3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ternak Domba

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Ternak Domba
Domba tergolong pada kingdom Animalia (hewan), filum chordata (hewan
bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui) ordo Arthiodactyla (hewan
berkuku genap) famili Bovidae (hewan yang memamah biak) genus Ovis dan spesies
Ovis aries. Bangsa domba yang terdapat di Indonesia adalah domba lokal, ekor
gemuk, garut serta ekor tipis. Domba luar yang sering dipelihara di Indonesia adalah
domba merino, rambuillet, southdown, suffolk, dan dorset (Subandriyo, 1996).
Domba Ekor tipis
Domba ekor tipis merupakan domba lokal Indonesia yaitu domba ekor tipis
dengan tubuh yang kecil. Domba ekor tipis paling banyak ditemukan di Jawa Barat
dengan bobot dewasa jantan berkisar 30-40 kg dan betina 15-20 kg (FAO, 2004).
Jenis domba ekor tipis memiliki tubuh yang kecil, sehingga disebut domba kacang
atau biasa dikenal sebagai domba jawa. Domba ini biasanya berwarna putih disertai
belang hitam disekitar mata dan hidung. Mulliadi (1996) menyatakan bahwa domba
ekor tipis memiliki tubuh yang ramping, bercak hitam sekitar mata dan hidung, pola
warna tubuh sangat beragam, ekor tipis, pendek dan timbunan lemak tidak terlalu
terlihat (Gambar 1).
Gambar 1. Domba Ekor Tipis
(Sumber : Dokumentasi Penelitian)
Domba merupakan ternak penghasil daging yang sangat potensial. Domba
betina umumnya tidak memiliki tanduk, sedangkan pada jantan memiliki tanduk
kecil dan melingkar. Domba ekor tipis biasanya tidak memiliki deposisi lemak pada
ekor. Domba ekor tipis kurang produktif jika diusahakan secara komersial karena
3
karkas yang dihasilkan sangat rendah dan pertumbuhannya lambat (Subandriyo,
1996). FAO (2004) menyatakan domba ekor tipis berwarna putih dan ditemukan
bintik hitam di sekeliling mata dan hidung, dan kadang-kadang tidak ditemukan
banyak lemak pada ekor.
Domba Garut
Domba garut merupakan salah satu ternak yang dipelihara oleh sebagian
masyarakat terutama di Jawa Barat sebagai ternak aduan dan penghasil daging.
Domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba asli Indonesia,
domba merino dan domba ekor gemuk dari Afrika Selatan (Riwantoro, 2005).
Domba garut berasal dari Kabupaten Garut tepatnya di daerah Limbangan, kemudian
berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Jawa Barat khususnya, dan seluruh
Indonesia umumnya. Domba garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri
garis muka lurus, bentuk mata normal,bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung
lurus, bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan
betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005). Bentuk umum domba garut
adalah tubuhnya yang relatif besar dan berbentuk persegi panjang dan kasar (Gambar
2). Keistimewaan lain dari domba garut adalah tanduk yang besar dan melingkar ke
belakang dan bervariasi, tempramen yang unik, pangkal ekor kelihatan agak lebar
dengan ujung yang runcing dan pendek dan warna bulu yang beragam (Riwantoro,
2005).
Bentuk tubuh domba garut hampir sama dengan domba lokal, tetapi tubuh
dan badan domba garut terlihat lebih padat. Domba garut memiliki keistimewaan
produksi lebih tinggi dibandingkan domba lokal lainnya serta sebagai penghasil
daging yang sangat baik sehingga sangat sesuai untuk meningkatkan produksi ternak
domba. Daging domba merupakan sumber protein dan lemak hewani (Riwantoro,
2005). Sifat fisik daging domba garut adalah daging warna merah khas domba,
merah lebih gelap, daging terdiri dari serat-serat halus yang sangat rapat jaringannya,
konsistensi cukup padat, diantara otot-otot dan bawah kulit terdapat banyak lemak,
lemak berwarna putih serta daging domba jantan berbau khas. Mulliadi (1996)
menyatakan bahwa domba garut pedaging memiliki asal-usul yang sama dengan
domba garut tangkas karena jantan yang telah diafkir dikawinkan dengan betina
4
lokal. Domba garut merupakan persilangan dari domba lokal, domba capstat dan
merino yang secara genetik lebih dominan terhadap sifat pedaging dan tangkas.
