Simpan artikel ini ke file PDF

advertisement
Artikel Oase Qalbu - halaman 1/8
Muslim Palestina (3 dari 11)
*****
Semenjak awal sejarah Islam, Palestina, dan kota Yerusalem khususnya, telah menjadi tempat
suci bagi umat Islam. Sebaliknya bagi Yahudi dan Nasrani, umat Islam telah menjadikan
kesucian Palestina sebagai sebuah kesempatan untuk membawa kedamaian kepada daerah ini.
Dalam bab ini kita akan membahas beberapa contoh sejarah dari kenyataan ini.
'Isa (Yesus), salah satu nabi yang diutus kepada umat Yahudi, menandai titik balik penting
lainnya dalam sejarah Yahudi. Orang-orang Yahudi menolaknya, dan kemudian diusir dari
Palestina serta mengalami banyak ketidakberuntungan. Pengikutnya kemudian dikenal sebagai
umat Nasrani. Akan tetapi, agama yang disebut Nasrani atau Kristen saat ini didirikan oleh orang
lain, yang disebut Paulus (Saul dari Tarsus). Ia menambahkan pemandangan pribadinya tentang
Isa ke dalam ajaran yang asli dan merumuskan sebuah ajaran baru di mana Isa tidak disebut
sebagai seorang nabi dan Al-Masih, seperti seharusnya, melainkan dengan sebuah ciri
ketuhanan. Setelah dua setengah abad ditentang di antara orang-orang Nasrani, ajaran Paulus
dijadikan doktrin Trinitas (Tiga Tuhan). Ini adalah sebuah penyimpangan dari ajaran Isa dan
pengikut-pengikut awalnya. Setelah ini, Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad
SAW sehingga beliau bisa mengajarkan Islam, agama Ibrahim, Musa, dan Isa, kepada seluruh
umat manusia.
Yerusalem itu suci bagi umat Islam karena dua alasan: kota ini adalah kiblat pertama yang
dihadapi oleh umat Islam selama ibadah sholatnya, dan merupakan tempat yang dianggap
sebagai salah satu mukjizat terbesar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad: mikraj, perjalanan
malam dari Mesjid Haram di Mekkah menuju Mesjid Aqsa di Yerusalem, kenaikannya ke langit,
dan kembali lagi ke Mesjid Haram. Al-Qur'an menerangkan kejadian ini sebagai berikut:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qur'an, 17:1)
Dalam wahyu-wahyu Al-Qur'an kepada Nabi SAW, sebagian besar ayat-ayat yang berkesesuaian
mengacu kepada Palestina sebagai “tanah suci, yang diberkati.” Ayat 17:1 menggambarkan
tempat ini, yang di dalamnya ada Mesjid Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati disekelilingnya.”
Dalam ayat 21:71, yang menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth, tanah yang sama
disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.” Pada saat bersamaan,
Palestina secara keseluruhan penting artinya bagi umat Islam karena begitu banyak nabi Yahudi
yang hidup dan berjuang demi Allah, mengorbankan hidup mereka, atau meninggal dan
dikuburkan di sana.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam 2000 tahun terakhir, umat Islam telah menjadi
satu-satunya kekuatan yang membawa kedamaian kepada Yerusalem dan Palestina.
Khalifah Umar Membawa Perdamaian dan Keadilan bagi Palestina
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 2/8
Qubbat as-Sakhrah
Setelah Roma mengusir Yahudi dari Palestina, Yerusalem dan sekitarnya menjadi lenyap.
Akan tetapi, Yerusalem kembali menjadi pusat perhatian setelah Pemerintah Romawi
Constantine memeluk agama Nasrani (312). Orang-orang Roma Kristen membangun
gereja-gereja di Yerusalem, dan menjadikannya sebagai sebuah kota Nasrani. Palestina tetap
menjadi daerah Romawi (Bizantium) hingga abad ketujuh, ketika negeri ini menjadi bagian
Kerajaan Persia selama masa yang singkat. Akhirnya, Bizantium kembali menguasainya.
