sk menteri keuangan (pak taukhid)

advertisement
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
464/KMK.01/2005 TENTANG
PEDOMAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN
DEPARTEMEN KEUANGAN (ROAD-MAP
DEPARTEMEN KEUANGAN) TAHUN
2005-2009.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
rangka
mencapai
performance
yang
diharapkan,
Menteri
Keuangan
memandang perlu menyusun suatu dokumen perencanaan departemen yang selanjutnya
disebut sebagai Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009. Road-Map Departemen
Keuangan disusun berdasarkan dokumen perencanaan pemerintah yaitu Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN).
Dengan
demikian
Road-Map
Departemen Keuangan merupakan bagian dari rencana pemerintah yang komprehensif dan
terintegrasi. Road-Map Departemen Keuangan lebih lanjut akan dijabarkan ke dalam suatu
Rencana Strategik (Renstra).
Sebagai dokumen perencanaan departemen, Road-Map merupakan strategi pada level
makro organisasi (organization-wide strategy) dan oleh karenanya bersifat lintas fungsi (cross
function). Road-Map menjadi dasar Menteri Keuangan --sebagai top-level manager Departemen
Keuangan-- dalam membuat kontrak kinerja (performance contract) atau komitmen kinerja
(performance commitment) dengan Direktur Jenderal/Kepala Badan sebagai business level
manager untuk mencapai kinerja prima (excellence performance).
Dalam pencapaian kinerja prima, tiap business level manager memerlukan suatu
strategi yang handal, yang di satu sisi fokus pada pemanfaatan sumber daya dan di sisi lain
terarah menuju sasaran dan target yang dicanangkan. Untuk menjamin tercapainya sasaran
dan target dimaksud secara optimum dan tepat waktu, visi dan misi Departemen Keuangan
harus menjadi anchor sekaligus landasan penyusunan strategi.
TUGAS DAN PERAN
Menteri Keuangan mengemban tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan
sebagian tugas pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara1. Dalam pelaksanaan
tugas tersebut, Menteri Keuangan berperan sebagai pengelola fiskal (keuangan dan kekayaan
negara) dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.2
Adapun tugas Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal3 adalah:
a. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan UU;
f.
melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN);
1
Keppres No. 35 Tahun 2004
Pasal 6 ayat (2) huruf a UU No.17 Tahun 2003
3
Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003
2
1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
g. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN; dan
h. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan
UU.
FUNGSI
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Menteri Keuangan melaksanakan fungsi-fungsi
sebagai berikut:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan kekayaan negara;
b. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang penerimaan negara yang berasal dari pajak,
bukan pajak, minyak, dan pungutan ekspor;
c. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang kepabeanan dan cukai;
d. Pembinaan dan koordinasi penyusunan Nota Keuangan, RAPBN serta pemantauan
dan pelaporan pelaksanaan APBN;
e. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang lembaga keuangan bukan bank, akuntansi,
dan jasa penilai;
f.
Pembinaan dan pelaksanaan di bidang perbendaharaan negara, akuntansi keuangan
pemerintah, dan pelaporan keuangan pemerintah;
g. Pembinaan dan pelaksanaan pengurusan piutang negara macet dan lelang;
h. Pembinaan dan pengawasan di bidang pasar modal;
i.
Pengkajian masalah-masalah ekonomi, keuangan, dan fiskal, serta kerjasama
keuangan internasional;
j.
Pembinaan dan pelaksanaan sistem informasi dan teknologi keuangan;
k. Pembinaan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka
mendukung kebijakan di bidang keuangan negara;
l.
Koordinasi
pelaksanaan
tugas
serta
pembinaan
dan
pemberian
dukungan
administrasi departemen; dan
m. Pelaksanaan pengawasan fungsional.
VISI
Sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Departemen Keuangan
memiliki visi, yaitu:
”menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara bertaraf internasional yang
dipercaya dan dibanggakan masyarakat, serta instrumen bagi proses transformasi
bangsa menuju masyarakat adil, makmur, dan berperadaban tinggi.”
2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MISI
Adapun misi Departemen Keuangan adalah:
Bidang Fiskal:
”Mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat dan berkelanjutan, serta mengelola
kekayaan dan utang negara secara hati-hati (prudent), bertanggungjawab, dan
transparan.”
Bidang Ekonomi:
”Mengatasi masalah ekonomi bangsa serta secara proaktif senantiasa mengambil
peran strategis dalam upaya membangun ekonomi bangsa, yang mampu
mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang dicita-citakan Konstitusi”.
Bidang Sosial dan Budaya:
”Mengembangkan masyarakat finansial yang berbudaya dan modern”.
Bidang Politik:
”Mendorong proses demokratisasi fiskal dan ekonomi”.
Bidang Kelembagaan:
”Senantiasa memperbaharui diri (self-reinventing) sesuai dengan aspirasi masyarakat
dan perkembangan mutakhir teknologi keuangan serta administrasi publik, serta
pembenahan dan pembangunan kelembagaan di bidang keuangan yang baik dan
kuat yang akan memberikan dukungan dan pedoman pelaksanaan yang rasional dan
adil, dengan didukung oleh pelaksana yang potensial dan mempunyai integritas yang
tinggi”.
TUJUAN
Guna mengaktualisasikan visi dan misi tersebut, Departemen Keuangan menetapkan
tujuan pencapaian organisasi sebagai berikut:
Tujuan 1:
Peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara.
Tujuan 2:
Efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara.
3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Tujuan 3:
Optimalisasi pengelolaan utang dan perumusan pembiayaan defisit.
Tujuan 4:
Pemantapan sistem penganggaran, kekayaan negara dan peningkatan akuntabilitas
keuangan negara.
Tujuan 5:
Peningkatan pelayanan piutang negara dan lelang.
Tujuan 6:
Penguatan dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarakat dan jaring
pengaman sektor keuangan.
SASARAN
Sasaran yang hendak dicapai adalah:
Sasaran 1:
Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan, reformasi kebijakan dan
administrasi kepabeanan dan cukai, dan reformasi kebijakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).
Sasaran 2:
Efisiensi pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi yang tepat sasaran, belanja
bantuan sosial yang langsung bermanfaat, koordinasi dan kebijakan desentralisasi
fiskal.
Sasaran 3:
Pengamanan penyerapan pinjaman luar negeri dan pengelolaan portofolio Surat
Utang Negara (SUN).
Sasaran 4:
Penerapan anggaran terpadu (unified budget), penyusunan belanja berbasis kinerja
(performance based budgeting), penerapan pendekatan pengeluaran jangka menengah
(Medium Term Expenditure Framework/MTEF), penerapan penganggaran berbasis
akrual (accrual based budgeting), pengamanan kekayaan negara, dan penerapan
Treasury Single Account (TSA).
4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Sasaran 5:
Reformasi pengurusan piutang negara dan lelang.
Sasaran 6:
Peningkatan pengawasan dan kepastian hukum, pengembangan infrastruktur pasar,
peningkatan peran dan kualitas pelaku, serta perluasan alternatif investasi dan
pembiayaan.
Sasaran 7:
Pengembangan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) dan infrastruktur pendukung
perlindungan nasabah dan peningkatan koordinasi antar instansi yang bertanggung
jawab di sektor keuangan.
TARGET 2009
Untuk mencapai visi Indonesia mandiri dan misi mewujudkan kesinambungan fiskal
dan pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance¸ diperlukan alat ukur sebagai suatu
indikator keberhasilan. Indikator tersebut selanjutnya dapat menggambarkan target yang
ingin dicapai Departemen Keuangan pada tahun 2009.
Adapun gambaran situasi kematangan fiskal yang diharapkan dapat tercipta pada
tahun 2009 adalah pada tingkat:
Pertama, pendapatan negara: Peningkatan penerimaan negara diarahkan pada
optimalisasi penerimaan perpajakan. Untuk itu, perbaikan sistem dan administrasi
perpajakan perlu terus diupayakan. Penerimaan pajak yang terus meningkat harus dapat
mendorong terus berkurangnya tax gap dan dicapainya rasio pajak (tax ratio) yang
ditargetkan, yakni 16% dari produk domestik bruto (PDB). Pencapaian target tersebut
merupakan indikator keberhasilan dalam mewujudkan kerangka dasar Indonesia mandiri
yang berarti bahwa Indonesia tidak lagi bergantung kepada sumber pembiayaan luar negeri.
Kedua, belanja negara: Alokasi anggaran untuk berbagai fungsi harus dirancang
sehingga menghasilkan komposisi anggaran belanja yang sehat. Efisiensi belanja negara
ditempuh melalui penghematan anggaran dengan cara penetapan belanja sesuai kebutuhan,
pengendalian belanja sesuai prioritas, dan penurunan subsidi secara bertahap terutama
mengurangi pemberian subsidi yang tidak langsung menyentuh kepentingan masyarakat
miskin.
Ketiga, pembiayaan: Utang, yang saat ini merupakan komponen terbesar untuk
menutupi defisit, yakni 48% dari PDB, di satu sisi diupayakan untuk terus dikurangi melalui
penciptaan sumber-sumber pembiayaan alternatif dan di sisi lain efektifitas dan efisiensi
pemanfaatannya perlu terus dikendalikan. Sejalan dengan itu, pemerintah memprioritaskan
pengurangan stok utang hingga mencapai kurang dari 31,8% dari PDB. Sementara itu,
5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan alternatif dan pengurangan stok utang
dimaksud diharapkan kondisi defisit APBN akan terus menurun bahkan mencapai kondisi
surplus sebesar 0,3 %.
Keempat,
akuntabilitas
pengelolaan
keuangan
negara:
Penerapan
prinsip
transparansi dalam pelaksanaan anggaran melalui penciptaan sistem pengelolaan keuangan
dan kekayaan negara yang modern dan mengacu pada standar yang berlaku internasional
(international best practices) diyakini akan merupakan faktor pendorong meningkatnya
kredibilitas pengelola keuangan negara. Kredibilitas tersebut dengan sendirinya memberikan
legitimasi akuntabilitas pengelolaan yang dilakukan. Sementara itu, Undang-undang bidang
Keuangan Negara yang menggariskan perlunya tata cara pelaksanaan anggaran yang sehat
dan transparan sejak penyiapan dokumen pelaksanaan anggaran, prosedur pengadaan
barang dan jasa, mekanisme pembayaran, hingga proses pencatatan transaksi keuangannya
yang didasarkan atas Standar Akuntansi Pemerintahan4 akan menjamin pencapaian suatu
sistem pelaporan keuangan yang dapat menghasilkan laporan keuangan pemerintah dengan
predikat Unqualified Opinion (WTP, Wajar Tanpa Pengecualian).
Kelima, optimalisasi pengembalian piutang Negara: Hak negara berupa piutang
kepada pihak lain harus dapat diperoleh kembali. Upaya penagihan atas piutang negara -termasuk yang macet-- harus terus dilakukan. Berbagai perangkat hukum dan perundangundangan seperti penyiapan Rancangan Undang-undang tentang Pengurusan Piutang
Negara beserta ketentuan derivasinya diarahkan untuk meningkatkan perbaikan sistem
administrasi piutang sehingga dapat diperoleh kepastian pengembalian piutang secara lebih
baik. Melalui upaya tersebut diharapkan recovery rate piutang negara macet akan dapat
ditingkatkan hingga 15%. Sedangkan pengembalian hak negara melalui mekanisme lelang
diharapkan dapat meningkat sebesar 10% per tahun.
Keenam, optimalisasi pembinaan dan pengawasan atas aktifitas pasar modal dan lembaga
keuangan non bank (LKNB): Pembinaan dan pengawasan terhadap aktifitas pasar modal
dan LKNB diarahkan pada terciptanya stabilitas dan pengembangan sektor keuangan.
Stabilitas
sektor
keuangan
diupayakan
melalui
pemberian
perlindungan nasabah,
peningkatan kepastian hukum, peningkatan peran dan kualitas pelaku pasar, dan
peningkatan koordinasi antarinstansi yang bertanggung jawab di sektor keuangan. Adapun
pengembangan sektor keuangan diupayakan melalui pengembangan infrastruktur pasar,
perluasan alternatif investasi dan pembiayaan, dan peningkatan koordinasi antarinstansi
yang bertanggung jawab di sektor keuangan. Terjaminnya stabilitas dan pengembangan
sektor keuangan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pasar
modal dan LKNB sebagai tempat untuk melakukan investasi dan memperoleh sumber
pembiayaan. Termasuk dalam target 2009 dari Road-Map Departemen Keuangan adalah
4
PP Nomor 24 Tahun 2005
6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selambat-lambatnya pada tahun 2007. Kehadiran
OJK sebagai lembaga yang independen diharapkan dapat lebih mengoptimalkan pembinaan
dan pengawasan aktivitas pasar modal dan LKNB.
Dari uraian tersebut di atas, ilustrasi hubungan antara tujuan, sasaran, dan target
Departemen Keuangan pada tahun 2009 dapat disajikan seperti pada Gambar I.1. di bawah
ini.
Gambar I.1
Tujuan, Sasaran, dan Target Departemen Keuangan Tahun 2009
7
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB II
KONDISI DAN PERMASALAHAN
Dalam upaya mewujudkan fiscal sustainability dan good governance sesuai visi dan misi
Departemen Keuangan, serta untuk merealisasikan pencapaian target kuantitatif kondisi
fiskal tahun 2009, Departemen Keuangan melakukan identifikasi permasalahan dan kendala
untuk memetakan hambatan yang dihadapi. Indentifikasi permasalahan dan kendala
dilakukan terhadap bidang-bidang yang menjadi fokus strategi dan kebijakan fiskal, yaitu (i)
pendapatan negara, (ii) belanja negara, (iii) pembiayaan anggaran, (iv) kekayaan negara, dan
(v) sistem pengelolaan keuangan negara.
