
penaut silang disebut dengan peristiwa enkapsulasi. Peristiwa enkapsulasi dapat
menyimpan obat dalam suatu matriks tanpa mengubah sifat obat tersebut sehingga
baik digunakan pada sistem drug carrier (Prabaharan, 2000).
3.
Pencucian
Tahap berikutnya setelah mendapatkan bead pertama adalah proses
pencucian. Pencucian merupakan proses dimana pemurnian suatu bead dengan
cara melarutkan pengotor tanpa melarutkan produk (kitosan hasil preparasi tahap
pertama). Asam asetat sebagai pelarut pada tahapan pertama sudah tidak
diperlukan lagi keberadaanya sehingga akan dilarutkan dengan air distilat
sehingga kitosan yang telah dipreparasi yang tidak larut dalam air distilat dapat
benar-benar murni dari senyawa yang tidak diinginkan. Setelah terbentuk bead,
counter ion yang mengelilingi polimer kitosan dan tidak berikatan dicuci dengan
air distilat sehingga (NH3+) mengalami peristiwa deprotonasi sehingga kembali
menjadi gugus amina. Gugus amina yang tidak berinteraksi dengan TPP mudah
larut dalam asam sehingga diperlukan tindakan lanjutan untuk menghilangkan
gugus tersebut.
4. Penghancuran bead
Bead yang telah didapatkan kemudian dihancurkan dengan menggunakan
grinder lalu digunakan mortar untuk mendapatkan struktur bead dalam bentuk
serbuk. Bentuk serbuk penting dibuat karena akan memudahkan proses agitasi
dengan larutan alginat. Larutan alginat yang dibuat dengan menggunakan air
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
28
d
distilat
meru
upakan seny
yawa polar yyang sukar untuk
u
melaruutkan kitosaan. Dengan
d
dibuat
bentu
uk serbuk diharapkan
d
llebih cepat untuk menddapatkan beentuk yang
h
homogen
paada fluida sinntetik campuuran serbuk kitosan
k
dan aalginat.
5. Agitasi alginat dan kitosan
k
Alginnat pada aw
walnya dibuaat larutan dengan
d
menssolvasi algin
nat dan air
d
distilat
untu
uk mendapattkan larutan alginat dan struktur daari alginat daapat dilihat
p
pada
Gambaar 4.5.
Gambarr 4. 5 Struktur Alginat
A
(Y
Yu et al, 2008))
P
Pada
larutann tersebut ditambahkan
d
n serbuk kittosan dan terjadi interaaksi antara
a
alginat
dan kitosan. Innteraksi antaara alginat dan
d kitosan dapat mengghilangkan
g
gugus
aminoo sehingga kitosan
k
diharrapkan tidakk cepat melurruh di dalam
m lambung.
I
Interaksi
yaang terjadi antara
a
kitosaan dengan alginat
a
meruupakan ikataan kovalen
k
koordinasi
(
(Yu
et al, 20
008). Guguss NH2 dari kitosan
k
menndesak guguss karboksil
d
dari
alginat dengan pem
mberian eleektron sehing
gga C dari gugus karbboksil akan
k
kelebihan
e
elektron
seh
hingga meleepaskan guggus OH- yaang ditunjukkkan pada
G
Gambar
4.6..
G
Gambar
4. 6 Innteraksi Alginaat dan Kitosan
Denggan hilangny
ya gugus am
mina dari kitosan,
k
karaakteristik kittosan yang
m
mudah
larut dalam asam
m dapat terhillangkan sehiingga matrikks kitosan akkan bersifat
Universitas
s Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
29 lebih stabil dalam asam. Dipilihnya alginat sebagai senyawa yang berikatan
dengan kitosan karena alginat merupakan senyawa hidrofilik. Dalam konsep rilis
obat, terjadi peristiwa difusi sehingga lapisan matriks harus memungkinkan teradi
peristiwa tersebut dengan mengikatkan senyawa kitosan bersama dengan alginat.
6. Pembentukan Bead kedua dengan larutan CaCl2
Alginat yang telah berikatan dengan kitosan masih berada dalam fasa cair
distilat. Untuk membuatnya menjadi fasa padat, diperlukan linker antara alginat
satu dengan lainnya yang telah berikatan dengan kitosan. Dengan prinsip
ionotropic gelation, senyawa alginat pada gugus karboksilat lainnya diikat oleh
Ca2+ sehingga masing-masing dari senyawa alginat yang telah bereaksi dengan
kitosan diikat satu sama lain (Yu et al, 2008), yang dapat diamati pada Gambar
4.7.
Gambar 4. 7 Peristiwa Ionotropic Gelation pada Alginat
Setelah itu bead kedua dicuci dari pengotor dengan menggunakan air distilat dan
dihancurkan dalam bentuk serbuk seperti perlakuan pada bead pertama. Secara
garis besar, bead kedua dapat diilustrasikan sebagai matriks berlapis yang
ditunjukkan pada Gambar 4.8.
Gambar 4. 8 Struktur Senyawa Bead Kedua Matriks Kitosan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
30 Lapisan matriks kitosan dengan TPP tersebar secara acak pada matriks kitosan
dan senyawa alginat yang telah berhubungan dengan kitosan satu dan lainnya
dihubungkan dengan kation divalensi kalsium.
4.2
Rilis In Vitro
Langkah awal dalam melakukan rilis in vitro adalah dengan membuat
kurva fluida sintetik standar terlebih dahulu. Pelarut yang digunakan pada kurva
standar merupakan pelarut yang benar-benar dapat melarutkan obat dengan
sempurna sehingga kandungan rilis obat dapat benar-benar diketahui nantinya
pada masing-masing fluida sintetik. Dalam menetapkan kurva standar, variasi
konsentrasi yang dipilih adalah 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 20 ppm dan 80
ppm. Dengan menggunakan tetapan variasi konsentrasi, dapat diketahui masingmasing nilai absorbansi dari tetapan tersebut dan pada akhirnya akan didapatkan
kurva fluida sintetik standar yang ditunjukkan pada Gambar 4.9.
Konsentrasi 90
(ppm)
80
y = 10.03x
R² = 0.99
70
60
50
40
30
20
10
0
0
2
4
6
8
10
Absorbansi
Gambar 4. 9 Kurva Fluida Sintetik Standar Hubungan Konsentrasi terhadap Absobansi
Dari Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa persamaan linier yang didapat adalah
y = 10,03 x dengan nilai regresi linier sebesar 0,99. Dengan persamaan linier
diatas dapat ditentukan konsentrasi obat parasetamol yang pada masing-masing
fluida sintetik. Kurva fluida sintetik standar diatas memiliki nilai valid dengan R=
0,99 (Motulski, 1999).
