MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 464/KMK.01/2005 TENTANG PEDOMAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN DEPARTEMEN KEUANGAN (ROAD-MAP DEPARTEMEN KEUANGAN) TAHUN 2005-2009. BAB I PENDAHULUAN Dalam rangka mencapai performance yang diharapkan, Menteri Keuangan memandang perlu menyusun suatu dokumen perencanaan departemen yang selanjutnya disebut sebagai Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009. Road-Map Departemen Keuangan disusun berdasarkan dokumen perencanaan pemerintah yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dengan demikian Road-Map Departemen Keuangan merupakan bagian dari rencana pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi. Road-Map Departemen Keuangan lebih lanjut akan dijabarkan ke dalam suatu Rencana Strategik (Renstra). Sebagai dokumen perencanaan departemen, Road-Map merupakan strategi pada level makro organisasi (organization-wide strategy) dan oleh karenanya bersifat lintas fungsi (cross function). Road-Map menjadi dasar Menteri Keuangan --sebagai top-level manager Departemen Keuangan-- dalam membuat kontrak kinerja (performance contract) atau komitmen kinerja (performance commitment) dengan Direktur Jenderal/Kepala Badan sebagai business level manager untuk mencapai kinerja prima (excellence performance). Dalam pencapaian kinerja prima, tiap business level manager memerlukan suatu strategi yang handal, yang di satu sisi fokus pada pemanfaatan sumber daya dan di sisi lain terarah menuju sasaran dan target yang dicanangkan. Untuk menjamin tercapainya sasaran dan target dimaksud secara optimum dan tepat waktu, visi dan misi Departemen Keuangan harus menjadi anchor sekaligus landasan penyusunan strategi. TUGAS DAN PERAN Menteri Keuangan mengemban tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara1. Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Menteri Keuangan berperan sebagai pengelola fiskal (keuangan dan kekayaan negara) dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.2 Adapun tugas Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal3 adalah: a. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan UU; f. melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN); 1 Keppres No. 35 Tahun 2004 Pasal 6 ayat (2) huruf a UU No.17 Tahun 2003 3 Pasal 8 UU No. 17 Tahun 2003 2 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA g. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; dan h. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan UU. FUNGSI Untuk melaksanakan tugas tersebut, Menteri Keuangan melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan kekayaan negara; b. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang penerimaan negara yang berasal dari pajak, bukan pajak, minyak, dan pungutan ekspor; c. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang kepabeanan dan cukai; d. Pembinaan dan koordinasi penyusunan Nota Keuangan, RAPBN serta pemantauan dan pelaporan pelaksanaan APBN; e. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang lembaga keuangan bukan bank, akuntansi, dan jasa penilai; f. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang perbendaharaan negara, akuntansi keuangan pemerintah, dan pelaporan keuangan pemerintah; g. Pembinaan dan pelaksanaan pengurusan piutang negara macet dan lelang; h. Pembinaan dan pengawasan di bidang pasar modal; i. Pengkajian masalah-masalah ekonomi, keuangan, dan fiskal, serta kerjasama keuangan internasional; j. Pembinaan dan pelaksanaan sistem informasi dan teknologi keuangan; k. Pembinaan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang keuangan negara; l. Koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi departemen; dan m. Pelaksanaan pengawasan fungsional. VISI Sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Departemen Keuangan memiliki visi, yaitu: ”menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara bertaraf internasional yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat, serta instrumen bagi proses transformasi bangsa menuju masyarakat adil, makmur, dan berperadaban tinggi.” 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MISI Adapun misi Departemen Keuangan adalah: Bidang Fiskal: ”Mengembangkan kebijakan fiskal yang sehat dan berkelanjutan, serta mengelola kekayaan dan utang negara secara hati-hati (prudent), bertanggungjawab, dan transparan.” Bidang Ekonomi: ”Mengatasi masalah ekonomi bangsa serta secara proaktif senantiasa mengambil peran strategis dalam upaya membangun ekonomi bangsa, yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang dicita-citakan Konstitusi”. Bidang Sosial dan Budaya: ”Mengembangkan masyarakat finansial yang berbudaya dan modern”. Bidang Politik: ”Mendorong proses demokratisasi fiskal dan ekonomi”. Bidang Kelembagaan: ”Senantiasa memperbaharui diri (self-reinventing) sesuai dengan aspirasi masyarakat dan perkembangan mutakhir teknologi keuangan serta administrasi publik, serta pembenahan dan pembangunan kelembagaan di bidang keuangan yang baik dan kuat yang akan memberikan dukungan dan pedoman pelaksanaan yang rasional dan adil, dengan didukung oleh pelaksana yang potensial dan mempunyai integritas yang tinggi”. TUJUAN Guna mengaktualisasikan visi dan misi tersebut, Departemen Keuangan menetapkan tujuan pencapaian organisasi sebagai berikut: Tujuan 1: Peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara. Tujuan 2: Efektivitas dan efisiensi pengeluaran negara. 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tujuan 3: Optimalisasi pengelolaan utang dan perumusan pembiayaan defisit. Tujuan 4: Pemantapan sistem penganggaran, kekayaan negara dan peningkatan akuntabilitas keuangan negara. Tujuan 5: Peningkatan pelayanan piutang negara dan lelang. Tujuan 6: Penguatan dan pengaturan jasa keuangan, perlindungan dana masyarakat dan jaring pengaman sektor keuangan. SASARAN Sasaran yang hendak dicapai adalah: Sasaran 1: Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan, reformasi kebijakan dan administrasi kepabeanan dan cukai, dan reformasi kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sasaran 2: Efisiensi pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi yang tepat sasaran, belanja bantuan sosial yang langsung bermanfaat, koordinasi dan kebijakan desentralisasi fiskal. Sasaran 3: Pengamanan penyerapan pinjaman luar negeri dan pengelolaan portofolio Surat Utang Negara (SUN). Sasaran 4: Penerapan anggaran terpadu (unified budget), penyusunan belanja berbasis kinerja (performance based budgeting), penerapan pendekatan pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework/MTEF), penerapan penganggaran berbasis akrual (accrual based budgeting), pengamanan kekayaan negara, dan penerapan Treasury Single Account (TSA). 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Sasaran 5: Reformasi pengurusan piutang negara dan lelang. Sasaran 6: Peningkatan pengawasan dan kepastian hukum, pengembangan infrastruktur pasar, peningkatan peran dan kualitas pelaku, serta perluasan alternatif investasi dan pembiayaan. Sasaran 7: Pengembangan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) dan infrastruktur pendukung perlindungan nasabah dan peningkatan koordinasi antar instansi yang bertanggung jawab di sektor keuangan. TARGET 2009 Untuk mencapai visi Indonesia mandiri dan misi mewujudkan kesinambungan fiskal dan pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance¸ diperlukan alat ukur sebagai suatu indikator keberhasilan. Indikator tersebut selanjutnya dapat menggambarkan target yang ingin dicapai Departemen Keuangan pada tahun 2009. Adapun gambaran situasi kematangan fiskal yang diharapkan dapat tercipta pada tahun 2009 adalah pada tingkat: Pertama, pendapatan negara: Peningkatan penerimaan negara diarahkan pada optimalisasi penerimaan perpajakan. Untuk itu, perbaikan sistem dan administrasi perpajakan perlu terus diupayakan. Penerimaan pajak yang terus meningkat harus dapat mendorong terus berkurangnya tax gap dan dicapainya rasio pajak (tax ratio) yang ditargetkan, yakni 16% dari produk domestik bruto (PDB). Pencapaian target tersebut merupakan indikator keberhasilan dalam mewujudkan kerangka dasar Indonesia mandiri yang berarti bahwa Indonesia tidak lagi bergantung kepada sumber pembiayaan luar negeri. Kedua, belanja negara: Alokasi anggaran untuk berbagai fungsi harus dirancang sehingga menghasilkan komposisi anggaran belanja yang sehat. Efisiensi belanja negara ditempuh melalui penghematan anggaran dengan cara penetapan belanja sesuai kebutuhan, pengendalian belanja sesuai prioritas, dan penurunan subsidi secara bertahap terutama mengurangi pemberian subsidi yang tidak langsung menyentuh kepentingan masyarakat miskin. Ketiga, pembiayaan: Utang, yang saat ini merupakan komponen terbesar untuk menutupi defisit, yakni 48% dari PDB, di satu sisi diupayakan untuk terus dikurangi melalui penciptaan sumber-sumber pembiayaan alternatif dan di sisi lain efektifitas dan efisiensi pemanfaatannya perlu terus dikendalikan. Sejalan dengan itu, pemerintah memprioritaskan pengurangan stok utang hingga mencapai kurang dari 31,8% dari PDB. Sementara itu, 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan alternatif dan pengurangan stok utang dimaksud diharapkan kondisi defisit APBN akan terus menurun bahkan mencapai kondisi surplus sebesar 0,3 %. Keempat, akuntabilitas pengelolaan keuangan negara: Penerapan prinsip transparansi dalam pelaksanaan anggaran melalui penciptaan sistem pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang modern dan mengacu pada standar yang berlaku internasional (international best practices) diyakini akan merupakan faktor pendorong meningkatnya kredibilitas pengelola keuangan negara. Kredibilitas tersebut dengan sendirinya memberikan legitimasi akuntabilitas pengelolaan yang dilakukan. Sementara itu, Undang-undang bidang Keuangan Negara yang menggariskan perlunya tata cara pelaksanaan anggaran yang sehat dan transparan sejak penyiapan dokumen pelaksanaan anggaran, prosedur pengadaan barang dan jasa, mekanisme pembayaran, hingga proses pencatatan transaksi keuangannya yang didasarkan atas Standar Akuntansi Pemerintahan4 akan menjamin pencapaian suatu sistem pelaporan keuangan yang dapat menghasilkan laporan keuangan pemerintah dengan predikat Unqualified Opinion (WTP, Wajar Tanpa Pengecualian). Kelima, optimalisasi pengembalian piutang Negara: Hak negara berupa piutang kepada pihak lain harus dapat diperoleh kembali. Upaya penagihan atas piutang negara -termasuk yang macet-- harus terus dilakukan. Berbagai perangkat hukum dan perundangundangan seperti penyiapan Rancangan Undang-undang tentang Pengurusan Piutang Negara beserta ketentuan derivasinya diarahkan untuk meningkatkan perbaikan sistem administrasi piutang sehingga dapat diperoleh kepastian pengembalian piutang secara lebih baik. Melalui upaya tersebut diharapkan recovery rate piutang negara macet akan dapat ditingkatkan hingga 15%. Sedangkan pengembalian hak negara melalui mekanisme lelang diharapkan dapat meningkat sebesar 10% per tahun. Keenam, optimalisasi pembinaan dan pengawasan atas aktifitas pasar modal dan lembaga keuangan non bank (LKNB): Pembinaan dan pengawasan terhadap aktifitas pasar modal dan LKNB diarahkan pada terciptanya stabilitas dan pengembangan sektor keuangan. Stabilitas sektor keuangan diupayakan melalui pemberian perlindungan nasabah, peningkatan kepastian hukum, peningkatan peran dan kualitas pelaku pasar, dan peningkatan koordinasi antarinstansi yang bertanggung jawab di sektor keuangan. Adapun pengembangan sektor keuangan diupayakan melalui pengembangan infrastruktur pasar, perluasan alternatif investasi dan pembiayaan, dan peningkatan koordinasi antarinstansi yang bertanggung jawab di sektor keuangan. Terjaminnya stabilitas dan pengembangan sektor keuangan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pasar modal dan LKNB sebagai tempat untuk melakukan investasi dan memperoleh sumber pembiayaan. Termasuk dalam target 2009 dari Road-Map Departemen Keuangan adalah 4 PP Nomor 24 Tahun 2005 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selambat-lambatnya pada tahun 2007. Kehadiran OJK sebagai lembaga yang independen diharapkan dapat lebih mengoptimalkan pembinaan dan pengawasan aktivitas pasar modal dan LKNB. Dari uraian tersebut di atas, ilustrasi hubungan antara tujuan, sasaran, dan target Departemen Keuangan pada tahun 2009 dapat disajikan seperti pada Gambar I.1. di bawah ini. Gambar I.1 Tujuan, Sasaran, dan Target Departemen Keuangan Tahun 2009 7 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BAB II KONDISI DAN PERMASALAHAN Dalam upaya mewujudkan fiscal sustainability dan good governance sesuai visi dan misi Departemen Keuangan, serta untuk merealisasikan pencapaian target kuantitatif kondisi fiskal tahun 2009, Departemen Keuangan melakukan identifikasi permasalahan dan kendala untuk memetakan hambatan yang dihadapi. Indentifikasi permasalahan dan kendala dilakukan terhadap bidang-bidang yang menjadi fokus strategi dan kebijakan fiskal, yaitu (i) pendapatan negara, (ii) belanja negara, (iii) pembiayaan anggaran, (iv) kekayaan negara, dan (v) sistem pengelolaan keuangan negara. PENDAPATAN NEGARA Dari assessment berbagai pihak, secara umum