Bahan Perkuliahan Pengantar Kriminologi Pendahuluan — — — — — Kejahatan dan penjahat telah ada tidak berapa lama setelah manusia menghuni bumi. Meski kejahatan telah ada akan tetapi perhatian mengenai kejahatan, penyebab dan cara menanggulanginya secara ilmiah tidak setua kejahatan. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (Marc Ancel). Kejatahan merupakan the oldest sosial problem. Tidak ada problem sosial yang mempunyai rekor demikian lama mendapat perhatian dunia luas secara terusmenerus selain daripada penomena kejahatan (Benedict S. Alper). Kejahatan sebagai masalah sosial tampaknya tidak hanya merupakan masalah bagi suatu masyarakat tertentu (nasional), tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia.—Tegasnya, kejahatan telah menjadi penomena internasional, yang menurut istilah Seiichiro Ono merupakan "a universal phenomenon". Kejatahan sebagai masalah internasional tidak hanya karena jumlahnya yang telah meningkat, tetapi juga karena kualitasnya dipandang lebih serius dibandingkan masa-masa lalu. Pengertian Kriminologi — Pengertian secara etimologi Kriminologi diturunkan dari kata "criminology".—Istilah tersebut merupakan gabungan dari dua suku kata, "crime" berarti kejahatan dan crimen artinya jahat atau kejahatan; dan "logos" berarti ilmu pengetahuan.—Jadi, secara etimologi, kriminologi yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat, atau suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu tentang kejahatan. — Pengertian Menurut Para Sarjana 1. Paul Topinard Kriminologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan sebagai masalah sosial. 2. W. A. Bonger Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya. 3. Frij Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan, bentuk, sebab dan akibatnya. 4. Edwin H. Sutherland Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial (Criminology is the body knowledge regarding delinquency and crime as sosial phenomena). 5. Soedjono Dirjosisworo Kriminologi adalah pengetahuan yang mempelajari sebab dan akibat, perbaikan maupun pencegahan kejahatan sebagai gejala mausia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan. 6. Walfgang, Savits, Johnston Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keteranganketerangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, penjahat serta rekasi masyarakat terhadap keduanya. — Kriminologi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan sebagai masalah manusia dan gejala sosial—baik yang menyangkut pengertian, bentuk, dan sebab-akibat kejahatan, pelaku kejahatan maupun reaksi masyarakat terhadap keduanya—dengan menghimpun dari berbagai ilmu pengetahuan (multidisipliner). — Atas dasar bahwa Kriminologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, maka pengkajiannya harus dapat memberikan penjelasan terhadap berbagai aspek yang melingkupi kejahatan dan penjahat—baik yang menyangkut faktor-faktor kausalitas maupun aspek pencegahan dan pemecahan masalah (solusi) atas kejahatan itu sendiri. Istilah, Perkembangan dan Sifat Kriminologi — — — — — — — — Kriminologi lahir pada abad ke-19—tepatnya pada tahun 1983 bersamaan dengan mulainya sosiologi. Perkembangan pengkajian terhadap masalah kejahatan terdorong dengan kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan—terutama kedokteran dan biologi. Pengkajian secara ilmiah terhadap kejahatan dilihat dari kedua bidang (kedokteran dan biologi) itu dipelopori oleh Cesare Lombroso. Kemudian kejahatan menjadi bidang kajian baru dalam ilmu pengetahuan yang dinamakan Kriminologi. Istilah Kriminologi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Topinard (1830-1911) seorang antropolog Perancis pada tahun 1879. Ia memperkenalkan dan menggunakan istilah itu untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah kejahatan sebagai masalah manusia.