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
31 Rilis obat akan dilakukan dengan dua metode yaitu metode fluida sintetik
secara paralel dimana matriks kitosan dituangkan pada masing-masing fluida
sintetik dan dilihat performa rilisnya kemudian secara seri dimana matriks kitosan
dipindahkan dari satu fluida sintetik ke fluida sintetik yang lainnya sehingga
matriks kitosan yang didapatkan bukanlah matriks kitosan yang baru namun
matriks kitosan yang telah dipisahkan dari fluida sintetik sebelumnya. Hal yang
menjadi dasar dari tiap pengamatan rilis dari data yang didapatkan adalah
kelarutan parasetamol dalam tiap variasi pH bukanlah merupakan variabel yang
dipertimbangkan dalam penentuan jumlah rilis karena dalam struktur mikro,
kelarutan parasetamol dalam berbagai pH relatif sama (Tong, 2000).
4.2.1 Rilis Obat Pada Kondisi Paralel
Matriks kitosan yang digunakan pada uji rilis kondisi paralel dilakukan di
berbagai fluida sintetik diantaranya adalah ph 1,2 , pH 4 dan pH 7,4 (Wen & Park,
2010). Rilis Obat Paralel pada fluida sintetik pH 1,2 merupakan reperesentatif
matriks kitosan di dalam fluida organ lambung. Hasil rilis obat yang didapatkan
pada pH 1,2 ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Rilis Obat Paralel pH 1.2
Waktu
(jam)
Rilis Obat (mg)
0
0
1
0,079
2
0,109
3
0,174
4
0,282
5
0,324
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
32 Rilis obat (mg)
2,5
2
1,5
1
0,5
0
0
1
2
3
Waktu (jam)
4
5
Gambar 4. 10 Rilis Obat Paralel pH 1,2 Pengaruh Rilis Obat terhadap Waktu Rilis
Pada Gambar 4.10 didapatkan rilis obat yang menyerupai linear. Rilis obat
yang menyerupai linear menunjukan difusi yang terjadi antara matriks kitosan
dengan fluida sintetik masih berlangsung stabil . Kecenderungan stabilitas dari
matriks kitosan ini menunjukkan bahwa pada proses difusi dengan fluida sintetik
pH 1,2, matriks kitosan tidak mengalami pemutusan ikatan dan hanya terjadi
perenggangan ikatan yang ikatan gugusnya terganggu oleh gugus lain (Huang et
al, 2001). Pada pH 1,2 pun rilis dari obat dapat ditekan dengan menghilangkan
gugus amino dari kitosan sehingga kitosan tidak terprotnasi dan matriks kitosan
dapat merilis obat secara perlahan (Yu et al, 2008). Dalam sistem fluida asam
kuat (pH 1,2 yang dibuat dengan buffer HCL), gugus H+ pada fluida menyimpan
muatan yang sangat positif. Muatan gugus H+ tersebut akan menyerang ikatan
glikosida ( -O- ) yang menghubungkan antara polimer kitosan satu dengan yang
lain. Ikatan glikosida dengan gugus O yang negatif akan mudah diserang dan
direnggangkan pada pH 1,2. Perenggangan dari ikatan glikosida inilah yang akan
menyebabkan terjadinya peristiwa difusi pada fluida sintetik organ lambung (Yu
et al, 2008).
Pada fluida sintetik pH 1,2, rentang waktu satu jam pertama menunjukkan
rilis yang lebih tinggi diantara jam kedua sampai keempat. Hal ini diakibatkan
adanya parasetamol yang masih tedapat pada permukaan luar dari matriks kitosan
pada proses penghancuran bead (Huang et al, 2000). Hal seperti ini sangat
mungkin terjadi pada sistem matriks dari suatu enkapsulasi karena letak obat yang
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
33 tersebar secara acak pada sistem matriks yang memungkinkan tersebarnya obat
yang sedikit lebih banyak pada permukaan dibandingkan daerah lainnya. Pada
jam kelima pun terlihat kembali adanya kenaikan rilis dari sistem matriks. Hal ini
disebabkan ketidakhomogenan dari sistem matriks dalam mengenkapsulasi suatu
obat (Huang et al, 2000). Proses penghancuran bead yang dilakukan secara
manual serta perbandingan antara kitosan dan parasetamol yang terlalu jauh dapat
menyebabkan obat yang tersimpan dalam suatu proses matriks yang tidak
beraturan.
Peristiwa hidrolisis pada alginat akan menguraikan gugus karboksilat
dengan kation Ca2+. Dengan demikian akan terbentuk anion-anion dari karboksilat
yang sudah tidak berikatan dengan gugus manapun. Namun anion-anion repulsion
atau penolakan-penolakan ion yang memberikan jalan pada proses difusi tidak
terjadi pada fluida sintetik lambung dengan representasi fluida sintetik pH 1,2.
Hal ini disebabkan gugus H+ dari HCl yang memiliki muatan sangat positif akan
memprotonasi ion karboksilat yang dimiliki alginat. Tidak terjadinya anion-anion
repulsion atau penolakan-penolakan ion pada fluida sintetik pH 1,2 menyebabkan
difusi yang terjadi pada pH 1,2 tidak sebesar difusi yang terjadi pada pH 4
(Hosseinzadeh, 2010).
Sebagai simulasi fluida sintetik lainnya pada organ pencernaan, rilis obat
paralel pH 4 digunakan sebagai fluida sintetik pada organ usus halus. Rilis obat
pada fluida sintetik pH 4 dapat diamati pada Tabel 4.2.
Tabel 4. 2 Rilis Obat Paralel pH 4
Waktu (jam)
Rilis Obat (mg)
0
0
1
1,155
2
1,390
3
1.756
4
1,862
5
2,104
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
34 Rilis obat (mg)
2,5
2
1,5
1
0,5
0
0
1
2
3
Waktu (Jam)
4
5
Gambar 4. 11 Rilis Obat Paralel pH 4 Pengaruh Rilis Obat terhadap Waktu Rilis
Pada Gambar 4.11 didapatkan rilis obat yang menyerupai linear setelah
terjadinya burst atau lonjakan rilis pada jam pertama yang disebabkan banyaknya
obat yang terdapat pada permukaan luar matriks kitosan (Huang et al, 2001). Rilis
obat yang linear dari jam kedua sampai dengan jam kelima menunjukan difusi
yang terjadi antara matriks kitosan dengan fluida sintetik berlangsung relatif
stabil. Kestabilan dari rilis menunjukkan bahwa ikatan-ikatan matriks kitosan
yang belum hancur dan terputuskan dan hanya mengalami perenggangan sehingga
obat dapat berdifusi keluar dari sistem matriks kitosan (Yu et al, 2008). Pada
fluida sintetik pH 4 terlihat bahwa rilis dari matriks kitosan lebih cepat
dibandingkan pada fluida sintetik pH 1,2 dan fluida sintetik pH 7,4. Pada pH 4
sendiri terjadi beberapa fenomena dari proses difusi obat yang keluar dari matriks
kitosan.
