BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keturunan etnis Arab di Surakarta merupakan kelompok etnis minoritas yang penting. Dikatakan penting karena mereka memiliki pengaruh yang cukup besar dalam aspek perekonomian di Surakarta. Etnis Arab ratarata memilih berdagang, atau menggeluti bisnis konveksi pakaian, kuliner masakan Arab, atau membuka toko perlengkapan Islami. Selain aspek ekonomi, etnis Arab juga memiliki pengaruh dalam aspek agama, pendidikan, politik, serta organisasi sosial. Etnis Arab melakukan integrasi dalam berbagai aspek dengan etnis Jawa agar keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas mendapat pengakuan bahwa mereka juga adalah warga negara Indonesia dan tidak mau dianggap sebagai etnis asing. Etnis Arab di Surakarta hidup secara berkelompok dalam sebuah perkampungan atau disebut kampung ArabIndonesia Pasar Kliwon. Perkampungan Arab tersebut menempati tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pasar Kliwon, Kelurahan Semanggi dan Kelurahan Kedung Lumbu. Pemerintah Hindia Belanda selalu memisahkan orang-orang Arab dari pergaulan dan kontak sosial dengan etnis Jawa. Selain itu, ada peraturan yang membatasi masuknya para migran Arab ke Hindia Belanda, mereka harus memiliki izin menetap dan hanya dapat berdiam dikota yang telah ditentukan, misalnya di Kampung Arab Pasar Kliwon-Surakarta.1 Surakarta, yang juga disebut Sala dan dibaca : Solo, adalah nama sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat ke sepuluh terbesar setelah Yogyakarta. Kota ini dulu juga menjadi tempat kedudukan residen yang membawahi Karisidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Posisi ini sekarang telah dihapuskan 1 Hari Mulyadi, dkk. Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit. Surakarta : LPTP, 1999. Hal 194 1 dan menjadi daerah pembantu Gubernur Kota Surakarta. Kota ini memiliki semboyan Berseri yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah, selain juga slogan pariwisata Sala the Spirit of Java yang diharapkan mampu membangun citra Kota Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan masyarakat suku Jawa yang paling banyak menjadi penduduk Surakarta. Sekalipun demikian, tingkat keragaman masyarakat cukup tinggi terlihat dari latar belakang dari suku-suku yang hidup di Surakarta yaitu Sunda, Tionghoa, Arab, Madura, Nias, Aceh dan suku-suku pendatang lainnya. Dari segi agama, masyarakat Surakarta memeluk agama Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan aliran kepercayaa. Semenjak didirikan pada tahun 1746 Kota Surakarta relatif sering dilanda konflik dan kerusuhan massal salah satunya adalah konflik etnis. Misalnya saja pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, terutama pasca G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia), pergolakan politik di Surakarta mulai memanas. Pada bulan April 1971 amuk massa dengan identitas etnis meletus di Kota Surakarta, konflik tersebut kali ini dipicu oleh insiden kecil antara tukang becak dengan seorang pemuda etnis Arab. Sebagai akibatnya berbagai bangunan (rumah, toko, perkantoran) milik etnis Arab dirusak dan dibakar massa. Tidak hanya itu, berbagai bangunan milik etnis Cina pun turut dirusak dan dihancurkan.2 Kemajemukan budaya memiliki sisi positif dan juga sisi negatif. Kemajemukan masyarakat sangat potensial sekali bagi terjadinya konflik sebagai akibat dari perbedaan budaya, dan untuk menghindari terjadinya konflik tersebut diperlukan adanya suatu interaksi antarbudaya sehingga tercapai suatu pemahaman mengenai budaya yang berbeda dan pada akhirnya menciptakan kenyamanan dan saling menghargai. Namun etnis Arab di Surakarta tidak mengalami interaksi etnisitas paling problematik dibandingkan dengan etnis Tionghoa di Surakarta. 2 Sudarmono, “Peta Kerusuhan SARA di Surakarta”, Makalah yang disampaikan pada Workshop menetapkan kerawanan konflik di Surakarta, oleh Forum Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (FPLAG) di Yayasan Bakti Kesejahteraan Sosial (YBKS), Surakarta tgl 22 Oktober 2008. 2 Keturunan etnis Arab khususnya di Surakarta hidup dalam satu daerah perkampungan dengan interaksi ingroups yang kuat. Hal tersebut terlihat dari pergaulan dan interaksi mereka dengan sesama etnis Arab. Mereka merasa lebih nyaman berada dalam ingroups dalam segi komunikasi atau interaksi sehari-hari. Fenomena tersebut terlihat ditempat umum ketika mereka selalu terlihat bersama dengan sesama etnis Arab saja. Memang tidak semuanya etnis Arab melakukan hal tersebut tetapi kebanyakan dari mereka mempertahankan identitas kultural mereka dengan hanya bergaul dengan sesama etnis Arab dan hanya memiliki beberapa relasi dari etnis Jawa. Meskipun mereka masih terikat dengan budaya mereka secara kuat, tetapi bisa dibilang etnis Arab mampu hidup berdampingan dengan bangsa pribumi. Perasaan tidak nyaman atau ketakutan untuk berinteraksi dengan etnis lain terjadi karena ruang lingkup pergaulan yang terbatas dan asumsi pribadi melalui stereotype sehingga terjadi ketakutan untuk mencoba berinteraksi dengan etnis lain. Etnis Arab sangat ketat untuk urusan Agama dan berperilaku. Rata-rata mereka menyekolahkan anak mereka di sekolah Yayasan dengan standart agama Islam yang tinggi, dan kebanyakan yang bersekolah disana adalah keturunan etnis Arab. Belum banyak yang mengetahui bahwa jika dalam bergaul etnis Arab mengalami stereotype dan keterasingan. Mereka melakukan pembelajaran tentang dan menerima tradisi, warisan, bahasa, agama, keturunan,estetika, pola pikir, dan struktur sosial dari budaya etnis mereka, atau dikatakan dengan mengenal identitas mereka, dimana identitas sangat penting dalam interaksi sosial seseorang. Konsep mengenai “us” dan “them” atau “kita” dan “mereka” juga berkaitan dengan permasalahan identitas kultural. Perbedaan antara keduanya ini memperkuat posisi “orang luar” atau outgroups dalam sebuah kelompok dan menjadi pedoman bagi seseorang untuk memposisikan dirinya di tengah-tengah kelompok tersebut. Komunikasi mempunyai peran sebagai alat untuk menunjukkan peran seseorang secara individu atau dalam kelompok. Komunikasi penting untuk menunjukkan identitas seseorang, siapa dirinya, apa yang dikehendakinya, 3 mengekspresikan yang disukai atau tidak disukai, dan hal lainnya yang menunjang interaksi sosial seseorang dalam lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, komunikasi merupakan inti dari hubungan manusia. Akibat yang ditimbulkan ketika mengirimkan pesan mungkin berbeda, namun alasan seseorang untuk melakukan komunikasi cenderung sama, yaitu menjalin hubungan yang baik dengan sesama. Peneliti tertarik meneliti komunikasi ingroups dan komunikasi outgroups yang dilakukan untuk menguatkan identitas kultural keturunan etnis Arab di Surakarta, karena menurut peneliti, fenomena pergaulan mereka dalam bergaul lebih cenderung untuk mengelompok dengan teman sesama etnis, dan ketika mereka diluar kelompok mereka atau outgroups dan dituntut untuk melakukan komunikasi serta interaksi sosial, mereka akan cenderung lebih pasif dan mungkin akan terkesan rasis. Menurut peneliti, sikap tersebut ada sebenarnya karena ketakutan dan kesadaran mereka bahwa mereka merupakan kelompok minoritas yang sampai saat ini masih dianggap etnis asing di Kota Surakarta. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah: 1. Bagaimana komunikasi ingroups yang dilakukan untuk menguatkan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta? 2. Bagaimana komunikasi outgroups yang dilakukan untuk menguatkan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi ingroups dan outgroups yang dilakukan untuk menguatkan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta. 4 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi bagi pengembangan teoritik ilmu komunikasi dan media khususnya dalam kajian komunikasi lintas budaya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi mengenai pemahaman tentang konstruksi identitas kelompok etnis minoritas. 3. Manfaat Sosial Penelitian ini diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk berpikir kritis mengenai apa yang dilihat masyarakat terhadap perbedaan etnis yang ada di sekitar mereka. 1.5 Kerangka Pemikiran A. Teori Komunikasi Identitas A.1. Teori Identitas Sebagai produk dari interaksi simbolik, teori identitas menjelaskan hubungan antara peran masyarakat dan individu sebagai dasar. Dengan kerangka pemikiran ini, sebuah peran didefinisikan sebagai “fungsi atau bagian dari pertunjukan seseorang ketika menduduki posisi tertentu dengan konteks sosial tertentu” (Schlenker, 1985, p. 18). Peran seseorang adalah sebuah pola dari perilaku sosial yang muncul sesuai dengan ekspektasi individu lain dan tuntutan situasi (Banton, 1965). Peran diinternalisasikan dan membentuk peran identitas. Identitas dibentuk bertentangan dengan dan dalam hubungannya dengan orang lain; maka peran memiliki aspek inheren sosial. 5 Peran juga diakui sebagai seberapa dekat perilaku individu dan status yang ideal sesuai dengan masyarakat yang tetap dan atau posisi sosial yang kaku (Jackson, 1972). Goffman (1959, 1963, 1967) memahami pengambilan peran atau permainan sebagai proses dinamis dimana identitas telah terkonsep melalui sandiwara kiasan, yaitu, belakang layar dan depan layar. Individu mengambil alih peran yang mana peran akan di pertunjukkan, meskipun negosiasi ini sendiri memiliki berbagai kendala pribadi dan sosial. Individu melakukan, akan tetapi, memiliki beberapa keluwesan dalam menentukan peran apa yang mereka pilih untuk dikenali. Peran dapat lebih dari satu atau ganda dan berubah sepanjang kehidupan individu tersebut. Selama penelitian berfokus pada pengakuan peran sebagai penghubung identitas, hal tersebut tidak memerlukan konsep bagaimana peran atau identitas dikomunikasikan. Teori melihat bahwa individu sebagai komunikan tetapi bukan sebuah bentuk komunikasi. Dalam kata lain, teori identitas melihat komunikasi sebagai permainan sebuah peran dalam pembangunan identitas dan sebuah arti untuk mengekspresikan identitas, tetapi bukan sebagai identitas. Teori komunikasi identitas mematahkan pendekatan tersebut, melihat perilaku sosial, diri sendiri, sebagai sebuah aspek diri-identitas yang berlaku. Yang mana adalah, perasaan diri seseorang adalah bagian dari perilaku sosial mereka, dan perasaan diri seseorang muncul dan didefinisikan dan didefinisikan ulang dalam interaksi sosial. Teori komunikasi identitas melengkapi penelitian peran dalam pemusatan identitas sebagai penghubung dan dimasukkan ke dalam bahan pertimbangan identitas sebagai hal yang berubah-ubah. Teori komunikasi identitas memanfaatkan gagasan yang berdasarkan pada identitas kelompok dan kategorisasi dan peran sosial serta penentuan sebab. Teori komunikasi identitas melihat 6 kelompok dan peran sosial sebagai aspek penting bagi diri sendiri, dan kategorisasi dan proses penentuan penyebab sebagai salah satu dasar yang mana identitas adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri dan mapan. A.2. Komunikasi dan Identitas Hecht et al. (1993) menempatkan dua cara yang mana komunikasi diinternalisasi sebagai identitas. Pertama, pengertian simbolik dalam fenomena sosial diciptakan dan ditukar melalui interaksi sosial. Identitas terbentuk ketika relevansi pengertian simbolik melekat dan terorganisir pada individu dalam ragam situasi melalui interaksi sosial, perspektif tersebut diadopsi dari teori identitas. Interaksi sosial adalah internalisasi sebagai identitas sebuah bentuk pengertian simbolik dan asosiasi tersebut berarti diri sendiri. Kedua, ketika seseorang menempatkan dirinya dalam kategori pengenalan sosial, seperti yang dicatat oleh teori identitas sosial, mereka memastikan atau mengesahkan lewat interaksi sosial jika kategori tersebut relevan terhadap mereka. Demikian, identitas dibentuk dan direformasi dengan kategorisasi melalui interaksi sosial. identitas, pada gilirannya, adalah perwujudan dalam interaksi sosial melalui ekspektasi dan motivasi (Hecht et al., 1993). Identitas yang spesifik memerlukan ekspektasi yang spesifik, dan ekspektasi tersebut mempengaruhi komunikasi seseorang. Sebaliknya, penentuan penyebab dan kategorisasi dikomunikasikan kepada seseorang juga sebagai bentuk identitas mereka. Karenanya, identitas adalah internalisasi dari, maupun eksternalisasi untuk, interaksi sosial melalui ekspektasi yang melekat pada identitas dan kategori sosial lainnya. 7 B. Identitas Kultural Sebagai bagian dari proses sosial, seorang anak belajar untuk melihat diri mereka sendiri sebagai anggota dari kelompok tertentu. Ciri lainnya dari sosialisasi adalah bahwa orang beranggapan tentang kelompok dimana mereka tidak termasuk, dan mereka biasanya belajar bahwa kelompok lain harus dihindari. Kecenderungan ini untuk mengidentifikasi sebagai anggota beberapa kelompok, yang disebut ingroups, dan untuk membedakan ingroups ini dari outgroups, yang begitu umum dalam pemikiran manusia yang telah digambarkan sebagai kecenderungan universal manusia.3 Berkaitan dengan perbedaan antara kelompok ingroup dan outgroup adalah salah satu konsep identitas atau konsep diri (selfconcept). Konsep diri seseorang dibangun melalui kultural, sosial, dan identitas personal. Identitas kultural mengacu pada sebuah pengertian yang termasuk dalam budaya tertentu atau kelompok etnik. Hal tersebut terbentuk dalam suatu proses yang dihasilkan dari keanggotaan dalam budaya tertentu, dan melibatkan pembelajaran tentang dan menerima tradisi, warisan, bahasa, agama, keturunan, estetika, pola pikir, dan struktur sosial dari budaya. Yang mana adalah orang yang menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma budaya mereka dan mengidentifikasi budaya tersebut sebagai bagian dari konsep diri (self-concept) mereka. Semua individu disosialisasikan dalam kelompok keanggotaan kultural yang lebih besar. Tiap individu memperoleh keanggotaan kelompok kultural melalui bimbingan asuhan primer dan sesama perkumpulan dalam tahun-tahun yang formatif. Lebih lanjut, penampilan fisik, sifat rasial, warna kulit, penggunaan bahasa, penilaian diri, dan semua faktor persepsi orang lain yang masuk ke dalam persamaan konstruksi identitas. Makna dan interpretasi yang dipegang untuk 3 Marilyn Brewer and Donald T. Campbell, Ethnocentrism and Intergroup Attitudes. New York: Wiley, 1976. 