kemampuan Negara untuk menghimpun pendapatan masih dapat ditingkatkan, terutama dari aspek perpajakan. Upaya meningkatkan pendapatan negara baik dari pungutan pajak, bea dan cukai, serta dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga kini masih menghadapi berbagai permasalahan maupun kendala. Di bidang perpajakan, kendala yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), disamping rendahnya kesadaran Wajib Pajak (WP), adalah kurangnya akses informasi terhadap transaksi keuangan yang dilakukan baik transaksi melalui lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan lainnya. Rendahnya kesadaran WP dapat diidentifikasi dari bentuk ketidakpatuhan WP, antara lain tidak mendaftarkan diri, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), tidak secara jujur melaporkan kewajiban perpajakannya, dan menunggak pembayaran pajak. Kendala lain yang dihadapi terkait dengan upaya optimalisasi pendapatan negara dari sumber perpajakan adalah belum terbentuknya Bank Data Nasional dan SIN (Single Identification Number). Selama ini data transaksi keuangan dan non keuangan yang tersebar pada Kementerian Negara/Lembaga dan lembaga lainnya belum diperoleh, dikelola, dan dimanfaatkan secara maksimal. Sementara itu, pemanfaatan teknologi informasi berbasis elektronik (e-system) untuk mendukung pelayanan dan pengawasan terhadap WP, seperti epayment, e-register, dan e-filling, juga penerapannya belum memadai. Dalam upaya peningkatkan pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai dapat diidentifikasi hal-hal berikut, yakni kurang memadainya perangkat peraturan perundangundangan yang ada dan kurang luasnya cakupan kewenangan yang dimiliki Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai (Ditjen Bea Dan Cukai) sehingga fungsi pengawasan tidak dapat diselenggarakan secara optimal. Permasalahan dalam pelayanan dan pengawasan di bidang 8 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA kepabeanan dan cukai juga terkait dengan efektifitas sistem dan prosedur yang berbasis teknologi informasi. Sementara itu, dalam perkembangan ke depan, peran Ditjen Bea Dan Cukai akan ditambah dengan peran pemberian dukungan kepada industri (industrial assistance), fasilitasi perdagangan (trade facilitation), dan perlindungan kepada masyarakat. Dari aspek peraturan perundang-undangan diidentifikasi banyaknya hal teknis di bidang kepabeanan dan cukai yang belum diatur atau sudah diatur namun tidak memadai. Demikian pula dengan ketersediaan peraturan tentang penagihan dan sistem pertarifan cukai yang optimal. Adapun dari upaya peningkatan pendapatan PNBP diidentifikasi beberapa permasalahan yang cukup mendasar yang dapat disimpulkan dalam satu statemen bahwa pengelolaan PNBP masih belum memadai. Dengan demikian, Departemen Keuangan akan terus mengupayakan penyempurnaan regulasi sehingga tersusun suatu sistem dan prosedur mengenai pengelolaan pendapatan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan terintegrasi. BELANJA NEGARA Kondisi struktur belanja negara saat ini sangat dependen terhadap faktor pembiayaan luar negeri. Kondisi demikian sesungguhnya tidak sehat. Hal ini terlihat dari struktur belanja negara dimana ruang gerak fiskal Pemerintah sangat terbatas. Belanja “wajib” yang harus dialokasikan Pemerintah (non discretionary), meliputi antara lain belanja pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang. Besarnya belanja tersebut mengakibatkan alokasi untuk belanja yang bersifat investasi menjadi sangat terbatas. Dari identifikasi yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, saat ini, fungsi pengelolaan belanja negara menghadapi permasalahan terkait dengan tingkat penghematan, efisiensi, dan ketepatan pada sasaran. Kendala lain terkait dengan komposisi belanja negara, antara lain meliputi penetapan jumlah belanja (terutama belanja wajib/non discretionary) masih banyak bersifat incremental dan belanja belum direncanakan secara terprogram untuk kesinambungan pembangunan. Sementara itu realisasi belanja negara erat kaitannya dengan pembiayaan, seperti beban bunga dan denda yang terus meningkat seiring dengan kenaikan jumlah pokok utang (termasuk penurunan nilai tukar), penundaan pelunasan pokok utang, dan kewajiban pembayaran commitment fee yang cukup besar. Di sisi belanja untuk subsidi pemerintah, kendala yang dihadapi beragam terkait dengan kebijakan mengenai subsidi tersebut dan pelaksanaannya. Kebijakan subsidi kepada masyarakat masih memerlukan perumusan kembali berkenaan dengan sasaran, bentuk, dan besarannya. Sementara dalam hal pelaksanaan, 9 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA penyaluran subsidi juga banyak disalahgunakan serta subsidi diterima oleh pihak-pihak yang tidak seharusnya menerima. Sisi lain dari belanja adalah alokasi dana yang lebih bersifat transfer seperti pengeluaran pemerintah daerah sehubungan otonomi seperti alokasi dana desentralisasi, dana dekonsentrasi, dan dana untuk tugas pembantuan. Belanja dari alokasi tersebut masih sering mengakibatkan duplikasi pada suatu obyek atau kegiatan tertentu. Duplikasi terjadi akibat ketidakjelasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. PEMBIAYAAN ANGGARAN Kondisi pembiayaan anggaran kita masih fokus pada pembiayaan defisit. Upaya untuk menutup defisit anggaran saat ini, dengan menisbatkan pada rendahnya kemampuan keuangan negara, sebagian besar dilakukan melalui sumber utang baru baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa utang digunakan sebagai instrumen utama untuk mencukupi kebutuhan belanja dan menutup defisit. Sementara itu, pembiayaan anggaran baik yang berasal dari pinjaman luar negeri maupun dalam negeri diidentifikasi menghadapi permasalahan antara lain menyangkut besarnya beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang. Hal ini disebabkan karena upaya peningkatan penerimaan negara tidak dapat dilakukan secara spontan dan sumber-sumber dari divestasi BUMN sudah sangat terbatas, sedangkan penarikan utang baru lebih mudah dilakukan meskipun beresiko tinggi. Permasalahan pembiayaan anggaran juga muncul karena kurang baiknya perencanaan saat menentukan sumber dan bentuk utang, serta penggunaannya. Perencanaan penarikan utang baru serta penggunaannya saat ini masih bersifat ad-hoc policy. Dalam kaitannya dengan penarikan utang baru ternyata tidak semua utang dapat dicairkan karena pemerintah tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetaokan lender. Hal ini menambah beban inefisiensi pembiayaan anggaran. Khusus mengenai pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) –yang seyogianya menjadi instrumen pembiayaan anggaran dengan biaya rendah sebagai suatu alternatif— saat ini masih menghadapi permasalahan berupa pengelolaan portofolio. Penyelenggaraan pengelolaan portofolio SUN belum memadai, sementara daya dukung infrastruktur pasar SUN juga belum optimal. KEKAYAAN NEGARA Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 10 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kekayaan negara memiliki kedudukan strategis dalam mencerminkan potensi nilai yang dimiliki oleh negara sehingga diperlukan pengelolaan yang baik serta antisipasi perubahan nilai yang diakibatkan oleh kondisi pasar, lingkungan, dan perkembangan teknologi yang sangat cepat. Kekayaan Negara meliputi Barang Milik Negara/Daerah, kekayaan potensial, investasi pemerintah, dan kekayaan negara lainnya. Kondisi pengurusan dan penguasaan barang milik negara saat ini masih tersebar di berbagai kementerian negara/lembaga dan belum dilakukan pendataan dan pengelolaan dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi pengamanan terhadap kekayaan negara belum optimum. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus penyerobotan terhadap tanah negara oleh masyarakat setempat penjarahan hutan (illegal logging), penjarahan laut (illegal fishing), maupun berbagai kasus tanah dan bangunan yang idle (tidak digunakan) sementara tidak jauh dari tempat tersebut atas nama pemerintah dilakukan penyewaan tempat untuk gedung perkantoran. Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan negara saat ini lebih dititikberatkan kepada aspek finansialnya, sementara optimalisasi pemanfaatan (mengurangi idle assets) guna mempertahankan nilai modal (capital value) kekayaan negara belum menjadi perhatian. SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Prinsip pengelolaan Keuangan Negara terkait erat dengan ketentuan dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang selanjutnya menguasakan kekuasaannya selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan kepada Menteri Keuangan. Bermuara dari kewenangan ini, Departemen Keuangan melaksanakan fungsi koordinasi dan pelaksanaan di bidang sistem pengelolaan keuangan negara. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, diidentifikasi, terdapat beberapa permasalahan dan kendala yang meliputi: (i) belum terjaminnya kesinambungan fiskal, (ii) sistem penganggaran yang belum transparan dan akuntabel, (iii) sistem pelaksanaan anggaran yang belum berjalan dengan baik, dan (iv) sistem penyusunan laporan keuangan yang belum memadai. Kebijakan fiskal Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memang sudah diarahkan untuk melanjutkan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan kesinambungan fiskal. Kesinambungan fiskal dapat dicapai melalui penurunan defisit secara bertahap dan penurunan rasio stok utang pemerintah terhadap PDB. Penurunan defisit dan penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang signifikan dan terencana dapat memberikan kepercayaan dan kepastian akan kemampuan pengelolaan fiskal di masa mendatang. Namun dalam pelaksanaannya, penurunan defisit masih belum dapat terjamin 11 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA demikian pula dengan rasio utang. Hal ini dikarenakan masih besarnya beban belanja pemerintah, yang diantaranya meliputi subsidi dan bunga utang, sehingga mengakibatkan ruang gerak pemerintah untuk pembangunan dan investasi menjadi lebih kecil. Sejalan dengan pengelolaan kebijakan fiskal, mulai Tahun 2005, sistem penganggaran yang diimplementasikan sudah diarahkan ke pola penganggaran berbasis kinerja, seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dengan penggunaan pola penganggaran tersebut diharapkan prinsip-prinsip transparansi dan good governance dapat mulai dilaksanakan dalam penyusunan anggaran. Beberapa permasalahan dan kendala yang masih dapat diidentifikasi dari sistem penganggaran antara lain masih terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pelaksanaan anggaran, sebagai akibat dari baru dimulainya sistem penganggaran ini yang bersamaan pula dengan pelaksanaan reorganisasi Departemen Keuangan yang memisahkan fungsifungsi penganggaran ke dalam beberapa unit eselon I seperti Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, Dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI), Direktorat Jenderal Anggaran Dan Perimbangan Keuangan (DJAPK), dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBN). Kendala lain terkait dengan penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran berupa laporan keuangan yang dinilai masih kurang memadai. Hal tersebut terlihat dari opini yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku pemeriksa eksternal Pemerintah terhadap Perhitungan Anggaran Negara Tahun 2003, yakni “Tidak dapat memberikan pendapat (disclaimer)”. Pemicu opini BPK tersebut antara lain adalah belum tersedianya Standar Akuntansi Pemerintahan dan belum dilaksanakan sistem akuntansi yang sudah ada secara penuh dan menyeluruh. Hal ini dapat diidentifikasi dari fakta bahwa belum semua entitas dalam lingkup Pemerintah Pusat melakukan rekonsiliasi seperti yang diwajibkan oleh sistem tersebut. 