—Istilah sebelumnya yang pakai adalah Antropologi Kriminal. Kriminologi merupakan "non-legal discipline"—sehingga harus membebaskan diri dari prasangka. Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu (multidisipliner). Kriminologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum pidana yang memberikan pemahaman tentang sebab dilakukannya kejahatan dan upaya penanggulangannya, yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan kejahatan. Sejarah Singkat Kriminologi (Pra-Kriminologi) 1. Zaman Kuno Pada zaman ini, tentang kriminologi dapat dikatakan belum ada. Pandangan tentang kejahatan hanya terdapat dalam catatan-catatan lepas.—Misalnya saja, Plato dalam karyanya "Republiek" antara lain menyatakan , "emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahatan". Juga Aristoteles dalam karyanya "Politiek" antara lain menulis tentang hubungan antara kejahatan dan masyarakat—yaitu bahwa "kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan". 2. Zaman Abad Pertengahan Pada zaman abad pertengahan, Kriminologi belum begitu mendapatkan perhatian. Pembicaraan mengenai kejahatan masih bersifat umum dan belum ada penyelidikan yang mendalam.—Thomas van Aquino memberikan memberi pendapat tentang pengaruhnya kemiskinan atas kejahatan antara lain: — Orang kaya yang hanya hidup untuk kesenangan dan memboroskan-boroskan kekayaannya, pada suatu saat ia jatuh miskin mudah menjadi pencuri. — Kemiskinan biasanya memberikan dorongan untuk mencuri (Summa contra gentiles). — Dalam keadaan yang sangat memaksa orang boleh mencuri (Summa theologica). 3. Abad ke-16-17 Menurut Antonini, pada abad ke-16-17 terdapat beberapa tanda dari Antropologi Kriminal. Dalam arti bahwa terdapat beberapa penulis yang menyelidiki hubungan antara watak-watak dengan bahan-bahan Antropologi—seperti G. Grataroli dan G.B Della Porta. 4. Abab ke-18 Pada abad ini terdapat banyak tulisan yang berkenaan dengan sebab-sebab social dari kejahatan dan sebab-sebab antropologi dari kejahatan.—Nampaknya pada abad ini Kriminologi mulai mendapatkan perhatian. Sehubungan dengan sebab-sebab social dari kejahatan terdapat beberapa catatan—antara lain: — Voltaire dalam karyanya "Prix de la justice et de I'humanite" mencatat bahwa pencurian dan kejahatan lainnya adalah kejahatan orang miskin. — Dalam "Encyclopedia" Rousseau menulis bahwa kesengsaraan merupakan ibu (induk) dari kejahatan yang besar; dan juga dalam karyanya "Le contrat social" mengemukakan bahwa dalam negara yang diperintah dengan baik terdapat sedikit penjahat. — Beccaria mengatakan bahwa pencuri biasanya adalah kejahatan yang timbul karena kesengsaraan dan putus asa. — D' Holbach dalam bukunya "System Social" mencatat bahwa masyarakat yang terdapat di dalamnya orang-orang miskin terdesak hingga putus asa, kejahatan merupakan jalan untuk mendapatkan nafkah. Berkenaan dengan sebab-sebab antropologi dari kejahatan terdapat beberapa catatan yang dikemukakan oleh J.K Lavater seorang ahli agama Swiss sekaligus pelopor dari ilmu pengetahuan yang menyelidiki ciri-ciri lahiriah watak (roman, muka, tulisan dan jalannya) seorang penjahat 5. Abad ke-19 Pada abad ini Kriminologi mulai berkembang pesat didukung oleh tokoh-tokoh ahli pidana—yang pada umumnya tidak puas terhadap sistem hukum pidana yang ada, dan juga dibantu oleh para recedivis sebagai penunjuk jalan. Sebab-sebab Lahirnya Kriminologi — Lahirnya Kriminologi abad ke-19 pada mulanya disebabkan sebagai respons dari sistem hukum yang terjadi pada abad ke-18 dan adanya ketidakpuasan pada: 1. Hukum Pidana.—Dalam arti peraturan-peraturan hukum tidak begitu tegas dalam perumusannya dan memberi kemungkinan timbulnya berbagai tafsiran. 2. Hukum Acara Pidana.—Dalam acara pidananya pada saat itu bersifat inkisitor— dimana tersangka hanya dipandang sebagai objek pemeriksaan yang diharapkan pengakuannya dan hanya berdasarkan laporan-laporan tertulis saja. 3. Cara Penghukuman.