Pada proses pengikatan antara gugus amina dari kitosan dengan gugus Odari penaut silang tripolifosfat, gugus amina awalnya terprotonasi dengan asam
asetat sehingga bermuatan NH3+. Proses protonasi terjadi ketika gugus H+ yang
menyerang merupakan gugus H+ yang bermuatan positif (gugus H+ pada fluida
sintetik asam asetat). Gugus tersebeut cenderung dapat beralih (deprotonasi)
ketika mengalami kontak dengan fluida sintetik netral atau basa karena
kecenderungan gugus H+ untuk mengasamkan suatu fluida sintetik yang kurang
asam atau basa sehingga terjadi proses perenggangan ikatan antara gugus NH3+
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
35 dan gugus O- pada peristiwa penautan silang (Tojima et al, 1999). Perenggangan
tersebutlah yang menginiasi peristiwa difusi obat sehingga obat dapat keluar dari
struktur matriks kitosan. Namun dibandingkan dengan fluida sintetik pH 7,4, rilis
pada fluida sintetik pH 4 merupakan rilis obat yang paling maksimal yang
disebabkan oleh terjadinya gaya tolak antara anion-anion karboksilat (anion-anion
repulsion) sehingga jalannya obat untuk keluar dari kitosan terbuka lebar
(Hosseinzadeh, 2010). Gugus Ca2+ yang mengikat antar alginat yang membungkus
kitosan akan memiliki afinitas yang lebih besar untuk berinterkasi dengan gugus
biphtlate [C6H4(COO)2-] sebagai buffer di dalam fluida sintetik pH 4 (Yu et al,
2008). Dibandingkan dengan alginat, gugus Ca2+ akan berinterkasi satu tahap
dengan gugus biphtalate diibandingkan dengan alginate yang merupakan reaksi
dua tahap (memerlukan gugus alginat lain yang berbeda rantai untuk bereaksi).
Dengan begitu gugus anion karboksilat pada alginate akan saling berlawanan satu
sama lain yang memperbesar ruang difusi sehingga memperbesar peluang difusi
obat.
Rilis obat paralel berikutnya akan diuji performanya pada fluida sintetik
pH 7,4 sebagai fluida sintetik organ usus halus. Rilis obat pada fluida sintetik pH
7,4 dapat diamati pada Tabel 4.3.
Tabel 4. 3 Rilis Obat Paralel pH 7,4
Waktu (jam)
Rilis Obat (mg)
0
0
1
0,134
2
0,196
3
0,284
4
0,371
5
0,521
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
36 Rilis Obat (mg) 2,5
2
1,5
1
0,5
0
0
1
2
3
4
Waktu (Jam)
5
Gambar 4. 12 Rilis Obat Paralel pH 7,4 Pengaruh Rilis Obat terhadap Waktu Rilis
Pada Gambar 4.12 didapatkan rilis obat yang menyerupai linear. Rilis obat
yang menyerupai linear menunjukan difusi yang terjadi antara matriks kitosan
dengan fluida sintetik cenderung berlangsung stabil. Pada pH 7,4 rilis dari obat
didapatkan lebih besar daripada rilis pada pH 1,2. Hal ini dapat ditelusuri dari
perbedaan fenomena mekanisme difusi antara pH 1,2 dan pH 7,4. Pada pH 7,4
terjadi kecenderungan untuk deprotonasi dari gugus NH3+ yang berikatan dengan
gugus O- dari senyawa tripolifosfat (Tojima et al, 1999). Hal ini dikarenakan
gugus H+ merupakan gugus dengan dipol positif yang kuat yang didapatkan dari
dari asam asetat. Gugus H+ ini akan cenderung untuk berpindah dari kondisi asam
ke kondisi kurang asam (netral) atau basa. Pada pH 7,4 yang merupakan kondisi
netral sedikit basa, gugus NH3+ yang telah berikatan dengan gugus O- akan
merenggang karena gugus H+ pada NH3+ terganggu kestabilannya pada fluida
sintetik tersebut. Jarak obat dalam berdifusi pada pH 7,4 lebih singkat daripada
pH 1,2 (Yu et al, 2008). Hal ini dikarenakan parasetamol yang akan berdekatan
dengan gugus NH3+ yang berikatan hidrogen dengan gugus O fenol dari
parasetamol. Muatan positif dari gugus amina akan berikatan fisik dengan gugus
O dari fenol pada parasetamol. Gugus O yang bermuatan lebih negatif sulit
dilepaskan dengan gugus C karena ikatan fenol pada benzene memiliki orbital
SP2. Ikatan fisik ini membuat letak gugus obat akan cenderung untuk berdekatan
dengan gugus NH3+ dan O- sehingga ketika ikatan tersebut merenggang, obat akan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
37 lebih banyak keluar pada interval waktu yang sama dibandingkan dengan pH 1,2.
Pada rilis pada pH 7,4 pun terlihat sedikit lonjakan rilis yang disebabkan oleh
ketidakhomogenan dari sistem matriks dalam mengenkapsulasi suatu obat. Proses
penghancuran bead yang dilakukan secara manual serta perbandingan antara
kitosan dan parasetamol yang terlalu jauh dapat menyebabkan obat yang
tersimpan dalam suatu proses matriks yang tidak beraturan (Huang et al, 2001).
Namun dibandingkan dengan fluida sintetik pH 4, rilis pada fluida sintetik
pH 7,4 tidak lebih tinggi walaupun proses deprotonasi lebih banyak terjadi pada
fluida sintetik 7,4. Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya gaya tolak antara
anion-anion karboksilat (anion-anion repulsion) yang sebelumnya dihubungkan
oleh kation Ca2+ sehingga jalannya obat untuk keluar dari kitosan tidak sebesar
pada fluida sintetik pH 4. Peristiwa hidrolisis pada alginat akan menguraikan
gugus karboksilat dengan kation Ca2+. Dengan demikian akan terbentuk anionanion dari karboksilat yang sudah tidak berikatan dengan gugus manapun. Namun
anion-anion repulsion atau penolakan-penolakan ion yang memberikan jalan pada
proses difusi tidak terjadi pada fluida sintetik lambung dengan representasi fluida
sintetik pH 7,4 karena gugus Na+ dari NaOH yang memiliki muatan positif yang
mampu untuk memprotonasi ion karboksilat yang dimiliki alginat. Tidak
terjadinya anion-anion repulsion atau penolakan-penolakan ion pada fluida
sintetik pH 7,4 menyebabkan difusi yang terjadi tidak sebesar difusi yang terjadi
pada pH 4 (Hosseinzadeh, 2010).
Untuk mendukung data rilis yang didapatkan dari spektofotometri UV
Visible, peristiwa difusi pada matriks kitosan dapat diamati pada morfologi
kitosan yang telah kontak dengan fluida sintetik dengan menggunakan Scanning
Elektron Microscope (SEM). Morfologi matriks kitosan dapat digunakan sebagai
representatif perbandingan cepatnya difusi yang berlangsung serta apa yang
terjadi disaat difusi berlangsung (Prabaharan, 2008) . Pada Gambar 4.13 dapat
diamati morfologi dari masing-masing matriks kitosan dalam fluida sintetik yang
direndam selama 3 jam.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
38 (a)
(b)
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
39 (c)
Gambar 4. 13 Morfologi Matriks Kitosan dalam Fluida Sintetik pH (a) 1,2 (b) 4 (c) 7,4
Dapat diamati bahwa proses difusi obat yang terjadi pada pH 1,2 tidak
secepat proses difusi yang terjadi pada pH 7,4. Permukaan matriks kitosan pada
pH 7,4 yang lebih kasar menunjukkan bahwa difusi obat berlangsung lebih
banyak pada pH tersebut. Pada matriks kitosan yang berinteraksi dengan fluida
sintetik pH 4, permukaan matriks kitosan tidak hanya menunjukkan permukaan
yang kasar dan bergelombang namun terdapat juga matriks kitosan yang
berlubang yang disebabkan oleh tolak menolak antara anion dari gugus
karboksilat (anion-anion repulsion) (Hosseinzadeh, 2010). Tolakan anion inilah
yang menyebabkan proses difusi pada fluida sintetik pH 4 jauh melebihi proses
difusi pada fluida sintetik pH 1,2 dan fluida sintetik pH 7,4.