12 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BAB III STRATEGI Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 memuat sasaransasaran program ekonomi nasional yang hendak dicapai pada tahun 2009, yang antara lain meliputi: (i) peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi 7,6%, (ii) pengurangan angka pengangguran menjadi 5,1%, (iii) pengurangan tingkat kemiskinan menjadi 8,2%, (iv) peningkatan daya saing, dan (v) peningkatan investasi. Dalam upaya mencapai sasaran tersebut, terdapat beberapa tantangan, antara lain berupa: memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat atau prakondisi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan sumber-sumber pendorong pertumbuhan yang berimbang dan bertumpu pada peningkatan investasi dan ekspor non-migas; meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang merupakan kunci utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan; meningkatkan partisipasi sektor swasta melalui kemitraan antara pemerintah dan swasta untuk mengatasi kendala keterbatasan sumber daya pemerintah; menciptakan lapangan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan melalui strategi dan kebijakan yang tepat dengan prioritas pada sektor-sektor yang mempunyai dampak multiplikasi tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja; serta membangun landasan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan memberikan prioritas lebih besar kepada sektor pendidikan dan kesehatan, serta masalah perbaikan lingkungan. Berdasarkan tantangan tersebut maka target ekonomi makro dan fiskal yang hendak dicapai pada tahun 2009 secara ringkas dapat dilihat pada Tabel III.1 di bawah ini. 13 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel III.1 Target Ekonomi Makro Dan Fiskal Tahun 2005-2009 No. Indikator Ekonomi Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1. Pertumbuhan Ekonomi 5,0 5,5 6,1 6,7 7,2 7,6 2. Laju Inflasi 6,4 7,0 5,5 5,0 4,0 3,0 3. Defisit APBN/PDB -1,1 -0,7 -0,6 -0,3 -0,0 0,3 4. Penerimaan Pajak/PDB 12,1 11,6 11,6 11,9 12,6 13,6 5. Rasio Utang/PDB 53,9 48,0 43,9 39,5 35,4 31,8 6. Rasio Utang LN/PDB 25,3 21,6 19,3 16,7 14,4 12,6 7. Rasio Utang DN/PDB 28,6 26,3 24,6 22,8 21,0 19,2 FOKUS STRATEGI Untuk mendukung pencapaian target-target makro ekonomi dan fiskal di atas, Departemen Keuangan selaku pengelola fiskal telah mempersiapkan langkah-langkah kebijakan fiskal yang akan ditempuh melalui 4 (empat) fokus strategi yaitu (1) pendapatan negara, (2) belanja negara, (3) pembiayaan anggaran, dan (4) kekayaan negara. Kebijakankebijakan tersebut juga ditempuh dalam rangka mendukung proses konsolidasi fiskal untuk mencapai kesinambungan fiskal. Uraian lebih lanjut tentang keempat fokus strategi tersebut dapat dijelaskan sebagaimana tersebut di bawah ini. 1. Pendapatan Negara Fokus strategi di bidang pendapatan negara diarahkan pada pencapaian 4 (empat) target, yaitu (a) optimalisasi pendapatan negara, (b) peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, (c) terwujudnya keadilan dan perlindungan masyarakat, serta (d) citra baik Departemen Keuangan terkait dengan layanan publik dalam rangka peningkatan pendapatan. Pencapaian keempat target tersebut secara sinergis menjadi landasan kuat bagi keseimbangan baru kapasitas fiskal Pemerintah yang sekaligus menunjukkan signifikansi peningkatan dari keseimbangan awal. Fokus strategi di bidang pendapatan negara pada prinsipnya diarahkan pada peningkatan pendapatan negara. Strategi peningkatan pendapatan dilaksanakan dalam 3 (tiga) kebijakan. Pertama, peningkatan target pendapatan perpajakan secara terencana sesuai kondisi perekonomian dengan memperhatikan kendala, potensi, dan coverage ratio yang ada. Kedua, optimalisasi penerimaan dari bea dan cukai dengan melakukan pengkajian kelompok 14 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA industri dalam rangka optimalisasi dan harmonisasi sistem pentarifan. Ketiga, peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai perkembangan perekonomian dengan melakukan perbaikan regulasi. Gambar III.1 menyajikan ilustrasi mengenai fokus strategi dilihat dari berbagai perspektif terkait dengan pendapatan negara. Gambar III.1 Dalam upaya meningkatkan penerimaan dari perpajakan dan peningkatan tax ratio secara bertahap dibutuhkan langkah-langkah penyempurnaan kebijakan perpajakan, modernisasi sistem administrasi perpajakan, pemanfaatan IT dalam rangka pembentukan bank data secara nasional, dan upaya koordinasi dengan lembaga keuangan dan otoritas moneter dalam rangka peningkatan kemampuan akses informasi atas transaksi keuangan WP. Upaya tersebut diarahkan kepada perluasan basis pajak, optimalisasi pemungutan perpajakan dari potensi pajak yang tersedia, dan penyempurnaan referensi perpajakan dalam rangka pengawasan WP. Penyempurnaan kebijakan perpajakan pada prinsipnya diarahkan untuk meningkatkan kapasitas fiskal guna mendukung dan memperkuat sumber-sumber pendanaan APBN tanpa mengabaikan peran pajak dalam mendorong investasi, memperkuat daya saing, dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Upaya tersebut dilakukan melalui penyempurnaan peraturan perpajakan terkait dalam rangka pengurangan distorsi pajak dalam perekonomian dan mendorong peningkatan rasa keadilan masyarakat. 15 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Upaya penyempurnaan kebijakan juga mendesak diperlukan dalam rangka peningkatan penerimaan dari bea dan cukai dengan mempertimbangkan faktor keselarasan/harmonisasi dengan berbagai ketentuan lain yang berlaku, baik tingkat nasional maupun yang berlaku secara internasional. Kebijakan dimaksud seperti terkait dengan dukungan kepada perkembangan industri dalam negeri dan fasilitasi perdagangan melalui pembebasan bea masuk untuk industri tertentu. Demikian pula halnya dengan penyempurnaan regulasi terkait dengan upaya peningkatan penerimaan PNBP, yang jenis penerimaannya sangat beragam. Penyempurnaan kebijakan berkenaan dengan penetapan pay out ratio, misalnya –dengan tanpa mengabaikan kondisi kesehatan dan kinerja BUMN-- sangat erat kaitannya dengan proporsi peningkatan penerimaan PNBP dari laba BUMN (deviden). Hal yang sama diperlukan pula dalam rangka peningkatan penerimaan dari sumber-sumber lain seperti peningkatan surplus Badan Layanan Umum (BLU)5 yang disetorkan ke Kas Negara, jika dimungkinkan. Penyempurnaan regulasi berkenaan dengan PNBP tidak hanya dilakukan terhadap pola penetapan tarif dan pemberian insentif lainnya, tetapi juga dari sisi pengelolaan dan pelaporan. Oleh karena itu, kebijakan berkenaan dengan pengembangan IT dan penyempurnaan sistem administrasi mutlak diperlukan. Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, kebijakan operasional di bidang pendapatan negara dilaksanakan dengan 2 (dua) cara yaitu, peningkatan kepatuhan dan peningkatan pelayanan. Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak Pemungutan pajak dengan sistem self-assessment menuntut kesadaran yang tinggi dari wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Strategi yang ditempuh guna meningkatkan dan menjaga kepatuhan wajib pajak adalah: (i) Peningkatan jumlah wajib pajak, yaitu melalui upaya pembentukan bank data dan single indentification number (SIN), e-mapping & smart mapping, peningkatan kerjasama/akses data dengan instansi lain, serta penyisiran wilayah-wilayah di mana banyak terdapat anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai wajib pajak; (ii) Pengungkapan SPT wajib pajak tidak jujur atau tidak benar. Strategi ini dilaksanakan untuk memastikan wajib pajak yang telah terdaftar memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan perpajakan; dan 5 Badan layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2005) 16 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (iii) Peningkatan program penyuluhan kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak, memperluas, dan meningkatkan pengetahuan pajak. Upaya penyuluhan pajak dilaksanakan dengan cara: (a) penerapan pendidikan perpajakan kepada generasi muda, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, (b) sosialisasi perpajakan kepada masyarakat, dan (c) penyediaan hotline service bagi masyarakat untuk memperoleh pengetahuan tentang perpajakan, serta (d) optimalisasi fungsi public relation juga dilaksanakan untuk dapat meningkatkan citra positif aparatur pajak. Peningkatan Pelayanan Pajak Pelayanan yang baik kepada wajib pajak dilaksanakan agar wajib pajak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan mudah. Strategi yang ditempuh dalam rangka peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, adalah: (i) Peningkatan kualitas pelayanan administrasi. Pelayanan administrasi meliputi pelayanan lengkap dan baik kepada wajib pajak di tempat pelayanan terpadu serta penyederhanaan prosedur perpajakan dan pemanfaatan teknologi informasi. Penyederhanaan prosedur perpajakan berupa penyederhanaan program pelayanan restitusi dan penyederhanaan surat pemberitahuan pajak. Sedangkan pemanfaatan teknologi informasi meliputi pengembangan program on-line dalam pelaksanaan pajak dan penyempurnaan program pelayanan hotline service. (ii) Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak. Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak dilaksanakan dengan pengembangan risk analysis sebagai dasar pemeriksaan, pengembangan sistem administrasi pemeriksaan pajak, dan pengembangan data matching sebagai basis electronic audit. (iii) Perbaikan manajemen penyidikan pajak. Perbaikan manajemen penyidikan pajak dilaksanakan dengan pengembangan kegiatan intelijen sebagai dasar penyidikan, pengembangan kerjasama dengan instansi penegak hukum lainnya, dan pengembangan sistem administrasi penyidikan pajak. (iv) Perbaikan manajemen penagihan pajak. Upaya perbaikan tersebut adalah melalui pengembangan analisis umur tunggakan dan kemampuan bayar, pengembangan sistem administrasi penagihan pajak, dan pengembangan sistem informasi pendukung pelunasan tunggakan pajak. 17 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Di bidang kepabeanan dan cukai, penyempurnaan administrasi dilakukan untuk menjamin 3 (tiga) hal, yaitu: (a) kepastian penerimaan pendapatan negara yang berasal dari pemungutan bea masuk dan cukai, (b) terlaksananya prakarsa fasilitasi perdagangan, dan (c) keberhasilan pemberantasan penyelundupan dan undervaluation. Pertama, kepastian penerimaan pendapatan negara: Untuk menjamin kepastian penerimaan pendapatan negara dari bea masuk, upaya optimalisasi pendapatan dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan optimalisasi penagihan tunggakan. Hal ini terkait dengan adanya kecenderuangan penurunan pendapatan bea masuk sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah dalam mendukung liberalisasi perdagangan internasional melalui penurunan tarif secara bertahap. Sedangkan untuk penerimaan negara dari pemungutan cukai dilaksanakan melalui (a) peningkatan pengawasan atas peredaran produksi barang kena cukai, (b) pemberantasan peredaran rokok polos, rokok yang dilekati pita cukai palsu, dan rokok yang dilekati dengan pita cukai yang bukan haknya, (c) pengujian tingkat kepatuhan melalui audit, dan (d) peningkatan pelayanan dalam rangka penyediaan dan distribusi pita cukai. Kedua, prakarsa fasilitasi perdagangan: Prakarsa fasilitasi perdagangan dimaksudkan untuk menciptakan iklim perdagangan yang kondusif melalui sistem pelayanan kepabeanan yang prima berbasis teknologi informasi. Iklim perdagangan yang kondusif dapat menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan dan mengembangkan investasinya di bidang perdagangan. Iklim yang kondusif tersebut pada akhirnya akan dapat mendorong peningkatan perdagangan internasional dan arus keluar masuk komoditas perdagangan (ekspor dan impor). ketiga, upaya pemberantasan penyelundupan dan undervaluation: Luasnya wilayah perbatasan antar negara memberikan peluang terbukanya pintu masuk tidak resmi komoditas perdagangan dalam upaya penghindaran terhadap pengenaan bea masuk. Di sisi lain, ketersediaan personil, kantor pelayanan, sarana detektor, fasilitas patroli, dan sarana dan prasarana lain dalam rangka pelayanan kepabeanan sangat terbatas. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh oknum penyelundup untuk melakukan illegal trading dan undervaluation. Pencegahan penyelundupan baik dari illegal trading maupun undervaluation dilakukan melalui upaya pembukaan tempat/kantor pelayanan bea dan cukai baru pada titik-titik strategis di sepanjang perbatasan antar negara, pengadaan fasilitas patroli kepabeanan beserta personil operatornya, perbaikan sistem dan prosedur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. 18 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2. Belanja Negara Fokus strategi belanja negara diarahkan pada peningkatan efektifitas dan efisiensi belanja negara. Peningkatan efektifitas dan efisiensi dilakukan dalam rangka mencapai 5 (lima) target, yaitu: (a) efisiensi pengadaan barang dan jasa, (b) alokasi belanja yang tepat sasaran, (c) alokasi belanja yang berkeadilan sosial, (d) peningkatan kualitas pelayanan, dan (e) citra baik Departemen Keuangan dalam mengelola belanja negara. Pencapaian kelima target tersebut dilakukan melalui mekanisme (i) penetapan kebijakan belanja yang ekonomis, efisien, dan efektif, (ii) perencanaan dan alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil, dan (iii) pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel. Ilustrasi berkenaan dengan fokus strategi di bidang belanja negara tampak dalam Gambar III.2. Gambar III.2 Penetapan kebijakan belanja yang ekonomis, efektif, dan efisien Anggaran belanja negara, sekalipun volumenya relatif kecil terhadap PDB, memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, penyusunan dan pelaksanaannya harus realistis dan memperhatikan aspek kemampuan dalam menghimpun pendapatan. Untuk itu, penyelenggaraan riset yang unggul sangat diperlukan dalam upaya menetapkan kebijakan belanja --yang efektif, ekonomis, dan efisien-- secara tepat. Fokus strategi kebijakan belanja yang research based menghendaki agar penyusunan dan pelaksanaan anggaran dilakukan berdasarkan informasi --yang merupakan produk 19 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA riset— yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Fokus strategi yang mengarah pada efisiensi pengadaan barang dan jasa dimaksudkan untuk mencapai target tingkat optimum pemanfaatan sumber daya keuangan dalam membiayai kegiatan pemerintahan. Untuk itu penerapan prioritas belanja dan efektifitas penggunaan sumber daya keuangan --melalui penajaman prioritas alokasi-- merupakan faktor penting dalam pengendalian efisiensi belanja. Pencapaian efisiensi ini besar artinya bagi