8 identitas dasar budaya kelompok dipelajari secara langsung atau mediasi kontak (misalnya penggambaran media massa) dengan individu lain. Identitas kultural didefinisikan sebagai emosional yang signifikan yang melekat dalam rasa memiliki atau keanggotaan dengan budaya yang lebih besar. Untuk mengerti tentang identitas kultural lebih spesifik lagi, kita harus mendiskusikan dua isu, yaitu: konten dan ciri khas. Nilai konten mengacu pada standar atau ekspektasi yang dipegang manusia dalam pola pikir mereka untuk membuat evaluasi. Sebuah cara untuk mengerti konten dari identitas kultural adalah untuk melihat dimensi nilai yang mendasari tingkah laku manusia. Sementara banyak dimensi nilai konten yang mana berbeda dalam kelompok kultural, satu dimensi yang telah mendapat perhatian yang konsisten dari para peneliti antarbudaya di seluruh dunia adalah individualisme-kolektivisme (Hofstede, 1991, 2001). Untuk bernegosiasi dengan penuh perhatian dengan orang-orang dari beragam budaya, sangat penting untuk memahami konten nilai identitas kultural mereka. Ciri khas identitas kultural mengacu pada kekuatan dari keanggotaan yang kita miliki dengan budaya yang lebih besar. Asosiasi yang kuat dari keanggotaan kelompok mencerminkan ciri khas identitas kultural yang tinggi. Asosiasi yang lemah dari keanggotaan kelompok mencerminkan ciri khas identitas kultural yang rendah. Semakin kuat citra diri kita (self-image) berpengaruh terhadap pola nilai kultural yang besar, semakin kita menyukai untuk berlatih terhadap norma-norma dan naskah komunikasi yang dominan, budaya mainstrim. Ciri khas identitas kultural dapat beroperasi pada level sadar maupun tidak sadar. Kita juga dapat menjelaskan disini bahwa sementara konsep dari “identitas kultural” mengacu pada salah satu status legal dalam hubungannya dengan bangsa, konsep dari “identitas kultural” mengacu pada kepemilikan sentimen atau koneksi dengan budaya seseorang yang lebih besar. 9 C. Komunikasi Kultural Komunikasi kultural adalah praktek manusia yang kompleks dimana mencakup dua aspek kehidupan sosial. Aspek yang pertama adalah cara khusus budaya dalam berkomunikasi-penggunaan cara tertentu dan makna komunikasi yang dapat ditemukan di waktu tertentu, tempat, dan lingkungan sosial. Hal tersebut berarti, komunikasi kultural adalah perilaku komunikatif yang ditanamkan dengan budaya tertentu. Aspek yang kedua adalah peran komunikasi dalam menunjukan budaya, atau komunal, fungsinya, cara kerja komunikasi dalam menyusun kehidupan komunal dari masyarakat dan dalam memberikan individu kesempatan untuk berpartisipasi, mengidentifikasi, dan menegosiasikan kehidupan tersebut. Artinya, komunikasi kultural adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang sebagai bentuk tuntutan berkomunikasi dalam kehidupan mereka di dunia. C.1. Istilah Komunikasi Kultural Pada awalnya istilah komunikasi kultural dalam atropologi menyarankan komunikasi sebagai sebuah proses yang melalui budaya yang berbeda, dan terkonstruksi. Schwartz dan Hanson, dan dengan implikasi Mead dan Bateson, memikirkan komunikasi kultural dengan istilah yang berbeda yaitu sebagai perilaku masyarakat yang berperan sebagai mediasi dari komunikasi dalam kehidupan individu ke dalam budaya tertentu. Sebuah tulisan dalam bidang studi komunikasi, sebuah esai tentang sistem komunikasi, Cushman dan Craig (1976) mengartikulasikan fungsi dasar, struktur tertentu, dan proses kultural tertentu, sosial-organisasional, dan sistem komunikasi individu. Untuk sistem komunikasi kultural, Cushman dan Craig mengusulkan bahwa “konsensus tentang lembaga” merupakan 10 fungsi dasar. Struktur dasar dari komunikasi kultural, menurut Cushman dan Craig, adalah jaringan (bangsa, budaya, kelas, cabang kebudayaan, daerah, komunitas, dan keluarga) dan kodekode (bahasa, dialek, dan aksen). Penggunaan awal komunikasi budaya menekankan aspek tertentu dari komunikasi kultural, tetapi mereka masing-masing memiliki dua ciri atau sifat umum. Pertama, masing-masing berkaitan dengan kekhasan komunikasi dalam masyarakat dan budaya tertentu. Kedua, masing-masing memperlakukan komunikasi sebagai situs dan sumber daya untuk membangun, mempertahankan, dan negosiasi pandangan masyarakat akan identitas dan pandangan individu akan keanggotaannya, dan identifikasi dengan komunitas. C.2. Dua Prinsip Dalam Komunikasi Kultural Prinsip 1: Setiap percakapan komunal meninggalkan atau menghasilkan jejak-jejak alat yang jelas berbeda secara kultural dari arti-arti tindakan komunikasi. Percakapan komunal adalah sebuah situasi historikal, proses komunikasi yang sedang berjalan yang mana berpartisipasi dalam kehidupan untuk membangun dunia sosial, cepat, dan bentuk negosiasi dimana mereka membangun hidup bersama-sama. Setiap anggota kelompok atau komunitas mengambil bagian dalam percakapan komunal. Hal ini merupakan aspek universal dari pengalaman manusia. Percakapan komunal selalu dilakukan dan melalui cara komunikasi tertentu, dan hal tersebut berarti memiliki makna tertentu untuk orang yang menggunakannya dan berpengalaman dengan hal tersebut. Caracara komunikasi tersebut adalah bahasa tertentu, dialek, gaya, rutinitas, pengorganisasian prinsip, konvensi interpretatif, cara 11 berbicara, dan aliran dari komunikasi. Makna dalam hal ini berarti menggantikan pengalaman seseorang yang signifikan dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu, apa yang mereka bawa untuk menjadi mereka dan apakah penilaian mereka sesuai, dimengerti, berguna, menyenangkan, dan lain-lain. Sumber daya budaya khusus yang muncul dalam percakapan komunikasi yang terdiri dari kemampuan khususnya komunikatif dan makna, yang dapat ditemukan di dalamnya. Dimanapun orang membangun, mengungkapkan, dan menegosiasikan persyaratan dimana mereka menjalankan kehidupan bersama, dimana akan menjadi jejak dari cara berkomunikasi, dan makna dari mereka kepada mereka yang menghasilkan dan mengalaminya, yang khusus untuk pengaturan, era, atau milis. Oleh karena itu, untuk mengetahui kemungkinan berpartisipasi dalam percakapan komunal yang diberikan membutuhkan pembelajaran jawaban untuk dua pertanyaan. Pertama, apa, disini dan sekarang, adalah