PENDAPATAN NEGARA
Dari assessment
berbagai pihak, secara umum kemampuan Negara untuk
menghimpun pendapatan masih dapat ditingkatkan, terutama dari aspek perpajakan. Upaya
meningkatkan pendapatan negara baik dari pungutan pajak, bea dan cukai, serta dari
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga kini masih menghadapi berbagai
permasalahan maupun kendala.
Di bidang perpajakan, kendala yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen
Pajak), disamping rendahnya kesadaran Wajib Pajak (WP), adalah kurangnya akses
informasi terhadap transaksi keuangan yang dilakukan baik transaksi melalui lembaga
perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan lainnya. Rendahnya kesadaran WP
dapat diidentifikasi dari bentuk ketidakpatuhan WP, antara lain tidak mendaftarkan diri,
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), tidak secara jujur melaporkan kewajiban
perpajakannya, dan menunggak pembayaran pajak.
Kendala lain yang dihadapi terkait dengan upaya optimalisasi pendapatan negara
dari sumber perpajakan adalah belum terbentuknya Bank Data Nasional dan SIN (Single
Identification Number). Selama ini data transaksi keuangan dan non keuangan yang tersebar
pada Kementerian Negara/Lembaga dan lembaga lainnya belum diperoleh, dikelola, dan
dimanfaatkan secara maksimal. Sementara itu, pemanfaatan teknologi informasi berbasis
elektronik (e-system) untuk mendukung pelayanan dan pengawasan terhadap WP, seperti epayment, e-register, dan e-filling, juga penerapannya belum memadai.
Dalam upaya peningkatkan pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai dapat
diidentifikasi hal-hal berikut, yakni kurang memadainya perangkat peraturan perundangundangan yang ada dan kurang luasnya cakupan kewenangan yang dimiliki Direktorat
Jenderal Bea Dan Cukai (Ditjen Bea Dan Cukai) sehingga fungsi pengawasan tidak dapat
diselenggarakan secara optimal. Permasalahan dalam pelayanan dan pengawasan di bidang
8
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
kepabeanan dan cukai juga terkait dengan efektifitas sistem dan prosedur yang berbasis
teknologi informasi. Sementara itu, dalam perkembangan ke depan, peran Ditjen Bea Dan
Cukai akan ditambah dengan peran pemberian dukungan kepada industri (industrial
assistance), fasilitasi perdagangan (trade facilitation), dan perlindungan kepada masyarakat.
Dari aspek peraturan perundang-undangan diidentifikasi banyaknya hal teknis di
bidang kepabeanan dan cukai yang belum diatur atau sudah diatur namun tidak memadai.
Demikian pula dengan ketersediaan peraturan tentang penagihan dan sistem pertarifan
cukai yang optimal.
Adapun dari upaya peningkatan pendapatan PNBP diidentifikasi beberapa
permasalahan yang cukup mendasar yang dapat disimpulkan dalam satu statemen bahwa
pengelolaan PNBP masih belum memadai. Dengan demikian, Departemen Keuangan akan
terus mengupayakan penyempurnaan regulasi sehingga tersusun suatu sistem dan prosedur
mengenai pengelolaan pendapatan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang komprehensif dan terintegrasi.
BELANJA NEGARA
Kondisi struktur belanja negara saat ini sangat dependen terhadap faktor pembiayaan
luar negeri. Kondisi demikian sesungguhnya tidak sehat. Hal ini terlihat dari struktur belanja
negara dimana ruang gerak fiskal Pemerintah sangat terbatas. Belanja “wajib” yang harus
dialokasikan Pemerintah (non discretionary), meliputi antara lain belanja pegawai, subsidi,
dan pembayaran bunga utang. Besarnya belanja tersebut mengakibatkan alokasi untuk
belanja yang bersifat investasi menjadi sangat terbatas.
Dari identifikasi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, saat ini, fungsi
pengelolaan belanja negara menghadapi permasalahan terkait dengan tingkat penghematan,
efisiensi, dan ketepatan pada sasaran. Kendala lain terkait dengan komposisi belanja negara,
antara lain meliputi penetapan jumlah belanja (terutama belanja wajib/non discretionary)
masih banyak bersifat incremental dan belanja belum direncanakan secara terprogram untuk
kesinambungan pembangunan.
Sementara itu realisasi belanja negara erat kaitannya dengan pembiayaan, seperti
beban bunga dan denda yang terus meningkat seiring dengan kenaikan jumlah pokok utang
(termasuk penurunan nilai tukar), penundaan pelunasan pokok utang, dan kewajiban
pembayaran commitment fee yang cukup besar.
Di sisi belanja untuk subsidi pemerintah, kendala yang dihadapi beragam terkait
dengan kebijakan mengenai subsidi tersebut dan pelaksanaannya.
Kebijakan subsidi kepada masyarakat masih memerlukan perumusan kembali
berkenaan dengan sasaran, bentuk, dan besarannya. Sementara dalam hal pelaksanaan,
9
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
penyaluran subsidi juga banyak disalahgunakan serta subsidi diterima oleh pihak-pihak
yang tidak seharusnya menerima.
Sisi lain dari belanja adalah alokasi dana yang lebih bersifat transfer seperti
pengeluaran pemerintah daerah sehubungan otonomi seperti alokasi dana desentralisasi,
dana dekonsentrasi, dan dana untuk tugas pembantuan. Belanja dari alokasi tersebut masih
sering mengakibatkan duplikasi pada suatu obyek atau kegiatan tertentu. Duplikasi terjadi
akibat ketidakjelasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
PEMBIAYAAN ANGGARAN
Kondisi pembiayaan anggaran kita masih fokus pada pembiayaan defisit. Upaya
untuk menutup defisit anggaran saat ini, dengan menisbatkan pada rendahnya kemampuan
keuangan negara, sebagian besar dilakukan melalui sumber utang baru baik yang berasal
dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa utang
digunakan sebagai instrumen utama untuk mencukupi kebutuhan belanja dan menutup
defisit.
Sementara itu, pembiayaan anggaran baik yang berasal dari pinjaman luar negeri
maupun dalam negeri diidentifikasi menghadapi permasalahan antara lain menyangkut
besarnya beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang. Hal ini disebabkan
karena upaya peningkatan penerimaan negara tidak dapat dilakukan secara spontan dan
sumber-sumber dari divestasi BUMN sudah sangat terbatas, sedangkan penarikan utang
baru lebih mudah dilakukan meskipun beresiko tinggi.
Permasalahan
pembiayaan
anggaran
juga
muncul
karena
kurang
baiknya
perencanaan saat menentukan sumber dan bentuk utang, serta penggunaannya. Perencanaan
penarikan utang baru serta penggunaannya saat ini masih bersifat ad-hoc policy. Dalam
kaitannya dengan penarikan utang baru ternyata tidak semua utang dapat dicairkan karena
pemerintah tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetaokan lender. Hal ini menambah
beban inefisiensi pembiayaan anggaran.
Khusus mengenai pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) –yang seyogianya menjadi
instrumen pembiayaan anggaran dengan biaya rendah sebagai suatu alternatif— saat ini
masih
menghadapi
permasalahan
berupa
pengelolaan
portofolio.
Penyelenggaraan
pengelolaan portofolio SUN belum memadai, sementara daya dukung infrastruktur pasar
SUN juga belum optimal.
KEKAYAAN NEGARA
Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta
negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak
dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
10
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Kekayaan negara memiliki kedudukan strategis dalam mencerminkan potensi nilai yang
dimiliki oleh negara sehingga diperlukan pengelolaan yang baik serta antisipasi perubahan
nilai yang diakibatkan oleh kondisi pasar, lingkungan, dan perkembangan teknologi yang
sangat cepat. Kekayaan Negara meliputi Barang Milik Negara/Daerah, kekayaan potensial,
investasi pemerintah, dan kekayaan negara lainnya.
Kondisi pengurusan dan penguasaan barang milik negara saat ini masih tersebar di
berbagai kementerian negara/lembaga dan belum dilakukan pendataan dan pengelolaan
dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi pengamanan terhadap
kekayaan negara belum optimum. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus penyerobotan
terhadap tanah negara oleh masyarakat setempat penjarahan hutan (illegal logging),
penjarahan laut (illegal fishing), maupun berbagai kasus tanah dan bangunan yang idle (tidak
digunakan) sementara tidak jauh dari tempat tersebut atas nama pemerintah dilakukan
penyewaan tempat untuk gedung perkantoran.
Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan negara saat ini lebih dititikberatkan kepada
aspek finansialnya, sementara optimalisasi pemanfaatan (mengurangi idle assets) guna
mempertahankan nilai modal (capital value) kekayaan negara belum menjadi perhatian.
SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Prinsip pengelolaan Keuangan Negara terkait erat dengan ketentuan dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa
Presiden
memegang
kekuasaan
pengelolaan
keuangan
negara
yang
selanjutnya
menguasakan kekuasaannya selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan kepada Menteri Keuangan. Bermuara dari
kewenangan ini, Departemen Keuangan melaksanakan fungsi koordinasi dan pelaksanaan di
bidang sistem pengelolaan keuangan negara.
Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, diidentifikasi, terdapat beberapa permasalahan
dan kendala yang meliputi: (i) belum terjaminnya kesinambungan fiskal, (ii) sistem
penganggaran yang belum transparan dan akuntabel, (iii) sistem pelaksanaan anggaran yang
belum berjalan dengan baik, dan (iv) sistem penyusunan laporan keuangan yang belum
memadai.
Kebijakan fiskal Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memang sudah
diarahkan untuk melanjutkan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan
kesinambungan fiskal. Kesinambungan fiskal dapat dicapai melalui penurunan defisit secara
bertahap dan penurunan rasio stok utang pemerintah terhadap PDB. Penurunan defisit dan
penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang signifikan dan terencana dapat
memberikan kepercayaan dan kepastian akan kemampuan pengelolaan fiskal di masa
mendatang. Namun dalam pelaksanaannya, penurunan defisit masih belum dapat terjamin
11
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
demikian pula dengan rasio utang. Hal ini dikarenakan masih besarnya beban belanja
pemerintah, yang diantaranya meliputi subsidi dan bunga utang, sehingga mengakibatkan
ruang gerak pemerintah untuk pembangunan dan investasi menjadi lebih kecil.
Sejalan dengan pengelolaan kebijakan fiskal, mulai Tahun 2005, sistem penganggaran
yang diimplementasikan sudah diarahkan ke pola penganggaran berbasis kinerja, seiring
dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Dengan penggunaan pola penganggaran tersebut diharapkan prinsip-prinsip
transparansi dan good governance dapat mulai dilaksanakan dalam penyusunan anggaran.
Beberapa permasalahan dan kendala yang masih dapat diidentifikasi dari sistem
penganggaran antara lain masih terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pelaksanaan
anggaran, sebagai akibat dari baru dimulainya sistem penganggaran ini yang bersamaan
pula dengan pelaksanaan reorganisasi Departemen Keuangan yang memisahkan fungsifungsi penganggaran ke dalam beberapa unit eselon I seperti Badan Pengkajian Ekonomi,
Keuangan, Dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI), Direktorat Jenderal Anggaran Dan
Perimbangan Keuangan (DJAPK), dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBN).
Kendala lain terkait dengan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
anggaran berupa laporan keuangan yang dinilai masih kurang memadai. Hal tersebut
terlihat dari opini yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku pemeriksa
eksternal Pemerintah terhadap Perhitungan Anggaran Negara Tahun 2003, yakni “Tidak
dapat memberikan pendapat (disclaimer)”.
Pemicu opini BPK tersebut antara lain adalah belum tersedianya Standar Akuntansi
Pemerintahan dan belum dilaksanakan sistem akuntansi yang sudah ada secara penuh dan
menyeluruh. Hal ini dapat diidentifikasi dari fakta bahwa belum semua entitas dalam
lingkup Pemerintah Pusat melakukan rekonsiliasi seperti yang diwajibkan oleh sistem
tersebut.
12
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB III
STRATEGI
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 memuat sasaransasaran program ekonomi nasional yang hendak dicapai pada tahun 2009, yang antara lain
meliputi:
(i)
peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi 7,6%,
(ii)
pengurangan angka pengangguran menjadi 5,1%,
(iii)
pengurangan tingkat kemiskinan menjadi 8,2%,
(iv)
peningkatan daya saing, dan
(v)
peningkatan investasi.
Dalam upaya mencapai sasaran tersebut, terdapat beberapa tantangan, antara lain berupa:
ƒ
memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat atau
prakondisi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan;
ƒ
mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan sumber-sumber
pendorong pertumbuhan yang berimbang dan bertumpu pada peningkatan
investasi dan ekspor non-migas;
ƒ
meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang merupakan kunci utama untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan;
ƒ
meningkatkan partisipasi sektor swasta melalui kemitraan antara pemerintah dan
swasta untuk mengatasi kendala keterbatasan sumber daya pemerintah;
ƒ
menciptakan lapangan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan melalui strategi
dan kebijakan yang tepat dengan prioritas pada sektor-sektor yang mempunyai
dampak multiplikasi tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja; serta
ƒ
membangun landasan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan
memberikan prioritas lebih besar kepada sektor pendidikan dan kesehatan, serta
masalah perbaikan lingkungan.
Berdasarkan tantangan tersebut maka target ekonomi makro dan fiskal yang hendak
dicapai pada tahun 2009 secara ringkas dapat dilihat pada Tabel III.1 di bawah ini.
13
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Tabel III.1
Target Ekonomi Makro Dan Fiskal Tahun 2005-2009
No.
Indikator Ekonomi
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1.
Pertumbuhan Ekonomi
5,0
5,5
6,1
6,7
7,2
7,6
2.
Laju Inflasi
6,4
7,0
5,5
5,0
4,0
3,0
3.
Defisit APBN/PDB
-1,1
-0,7
-0,6
-0,3
-0,0
0,3
4.
Penerimaan Pajak/PDB
12,1
11,6
11,6
11,9
12,6
13,6
5.