—Dalam arti bahwa penghukuman semata-mata lebih ditujukan untuk menakut-nakuti dengan cara menjatuhkan hukuman yang sangat berat. Hukuman mati dilakukan dengan berbagai cara dan umumnya didahului dengan penganiayaan yang ngeri (seperti badan diratik dengan roda), dan hukuman atas fisik adalah hukuman yang biasa dilakukan sehari-hari.— Penghukuman pada saat itu lebih dimaksudkan dalam rangka "pencegahan umum" dengan tanpa memperhatikan pribadi keadaan si penjahat. Ia hanya dijadikan sebagai contoh atau alat untuk menakut-nakuti orang lain. Objek Studi Kriminologi — Topo Santoso 1. Perbuatan yang disebut kejahatan. 2. Pelaku kejahatan (penjahat). 3. Reaksi masyarakat yang ditujukan—baik terhadap perbuatan (kejahatan) maupun terhadap pelakunya (penjahat). — Muhamad Mustafa 1. 2. 3. 4. Kejahatan, prilaku menyimpang dan kenakalan remaja. Pola tingkah laku kejahatan dan sebab-musabab terjadinya kejahatan. Korban kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Tujuan Mempelajari Kriminologi — Untuk memberi petunjuk bagaimana masyarakat dapat memberantas kejahatan dengan hasil yang baik lebih-lebih menghindarinya. "Savoir pour prevoir" (mengetahui untuk melihat ke depan).—atau paling tidak dapat menekan laju perkembangan kejahatan. Ilmu Pengetahuan Bagian Dari Kriminologi Menurut W.A Bonger — Kriminologi Teoritis 1. Antropologi kriminal ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis)—baik yang menyangkut sifat dan badan dan jiwa penjahat. 2. Sosiologi kriminal ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Tegasnya, mempelajari sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat (etiologi sosial). 3. Psikologi kriminal ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dipandang dari sudut ilmu jiwa. 4. Psyco dan neuro patologi kriminal ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang sakit jiwa. 5. Poenologi ialah ilmu pengetahuan tentang timbul dan pertumbuhannya hukuman, arti dan faidah. — Kriminologi Terapan 1. Hygiene atau prophylake kriminal (penghindaran kejahatan) 2. Politik kriminal (tindakan terhadap pelaku kejahatan). 3. Kriminalistik (police scientifique)—ilmu pengetahuan terapan atau secara praktis, yang menyelidiki teknik dan pengusutan kejahatan. Menurut Sutherland dan Cressey Ruang lingkup pengkajian Kriminologi terbagi menjadi tiga bagian yang terkonsentrasi menjadi bagian tiga bidang ilmu—yaitu: 1. Sosiologi hukum,—yang bertugas mencari melalui analisis ilmiah kondisi-kondisi terjadinya atau terbentuk hukum pidana. 2. Etiologi kriminal,—yang bertugas mencari secara analisis ilmiah sebab-sebab terjadinya kejahatan. 3. Penologi,—yang berarti ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, arti dan manfaat yang berhubungan dengan upaya control of crime (pengadilan kejahatan) yang meliputi upaya preventif maupun represif. Menurut Wood Kriminologi secara ilmiah dapat dibagi atas tiga bagian—yaitu: 1. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan sebagai masalah yuridis yang menjadi objek pembahasan Ilmu Hukum Pidana dan Acara Hukum Pidana. 2. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan sebagai masalah antropologi yang menjadi inti bahasan secara sempit—yaitu sosiologi dan biologi. 3. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan sebagai masalah teknik yang menjadi menjadi pembahasan kriminalistik—seperti ilmu kedokteran forensik, ilmu alam forensik dan ilmu kimia forensik. Mazhab-mazhab dalam Kriminologi Mazhab Antropologi — — — — — Mazhab ini muncul pada tahun 70 dari abad ke-19 dan disebut juga dengan mazhab Italia. Mazhab ini memiliki pandangan yang menghubungkan tingkah laku jahat (kejahatan) dengan kondisi atau fisik seseorang.—Mazhab ini tergolong ke dalam paradigma positivisme. Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran ini—yaitu Cesare Lombroso (18351909) yang ajarannya antara lain: 1. Sifat jahat atau seseorang yang menjadi penjahat sudah ada semenjak dilahirkan (teori avatisme). 2. Tipe penjahat dari sudut antropologi mempunyai tanda-tanda fisik tertentu—misalnya saja, tulang dahinya melengkung ke belakang, terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya, roman mukanya berbeda dengan orang biasa, bertato dan lain sebagainya. 3. Penjahat adalah seseorang penyakit epilepsy (penyakit pada susunan saraf, yang timbul sewaktu-waktu berupa kekejangan disertai pingsan dan perubahan gerak-gerik jiwa sewaktu penyakit itu menyerang).—Pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Pendapat lain dari mazhab ini antara lain: 1. P. Lucas (1805-1885) menyatakan bahwa sifat jahat pada hakikatnya sudah mulai dari sejak kelahirannya dan didapat dari keturunannya, keadaan sekitar juga bukan tidak penting peranannya, tetapi hanya bersifat kebetulan. 2. A. B. Morel (1809-1873) mengemukakan teori degenerasi—yaitu bahwa manusia biasa karena pengaruh keadaan sekitarnya yang baik selama beberapa generasi mempunyai keturunan yang merosot sifat-sifatnya. Kemorosotan sifat-sifat ini dapat pula menyebabkan kejahatan. Sungguh pun aliran ini banyak mendapat kritikan yang keras, namun jasanya tidak dapat dilupakan sebagai bahan pengkajian lebih lanjut yang berkenaan dengan pribadi si penjahat, bakat dan lingkungannya. Ajaran Ferri — Ferri adalah salah seorang penganut Lombroso yang paling besar jasanya dalam menyebarkan ajarannya. Sehubungan dengan teori timbulnya kejahatan—ia menambahkan dari ajaran Lombroso yaitu bahwa tiap-tiap kejahatan adalah resultan (dihasilkan, diakibatkan) dari keadaan individu, fisik dan sosial. — Teori Ferri ini kemudian dianut oleh yang lain—dan melahirkan mazhab baru dalam kriminologi yaitu aliran Bio-Sosiologi. — Mazhab Lingkungan Mazhab Lingkungan atau yang disebut juga dengan mazhab Perancis memiliki pandangan yang menghubungkan tingkah laku jahat (kejahatan) dengan faktor lingkungan. — Mazhab ini lahir sebagai respon penentangan atau pengingkaran terhadap ajaran dari mazhab antropologi. — Salah satu tokoh yang penting dari aliran ini —yaitu G. Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi. Dalam pendapatnya ia mengatakan, bahwa kejahatan bukan suatu gejala antropologis, tapi sosiologis yang didominasi oleh peniruan dari masyarakat lain. — Mazhab Lingkungan-Ekonomi Aliran ini lebih mengedepankan faktor ekonomi sebagai timbulnya kejahatan. Tokoh dari mazhab ini antara lain: 1. F. Turati (1857).—Ia menyatakan antara lain, "kesengsaraan dan juga nafsu untuk memiliki akan mendorong timbulnya kejahatan". 2. N. Colanjanni (1847-1921).—Dalam penyelidikannya menunjukkan antara lain bahwa "krisis ekonomi dapat memicu timbulnya kejahatan". Mazhab Lingkungan Fisik (Alam Sekeliling) Aliran ini lebih mengedepankan pendapatnya bahwa alam atau keadaan sekelilingnya—baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi timbulnya kejahatan. Mazhab Bio-Sosiologi Mazhab ini merupakan perpaduan dari dua mazhab sebelumnya—yaitu aliran antropologi dan aliran lingkungan sebagai sebab timbulnya kejahatan. Mazhab ini sesungguhnya merupakan ajaran Ferri. — Dalam pandangannya mazhab ini menyatakan, bahwa tiap-tiap kejahatan adalah hasil (resultan) dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik. — Tokoh-tokoh yang tergolong aliran ini—antara lain: D. Simons (1860-1930), F. Exner (1880-1947) dan G. Aschaffenbung (1886-1944). — Mazhab Spiritualis Aliran ini memandang, bahwa terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh unsur kerohanian. —Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini antara lain: F. A.K. Krauss (1843-1917), H. Jolly (1839-1925) dan M. De Baets (1863-1931). Aliran-aliran Lain dalam Kriminologi Demonologis — Merupakan pemikiran awal yang dikembangkan