sarana tertentu dimana percakapan tertentu dilakukan? Jawabannya meliputi bahasa, dialek, gaya, gestur, aliran pembicaraan, rutinitas komunikatif, prinsip untuk menafsirkan dan mengevaluasi perilaku komunikatif, dan sejenisnya. Kedua, apa, dalam hal ini khususnya disini dan sekarang, apakah ini memiliki arti berarti mereka yang menggunakan dan mengalaminya? Apa, sebagai contoh, apakah itu berarti, dalam konteks percakapan komunal tertentu, kepada seseorang untuk menggunakan satu atau bahasa lain, untuk memberlakukan urutan episodik tertentu, dan sejenisnya? Prinsip 2: Komunikasi adalah sebuah sumber daya heuristis dan performatif untuk menampilkan fungsi kultural dalam kehidupan individu dan komunitas. Kultural, atau komunal, berfungsi untuk memperhatikan apa yang kelompoknya atau individunya tetapkan, sebagaimana 12 individu gunakan dalam kehidupannya sebagai anggota dari sebuah komunitas. Dari sudut pandang bahwa komunitas adalah keseluruhan, fungsi kultural terdiri dari membangun, yang menopang, dan menegosiasikan pandangan komunal dari apa yang di prinsipkan dan distandarkan untuk melakukan percakapan komunal. Hal tersebut merupakan prinsip dan standar dari kepada siapa kita berkomunikasi atau dengan siapa, tentang apa, dengan cara apa, dan menuju hasil yang seperti apa. Dari sudut pandang individu, fungsi kulutural terdiri dari membangun, yang menopang, dan bagaimana negosiasi yang dapat dilakukan, dapat, atau harus, secara personal, masuk ke dalam bentuk pandangan komunal atau perilaku komunikatif. Hal tersebut termasuk apakah dan bagaimana individu berpartisipasi, dan dengan demikian dapat dikenal dan diluruskan dengan sebuah percakapan komunal. Komunikasi juga merupakan sebuah sumberdaya performatif. Yang berarti di dalam dan melalui mana seorang individu tidak hanya belajar tentang percakapan komunal tetapi dapat berpartisipasi di dalamnya. Seperti yang dikatakan Burke (1941): “Kita mendengarkan sejenak, sampai kita menentukan bahwa kita telah menangkap inti dari argumen tersebut; lalu diletakkan pada dayung anda”. Mendengarkan hingga menentukan bahwa kita telah menangkap inti adalah sebuah kegunaan heuristis dari komunikasi yang merupakan, pada saat tertentu, percakapan komunal; meletakkan dalam dayung adalah sebuah tindakan performatif yang mana tindakan individu dalam menuju sebuah percakapan. Memperlakukan komunikasi sebagai tindakan performatif menggambarkan perhatian kepada tujuan manusia, kepada kapasitas individu untuk berseni dan membangun strategi dalam masuknya istilah dengan kode-kode yang dunia berikan. 13 D. Identitas dan Komunikasi Antar Kelompok Identitas etnis telah dijelaskan sebagai “seperangkat ide mengenai kepemilikan salah satu anggota kelompok etnis, termasuk identifikasi diri dan pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, adat, nilai, dan perilaku), dan perasaan individu menjadi anggota kelompok suatu etnis” (Martin & Nakayama, 1997). Teori identitas sosial beranggapan bahwa konsep diri individu tersusun dalam identitas sosial dan identitas pribadi (Tajfel & Turner, 1986). Identitas pribadi disini merupakan karakteristik unik seseorang, terlepas dari budaya atau kelompok sosial dan makna sosial yang melekat pada kelompok. Prinsip utama dari teori identitas sosial adalah kelompok yang dimana individu mengindentifikasi dan menentukan identitas sosial mereka. Umur, jenis kelamin, profesi, suku bangsa, daerah, agama, dan sebagainya merupakan perbedaan dari identitas sosial serta memiliki komponen budaya sendiri dalam nilai, kebiasaan, dan sejarah. Sebagai contoh, keturunan etnis Arab di wilayah Pasar Kliwon, yang dengan sangat kuat mengidentifikasikan diri dengan etnisitas mereka, akan melihat dirinya sebagai “bagian” dalam kelompok “mereka”. Penelitian, pada umumnya, mengkonsepkan identitas sebagai konsep multidimensi. Sebagai contoh, Kashima, Kashima dan Hardie (2000) membedakannya dalam dua konsep: tipe individu (perasaan individu sebagai anggota kelompok) dan identifikasi kelompok (respon afektif-evaluatif kepada anggota kelompok). Phinney (1992) berpendapat bahwa komponen perilaku identitas etnis melibatkan sejauh mana individu terlibat, dan kompeten, dalam kegiatan yang berhubungan dengan kelompok etnis mereka. Kegiatan seperti dapat terlibat, tetapi tidak terbatas pada, makan makanan etnis, terlibat dalam pola perilaku etnis, berbicara dan menulis dengan bahasa kelompok etnis, berbagi jaringan dengan anggota kelompok etnis, dan menunjukkan gaya komunikasi umum (Gudykunst, 2001; Gudykunst, Sodetani & Sonoda, 14 1987). Walaupun individu menetapkan dirinya sebagai anggota dari kelompok etnis tertentu, mereka tidak melihat diri mereka sebagai “khas” dari kelompok tersebut. Bagi individu lain mungkin akan melakukan keduanya, mengidentifikasikan dirinya dengan identitas etnis mereka dan menganggap diri mereka khas. Ting Toomey et al. (2000) mengungkapkan individu dengan identitas etnis yang kuat menggunakan integrasi gaya konflik (kepedulian yang tinggi bagi diri sendiri dan orang lain selama negosiasi), sedangkan individu dengan identitas etnis yang lemah akan mengabaikan (bijaksana dan mempertimbangkan perasaan orang lain disampaikan melalui kewajiban dan penghindaran dalam konflik) dan pihak ketiga (menggunakan pihak ketiga sebagai penengah dalam konflik). Dalam perspektif komunikasi menjelaskan bahwa individu tidak dapat menciptakan identitas sendiri; tetapi malah, mereka terbentuk melalui komunikasi dengan pihak luar (Martin & Nakayama, 1997). Collier (1997) berpendapat bahwa identitas etnis ternegosiasi, diperkuat, dan menantang melalui komunikasi, dan dia menjelaskan bagaimana masing-masing “komponen” dari identitas etnis berlaku dan dikembangkan melalui komunikasi. Collier juga berpendapat bahwa identitas juga berlaku dalam konteks antarpribadi melalui pengakuan atau proses anggapan. Pengakuan adalah penggambaran diri individu (dengan berkata “Ini adalah saya”), sedangkan anggapan adalah proses dimana orang lain melihat identitas individu (contohnya melalui stereotip). Pengakuan dan proses anggapan mengakui bahwa identitas dibentuk oleh kita sendiri dan orang lain mengkomunikasikan pandangannya terhadap kita. Identitas juga diungkapkan melalui simbol-simbol, norma, dan label (Collier, 1997). Kepemilikan identitas etnis menjadi dinamis dan menggarisbawahi bergantung pada keterkaitan dengan konteks siapa kita bahwa mereka ditekankan berkomunikasi dan topik pembicaraan. 