Rasio Utang/PDB
53,9
48,0
43,9
39,5
35,4
31,8
6.
Rasio Utang LN/PDB
25,3
21,6
19,3
16,7
14,4
12,6
7.
Rasio Utang DN/PDB
28,6
26,3
24,6
22,8
21,0
19,2
FOKUS STRATEGI
Untuk mendukung pencapaian target-target makro ekonomi dan fiskal di atas,
Departemen Keuangan selaku pengelola fiskal telah mempersiapkan langkah-langkah
kebijakan fiskal yang akan ditempuh melalui 4 (empat) fokus strategi yaitu (1) pendapatan
negara, (2) belanja negara, (3) pembiayaan anggaran, dan (4) kekayaan negara. Kebijakankebijakan tersebut juga ditempuh dalam rangka mendukung proses konsolidasi fiskal untuk
mencapai kesinambungan fiskal. Uraian lebih lanjut tentang keempat fokus strategi tersebut
dapat dijelaskan sebagaimana tersebut di bawah ini.
1. Pendapatan Negara
Fokus strategi di bidang pendapatan negara diarahkan pada pencapaian 4 (empat)
target, yaitu (a) optimalisasi pendapatan negara, (b) peningkatan kualitas pelayanan kepada
masyarakat, (c) terwujudnya keadilan dan perlindungan masyarakat, serta (d) citra baik
Departemen Keuangan terkait dengan layanan publik dalam rangka peningkatan
pendapatan.
Pencapaian keempat target tersebut secara sinergis menjadi landasan kuat bagi
keseimbangan baru kapasitas fiskal Pemerintah yang sekaligus menunjukkan signifikansi
peningkatan dari keseimbangan awal.
Fokus strategi di bidang pendapatan negara pada prinsipnya diarahkan pada
peningkatan pendapatan negara. Strategi peningkatan pendapatan dilaksanakan dalam 3
(tiga) kebijakan. Pertama, peningkatan target pendapatan perpajakan secara terencana sesuai
kondisi perekonomian dengan memperhatikan kendala, potensi, dan coverage ratio yang ada.
Kedua, optimalisasi penerimaan dari bea dan cukai dengan melakukan pengkajian kelompok
14
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
industri dalam rangka optimalisasi dan harmonisasi sistem pentarifan. Ketiga, peningkatan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai perkembangan perekonomian dengan
melakukan perbaikan regulasi. Gambar III.1 menyajikan ilustrasi mengenai fokus strategi
dilihat dari berbagai perspektif terkait dengan pendapatan negara.
Gambar III.1
Dalam upaya meningkatkan penerimaan dari perpajakan dan peningkatan tax ratio
secara bertahap dibutuhkan langkah-langkah penyempurnaan kebijakan perpajakan,
modernisasi sistem administrasi perpajakan, pemanfaatan IT dalam rangka pembentukan
bank data secara nasional, dan upaya koordinasi dengan lembaga keuangan dan otoritas
moneter dalam rangka peningkatan kemampuan akses informasi atas transaksi keuangan
WP. Upaya tersebut diarahkan kepada perluasan basis pajak, optimalisasi pemungutan
perpajakan dari potensi pajak yang tersedia, dan penyempurnaan referensi perpajakan dalam
rangka pengawasan WP.
Penyempurnaan
kebijakan
perpajakan
pada
prinsipnya
diarahkan
untuk
meningkatkan kapasitas fiskal guna mendukung dan memperkuat sumber-sumber
pendanaan APBN tanpa mengabaikan peran pajak dalam mendorong investasi, memperkuat
daya saing, dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Upaya tersebut dilakukan melalui
penyempurnaan peraturan perpajakan terkait dalam rangka pengurangan distorsi pajak
dalam perekonomian dan mendorong peningkatan rasa keadilan masyarakat.
15
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Upaya penyempurnaan kebijakan juga mendesak diperlukan dalam rangka
peningkatan
penerimaan
dari
bea
dan
cukai
dengan
mempertimbangkan
faktor
keselarasan/harmonisasi dengan berbagai ketentuan lain yang berlaku, baik tingkat nasional
maupun yang berlaku secara internasional. Kebijakan dimaksud seperti terkait dengan
dukungan kepada perkembangan industri dalam negeri dan fasilitasi perdagangan melalui
pembebasan bea masuk untuk industri tertentu.
Demikian pula halnya dengan penyempurnaan regulasi terkait dengan upaya
peningkatan penerimaan PNBP, yang jenis penerimaannya sangat beragam. Penyempurnaan
kebijakan berkenaan dengan penetapan pay out ratio, misalnya –dengan tanpa mengabaikan
kondisi kesehatan dan kinerja BUMN-- sangat erat kaitannya dengan proporsi peningkatan
penerimaan PNBP dari laba BUMN (deviden). Hal yang sama diperlukan pula dalam rangka
peningkatan penerimaan dari sumber-sumber lain seperti peningkatan surplus Badan
Layanan Umum (BLU)5 yang disetorkan ke Kas Negara, jika dimungkinkan.
Penyempurnaan regulasi berkenaan dengan PNBP tidak hanya dilakukan terhadap
pola penetapan tarif dan pemberian insentif lainnya, tetapi juga dari sisi pengelolaan dan
pelaporan. Oleh karena itu, kebijakan berkenaan dengan pengembangan IT dan
penyempurnaan sistem administrasi mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, kebijakan operasional di bidang pendapatan
negara dilaksanakan dengan 2 (dua) cara yaitu, peningkatan kepatuhan dan peningkatan
pelayanan.
Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Pemungutan pajak dengan sistem self-assessment menuntut kesadaran yang tinggi dari
wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Strategi yang ditempuh guna
meningkatkan dan menjaga kepatuhan wajib pajak adalah:
(i) Peningkatan jumlah wajib pajak, yaitu melalui upaya pembentukan bank data dan
single indentification number (SIN), e-mapping & smart mapping, peningkatan
kerjasama/akses data dengan instansi lain, serta penyisiran wilayah-wilayah di
mana banyak terdapat anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai wajib
pajak;
(ii) Pengungkapan SPT wajib pajak tidak jujur atau tidak benar. Strategi ini
dilaksanakan untuk memastikan wajib pajak yang telah terdaftar memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan perpajakan; dan
5
Badan layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005)
16
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(iii) Peningkatan program penyuluhan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan
kesadaran
wajib
pajak,
memperluas,
dan
meningkatkan
pengetahuan pajak. Upaya penyuluhan pajak dilaksanakan dengan cara: (a)
penerapan pendidikan perpajakan kepada generasi muda, baik melalui jalur
pendidikan formal maupun non formal, (b) sosialisasi perpajakan kepada
masyarakat, dan (c) penyediaan hotline service bagi masyarakat untuk memperoleh
pengetahuan tentang perpajakan, serta (d) optimalisasi fungsi public relation juga
dilaksanakan untuk dapat meningkatkan citra positif aparatur pajak.
Peningkatan Pelayanan Pajak
Pelayanan yang baik kepada wajib pajak dilaksanakan agar wajib pajak dapat
menjalankan kewajiban perpajakannya dengan mudah. Strategi yang ditempuh dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, adalah:
(i) Peningkatan kualitas pelayanan administrasi.
Pelayanan administrasi meliputi pelayanan lengkap dan baik kepada wajib pajak
di tempat pelayanan terpadu serta penyederhanaan prosedur perpajakan dan
pemanfaatan teknologi informasi. Penyederhanaan prosedur perpajakan berupa
penyederhanaan program pelayanan restitusi dan penyederhanaan surat
pemberitahuan pajak. Sedangkan pemanfaatan teknologi informasi meliputi
pengembangan program on-line dalam pelaksanaan pajak dan penyempurnaan
program pelayanan hotline service.
(ii) Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak.
Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak dilaksanakan dengan pengembangan
risk analysis sebagai dasar pemeriksaan, pengembangan sistem administrasi
pemeriksaan pajak, dan pengembangan data matching sebagai basis electronic audit.
(iii) Perbaikan manajemen penyidikan pajak.
Perbaikan manajemen penyidikan pajak dilaksanakan dengan pengembangan
kegiatan intelijen sebagai dasar penyidikan, pengembangan kerjasama dengan
instansi penegak hukum lainnya, dan pengembangan sistem administrasi
penyidikan pajak.
(iv) Perbaikan manajemen penagihan pajak.
Upaya perbaikan tersebut adalah melalui pengembangan analisis umur
tunggakan dan kemampuan bayar, pengembangan sistem administrasi penagihan
pajak, dan pengembangan sistem informasi pendukung pelunasan tunggakan
pajak.
17
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Di bidang kepabeanan dan cukai, penyempurnaan administrasi dilakukan untuk
menjamin 3 (tiga) hal, yaitu: (a) kepastian penerimaan pendapatan negara yang berasal dari
pemungutan bea masuk dan cukai, (b) terlaksananya prakarsa fasilitasi perdagangan, dan (c)
keberhasilan pemberantasan penyelundupan dan undervaluation.
Pertama, kepastian penerimaan pendapatan negara: Untuk menjamin kepastian
penerimaan pendapatan negara dari bea masuk, upaya optimalisasi pendapatan dilakukan
melalui penyempurnaan administrasi dan optimalisasi penagihan tunggakan. Hal ini terkait
dengan adanya kecenderuangan penurunan pendapatan bea masuk sebagai konsekuensi
dari kebijakan pemerintah dalam mendukung liberalisasi perdagangan internasional melalui
penurunan tarif secara bertahap. Sedangkan untuk penerimaan negara dari pemungutan
cukai dilaksanakan melalui (a) peningkatan pengawasan atas peredaran produksi barang
kena cukai, (b) pemberantasan peredaran rokok polos, rokok yang dilekati pita cukai palsu,
dan rokok yang dilekati dengan pita cukai yang bukan haknya, (c) pengujian tingkat
kepatuhan melalui audit, dan (d) peningkatan pelayanan dalam rangka penyediaan dan
distribusi pita cukai.
Kedua, prakarsa fasilitasi perdagangan: Prakarsa fasilitasi perdagangan dimaksudkan
untuk menciptakan iklim perdagangan yang kondusif melalui sistem pelayanan kepabeanan
yang prima berbasis teknologi informasi. Iklim perdagangan yang kondusif dapat menarik
investor baik dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan dan mengembangkan
investasinya di bidang perdagangan. Iklim yang kondusif tersebut pada akhirnya akan dapat
mendorong peningkatan perdagangan internasional dan arus keluar masuk komoditas
perdagangan (ekspor dan impor).
ketiga, upaya pemberantasan penyelundupan dan undervaluation: Luasnya wilayah
perbatasan antar negara memberikan peluang terbukanya pintu masuk tidak resmi
komoditas perdagangan dalam upaya penghindaran terhadap pengenaan bea masuk. Di sisi
lain, ketersediaan personil, kantor pelayanan, sarana detektor, fasilitas patroli, dan sarana
dan prasarana lain dalam rangka pelayanan kepabeanan sangat terbatas. Hal ini
dimanfaatkan dengan baik oleh oknum penyelundup untuk melakukan illegal trading dan
undervaluation. Pencegahan penyelundupan baik dari illegal trading maupun undervaluation
dilakukan melalui upaya pembukaan tempat/kantor pelayanan bea dan cukai baru pada
titik-titik strategis di sepanjang perbatasan antar negara, pengadaan fasilitas patroli
kepabeanan beserta personil operatornya, perbaikan sistem dan prosedur dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
18
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
2. Belanja Negara
Fokus strategi belanja negara diarahkan pada peningkatan efektifitas dan efisiensi
belanja negara. Peningkatan efektifitas dan efisiensi dilakukan dalam rangka mencapai 5
(lima) target, yaitu: (a) efisiensi pengadaan barang dan jasa, (b) alokasi belanja yang tepat
sasaran, (c) alokasi belanja yang berkeadilan sosial, (d) peningkatan kualitas pelayanan, dan
(e) citra baik Departemen Keuangan dalam mengelola belanja negara.
Pencapaian kelima target tersebut dilakukan melalui mekanisme (i) penetapan
kebijakan belanja yang ekonomis, efisien, dan efektif, (ii) perencanaan dan alokasi anggaran
yang tepat sasaran dan adil, dan (iii) pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel.
Ilustrasi berkenaan dengan fokus strategi di bidang belanja negara tampak dalam Gambar
III.2.
Gambar III.2
Penetapan kebijakan belanja yang ekonomis, efektif, dan efisien
Anggaran belanja negara, sekalipun volumenya relatif kecil terhadap PDB, memiliki
pengaruh signifikan dalam perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, penyusunan
dan pelaksanaannya harus realistis dan memperhatikan aspek kemampuan dalam
menghimpun pendapatan. Untuk itu, penyelenggaraan riset yang unggul sangat diperlukan
dalam upaya menetapkan kebijakan belanja --yang efektif, ekonomis, dan efisien-- secara
tepat.
Fokus strategi kebijakan belanja yang research based menghendaki agar penyusunan
dan pelaksanaan anggaran dilakukan berdasarkan informasi --yang merupakan produk
19
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
riset— yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Fokus strategi yang mengarah pada
efisiensi pengadaan barang dan jasa dimaksudkan untuk mencapai target tingkat optimum
pemanfaatan sumber daya keuangan dalam membiayai kegiatan pemerintahan. Untuk itu
penerapan prioritas belanja dan efektifitas penggunaan sumber daya keuangan --melalui
penajaman prioritas alokasi-- merupakan faktor penting dalam pengendalian efisiensi
belanja.
Pencapaian efisiensi ini besar artinya bagi upaya perluasan jangkauan alokasi belanja
pemerintah
dalam
membiayai
keperluan
pemberian
layanan
publik.
Dengan
peningkatan/perluasan capaian target ini, upaya percepatan peningkatan pertumbuhan,
penguatan stabilitas perekonomian, serta peningkatan pemerataan pendapatan dapat
terdukung.