Gambar 2. Domba Garut
(Sumber : Dokumentasi Penelitian)
Pakan
Pakan merupakan bagian terpenting dalam pemeliharaan ternak. Pakan dapat
didefenisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian
atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak. Pakan dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis garis besar yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan bahan
pakan segar berupa rumput-rumputan, limbah hasil pertanian/pangan seperti jerami
padi, bungkil kedelai, pucuk tebu atau berasal dari pohon-pohonan (daun gamal dan
daun lamtoro) atau pakan kering serta silase (Williamson et al., 1993).
Limbah Tauge
Limbah tauge merupakan bagian dari tauge yang tidak dikonsumsi oleh
manusia yaitu berupa kulit tauge atau tudung yang berwarna hijau (Gambar 3).
Limbah tauge merupakan sisa dari produksi tauge yang terdiri atas kulit kacang
hijau, patahan-patahan tauge dan tauge yang terbuang. Potensi limbah tauge cukup
banyak di daerah Bogor, sehingga memungkinkan untuk dijadikan pakan ternak
(Rahayu, 2010). Winarno (1981) menyatakan bahwa limbah adalah bahan buangan
dari proses perlakuan atau pengolahan untuk memperoleh hasil utama dan hasil
sampingan. Produk sisa yang hampir tidak digunakan dari suatu kegiatan pertanian.
Ketersediaan limbah tauge terjamin untuk dimanfaatkan karena produksi tauge yang
tidak mengenal musim terutama untuk petani/pengrajin tauge di daerah bogor.
5
Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan
(Saenab, 2010).
Hasil survei Rahayu (2010) menunjukkan bahwa potensi limbah tauge di
Bogor sekitar 1,5 ton/hari. Berdasarkan uji laboratorium, limbah tauge memiliki
kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu mengandung protein kasar 13% - 14%,
serat kasar (SK) 49,44% dan TDN 64,65%. Limbah tauge dihasilkan dari kacang
hijau yang mengalami perubahan secara fisik dan kimia menjadi tauge, kemudian
dilakukan pengayakan. Kacang hijau sebagai bahan dasar tauge memiliki kandungan
protein yang tinggi, susunan asam amino yang mirip dengan kedelai serta
mengandung zat anti nutrisi. Limbah yang dianggap sebagai sumberdaya tambahan
ekonomis ini, sebaiknya dimanfaatkan sebaik mungkin (Rahayu, 2010).
Kacang hijau sebagai sumber tauge memiliki daya cerna 81%. Daya cerna
protein kacang hijau dipengaruhi oleh inhibitor tripsin yang dipengaruhi adanya tanin
atau polifenol. Cara untuk menurunkan maupun menginaktifkan zat antigizi tersebut
adalah dengan menjadikan kacang-kacangan menjadi tauge (Bressani et al., 1982).
Molekul protein kecambah dipecah menjadi asam amino sehingga terjadi kenaikan
konsentrasi asam amino yaitu lisin 24%, treonin 19%, alanin 29% dan fenilalanin
7%. Kadar glukosa dan fruktosa dari proses perkecambahan meningkat 10 kali, tetapi
kadar sukrosa meningkat dua kali. Winarno (1981) menyatakan limbah tauge
memiliki kandungan protein kasar (PK) sebesar 13,63%, serat kasar (SK) 49,44%
dan TDN sebesar 64,65%. Nilai gizi yang tinggi serta harga yang ekonomis menjadi
faktor pendukung pemanfaatan limbah tauge sebagai pakan ternak. Pemanfaatan dan
pendaurulangan limbah pertanian seperti tauge dapat mengurangi pencemaran
lingkungan dan memberi keuntungan bagi petani maupun produsen (Rahayu, 2010).