15 Meskipun Collier beranggapan bahwa sifat-sifat identitas etnis yang diartikulasikannya akan membantu membangun model identitas etnis dan komunikasi, teori telah memperlambat untuk mengartikulasikan hubungan simbiosis dan transaksional. Gudykunst (1995) berpendapat bahwa pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian merupakan dasar untuk komunikasi afektif, dengan identitas yang mempengaruhi ketidakpastian dan kecemasan tetapi tidak secara langsung berhubungan dengan komunikasi yang afektif. Demikian pula, teori adaptasi lintas budaya (Kim, 1995) menjelaskan proses dan struktur dimana individu beradaptasi dengan budaya baru dan asing. Meskipun tiga asumsi utama yang mendasari teori membahas proses yang kompleks dan dinamis dari adaptasi dan menyoroti permainan komunikasi yang penting dalam lingkungan sosial seseorang, identitas seolah-olah tidak ada dalam teori. Meskipun orang dapat berargumentasi itu adalah “identitas” yang sedang mengalami transformasi dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, bagaimana mungkin interaksi negosiasi dapat diabaikan. Sebaliknya, Kim (1995) berpendapat bahwa “identitas antarbudaya” muncul sebagai hasil dari transformasi antarbudaya. Face-negotiation theory membahas bagaimana berhadapan dengan isu-isu negosiasi dalam konflik lintas budaya. Ting-Toomey (1988) mengusulkan bahwa konflik adalah sebuah konsep identitasterikat dimana wajah atau identitas terletak dari banyaknya hubungan yang dipertanyakan, terutama dengan orang-orang dari budaya individualistik dan budaya kolektivistik yang memiliki perbedaan situasi identitas. Menurut Ting-Toomey, negosiasi identitas yang efektif mengacu pada “koordinasi halus antara hubungan tentang masalah identitas yang menonjol, dan proses menarik dalam konfirmasi identitas responsif dan peningkatan identitas positif” (Ting-Toomey, 1993) dan, dengan demikian, membutuhkan seseorang untuk menarik berbagai kognitif, afektif, dan sumber daya perilaku untuk menghadapi situasi 16 antarbudaya. Walaupun menyoroti pentingnya sumberdaya komunikatif dari identitas dalam interaksi antarbudaya, kita mungkin menantang asumsi teori tersebut. Yakni, dalam begitu banyaknya interaksi antarbudaya, individu tidak terlalu banyak sadar dengan memiliki interaksi yang halus tetapi mungkin lebih mengambil tindakan tegas untuk menyoroti identitas etnis mereka yang berbeda. Teori manajemen identitas (Identity Management Theory) juga berusaha untuk memahami dan menjelaskan kompetensi komunikasi dalam interaksi antarbudaya. Cupach dan Imahori (1993) berpendapat bahwa meskipun interaksi antarbudaya melibatkan identitas sosial yang berbeda, keinginan yang universal untuk mempertahankan wajah (individu dan orang lain) akan mendorong mereka untuk menjalin hubungan yang lebih antar individu. Pada dasarnya, lawan bicara antarbudaya menjadi sangat antarbudayawan yang kompeten sebagai penghubung identitas bagi mereka. Serupa dengan sumber daya komunikatif, teori manajemen identitas fokus kepada pencapaian dari usaha dalam interaksi. Terutama, diasumsikan bahwa interaksi akhirnya mencapai titik dimana identitas dapat, pada kenyataannya, akan terperangkap-sikap dimana kami menjadi terlalu optimis. Teori antarbudaya dan model pengembangan identitas mengabaikan dua masalah penting: komunikasi memainkan peran penting dalam pembentukan identitas etnis, dan karakter negosiasi. Karena itu, identitas lebih mengelilingi dalam batas-batas teoritis komunikasi antarbudaya, dan posisinya saat ini memperlakukannya sebagai variabel input-output statis, bukan sesuatu yang dinamis yang terus-menerus direkonstruksi (Brewer, 1999; Deaux, 1996). Secara khusus, teori akomodasi komunikasi (Communication Accomodation Theory), menyatakan bahwa bahasa dan berbicara (sama seperti tanda komunikatif lainnya, seperti busana, rumah, ertefak, tato, festival, pawai, dan lain-lain) adalah elemen-elemen penting dari identitas pribadi dan identitas sosial. Teori akomodasi komunikasi 17 menjelaskan proses bagaimana identitas dapat mempengaruhi perilaku komunikasi bahwa individu termotivasi untuk mengakomodasi bahasa yang kita gunakan (bergerak menuju atau menjauhi orang lain), perilaku nonverbal, dan bahasa yang rumit dengan cara yang berbeda untuk mencapai tingkat yang diinginkan dari jarak sosial antara individu dan mitra dalam berinteraksi. Sejauh mana komunikator merasa positif atau negatif tentang identitas mereka mungkin dapat diwujudkan melalui perilaku komunikasi, dan teori akomodasi komunikasi mengusulkan berbagai jenis akomodasi, konvergen dan strategi divergen menjadi yang paling dasar. Konvergensi adalah strategi dimana individu menyesuaikan perilaku komunikatif mereka untuk menjadi lebih mirip dengan lawan mereka, terutama dengan mereka yang teridentifikasi dan mengaguminya (Giles & Noels, 1997). Divergensi mengacu pada cara dimana si pembicara menonjolkan perbedaan komunikatif antara dirinya dan orang lain. Ulasan konseptualisasi mengenai identitas teori telah identitas menjadi menunjukan semakin bahwa subjektif dan kontekstual, bergerak dari identitas sebagai akibat dari kelompok afiliasi ke identitas sebagai situasi hubungan sosial ke identitas sebagai keseluruhan yang bergantung kepada konteks ke identitas sebagai keseluruhan interaktif. Identitas baik subjektif dan prosesual dipandang sebagai interaksi dialektis antara objektvitas dan subjektivitas. Hal tersebut memprediksi bahwa jika individu memandang identifikasi ingroup yang tinggi, alternatif kognitif untuk status ingroup, kelompok vitalitas yang kuat, dan keras, menutup batasan-batasan, akan terjadi diferensiasi antar kelompok. Tindakan identifikasi ingroup adalah subjektif dengan implikasi yang bervariasi untuk hubungan antar kelompok, seperti yang diusulkan berikut ini: 1.1 Individu yang sangat tergantung pada kelompok mereka, beranggapan itu adalah pusat keberadaan mereka, memiliki perasaan 18 solidaritas yang tinggi, dan memiliki ancaman identitas sosial mungkin melihat pertemuan antar kelompok dalam hal antar kelompok. 1.2 Individu yang tidak bergantung pada kelompok mereka, tidak beranggapan itu adalah pusat keberadaan mereka, memiliki solidaritas yang rendah, dan memiliki keterbukaan identitas sosial tidak melihat pertemuan antar kelompok dalam hal antar kelompok. 2.1 Kelompok dengan vitalitas tinggi akan lebih mungkin untuk mengekspresikan atraksi ingroup dan persepsi negatif antar kelompok, dan mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan bahasa secara strategis untuk mencapai atau mempertahankan identitas sosial yang positif dan berbeda. 2.2 Kelompok dengan vitalitas rendah akan lebih sedikit untuk mengekspresikan atraksi ingroup dan persepsi negatif antar kelompok, dan mereka akan lebih sedikit menggunakan bahasa secara strategis untuk mencapai atau mempertahankan identitas sosial yang positif dan berbeda. 3. Kelompok-berdasarkan usaha pada vitalitas dan keunikan positif akan mendorong interpretasi sejarah dan pergeseran identitas yang konsisten dengan konteks sosiohistoris dan sosiopolitik. 4.1 Persepsi yang kuat, menutup batas kontribusi berdasarkan ciri perbedaan antar kelompok yang konsisten dengan nilai-nilai budaya dan secara optimal cocok untuk kekhasan positif. 