upaya perluasan jangkauan alokasi belanja pemerintah dalam membiayai keperluan pemberian layanan publik. Dengan peningkatan/perluasan capaian target ini, upaya percepatan peningkatan pertumbuhan, penguatan stabilitas perekonomian, serta peningkatan pemerataan pendapatan dapat terdukung. Pada aspek administrasi, upaya efisiensi belanja juga dilakukan melalui pemantapan (establishment) pelaksanaan unifikasi anggaran (unified budget), penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja (performance based budget), dan penerapan alokasi belanja negara dalam kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework/MTEF). Terkait dengan alokasi untuk belanja pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan perimbangan keuangan, efisiensi belanja negara diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab sesuai dengan pembagian tugas, kewenangan, dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bertanggung jawab dalam pengertian bahwa penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah --yang selanjutnya diikuti dengan pendanaannya (money follows function)-- harus dapat menjamin efisiensi alokasi belanja dengan cara menghindarkan duplikasi pembiayaan dan perluasan penyelenggaraan layanan publik sesuai bidang tugas masing-masing. Dengan demikian, pemerintah daerah diminta untuk melakukan alokasi belanja secara sinergis dengan Pemerintah Pusat. Sinergis dalam pengertian bahwa alokasi belanja pemerintah daerah dan alokasi belanja pemerintah pusat harus saling mendukung dan tidak terjadi tumpang-tindih/duplikasi. Implementasi kebijakan ini secara konsekuen akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti yang dicita-citakan. Adapun kebijakan berkenaan dengan efektifitas dan efisiensi belanja negara terkait dengan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan ditempuh antara lain melalui: (i) pelaksanaan alokasi belanja daerah sesuai dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; (ii) perumusan kebijakan alokasi dana perimbangan tahunan dan jangka menengah; 20 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (iii) penetapan alokasi dana perimbangan dan belanja daerah lainnya secara tepat waktu; (iv) perumusan karakteristik pendanaan kegiatan dan perumusan kriteria kegiatan yang dapat didanai dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (v) pemetaan pendanaan sektoral di daerah yang mengacu pada peraturan perundang-undangan; dan (vi) pelaksanaan koordinasi dalam rangka sinkronisasi kebijakan menyangkut alokasi belanja yang berasal dari dana desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Perencanaan dan alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil Perencanaan dan alokasi anggaran dilakukan berdasarkan prioritas program pembangunan pemerintah yang mengacu kepada rencana kerja pemerintah (RKP), seperti alokasi dana untuk fungsi pendidikan dan kesehatan. Perencanaan dan alokasi anggaran, khususnya belanja pemerintah pusat, disusun dalam kerangka penyusunan penganggaran terpadu (unified budget) secara konsisten. Perencanaan dan alokasi anggaran diawali dengan penyusunan perhitungan dasar anggaran (baseline budget) sesuai dengan kebutuhan belanja pemerintah pusat yang rasional. Untuk itu, akurasi, kelengkapan, dan komprehensitas data dan model perencanaan dan alokasi anggaran yang kredibel menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan perencanaan dan alokasi anggaran secara tepat dan adil. Selanjutnya, dilakukan penyusunan langkah-langkah kebijakan (policy measures) dengan memperhitungkan dampak fiskalnya terhadap belanja Pemerintah Pusat secara keseluruhan, defisit, dan pembiayaan anggaran. Adapun langkah-langkah dalam kaitannya dengan penajaman prioritas alokasi anggaran yang tepat sasaran dan adil meliputi penetapan kebijakan: (i) perbaikan kesejahteraan aparatur negara dalam batas kemampuan keuangan negara; (ii) peningkatan efisiensi belanja barang dan jasa; (iii) pengurangan secara bertahap subsidi yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin; (iv) pengurangan beban bunga utang; (v) peningkatan belanja modal untuk infrastruktur; (vi) peningkatan bantuan sosial yang langsung menyentuh kepentingan rakyat miskin; dan (vii) penyediaan dana cadangan umum untuk mengantisipasi perubahan asumsi makro atau tidak tercapainya langkah-langkah kebijakan yang direncanakan. 21 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Khusus, terkait dengan mekanisme perhitungan dasar anggaran (baseline budget) berkenaan dengan perencanaan dan alokasi anggaran untuk keperluan pemerintah daerah, penajaman prioritas dilakukan melalui: (i) pengembangan dan peningkatan kualitas database; dan (ii) penetapan besaran alokasi dengan mempertimbangkan besaran-besaran pendapatan dalam negeri sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel Pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan anggaran meliputi penyiapan dokumen pelaksanaan anggaran, penyaluran anggaran/pelaksanaan pembayaran, pengelolaan kas/uang negara, dan pertanggungjawaban atas realisasi anggaran. Sejalan dengan penerapan prinsip good governance, keseluruhan pelaksanaan anggaran dimaksud diupayakan dilakukan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan fiskal (fiscal transparency). Selanjutnya, untuk mendukung pelaksanaan anggaran sesuai prinsip good governance, Departemen Keuangan selaku otoritas pengelolaan fiskal menyusun rumusan kebijakan/peraturan dan petunjuk teknis berkenaan dengan pelaksanaan anggaran, termasuk ketentuan-ketentuan tentang penyusunan dan penetapan dokumen pelaksanaan anggaran, mekanisme pembayaran, sistem pengelolaan kas, dan sistem akuntansi transaksi keuangannya. Penyusunan Pemerintah/Peraturan rumusan Presiden), kebijakan dan petunjuk dan/atau teknis peraturan (Peraturan (Peraturan Menteri Keuangan/Peraturan Direktur Jenderal) dilakukan sesuai Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Adapun untuk mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan kas negara secara akurat, efisien, dan andal, Departemen Keuangan bertekad menerapkan mekanisme pengelolaan rekening sesuai pola Treasury Single Account (TSA). Mekanisme yang sudah mulai diujicobakan ini diharapkan sudah dapat efektif berlaku pada tahun 2009 mendatang. Pengelolaan kas tersebut dilakukan dalam rangka efisiensi dengan prinsip pokok “meminimalkan biaya” dan “memaksimalkan manfaat”, sebagai contoh efisiensi kas berkenaan dengan pemanfaatan idle cash. Sementara itu, untuk mewujudkan percepatan penyelesaian peningkatan kualitas laporan keuangan pemerintah pusat secara tepat waktu, andal, transparan, dan komprehensif, Pemerintah (d.h.i. Departemen Keuangan) telah menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan6 yang selanjutnya menjadi standar dalam penyusunan sistem akuntansi pemerintah pusat. Sistem akuntansi pemerintah pusat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. 22 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dimaksud selanjutnya menjadi pedoman dalam proses akuntansi transaksi keuangan dalam rangka APBN untuk menghasilkan suatu laporan keuangan pemerintah pusat yang diperlukan baik dalam mendukung kebutuhan pimpinan Departemen Keuangan (management report) dalam pengambilan keputusan sepanjang tahun anggaran maupun laporan keuangan7 tahunan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran (accountability report) sesuai ketentuan undang-undang. Laporan keuangan berbasis harian untuk pertimbangan pimpinan dalam pengambilan keputusan (management report) merupakan hasil pokok dari proses akuntansi dalam sistem akuntansi pemerintah pusat. Laporan manajemen ini bersifat interim dan akan dapat berubah setelah dilakukan verifikasi atas kebenaran (validitas) data transaksinya. Atas laporan ini akan diterbitkan laporan penyesuaian setelah dilakukan berbagai perbaikan sesuai hasil verifikasi akuntansi yang dapat disebut sebagai laporan akuntabilitas. Laporan manajemen yang berbasis harian ini dapat diterbitkan secara harian, mingguan, bulanan, semester, dan tahunan. Sejalan dengan proses akuntansi di atas, secara khusus, lazimnya diterbitkan secara bulanan, harus dikeluarkan laporan keuangan yang bersifat pernyataan (statement) dan merupakan bagian dari pertanggungjawaban (accountability report) pelaksanaan anggaran. Laporan ini, sesuai undang-undang, sekurang-kurangnya terdiri atas laporan realisasi anggaran (LRA), laporan arus kas (LAK), dan catatan atas laporan keuangan (CaLK)8 tersebut. Selain laporan-laporan intern Departemen, Departemen Keuangan selaku bendahara umum negara (BUN) juga membuat laporan keuangan tahunan dalam rangka pertanggungjawaban pemerintah --yang terdiri atas laporan realisasi anggaran (LRA), laporan arus kas (LAK), neraca keuangan pemerintah (Neraca), dan catatan atas laporan keuangan (CaLK)-- yang dihimpun dari berbagai Kementerian Negara/Lembaga. Laporanlaporan yang dihasilkan dalam rangka pertanggungjawaban pemerintah ini diatur dalam sistem akuntansi pemerintah yang berlaku baik untuk pengguna anggaran maupun BUN. 3. Pembiayaan Anggaran Fokus strategi di bidang pembiayaan anggaran diarahkan pada pencapaian target 5 (lima) indikator menguatnya kemampuan pembiayaan pemerintah, yaitu: (a) penurunan stok utang, (b) penggunaan utang secara selektif, (c) optimalisasi pemanfaatan hibah dan utang, 7 Laporan Keuangan terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan, serta dilampiri dengan Ikhtisar laporan keuangan BUMN. 8 CaLK merupakan catatan atas laporan realisasi anggaran dan laporan arus kas dan merupakan bagian tak terpisahkan dari laporan keuangan tersebut. 23 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (d) terwujudnya rasa aman bagi masyarakat, dan (e) citra yang baik bagi Departemen Keuangan. Capaian tertinggi yang diharapkan dari arah fokus strategi pembiayaan adalah mewujudkan rasa aman bagi masyarakat dalam bertransaksi keuangan. Kondisi tersebut diyakini akan menaikkan citra Pemerintah (d.h.i. Departemen Keuangan) di mata publik. Pembentukan citra dilakukan melalui kebijakan pembiayaan anggaran, perencanaan pembiayaan, dan pengelolaan utang pemerintah. Fokus strategi pembiayaan anggaran dilihat dari 4 (empat) perspektif Balanced Scorecard dapat dilihat pada Gambar III.3. Gambar III.3 Kebijakan pembiayaan anggaran Fokus strategi di bidang pembiayaan anggaran diarahkan pada peningkatan ketahanan utang yang ditandai dengan tingkat likuiditas (liquidity), solvabilitas (solvability), dan daya tahan (vulnerability) yang mantap. Sejalan dengan itu, orientasi kebijakan pembiayaan adalah untuk menurunkan stok utang dan menciptakan sumber-sumber pembiayaan alternatif guna menutup defisit anggaran yang terjadi. Dengan terciptanya kondisi tersebut ketahanan utang yang berkelanjutan (debt sustainability) akan dapat terwujud. Kebijakan pokok penurunan stok utang dalam negeri dilakukan melalui pengelolaan utang secara baik dengan kematangan perhitungan (sound and prudent debt management policy). Langkah yang harus ditempuh adalah dengan pemenuhan kewajiban pembayaran 24 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA pokok dan bunga utang yang jatuh tempo dan pengaturan pembayaran kembali pokok dan bunga utang. Pengaturan pembayaran kembali difokuskan pada pendistribusian beban pembayaran utang pada suatu tahun ke tahun-tahun berikutnya dengan memperhatikan kemampuan membayar. Kebijakan pokok penurunan stok utang luar negeri dilakukan melalui upaya pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo secara tepat waktu, melakukan percepatan pembayaran kembali utang berbiaya tinggi dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, peningkatan ketepatan waktu pencairan pinjaman, pertukaran utang dengan program-program pembangunan (debt swap for development), dan pengurangan pinjaman baru. Sejalan dengan upaya penciptaan alternatif sumber pembiayaan dalam negeri, upaya pengurangan stok utang luar negeri diharapkan dapat berjalan dengan baik. Kebijakan pengurangan stok utang juga perlu ditekankan kepada jajaran pimpinan pemerintahan daerah, agar daerah dapat mengendalikan dengan baik stok utang dan kegiatan peminjamannya. Kebijakan terkait dengan pengurangan stok utang daerah dapat dilakukan melalui penyiapan peraturan pemerintah untuk memberikan batasan dan/atau peraturan lainnya yang dapat dijadikan panduan. Khusus, terkait dengan strategi pengamanan pembiayaan daerah perlu dilakukan: (i) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan ketentuan mengenai batas kumulatif pinjaman daerah dan batas kumulatif defisit anggaran daerah9; (ii) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pinjaman daerah, pelaksanaan penerusan pinjaman luar negeri, dan penerbitan obligasi daerah; serta (iii) penyusunan ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan pinjaman daerah dan penerusan pinjaman luar negeri dan obligasi daerah. Perencanaan pembiayaan anggaran Perencanaan anggaran yang baik dan matang yang didasarkan atas informasi akurat dapat memperkecil peluang terjadinya pembiayaan. Pembiayaan yang merupakan gap antara pendapatan negara dan belanja negara dapat terjadi baik untuk yang bernilai defisit maupun surplus. Pembiayaan defisit pada prinsipnya adalah upaya memperoleh sumber dana untuk menutup defisit, sedangkan pembiayaan surplus dilakukan sebagai upaya pemanfaatan saldo dalam rangka memperoleh nilai tambah ekonomi. Fokus strategi pembiayaan hingga tahun 2009 mendatang masih diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan untuk menutup defisit hingga dicapainya kondisi surplus 9 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003. 