Gambar 3. Limbah Tauge
(Sumber : Dokumentasi Penelitian)
6
Konsentrat
Konsentrat
merupakan makanan ternak berupa biji-bijian, umbi-umbian,
limbah yang mengandung zat-zat makanan utama seperti protein kasar dengan serat
kasar (SK<18%). Konsentrat merupakan pakan yang mengandung serat kasar lebih
rendah dibandingkan dengan hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan
lemak yang relatif tinggi tetapi kandungan airnya relatif rendah. Pemberian
konsentrat pada domba meningkatkan produktivitas yang lebih baik dibandingkan
domba tanpa tambahan konsentrat (Munier et al., 2004). Saenab (2010) menyatakan
bahwa pemberian konsentrat pada domba sangat berpengaruh terhadap pertambahan
bobot badan. Konsentrat berfungsi untuk meningkatkan dan memperkaya nilai gizi
pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Rata-rata konsumsi konsentrat
domba adalah 580 g/ekor/hari.
Daging Domba
Daging domba/kambing adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari
kambing/domba yang sehat sewaktu dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995).
Lawrie (2003) menambahkan bahwa daging adalah organ-organ seperti hati, ginjal,
otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat daging. Otot hewan
berubah menjadi daging setelah pemotongan, yang disebabkan perubahan fungsi
fisiologisnya. Otot merupakan komponen utama penyusun daging dan sebagai
jaringan yang mempunyai struktur dan fungsi utama sebagai penggerak. Perbedaan
kandungan gizi daging dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, pakan, umur, jenis
ternak serta letak dan fungsi bagian tubuh ternak tersebut (Aberle et al., 2001).
Kondisi daging dapat dipengaruhi oleh umur ternak, aktivitas ternak semasa
hidupnya, makanan ternak dan bagian tubuh ternak tersebut. Daging domba yang
bermutu baik memiliki warna merah khas daging segar dengan serat yang halus,
lemak berwarna kuning dan dagingnya keras/elastis (Soeparno, 2005). Kandungan
protein daging domba adalah 18,7% dan daging sapi adalah 18,8%. Tingkat
keempukan daging dapat dipengaruhi oleh waktu pelayuan daging, pembekuan dan
metode pemasakan. Daging domba jantan lebih amis dan memiliki lemak yang
berwarna putih, padat, mudah mencair dan membeku kembali dengan warna sedikit
lebih gelap dibanding daging sapi (Vipond, 2004).
7
Vipond (2004) menyatakan bahwa daging domba dewasa memiliki serat yang
lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya. Daging domba dewasa memiliki
ciri-ciri jaringan sangat padat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi,
lemaknya terdapat di bawah kulit yaitu antara otot dan kulit serta sedikit berbau
prengus. Ciri-ciri fisik daging domba dapat menentukan kualitas daging tersebut.
Kualitas daging domba menurut (SNI, 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Daging Domba
Syarat
Syarat mutu
Mutu I
Cara Pengujian
Mutu II
Mutu III
Warna
Merah khas
daging segar
Merah khas
daging segar
Merah khas
daging segar
Organoleptik
Bau
Khas Daging
Segar
Khas daging
segar
Khas daging
segar
Organoleptik
Penampakan
Kering
Lembab
Basah
Organoleptik
Kekenyalan
Kenyal
Kurang kenyal
Lembek
Organoleptik
Kuman maks
(juta/gram)
0,5
0,5
0,5
SP-SMP-931975
pH
5,3-5,8
5,3-5,8
5,3-5,8
SP-SMP-31161982
Sumber : SNI 01-3948-1995
Otot Longisimus dorsi
Otot yang sangat penting dalam membentuk urat daging mata rusuk jika
dipotong dari area rusuk dan loin adalah otot Longgissimus dorsi. Otot Longgissimus
dorsi memanjang dari posterior daerah rusuk melalui loin dan berakhir di bagian
anterior dari ilium. Otot Longgissimus dorsi terbagi menjadi beberapa segmen
tergantung pada lokasi. Otot pada daerah lumbar disebut Longissimus dorsi et
lumbarum dan pada daerah thoraks disebut Longissimus thoracis. Otot Longgissimus
dorsi pada bagian serviks disebut Longissimus cervicis, Longissimus capitis,
Longissimus atlantis (Purbowati, 2006). Swatland (1994) menyatakan bahwa
penampang lintang Longisimus dorsi meluas kearah posterior rusuk. Area
Longgissimus dorsi diantara bagian seperempat depan dan seperempat belakang
8
karkas yaitu diantara rusuk ke 12 dan ke 13. Bagian rusuk ke 12 dan ke 13 sering
diuji untuk menaksir jumlah daging dari suatu karkas.