Tahun 637 menjadi titik balik penting dalam sejarah Palestina, karena setelah masa ini daerah ini
berada di bawah kendali kaum Muslimin. Peristiwa ini mendatangkan perdamaian dan ketertiban
bagi Palestina, yang selama berabad-abad telah menjadi tempat perang, pengasingan,
penyerangan, dan pembantaian. Apa lagi, setiap kali daerah ini berganti penguasa, seringkali
menyaksikan kekejaman baru. Di bawah pemerintahan Muslim, penduduknya, tanpa melihat
keyakinan mereka, hidup bersama dalam damai dan ketertiban.
Palestina ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, khalifah kedua. Ketika memasuki Yerusalem,
toleransi, kebijaksanaan, dan kebaikan yang ditunjukkannya kepada penduduk daerah ini, tanpa
membeda-bedakan agama mereka menandai awal dari sebuah zaman baru yang indah. Seorang
pengamat agama terkemuka dari Inggris Karen Armstrong menggambarkan penaklukan
Yerusalem oleh Umar dalam hal ini, dalam bukunya Holy War:
Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh
pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar ia dibawa segera ke
Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan
perjalanan malamnya. Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir, pastilah akan
menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki
rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat. Kemudian
Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre,
waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia
berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat
Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti
mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar pergi sholat di tempat yang sedikit jauh
dari gereja tersebut, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan
dengan Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah
Umar.
Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat
Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad. Selama
bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat
pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini
dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk
membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.9
Pendeknya, umat Islam membawa peradaban bagi Yerusalem dan seluruh Palestina. Bukan
memegang keyakinan yang tidak menunjukkan hormat kepada nilai-nilai suci orang lain dan
membunuh orang-orang hanya karena mereka mengikuti keyakinan berbeda, budaya Islam yang
adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian dan ketertiban kepada masyarakat Muslim,
Nasrani, dan Yahudi di daerah itu. Umat Islam tidak pernah memilih untuk memaksakan agama,
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 3/8
meskipun beberapa orang non-Muslim yang melihat bahwa Islam adalah agama sejati pindah
agama dengan bebas menurut keinginannya sendiri.
Perdamaian dan ketertiban ini terus berlanjut sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah
ini. Akan tetapi, di akhir abad kesebelas, kekuatan penakluk lain dari Eropa memasuki daerah ini
dan merampas tanah beradab Yerusalem dengan tindakan tak berperikemanusiaan dan
kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penyerang ini adalah Tentara Perang
Salib.
Kekejaman Tentara Perang Salib dan Keadilan Salahuddin
Tentara Perang Salib merampas Yerusalem setelah pengepungan lima minggu, dilanjutkan
perampasan perbendaharaan kota dan membantai orang-orang Yahudi dan Islam.
Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus
memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib. Mengikuti ajakan Paus Urbanius
II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke
Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar
di Timur. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan pembantaian
di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Kota ini jatuh
setelah pengepungan hampir 5 minggu. Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka
melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan
pedang.
Dalam perkataan seorang ahli sejarah: “Mereka membunuh semua orang Saracen dan Turki
yang mereka temui… pria maupun wanita.”10 Salah satu tentara Perang Salib, Raymond dari
Aguiles, merasa bangga dengan kekejaman ini:
Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi
sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan
panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih
lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan
terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya
masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana
ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria
berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.11
Salahuddin al-Ayyubi, yang mengalahkan Tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin,
tercatat dalam sumber sejarah dengan keadilan, keberanian, dan wataknya yang terhormat.
Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak
berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan.12 Perdamaian dan ketertiban di Palestina,
yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.
Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka, dan mendirikan Kerajaan
Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Namun pemerintahan mereka berumur
pendek, karena Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah benderanya dalam
suatu perang suci dan mengalahkan tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin pada tahun
1187. Setelah pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan
Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari Chatillon, yang
telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam,
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 4/8
namun membiarkan Raya Guy pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad
SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mikrajnya ke langit, Salahuddin
memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib.
Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang
Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua
akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan
Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan
beribadah menurut yang mereka pilih.