atas dasar pemikiran yang tidak rasional, di mana tingkah laku kejahatan yang dilakukan oleh individu merupakan pengaruh dari roh jahat (demon/setan). Benar atau salahnya suatu tingkah laku ditentukan oleh definisi kepala suku atau orang yang dianggap sebagai dewa. — Pemikiran ini masih bersifat konvensional (tradisional) di mana tindakan pelanggaran yang dianggap paling serius bagi demonologis adalah mempergunakan ilmu ghaib hitam (black magic). — Hukuman yang digunakan juga masih bersifat tradisional yang ditujukan untuk mengusir roh jahat dalam diri individu tersebut—seperti membakar individu yang memiliki ilmu hitam. — Klasik Dalam pandangan pemikiran klasik, tingkah laku jahat dilakukan oleh manusia merupakan cerminan dari adanya konsep "free will" atau kehendak bebas.— Dengan ini menganggap bahwa individu memiliki pilihan atau pemikiran untuk menentukan tindakan yang akan mereka lakukan. — Hukuman yang diterapkan pada pemikiran ini bersifat umum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. — Tokoh dalam aliran ini antara lain: Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. — Neo Klasik Neo klasik muncul sebagai bentuk kritikan terhadap aliran klasik yang menyamakan hukuman setiap orang tanpa mempertimbangkan usia, fisik dan kondisi kejiwaan seseorang. Determinisme Dalam paham determinisme menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan lingkungan kemasyarakatannya.—Atas dasar hal ini bahwa tingkah laku jahat merupakan pengaruh dari adanya faktor-faktor tertentu. Aliran ini terdapat beberapa paradigma—yaitu: 1. Positivisme Dalam paradigma ini, tingkah laku jahat dihubungkan kondisi biologis atau fisik seseorang.—salah satu tokoh dari paradigma ini Cesare Lombroso yang bermazhab antropologi. 2. Interaksionisme Dalam paradigma ini, tingkah laku jahat merupakan definisi dari hasil interaksi, dimana seseorang dianggap jahat ketika orang lain melihat bahwa tingkah laku tersebut adalah jahat atau menyimpang.—Teori yang terkenal dalam paradigma ini ini adalah teori "labeling" dan tokoh-tokohnya antara lain: Edwin Lemert, Becker, Kitsuse dan Goffman. 3. Konflik Dalam paradigma ini, tingkah laku jahat merupakan suatu definisi yang dibuat oleh penguasa terhadap tingkah laku dimana hal tersebut ditujukan untuk kepentingan penguasa.—Tokoh-tokohnya antara lain: Bonger, Quinney, Taylor, Vold dan J. Young. 4. Pos Modern Kriminologi Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan suatu konsep yang harus didekonstruksikan. Tiga buah pendekatan dalam paradigma ini—yaitu realisme, Feminisme dan konstitutif. 5. Budaya Paradigma ini memandang bahwa tingkah laku jahat berbeda jika dilihat dalam konteks budaya yang berbeda pula. Jika pada suatu kebudayaan tertentu memandang suatu tingkah laku jahat, maka pada kebudayaan lain belum tentu dipandang juga sebagai kejahatan. Pengertian, Bentuk-bentuk, Sifat dan Luasnya Kejahatan Pendahuluan — — — — — Untuk menunjukkan istilah kejahatan sebagai salah satu objek dari studi kriminologi, para kriminolog tidak terdapat kesatuan pendapat tentangnya. Sebagian ada yang tetap menggunakan istilah "crime" atau "criminality" (kejahatan), sedangkan sebagian lain memakai istilah "deviance behavior" (prilaku menyimpang). Bagi para teoritisi labeling—lebih suka menggunakan kata "deviance" dibanding kata "criminality". Karena menurut Gwyn Nettler, istilah deviance merupakan sociological neologism. Safarinah Sadeli merumuskan "perilaku menyimpang"—sebagai tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif yang berlaku. Dalam persepsi masyarakat umum, kata kejahatan yang digunakan sehari-hari lebih menunjukkan pada pengertian sebagai tingkah laku atau perbuatan jahat yang tiap-tiap orang dapat merasakannya bahwa itu jahat—seperti pemerasan, pencurian, penipuan, penggelapan dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Pengertian Menurut Para Sarjana 1. W. A Bonger Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan). 