25 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA yang diharapkan sebesar 0,3%. Dengan demikian perencanaan pembiayaan harus dilakukan sebaik mungkin, terutama terkait dengan perencanaan kebutuhan dan pemilihan sumbersumber pembiayaan anggaran, agar terwujud pembiayaan anggaran yang realistis, akurat, efisien dan sustainable. Untuk itu kebijakan perencanaan pembiayaan harus dimulai dengan merencanakan baseline estimate (estimasi dasar) sesuai dengan kebutuhan pembiayaan anggaran. Estimasi dasar tersebut harus didukung oleh kualitas data yang akurat, lengkap, komprehensif dan penggunaan model perencanaan pembiayaan anggaran yang kredibel. Perencanaan pembiayaan anggaran juga dilaksanakan dengan merumuskan langkahlangkah kebijakan (policy measures) dan memperhitungkan dampak fiskalnya terhadap defisit APBN dan pembiayaan anggaran di masa datang agar dapat mendukung kesinambungan fiskal. Langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh meliputi: (i) merumuskan komposisi pembiayaan anggaran, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan biaya terendah; (ii) pengurangan pinjaman luar negeri khususnya pinjaman komersial secara bertahap; (iii) pengurangan privatisasi dan penjualan aset-aset program restrukturisasi perbankan secara bertahap; (iv) perumusan Debt Swap sebagai sumber pembiayaan alternatif; serta (v) mengendalikan penggunaan rekening pemerintah pada Bank Indonesia. Strategi pinjaman luar negeri pemerintah dilaksanakan dengan melakukan seleksi terhadap proyek-proyek yang akan dibiayai pinjaman luar negeri dan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri diharapkan dapat menjadi pemacu bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri sehingga utang dapat menjadi suatu pembiayaan yang menguntungkan. Sementara, pinjaman pemerintah yang berasal dari dalam negeri dimaksudkan guna menutup defisit anggaran tahun berjalan dan mengatasi kekurangan kas negara. Strategi pinjaman dalam negeri pemerintah dilaksanakan dengan manajemen portofolio SUN dengan tujuan untuk: (i) menurunkan refinancing risk; (ii) memperpanjang rata-rata jatuh tempo, (iii) menyeimbangkan struktur jatuh tempo sejalan dengan anggaran pemerintah dan kapasitas penyerapan pasar; (iv) mengembangkan dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder; dan 26 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (v) menurunkan stok utang dalam negeri dengan program buyback di pasar sekunder. Pengelolaan utang pemerintah Kebijakan pengelolaan utang pemerintah diarahkan untuk meminimasi biaya dan memaksimalkan manfaat utang. Strategi minimasi biaya ditempuh melalui upaya peningkatan penyerapan pinjaman (loan disbursement). Peningkatan penyerapan pinjaman dimaksudkan untuk menghindari biaya yang tidak perlu seperti commitment fee atau pun tambahan biaya bunga. Seiring dengan upaya peningkatan penyerapan pinjaman, aspek kesesuaian terhadap persyaratan pinjaman juga harus menjadi perhatian guna menghindari penarikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (ineligible disbursement). Strategi maksimasi manfaat utang ditempuh melalui peningkatan efektifitas pelaksanaan program atau proyek yang dibiayai utang agar dapat diselesaikan sesuai rencana dan tepat waktu. Efektifitas pelaksanaan program atau proyek yang dibiayai utang, baik dari segi waktu maupun spesifikasi teknis, akan dapat memberi manfaat/kontribusi langsung terhadap perekonomian nasional dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Dengan demikian, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan pendanaan proyek yang dibiayai dengan pinjaman maupun hibah, serta pelaksanaan replenishment oleh Executing Agency (EA) perlu ditingkatkan. Selain strategi minimax (minimasi biaya dan maksimasi manfaat), pemerintah memandang perlu untuk menerapkan strategi penatausahaan utang secara lebih baik. Penatausahaan utang yang baik akan dapat meningkatkan daya saing untuk mengimbangi dan menghadapi kecepatan arus informasi era global. Oleh karena itu perbaikan database dan penggunaan teknologi informasi adalah kunci keberhasilan pengelolaan utang. Wacana penatausahaan utang yang diperkenalkan oleh UNCTAD-UNDP melalui program DMFAS (Debt Management Financial Analysis System) patut dipertimbangkan untuk dimanfaatkan dan menjadi benchmark dalam membangun mekanisme penatausahaan utang pemerintah. Hal ini penting, mengingat database utang sangat penting artinya bagi perencanaan utang dan pembayarannya agar terhindar dari kemungkinan biaya yang tidak perlu seperti tambahan biaya bunga atau bahkan denda. Sementara itu, khusus terkait dengan pengelolaan portofolio SUN, perlu diupayakan strategi pengelolaan portofolio SUN secara baik dan dengan kematangan perhitungan (sound and prudent debt management) sesuai strategi pinjaman dalam negeri10. Sejalan dengan itu, dapat ditempuh kebijakan: 10 Strategi pinjaman dalam negeri pemerintah dilaksanakan dengan manajemen portofolio SUN dengan tujuan untuk (i) menurunkan refinancing risk; (ii) memperpanjang rata-rata jatuh tempo, (iii) menyeimbangkan struktur jatuh tempo sejalan dengan anggaran pemerintah dan kapasitas penyerapan pasar; (iv) mengembangkan dan 27 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (i) Pembayaran bunga dan pokok tepat waktu Kebijakan ini dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan utang. (ii) Penerbitkan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing Kebijakan ini, selain memberikan pilihan investasi kepada pelaku pasar, dapat pula membuka alternatif sumber pembiayaan baru di luar utang luar negeri. Kendati demikian, pemberlakuan kebijakan ini perlu diawali dengan suatu kajian mendalam terkait dengan komposisi, risiko baik biaya maupun akibat yang ditimbulkannya, dan kemampuan membayar Pemerintah. (iii) Pembelian kembali SUN (buy back) Kebijakan pembelian kembali SUN (buy back) diarahkan membagi beban pembayaran bunga dan pokok suatu tahun ke tahun berikutnya. Oleh karena itu program buy back lebih bersifat perpanjangan tanggal jatuh tempo. Hal ini diperlukan mengingat kemampuan anggaran pemerintah untuk membayar dan penyerapan pasar untuk refinancing. Dengan demikian buy back ditujukan untuk mengurangi jumlah SUN berjangka pendek (jatuh tempo 2005-2009). Program ini diharapkan dapat memperkuat kepercayaan pasar terhadap kebijakan fiskal pemerintah (termasuk debt management). (iv) Pertukaran SUN (debt switching) Program perpanjangan jatuh tempo SUN dapat pula dijalankan melalui mekanisme pertukaran (switching). Program ini menawarkan SUN jangka panjang sebagai pengganti SUN jangka pendek melalui mekanisme pasar sehingga dapat mengurangi refinancing risk. (v) Pengembangan instrumen SUN Pengembangan instrumen SUN dapat dilakukan dengan menerbitkan SUN yang dapat dijadikan benchmark dan likuid di pasar sekunder. (vi) Peningkatan koordinasi dengan otoritas moneter Koordinasi dengan otoritas moneter harus menjadi komitmen kebijakan dalam rangka evaluasi berkala terhadap indikator makro ekonomi, pertukaran informasi dan dialog, serta menyelaraskan program SUN dengan kebijakan moneter. Pengelolaan penerusan pinjaman (on-lending) di masa mendatang harus merupakan bagian integral dari pengelolaan utang. Kendati demikian, dalam rangka transparansi dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder; dan (v) menurunkan stok utang dalam negeri dengan program buyback di pasar sekunder. 28 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA akuntabilitas pengelolaannya perlu diselenggarakan akuntansi penerusan pinjaman secara khusus. Demikian pula dengan legal aspect berkenaan dengan penerusan pinjaman. Syaratsyarat, mekanisme, dan hak dan kewajiban terkait dengan pemberian dan/atau penyaluran serta pengembalian pinjaman berkenaan dengan penerusan pinjaman perlu diatur secara jelas. 4. Kekayaan Negara Kekayaan negara merupakan potensi kekuatan yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, fokus strategi di bidang kekayaan negara diarahkan pada optimalisasi pengelolaan dan penilaian kekayaan negara. Pengelolaan kekayaan negara harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan prinsip-prinsip good governance, dalam melakukan perencanaan kebutuhan, pelaksanaan pengadaan, penguasaan, penatausahaan, sampai dengan pertanggungjawaban. Pengelolaan kekayaan negara seyogianya dilakukan oleh otoritas tertentu yang ditunjuk untuk tugas tersebut. Hal ini sangat penting artinya untuk menciptakan kejelasan akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara. Gambar III.4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengamanatkan kepada Menteri Keuangan untuk mengelola kekayaan negara mengandung konsekuensi bahwa Menteri Keuangan bertanggung jawab atas manfaat yang dapat 29 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA diperoleh dan biaya yang timbul dari kekayaan negara yang dikelola. Dengan demikian, akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara selanjutnya dapat diukur dari seberapa besar manfaat yan diperoleh dari sejumlah biaya yang dikeluarkan. Sementara itu, penilaian kekayaan negara sangat penting artinya guna memperoleh data, “seberapa besar nilai aset yang dimiliki pemerintah”. Hal ini akan berpengaruh dalam penentuan posisi Pemerintah Republik Indonesia dalam rating guna mendongkrak tingkat kepercayaan pasar terhadap pemerintah. Dari fokus strategi ini, diharapkan --melalui upaya optimalisasi pemanfaatan kekayaan negara, baik secara sosial maupun ekonomis— citra Departemen Keuangan sebagai pengelolaan kekayaan negara yang baik akan dapat terwujud. Untuk mencapai sasaran dimaksud, lebih lanjut perlu diuraikan secara jelas pokok-pokok kebijakan, rencana pemanfaatan, dan pelaksanaan pemanfaatan kekayaan negara yang seyogianya dilakukan oleh otoritas pengelola kekayaan negara. Fokus strategi pengelolaan kekayaan negara dapat dillustrasikan dalam Gambar III.4 di atas. Kebijakan pengelolaan kekayaan negara Sesuai KMK Nomor Kep. 225/MK/V/4/1971, yang dimaksud barang-barang milik/kekayaan negara yaitu: “semua barang-barang milik negara/kekayaan negara yang berasal/dibeli dengan dana yang bersumber untuk keseluruhannya atau sebagian dari Anggaran Belanja Negara yang berada di bawah pengurusan atau penguasaan departemendepartemen, lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga pemerintah non departemen serta unit-unit dalam lingkungannya yang terdapat baik di dalam maupun di luar negeri. Barangbarang ini tidak termasuk kekayaan negara yang telah dipisahkan (kekayaan perum dan persero) dan barang-barang/kekayaan daerah otonom”. Sebagaimana dikemukakan di atas, kekayaan negara mencerminkan potensi nilai yang dimiliki pemerintah dan oleh karenanya menempati peran strategis dalam upaya memperbaiki kondisi keuangan negara. Untuk itu, kekayaan negara harus dikelola dengan baik dan dilakukan penilaian dengan memperhatikan kondisi pasar, lingkungan, dan perkembangan teknologi yang sangat cepat. Pengelolaan kekayaan negara pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai tujuan meningkatkan daya guna kekayaan negara, sementara penilaian kekayaan negara ditujukan untuk menentukan nilai ekonomi (existing value) serta nilai potensi (potential value) kekayaan negara. Oleh karena itu, kebijakan pemanfaatan kekayaan negara harus diarahkan kepada optimalisasi manfaat dan pengurangan biaya. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan dan penilaian kekayaan negara sekurang-kurangnya fokus pada: (i) pemanfaatan kekayaan negara secara optimal, (ii) pengamanan kekayaan negara, dan (iii) efisiensi, 30 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (iv) terhindarnya penetapan harga di bawah standar yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, (v) akurasi nilai kekayaan negara, (vi) kemudahan dalam pengendalian, (vii) jaminan kepastian hukum. Kebijakan di bidang pengelolaan kekayaan negara diarahkan untuk mensinergikan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan negara untuk kepentingan nasional. Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan di bidang pengelolaan kekayaan negara tidak dimaksudkan sebagai campur tangan pemerintah pusat untuk menguasai kekayaan suatu daerah. Pengelolaan kekayaan negara Pengelolaan Kekayaan Negara baik yang dikelola pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan BUMD, BUMN, dan Badan Hukum Milik Negara meliputi inventarisasi, perolehan, pengamanan, penggunaan, pemanfaatan, penggunaan, pemindahtanganan, serta penghapusan. Inventarisasi merupakan pencatatan seluruh kekayaan negara termasuk pembukuan, penyusunan database, dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai informasi dan bahan untuk penyusunan dan pengadaan kekayaan negara. Perolehan/pengadaan barang milik/kekayaan negara dapat dilakukan dengan perencanaan dan pengadaan, penerimaan hibah, atau kekayaan yang dikuasai negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai kebijakan umum pemerintah, pengadaan barang mengutamakan barang produksi dalam negeri dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan, harga yang wajar, dan kualitas yang baik. Selanjutnya, pengamanan kekayaan negara meliputi kegiatan pengamanan secara administratif, hukum, dan fisik, sehingga keberadaannya dalam keadaan utuh, tidak rusak, tidak hilang, dan dapat dipergunakan serta dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu upaya pengamanan kekayaan negara dilaksanakan dengan melakukan sertifikasi nasional atas tanah dan bangunan milik negara. Penggunaan kekayaan negara merupakan kegiatan pendayagunaan kekayaan negara untuk dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Penggunaan kekayaan negara secara maksimal diharapkan dapat mengurangi adanya aset yang menganggur (idle asset). Sedangkan pemanfaatan kekayaan negara merupakan pendayagunaan barang milik/ kekayaan negara oleh pihak lain dalam bentuk penyewaan, peminjaman, dan bangun guna serah (BOT = Built, Operate, and Transfer) dengan mempertimbangkan nilai tambah ekonomis bagi negara. Kemudian, pemindahtanganan barang milik kekayaan negara yang dilakukan baik dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, disertakan sebagai modal Pemerintah sesuai dengan nilai ekonomis yang optimal. Pemindahtangan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan baik nilai riil (existing value) maupun nilai potensial (potential value), sehingga 31 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA kemungkinan timbulnya kerugian negara (potential loss) yang disebabkan hilangnya kekayaan negara yang tidak dapat diukur dapat dihindarkan. Penghapusan merupakan kegiatan penghapusan kekayaan negara dari daftar inventaris dengan mempertimbangkan aspek ekonomis maupun non-ekonomis atas pengelolaan barang milik/kekayaan negara tersebut. Pelaksanaan penghapusan dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga kerugian negara dapat dihindarkan. Penilaian kekayaan negara Untuk memperjelas Pelaksanaan pengelolaan dan penilaian kekayaan negara dimaksudkan untuk memperoleh estimasi/perkiraan nilai suatu barang milik kekayaan negara. Dengan adanya penilaian ini, maka kekayaan negara yang sudah terukur nilai nominalnya dan terbukti keberadaannya akan diserap dalam laporan keuangan khususnya neraca keuangan pemerintah. Dengan demikian, penilaian kekayaan negara merupakan langkah awal dari usaha pengelolaan aset/harta kekayaan negara menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kegiatan penilaian ditujukan untuk melakukan estimasi dan memprediksi nilai dari sesuatu barang dengan tujuan mendapatkan perkiraan nilainya. Penilaian kekayaan negara merupakan langkah awal dari usaha pengelolaan aset/harta kekayaan negara, yang merupakan salah satu langkah menuju kepemerintahan yang baik (good governance). Dengan adanya penilaian ini, maka kekayaan negara yang sudah terukur nilai nominalnya dan terbukti keberadaannya akan diserap dalam laporan neraca keuangan pemerintah. Kegiatan penilaian yang diperlukan dalam rangka pengelolaan kekayaan negara meliputi inventarisasi, pemindahtanganan, dan jenis pengelolaan harta kekayaan negara yang lain yang harus didasarkan atas kondisi nilai terkini dari harta yang bersangkutan. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Sejalan dengan maksud Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18A ayat (2) pelaksanaan otonomi daerah mulai digulirkan pada tahun 2001 lalu dan membawa konsekuensi penyerahan beberapa kewenangan kepada Pemerintah Daerah yang memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat11. Penyerahan wewenang tersebut harus pula diikuti oleh pendanaannya sesuai dengan prinsip money follows function. Pendanaan dimaksud, yang secara langsung akan berdampak pada kondisi fiskal pemerintah dalam bentuk dana desentralisasi, dana 11 Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali uruhan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, monieter dan fiscal nasional, dan agama (Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). 32 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, sudah dipaparkan dalam fokus strategi reformasi di bidang belanja negara. Pendanaan yang terkait dengan pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi pendanaan langsung kepada Daerah12 dan pendanaan tidak langsung. Selain pendanaan secara langsung kepada Daerah seperti dana desentrasilasi, dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan, Departemen Keuangan juga melaksanakan kewenangan dalam kaitannya dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah yang meliputi antara lain evaluasi pajak daerah, penetapan pinjaman daerah, dan pembangunan sistem informasi keuangan daerah. Pelaksanaan kewenangan tersebut memiliki tujuan agar terwujudnya hubungan yang harmonis antara Pemerintah Pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian kesinambungan fiskal sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dalam pencapaian tujuan tersebut, hal pertama yang harus dilaksanakan adalah mengkaji ekonomi dan keuangan dalam kaitannya dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengkajian tersebut meliputi pemisahan secara jelas kewenangan antara Pusat dan Daerah, pengkajian kebijakan di bidang pemberdayaan keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), lembaga keuangan daerah, dan perusahaan daerah untuk mendukung peningkatan pendapatan daerah, serta pengkajian kebijakan di bidang pendanaan pengembangan ekonomi kawasan tertentu. Selain itu, kewenangan di bidang hubungan pusat dan daerah juga mencakup mengenai evaluasi dan pengawasan terhadap peraturan daerah atas pajak dan retribusi daerah. Pengawasan ini dimaksudkan tidak hanya agar daerah dapat lebih optimal dalam penggalian pendapatan asli daerah, tetapi juga agar pajak yang dipungut daerah dapat sinkron dengan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga tidak membebankan masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya. Selanjutnya, sesuai dengan amanat UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, jumlah maksimal kumulatif rasio besaran defisit APBN dan APBD sebesar 3% terhadap PDB dan rasio pinjaman sebesar 60% terhadap PDB. Berkaitan dengan besaran defisit, Departemen Keuangan selaku pengelola fiskal memiliki kewajiban untuk mengendalikan defisit, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk Pemerintah Daerah, akan dilakukan perumusan kebijakan penataan keuangan daerah dan pengendalian defisit anggaran daerah, serta perumusan kebijakan, bantuan teknis, pemantauan dan evaluasi kemampuan keuangan daerah. Untuk mendukung pencapaian hal tersebut, akan dilakukan penyusunan profil kemampuan keuangan daerah. Dalam kaitannya dengan pinjaman daerah, sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pinjaman dan obligasi daerah yang 12 Pendanaan yang secara langsung berdampak pada kondisi fiskal pemerintah berbentuk dana desentralisasi, dana dekonsentrasi, dan dana tugas pembantuan. Pembahasan mengenai strategi dipaparkan pada fokus strategi reformasi di bidang belanja negara. 33 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA efektif dan efisien serta terciptanya redefinisi perencanaan dan pemanfaatan pinjaman untuk daerah dalam kontribusi terhadap pembangunan nasional. Untuk mencapai hal tersebut, akan dilakukan pengukuran dan analisis potensi daerah dalam kaitannya dengan perekonomian dan kemampuan membayar kembali pinjaman dan sumber-sumber pembiayaannya, serta fasilitasi dan pemberian bimbingan teknis terhadap pinjaman daerah dan obligasi daerah dalam kerangka pengendalian jumlah kumulatif pinjaman. Pemantauan terhadap pajak daerah, defisit daerah dan pinjaman daerah harus ditopang oleh sistem informasi keuangan daerah yang transparan, akurat, relevan, tepat waktu, dapat diperbandingkan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai hal tersebut, langkah pertama adalah penerapan prinsip-prinsip penganggaran (seperti penganggaran berbasis kinerja, unifikasi anggaran, dan pengklasifikasian belanja mengacu pada praktek terbaik internasional), pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban (seperti penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan). Selanjutnya, dilakukan langkahlangkah untuk mengakomodasi prinsip-prinsip tersebut, seperti penyempurnaan format APBD dan penyajian dan penyusunan laporan keuangan. Hal ini merupakan syarat bagi terselenggaranya konsolidasi antara informasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Penyempurnaan format-format tersebut selanjutnya difasilitasi dengan pengembangan aplikasi pelaporan informasi keuangan daerah. KERJASAMA INTERNASIONAL Kerjasama Internasional dilakukan dalam rangka meningkatkan kerjasama ekonomi dan keuangan dengan lembaga-lembaga keuangan internasional, regional, multilateral, dan bilateral. Untuk mencapai hal tersebut, strategi yang dilakukan Departemen Keuangan adalah pengkajian dan pemantauan (surveillance) perkembangan ekonomi dan keuangan internasional serta peran pemerintah dalam forum ekonomi internasional. Selanjutnya, dilakukan pengkoordinasian, pemantauan, dan perumusan kebijakan kerjasama ekonomi dan keuangan internasional agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif serta dapat mendukung kebijakan fiskal. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA Sebagai potensi, sumber daya yang terbatas harus dikelola secara efektif, terencana, dan sinergis. Bagi organisator yang sukses, pengelolaan sumber daya --baik manusia, informasi, maupun organisasi-- merupakan kegiatan yang menantang dan tiada akhir. Oleh karena itu kreatifitas dalam mengelola sumber daya dipandang sebagai tantangan untuk maju dan berkembang secara terus-menerus (learning growth perspective). Kreatifitas tinggi dalam mengelola sumber daya merupakan energi besar bagi sukses sebuah organisasi. 34 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Berikut ini fokus strategi Departemen Keuangan dalam mengelola sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya informasi, maupun sumber daya organisasi dari sudut pandang proses pembelajaran dan pertumbuhan (learning growth perspective). 1. Sumber Daya Manusia Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai sangat dipengaruhi oleh modal sumber daya manusia (human capital) yang dimiliki. Human capital merupakan perpaduan dari commitment, commpetence, character, dan courage yang dimiliki oleh setiap pegawai. Keberhasilan pencapaian kinerja tidak hanya ditentukan oleh penguasaaan pengetahuan yang mendalam (hardskill atau hard competence), tetapi juga sangat dipengaruhi oleh sikap perilaku yang dimiliki pegawai dalam menghadapi pekerjaan (softskill). Karena itu, pengembangan pegawai agar menjadi modal sumber daya menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan organisasi yang diwujudkan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan pegawai. Dalam konteks perubahan, pegawai merupakan faktor utama dan penentu yang menjadi subyek pelaku perubahan (agent of change) sekaligus sebagai obyek (sumber daya) yang harus dikelola secara benar, terencana, dan komprehensif. Oleh karena itu, dalam RoadMap Departemen Keuangan Tahun 2005-2009, faktor manusia tidak saja dituntut untuk memproses perubahan, tetapi juga harus dapat turut berproses dalam perubahan. Tuntutan untuk memproses perubahan dapat dimengerti sebagai faktor dinamis yang harus memberi efek pengubah dari satu kondisi (old status) ke kondisi lain (new status) yang direncanakan. Sebagai contoh, posisi tax-ratio sebesar 11% pada tahun 20005 merupakan salah satu penilaian posisi Departemen Keuangan. Dengan keberadaan pegawai sebagai salah satu faktor pengubah, diharapkan posisi tax-ratio pada Tahun 2009 dapat diubah atau ditingkatkan dengan menghasilkan suatu keseimbangan baru, misalnya menjadi sebesar 16%. Adapun tuntutan untuk berproses dalam perubahan mengandung pengertian bahwa pegawai itu sendiri, sebagai sumber daya, harus diperhitungkan perubahannya dari posisi pada tahun 2005 ke posisi tahun 2009 untuk dapat mencapai target posisi tax-ratio sebesar 16% tersebut. Misalnya, perlu penambahan pegawai dan perlu pengembangan kualitas, kapasitas, dan loyalitas pegawai. Target tax ratio di atas menghendaki pegawai untuk bekerja keras meningkatkan jumlah wajib pajak, dengan angka peningkatan yang jauh melampaui angka perkembangan populasi penduduk yang ada. Dengan demikian, kebutuhan yang perlu dikelola berkenaan dengan faktor pegawai berupa peningkatan ketrampilan dan keahlian dalam menjaring 35 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA subyek pajak dan penambahan jumlah aparatur untuk dapat dipekerjakan menangani administrasi perpajakan di berbagai sentra wajib pajak yang harus dilayani. Menyikapi perubahan sebagai sesuatu yang tiada pernah berhenti (change is eternal), kita perlu menyiapkan faktor-faktor penyanggah agar proses perubahan tidak bergerak ke posisi menurun (declining). Faktor penyanggah berperan sebagai stabilisator gerakan perubahan ke arah puncak secara terencana dan terus-menerus. Faktor penyanggah sumber daya manusia (SDM) yang penting dalam proses perubahan tersebut adalah revitalisasi dan regenerasi. Revitalisasi dapat dipahami sebagai proses pengelolaan sumber daya yang ada agar selalu dalam kondisi fit dan produktif. Proses ini diarahkan pada peningkatan produktifitas dan perpanjangan usia produktif. Sementara, regenerasi merupakan proses membentuk kader atau kaderisasi yang dapat meneruskan dan mengembangkan proses produksi dan/atau pelaksanaan kegiatan di lingkungan Departemen Keuangan. Regenerasi dapat berarti menjaga kesinambungan kualitas populasi. Regenerasi juga bermakna sebagai proses meningkatkan dan mengembangkan jumlah populasi. Kedua faktor penyanggah ini harus menjadi bagian dari rencana kerja seluruh unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan. Pertumbuhan SDM yang proporsional dengan tuntutan kebutuhan Departemen Keuangan harus dapat dijaga kelangsungannya. Untuk menjaga stabilitas pertumbuhan tersebut, baik proses revitalisasi maupun regenerasi harus dilaksanakan secara terusmenerus dan konsisten. Proses revitaliasi dapat ditempuh melalui peningkatan motivasi, peningkatan kemampuan adaptasi terhadap perkembangan, pelatihan, peningkatan jenjang pendidikan, dan pemberian reward and punishment. Sedangkan proses regenerasi dapat dilakukan melalui penerimaan pegawai baru (recruitment) dan peningkatan jumlah pegawai dalam kelas/tingkatan tertentu. Langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan human capital meliputi kegiatan identifikasi jenis pekerjaan strategis yang ada, mendefinisikan profil kompetensi yang harus dimiliki SDM, membuat assessment atas kompetensi SDM yang ada, dan membangun program pengembangan SDM (human capital development) yang dapat meliputi rekruitmen, pelatihan, penyusunan sistem remunerasi yang diperlukan, dan penilaian kesiapan organisasi. Model pengembangan SDM di lingkungan Departemen Keuangan disajikan dalam bentuk ilustrasi, tampak pada Gambar III.5 di bawah ini. 36 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Gambar III.5 Model Pengembangan SDM Departemen Keuangan Dalam posisinya yang sangat menentukan sebagai agent of change, SDM dituntut memiliki kemampuan yang memadai, baik dari segi ilmu pengetahuan (basic competence), keterampilan dan keahlian (value of competence), maupun profesionalitas (code of conduct). Faktor kemampuan tersebut dibutuhkan di setiap bidang tugas guna mendukung terwujudnya peran institusional Departemen Keuangan sebagai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara serta tercapainya tujuan instruksional Departemen Keuangan. Oleh karena itu, untuk pencapaian tujuan organisasi pada tingkat optimum, tuntutan terhadap faktor kemampuan SDM menyangkut ketiga hal tersebut (kemampuan, keterampilan dan keahlian, serta profesionalitas) perlu dijawab dengan proses penyiapan SDM secara baik dan profesional. Langkah yang perlu dilakukan terkait dengan faktor kemampuan dimaksud adalah menyandingkan peta kompetensi SDM yang ada dengan kebutuhan yang diinginkan. Dengan demikian perlu proses kalkulasi (assessment) kompetensi secara benar. Memperhatikan kebutuhan SDM unggul dengan spesifikasi dan diversifikasi kompetensinya, diyakini bahwa perencanaan SDM yang baik sejak pengadaan, pembinaan, pengembangan, serta penajaman keahlian merupakan suatu keniscayaan. Oleh karena itu pelaksanaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan seimbang tidak saja dengan tuntutan kebutuhannya, tetapi juga dengan faktor-faktor yang dapat memotivasi SDM untuk menunjukkan kinerja sesuai yang diharapkan. Dengan kedudukan tersebut, SDM menempati posisi sentral di antara 4 (empat) aspek penting lainnya dalam Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009, yakni Aspek Hukum, Aspek Organisasi, Aspek Sistem dan Prosedur, dan Aspek Sarana dan Prasarana. Upaya memahami posisi SDM saat ini --baik dari segi kuantitas, kualitas, ragam kompetensi maupun penyebarannya-- sangat penting dalam mempersiapkan kelangsungan 37 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA proses perencanaan dan pertumbuhan SDM yang diinginkan untuk kurun waktu tertentu di masa datang, seiring dengan tuntutan kebutuhan pencapaian tujuan organisasi. Dengan mengetahui posisi tersebut kita dapat mengukur kemampuan serta menjadikan posisi tersebut sebagai barometer dalam penetapan target pencapaian tiap-tiap sasaran yang membutuhkan dukungan SDM. Peta pencapaian sasaran akan dengan sendirinya menunjukkan apa dan berapa kekuatan SDM yang dibutuhkan dalam kurun tertentu dan bagaimana pertumbuhan yang diharapkan terjadi. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan SDM terkait dengan jumlah dan komposisi turut pula menentukan langkah pengelolaan yang harus dilakukan selama kurun waktu lima tahun ke depan. Kejelasan tersebut --di sisi lain-- membantu dan memungkinkan kita dapat memanfaatkan SDM yang ada secara optimal --dengan tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi-- dan terkendali. Dengan demikian, proses pertumbuhan SDM dapat berjalan secara terencana dan terukur. Dengan demikian, selanjutnya dapat ditetapkan pilihan strategi dan kebijakan pengelolaan SDM yang relevan dengan rencana perjalanan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Pertumbuhan SDM sebagaimana disebutkan merupakan bagian dari investasi penting dalam rangka capacity building. Pertumbuhan yang terus-menerus berproses dalam Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 dipandang sebagai proses pembelajaran yang panjang (learning growth perspective). 2. Sumber Daya Informasi Pengelolaan sumber daya informasi difokuskan pada upaya penyelenggaraan fasilitasi pemberian informasi kepada masyarakat mengenai kebijakan pemerintah terkait dengan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan. Hal tersebut dilaksanakan sebagai bentuk dukungan terhadap penyelenggaraan good governance khususnya terkait dengan penyelenggaraan transparansi fiskal. Upaya ini dilakukan melalui pengembangan sistem pengolahan data berbasis teknologi informasi (Information Technology). Pengembangan sistem dan teknologi informasi dalam tahun 2005 – 2009 dilakukan atas dasar suatu kebijakan ditetapkan Departemen Keuangan sebagai kebijakan pemanfaatan teknologi informasi (IT Policy). Selanjutnya IT Policy akan dijabarkan dalam Rencana Pengembangan Sistem dan Teknologi Informasi (IT Plan) Departemen Keuangan. Untuk menjamin konsistensi dan integritas selanjutnya disusun suatu IT Standard sebagai pedoman dalam menyusun strategi di bidang arsitektur data dan teknologi. Selanjutnya, berdasarkan IT Policy, IT Plan, dan IT Standard unit eselon I dapat menyusun IT Strategy, yaitu strategi dalam rangka membangun dan mengembangkan sistem informasi dan teknologi informasi di lingkungan unit eselon I masing-masing, sesuai IT 38 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Strategy Framework. Ilustrasi mengenai Korelasi antara IT Policy, IT Plan, dan IT Standard dalam rangka Information Capital tersebut dapat dilihat pada Gambar III.6. Gambar III.6 INFORMATION CAPITAL IT Policy Departeman Keuangan IT Plan IT Standard IT Strategy Framework • • • • Unit Eselon I Keandalan Pelayanan Sistem yang komprehensif dan terintegrasi Optimalisasi pemanfaatan teknologi Pemanfaatan potensi dunia usaha Business Process IT Strategy Business Process Visualization (e-payment, etc.) Terkait dengan strategi tersebut, inisiatif pengembangan sistem informasi pada unit eselon I di lingkungan Departemen Keuangan diarahkan pada hal-hal terkait dengan pengolahan data transaksi, analisis dan pelaporan, serta penyiapan teknologi dan infrastruktur pendukungnya. Proses ini dilaksanakan secara terus menerus dan berulang sesuai kebutuhan operasional organisasi dan pengembangan teknologi dan merupakan proses pembelajaran dan pertumbuhan (learning growth). Penyusunan IT Strategy unit eselon I perlu diarahkan kepada kebutuhan adanya prosedur yang dapat menghasilkan produk dan layanan, meningkatkan layanan kepada pengguna, menumbuhkan pengembangan produk layanan baru, serta meningkatkan hubungan komunikasi antar pemerintah (G2G), pemerintah dengan bisnis (G2B), dan antara pemerintah dengan masyarakat (G2C). Dengan demikian kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu mendorong peningkatan dan perbaikan citra Departemen Keuangan di mata publik. IT Strategy yang disusun harus berdasarkan pada 6 (enam) strategi yang saling terkait erat, yaitu: (i) Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas; 39 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (ii) Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah secara komprehensif dan terintegrasi; (iii) Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal; (iv) Pemanfaatan potensi dunia usaha; (v) Pengembangan kapasitas SDM; serta (vi) pengembangan secara bertahap, sistematis, realistis dan terukur. Strategi 1 – Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas Kelancaran arus informasi untuk menunjang hubungan dengan lembaga-lembaga negara, serta untuk memberi stimulan bagi partisipasi masyarakat --yang merupakan faktor penting dalam pembentukan kebijakan pemerintah yang baik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas melalui jaringan komunikasi dan informasi. Strategi 2 - Penataan sistem dan proses kerja pemerintah secara komprehensif dan terintegrasi. Pencapaian Strategi-1 harus ditunjang dengan penataan sistem manajemen dan proses kerja di semua instansi pusat dan daerah. Penataan sistem manajemen dan prosedur kerja pemerintah harus dirancang agar dapat mengadopsi kemajuan teknologi informasi secara cepat. Strategi 3 – Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal. Pelaksanaan setiap strategi memerlukan kemampuan dalam melaksanakan transaksi, pengolahan, dan pengelolaan berbagai bentuk dokumen dan informasi elektronik dalam volume yang besar, sesuai dengan tingkatannya. Sasaran yang perlu diupayakan pencapaiannya, adalah sebagai berikut : 1) Standardisasi yang berkaitan dengan interoperabilitas pertukaran dan transaksi informasi antar portal pemerintah. 2) Standardisasi prosedur yang berkaitan dengan manajemen dokumen dan informasi elektronik (electronic document management system) serta standardisasi meta-data yang memungkinkan pemakai menelusuri informasi tanpa harus memahami struktur informasi pemerintah. 3) Perumusan kebijakan tentang pengamanan informasi serta pembakuan sistem otentikasi dan public key infrastructure (untuk menjamin keamanan informasi dalam penyelenggaraan transaksi dengan pihak-pihak lain, terutama yang berkaitan dengan kerahasiaan informasi dan transaksi finansial). 40 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4) Pengembangan aplikasi dasar, seperti e-billing, e-procurement, dan e-reporting, yang dapat dimanfaatkan oleh setiap situs pemerintah dan andal serta dapat menjamin kerahasiaan, keamanan, dan interoperabilitas transaksi informasi dan pelayanan publik. 5) Pengembangan jaringan intra pemerintah untuk mendukung keandalan dan kerahasiaan transaksi informasi antar instansi pemerintah dan antara pemerintah dan daerah otonom. Strategi 4 – Pemanfaatan potensi dunia usaha Partisipasi dunia usaha dapat mempercepat pencapaian tujuan strategis. Beberapa kemungkinan partisipasi dunia usaha dalam : pengembangan komputerisasi, sistem manajemen, proses kerja, serta situs dan pembakuan standard (Pemerintah dapat mendayagunakan keahlian dan spesialisasi yang telah berkembang di sektor swasta). peningkatan nilai informasi dan jasa kepemerintahan bagi keperluan-keperluan tertentu. pengembangan jaringan komunikasi dan informasi di seluruh wilayah. Strategi 5 – Pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) Sumber daya manusia (SDM), baik sebagai pengembang, pengelola, maupun pengguna sistem informasi merupakan faktor yang turut menentukan bahkan menjadi kunci keberhasilan pelaksanakan dan pengembangan sistem informasi. Untuk itu, perlu upaya peningkatan kapasitas SDM, penataan, dan pendayagunaan secara terencana, komprehensif, dan berkelanjutan sesuai kebutuhan. Strategi 6 – Pengembangan secara bertahap, sistematis, realistis dan terukur Pengembangan sistem informasi dan teknologi informasi perlu direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis melalui tahapan yang realistis dan sasaran yang terukur, sehingga dapat dipahami dan diikuti oleh semua pihak. 