Pada aspek administrasi, upaya efisiensi belanja juga dilakukan melalui pemantapan
(establishment)
pelaksanaan
unifikasi
anggaran
(unified
budget),
penerapan
sistem
penganggaran berbasis kinerja (performance based budget), dan penerapan alokasi belanja
negara
dalam
kerangka
pengeluaran
jangka
menengah
(medium
term
expenditure
framework/MTEF).
Terkait dengan alokasi untuk belanja pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan
perimbangan
keuangan,
efisiensi
belanja
negara
diarahkan
untuk
mendukung
penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab sesuai dengan
pembagian tugas, kewenangan, dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Bertanggung jawab dalam pengertian bahwa penyerahan atau
pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah --yang selanjutnya diikuti dengan
pendanaannya (money follows function)-- harus dapat menjamin efisiensi alokasi belanja
dengan cara menghindarkan duplikasi pembiayaan dan perluasan penyelenggaraan layanan
publik sesuai bidang tugas masing-masing. Dengan demikian, pemerintah daerah diminta
untuk melakukan alokasi belanja secara sinergis dengan Pemerintah Pusat. Sinergis dalam
pengertian bahwa alokasi belanja pemerintah daerah dan alokasi belanja pemerintah pusat
harus saling mendukung dan tidak terjadi tumpang-tindih/duplikasi. Implementasi
kebijakan ini secara konsekuen akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti yang
dicita-citakan.
Adapun kebijakan berkenaan dengan efektifitas dan efisiensi belanja negara terkait
dengan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan ditempuh antara lain
melalui:
(i) pelaksanaan alokasi belanja daerah sesuai dengan pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah;
(ii) perumusan kebijakan alokasi dana perimbangan tahunan dan jangka menengah;
20
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(iii) penetapan alokasi dana perimbangan dan belanja daerah lainnya secara tepat
waktu;
(iv) perumusan karakteristik pendanaan kegiatan dan perumusan kriteria kegiatan
yang dapat didanai dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
(v) pemetaan pendanaan sektoral di daerah yang mengacu pada peraturan
perundang-undangan; dan
(vi) pelaksanaan koordinasi dalam rangka sinkronisasi kebijakan menyangkut alokasi
belanja yang berasal dari dana desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan.
Perencanaan dan alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil
Perencanaan dan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan prioritas program
pembangunan pemerintah yang mengacu kepada rencana kerja pemerintah (RKP), seperti
alokasi dana untuk fungsi pendidikan dan kesehatan. Perencanaan dan alokasi anggaran,
khususnya belanja pemerintah pusat, disusun dalam kerangka penyusunan penganggaran
terpadu (unified budget) secara konsisten.
Perencanaan dan alokasi anggaran diawali dengan penyusunan perhitungan dasar
anggaran (baseline budget) sesuai dengan kebutuhan belanja pemerintah pusat yang rasional.
Untuk itu, akurasi, kelengkapan, dan komprehensitas data dan model perencanaan dan
alokasi anggaran yang kredibel menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan
perencanaan dan alokasi anggaran secara tepat dan adil. Selanjutnya, dilakukan penyusunan
langkah-langkah kebijakan (policy measures) dengan memperhitungkan dampak fiskalnya
terhadap belanja Pemerintah Pusat secara keseluruhan, defisit, dan pembiayaan anggaran.
Adapun langkah-langkah dalam kaitannya dengan penajaman prioritas alokasi
anggaran yang tepat sasaran dan adil meliputi penetapan kebijakan:
(i)
perbaikan kesejahteraan aparatur negara dalam batas kemampuan keuangan
negara;
(ii)
peningkatan efisiensi belanja barang dan jasa;
(iii) pengurangan secara bertahap subsidi yang tidak langsung menyentuh
kepentingan rakyat miskin;
(iv) pengurangan beban bunga utang;
(v)
peningkatan belanja modal untuk infrastruktur;
(vi) peningkatan bantuan sosial yang langsung menyentuh kepentingan rakyat
miskin; dan
(vii) penyediaan dana cadangan umum untuk mengantisipasi perubahan asumsi
makro atau tidak tercapainya langkah-langkah kebijakan yang direncanakan.
21
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Khusus, terkait dengan mekanisme perhitungan dasar anggaran (baseline budget)
berkenaan dengan perencanaan dan alokasi anggaran untuk keperluan pemerintah daerah,
penajaman prioritas dilakukan melalui:
(i) pengembangan dan peningkatan kualitas database; dan
(ii) penetapan
besaran
alokasi
dengan
mempertimbangkan
besaran-besaran
pendapatan dalam negeri sesuai ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel
Pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan anggaran meliputi
penyiapan
dokumen
pelaksanaan
anggaran,
penyaluran
anggaran/pelaksanaan
pembayaran, pengelolaan kas/uang negara, dan pertanggungjawaban atas realisasi
anggaran. Sejalan dengan penerapan prinsip good governance, keseluruhan pelaksanaan
anggaran dimaksud diupayakan dilakukan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan fiskal (fiscal transparency).
Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan anggaran sesuai prinsip good governance,
Departemen
Keuangan
selaku
otoritas
pengelolaan
fiskal
menyusun
rumusan
kebijakan/peraturan dan petunjuk teknis berkenaan dengan pelaksanaan anggaran,
termasuk ketentuan-ketentuan tentang penyusunan dan penetapan dokumen pelaksanaan
anggaran, mekanisme pembayaran, sistem pengelolaan kas, dan sistem akuntansi transaksi
keuangannya.
Penyusunan
Pemerintah/Peraturan
rumusan
Presiden),
kebijakan
dan
petunjuk
dan/atau
teknis
peraturan
(Peraturan
(Peraturan
Menteri
Keuangan/Peraturan Direktur Jenderal) dilakukan sesuai Undang-undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Adapun untuk mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan kas negara secara akurat,
efisien, dan andal, Departemen Keuangan bertekad menerapkan mekanisme pengelolaan
rekening sesuai pola Treasury Single Account (TSA). Mekanisme yang sudah mulai
diujicobakan ini diharapkan sudah dapat efektif berlaku pada tahun 2009 mendatang.
Pengelolaan kas tersebut dilakukan dalam rangka efisiensi dengan prinsip pokok
“meminimalkan biaya” dan “memaksimalkan manfaat”, sebagai contoh efisiensi kas
berkenaan dengan pemanfaatan idle cash.
Sementara itu, untuk mewujudkan percepatan penyelesaian peningkatan kualitas
laporan keuangan pemerintah pusat secara tepat waktu, andal,
transparan, dan
komprehensif, Pemerintah (d.h.i. Departemen Keuangan) telah menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan6 yang selanjutnya menjadi standar
dalam penyusunan sistem akuntansi pemerintah pusat. Sistem akuntansi pemerintah pusat
6
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
22
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
dimaksud selanjutnya menjadi pedoman dalam proses akuntansi transaksi keuangan dalam
rangka APBN untuk menghasilkan suatu laporan keuangan pemerintah pusat yang
diperlukan
baik
dalam
mendukung
kebutuhan
pimpinan
Departemen
Keuangan
(management report) dalam pengambilan keputusan sepanjang tahun anggaran maupun
laporan keuangan7 tahunan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran
(accountability report) sesuai ketentuan undang-undang.
Laporan
keuangan
berbasis
harian
untuk
pertimbangan
pimpinan
dalam
pengambilan keputusan (management report) merupakan hasil pokok dari proses akuntansi
dalam sistem akuntansi pemerintah pusat. Laporan manajemen ini bersifat interim dan akan
dapat berubah setelah dilakukan verifikasi atas kebenaran (validitas) data transaksinya. Atas
laporan ini akan diterbitkan laporan penyesuaian setelah dilakukan berbagai perbaikan
sesuai hasil verifikasi akuntansi yang dapat disebut sebagai laporan akuntabilitas. Laporan
manajemen yang berbasis harian ini dapat diterbitkan secara harian, mingguan, bulanan,
semester, dan tahunan.
Sejalan dengan proses akuntansi di atas, secara khusus, lazimnya diterbitkan secara
bulanan, harus dikeluarkan laporan keuangan yang bersifat pernyataan (statement) dan
merupakan bagian dari pertanggungjawaban (accountability report) pelaksanaan anggaran.
Laporan ini, sesuai undang-undang, sekurang-kurangnya terdiri atas laporan realisasi
anggaran (LRA), laporan arus kas (LAK), dan catatan atas laporan keuangan (CaLK)8
tersebut.
Selain laporan-laporan intern Departemen, Departemen Keuangan selaku bendahara
umum
negara
(BUN)
juga
membuat
laporan
keuangan
tahunan
dalam
rangka
pertanggungjawaban pemerintah --yang terdiri atas laporan realisasi anggaran (LRA),
laporan arus kas (LAK), neraca keuangan pemerintah (Neraca), dan catatan atas laporan
keuangan (CaLK)-- yang dihimpun dari berbagai Kementerian Negara/Lembaga. Laporanlaporan yang dihasilkan dalam rangka pertanggungjawaban pemerintah ini diatur dalam
sistem akuntansi pemerintah yang berlaku baik untuk pengguna anggaran maupun BUN.
3. Pembiayaan Anggaran
Fokus strategi di bidang pembiayaan anggaran diarahkan pada pencapaian target 5
(lima) indikator menguatnya kemampuan pembiayaan pemerintah, yaitu: (a) penurunan stok
utang, (b) penggunaan utang secara selektif, (c) optimalisasi pemanfaatan hibah dan utang,
7
Laporan Keuangan terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan
Atas Laporan Keuangan, serta dilampiri dengan Ikhtisar laporan keuangan BUMN.
8
CaLK merupakan catatan atas laporan realisasi anggaran dan laporan arus kas dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari laporan keuangan tersebut.
23
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(d) terwujudnya rasa aman bagi masyarakat, dan (e) citra yang baik bagi Departemen
Keuangan.
Capaian tertinggi yang diharapkan dari arah fokus strategi pembiayaan adalah
mewujudkan rasa aman bagi masyarakat dalam bertransaksi keuangan. Kondisi tersebut
diyakini akan menaikkan citra Pemerintah (d.h.i. Departemen Keuangan) di mata publik.
Pembentukan citra dilakukan melalui kebijakan pembiayaan anggaran, perencanaan
pembiayaan, dan pengelolaan utang pemerintah. Fokus strategi pembiayaan anggaran
dilihat dari 4 (empat) perspektif Balanced Scorecard dapat dilihat pada Gambar III.3.
Gambar III.3
Kebijakan pembiayaan anggaran
Fokus strategi di bidang pembiayaan anggaran diarahkan pada peningkatan
ketahanan utang yang ditandai dengan tingkat likuiditas (liquidity), solvabilitas (solvability),
dan daya tahan (vulnerability) yang mantap. Sejalan dengan itu, orientasi kebijakan
pembiayaan adalah untuk menurunkan stok utang dan menciptakan sumber-sumber
pembiayaan alternatif guna menutup defisit anggaran yang terjadi. Dengan terciptanya
kondisi tersebut ketahanan utang yang berkelanjutan (debt sustainability) akan dapat
terwujud.
Kebijakan pokok penurunan stok utang dalam negeri dilakukan melalui pengelolaan
utang secara baik dengan kematangan perhitungan (sound and prudent debt management
policy). Langkah yang harus ditempuh adalah dengan pemenuhan kewajiban pembayaran
24
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
pokok dan bunga utang yang jatuh tempo dan pengaturan pembayaran kembali pokok dan
bunga utang. Pengaturan pembayaran kembali difokuskan pada pendistribusian beban
pembayaran utang pada suatu tahun ke tahun-tahun berikutnya dengan memperhatikan
kemampuan membayar.
Kebijakan pokok penurunan stok utang luar negeri dilakukan melalui upaya
pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo secara tepat
waktu, melakukan percepatan pembayaran kembali utang berbiaya tinggi dengan
memperhatikan kemampuan keuangan negara, peningkatan ketepatan waktu pencairan
pinjaman, pertukaran utang dengan program-program pembangunan (debt swap for
development), dan pengurangan pinjaman baru. Sejalan dengan upaya penciptaan alternatif
sumber pembiayaan dalam negeri, upaya pengurangan stok utang luar negeri diharapkan
dapat berjalan dengan baik.
Kebijakan pengurangan stok utang juga perlu ditekankan kepada jajaran pimpinan
pemerintahan daerah, agar daerah dapat mengendalikan dengan baik stok utang dan
kegiatan peminjamannya. Kebijakan terkait dengan pengurangan stok utang daerah dapat
dilakukan melalui penyiapan peraturan pemerintah untuk memberikan batasan dan/atau
peraturan lainnya yang dapat dijadikan panduan.
Khusus, terkait dengan strategi pengamanan pembiayaan daerah perlu dilakukan:
(i) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan ketentuan mengenai batas kumulatif
pinjaman daerah dan batas kumulatif defisit anggaran daerah9;
(ii) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pinjaman daerah, pelaksanaan penerusan
pinjaman luar negeri, dan penerbitan obligasi daerah; serta
(iii) penyusunan ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan pinjaman daerah dan
penerusan pinjaman luar negeri dan obligasi daerah.
Perencanaan pembiayaan anggaran
Perencanaan anggaran yang baik dan matang yang didasarkan atas informasi akurat
dapat memperkecil peluang terjadinya pembiayaan. Pembiayaan yang merupakan gap
antara pendapatan negara dan belanja negara dapat terjadi baik untuk yang bernilai defisit
maupun surplus. Pembiayaan defisit pada prinsipnya adalah upaya memperoleh sumber
dana untuk menutup defisit, sedangkan pembiayaan surplus dilakukan sebagai upaya
pemanfaatan saldo dalam rangka memperoleh nilai tambah ekonomi.
Fokus strategi pembiayaan hingga tahun 2009 mendatang masih diarahkan pada
upaya peningkatan kemampuan untuk menutup defisit hingga dicapainya kondisi surplus
9
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003.