4.2.2 Pengaruh Ionotropic gelation terhadap Difusi Obat
Pada keadaan seri, obat yang rilis dalam waktu 22 jam sebagai rentang
waktu sistem pencernaan diharapkan memiliki jumlah rilis lebih banyak dan tetap
dapat rilis secara perlahan. Obat yang rilis terlalu perlahan dikhawatirkan akan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
40 masih menyimpan obat yang terlalu banyak setelah rentang waktu 22 jam. Untuk
membuat matriks yang tetap memiliki sistem terkendali dalam rilis obatnya
dengan ketahanan terhadap asam namun memiliki difusi yang lebih cepat
sehingga dapat meluruhkan hampir semua obat pada rentang waktu 22 jam, dapat
dilakukan variasi kerapatan matriks kitosan. Dengan kerapatan matriks yang lebih
renggang, free mean path dari suatu matriks akan semakin besar sehingga difusi
dari obat dapat berlangsung lebih cepat (Patel, 2002). Kerapatan dari suatu
matriks kitosan dapat diatur saat proses gelasi dari suatu matriks. Proses gelasi
akhir dari matriks kitosan yang digunakan menggunakan CaCl2 dan ion Ca2+
bertindak sebagai pengikat alginat yang telah dihubungkan dengan kitosan.
Dengan begitu akan dilakukan suatu perbandingan difusi matriks kitosan dengan
mengetahui parameter rilisnnya pada saat menggunakan konsentrasi CaCl2 6%
dari fluida sintetik pada hardening bath (Yu et al, 2008) dan dengan menaikkan
konsentrasi sampai dengan 12% dari fluida sintetik hardening bath pada fluida
sintetik dengan fluida sintetik pH 1,2 yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4. 4 Perbandingan Rilis Obat terhadap Ionotropic gelation
Rilis Obat (mg) dengan CaCl2
Rilis Obat (mg) dengan CaCl2
Waktu (jam)
6%
12%
0
0
0
1
0,079
0,164
2
0,109
0,471
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
41 Rilis Obat (mg)
1
0,9
0,8
0,7
CaCl2 6%
0,6
CaCl2 12%
0,5
Linear (CaCl2 6%)
0,4
Linear (CaCl2 12%)
0,3
0,2
0,1
0
0
1
2
3
Waktu (Jam)
4
5
Gambar 4. 14 Hubungan Pengaruh Konsentrasi CaCl2 terhadap Rilis Obat
Dapat dilihat pada Gambar 4.14 bahwa rilis obat pada konsentrasi CaCl2 12%
pada hardening bath berlangsung lebih banyak dibandingkan rilis obat pada
konsentrasi CaCl2 6%. Hal ini disebabkan kerapatan matriks kitosan pada
konsentrasi CaCl2 yang menurun seiring dengan pertambahan konsentrasi CaCl2
pada bead kedua proses pembuatan matriks kitosan. CaCl2 dengan Ca2+ yang
mengikat alginat yang telah berikatan dengan kitosan dengan alginat akan
melapisi matriks kitosan pada bead pertama. Kation Ca2+ akan mengikat alginat
sebagai polimer dalam jumlah rantai tertentu (Odian, 2004). Dengan
bertambahnya konsentrasi dari CaCl2 menunjukkan semakin banyaknya jumlah
mol dari CaCl2 yang digunakan untuk berikatan. Hal tersebut linear dengan
bertambahnya jumlah mol alginat yang dapat diikat sehingga semakin panjang
rantai polimer dari CaCl2 yang dapat dihubungkan. Bertambahnya jumlah Ca2+
dalam proses ionotropic gelation akan menambah ruang untuk melapisi matriks
kitosan sebelumnya sehingga kerapatan matriks kitosan akan merenggang (Patel,
2002).
Beberapa informasi seperti ukuran matriks kitosan dan berlangsungnya
proses difusi pun dapat diamati dengan menggunakan Scanning Elektron
Microscope (SEM). Pengamatan dengan menggunakan SEM dapat dilihat pada
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
42 Gambar 4.15 untuk konsentrasi CaCl2 sebanyak 12% dan konsentrasi CaCl2
sebanyak 6%.
(a)
(b)
Gambar 4. 15 Efek difusi fluida sintetik (a) Konsentrasi CaCl2 12% (b) Konsentrasi CaCl2 6%
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
43 Gambar 4.15 menunjukkan bahwa matriks kitosan dengan konsentrasi
CaCl2 lebih besar akan memiliki ukuran yang lebih besar. Ukuran yang lebih besar
yang menyebabkan kerapatan matriks yang berada di dalamnya berkurang
sehingga difusi lebih cepat terjadi dan morfologi dari matriks kitosan akan
menjadi lebih rusak (Patel, 2002).
4.2.3 Rilis Obat Pada Kondisi Seri
Rilis obat pada kondisi seri merupakan simulasi sebenarnya dari apa yang
terjadi di dalam sistem pencernaan manusia. Matriks kitosan yang berinteraksi
dengan fluida sintetik bukanlah matriks kitosan yang baru namun matriks kitosan
yang telah berinteraksi dengan fluida sintetik sebelumnya dan dengan nilai pH
yang berbeda. Dengan demikian kinerja dari matriks kitosan akan benar-benar
teruji daya tahannya dalam simulasi sistem pencernaan manusia. Pada rilis obat di
kondisi seri, lamanya waktu dan kondisi pH fluida sintetik menjadi representatif
dari organ sistem pencernaan (Anthea et al, 1993). Pada kondisi rilis obat dengan
keadaan seri, metode ionotropic gelation yang dipilih merupakan metode dengan
konsentrasi fluida sintetik CaCl2 sebesar 12% pada hardening bath. Konsentrasi
yang besar dalam hardening bath diharapkan dapat merilis obat maksimal dalam
rentang waktu 22 jam sebagai rentang waktu dalam sistem pencernaan manusia.
Hasil yang diperoleh dari uji performa rilis kitosan dapat diamati pada Tabel 4.5
dan Gambar 4.16.