Otot Longgissimus dorsi tersusun dari banyak subunit otot yang masingmasing membantu fleksibilitas vetebra columm dan gerakan leher serta aktivitas
pernafasan (Swatland, 1994). Schilling (2010) menyatakan bahwa otot Longgissimus
dorsi terdiri dari subunit yang bertindak membantu fleksibilitas vertebral kolom. Otot
Longissimus thoracis et lumborum berperan dalam fleksibilitas otot ketika berjalan
dan berlari. Otot Longgissimus dorsi bagian loin mempunyai penampang lintang
yang hampir konstan. Luas area Longgissimus dorsi dapat digunakan sebagai
petunjuk perbedaan tingkat perototan karkas (Lawrie, 2003).
Kualitas Fisik Daging
Kualitas fisik daging menjadi penilaian awal dalam memilih daging. Warna
daging memberikan informasi kualitas daging pertamakali, ketika melihat daging
(Vipond, 2004). Soeparno (2005) menambahkan bahwa parameter spesifik kualitas
daging pada umumnya adalah warna daging, daya mengikat air oleh protein, pH
daging, susut masak serta keempukan.
Daya Mengikat Air (DMA)
Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan
dan daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang dan
drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga karena
mempengrauhi bobot daging. Tingkat daya mengikat air ditentukan oleh spesies,
genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan lama penyimpanan
(Honikel, 1998). Soeparno (2005) menyatakan
daya mengikat air oleh protein
daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Hertog-Meischke (2011)
menambahkan bahwa kemampuan daging untuk mengikat air dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti panjang sarkomer daging, banyaknya air yang hilang, daya
mengikat air miofibrilar, aktivitas ATPase miofibrilar, bentuk phosphorylase,
kelarutan protein dan konsentrasi protein yang hilang.
9
Lawrie (2003) menambahkan bahwa besarnya penurunan pH mempengaruhi
nilai DMA. Semakin tinggi pH akhir daging maka semakin sedikit penurunan DMA.
Daya mengikat air dipengaruhi oleh spesies, umur, fungsi dari otot, pakan,
transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan
sebelum dipotong dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005). Semakin tua umur
ternak dipotong, maka persentase lemak intramuskular akan semakin tinggi. Daging
dengan lemak intramuskular tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi
(Zein, 1991). Daya mengikat air paling rendah tercapai pada titik isoelektrik daging.
Titik isoelektrik miosin daging pada pH 5,4 dan aktin 4,7 (Aberle et al., 2001).
Nilai pH Daging
Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan
daging posmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging
karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa
simpan (Lukman et al., 2007). Nilai pH ternak akan berubah setelah dilakukan
pemotongan ternak. Perubahan nilai pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum
dilakukan pemotongan. Jumlah glikogen dalam ternak yang normal akan
mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi apabila glikogen dalam ternak
tidak cukup atau terlalu banyak akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas,
bahkan mendapatkan daging yang berkualitas jelek (Pearson, 1989). Penurunan nilai
pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot dan dapat
berhubungan terhadap produksi asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi
otot dalam bentuk ATP (Henckle et al., 2000).
Nilai pH daging akan turun bila terjadi akumulasi asam laktat akibat proses
glikolisis selama proses konversi otot menjadi daging pasca pemotongan (Gomez et
al.,1994). Nilai pH daging mempunyai pengaruh yang berarti pada kualitas daging
karena nilai pH daging berhubungan dengan warna, daya mengikat air, kesan jus
daging, keempukan dan susut masak. Nilai pH ultimat daging yang normal berkisar
5,4 - 5,8. Aberle et al. (2001) menyatakan laju penurunan pH daging secara umum
dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pola penurunan pH normal. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,4
sampai 5,6 - 5,7 dalam waktu 6-8jam setelah pemotongan dan mencapai pH
akhir sekitar 5,3 - 5,7.