25
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
yang diharapkan sebesar 0,3%. Dengan demikian perencanaan pembiayaan harus dilakukan
sebaik mungkin, terutama terkait dengan perencanaan kebutuhan dan pemilihan sumbersumber pembiayaan anggaran, agar terwujud pembiayaan anggaran yang realistis, akurat,
efisien dan sustainable.
Untuk itu kebijakan perencanaan pembiayaan harus dimulai dengan merencanakan
baseline estimate (estimasi dasar) sesuai dengan kebutuhan pembiayaan anggaran. Estimasi
dasar tersebut harus didukung oleh kualitas data yang akurat, lengkap, komprehensif dan
penggunaan model perencanaan pembiayaan anggaran yang kredibel.
Perencanaan pembiayaan anggaran juga dilaksanakan dengan merumuskan langkahlangkah kebijakan (policy measures) dan memperhitungkan dampak fiskalnya terhadap
defisit APBN dan pembiayaan anggaran di masa datang agar dapat mendukung
kesinambungan fiskal. Langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh meliputi:
(i) merumuskan komposisi pembiayaan anggaran, baik dari dalam maupun luar
negeri, dengan biaya terendah;
(ii) pengurangan pinjaman luar negeri khususnya pinjaman komersial secara
bertahap;
(iii) pengurangan privatisasi dan penjualan aset-aset program restrukturisasi
perbankan secara bertahap;
(iv) perumusan Debt Swap sebagai sumber pembiayaan alternatif; serta
(v) mengendalikan penggunaan rekening pemerintah pada Bank Indonesia.
Strategi pinjaman luar negeri pemerintah dilaksanakan dengan melakukan seleksi
terhadap proyek-proyek yang akan dibiayai pinjaman luar negeri dan sesuai dengan
prioritas pembangunan nasional. Proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri
diharapkan dapat menjadi pemacu bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri sehingga utang
dapat menjadi suatu pembiayaan yang menguntungkan. Sementara, pinjaman pemerintah
yang berasal dari dalam negeri dimaksudkan guna menutup defisit anggaran tahun berjalan
dan mengatasi kekurangan kas negara.
Strategi pinjaman dalam negeri pemerintah dilaksanakan dengan manajemen
portofolio SUN dengan tujuan untuk:
(i)
menurunkan refinancing risk;
(ii) memperpanjang rata-rata jatuh tempo,
(iii) menyeimbangkan struktur jatuh tempo sejalan dengan anggaran pemerintah
dan kapasitas penyerapan pasar;
(iv) mengembangkan dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder; dan
26
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(v) menurunkan stok utang dalam negeri dengan program buyback di pasar
sekunder.
Pengelolaan utang pemerintah
Kebijakan pengelolaan utang pemerintah diarahkan untuk meminimasi biaya dan
memaksimalkan manfaat utang. Strategi minimasi biaya ditempuh melalui upaya
peningkatan penyerapan pinjaman (loan disbursement). Peningkatan penyerapan pinjaman
dimaksudkan untuk menghindari biaya yang tidak perlu seperti commitment fee atau pun
tambahan biaya bunga. Seiring dengan upaya peningkatan penyerapan pinjaman, aspek
kesesuaian terhadap persyaratan pinjaman juga harus menjadi perhatian guna menghindari
penarikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (ineligible disbursement).
Strategi maksimasi manfaat utang ditempuh melalui peningkatan efektifitas
pelaksanaan program atau proyek yang dibiayai utang agar dapat diselesaikan sesuai
rencana dan tepat waktu. Efektifitas pelaksanaan program atau proyek yang dibiayai utang,
baik dari segi waktu maupun spesifikasi teknis, akan dapat memberi manfaat/kontribusi
langsung terhadap perekonomian nasional dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan. Dengan demikian, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan
pendanaan proyek yang dibiayai dengan pinjaman maupun hibah, serta pelaksanaan
replenishment oleh Executing Agency (EA) perlu ditingkatkan.
Selain strategi minimax (minimasi biaya dan maksimasi manfaat), pemerintah
memandang perlu untuk menerapkan strategi penatausahaan utang secara lebih baik.
Penatausahaan utang yang baik akan dapat meningkatkan daya saing untuk mengimbangi
dan menghadapi kecepatan arus informasi era global. Oleh karena itu perbaikan database
dan penggunaan teknologi informasi adalah kunci keberhasilan pengelolaan utang.
Wacana penatausahaan utang yang diperkenalkan oleh UNCTAD-UNDP melalui
program DMFAS (Debt Management Financial Analysis System) patut dipertimbangkan untuk
dimanfaatkan dan menjadi benchmark dalam membangun mekanisme penatausahaan utang
pemerintah. Hal ini penting, mengingat database utang sangat penting artinya bagi
perencanaan utang dan pembayarannya agar terhindar dari kemungkinan biaya yang tidak
perlu seperti tambahan biaya bunga atau bahkan denda.
Sementara itu, khusus terkait dengan pengelolaan portofolio SUN, perlu diupayakan
strategi pengelolaan portofolio SUN secara baik dan dengan kematangan perhitungan (sound
and prudent debt management) sesuai strategi pinjaman dalam negeri10. Sejalan dengan itu,
dapat ditempuh kebijakan:
10
Strategi pinjaman dalam negeri pemerintah dilaksanakan dengan manajemen portofolio SUN dengan tujuan
untuk (i) menurunkan refinancing risk; (ii) memperpanjang rata-rata jatuh tempo, (iii) menyeimbangkan struktur
jatuh tempo sejalan dengan anggaran pemerintah dan kapasitas penyerapan pasar; (iv) mengembangkan dan
27
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(i)
Pembayaran bunga dan pokok tepat waktu
Kebijakan ini dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan
utang.
(ii)
Penerbitkan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing
Kebijakan ini, selain memberikan pilihan investasi kepada pelaku pasar, dapat
pula membuka alternatif sumber pembiayaan baru di luar utang luar negeri.
Kendati demikian, pemberlakuan kebijakan ini perlu diawali dengan suatu kajian
mendalam terkait dengan komposisi, risiko baik biaya maupun akibat yang
ditimbulkannya, dan kemampuan membayar Pemerintah.
(iii) Pembelian kembali SUN (buy back)
Kebijakan pembelian kembali SUN (buy back) diarahkan membagi beban
pembayaran bunga dan pokok suatu tahun ke tahun berikutnya. Oleh karena itu
program buy back lebih bersifat perpanjangan tanggal jatuh tempo. Hal ini
diperlukan mengingat kemampuan anggaran pemerintah untuk membayar dan
penyerapan pasar untuk refinancing. Dengan demikian buy back ditujukan untuk
mengurangi jumlah SUN berjangka pendek (jatuh tempo 2005-2009). Program ini
diharapkan dapat memperkuat kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal
pemerintah (termasuk debt management).
(iv) Pertukaran SUN (debt switching)
Program perpanjangan jatuh tempo SUN dapat pula dijalankan melalui
mekanisme pertukaran (switching). Program ini menawarkan SUN jangka panjang
sebagai pengganti SUN jangka pendek melalui mekanisme pasar sehingga dapat
mengurangi refinancing risk.
(v)
Pengembangan instrumen SUN
Pengembangan instrumen SUN dapat dilakukan dengan menerbitkan SUN yang
dapat dijadikan benchmark dan likuid di pasar sekunder.
(vi) Peningkatan koordinasi dengan otoritas moneter
Koordinasi dengan otoritas moneter harus menjadi komitmen kebijakan dalam
rangka evaluasi berkala terhadap indikator makro ekonomi, pertukaran informasi
dan dialog, serta menyelaraskan program SUN dengan kebijakan moneter.
Pengelolaan penerusan pinjaman (on-lending) di masa mendatang harus merupakan
bagian integral dari pengelolaan utang. Kendati demikian, dalam rangka transparansi dan
meningkatkan likuiditas pasar sekunder; dan (v) menurunkan stok utang dalam negeri dengan program buyback
di pasar sekunder.
28
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
akuntabilitas pengelolaannya perlu diselenggarakan akuntansi penerusan pinjaman secara
khusus. Demikian pula dengan legal aspect berkenaan dengan penerusan pinjaman. Syaratsyarat, mekanisme, dan hak dan kewajiban terkait dengan pemberian dan/atau penyaluran
serta pengembalian pinjaman berkenaan dengan penerusan pinjaman perlu diatur secara
jelas.
4. Kekayaan Negara
Kekayaan negara merupakan potensi kekuatan yang dapat dipergunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, fokus strategi di
bidang kekayaan negara diarahkan pada optimalisasi pengelolaan dan penilaian kekayaan
negara.
Pengelolaan kekayaan negara harus dilakukan secara komprehensif dengan
memperhatikan prinsip-prinsip good governance, dalam melakukan perencanaan kebutuhan,
pelaksanaan pengadaan, penguasaan, penatausahaan, sampai dengan pertanggungjawaban.
Pengelolaan kekayaan negara seyogianya dilakukan oleh otoritas tertentu yang ditunjuk
untuk tugas tersebut. Hal ini sangat penting artinya untuk menciptakan kejelasan
akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara.
Gambar III.4
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
mengamanatkan kepada Menteri Keuangan untuk mengelola kekayaan negara mengandung
konsekuensi bahwa Menteri Keuangan bertanggung jawab atas manfaat yang dapat
29
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
diperoleh dan biaya yang timbul dari kekayaan negara yang dikelola. Dengan demikian,
akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara selanjutnya dapat diukur dari seberapa besar
manfaat yan diperoleh dari sejumlah biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, penilaian
kekayaan negara sangat penting artinya guna memperoleh data, “seberapa besar nilai aset yang
dimiliki pemerintah”. Hal ini akan berpengaruh dalam penentuan posisi Pemerintah Republik
Indonesia dalam rating guna mendongkrak tingkat kepercayaan pasar terhadap pemerintah.
Dari fokus strategi ini, diharapkan --melalui upaya optimalisasi pemanfaatan
kekayaan negara, baik secara sosial maupun ekonomis— citra Departemen Keuangan
sebagai pengelolaan kekayaan negara yang baik akan dapat terwujud. Untuk mencapai
sasaran dimaksud, lebih lanjut perlu diuraikan secara jelas pokok-pokok kebijakan, rencana
pemanfaatan, dan pelaksanaan pemanfaatan kekayaan negara yang seyogianya dilakukan
oleh otoritas pengelola kekayaan negara. Fokus strategi pengelolaan kekayaan negara dapat
dillustrasikan dalam Gambar III.4 di atas.
Kebijakan pengelolaan kekayaan negara
Sesuai KMK Nomor Kep. 225/MK/V/4/1971, yang dimaksud barang-barang
milik/kekayaan negara yaitu: “semua barang-barang milik negara/kekayaan negara yang
berasal/dibeli dengan dana yang bersumber untuk keseluruhannya atau sebagian dari
Anggaran Belanja Negara yang berada di bawah pengurusan atau penguasaan departemendepartemen, lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga pemerintah non departemen serta
unit-unit dalam lingkungannya yang terdapat baik di dalam maupun di luar negeri. Barangbarang ini tidak termasuk kekayaan negara yang telah dipisahkan (kekayaan perum dan
persero) dan barang-barang/kekayaan daerah otonom”.
Sebagaimana dikemukakan di atas, kekayaan negara mencerminkan potensi nilai
yang dimiliki pemerintah dan oleh karenanya menempati peran strategis dalam upaya
memperbaiki kondisi keuangan negara. Untuk itu, kekayaan negara harus dikelola dengan
baik dan dilakukan penilaian dengan memperhatikan kondisi pasar, lingkungan, dan
perkembangan teknologi yang sangat cepat.
Pengelolaan kekayaan negara pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai tujuan
meningkatkan daya guna kekayaan negara, sementara penilaian kekayaan negara ditujukan
untuk menentukan nilai ekonomi (existing value) serta nilai potensi (potential value) kekayaan
negara. Oleh karena itu, kebijakan pemanfaatan kekayaan negara harus diarahkan kepada
optimalisasi manfaat dan pengurangan biaya. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan dan
penilaian kekayaan negara sekurang-kurangnya fokus pada:
(i)
pemanfaatan kekayaan negara secara optimal,
(ii)
pengamanan kekayaan negara, dan
(iii)
efisiensi,
30
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(iv)
terhindarnya
penetapan
harga
di
bawah
standar
yang
berpotensi
menimbulkan kerugian negara,
(v)
akurasi nilai kekayaan negara,
(vi)
kemudahan dalam pengendalian,
(vii)
jaminan kepastian hukum.
Kebijakan di bidang pengelolaan kekayaan negara diarahkan untuk mensinergikan
pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara untuk kepentingan nasional. Dalam konteks
otonomi daerah, kebijakan di bidang pengelolaan kekayaan negara tidak dimaksudkan
sebagai campur tangan pemerintah pusat untuk menguasai kekayaan suatu daerah.
Pengelolaan kekayaan negara
Pengelolaan Kekayaan Negara baik yang dikelola pemerintah pusat, Pemerintah
Daerah dan BUMD, BUMN, dan Badan Hukum Milik Negara meliputi inventarisasi,
perolehan, pengamanan, penggunaan, pemanfaatan, penggunaan, pemindahtanganan, serta
penghapusan. Inventarisasi merupakan pencatatan seluruh kekayaan negara termasuk
pembukuan, penyusunan database, dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai informasi
dan bahan untuk penyusunan dan pengadaan kekayaan negara.
Perolehan/pengadaan barang milik/kekayaan negara dapat dilakukan dengan
perencanaan dan pengadaan, penerimaan hibah, atau kekayaan yang dikuasai negara sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai kebijakan umum pemerintah,
pengadaan
barang
mengutamakan
barang
produksi
dalam
negeri
dengan
mempertimbangkan aspek kebutuhan, harga yang wajar, dan kualitas yang baik.