Tabel 4. 5 Simulasi Pelepasan Obat pada Sistem Pencernaan Tubuh Manusia
Organ pH Fluida Lambung 1.2 4 Usus halus Usus besar 7.4 6.8 Waktu (Jam) Rilis Obat (mg) 0 0 1 0,163 2
0,472
3 1,625 4 2,772 5
2,944
6
3,213
7 3,418 8 3,645 9
4,643
10 4,714 11 4,766 12 4,818 22
5,913
Rilis Obat (%) 0 2,024 5.793 19,912 33,974 36,142 39,323 41,819 44,725 56,933 57,759 58,466 59,077 72,585 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
44 % Rilis Obat
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
5
10
Waktu (Jam)
15
20
Gambar 4. 16 Simulasi Pelepasan Obat pada Sistem Pencernaan Tubuh Manusia
Pada simulasi pelepasan obat pada sistem pencernaan tubuh manusia,
terdapat beberapa fenomena yang dapat diamati. Fenomena pertama adalah
terjadinya burst release atau pelepasan kejut pada setiap pergantian pH.
Fenomena ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Pada saat suatuu proses difusi
terjadi, suatu ikatan direnggangkan karena peristiwa ionik dengan berbagai
mekanisme yang telah dijelaskan pada Subbab 4.2.1. Ketika terjadi pergantian pH
sebagai representatif pergantian organ sistem pencernaan, ion-ion tersebut tidak
serta merta meninggalkan ikatan-ikatan yang sebelumnya direnggangkan. Adanya
residence time atau waktu tinggal dari ion-ion tersebut yang memberikan efek
pada perenggangan ikatan sehingga terjadi difusi yang diakumulasika dengan efek
yang ditimbulkan oleh fluida sintetik yang baru menyebabkan terjadinya
pelepasan kejut dari matriks kitosan (Huang et al, 2000).
Fenomena berikutnya yang dapat diamati dari simulasi pelepasan obat
pada sistem pencernaan tubuh manusia yaitu semakin landainya pelepasan obat
dari satu fluida sintetik ke fluida sintetik lainnya. Pada fluida sintetik pH 6,8
dengan waktu rilis tiga jam pertama yang merepresentasikan fluida sintetik usus
besar memiliki kurva rilis yang lebih landai dibandingkan dengan fluida sintetik
pH 7,4 yang merepresentasikan fluida sintetik usus halus. Jumlah obat yang
terperangkap di dalam matriks kitosan pada fluida sintetik pH 6,8 memiliki
kuantitas yang lebih kecil dibandinngkan dengan dengan larutsn pH 7,4
disebabkan life time rilis yang lebih lama dibandingkan dengan sebelumnya. Jika
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
45 matriks kitosan mendifusikan obat dengan presentase yang sama di dalam matriks
dengan anggapan bahwa kondisi matriks belum rusak (belum terdapat pemutusan
ikatan), maka dengan kandungan obat yang lebih sedikit di dalam matriks, jumlah
obat yang keluar pun akan menjadi lebih sedikit (Prabaharan, 2008).
Fenomena terakhir yang dapat diangkat dari simulasi pelepasan obat pada
sistem pencernaan tubuh manusia yaitu terjadinya peristiwa suspend release
dalam sistem matriks kitosan yang telah dibuat. Peristiwa suspend release
merupakan peristiwa naiknya rilis obat yang disebabkan oleh rusaknya matriks
yang disebabkan oleh pemutusan ikatan pada matriks kitosan (Wen & Park,
2010). Pada fluida sintetik pH 6,8, rilis kitosan terjadi secara perlahan pada
awalnya. Namun setelah empat jam di dalam pH tersebut, kurva rilis obat kembali
meningkat.
Matriks
kitosan
yang
sebelumnya
ikatan-ikatannya
telah
direnggangkan oleh peristiwa ionik akhirnya mencapai titik jenuh sehingga pada
akhirnya secara bertahap ikatan-ikatan tersebut menjadi putus sehingga peristiwa
difusi dapat berlangsung lebih cepat. Selama 22 jam, matriks kitosan dapat merilis
obat sebanyak 72% dari obat yang berhasil dienkapsulasi. Dengan tujuan untuk
melepaskan obat tersebut di dalam usus halus dan usus besar maka terdapat 66%
obat yang berhasil dimasukkan di dalam organ tersebut dari obat yang berhasil
terenkapsulasi.
4.3
Penjeratan Obat
Obat yang digunakan di dalam matriks kitosan tidak seluruhnya
terenkapsulasi di dalam matriks kitosan. Tahapan yang digunakan dalam menjerat
kitosan dan membentuknya sebagai gel akan mendegredasi jumlah obat yang
terenkapsulasi di dalam matriks kitosan itu sendiri. Penjeratan obat dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang yang biasa dipakai dalam dunia farmasi. Parameter
yang digunakan pertama adalah banyaknya obat yang dapat dienkapsulasi di
dalam matriks dibandingkan dengan obat yang hilang dan tidak terjerat di dalam
matriks kitosan. Perbandingan antara obat yang dapat terenkapsulasi di dalam
matriks kitosan dengan obat yang tidak dapat terenkapsulasi di dalam matriks
disebut dengan efisiensi enkapsulasi. Parameter lain yang digunakan dalam
penjeratan obat ialah banyaknya obat yang dapat terenkapsulasi di dalam matriks
kitosan dibandingkan dengan massa total matriks kitosan. Perbandingan antara
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
46 massa obat yang dapat dienkapsulasi dengan massa total matriks kitosan disebut
dengan pemuatan obat.
4.3.1 Efisiensi Enkapsulasi
Efisiensi enkapsulasi penting untuk diketahui dari matriks kitosan. Suatu
proses enkapsulasi memiliki efesiensinya masing-masing. Dengan mengetahui
efisiensi enkapsulasi, kuantitas obat yang dimasukkan dalam proses enkapsulasi
dapat
hitung
untuk
mencapai
kuantitas
obat
yang
dibutuhkan
untuk
menyembuhkan suatu penyakit (kuantitas terapetik) yang dapat dilihat pada
Persamaan 4.1 (Yu et al, 2008).
obat yang digunakan pada enkapsulasi
[4.1]
Efisiensi enkapsulasi dari pembentukan matriks kitosan diketahui dengan
menghitung massa obat yang rilis dari suatu waktu tertentu dan dengan
menambahkan jumlah obat yang masih tersisa di dalam matriks kitosan setelah
rilis (entrapment) serta dibandingkan dengan obat yang digunakan pada proses
enkapsulasi yang dapat dilihat pada Persamaan 4.2 (Yu et al, 2008).