Karen Armstrong menggambarkan penaklukan keduakalinya atas Yerusalem ini dengan
kata-kata berikut ini:
Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai
penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim. Salahuddin
menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling
tinggi. Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an
anjurkan (16:127), dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan
(2:193-194). Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah
tebusan pun disengaja sangat rendah…. Salahuddin menangis tersedu-sedu karena keadaan
mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah dan ia membebaskan banyak dari
mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan
negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya al-Adil begitu tertekan karena
penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di
antara mereka bersamanya dan kemudian membebaskan mereka di tempat itu juga… Semua
pemimpin Muslim merasa tersinggung karena melihat orang-orang Kristen kaya melarikan diri
dengan membawa kekayaan mereka, yang bisa digunakan untuk menebus semua tawanan…
[Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain
dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama
perjalanan ke Tyre.13
Pendeknya, Salahuddin dan tentaranya memperlakukan orang-orang Nasrani dengan kasih
sayang dan keadilan yang agung, dan menunjukkan kepada mereka kasih sayang yang lebih
dibanding yang diperlihatkan oleh pemimpin mereka.
Ketika Raja Richard I dari Inggris merampas Kastil Acre, ia membantai orang-orang Islam.
Lukisan di bawah ini menggambarkan hukuman mati atas ratusan tahanan beragama Islam.
Mayat-mayat mereka dan kepala-kepala terpenggal ditumpuk di bawah panggung.
Setelah Yerusalem, tentara Perang Salib melanjutkan perbuatan tidak berprikemanusiaannya
dan orang-orang Islam meneruskan keadilannya di kota-kota Palestina lainnya. Pada tahun 1194,
Richard Si Hati Singa, yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris,
memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya
wanita-wanita dan anak-anak, secara tak berkeadilan di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam
menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama. Mereka malah tunduk
kepada perintah Allah: “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 5/8
mereka)…”(Qur’an 5:2) dan tidak pernah melakukan kekejaman kepada orang-orang sipil yang
tak bersalah. Di samping itu, mereka tidak pernah menggunakan kekerasan yang tidak perlu,
bahkan kepada tentara Perang Salib sekalipun.
Kekejaman tentara Perang Salib dan keadilan orang-orang Islam sekali lagi terungkap sebagai
kebenaran sejarah: Sebuah pemerintahan yang dibangun di atas dasar-dasar Islam
memungkinkan orang-orang dari keyakinan berbeda untuk hidup bersama. Kenyataan ini terus
ditunjukkan selama 800 tahun setelah Salahuddin khususnya selama masa Ottoman.
Pemerintahan Kesultanan Ottoman yang Adil dan Toleran
Setelah penaklukan Sultan Salim atas Yerusalem dan sekitarnya pada 1514, masa kedamaian
dan keamanan selama 400 tahun dimulai di tanah Palestina.
Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Yerusalem dan daerah-daerah sekitarnya dan
sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara
Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati perdamaian dan
stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan satu
sama lain.
Kesultanan Ottoman diperintah dengan “sistem bangsa (millet),” yang gambaran dasarnya adalah
bahwa orang-orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem
hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur'an sebagai Ahli Kitab,
menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan di tanah Ottoman.
Alasan terpenting dari hal ini adalah bahwa, meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam
yang diatur oleh orang-orang Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk
Islam. Sebaliknya kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang
non-Muslim dan memerintah mereka dengan cara sedemikian sehingga mereka nyaman dalam
aturan dan keadilan Islam.
Negara-negara besar lainnya pada saat yang sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih
kejam, menindas, dan tidak toleran. Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam
dan Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat. Di banyak
negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah orang Yahudi
(misalnya, mereka dipaksa untuk hidup di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan
kadangkala menjadi korban pembantaian massal (pogrom). Orang-orang Nasrani bahkan tidak
dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan Katolik selama abad
keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang
Tiga Puluh Tahun (1618-1648) adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa
Tengah menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga jumlah
penduduknya) lenyap.