Selanjutnya, pengamanan kekayaan negara meliputi kegiatan pengamanan secara
administratif, hukum, dan fisik, sehingga keberadaannya dalam keadaan utuh, tidak rusak,
tidak hilang, dan dapat dipergunakan serta dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu upaya
pengamanan kekayaan negara dilaksanakan dengan melakukan sertifikasi nasional atas
tanah dan bangunan milik negara.
Penggunaan kekayaan negara merupakan kegiatan pendayagunaan kekayaan negara
untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Penggunaan kekayaan negara secara maksimal diharapkan dapat mengurangi adanya aset
yang menganggur (idle asset). Sedangkan pemanfaatan kekayaan negara merupakan
pendayagunaan barang milik/ kekayaan negara oleh pihak lain dalam bentuk penyewaan,
peminjaman, dan bangun guna serah (BOT = Built, Operate, and Transfer) dengan
mempertimbangkan nilai tambah ekonomis bagi negara.
Kemudian, pemindahtanganan barang milik kekayaan negara yang dilakukan baik
dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, disertakan sebagai modal Pemerintah sesuai
dengan nilai ekonomis yang optimal. Pemindahtangan tersebut dilaksanakan dengan
memperhatikan baik nilai riil (existing value) maupun nilai potensial (potential value), sehingga
31
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
kemungkinan timbulnya kerugian negara (potential loss) yang disebabkan hilangnya
kekayaan negara yang tidak dapat diukur dapat dihindarkan.
Penghapusan merupakan kegiatan penghapusan kekayaan negara dari daftar
inventaris dengan mempertimbangkan aspek ekonomis maupun non-ekonomis atas
pengelolaan
barang
milik/kekayaan
negara
tersebut.
Pelaksanaan
penghapusan
dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga kerugian negara dapat dihindarkan.
Penilaian kekayaan negara
Untuk memperjelas
Pelaksanaan pengelolaan dan penilaian kekayaan negara
dimaksudkan untuk memperoleh estimasi/perkiraan nilai suatu barang milik kekayaan
negara. Dengan adanya penilaian ini, maka kekayaan negara yang sudah terukur nilai
nominalnya dan terbukti keberadaannya akan diserap dalam laporan keuangan khususnya
neraca keuangan pemerintah. Dengan demikian, penilaian kekayaan negara merupakan
langkah awal dari usaha pengelolaan aset/harta kekayaan negara menuju tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Kegiatan penilaian ditujukan untuk melakukan estimasi dan memprediksi nilai dari
sesuatu barang dengan tujuan mendapatkan perkiraan nilainya. Penilaian kekayaan negara
merupakan langkah awal dari usaha pengelolaan aset/harta kekayaan negara, yang
merupakan salah satu langkah menuju kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan
adanya penilaian ini, maka kekayaan negara yang sudah terukur nilai nominalnya dan
terbukti keberadaannya akan diserap dalam laporan neraca keuangan pemerintah.
Kegiatan penilaian yang diperlukan dalam rangka pengelolaan kekayaan negara
meliputi inventarisasi, pemindahtanganan, dan jenis pengelolaan harta kekayaan negara
yang lain yang harus didasarkan atas kondisi nilai terkini dari harta yang bersangkutan.
HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Sejalan dengan maksud Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18A ayat (2) pelaksanaan
otonomi daerah mulai digulirkan pada tahun 2001 lalu dan membawa konsekuensi
penyerahan beberapa kewenangan kepada Pemerintah Daerah yang memiliki hak dan
kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
kepada masyarakat11. Penyerahan wewenang tersebut harus pula diikuti oleh pendanaannya
sesuai dengan prinsip money follows function. Pendanaan dimaksud, yang secara langsung
akan berdampak pada kondisi fiskal pemerintah dalam bentuk dana desentralisasi, dana
11
Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali uruhan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, monieter dan fiscal nasional, dan agama (Pasal 10 UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
32
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, sudah dipaparkan dalam fokus strategi
reformasi di bidang belanja negara.
Pendanaan yang terkait dengan pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi
pendanaan langsung kepada Daerah12 dan pendanaan tidak langsung. Selain pendanaan
secara langsung kepada Daerah seperti dana desentrasilasi, dana dekonsentrasi, dan dana
tugas pembantuan, Departemen Keuangan juga melaksanakan kewenangan dalam kaitannya
dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang meliputi antara lain evaluasi pajak
daerah, penetapan pinjaman daerah, dan pembangunan sistem informasi keuangan daerah.
Pelaksanaan kewenangan tersebut memiliki tujuan agar terwujudnya hubungan yang
harmonis
antara
Pemerintah
Pusat
dan
daerah
untuk
mendukung
pencapaian
kesinambungan fiskal sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dalam pencapaian tujuan
tersebut, hal pertama yang harus dilaksanakan adalah mengkaji ekonomi dan keuangan
dalam kaitannya dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengkajian tersebut
meliputi pemisahan secara jelas kewenangan antara Pusat dan Daerah, pengkajian kebijakan
di bidang pemberdayaan keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), lembaga keuangan
daerah, dan perusahaan daerah untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah, serta
pengkajian kebijakan di bidang pendanaan pengembangan ekonomi kawasan tertentu.
Selain itu, kewenangan di bidang hubungan pusat dan daerah juga mencakup
mengenai evaluasi dan pengawasan terhadap peraturan daerah atas pajak dan retribusi
daerah. Pengawasan ini dimaksudkan tidak hanya agar daerah dapat lebih optimal dalam
penggalian pendapatan asli daerah, tetapi juga agar pajak yang dipungut daerah dapat
sinkron dengan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga tidak membebankan
masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya.
Selanjutnya, sesuai dengan amanat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
jumlah maksimal kumulatif rasio besaran defisit APBN dan APBD sebesar 3% terhadap PDB
dan rasio pinjaman sebesar 60% terhadap PDB. Berkaitan dengan besaran defisit,
Departemen Keuangan selaku pengelola fiskal memiliki kewajiban untuk mengendalikan
defisit, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk Pemerintah Daerah, akan
dilakukan perumusan kebijakan penataan keuangan daerah dan pengendalian defisit
anggaran daerah, serta perumusan kebijakan, bantuan teknis, pemantauan dan evaluasi
kemampuan keuangan daerah. Untuk mendukung pencapaian hal tersebut, akan dilakukan
penyusunan profil kemampuan keuangan daerah.
Dalam kaitannya dengan pinjaman daerah, sasaran yang akan dicapai adalah
terwujudnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pinjaman dan obligasi daerah yang
12
Pendanaan yang secara langsung berdampak pada kondisi fiskal pemerintah berbentuk dana desentralisasi,
dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan. Pembahasan mengenai strategi dipaparkan pada fokus strategi
reformasi di bidang belanja negara.
33
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
efektif dan efisien serta terciptanya redefinisi perencanaan dan pemanfaatan pinjaman untuk
daerah dalam kontribusi terhadap pembangunan nasional. Untuk mencapai hal tersebut,
akan dilakukan pengukuran dan analisis potensi daerah dalam kaitannya dengan
perekonomian dan kemampuan membayar kembali pinjaman dan sumber-sumber
pembiayaannya, serta fasilitasi dan pemberian bimbingan teknis terhadap pinjaman daerah
dan obligasi daerah dalam kerangka pengendalian jumlah kumulatif pinjaman.
Pemantauan terhadap pajak daerah, defisit daerah dan pinjaman daerah harus
ditopang oleh sistem informasi keuangan daerah yang transparan, akurat, relevan, tepat
waktu, dapat diperbandingkan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai hal
tersebut, langkah pertama adalah penerapan prinsip-prinsip penganggaran (seperti
penganggaran berbasis kinerja, unifikasi anggaran, dan pengklasifikasian belanja mengacu
pada praktek terbaik internasional), pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban
(seperti penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan). Selanjutnya, dilakukan langkahlangkah untuk mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut, seperti penyempurnaan format
APBD dan penyajian dan penyusunan laporan keuangan. Hal ini merupakan syarat bagi
terselenggaranya konsolidasi antara informasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Penyempurnaan format-format tersebut selanjutnya difasilitasi dengan pengembangan
aplikasi pelaporan informasi keuangan daerah.
KERJASAMA INTERNASIONAL
Kerjasama Internasional dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi
dan keuangan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, regional, multilateral, dan
bilateral. Untuk mencapai hal tersebut, strategi yang dilakukan Departemen Keuangan
adalah pengkajian dan pemantauan (surveillance) perkembangan ekonomi dan keuangan
internasional serta peran pemerintah dalam forum ekonomi internasional. Selanjutnya,
dilakukan pengkoordinasian, pemantauan, dan perumusan kebijakan kerjasama ekonomi
dan keuangan internasional agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif serta dapat
mendukung kebijakan fiskal.
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
Sebagai potensi, sumber daya yang terbatas harus dikelola secara efektif, terencana,
dan sinergis. Bagi organisator yang sukses, pengelolaan sumber daya --baik manusia,
informasi, maupun organisasi-- merupakan kegiatan yang menantang dan tiada akhir. Oleh
karena itu kreatifitas dalam mengelola sumber daya dipandang sebagai tantangan untuk
maju dan berkembang secara terus-menerus (learning growth perspective). Kreatifitas tinggi
dalam mengelola sumber daya merupakan energi besar bagi sukses sebuah organisasi.
34
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Berikut ini fokus strategi Departemen Keuangan dalam mengelola sumber daya, baik
sumber daya manusia, sumber daya informasi, maupun sumber daya organisasi dari sudut
pandang proses pembelajaran dan pertumbuhan (learning growth perspective).
1. Sumber Daya Manusia
Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai sangat
dipengaruhi oleh modal sumber daya manusia (human capital) yang dimiliki. Human capital
merupakan perpaduan dari commitment, commpetence, character, dan courage yang dimiliki
oleh setiap pegawai. Keberhasilan pencapaian kinerja tidak hanya ditentukan oleh
penguasaaan pengetahuan yang mendalam (hardskill atau hard competence), tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh sikap perilaku yang dimiliki pegawai dalam menghadapi pekerjaan
(softskill). Karena itu, pengembangan pegawai agar menjadi modal sumber daya menjadi
salah satu bagian penting dalam pengelolaan organisasi yang diwujudkan dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan pegawai.
Dalam konteks perubahan, pegawai merupakan faktor utama dan penentu yang
menjadi subyek pelaku perubahan (agent of change) sekaligus sebagai obyek (sumber daya)
yang harus dikelola secara benar, terencana, dan komprehensif. Oleh karena itu, dalam RoadMap Departemen Keuangan Tahun 2005-2009, faktor manusia tidak saja dituntut untuk
memproses perubahan, tetapi juga harus dapat turut berproses dalam perubahan.
Tuntutan untuk memproses perubahan dapat dimengerti sebagai faktor dinamis yang
harus memberi efek pengubah dari satu kondisi (old status) ke kondisi lain (new status) yang
direncanakan. Sebagai contoh, posisi tax-ratio sebesar 11% pada tahun 20005 merupakan
salah satu penilaian posisi Departemen Keuangan. Dengan keberadaan pegawai sebagai
salah satu faktor pengubah, diharapkan posisi tax-ratio pada Tahun 2009 dapat diubah atau
ditingkatkan dengan menghasilkan suatu keseimbangan baru, misalnya menjadi sebesar
16%.
Adapun tuntutan untuk berproses dalam perubahan mengandung pengertian bahwa
pegawai itu sendiri, sebagai sumber daya, harus diperhitungkan perubahannya dari posisi
pada tahun 2005 ke posisi tahun 2009 untuk dapat mencapai target posisi tax-ratio sebesar
16% tersebut. Misalnya, perlu penambahan pegawai dan perlu pengembangan kualitas,
kapasitas, dan loyalitas pegawai.
Target tax ratio di atas menghendaki pegawai untuk bekerja keras meningkatkan
jumlah wajib pajak, dengan angka peningkatan yang jauh melampaui angka perkembangan
populasi penduduk yang ada. Dengan demikian, kebutuhan yang perlu dikelola berkenaan
dengan faktor pegawai berupa peningkatan ketrampilan dan keahlian dalam menjaring
35
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
subyek pajak dan penambahan jumlah aparatur untuk dapat dipekerjakan menangani
administrasi perpajakan di berbagai sentra wajib pajak yang harus dilayani.
Menyikapi perubahan sebagai sesuatu yang tiada pernah berhenti (change is eternal),
kita perlu menyiapkan faktor-faktor penyanggah agar proses perubahan tidak bergerak ke
posisi menurun (declining). Faktor penyanggah berperan sebagai stabilisator gerakan
perubahan ke arah puncak secara terencana dan terus-menerus.
Faktor penyanggah sumber daya manusia (SDM) yang penting dalam proses
perubahan tersebut adalah revitalisasi dan regenerasi. Revitalisasi dapat dipahami sebagai
proses pengelolaan sumber daya yang ada agar selalu dalam kondisi fit dan produktif. Proses
ini diarahkan pada peningkatan produktifitas dan perpanjangan usia produktif. Sementara,
regenerasi merupakan proses membentuk kader atau kaderisasi yang dapat meneruskan dan
mengembangkan
proses
produksi
dan/atau
pelaksanaan
kegiatan
di
lingkungan
Departemen Keuangan. Regenerasi dapat berarti menjaga kesinambungan kualitas populasi.
Regenerasi juga bermakna
sebagai proses meningkatkan dan mengembangkan jumlah
populasi. Kedua faktor penyanggah ini harus menjadi bagian dari rencana kerja seluruh unit
organisasi di lingkungan Departemen Keuangan.