E isiensi enkapsulasi
[4.2]
Efisiensi enkapsulasi yang akan diamati pada bagian ini adalah efisiensi
enkapsulasi pada variasi ionotropic gelation. Pada Subbab 4.2.2 telah dibuktikan
bahwa konsentrasi fluida sintetik CaCl2 12% dalam hardening bath dapat
memaksimalkan obat yang rilis pada usus halus dan usus besar dibandingkan
dengan konsentrasi fluida sintetik CaCl2 6%. Dalam variasi konsentrasi fluida
sintetik tersebut, akan dibandingkan efisiensi enkapsulasi banyaknya obat yang
dapat terjerat di dalam matriks kitosan. Perbandingan dari efisiensi enkapsulasi
dapat dilihat pada Tabel 4.6
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
47 Tabel 4. 6 Perbandingan Efisiensi Enkapsulasi terhadap Variasi Variabel Ionotropic Gelation
Berat (mg) dengan
Berat (mg) dengan
konsentrasi fluida sintetik
konsentrasi fluida sintetik
Keterangan
CaCl2 6%
CaCl2 12%
Obat yang terjerat
7,366
8,142
Penggunaan obat
75
75
% Enkapsulasi obat
9,821
10,856
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa efisiensi enkapsulasi pada konsentrasi fluida
sintetik CaCl2 12% memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan
konsentrasi fluida sintetik CaCl2 6%. Pada dasarnya, fenomena ionotrip gelation
bukanlah peristiwa enkapsulasi obat namun peristiwa yang mengatur kerapatan
dari enkapsulasi obat yang telah terbentuk dari peristiwa penautan silang dengan
tripolifosfat. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan variasi yang besar dari
konsentrasi fluida sintetik tidak menunjukkan pengaruh yang besar dari
enkapsulasi obat. Perbedaan efisiensi enkapsulasi dapat terjadi karena pada
pembentukan bead kedua dengan proses ionotropic gelation memiliki bentuk
yang lebih besar. Bentuk satuan bead yang lebih besar akan memiliki luas
permukaan bead yang lebih kecil untuk berinteraksi dengan air distilat saat proses
pencucian bead (Patel, 2010) yang dapat diamati pada Gambar 4.17.
Gambar 4. 17 Pencucian pada Bead dengan Konsentrasi Fluida sintetik CaCl2 (a) 12 % (b) 6 %
Gambar 4.17 menunjukkan banyaknya parasetamol yang akan terdegradasi
dengan air distilat pada permukaan bead kedua akan lebih sedikit saat proses
pencucian bead kedua karena memiliki luas permukaan kontak dengan air distilat
yang lebih kecil. Dengan begitu penjeratan obat dengan luas permukaan bead
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
48 kedua yang lebih besar karena konsentrasi fluida sintetik CaCl2 yang lebih besar
akan menyimpan obat lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi fluida
sintetik CaCl2 yang lebih kecil. Rentang efisiensi enkapsulasi yang kecil di kedua
variasi matriks kitosan pun disebabkan oleh proses rekristalisai berulang sebanyak
dua kali yang menyebabkan banyak parasetamol yang sudah berdifusi di saat
preparasi matriks kitosan itu sendiri.
4.3.2 Pemuatan Obat (Drug Loading)
Pemuatan obat merupakan parameter yang sangat penting untuk diketahui
dari suatu matriks kitosan. Pemuatan obat dapat diartikan sebagai obat yang
terkandung dalam suatu matriks kitosan dibandingkan dengan penyusun-penyusun
matriks kitosan yang diperlukan untuk menacapai tujuan matriks kitosan seperti
tahan terhadap pH asam serta rilis secara terkontrol dan perlahan. Pemuatan obat
bermanfaat dalam mengemas suatu obat sehingga dapat diperkirakan kemasan
suatu obat dari banyaknya matriks kitosab yang dibutuhkan terhadap jumlah obat
yang terenkapsulasi di dalam matriks kitosan. Pemuatan obat atau drug loading
dirumuskan dalam Persamaan 4.3 (Yu et al, 2008).
Pemuatan Obat
[4.3]
Pemuatan obat antara suatu matriks kitosan akan dibandingkan terhadap variasi
dari fluida sintetik CaCl2 pada proses ionotropic gelation. Dengan variasi
konsentrasi fluida sintetik CaCl2 sebanyak 6% dan 12%, akan dilihat pemuatan
obat pada masing-masing matriks kitosan seperti yang terlihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4. 7 Perbandingan Pemuatan Obat terhadap Variasi Proses Ionotropic Gelation
Berat (mg) dengan
Berat (mg) dengan
konsentrasi fluida sintetik
konsentrasi fluida sintetik
Keterangan
CaCl2 6%
CaCl2 12%
Obat terjerat
7,366
8,142
Matriks Kitosan
188
240
% Loading obat
3,918
3,392
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
49 Tabel 4.7 menunjukkan % loading obat pada konsentrasi fluida sintetik
CaCl2 sebanyak 6% memiliki presentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan
konsentrasi fluida sintetik CaCl2 sebanyak 12%. Pada subbab 4.3.1 telah diketahui
penjeratan obat yang didapatkan dengan konsentrasi fluida sintetik CaCl2 lebih
tinggi dapat meningkatkan jumlah obat yang terjerat. Namun bertambahnya
jumlah obat yang terjerat tidak sebanding dengan berat matriks kitosan yang
bertambah. Pertambahan berat matriks kitosan yang didapatkan merupakan berat
CaCl2 dengan ion Ca2+ yang menghubungkan antara polimer alginat satu denga
lainnya sehingga terbentuk gel (gel point). Pertambahan yang terjadi dari matriks
kitosan tidak sesignifikan dengan peningkatan konsentrasi CaCl2 yang didapatkan
(Patel, 2010). Hal ini disebabkan tidak semua Ca2+ yang berada pada hardening
bath dapat berada di dalam matriks kitosan dengan mengikat alginat satu dengan
lainnya karena keterbatasan polimer alginat yang telah berekasi dengan gugus
amina dari polimer kitosan.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai matriks kitosan
sebagai bahan penyalut untuk mengontrol pelepasan obat parasetamol, maka dapat
disimpulkan bahwa:
•
Preparasi matriks kitosan dibuat dengan melakukan modifikasi metode
penautan silang dengan metode gelasi ionotropik sehingga dapat menjerat
obat dengan baik, menahan rilis pada kondisi asam serta memiliki waktu
tinggal sesuai dengan waktu tinggal sistem pencernaan dengan variasi
konsentrasi CaCl2 sebagai hardening bath pada metode gelasi ionotropik.
•
Rilis pada masing-masing fluida sintetik berbeda satu sama lain
berdasarkan pH larutan fluida sintetik.
•
Penjeratan obat yang didapatkan dengan mengkombinasikan dua metode
preparasi memiliki nilai sebesar 10%.
•
Pemuatan
obat
(drug
loading)
yang
didapatkan
dengan
mengkombinasikan dua metode preparasi memiliki nilai sebesar 4%.
5.2
Saran
Saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki hasil dari penelitian yang
dilakukan diantaranya:
•
Proses pengeringan bead sebaiknya dilakukan dengan menggunakan
freeze-dryer yang menggunakan proses sublimasi sehingga tidak terjadi
pelelehan yang akan mengurangi nilai penjeratan obat di dalam matriks
kitosan.
•
Penghancuran bead dilakukan dengan menggunakan mesin penghancur
sehingga serbuk yang didapatkan memilik ukuran yang homogen.
50 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Kanker di Indonesi, Depkes, Editor 2012, TEMPO Interaktif.
Benita, S. 1996. Microencapsulation : Methods and Industrial Applications.
Mercel Dekker Inc, New York.