2. Mr. Paul Moedikno Moeliono Kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan dan tidak boleh dibiarkan. 3. Frank Tannembaum Kejahatan merupakan problem manusia, oleh karena itu di mana ada manusia pasti ada kejahatan "crime is eternal as eteral society". 4. J. E Sahetapy dan B. Mardjono Reksidipuro Kejahatan adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang hukum public untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana dari negara. 5. Bemmelen Kejahatan adalah setiap kelakuan yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan hukuman terhadap pelaku perbuatan itu. Kejahatan Dari Aspek Yuridis, Sosiologis, Psikologis dan Religius Dari aspek yuridis, kejahatan merupakan perbuatan yang melanggar aturan atau perundang-undangan pidana. — Dari aspek sosiologis, kejahatan merupakan salah satu perbuatan hukum yang antisosial dan amoral serta tidak dikehendaki oleh masyarakat, merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan dan secara sadar harus ditentang. — Dari sudut pandang psikologis, kejahatan adalah pencerminan perilaku manusia di dalam masyarakat, berkaitan dengan kegiatan kejiwaan individu yang tidak selaras — dengan norma-norma pergaulan masyarakat.—Kejahatan merupakan perbuatan abnormal (yang tidak biasa dalam masyarakat). — Dari sudut religius (spiritual), pengertian kejahatan bertolak dari norma-norma agama yang mempertentangan antara kebaikan dan kejahatan.—Kebaikan dari itu berasal dari Tuhan dan kejahatan berasal dari setan atau iblis. Dalam artian ini, kejahatan diidentikkan dengan dosa dan setiap dosa diancam dengan hukuman di akhirat kelak, bukan di dunia tempat si pelaku saat ini tinggal. Catatan: Perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-an khususnya studi sosiologi terhadap perundang-undangan menyadarkan bahwa dijadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan bukan semata-mata dipengaruhi oleh besar-kecilnya kerugian yang ditimbulkan atau karena bersifat amoral atau antisosial, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor kepentingan (politik). — Dengan demikian, kriminologi memperluas studinya terhadap perbuatanperbuatan yang dipandang sangat merugikan masyarakat luas—baik kerugian materi maupun baahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana. — Herman dan Julia Schwendinger menyatakan bahwa indicator yang cukup baik dalam melakukan pendefinisian tentang kejahatan dan pelaku kejahatan tiada lain bertolak dari penalaran tentang standar etika. Sebab dengan menggunakan demikian, maka beberapa bentuk perbuatan yang ada dapat dikontruksikan ke dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang mengarah pada social injury. — Bentuk-bentuk, Sifat dan Luas Kejahatan Persoalan kejahatan tidak hanya sebagai masalah masyarakat tertentu (nasional), tetapi juga menjadi masalah seluruh masyarakat dunia (internasional). — Philippe de seines menyatakan bahwa kejahatan telah dianggap mempunyai ukuran-ukuran baru dan tidak lagi dipandang sebagai cacat masyarakat (a social blemish). Saat ini kejahatan telah diakui sebagai socio-politik. — Bentuk-bentuk dan dimensi kejahatan mengalami banyak perubahan—baik secara transnasional maupun nasional, dan juga mengalami peningkatan yang signifikan — baik kuantitas maupun kualitas. — Dalam Kongres PBB kelima tahun 1976 di Jenewa dibicarakan beberapa perubahan dari bentuk dan dimensi kejahatan mengenai: 1. Crime as business—bentuk kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materil melalui kegiatan dalam bidang usaha. Yang termasuk ke dalam bentuk kejahatan ini antara lain berhubungan dengan pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam bidang perbankan, di samping kejahatan-kejahatan lain yang biasa dikenal dengan organized crime dan korupsi. 