Pertumbuhan SDM yang proporsional dengan tuntutan kebutuhan Departemen
Keuangan harus dapat dijaga kelangsungannya. Untuk menjaga stabilitas pertumbuhan
tersebut, baik proses revitalisasi maupun regenerasi harus dilaksanakan secara terusmenerus dan konsisten. Proses revitaliasi dapat ditempuh melalui peningkatan motivasi,
peningkatan kemampuan adaptasi terhadap perkembangan, pelatihan, peningkatan jenjang
pendidikan, dan pemberian
reward and punishment. Sedangkan proses regenerasi dapat
dilakukan melalui penerimaan pegawai baru (recruitment) dan peningkatan jumlah pegawai
dalam kelas/tingkatan tertentu.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan human capital meliputi
kegiatan identifikasi jenis pekerjaan strategis yang ada, mendefinisikan profil kompetensi
yang harus dimiliki SDM, membuat assessment atas kompetensi SDM yang ada, dan
membangun program pengembangan SDM (human capital development) yang dapat meliputi
rekruitmen, pelatihan, penyusunan sistem remunerasi yang diperlukan, dan penilaian
kesiapan organisasi.
Model pengembangan SDM di lingkungan Departemen Keuangan disajikan dalam
bentuk ilustrasi, tampak pada Gambar III.5 di bawah ini.
36
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Gambar III.5
Model Pengembangan SDM Departemen Keuangan
Dalam posisinya yang sangat menentukan sebagai agent of change, SDM dituntut
memiliki kemampuan yang memadai, baik dari segi ilmu pengetahuan (basic competence),
keterampilan dan keahlian (value of competence), maupun profesionalitas (code of conduct).
Faktor kemampuan tersebut dibutuhkan di setiap bidang tugas guna mendukung
terwujudnya peran institusional Departemen Keuangan sebagai Pengelola Keuangan dan
Kekayaan Negara serta tercapainya tujuan instruksional Departemen Keuangan. Oleh karena
itu, untuk pencapaian tujuan organisasi pada tingkat optimum, tuntutan terhadap faktor
kemampuan SDM menyangkut ketiga hal tersebut (kemampuan, keterampilan dan keahlian,
serta profesionalitas) perlu dijawab dengan proses penyiapan SDM secara baik dan
profesional. Langkah yang perlu dilakukan terkait dengan faktor kemampuan dimaksud
adalah menyandingkan peta kompetensi SDM yang ada dengan kebutuhan yang diinginkan.
Dengan demikian perlu proses kalkulasi (assessment) kompetensi secara benar.
Memperhatikan kebutuhan SDM unggul dengan spesifikasi dan diversifikasi
kompetensinya, diyakini bahwa perencanaan SDM yang baik sejak pengadaan, pembinaan,
pengembangan, serta penajaman keahlian merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu
pelaksanaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan seimbang tidak saja dengan
tuntutan kebutuhannya, tetapi juga dengan faktor-faktor yang dapat memotivasi SDM untuk
menunjukkan kinerja sesuai yang diharapkan. Dengan kedudukan tersebut, SDM menempati
posisi sentral di antara 4 (empat) aspek penting lainnya dalam Road-Map Departemen
Keuangan Tahun 2005-2009, yakni Aspek Hukum, Aspek Organisasi, Aspek Sistem dan
Prosedur, dan Aspek Sarana dan Prasarana.
Upaya memahami posisi SDM saat ini --baik dari segi kuantitas, kualitas, ragam
kompetensi maupun penyebarannya-- sangat penting dalam mempersiapkan kelangsungan
37
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
proses perencanaan dan pertumbuhan SDM yang diinginkan untuk kurun waktu tertentu di
masa datang, seiring dengan tuntutan kebutuhan pencapaian tujuan organisasi. Dengan
mengetahui posisi tersebut kita dapat mengukur kemampuan serta menjadikan posisi
tersebut sebagai barometer dalam penetapan target pencapaian tiap-tiap sasaran yang
membutuhkan dukungan SDM.
Peta pencapaian sasaran akan dengan sendirinya menunjukkan apa dan berapa
kekuatan SDM yang dibutuhkan dalam kurun tertentu dan bagaimana pertumbuhan yang
diharapkan terjadi. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan SDM terkait dengan jumlah dan
komposisi turut pula menentukan langkah pengelolaan yang harus dilakukan selama kurun
waktu lima tahun ke depan. Kejelasan tersebut --di sisi lain-- membantu dan memungkinkan
kita dapat memanfaatkan SDM yang ada secara optimal --dengan tingkat efektifitas dan
efisiensi yang tinggi-- dan terkendali. Dengan demikian, proses pertumbuhan SDM dapat
berjalan secara terencana dan terukur. Dengan demikian, selanjutnya dapat ditetapkan
pilihan strategi dan kebijakan pengelolaan SDM yang relevan dengan rencana perjalanan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Pertumbuhan SDM sebagaimana disebutkan merupakan bagian dari investasi
penting dalam rangka capacity building. Pertumbuhan yang terus-menerus berproses dalam
Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 dipandang sebagai proses pembelajaran
yang panjang (learning growth perspective).
2. Sumber Daya Informasi
Pengelolaan sumber daya informasi difokuskan pada upaya penyelenggaraan
fasilitasi pemberian informasi kepada masyarakat mengenai kebijakan pemerintah terkait
dengan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan. Hal tersebut
dilaksanakan sebagai bentuk dukungan terhadap penyelenggaraan good governance
khususnya terkait dengan penyelenggaraan transparansi fiskal. Upaya ini dilakukan melalui
pengembangan sistem pengolahan data berbasis teknologi informasi (Information Technology).
Pengembangan sistem dan teknologi informasi dalam tahun 2005 – 2009 dilakukan
atas dasar suatu kebijakan ditetapkan Departemen Keuangan sebagai kebijakan pemanfaatan
teknologi informasi (IT Policy). Selanjutnya IT Policy akan dijabarkan dalam Rencana
Pengembangan Sistem dan Teknologi Informasi (IT Plan) Departemen Keuangan. Untuk
menjamin konsistensi dan integritas selanjutnya disusun suatu IT Standard sebagai pedoman
dalam menyusun strategi di bidang arsitektur data dan teknologi.
Selanjutnya, berdasarkan IT Policy, IT Plan, dan IT Standard unit eselon I dapat
menyusun IT Strategy, yaitu strategi dalam rangka membangun dan mengembangkan sistem
informasi dan teknologi informasi di lingkungan unit eselon I masing-masing, sesuai IT
38
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Strategy Framework. Ilustrasi mengenai Korelasi antara IT Policy, IT Plan, dan IT Standard
dalam rangka Information Capital tersebut dapat dilihat pada Gambar III.6.
Gambar III.6
INFORMATION CAPITAL
IT Policy
Departeman
Keuangan
IT Plan
IT Standard
IT Strategy Framework
•
•
•
•
Unit Eselon
I
Keandalan Pelayanan
Sistem yang komprehensif dan terintegrasi
Optimalisasi pemanfaatan teknologi
Pemanfaatan potensi dunia usaha
Business Process
IT Strategy
Business Process
Visualization
(e-payment, etc.)
Terkait dengan strategi tersebut, inisiatif pengembangan sistem informasi pada unit
eselon I di lingkungan Departemen Keuangan diarahkan pada hal-hal terkait dengan
pengolahan data transaksi, analisis dan pelaporan, serta penyiapan teknologi dan
infrastruktur pendukungnya. Proses ini dilaksanakan secara terus menerus dan berulang
sesuai kebutuhan operasional organisasi dan pengembangan teknologi dan merupakan
proses pembelajaran dan pertumbuhan (learning growth).
Penyusunan IT Strategy unit eselon I perlu diarahkan kepada kebutuhan adanya
prosedur yang dapat menghasilkan produk dan layanan, meningkatkan layanan kepada
pengguna, menumbuhkan pengembangan produk layanan baru, serta meningkatkan
hubungan komunikasi antar pemerintah (G2G), pemerintah dengan bisnis (G2B), dan antara
pemerintah dengan masyarakat (G2C). Dengan demikian kebijakan tersebut diharapkan
dapat membantu mendorong peningkatan dan perbaikan citra Departemen Keuangan di
mata publik. IT Strategy yang disusun harus berdasarkan pada 6 (enam) strategi yang saling
terkait erat, yaitu:
(i) Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau
oleh masyarakat luas;
39
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(ii) Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah secara komprehensif
dan terintegrasi;
(iii) Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal;
(iv) Pemanfaatan potensi dunia usaha;
(v) Pengembangan kapasitas SDM; serta
(vi) pengembangan secara bertahap, sistematis, realistis dan terukur.
Strategi 1 – Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau
oleh masyarakat luas
Kelancaran arus informasi untuk menunjang hubungan dengan lembaga-lembaga
negara, serta untuk memberi stimulan bagi partisipasi masyarakat --yang merupakan faktor
penting dalam pembentukan kebijakan pemerintah yang baik. Oleh karena itu, pelayanan
publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas melalui jaringan
komunikasi dan informasi.
Strategi 2 - Penataan sistem dan proses kerja pemerintah secara komprehensif dan
terintegrasi.
Pencapaian Strategi-1 harus ditunjang dengan penataan sistem manajemen dan
proses kerja di semua instansi pusat dan daerah. Penataan sistem manajemen dan prosedur
kerja pemerintah harus dirancang agar dapat mengadopsi kemajuan teknologi informasi
secara cepat.
Strategi 3 – Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal.
Pelaksanaan setiap strategi memerlukan kemampuan dalam melaksanakan transaksi,
pengolahan, dan pengelolaan berbagai bentuk dokumen dan informasi elektronik dalam
volume yang besar, sesuai dengan tingkatannya. Sasaran yang perlu diupayakan
pencapaiannya, adalah sebagai berikut :
1) Standardisasi yang berkaitan dengan interoperabilitas pertukaran dan transaksi
informasi antar portal pemerintah.
2) Standardisasi prosedur yang berkaitan dengan manajemen dokumen dan informasi
elektronik (electronic document management system) serta standardisasi meta-data yang
memungkinkan pemakai menelusuri informasi tanpa harus memahami struktur
informasi pemerintah.
3) Perumusan kebijakan tentang pengamanan informasi serta pembakuan sistem
otentikasi dan public key infrastructure (untuk menjamin keamanan informasi dalam
penyelenggaraan transaksi dengan pihak-pihak lain, terutama yang berkaitan dengan
kerahasiaan informasi dan transaksi finansial).
40
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
4) Pengembangan aplikasi dasar, seperti e-billing, e-procurement, dan e-reporting, yang
dapat dimanfaatkan oleh setiap situs pemerintah dan andal serta dapat menjamin
kerahasiaan, keamanan, dan interoperabilitas transaksi informasi dan pelayanan
publik.
5) Pengembangan jaringan intra pemerintah untuk mendukung keandalan dan
kerahasiaan transaksi informasi antar instansi pemerintah dan antara pemerintah dan
daerah otonom.
Strategi 4 – Pemanfaatan potensi dunia usaha
Partisipasi dunia usaha dapat mempercepat pencapaian tujuan strategis. Beberapa
kemungkinan partisipasi dunia usaha dalam :
ƒ
pengembangan komputerisasi, sistem manajemen, proses kerja, serta situs dan
pembakuan standard (Pemerintah dapat mendayagunakan keahlian dan
spesialisasi yang telah berkembang di sektor swasta).
ƒ
peningkatan nilai informasi dan jasa kepemerintahan bagi keperluan-keperluan
tertentu.
ƒ
pengembangan jaringan komunikasi dan informasi di seluruh wilayah.
Strategi 5 – Pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM)
Sumber daya manusia (SDM), baik sebagai pengembang, pengelola, maupun
pengguna sistem informasi merupakan faktor yang turut menentukan bahkan menjadi kunci
keberhasilan pelaksanakan dan pengembangan sistem informasi. Untuk itu, perlu upaya
peningkatan kapasitas SDM, penataan, dan pendayagunaan secara terencana, komprehensif,
dan berkelanjutan sesuai kebutuhan.
Strategi 6 – Pengembangan secara bertahap, sistematis, realistis dan terukur
Pengembangan sistem informasi dan teknologi informasi perlu direncanakan dan
dilaksanakan secara sistematis melalui tahapan yang realistis dan sasaran yang terukur,
sehingga dapat dipahami dan diikuti oleh semua pihak.
3. Sumber Daya Organisasi
Selain manusia dan informasi, sumber daya yang dapat menjadi modal
penting
dalam suatu organisasi adalah organisasi itu sendiri. Organisasi sebagai suatu entitas,
dengan kemampuan adaptasi dan komunikasi yang tinggi dalam mengintegrasikan visi,
misi, nilai-nilai, dan strategi membentuk satu kekuatan dalam satu kultur kinerja (performance
culture) sehingga energi seluruh komponen dapat fokus pada pencapaian tujuan strategis
yang telah digariskan merupakan modal penting dalam proses manajemen sumber daya.
Fleksibilitas tiap-tiap komponen organisasi untuk mengarahkan fokus strateginya ke sasaran
41
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
utama organisasi perlu terus dikembangkan sebagai modal/kemampuan internal organisasi
yang sangat penting (organization capital).
Organisasi pada umumnya, dengan spesialisasi yang diterapkannya, sering terjebak
pada pencapaian tujuan spesialitasnya. Organisasi dewasa ini sering kali di disain sebagai
organisasi fungsional, dimana pencapaian tujuan dibagi sesuai fungsi masing-masing seperti
fungsi-fungsi keuangan, produksi, pemasaran, penjualan, pembelian, rekayasa, dan lain
sebagainya. Setiap fungsi memiliki kepribadian sendiri baik kompetensi keahlian, kultur,
maupun bahasanya. Arogansi fungsional pada akhirnya dapat menghambat optimalitas
pencapaian tujuan organisasi.