4.2 Persepsi yang tidak terbatas tidak terkait dengan konflik perbedaan antar kelompok dengan teori implisit dari sifat dasar manusia yang lemah/ lunak dan sehingga tidak optimal untuk kekhasan positif. 19 1.6 Model Penelitian Melalui kerangka pemikiran di atas, dapat digambarkan model penelitian yang menggambarkan konstruksi identitas dan komunikasi antar kelompok etnis Arab di Kecamatan Pasar Kliwon sebagai berikut: KETURUNAN ETNIS ARAB DI SURAKARTA Penguatan Identitas Kultural Komunikasi Ingroups - Bahasa (Language) Pemilihan topik (Topic Choice) dalam berkomunikasi Konflik internal (internal conflict) Keamanan identitas (Identity Security) Kenyamanan diri (Selfconvenience) Komunikasi Outgroups - Bahasa (Language) Konsep diri (Self-Concept) Pemilihan topik (Topic Choice) dalam berkomunikasi Sikap terhadap stereotype Keamanan Identitas (Identity Security) Kenyamanan diri (Selfconvenience) 20 1.7 Kerangka dan Definisi Konsep Bagian ini akan menjelaskan konsep-konsep penting yang akan digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut: Konsep Penjelasan Komunikasi Budaya Konsep komunikasi budaya dalam penelitian ini adalah perilaku komunikatif yang ditanamkan dengan budaya tertentu. Dalam penelitian ini konsep komunikasi budaya adalah komunikasi ingroups dan outgroups yang dilakukan oleh keturunan etnis Arab di Surakarta. Penguatan Identitas Kultural Konsep penguatan identitas kultural dalam penelitian ini adalah aksi atau cara-cara yang dilakukan kelompok tertentu guna menguatkan identitas kulturnya. Identitas keturunan etnis Arab Identitas keturunan etnis Arab di Surakarta dalam penelitian ini di Surakarta adalah sebuah keturunan etnis Arab yang berdomisili di Surakarta dalam sebuah perkampungan Arab dimana mereka selain hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa, mereka tetap menjaga dan mempertahankan budaya, simbol-simbol, dan membangun citra sebagai orang Arab dengan perilaku dan norma tertentu dalam kehidupan sosial. Komunikasi (Ingroups) Kelompok Konsep komunikasi dalam kelompok (ingroups) dalam penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan keturunan etnis Arab dalam kelompoknya sebagai penguatan identitas dan pengakuan diri bahwa mereka memiliki perasaan yang sama dengan anggota kelompok. 21 Komunikasi Luar Kelompok Konsep komunikasi luar kelompok (Outgroups) dalam penelitian ini adalah perilaku komunikasi yang dilakukan kelompok keturunan (Outgroups) etnis Arab dengan kelompok luar atau non etnis keturunan untuk kepentingan sosial tanpa menanggalkan identitas mereka sebagai keturunan etnis Arab. Bahasa/Language (Ingroups) Konsep bahasa dalam ingroups dalam penelitian ini adalah kelompok keturunan etnis Arab di Surakarta berkomunikasi terhadap sesama kelompok dengan menggunakan bahasa Arab atau mungkin melakukan code switching dalam berkomunikasi antar sesama kelompok mereka serta sebagai penguat identitas kultural kelompok. Pemilihan Topik/Topic Konsep pemilihan topik dalam berkomunikasi untuk penelitian ini Choice dalam berkomunikasi adalah setiap individu yang merupakan anggota kelompok memiliki kenyamanan dan keterbukaan masing-masing kepada setiap anggota (Ingroups) kelompok lainnya, oleh sebab itu maka pemilihan topik yang tepat tanpa membawa perbedaan internal menjadi kunci terciptanya komunikasi yang berjalan dua arah tanpa menciptakan konflik internal. Konflik Internal (Ingroups) Konsep konflik internal dalam penelitian ini adalah konflik atau permasalahan yang terjadi di dalam kelompok keturunan etnis Arab di Surakarta yang dapat menciptakan pengkotakan di dalam ingroups sehingga muncul perasaan tidak nyaman atau menghindari ingroups. Keamanan Identitas/Identity Konsep keamanan identitas dalam penelitian ini adalah masing- Security (Ingroups) masing individu dalam kelompok budaya atau etnis memiliki dasar motivasi untuk keamanan identitas, penyertaan, kemungkinan, hubungan, dan konsistensi untuk dasar kelompok dan tingkat identitas dasar individu. Jika terlalu tinggi tingkat keamanan emosional akan menyebabkan sukuisme/etnosentrisme yang ketat, dan sebaliknya, ketidaknyamanan identitas yang tinggi (atau 22 kerentanan) akan membawa ketakutan dalam outgroups atau orang asing. Dalam penelitian ini, keturunan etnis Arab di Surakarta mempertahankan etnis dan keturunan mereka dengan tetap berada dalam ingroups. Kenyamanan diri/Self- Konsep kenyamanan diri dalam penelitian ini adalah setiap individu convenience (Ingroups) dari anggota kelompok akan merasa aman dan nyaman ketika berada dalam ingroups. Perasaan yang sama yaitu sebagai kelompok minoritas membuat mereka lebih terbuka dan lebih mudah masuk ke dalam ingroups, sebaliknya, jika individu tidak merasa nyaman dalam ingroups, mereka akan menjauh dan lebih nyaman dengan outgroups. Bahasa/ Language Konsep bahasa dalam outgroups untuk penelitian ini adalah dimana (Outgroups) individu atau anggota kelompok keturunan etnis Arab di Surakarta menggunakan bahasa lokal atau dalam konteks ini adalah bahasa Jawa untuk berkomunikasi dalam outgroups, berusaha agar “sama” dengan outgroups, dan tidak melakukan code switching atau berbicara dengan dua bahasa misalnya menyisipkan istilah dalam bahasa Arab dalam percakapan mereka dengan outgroups. Pengecualian dalam konsep ini adalah jika mereka dihadapkan dalam keadaan atau situasi ketika outgroups ingin mempelajari bahasa Arab. Konsep diri/ (Outgroups) Self-concept Konsep dari konsep diri dalam penelitian ini adalah persepsi seseorang terhadap dirinya, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri, dimana citra atau image diciptakan oleh individu itu sendiri. Sebagai keturunan etnis Arab, setiap individu atau kelompok berusaha membangun dan membentuk citra yang menjadi identitas mereka, misalnya perilaku mereka terhadap lawan jenis atau orang asing, menjaga dan mencintai kebudayaan mereka, berusaha masuk ke dalam outgroups tanpa menghilangkan identitas kultural. 