2. Tindak pidana yang berhubungan dengan hasil-hasil pekerjaan seni dan kekayaan budaya, objek-objek budaya atau warisan budaya. 3. Kejahatan yang berhubungan dengan alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan. 4. Perbuatan kekerasan antar-perorangan (interpersonal violence)—termasuk di dalamnya perbuatan kekerasan di kalangan para remaja. 5. Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan internasional—yang biasa disebut dengan terorisme. 6. Kejahatan yang berhubungan dengan lalu lintas kendaraan bermotor. — 7. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat (migrasi)—seperti pelanggaran paspor dan visa, pemalsuan dokumen, mengeksplotisir tenaga kerja, pelacuran dan lain sebagainya. 8. Kejahatan yang dilakukan oleh wanita. Pengertian Penjahat (Pelaku Kejahatan) Pelaku kejahatan atau penjahat merupakan objek lain dari studi kriminologi. Untuk memberikan definisi penjahat tidak terdapat rumusan baku dan sangat tergantung dari aspek mana kita melihat. — Jika menggunakan ukuran dari aspek yuridis atau hukum pidana, maka penjahat adalah mereka yang melakukan atau melanggar hukum pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.—Dari aspek ini, Sutherland menyatakan bahwa penjahat adalah orang yang melanggar undang-undang, maka sesungguhnya ia telah melakukan kejahatan. — Batasan dari aspek hukum pidana ataupun dari Sutherland hanya mengantarkan kita kepada status formal dari seseorang yang dikategorikan sebagai penjahat, padahal banyak sekali penjahat yang tidak masuk dalam ukuran hukum pidana. — Jika menggunakan ukuran sosiologis ataupun psikologis, maka yang disebut penjahat tentunya lebih banyak jumlahnya. — — Tentang Korban Kejahatan — — — — — Dalam perkembangan lebih lanjut, studi tentang pelaku atau penjahat ini diperluas dengan studi tentang korban kejahatan (victims)—yang dipengaruhi oleh tulisan Hans von Hentig dan B. Mendehlsohn. Dalam bukunya, Hentig menyebutkan bahwa dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan. Studi tentang korban ini kemudian berkembang dan muncullah viktimologi— sebagai ilmu yang membahas masalah korban dengan segala aspeknya. Dalam Resolusi MU-PBB 40/43 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "korban kejahatan"—yaitu orang-orang, baik secara invidual maupun kolektif yang menderita kerugian akibat perbuatan yang melanggar hukum yang berlaku dalam suatu negara. Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, istilah "korban" juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban. Beberapa Aspek Sosial Sebagai Faktor Terjadinya Kejahatan — — — — — — Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya dalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor tersebut di atas. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi—khususnya perdagangan obatobatan dan penadahan barang-barang curian. — Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap tidak toleran (intoleransi). Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan dan Penjahat — — — — — — Studi tentang reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat merupakan bagian lain dari objek kriminologi. Studi ini dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui dan mempelajari pandangan masyarakat tentang perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat—baik yang telah diatur dalam perundang-undangan pidana maupun yang belum. Studi ini penting sebagai masukan bagi badan pembuat atau pembentuk hukum untuk melakukan kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi. Tanpa studi ini tidaklah mungkin terdapat sinkronisasi apa yang diharapkan oleh masyarakat dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pada umumnya, bentuk reaksi masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu ada dua macam—yaitu: 1. Reaksi positif—yaitu berupa pujian, hadiah atau penghargaan yang ditujukan pada perbuatan seseorang yang memenuhi tuntutan masyarakat. 