Bertolak belakang dengan kekejaman ini, Kesultanan Ottoman dan negara-negara Islam
membangun pemerintahan mereka berdasarkan perintah Al-Qur'an tentang pemerintahan yang
toleran, adil, dan berprikemanusiaan. Alasan keadilan dan peradaban yang dipertunjukkan oleh
Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman, serta banyak penguasa Islam, yang diterima oleh
Dunia Barat saat ini, adalah karena keimanan mereka kepada perintah-perintah Al-Qur'an, yang
beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 6/8
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qur'an, 4:58)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Qur'an, 4:135)
Penelitian tentang Palestina selama masa Ottoman terakhir mengungkap suatu kemajuan dalam
kesejahteraan, perdagangan, dan industri di seluruh wilayah ini.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qur'an, 60:8)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Qur'an, 49:9)
Ada sebuah ungkapan yang digunakan dalam politik bahwa “kekuasaan itu menyimpang, dan
kekuasaan mutlak itu mutlak menyimpang.” Ini berarti bahwa setiap orang yang menerima
kekuasaan politik kadangkala menjadi menyimpang secara akhlak karena kesempatan yang ia
peroleh. Ini benar-benar terjadi pada sebagian besar manusia, karena mereka membentuk
kehidupan akhlak mereka menurut tekanan sosial. Dengan kata lain, mereka menghindari
perbuatan tak berakhlak karena mereka takut pada ketidaksetujuan atau hukuman masyarakat.
Namun pihak berwenang memberi mereka kekuasaan, dan menurunkan tekanan sosial atas
mereka. Akibatnya, mereka menjadi menyimpang atau merasa jauh lebih mudah untuk
berkompromi dengan kehidupan akhlak mereka sendiri. Jika mereka memiliki kekuasaan mutlak
(sehingga menjadi para diktator), mereka mungkin mencoba untuk memuaskan keinginan
mereka sendiri dengan cara apa pun.
Dinasti Ottoman membawa perdamaian, stabilitas, dan peradaban ke seluruh tanah yang mereka
taklukkan. Kita masih bisa menemukan air mancur, jembatan, penginapan, dan mesjid
dari masa Ottoman di seluruh Palestina.
(Kiri) Gerbang Pahlawan, abad ke-16
(Kanan) Khan al-Umdan
Satu-satunya contoh manusiawi yang tidak disentuh oleh hukum penyimpangan tersebut adalah
orang yang dengan ikhlas percaya kepada Allah, memeluk agamanya karena rasa takut dan cinta
kepada-Nya dan hidup menurut agama itu. Karena itu, akhlak mereka tidak ditentukan oleh
masyarakat, dan bahkan bentuk kekuasaan mutlak pun tidak mampu mempengaruhi mereka.
Allah menyatakan ini dalam sebuah ayat:
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 7/8
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (Qur'an, 22:41)
Dalam Al-Qur'an, Allah menjadikan Daud AS, sebagai contoh tentang penguasa yang ideal, yang
menerangkan bagaimana ia mengadili dengan keadilan orang-orang yang datang untuk meminta
keputusannya dan bagaimana ia berdoa dengan pengabdian seutuhnya kepada Allah. (Al-Qur'an,
38:24)
Dinasti Ottoman membawa perdamaian, ketertiban, dan toleransi kemana pun ia pergi.
Sejarah Islam, yang mencerminkan akhlak yang Allah ajarkan kepada umat Islam dalam
Al-Qur'an, penuh dengan penguasa-penguasa yang adil, berkasih sayang, rendah hati, dan
bijaksana. Karena para penguasa Muslim takut kepada Allah, mereka tidak dapat berperilaku
dengan cara yang menyimpang, sombong atau kejam. Tentu ada penguasa Muslim yang menjadi
menyimpang dan keluar dari akhlak Islami, namun mereka adalah pengecualian dan
penyimpangan dari norma tersebut. Oleh karena itu, Islam terbukti menjadi satu-satunya sistem
keimanan yang menghasilkan bentuk pemerintahan yang adil, toleran, dan berkasih sayang
selama 1400 tahun terakhir.