23 Pemilihan topik/ Topic choice Konsep pemilihan topik dalam berkomunikasi pada penelitian ini dalam berkomunikasi adalah ketika anggota kelompok ingroups berada dalam outgroups di (Outgroups) lingkungan sosial dimana mereka diharuskan untuk berkomunikasi, pemilihan topik dalam komunikasi dimaksudkan agar tidak terjadi komunikasi satu arah, atau menghindari terjadinya konflik. Topik yang dipilih sebaiknya tidak membedakan dalam hal ras, budaya, agama, kepercayaan, kecuali jika outgroups ingin membuka diri dengan mempelajari budaya ingroups. Sikap terhadap stereotype Konsep sikap terhadap stereotype dalam penelitian ini adalah bagaimana masing-masing individu atau kelompok ingroups (Outgroups) berusaha untuk menyingkapi adanya stereotype atau prasangka negatif dalam kehidupan sosial dengan cara-cara tertentu misalnya pendekatan personal terhadap outgroups atau memperkenalkan budaya mereka kepada outgroups. Keamanan identitas/ Identity Konsep keamanan identitas dalam penelitian ini adalah masingsecurity (Outgroups) masing individu dalam kelompok budaya atau etnis memiliki dasar motivasi untuk keamanan identitas, penyertaan, kemungkinan, hubungan, dan konsistensi untuk dasar kelompok dan tingkat identitas dasar individu. Jika terlalu tinggi tingkat keamanan emosional akan menyebabkan sukuisme/etnosentrisme yang ketat, dan sebaliknya, ketidaknyamanan identitas yang tinggi (atau kerentanan) akan membawa ketakutan dalam outgroups atau orang asing. Dalam penelitian ini, keturunan etnis Arab di Surakarta tidak membawa atribut kultural mereka ketika berada dalam outgroups karena akan menyebabkan sukuisme dan image negatif jika mereka tidak mau berbaur dengan outgroups. Kenyamanan diri/ Self- Konsep kenyamanan diri ketika berada dalam outgroups dalam Convenience (Outgroups) penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana keturunan etnis Arab di Surakarta merasa aman dan nyaman akan identitas kultural mereka ketika berada dalam outgroups atau harus bekerja sama 24 dengan etnis lain. 1.8 Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan paradigma interpretif. Peneliti memilih metode kualitatif karena tidak mungkin didapati objektivitas komplit dalam hasil penelitian dan, masyarakat dan segala aktivitasnya bukanlah entitas yang dapat diukur. Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dengan tujuan untuk memperoleh hasil analisis teks pada konteks spesifik. Neuman (1994) berpendapat: “pendekatan interpretif menekankan pembacaan detil atau pemeriksaan teks, yang bisa saja tertuju pada pembicaraan, kata-kata tertulis atau gambar. Pembacaan teks bertujuan untuk menemukan makna tersembunyi.”4 Selanjutnya dipaparkan, mengenai pendekatan interpretif dalam analisis media, peneliti interpretif bertujuan untuk menemukan apa arti aksi bagi orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.5 Martin dan Nakayama mengenai pendekatan interpretif: memahami pendekatan interpretif penting untuk memahami bagaimana berita dilaporkan, bagaimana informasi ditransfer, dan bagaimana kebanyakan orang membuat keputusan.6 Menurut Hoijer, Kepplinger, Liebes and Katz, Livingstone and Lunt, peneliti interpretif mencoba untuk menggabungkan sensitifitas interpretif dengan koding sistematik. 7 Hasil analisis deskriptif kualitatif akan dijabarkan dalam bentuk kata-kata disertai interpretasi peneliti berdasarkan data-data yang diperoleh dan bukan merupakan pengukuran atas angka-angka. Dengan 4 Gunter, Barrie. 2000. Media Research Methods: Measuring Audiences, Reactions and Impacts. London: Sage, 5. 5 Ibid, 6. 6 Martin, Judith N. dan Thomas K. Nakayama. 2010. Intercultural Commnication in Contexts, 5th ed. Boston: McGraw Hill, 52. 7 Gunter, Barrie. 2000. Media Research Methods: Measuring Audience, Reactions and Impacts. London: Sage, 48-49. 25 menggunakan metode deskriptif kualitatif diharapkan akan memperoleh gambaran hasil penelitian secara rinci. B. Subjek Penelitian, Alasan Pemilihan Subjek, Teknik Pemilihan Subjek Subjek penelitian ini adalah keturunan etnis Arab yang berdomisili di Surakarta. Penelitian ini dapat menelisik mulai dari sisi empiris serta sisi historis bentuk komunikasi yang seperti apa yang mereka gunakan untuk mempertahankan dan menguatkan identitas kultural mereka dalam ingroups dan outgroups sebagai keturunan etnis Arab yang notabene merupakan kelompok minoritas di Surakarta. Praktik komunikasi dalam subjek penelitian ini akan dilihat melalui dua dimensi atau dua medan komunikasi dalam pengumpulan data lapangan dalam penelitian ini, yaitu: observasi melalui pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian, dan wawancara dengan beberapa keturunan etnis Arab di Surakarta. Dalam menetapkan informan atau narasumber menggunakan teknik pengambilan snowball sampling. Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan bantuan key-informant, dan dari keyinformant inilah akan berkembang sesuai petunjuknya. Dalam hal ini peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan untuk dijadikan sampel. Dengan teknik snowball sampling ini dipilih keturunan etnis Arab di Surakarta berjumlah satu orang, yang akan menjadi keyinforman untuk selanjutnya memberikan petunjuk siapa informan dari kalangan keturunan etnis Arab yang berkompeten memberikan informasi sebagai data dalam penelitian ini. 26 C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data dan gambaran mengenai penguatan identitas kultural keturunan etnis Arab di Surakarta dalam komunikasi ingroups dan outgroups dengan menggunakan metode etnografi. Etnografi dipilih sebagai metode dalam penelitian ini karena topik penelitian ini adalah kelompok etnis minoritas, terlebih, dengan konteks kultural. Setiap etnografi dimulai dengan identifikasi sebuah komunitas atau kelompok tertentu untuk dipelajari, yaitu sekelompok orang dengan pengalaman dan ekspektasi sama, yang bisa lebih sering mengetahui situasi satu sama lain, yang umumnya berbagi bahasa dan lainnya.8 Objek penelitian ini adalah suatu kelompok minoritas, keturunan etnis Arab di Surakarta, dimana mereka memiliki kultur dan identitas etnis serta sosial yang berbeda dengan masyarakat pribumi. Dengan studi etnografi akan diketahui bagaimana komunikasi ingroups dan outgorups yang dibangun oleh keturunan etnis Arab di Surakarta dan yang terpenting identitas kultural dan sosial seperti apa yang ingin mereka komunikasikan kepada lingkungan sosial. Metode etnografi adalah suatu metode penelitian yang mengamati, mengobservasi tingkah laku individu atau kelompok dan prospek langsung dalam keseharian mereka berinteraksi. Etnografi mencari insight sampai ke akarnya, mencari tahu why do people do what they do, tidak hanya bersumber dari pendekatan narasumber, melainkan diperkaya pula dengan hasil pengamatan, baik dalam bentuk aktivitas maupun foto, gambar dan simbol yang berhubungan dengan narasumber (Maulana, 2006). Para etnografer belajar dengan mengamati orang dengan cara berinteraksi dalam keadaan wajar dan dengan berusaha menilai pola 8 Leeds-Hurwitz, Wendy. 2002. Wedding as Text: Communicating Cutural Identities through Ritual. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 49. 