Organisasi Departemen Keuangan yang cenderung mengarah pada kondisi di atas
perlu segera diselamatkan. Setiap komponen fungsional harus benar-benar mampu
mengendalikan diri, melihat, dan segera menyelaraskan langkah terhadap langkah (strategi)
Departemen dalam mencapai tujuan strategisnya. Kultur kinerja seperti inilah yang harus
tumbuh kembang di lingkungan Departemen Keuangan. Untuk pencapaian kondisi ini
komitmen (political will), peran, dan kemampuan pimpinan puncak (top manager) untuk
mengkomunikasikan merupakan kunci utama keberhasilan. Keberhasilan dimaksud
ditunjukkan melalui profil sejauh mana setiap pegawai Departemen –tanpa memandang
spesialisasi fungsinya— mampu dengan benar memahami strategi yang digariskan dan
bertindak dalam kerja kesehariannya sesuai atau mengarah pada sukses yang ingin dicapai
dari strategi tersebut.
Kemampuan organisasi Departemen Keuangan dibangun di atas 4 (empat)
komponen utama yaitu budaya organisasi, kepemimpinan, keselarasan pegawai dan
organisasi, dan pola diseminasi pengetahuan dalam organisasi. Dalam upaya mengefektifkan
organization capital Derpartemen Keuangan, perlu identifikasi berkenaan dengan “perubahan
apa saja yang mempengaruhi strategi dan proses”. Perubahan/pergeseran yang terjadi pada
komponen organisasi dapat berpengaruh pada perilaku, proses internal, fitur-fitur output,
dan nilai-nilai organisasi.
Jika ditilik dari sejarah, perubahan dalam organisasi Departemen Keuangan lebih
banyak dipengaruhi oleh tingkat stabilitas ekonomi makro serta fungsi-fungsi yang
dijalankan dalam mencapai tingkat tertentu stabilitas ekonomi makro tersebut. Perubahan ini
tampak lebih nyata pada struktur organisasi melalui pengembangan organisasi yang berbasis
administrasi modern terkait dengan penyempurnaan organisasi dan tata kerja.
Sehubungan dengan itu, dalam perkembangan ke depan, perubahan organisasi
Departemen Keuangan harus difokuskan pada kejelasan pembagian kewenangan dalam
pengelolaan keuangan negara. Arah perubahan organisasi terkait dengan pembagian
kewenangan tersebut dapat dilihat pada Tabel III.2 di bawah ini.
42
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Tabel III.2
P em b a g ia n K ew en a n g a n P en g elo la a n K eu a n g a n N eg a r a
D ep ar t em en K eu an g an – Ta h u n 2 0 0 9
Per umusan
Kebij akan Fiskal
Per encanaan
dan Alokasi
Pelaksanaan dan
Per t anggunganggungj aw aban
Pelapor an
Pengaw asan
Fungsional
BKF
DJAPK
DJP, DJBC,
DJPBN &
DJAPK*
DJPBN
ITJEN* *
BKF* * *
DJAPK
DJPBN
DJPBN
ITJEN* *
PEM BIAYAAN
ANGGARAN
BKF
DJAPK
DJPBN
DJPBN
ITJEN* *
KEKAYAAN
NEGARA
BKF
DJAPK
DJPKN
DJPBN
ITJEN* *
FUNGSI/
BIDANG
PENDAPATAN
NEGARA
BELANJA NEGARA
*
**
***
P N B P ( te rm a s u k B L U )
P e n a m b a h a n p e ra n s e b a g a i c o m p lia n c e o ffic e u n tu k g o o d g o v e rn a n c e d a n ris k m a n a g e m e n t
P e n a m b a h a n fu n g s i k e b ija k a n P N B P , p e rp a ja k a n , d a n k e p a b e a n a n d a n c u k a i
Kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara pada Departemen Keuangan
sebagaimana dimaksud pada gambar di atas pada pokoknya terbagi ke dalam 3 (tiga) area
besar yaitu:
a) Kebijakan fiskal (fiscal policy) – mencakup perumusan kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal;
b) Perencaaan penganggaran (budget planning) – mencakup perencanaan, alokasi, dan
penyusunan APBN; dan
c) Pelaksanaan
anggaran
(budget
execution)
–
mencakup
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban APBN.
Pembagian kewenangan tersebut merupakan upaya penajaman dalam rangka
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Pembagian kewenangan dan tanggung jawab juga harus diikuti dengan penyesuaian
kembali tata kerja unit-unit terkait di dalam Departemen Keuangan.
Penyesuaian tata kerja tersebut dituangkan dalam perencanaan reengineering
organisasi Departemen Keuangan tahun 2005-2009, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(i) Pembentukan Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Saat ini fungsi kebijakan fiskal tersebar di beberapa unit pelaksana, seperti fungsi
kebijakan PNBP di DJAPK, fungsi kebijakan perpajakan di Ditjen Pajak, dan
fungsi kebijakan kepabeanan dan cukai di Ditjen BC. Sebagai organisasi terpadu,
Departemen Keuangan --melalui pembentukan BKF-- akan menyatukan fungsi
kebijakan fiskal secara penuh, termasuk kebijakan ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal, serta kebijakan PNBP, perpajakan, dan kepabeanan dan
cukai.
43
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(ii) Pemisahan fungsi pengelolaan PNBP dan Badan Layanan Umum (BLU)
Terkait dengan PNBP dan BLU, saat ini Direktorat PNBP dan BLU melaksanakan
fungsi-fungsi alokasi, kebijakan, dan pengelolaan kas. Hal ini akan ditata ulang
dengan dipisahkannya fungsi-fungsi tersebut, yaitu pemindahan fungsi kebijakan
makro PNBP ke BKF, pemindahan fungsi pengelolaan kas pungutan PNBP dan
setoran surplus BLU (sepanjang dipersyaratkan) ke Ditjen Perbendaharaan,
sedangkan fungsi alokasi tetap berada di Ditjen APK.
(iii) Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kekayaan Negara (DJPKN)
Pembentukan DJPKN yang merupakan penggabungan fungsi yang ada pada
Direktorat
Pengelolaan
Barang
Milik/Kekayaan
Negara
pada
Ditjen
Perbendaharaan dan fungsi yang dilaksanakan DJPLN serta beberapa fungsi dari
DJP (khususnya fungsi penilaian) dimaksudkan untuk memperkuat fungsi
pengelolaan kekayaan negara dan melakukan reposisi fungsi lelang. Pada
prinsipnya fungsi lelang akan diserahkan kepada mekanisme swasta melalui
pembentukan lembaga privat dan independen, kecuali untuk lelang eksekusi.
(iv) Penggabungan BAPEPAM dan DJLK.
Dalam rangka memfasilitasi pembentukan Otorita Jasa Keuangan (OJK), akan
dilakukan penggabungan dua unit eselon I Departemen Keuangan, yakni
BAPEPAM dan DJLK. Langkah ini akan merupakan tahap awal pembentukan
OJK, sementara sebelum pembentukan lembaga OJK yang mandiri dapat
dilakukan. Dalam proses penggabungan tersebut, keseluruhan unit Eselon II
DJLK akan bergabung dengan BAPEPAM, kecuali fungsi Pembinaan Akuntan
dan Jasa Penilai yang akan ditransfer ke Sekretariat Jenderal.
Jadwal pelaksanaan reengineering organisasi Departemen Keuangan tahun 2005-2009
adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel Evolusi organisasi Departemen Keuangan
sebagaimana tertera pada Tabel III.3 di bawah ini.
44
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Tabel III.3
EVO LUSI O RG AN ISASI
DEPA RT EM EN KEU AN G AN
DEPARTEMEN KEUANGAN
2005
2006
2007
2008
2009
BAPEKKI
BKF
BKF
DJAPK
D JAPK
D JAPK
DJP
D JP
D JP
D JBC
DJBC*
DJBC*
D JPBN
DJPBN
DJPBN
D JPLN
DJPKN
D JPKN
BAPEPAM -LK
OJK
SETJEN
SETJEN **
SETJEN **
ITJEN ***
ITJEN ***
ITJEN ***
BAPEPAM
DJLK
*
D JBC m em iliki peran tam bahan yaitu duku n gan kepada ind ustri, fasilitasi perdagangan , dan
perlin du ngan m asyarakat.
**
D irektorat P em binaan Akuntan dan Jasa Penilai d ip in dahkan dari D JLK ke S ET JEN
*** IT JEN m em iliki peran tam bahan sebagai com pliance office untuk g oo d governance dan risk
m anagem ent.
Dari tabel di atas dapat diketahui pula bahwa Inspektorat Jenderal Departemen
Keuangan memperoleh tambahan peran dan fungsi, yakni sebagai compliance office untuk
good governance dan penyelenggaraan audit terkait dengan risk management.
Penambahan peran dan fungsi dimaksud terkait dengan tekad kuat untuk
mewujudkan penyelenggaraan good governance sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan
dan kekayaan negara yang dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan
negara (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara). Sementara itu, tambahan peran dan fungsi
pengendalian resiko didasari pertimbangan semakin besarnya resiko kerugian yang dapat
timbul --baik secara langsung maupun tidak langsung-- sebagai akibat dari pelaksanaan
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengabaikan prinsip-prinsip manajemen
resiko (risk management). Untuk keperluan tersebut, Inspektorat Jenderal sebagai unsur
organisasi Departemen Keuangan yang diberi tugas pokok menyelenggarakan fungsi
pengendalian intern (internal control) perlu dilengkapi dengan kewenangan tersebut.
Dari pemberian kewenangan ini diharapkan Inspektorat Jenderal dapat menjamin
agar seluruh komponen organisasi Departemen Keuangan benar-benar dapat menerapkan
prinsip-prinsip good governance dan risk management dalam penyelenggaraan pengelolaan
keuangan dan kekayaan negara yang dilakukannya.
Hal-hal terkait dengan asumsi perubahan organisasi berkenaan dengan dengan
kerangka evolusi organisasi Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 sebagaimana diuraikan
45
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
dalam Tabel III.2 dan III.3 lebih merupakan gambaran arah dan target pencapaian
Departemen Keuangan hingga Tahun 2009 mendatang. Oleh karena itu, bagaimanapun,
asumsi-asumsi kelembagaan tersebut bersifat ceteris paribus terhadap berbagai penyesuaian
sehubungan dengan upaya koordinasi dengan otoritas kelembagaan pemerintahan seperti
Kementerian
Negara
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
maupun
Sekretariat
Kabinet/Sekretariat Negara.
KESIAPAN SARANA DAN PRASARANA
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan Departemen Keuangan terdiri dari sarana
prasarana yang umum dibutuhkan oleh suatu organisasi serta sarana dan prasarana khusus
untuk fungsi tertentu. Strategi penyiapan sarana dan prasarana umum diarahkan pada
perbaikan kondisi lingkungan kerja. Sementara strategi penyiapan sarana dan prasarana
untuk fungsi tertentu diarahkan pada terjaminnya target pencapaian dari penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi tertentu dimaksud.
Penyiapan sarana dan prasarana sering diidentikkan sebagai upaya membeli barang
(pengadaan barang), walau sesungguhnya tidak semata bersifat pengadaan barang dalam
artian fisik. Penyiapan dimaksud dapat berupa pemanfaatan barang yang telah ada untuk
siap dioperasikan, pengamanan barang yang telah ada agar dapat dimanfaatkan secara lebih
baik atau pengembangan dari sarana yang ada untuk memperoleh manfaat yang maksimal.
Penyiapan sarana dan prasarana yang bersifat pengadaan pada umumnya dilakukan
untuk mendukung tugas-tugas baru seperti fungsi pegawasan fungsional yang memperoleh
tugas baru di bidang investigasi memerlukan penambahan sarana baru di bidang
investigasi/intelijen, atau terkait dengan pembukaan kantor-kantor baru seperti fungsi
kepabeanan dan cukai yang membuka kantor-kantor baru dan memerlukan pengadaan
speedboat dan alat deteksi pita cukai dan lain-lain.
Isu strategis berkenaan dengan penyiapan sarana dan prasarana sebenarnya bukan
pada pengadaannya tetapi pada pengamanan serta penggunaannya secara baik di samping
pelaksanaan penghapusan sarana prasarana yang sudah tidak digunakan lagi. Salah satu
bentuk pengamanan yang dilakukan adalah sertifikasi tanah atas nama Menteri Keuangan.
Melalui pola ini diharapkan pemanfaatan tanah milik negara dapat lebih ditingkatkan.
Penghapusan sarana dan prasarana yang tidak digunakan akan mengurangi biaya
pemeliharaan yang harus ditanggung.
Dengan demikian, isu penyiapan saran dan prasarana yang justeru kapital adalah
pelaksanaan pengkajian kebutuhannya, sehingga pengadaan sarana dan prasarana yang
bersifat incremental dapat dihindari. Strategi penyiapan sarana dan prasarana untuk jangka
waktu Tahun 2005-2009 seyogianya sudah dilakukan sejak sekarang, mengingat hal tersebut
sangat terkait dengan pencanangan target pencapaian pada Tahun 2009.
46
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB IV
PENUTUP
Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 disusun sebagai acuan dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan. Road-Map Departemen
Keuangan tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya terkait dengan
penyelenggaraan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, setelah memperhatikan
berbagai perkembangan kontemporer (saat penyusunan Road-Map dilakukan) dan ketentuan
perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, khususnya
paket undang-undang bidang Keuangan Negara.
Dengan Road-Map sebagai panduan diharapkan proses pencapaian target Departemen
Keuangan Tahun 2009 akan lebih terkoordinasi dan berhasil guna, sementara kualitas
pelayanan kepada stakeholder semakin baik sehingga citra baik Departemen Keuangan dapat
segera diwujudkan.
Sehubungan dengan itu, kepada seluruh jajaran pimpinan Departemen Keuangan
diminta untuk konsekuen memperhatikan peran, fungsi, arah, sasaran, strategi, kebijakan,
dan target capaian yang ditetapkan dalam Road-Map sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsi yang dikerjakan sehari-hari (day-to-day working).
Disadari benar, bahwa Road-Map ini tidak memiliki kepastian sebagai produk yang
sempurna, tetapi lebih merupakan orientasi kerja untuk dipedomani. Oleh karena itu, saran
dan kritik membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JUSUF ANWAR
47
Download