Tanah Palestina adalah sebuah bukti pemerintahan Islam yang adil dan toleran, dan memberi
pengaruh kepada banyak kepercayaan dan gagasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
pemerintahan Nabi Muhammad SAW, Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman adalah
pemerintahan yang bahkan orang-orang non-Muslim pun sepakat dengannya. Masa
pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad kedua puluh, dengan berakhirnya pemerintahan
Muslim pada tahun 1917, daerah tersebut jatuh ke dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah,
dan perang.
Yerusalem, pusat tiga agama, mengalami masa stabilitas terpanjang dalam sejarahnya di bawah
Ottoman, ketika kedamaian, kekayaan, dan kesejahteraan berkuasa di sana dan di seluruh
kesultanan. Umat Nasrani, Yahudi, dan Muslim, dengan berbagai golongannya, beribadah
menurut yang mereka sukai, dihormati keyakinannya, dan mengikuti kebiasaan dan tradisi
mereka sendiri. Ini dimungkinkan karena Ottoman memerintah dengan keyakinan bahwa
membawa keteraturan, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan toleransi kepada daerah
mereka adalah sebuah kewajiban suci.
Banyak ahli sejarah dan ilmuwan politik telah memberi perhatian kepada kenyataan ini. Salah
satu dari mereka adalah ahli Timur Tengah yang terkenal di seluruh dunia dari Columbia
University, Profesor Edward Said. Berasal dari sebuah keluarga Nasrani di Yerusalem, ia
melanjutkan penelitiannya di universitas-universitas Amerika, jauh dari tanah airnya. Dalam
sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Ha’aretz, ia menganjurkan dibangkitkannya “sistem
bangsa Ottoman” jika perdamaian permanen ingin dibangun di Timur Tengah. Dalam
pernyataannya,
Sebuah minoritas Yahudi bisa bertahan dengan cara minoritas lainnya di dunia Arab bertahan…
ini cukup berfungsi baik di bawah Kesultanan Ottoman, dengan sistem millet-nya. Sebuah sistem
yang kelihatannya jauh lebih manusiawi dibandingkan sistem yang kita miliki sekarang.14
Memang, Palestina tidak pernah menyaksikan pemerintahan “manusiawi” lain begitu
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Artikel Oase Qalbu - halaman 8/8
pemerintahan Ottoman berakhir. Antara dua perang dunia, Inggris menghancurkan orang-orang
Arab dengan strategi “memecah dan menaklukkannya” dan serentak memperkuat Zionis, yang
kemudian terbukti menentang, bahkan terhadap mereka sendiri. Zionisme memicu kemarahan
orang-orang Arab, dan dari tahun 1930an, Palestina menjadi tempat pertentangan antara kedua
kelompok ini. Zionis membentuk kelompok teroris untuk melawan orang-orag Palestina, dan
segera setelahnya, mulai menyerang orang-orang Inggris pula. Begitu Inggris berlepas tangan
dan menyerahkan kekuasaannya atas daerah ini pada 1947, pertentangan inim yang berubah
menjadi perang dan pendudukan Israel serta pembantaian (yang terus berlanjut hingga hari ini)
mulai bertambah parah.
Agar daerah ini dapat menikmati pemerintahan “manusiawi”nya kembali, orang-orang Yahudi
harus meninggalkan Zionisme dan tujuannya tentang “Palestina yang secara khusus bagi
orang-orang Yahudi,” dan menerima gagasan berbagi daerah dengan orang-orang Arab dengan
syarat yang sama. Bangsa Arab, dengan demikian pula, harus menghilangkan tujuan yang tidak
Islami seperti “melemparkan Israel ke laut” atau “memenggal kepala semua orang Yahudi,” dan
menerima gagasan hidup bersama dengan mereka. Menurut Said, ini berarti mengembalikan lagi
sistem Ottoman, yang merupakan satu-satunya pemecahan yang akan memungkinkan
orang-orang di daerah ini hidup dalam perdamaian dan ketertiban. Sistem ini mungkin dapat
menciptakan sebuah lingkungan perdamaian wilayah dan keamanan, seperti yang pernah terjadi
di masa lalu.
http://www.oaseqalbu.web.id/article.php?sid=324 didownload pada Selasa, 18 Juli 2017
Download