27 penyebaran, seperti perputaran hidup, peristiwa dan topik kebudayaan (Wolcott dalam Creswell, 1998:59). Menurut Wolcott, kebudayaan adalah istilah yang berubah-ubah, bukan sesuatu yang mati, tetapi lebih kepada sesuatu dimana peneliti menghubungkan satu kelompok sebagaimana dia mencari pola kehidupan sehari-hari. Hal itu ditunjukkan dengan ucapan dan tindakan anggota kelompok dan ditentukan bagi kelompok itu oleh peneliti. Terdiri atas, mencari tahu apa yang orang lakukan (perilaku), apa yang mereka katakan (bahasa), dan beberapa kesenjangan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang seharusnya dilakukan sebagaimana mereka membuat dan menggunakan (artefak) (Spradley, 1980 dalam Creswell, (1998:-59). Oleh sebab itu, metode observasi akan digunakan oleh peneliti untuk mengamati bagaimana interaksi dan komunikasi Peran peneliti dalam penelitian ini adalah mengamati perilaku dan bentuk komunikasi ingroups dan outgroups sebagai penguatan identitas kultural, mewawancarai beberapa narasumber, membuat kategori, mencari faktor dan aspek yang menggambarkan identitas dan penguatan identitas keturunan etnis Arab di Surakarta. Dengan berjalannya proses analisis, akan terungkap penguatan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta melalui komunikasi ingroups dan outgroups di dalam objek penelitian. Seperti yang dikatakan Neumann: “dalam bentuk investigasi ilmiah dan institusional, laporan etnografik memberi keunggulan “neutral” voice penulis melebihi kewenangan subjektif dan pengalaman pribadi”.9 D. Jenis dan Sumber Data D.1 Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni: 9 Ibid, 176. 28 1. Data Primer, yang dikumpulkan berbentuk hasil wawancara yang dilakukan terhadap narasumber yang berasal dari keturunan etnis Arab untuk mengetahui penguatan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta (informan). Beberapa informan yang diwawancarai dalam penelitian ini ialah keturunan etnis ArabIndonesia yang berdomisili di Surakarta tepatnya tinggal dalam wilayah Kampung Arab Pasar Kliwon Surakarta. Catatan lapangan serta dokumentasi dalam penelitian juga dikumpulkan sebagai data etnografi dalam penelitian ini. 2. Data Sekunder, data ini diperlukan untuk mendukung analisis dan pembahasan yang maksimal. Data sekunder juga diperlukan terkait pengungkapan fenomena sosial dalam penelitian ini. Data sekunder ini antara lain, data demografi, karya ilmiah, buku literatur, jurnal dan hasil telusur internet yang terkait dengan penelitian. D.2 Sumber Data 1. Sumber Data Primer Data primer untuk penelitian ini diperoleh dari observasi dan interview. Observasi adalah penelitian untuk memperoleh data dalam bentuk mengamati serta mengadakan pencatatan dari hasil observasi. Dengan metode ini peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Adapun sasaran dari metode ini adalah bagaimanakah komunikasi ingroup dan outgroup sebagai penguatan identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta. Interview yaitu proses mendapatkan keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap wajah antar pewawancara dengan informan arau orang yang akan di wawancarai. Dalam proses ini peneliti akan mengumpulkan 29 beberapa narasumber keturunan etnis Arab di Surakarta untuk memperoleh keterangan dan data penelitian. Creswell mengungkapkan bahwa wawancara observasi merupakan alat pengumpul data dan yang banyak digunakan oleh berbagai penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa kedua alat itu merupakan pusat dari semua tradisi penelitian kualitatif sehingga memerlukan perhatian dan tambahan dari peneliti. 2. Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data yang mendukung penelitian ini berupa bahan, sumber informasi dan referensi lainnya, karya ilmiah, buku literatur, jurnal dan hasil telusur internet yang terkait dengan penelitian. E. Metode Pengumpulan data Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Wawancara Komunikasi atau pembicaraan dua arah yang dilakukan oleh peneliti dan informan untuk menggali informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. 2. Observasi Pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek penelitian guna memperoleh bahan dan data-data yang diperlukan. 3. Dokumen Teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur, jurnal dan hasil telusur internet yang diperlukan. 30 F. Teknik Analisis Data Peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif dalam menganalisis data. Data yang diperoleh melalui interview atau wawancara terstruktur dalam penelitian ini akan di analisis dengan menggunakan analisis deksriptif kualitatif yaitu dengan cara data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber dideskriptifkan secara menyeluruh. Data wawancara dalam penelitian ini adalah sumber data utama yang menjadi bahan analisis data untuk menjawab masalah penelitian. Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara dengan narasumber. Setelah melakukan wawancara, peneliti membuat transkip hasil wawancara dengan cara memutar kembali rekaman wawancara kemudian menuliskan kata-kata yang sesuai dengan apa yang ada direkaman tersebut. Setelah peneliti menulis hasil wawancara ke dalam transkip, selanjutnya peneliti membuat reduksi data dengan cara abstraksi, yaitu mengambil data yang sesuai dengan konteks penelitian dan mengabaikan data yang tidak diperlukan. Upaya untuk menjaga kredibilitas dalam penelitian ini adalah melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Perpanjangan Pengamatan Peneliti kembali ke lapangan untuk melakukan pengamatan untuk mengetahui kebenaran data yang diperoleh maupun menemukan data baru. 2. Meningkatkan ketekunan Melakukan pengamatan secara lebih cermat. Dengan meningkatkan ketekunan, peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang ditemukan benar atau salah. 3. Triangulasi Pengecekan data sebagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. 31 4. Analisis kasus negatif Peneliti mencari data yang berbeda dengan data yang ditemukan. Apabila tidak ada data yang berbeda maka data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. 5. Menggunakan bahan referensi Bahan referensi yang dimaksud adalah sebagai pendukung data yang ditemukan, sebagai contoh hasil wawancara perlu didukung adanya rekaman wawancara. 6. Menggunakan member check Mengadakan kesepakan dengan narasumber bahwa data yang telah diterima sudah sesuai dengan hasil wawancara. Apabila data sudah benar maka data sudah dianggap valid, maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data agar penafsiran akan data yang diperoleh dapat disepakati. G. Limitasi Penelitian Penelitian mengenai identitas dan komunikasi antar kelompok di kalangan etnis Arab di Surakarta memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: 1. Penelitian ini tidak menyertakan bahasan mengenai pendapat etnis lain (misalnya, keturunan etnis lainnya yang bertempat tinggal di Surakarta) selain keturunan etnis Arab karena penelitian ini hanya membatasi kajian pada bentuk-bentuk komunikasi ingroup dan outgroup sebagai penguat identitas kultural oleh keturunan etnis Arab di Surakarta. 2. Penelitian ini tidak mengungkapkan perbandingan antara keturunan etnis Arab dengan keturunan etnis lainnya dan tidak menyertakan pendapat keturunan etnis lain mengenai keturunan etnis Arab di Surakarta. 32