10
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir 6,5 - 6,8. Sifat daging yang dihasilkan
lebih gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH turun relatif cepat sampai sampai berkisar 5,4 - 5,5 pada jam-jam
pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4 - 5,6. Sifat
daging yang dihasilkan menjadi pucat, lembek dan berair. Daging ini disebut
juga pale soft exudatif (PSE).
Keempukan
Keempukan merupakan penentu kualitas daging yang paling besar. Faktor
yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor
antemortem dan faktor postmortem (Lawrie, 2003). Faktor antemortem tersebut
meliputi genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis
kelamin, dan stress. Faktor-faktor postmortem yang mempengaruhi kualitas daging
diantaranya; metode chilling, refrigasi, pelayuan, dan pembekuan termasuk lama dan
temperatur penyimpanan, cara pengolahan atau pemasakan serta pemakaian zat
pengempuk daging. Keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam
spesies yang sama, potongan karkas, dan diantara otot, serta pada otot yang sama
(Soeparno, 2005).
Tekstur dan keempukan merupakan hal terpenting menurut konsumen.
Keempukan daging banyak ditentukan setidaknya oleh tiga komponen daging, yaitu
struktur miofibriliar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan
silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiceness daging (Soeparno, 2005). Suryati
et al. (2008) menyatakan bahwa daging sangat empuk apabila daya putus Warner
Blatzer (WB) < 3,30 kg/cm2, empuk (3,30 - 5,00 kg/cm2), agak empuk (5,00 - 6,71
kg/cm2), agak alot (6,71 - 8,42 kg/cm2), alot (8,42 - 10,12 kg/cm2), sangat alot
(>10,12 kg/cm2). Semakin tinggi nilai daya putus WB berarti semakin banyak gaya
yang diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter persegi, yang berarti
daging semakin alot atau tingkat keempukan semakin rendah.
Susut Masak
Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Beberapa
faktor yang memepengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot,
11
panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril ukuran dan berat sampel
daging dan penampang lintang daging (Lawrie, 2003). Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik dari pada daging dengan
susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan
lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah
jus dalam daging. Jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan
susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang
tinggi (Soeparno, 2005).
Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek.
Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot
terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya
umur ternak. Perbedaan jenis ternak juga mempengaruhi perbedaan susut masak.
Faktor lain yang mempengaruhi susut masak adalah berat potong dan perbedaan
deposisi lemak intramuskular marbling, karena lemak intramuskular marbling
menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan
(Soeparno, 2005).
Warna Daging
Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin dan tipe molekul dan status kimia mioglobin (Soeparno, 2005).
Faktor penentu warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur,
jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Bertambahnya
umur ternak, konsentrasi mioglobin makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak
konstan (Lawrie, 2003). Warna daging dapat diukur dengan notasi atau dimensi
warna “tristimulus”, yaitu : 1) hue = warna (misalnya merah, hijau dan biru); 2) nilai
= terang atau gelap; dan 3) kroma = jumlah atau intensitas warna. Warna daging
domba bervariasi antara merah terang hingga merah gelap (Gomez et al., 1995).
Mioglobin sebagai salah satu protein sarkoplasmik yang terbentuk dari suatu
rantai polipeptida tunggal terikat di sekeliling grup heme yang membawa oksigen.
Grup heme tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin. Proporsi relatif dan distribusi
ketiga pigmen daging adalah mioglobin reduksi ungu, oksimioglobin merah terang,
metmioglobin coklat yang akan menentukan intensitas warna daging (Soeparno,
2005). Munculnya warna merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan
12
oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin. Lawrie (2003) juga
menambahkan bahwa bentuk kimia yang paling penting pada daging yang belum
dimasak adalah oksimioglobin yang menggambarkan pigmen warna merah pada
daging.
13
Download