Dawes, GJS, Fratila-Apachitei, LE, K. Mulia, Apachitei, I, Witkamp, G-J,
Duszczyk, J. 2009. Size effect of PLGA spheres on drug loading efficiency and
release profiles, Journal of Materials Science: Materials in Medicine, 20, 5,
1089-1094.
Fairbrother, J. E. 1997. Acetaminophen in Analytical profiles of drug substances;
Florey, K., Ed.; Academic Press: New York, 1974; Vol. 3, pp 5-29.
Geum-soog Kim, Lu Zeng, Feras Alali, Lingling L. Rogers, Feng-E. Wu, Jerry L.
McLaughlin & Soelaksono Sastrodihardjo. 1998. Journal of Natural Product,
, 62, 432-436.
Gibaly, El. 2002. Development and In Vitro Evaluation of Novel Floating
Chitosan Microcapsules for Oral Use: Comparison With Non-Floating
Chitosan Microspheres. Int J Pharm.
Golcanves, 2005. Effect of crosslinking agent in chitosan microspheres in
controlled release of diclofenat sodium. Polimeros: ciencia e technologia pp.612.
Hosseinzadeh. H. 2010. Controlled Release Of Diclofenac Sodium From pHResponsive Carrageenan-G-Poly(Acrylic Acid) Superabsorbent Hydrogel.
Department of Chemistry, University of Payame Noor. Int J Pharm, 321,2–44.
Illum, L. 1998. Chitosan and its use as a pharmaceutical excipient. Pharm. Res.
15, 1326–1331.
Kawashima, Y., Handa, T., Takenaka, H., Lin, S.Y., Ando, Y., 1985. Novel
method for the preparation of controlledrelease theophylline granules coated
51 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
52 with a polyelectrolyte complex of sodium polyphosphate-chitosan. J. Pharm.
Sci. 74, 264–268.
Kar, Mousumi & Dr P K Choudhury. 2005. Preparation and Evaluation of
Chitosan Microspheres. Dept. of Pharmaceutical Sciences, MLSU, Udaipur
Corresponding.
Knorr, D. 1984. Use Chitinous in Food. Food Tech. 38(1):85.
Kusumastuti, Felisita Anesti & Nyoman Valida Lendra. 2009. Rilis Zat Aktif
Obat.
Farmakoterapi-Info. http://yosefw.wordpress.com/2009/03/20/557/.
Diakses tgl. 10 Maret 2011 Pukul 09:47 WIB.
Lachman L., H.A. Lieberman & J.L. Kanig. 1986. The Theory and Practice of
Industrial Pharmacy. Lea & Febringer. Philadelphia : Marcell Dekker, Inc.
860-892.
Marks & Fox. 1991. DNA damage, poly(ADPribosylation and apoptotic cell
death as a potential common pathway of cytotoxic drug action. Biochem.
Pharmacol., 42, 1859-1867.
Maton, Anthea; Jean Hopkins, Charles William McLaughlin, Susan Johnson,
Maryanna Quon Warner, David LaHart, Jill D. & Wright 1993. Human
Biology and Health. Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall.
ISBN 0-13-981176-1. OCLC 32308337.
Mi, F.L., Tan, Y.C., Liang, H.F., & Sung, H.W. 2002. In vivo biocompatibility
and degradability of a novel injectable chitosan-based implant. Biomaterials
23, 181–191.
Motulsky,
H.
Linear
Regression.
1999.
http://graphpad.com/curvefit/linearregression.htm. Diakses tgl. 6 Juni 2012
Pukul 10:00 WIB.
Odian, G. 2002. Ionic Chain Polymerization In Principles of Polymerization.
Wiley Interscience: Staten Island, New York, 2004, pp. 372-463.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
53 Patel, Hitesh. 2010. Ionotropic Gelation Technique For Microencapsulation Of
Antihypertensive Drug. Int. J. Pharm, 382, 7111.
Pedrosa, Rozângela C., Vanessa L. Gonçalves, Mauro C. M. Laranjeira, Valfredo
T. Fávere. 2005. Effect of Crosslinking Agents on Chitosan Microspheres in
Controlled Release of Diclofenac Sodium. Departamento de Química.
http://www.scielo.br/pdf/po/v15n1/24188.pdf. Diakses tgl. 9 Maret 2011
Pukul 12:02 WIB.
Prabaharan, M., 2008. Review Paper: Chitosan Derivatives as Promising
Materials for Controlled Drug Delivery, J Biomater Appl July vol. 23 no.1, 536.
RA, Weinberg. 2007. The Biology of Cancer. New York: Garland Science.
Remuñán-López, C, Lorenzo-Lamosa, ML, Vila-Jato, JL & Alonso, MJ. 1998.
Development of new chitosan–cellulose multicore microparticles for
controlled drug delivery, Eur J Pharm Biopharm, 45, 1, 49-56.
Richens, D. T. 1997. The chemistry of aqua ions : synthesis, structure, and
reactivity : a tour through the periodic table of the elements. Wiley. ISBN 0471-97058-1.
Roger A. Granberg and C.,Rasmuson. 1999. Solubility of Paracetamol in Pure
Solvents. Department of Chemical Engineering and Technology, Royal
Institute of Technology, SE-10044.
Shu,
X.Z.,
Zhu,
K.J.
(2000).
A
novel
approach
to
prepare
tripolyphosphate/chitosan complex beads for controlled release drug delivery.
Int. J. Pharm. 201, 51–58.
Shu, XZ and Zhu, KJ. (2002). Controlled drug release properties of ionically
cross-linked chitosan beads: the influence of anion structure, Int J Pharm.
233, 1-2, 217-225.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
54 Sinha, VR, Singla, AK, Wadhawan, S, Kaushik, R, Kumria, R, Bansal, K &
Dhawan, S. 2004. Review: Chitosan microspheres as a potential carrier for
drugs, Int J Pharm, 274,1–33.
Thomas C, Sharma P. 1998. Chitosan as a biomaterial. Biomater Artif Cells Artif
Org 1990;18:1–2.
Tojima, T., Katsura, H., Han, S.M., Tanida, F., Nishi, N., Tokura, S. & Sakairi, N.
1998. Preparation of an a-Cyclodextrin-Linked Chitosan Derivative Via
Reductive Amination Strategy, J. Polym. Sci. Part A: Polym. Chem., 36(11):
1965–1968.
Tong W.Q. 2000. Preformulation aspects of insoluble compounds In Water
Insoluble Drug Formulation. Edited by Liu R., Interpharm Press, Denver,
Colorado, 65–95.
Yu, Yun., Yin, Cheng., Zhang, Wei. Cheng, Xue.,Zhang, Xian,. & Zhuo, Ren.
2008. Composite Microparticle Drug Delivery Systems Based On Chitosan,
Alginate And Pectin With Improved Ph-Sensitive Drug Release Property.
Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 68 (2009) 245–249.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
LAMPIRAN
A. Lampiran Gambar
1. Agitasi kitosan, parasetamol dan larutan asam asetat
Gambar A. 1 Larutan Kitosan, Asam Asetat dan Parasetamol
2. Pembentukan Bead pertama dengan larutan tripolifosfat
Gambar A. 2 Larutan Penaut Silang Tripolifosfat
55 Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
56 Gambar A. 3 Bead Pertama Setelah Penautan Silang
3. Pencucian
Gambar A. 4 Bead Pertama Setelah Disaring
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
57 4. Penghancuran Bead
Gambar A. 5 Bead Pertama Setelah Digerus
5. Agitasi alginat dan kitosan
Gambar A. 6 Larutan Alginat dan Kitosan
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
58 6. Pembentukan bead kedua dengan larutan CaCl2
Gambar A. 7 Pembentukan Bead Kedua Setelah Disaring
Gambar A. 8 Bead Kedua Setelah Digerus
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
59 B. Lampiran Tabel
• Larutan Standar
Panjang gelombang yang dipakai adalah 247 nm sebagai serapan maksimum parasetamol pada methanol yang didapat dengan
melakukan proses scanning dari salah satu sampel dengan rentang 200-800 nm untuk mengetahui panjang gelomnbang
maksimumnya (Goncalves, 2005).
Tabel B. 1 Kurva Pembuatan Larutan Standar
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
60 •
Rilis In Vitro
Rilis in vitro yang didapatkan menggunakan spektofotomerti UV-visible yang diacu berdasarkan larutan standar. Tahapan dalam
perhitungan rilis in vitro secara bertahap dapat diterangkan sebagai berikut:
-
Nilai absorbansi yang didapatkan dari spektrofotometri UV-visible akan dimasukkan ke dalam persamaaan yang didapatkan
dari larutan standar untuk menghitung konsentrasi parasetamol dalam larutan tersebut.
-
Konsentrasi yang didapatkan kemudian digunakan untuk menghitung massa dengan menggunakan volume sebagai faktor
pengali. Volume dari setiap faktor pengali bertambah setiap jamnya sebanyak 6 ml dan seterusnya sebagai faktor
pengenceran.
-
Pertambahan massa dari setiap kali rilis bukanlah nilai massa yang didapatkan dari faktor pengenceran namun faktor selisih
antara masssa saat jam tertentu dengan massa saat jam sebelumnya.
-
Akumulasi obat merupakan banyaknya obat yang yang telah dirilis matriks kitosan sampai dengan jam tertentu.
-
Entrapment merupakan jumlah obat yang masih tersisa di dalam matriks kitosan setelah sekian jam rilis di dalam fluida
sintetik. Lamanya waktu untuk memastikan tidak adanya obat yang tersisa di dalam matriks kitosan dan pelarut yang dapat
digunakan berbeda antara variasi dalam pembuatan matriks kitosan (Yu et al, 2008).
-
Pada proses rilis secara paralel, pemisahan antara satu fluida sintetik dengan fluida sintetik lain menggunakan proses
sentrifugasi.
-
Pada proses rilis secara paralel, perhitungan pertambahan dihitung dengan menggunakan variabel massa rilis dari jam
sebelumnya hanya pada pH fluida sintetik yang sama.
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
61 •
Rilis Obat Pada Kondisi Paralel pH 1,2
Tabel B. 2 Rilis Obat Pada pH 1,2
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
62 •
Rilis Obat Pada Kondisi Paralel pH 4
Tabel B. 3 Rilis Obat Pada pH 4
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
63 •
Rilis Obat Pada Kondisi Paralel pH 7,4
Tabel B. 4 Rilis Obat Pada pH 7,4
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
64 •
Entrapment Obat Pada Kondisi Paralel
Tabel B. 5 Penjeratan Obat Pada Kondisi Paralel
Tabel B. 6 Penjeratan Obat & Loading Obat Pada Kondisi Paralel Keterangan
Berat (mg)
Obat yang terjerat
7.366286561
Obat yang digunakan
75
Berat matriks Kitosan
188
% Loading obat
3.918237533
% Enkapsulasi obat
9.821715415
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
65 •
Rilis Obat Pada Kondisi Seri
Rilis obat pada kondisi paralel dilakukan dengan tiga kali pengambilan data (triplo) untuk memastikan bahwa data yang didapatkan
merupakan data yang valid.
Trial 1
Tabel B. 7 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 1
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
66 Tabel B. 8 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 1(Lanjutan)
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
67 Tabel B. 9 Rilis Obat Pada Kondisii Seri Trial 1 (Lanjutan)
Tabeel B. 10 Penjeratan
n Obat & Loading O
Obat Pada Kondisi Seri Trial 1
Keteerangan
Berat (mg)
Obat yaang terjerat
8.142637448
Obat yan
ng digunakan
75
Berat mattriks Kitosan
240
% Loa
ading obat
3.392765603
% Enkappsulasi obat
10.85684993
Un
niversitas Indone
esia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
68 Trial 2
Tabel B. 11 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 2
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
69 Tabel B. 11 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 2 (Lanjutan)
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
70 Tabel B. 11 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 2 (Lanjutan)
Tabel B. 12 Penjeratan Obat & Loading Obat Pada Kondisi Seri Trial 2
Keterangan
Berat (mg)
Obat yang terjerat
8.125787048
Obat yang digunakan
75
Berat matriks Kitosan
252
% Loading obat
3.22451867
% Enkapsulasi obat
10.83438273
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
71 Trial 3
Tabel B. 13 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 3
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
72 Tabel B. 13 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 3 (Lanjutan)
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
73 Tabel B. 13 Rilis Obat Pada Kondisi Seri Trial 3 (Lanjutan)
Tabel B. 14 Penjeratan Obat & Loading Obat Pada Kondisi Seri Trial 3
Keterangan
Berat (mg)
Obat yang terjerat
9.097987726
Obat yang digunakan
75
Berat matriks Kitosan
310
% Loading obat
2.93483475
% Enkapsulasi obat
12.1306503
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
74 •
Tabel Simulasi Sistem Pencernaan Manusia
Tabel B. 15 Simulasi Sistem Pencernaan Manusia
pH
1.2
4
7.4
6.8
Jam
trial 1 (%)
trial 2 (%)
trial 3 (%)
0
0
0
0
1
2,01563567
1,908724707
3,49375865
2
5,78707127
5,88794451
11,0552622
3
19,9086418
20,40910142
26,2286728
4
33,973858
34,87378718
38,8719139
5
36,1361922
36,22593968
41,018447
6
39,3251794
39,96958779
43,3798769
7
41,8097862
42,94873879
45,9483717
8
44,7240307
43,94286053
48,1471077
9
56,9261188
56,35207067
59,9751593
10
57,7507612
57,44096766
61,9773079
11
58,4608326
58,74499564
63,3755059
12
59,0664139
58,9074696
65,2168193
22
72,5847459
72,2789508
75,4635331
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
75 % Rilis Obat
Simulasi Sistem Pencernaan Manusia
100
90
80
70
60
trial 1
50
trial 2
40
trial 3
30
20
10
0
0
5
10
15
20
Waktu (jam)
Gambar B. 1 Simulasi Sistem Pencernaan Manusia
Universitas Indonesia
Preparasi dan..., Muhammad Ibnu Syafiq Husain, FT UI, 2012
Download