2. Reaksi negatif—yaitu dapat berupa cacian maupun penghinaan yang ditujukan pada perbuatan yang tercela atau tak diinginkan oleh masyarakat karena sifatnya yang dapat menimbulkan kerugian ataupun kebencian terhadap kepentingan masyarakat itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat dalam bentuk reaksi negatif dapat dibagi menjadi dua bagian—yaitu: 1. Reaksi dari aparat penegak hukum atau yang disebut dengan "reaksi formal"— yang berupa tindakan penangkapan sampai pada penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Dalam proses penangkapan sampai penghukuman itu pihak yang berwenang dalam melakukan tugasnya dilengkapi dengan prosedur tertentu berupa standar minimum rules. 2. Reaksi dari masyarakat itu sendiri atau yang disebut dengan "reaksi informal"— dan terbagi menjadi dua bagian—yaitu: a. Reaksi informal sebelum terjadinya kejahatan—yaitu dilakukan dengan melalui upaya-upaya pencegahan atau meminimalisasi potensi timbulnya kejahatan dengan melakukan tindakan secara swakarsa. b. Reaksi informal setelah terjadinya kejahatan—yaitu masyarakat itu sendiri yang menangani prilaku jahat dan penjahatnya. Ini dapat terjadi pada masyarakat yang jauh terpencil hingga aparat penegak hukum tak dapat menjangkaunya atau pun kejahatan-kejahatan yang belum atau tidak diatur dalam peraturan pidana. Kerugian Akibat Kejahatan 1. Ekonomi,—dalam hal biaya-biaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan dapat menguras sumber daya yang cukup besar, dan juga dapat berdampak menganggu tercapainya tujuan nasional dan penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. 2. Sosial,—berupa penderitaan dan ketakutan serta kegelisahan-kegelisahan yang timbul dari masyarakat. 3. Kesusilaan,—dengan memberikan dampak atau pengaruh terhadap moral masyarakat pada umumnya. 4. Penderitaan bagi si korban. 5. Penderitaan bagi diri si pelaku. — Menurut Resolusi MU-PBB 40/43, pengertian "kerugian" meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss) atau perusakan substansial dari hakhak asasi mereka (substansial impairment of their fundamental right). Upaya Penanggulangan Kejahatan — — — — — — — Menurut H.P. Hoepnagels, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian—yaitu melalui jalur "penal" (sanksi/hukuman pidana) dan "non-penal" (diluar/bukan hukum pidana). Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan secara integral—yaitu adanya keseimbangan antara penal dan nonpenal. Perbedaan di antara keduanya, upaya penanggulangan lewat jalur penal—lebih menitik beratkan pada sifat repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan itu terjadi, sedangkan jalur non-penal—lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi. Penanggulangan kejahatan dengan melalui sarana penal ditempuh dengan cara penerapan hukum pidana, sedangkan melalui sarana non-penal ditempuh dengan cara menangani dan menanggulangi faktor-faktor, sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia. Sampai saat ini pun hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, bahwa kegiatan Karang Taruna, kegiatan Pramuka, penggarapan jiwa kesehatan masyarakat dengan pendidikan agama, kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara intens, kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat—termasuk ke dalam upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Sarana melalui non-penal merupakan strategi potensial dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan. Karena sarana penal masih diragukan atau dipermasalahkan efektivitasnya. Atau dengan kata lain, penanggulangan kejahatan dengan penerapan hukum pidana masih terbatas. Ini disebabkan karena faktor terjadinya kejahatan begitu sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum.