Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Menurut Kodansha (1993

advertisement
Bab 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Menurut Kodansha (1993:649-658) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki
luas wilayah 377.781km². Menurut Danandjaja (1997:1), kepulauan Jepang terbentang di
sepanjang timur laut hingga barat daya dan terletak di sebelah timur Asia. Jepanga terbagi
atas empat pulau, yaitu Hokkaido (83.520km²), Honshu (230.940 km²), Shikoku (89.166
km²), dan Kyushu (36.554 km²).
Tidak hanya memiliki empat pulau, Jepang juga mempunyai banyak kebudayaan dan
upacara-upacara ritual (matsuri) untuk menyembah para dewa-dewinya. Seperti yang
dikatakan oleh Suparlan ( 1997: 102-103), kebudayaan adalah pedoman menyeluruh bagi
kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Selain itu Geertz
( 992:529) juga mengemukakan, manusia tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan, bahwa
kebudayaan sebagai perangkat mekanisme control untuk mengatur tingkah laku, bukan
hanya dilihat sebagai adat-istiadat, tradisi, dan kumpulan-kumpulan kebiasaan. Salah satu
kebudayaan yang menonjol di Jepang adalah matsuri. Matsuri bermakna sebagai sarana
penghubung manusia di dunia dengan dewa-dewa yang berada di dunia lain, diyakini
bersama dalam kelompoknya karena dipercaya merupakan sumber kehidupan orang Jepang.
Dengan demikian, matsuri memiliki kategori-kategori yang sakral, seperti kami (dewa) –
hito (manusia), sairei (upacara) – saigi (perayaan). Berdasarkan kategori-kategori ini,
matsuri dilakukan oleh orang Jepang untuk dijadikan acuan dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari mereka. Matsuri sendiri berfungsi sebagai “yang memantapkan keyakinan
seseorang mengenai dunia (dunia nyata dan dunia gaib)” yang ingin dicapai, dan dijadikan
simbol-simbol yang keberadaannya dirasakan sebagai nyata ada dalam suatu keteraturan.
Dalam artikel The Kodansha Encyclopedia Jepang (1998) dikatakan bahwa “ matsuri
merupakan salah satu cara bagi penganut Shinto dalam mempraktekan kepercayaan
mereka”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matsuri berasal dari suatu bentuk
kepercayaan terhadap Shinto, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam matsuri pun
tentunya juga memiliki banyak pengaruh dan juga unsur-unsur dari ajaran Shinto. Beberapa
masturi yang terkenal di Jepang, seperti: Gion matsuri, Tenjin matsuri, Kanda matsuri, dan
Sendai tanabata matsuri. Salah satunya adalah Daijosai.
Zaman Yayoi (弥生時代) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah
Jepang yang mengacu pada Jepang (dengan perkecualian Hokkaido) di abad ke-8 sebelum
Masehi hingga abad ke-3 Masehi. Ciri khas pada barang peninggalan berupa tembikar gaya
zaman Yayoi dan penguasaan teknik penanaman padi di sawah. Barang-barang peninggalan
dari zaman ini pertama kali ditemukan di situs penggalian tumpukan kulit kerang di Yayoicho (sekarang distrik Bunkyō di Tokyo) sehingga dinamakan zaman Yayoi. Kebudayaan
zaman Yayoi berkembang dari pulau Kyushuu sampai sebelah timur pulau Honshu.
Sejalan dengan kemajuan dalam bidang pertanian dikenal perbedaan kelas dan
perbedaan kaya miskin yang melahirkan pengelompokkan wilayah yang bisa disebut
sebagai bentuk awal negara yang dikenal dengan sebutan kuni (negara-negara kecil).
Perebutan air dan tanah untuk memperluas penanaman padi di sawah menumbuhkan
permukiman penduduk, wilayah terbentuk sebagai hasil perang antar desa, usaha perluasan
wilayah dan penguasaan daerah menimbulkan perang antar negara-negara kecil yang
meluas di seluruh kepulauan Jepang. Pada waktu itu berhasil terbentuk negara-negara kecil
berdasarkan daerah seperti Kyushuu bagian utara , Kibi, San-in, Kinki, Toukai, dan Kanto.
Pertempuran untuk mencari sekutu dan menyatukan wilayah kekuasaan yang terjadi
berulang-ulang kali merupakan proses untuk membentuk negara Jepang zaman kuno.
Dalam Japan: An Illustrated Encyclopedia Kodansha (1993: 262-263) Daijosai
merupakan sebuah ritual persembahan kepada para dewa dan leluhur kaisar yang berasal
dari hasil panen padi. Ritual tersebut setidaknya berlangsung pada akhir abad ke-7,
menggantikan perayaan panen kekaisaran atau yang dikenal dengan niinamesai yang
menandai ritual penobatan takhta bagi seorang kaisar baru. Menurut Mikado (1990) dalam
New York Times Daijousai diadakan pertama kali saat penobatan kaisar Jinmu di Kyoto,
tapi kapan dan waktunya tidak diketahui pasti. Pada era modern, Daijosai diadakan di tahun
yang sama dengan wafatnya kaisar yang terdahulu. Sebenarnya Daijosai merupakan bagian
dari rangkaian upacara penobatan takhta, yang juga meliputi dua ritual lainnya yakni senso
dan sokui no rei.
Diantara banyaknya berbagai macam matsuri di Jepang, Daijousai merupakan matsuri
yang diadakan dua puluh tahun sekali yaitu pada saat penobatan tahta kaisar. Asal mulanya
dinamakan Daijousai adalah karena festival panen padi yang dilakukan
untuk
mempersatukan propinsi sebelum bangkitnya Taika (yaitu sebelum abad ketujuh). Sebelum
acara ritual Daijousai, sebelumnya diadakan acara onie no matsuri. Yaitu penanaman padi
yang didoakan oleh para pendeta Shinto agar padi tersebut bisa tumbuh dengan cepat dan
tidak terkena hama.
Tahapan pertama dari serangkaian ritual daijousai adalah Senso.
Senso merupakan
rangkaian upacara penaikan takhta kekaisaran yang berupa pemberitahuan serta pengakuan
secara resmi bahwa akan segera diadakan penobatan kaisar yang baru dan pergantian
tampuk kepemimpinan. Ritual senso itu sendiri terbagi dalam dua versi, pertama,
pemberitahuan yang ditujukan untuk arwah para leluhur atau nenek moyang kekaisaran dan
para dewa yang telah berjasa memelihara alam semesta negeri Jepang (shunkyo-den), dan
kedua, pemberitahuan yang ditujukan bagi seluruh rakyat Jepang (shinshin-den). Biasanya
upacara senso dilaksanakan tepat setelah kaisar yang terdahulu meninggal dunia, agar dapat
mempermudah pelaksanaan penobatan takhta bagi seorang putra mahkota yang ditandai
dengan penyerahan tiga pusaka kekaisaran yaitu sebilah pedang (kusanagi), batu permata
(magatama), dan terakhir sebuah cermin yang terbuat dari perunggu (kashiko dokoro).
Selain itu, upacara ini harus segera dilakukan tentu saja agar tampuk kekuasaan kekaisaran
Jepang tidak dibiarkan kosong terlalu lama yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan
masyarakat Jepang (Holtom, 1996: 55-67).
Pemilihan pedang (kusanagi), cermin (kashiko dokoro), dan batu mulia (magatama)
menjadi pusaka kekaisaran dilatar belakangi adanya mitos bahwa ketiga benda tersebut
merupakan pemberian langsung dari dewi matahari Amaterasu untuk cucu laki-lakinya
Ninigi, sebagai bukti ia memiliki wewenang memimpin daratan Jepang saat akan turun dari
surga ke bumi.
Tahapan kedua dalam upacara penaikan takhta seorang kaisar adalah sokui no rei,
upacara pemberitahuan kepada masyarakat, bahwa sang kaisar akan diserahi tiga regalia
kekaisaran. Peristiwa ini menandai telah berpindahnya tampuk kepemimpinan ke tangan
kaisar yang baru secara sah. Pada saat Perayaan Daijousai di salah satu tahapannya yaitu
Utage, masyarakat Jepang dapat menghadiri ritual tersebut. Dimana masyarakat Jepang
boleh bertemu dan makan bersama dengan kaisar yang baru saja dinobatkan. Sejak zaman
meiji, daijousai di selenggarakan di salah satu istana Jepang yaitu istana Aoyama. Di
dalam istana tersebut terdapat sebuah bangunan megah yang bernama Yuki-den dan Sukiden yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan matsuri tersebut. Selain itu terdapat juga
kuil khusus untuk tempat memuja nenek moyang kaisar yaitu Amaterasu yang bernama kuil
Ise. Kuil ini terletak di semenanjung Ise peninsula bagian barat Honshu, kuil ini tertutup
untuk kalangan masyarakat. Karena hanya keturunan dewi Amaterasu yang boleh masuk ke
dalam kuil ini. Kuil ini dirubuhkan dan dibangun kembali setiap dua puluh tahun sekali, di
dalam kuil terdapat cermin yang fungsinya untuk menemani sang dewi di dalam kuil
tersebut.
Daijosai merupakan tahapan terakhir sekaligus penutup dari serangkaian ritual
penobatan kaisar . Sebelum penyelenggaraan daijousai yang biasanya diadakan pada awal
musim gugur (November), terlebih dahulu diadakan berbagai persiapan pada musim semi
(February-April) antara lain:
a. Penentuan waktu pelaksanaan
b. Penanaman padi yang akan digunakan sebagai media persembahan di dua
ladang padi yang dipilih langsung oleh dewi matahari Amaterasu
c. Kaisar dan seisi istana, bahkan seluruh rakyat Jepang melakukan ritual
pensucian diri atau disebut juga purifikasi
Upacara daijousai itu sendiri biasanya diadakan pada awal musim gugur atau sekitar
bulan November dia aula suki dan aula yuki, dua buah bangunan sederhana dan bersifat
sementara yang dibangun di pekarangan istana (Holtom, 1996: 95-100).
Menurut Japan Encyclopedia Kodansha (1993: 263) Makanan yang dipakai sebagai
media persembahan adalah semua makanan yang terbuat dari padi yang ditanam di ladang
suki dan yuki diantaranya: nasi putih, kue mochi, sake putih (shiroki), dan sake hitam.
Makanan tersebut dipersembahkan kepada dewa-dewi untuk menandai kedekatan hubungan
antara kaisar dengan para leluhur, khususnya dewi matahari Amaterasu yang tidak lain
adalah merupakan leluhur atau nenek moyang kaisar. Setelah dipersembahkan kepada dewi
Amaterasu sajian persembahan itu dihidangkan untuk kaisar yang baru dinobatkan.
Menurut Mikado (1990) dalam New York Times penyelenggaraan daijosai tidak sematamata karena ingin merekatkan hubungan kaisar dengan para leluhurnya, melainkan juga
dalam rangka berterima kasih kepada para dewa yang hidup di dataran tinggi surga, atas
karunia makanan yang berlimpah yang telah mereka nikmati selama ini. Dalam Konsep
dasar Shinto terdapat kepercayaan terhadap kedewaan, maka di dalam Shinto kuga terdapat
dunia para dewa. Dewa-dewa yang berada di dunia, dewa tersebut adalah dewa-dewa yang
dipuja oleh para pengikut Shinto. Menurut Honda (2006 : 148), beberapa di antara dewadewa Shinto tersebut adalah Shichifukujin (tujuh dewa keberuntungan).
Pendapat ini diperkuat dengan mitos-mitos tentang asal usul terciptanya makanan di
muka bumi ini yang diuraikan menurut Kojiki dalam Mandah (1992: 57-58), sebagai
berikut:
Suatu ketika karena dewa badai Susa-no-o membuat keonaran di
takagamahara, yaitu tempat tinggal dewi matahari, kakaknya, yang disebut
Amaterasu Omikami, dia diusir ke dunia bawah. Di tengah perjalanan Susano-o meminta makanan dari dewa Ogetsu yang merupakan dewi penguasa
makanan. Dewi ini mengeluarkan bermaca-macam makanan dari mulut,
hidung, dan duburnya, lalu makanan-makanan tersebut deberikan kepada
Susa-no-o. Melihat itu semua Susa-no-o merasa jijik, tersinggung, dan
sangat marah, lalu dewi Ogetsu dibunuhnya. Dari jenazah dewi Ogetsu
lahirlah padi, sejenis kenari, gandum, dan kacang kedelai. Kemudian, dewi
lain yang bernama Kami Musubi, yang juga tinggal di dataran tinggi surga,
mengumpulkan bahan-bahan makanan tersebut dan memberikannya kepada
manusia.
Adapun terdapat mitos yang sama dari versi yang berbeda menurut Nihonshoki dalam
Mandah (1992: 57-58) yakni sebagai berikut:
Dewi Amaterasu memerintahkan dewa Tsukiyomi, adiknya, untuk
mengunjungi dewi Ukemochi di dunia bawah. Dewa Tsukiyomi segera
pergi ke tempat dewi Ukemochi. Setibanya disana, dewi Tsukiyomi
disuguhi makanan seperti nasi, ikan, dan daging hewan buruan yang
dimuntahkan dari mulut dewi Ukemochi. Mendapat perlakuan seperti itu,
Tsukiyomi merasa terhina sehingga dia marah dan akhirnya membunuh
dewi Ukemochi. Dewa bulan Tsukiyomi pulang ke takamagahara tempat
tinggal dewi Amaterasu, kakaknya, untuk melaporkan kejadian di dunia
bawah tersebut. Dewi matahari merasa sangat kecewa dan mengusir sang
adik dengan mengatakan bahwa dia tidak mau lagi melihat wajah adiknya
itu untuk kedua kalinya. Sejak itu matahari dan bulan tidak pernah lagi
memperlihatkan wajahnya bersama-sama dan berpisah antara siang dan
malam. Ketika dewi Amaterasu meminta Ama no kumohito melihat dewi
Ukemochi, dari jenazah dewi itu lahir kuda, sapi, ulat sutra, serta bahan
makanan seperti padi, sejenis, kenari, gandum, dan kacang. Dewi
Amaterasu merasa gembira dan menyuruh agar semua itu dijadikan bahan
makanan bagi manusia di bumi.
Menurut Tierney (1993: 48) dapat disimpulkan bahwa rangkaian upacara penobatan
kaisar terdiri dari empat ritual lain:
1) Mitamashizume
2) Shinsen
3) Naorei
4) Utage
2. Rumusan Permasalahan:
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah di jelaskan diatas, maka pokok
permasalahan yang akan di analisis oleh penulis dalam skripsi ini adalah pengaruh unsurunsur matsuri dalam Shinto pada Daijousai.
3. Ruang Lingkup Permasalahan:
Saya akan meneliti perayaan Daijousai dari empat unsur matsuri dalam Shinto pada
ritual dan alat-alat perayaan yang digunakan.
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian:
Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh Shinto yang mempengaruhi
dalam acara ritual Daijousai.
Manfaat dari penelitian ini adalah agar penulis dan pembaca dapat memahami dan
mengetahui pengaruh agama Shinto pada acara ritual Daijousai di Jepang.
5. Metode Penelitian:
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitis, yakni dengan menganalisa mendeskripsikan data-data yang berhubungan
dengan objek penelitian kepustakaan, kemudian menganalisa data-data tersebut.
6. Sistematika Penulisan:
Untuk mencapai penulisan yang mengenai sasaran maka perlu dibuat suatu
sistematika, adapun sistematika penulisan karya tulis ini akan saya jabarkan berikut ini:
Pada bab 1 ini berisi mengenai latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan
permasalahan, yang berisi pengaruh agama shinto apa sajakah yang terdapat di acara/ritual
Daijousai, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode
penelitian. Bab 2, yakni teori-teori yang akan digunakan untuk menganalisa data-data yang
ada. Dalam bab 3 berisi analisis data. Bab 4 berisi simpulan yang merupakan jawaban dari
permasalahan dalam skripsi ini. Bab 5 berisi ringkasan yang merupakan isi skripsi secara
singkat.
Download