3. Sumber Daya Organisasi Selain manusia dan informasi, sumber daya yang dapat menjadi modal penting dalam suatu organisasi adalah organisasi itu sendiri. Organisasi sebagai suatu entitas, dengan kemampuan adaptasi dan komunikasi yang tinggi dalam mengintegrasikan visi, misi, nilai-nilai, dan strategi membentuk satu kekuatan dalam satu kultur kinerja (performance culture) sehingga energi seluruh komponen dapat fokus pada pencapaian tujuan strategis yang telah digariskan merupakan modal penting dalam proses manajemen sumber daya. Fleksibilitas tiap-tiap komponen organisasi untuk mengarahkan fokus strateginya ke sasaran 41 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA utama organisasi perlu terus dikembangkan sebagai modal/kemampuan internal organisasi yang sangat penting (organization capital). Organisasi pada umumnya, dengan spesialisasi yang diterapkannya, sering terjebak pada pencapaian tujuan spesialitasnya. Organisasi dewasa ini sering kali di disain sebagai organisasi fungsional, dimana pencapaian tujuan dibagi sesuai fungsi masing-masing seperti fungsi-fungsi keuangan, produksi, pemasaran, penjualan, pembelian, rekayasa, dan lain sebagainya. Setiap fungsi memiliki kepribadian sendiri baik kompetensi keahlian, kultur, maupun bahasanya. Arogansi fungsional pada akhirnya dapat menghambat optimalitas pencapaian tujuan organisasi. Organisasi Departemen Keuangan yang cenderung mengarah pada kondisi di atas perlu segera diselamatkan. Setiap komponen fungsional harus benar-benar mampu mengendalikan diri, melihat, dan segera menyelaraskan langkah terhadap langkah (strategi) Departemen dalam mencapai tujuan strategisnya. Kultur kinerja seperti inilah yang harus tumbuh kembang di lingkungan Departemen Keuangan. Untuk pencapaian kondisi ini komitmen (political will), peran, dan kemampuan pimpinan puncak (top manager) untuk mengkomunikasikan merupakan kunci utama keberhasilan. Keberhasilan dimaksud ditunjukkan melalui profil sejauh mana setiap pegawai Departemen –tanpa memandang spesialisasi fungsinya— mampu dengan benar memahami strategi yang digariskan dan bertindak dalam kerja kesehariannya sesuai atau mengarah pada sukses yang ingin dicapai dari strategi tersebut. Kemampuan organisasi Departemen Keuangan dibangun di atas 4 (empat) komponen utama yaitu budaya organisasi, kepemimpinan, keselarasan pegawai dan organisasi, dan pola diseminasi pengetahuan dalam organisasi. Dalam upaya mengefektifkan organization capital Derpartemen Keuangan, perlu identifikasi berkenaan dengan “perubahan apa saja yang mempengaruhi strategi dan proses”. Perubahan/pergeseran yang terjadi pada komponen organisasi dapat berpengaruh pada perilaku, proses internal, fitur-fitur output, dan nilai-nilai organisasi. Jika ditilik dari sejarah, perubahan dalam organisasi Departemen Keuangan lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat stabilitas ekonomi makro serta fungsi-fungsi yang dijalankan dalam mencapai tingkat tertentu stabilitas ekonomi makro tersebut. Perubahan ini tampak lebih nyata pada struktur organisasi melalui pengembangan organisasi yang berbasis administrasi modern terkait dengan penyempurnaan organisasi dan tata kerja. Sehubungan dengan itu, dalam perkembangan ke depan, perubahan organisasi Departemen Keuangan harus difokuskan pada kejelasan pembagian kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara. Arah perubahan organisasi terkait dengan pembagian kewenangan tersebut dapat dilihat pada Tabel III.2 di bawah ini. 42 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel III.2 P em b a g ia n K ew en a n g a n P en g elo la a n K eu a n g a n N eg a r a D ep ar t em en K eu an g an – Ta h u n 2 0 0 9 Per umusan Kebij akan Fiskal Per encanaan dan Alokasi Pelaksanaan dan Per t anggunganggungj aw aban Pelapor an Pengaw asan Fungsional BKF DJAPK DJP, DJBC, DJPBN & DJAPK* DJPBN ITJEN* * BKF* * * DJAPK DJPBN DJPBN ITJEN* * PEM BIAYAAN ANGGARAN BKF DJAPK DJPBN DJPBN ITJEN* * KEKAYAAN NEGARA BKF DJAPK DJPKN DJPBN ITJEN* * FUNGSI/ BIDANG PENDAPATAN NEGARA BELANJA NEGARA * ** *** P N B P ( te rm a s u k B L U ) P e n a m b a h a n p e ra n s e b a g a i c o m p lia n c e o ffic e u n tu k g o o d g o v e rn a n c e d a n ris k m a n a g e m e n t P e n a m b a h a n fu n g s i k e b ija k a n P N B P , p e rp a ja k a n , d a n k e p a b e a n a n d a n c u k a i Kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara pada Departemen Keuangan sebagaimana dimaksud pada gambar di atas pada pokoknya terbagi ke dalam 3 (tiga) area besar yaitu: a) Kebijakan fiskal (fiscal policy) – mencakup perumusan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal; b) Perencaaan penganggaran (budget planning) – mencakup perencanaan, alokasi, dan penyusunan APBN; dan c) Pelaksanaan anggaran (budget execution) – mencakup pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN. Pembagian kewenangan tersebut merupakan upaya penajaman dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab juga harus diikuti dengan penyesuaian kembali tata kerja unit-unit terkait di dalam Departemen Keuangan. Penyesuaian tata kerja tersebut dituangkan dalam perencanaan reengineering organisasi Departemen Keuangan tahun 2005-2009, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (i) Pembentukan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Saat ini fungsi kebijakan fiskal tersebar di beberapa unit pelaksana, seperti fungsi kebijakan PNBP di DJAPK, fungsi kebijakan perpajakan di Ditjen Pajak, dan fungsi kebijakan kepabeanan dan cukai di Ditjen BC. Sebagai organisasi terpadu, Departemen Keuangan --melalui pembentukan BKF-- akan menyatukan fungsi kebijakan fiskal secara penuh, termasuk kebijakan ekonomi makro dan pokokpokok kebijakan fiskal, serta kebijakan PNBP, perpajakan, dan kepabeanan dan cukai. 43 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (ii) Pemisahan fungsi pengelolaan PNBP dan Badan Layanan Umum (BLU) Terkait dengan PNBP dan BLU, saat ini Direktorat PNBP dan BLU melaksanakan fungsi-fungsi alokasi, kebijakan, dan pengelolaan kas. Hal ini akan ditata ulang dengan dipisahkannya fungsi-fungsi tersebut, yaitu pemindahan fungsi kebijakan makro PNBP ke BKF, pemindahan fungsi pengelolaan kas pungutan PNBP dan setoran surplus BLU (sepanjang dipersyaratkan) ke Ditjen Perbendaharaan, sedangkan fungsi alokasi tetap berada di Ditjen APK. (iii) Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kekayaan Negara (DJPKN) Pembentukan DJPKN yang merupakan penggabungan fungsi yang ada pada Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara pada Ditjen Perbendaharaan dan fungsi yang dilaksanakan DJPLN serta beberapa fungsi dari DJP (khususnya fungsi penilaian) dimaksudkan untuk memperkuat fungsi pengelolaan kekayaan negara dan melakukan reposisi fungsi lelang. Pada prinsipnya fungsi lelang akan diserahkan kepada mekanisme swasta melalui pembentukan lembaga privat dan independen, kecuali untuk lelang eksekusi. (iv) Penggabungan BAPEPAM dan DJLK. Dalam rangka memfasilitasi pembentukan Otorita Jasa Keuangan (OJK), akan dilakukan penggabungan dua unit eselon I Departemen Keuangan, yakni BAPEPAM dan DJLK. Langkah ini akan merupakan tahap awal pembentukan OJK, sementara sebelum pembentukan lembaga OJK yang mandiri dapat dilakukan. Dalam proses penggabungan tersebut, keseluruhan unit Eselon II DJLK akan bergabung dengan BAPEPAM, kecuali fungsi Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai yang akan ditransfer ke Sekretariat Jenderal. Jadwal pelaksanaan reengineering organisasi Departemen Keuangan tahun 2005-2009 adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel Evolusi organisasi Departemen Keuangan sebagaimana tertera pada Tabel III.3 di bawah ini. 44 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Tabel III.3 EVO LUSI O RG AN ISASI DEPA RT EM EN KEU AN G AN DEPARTEMEN KEUANGAN 2005 2006 2007 2008 2009 BAPEKKI BKF BKF DJAPK D JAPK D JAPK DJP D JP D JP D JBC DJBC* DJBC* D JPBN DJPBN DJPBN D JPLN DJPKN D JPKN BAPEPAM -LK OJK SETJEN SETJEN ** SETJEN ** ITJEN *** ITJEN *** ITJEN *** BAPEPAM DJLK * D JBC m em iliki peran tam bahan yaitu duku n gan kepada ind ustri, fasilitasi perdagangan , dan perlin du ngan m asyarakat. ** D irektorat P em binaan Akuntan dan Jasa Penilai d ip in dahkan dari D JLK ke S ET JEN *** IT JEN m em iliki peran tam bahan sebagai com pliance office untuk g oo d governance dan risk m anagem ent. Dari tabel di atas dapat diketahui pula bahwa Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan memperoleh tambahan peran dan fungsi, yakni sebagai compliance office untuk good governance dan penyelenggaraan audit terkait dengan risk management. Penambahan peran dan fungsi dimaksud terkait dengan tekad kuat untuk mewujudkan penyelenggaraan good governance sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang dituangkan dalam paket undang-undang bidang keuangan negara (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Sementara itu, tambahan peran dan fungsi pengendalian resiko didasari pertimbangan semakin besarnya resiko kerugian yang dapat timbul --baik secara langsung maupun tidak langsung-- sebagai akibat dari pelaksanaan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang mengabaikan prinsip-prinsip manajemen resiko (risk management). Untuk keperluan tersebut, Inspektorat Jenderal sebagai unsur organisasi Departemen Keuangan yang diberi tugas pokok menyelenggarakan fungsi pengendalian intern (internal control) perlu dilengkapi dengan kewenangan tersebut. Dari pemberian kewenangan ini diharapkan Inspektorat Jenderal dapat menjamin agar seluruh komponen organisasi Departemen Keuangan benar-benar dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance dan risk management dalam penyelenggaraan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara yang dilakukannya. Hal-hal terkait dengan asumsi perubahan organisasi berkenaan dengan dengan kerangka evolusi organisasi Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 sebagaimana diuraikan 45 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA dalam Tabel III.2 dan III.3 lebih merupakan gambaran arah dan target pencapaian Departemen Keuangan hingga Tahun 2009 mendatang. Oleh karena itu, bagaimanapun, asumsi-asumsi kelembagaan tersebut bersifat ceteris paribus terhadap berbagai penyesuaian sehubungan dengan upaya koordinasi dengan otoritas kelembagaan pemerintahan seperti Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara maupun Sekretariat Kabinet/Sekretariat Negara. KESIAPAN SARANA DAN PRASARANA Sarana dan prasarana yang dibutuhkan Departemen Keuangan terdiri dari sarana prasarana yang umum dibutuhkan oleh suatu organisasi serta sarana dan prasarana khusus untuk fungsi tertentu. Strategi penyiapan sarana dan prasarana umum diarahkan pada perbaikan kondisi lingkungan kerja. Sementara strategi penyiapan sarana dan prasarana untuk fungsi tertentu diarahkan pada terjaminnya target pencapaian dari penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi tertentu dimaksud. Penyiapan sarana dan prasarana sering diidentikkan sebagai upaya membeli barang (pengadaan barang), walau sesungguhnya tidak semata bersifat pengadaan barang dalam artian fisik. Penyiapan dimaksud dapat berupa pemanfaatan barang yang telah ada untuk siap dioperasikan, pengamanan barang yang telah ada agar dapat dimanfaatkan secara lebih baik atau pengembangan dari sarana yang ada untuk memperoleh manfaat yang maksimal. Penyiapan sarana dan prasarana yang bersifat pengadaan pada umumnya dilakukan untuk mendukung tugas-tugas baru seperti fungsi pegawasan fungsional yang memperoleh tugas baru di bidang investigasi memerlukan penambahan sarana baru di bidang investigasi/intelijen, atau terkait dengan pembukaan kantor-kantor baru seperti fungsi kepabeanan dan cukai yang membuka kantor-kantor baru dan memerlukan pengadaan speedboat dan alat deteksi pita cukai dan lain-lain. Isu strategis berkenaan dengan penyiapan sarana dan prasarana sebenarnya bukan pada pengadaannya tetapi pada pengamanan serta penggunaannya secara baik di samping pelaksanaan penghapusan sarana prasarana yang sudah tidak digunakan lagi. Salah satu bentuk pengamanan yang dilakukan adalah sertifikasi tanah atas nama Menteri Keuangan. Melalui pola ini diharapkan pemanfaatan tanah milik negara dapat lebih ditingkatkan. Penghapusan sarana dan prasarana yang tidak digunakan akan mengurangi biaya pemeliharaan yang harus ditanggung. Dengan demikian, isu penyiapan saran dan prasarana yang justeru kapital adalah pelaksanaan pengkajian kebutuhannya, sehingga pengadaan sarana dan prasarana yang bersifat incremental dapat dihindari. Strategi penyiapan sarana dan prasarana untuk jangka waktu Tahun 2005-2009 seyogianya sudah dilakukan sejak sekarang, mengingat hal tersebut sangat terkait dengan pencanangan target pencapaian pada Tahun 2009. 46 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BAB IV PENUTUP Road-Map Departemen Keuangan Tahun 2005-2009 disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan. Road-Map Departemen Keuangan tersebut merupakan pengembangan lebih lanjut dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya terkait dengan penyelenggaraan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, setelah memperhatikan berbagai perkembangan kontemporer (saat penyusunan Road-Map dilakukan) dan ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan negara, khususnya paket undang-undang bidang Keuangan Negara. Dengan Road-Map sebagai panduan diharapkan proses pencapaian target Departemen Keuangan Tahun 2009 akan lebih terkoordinasi dan berhasil guna, sementara kualitas pelayanan kepada stakeholder semakin baik sehingga citra baik Departemen Keuangan dapat segera diwujudkan. Sehubungan dengan itu, kepada seluruh jajaran pimpinan Departemen Keuangan diminta untuk konsekuen memperhatikan peran, fungsi, arah, sasaran, strategi, kebijakan, dan target capaian yang ditetapkan dalam Road-Map sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang dikerjakan sehari-hari (day-to-day working). Disadari benar, bahwa Road-Map ini tidak memiliki kepastian sebagai produk yang sempurna, tetapi lebih merupakan orientasi kerja untuk dipedomani. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JUSUF ANWAR 47