kelainan seks pada suami sebagai pemicu

advertisement
EGOISME ISTRI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(Analisis Beberapa Putusan No 76/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 914/Pdt.
G/2009/PA. Depok, No. 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Oleh :
PIPIH MUHAFILAH
NIM : 106044101434
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
EGOISME ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(Analisis Beberapa Putusan No 76/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 914/Pdt. G/2009/PA. Depok,
No. 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Pipih Muhafilah
NIM: 106044101434
Di bawah bimbingan:
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
NIP. 19500306 197603 1 001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat
berhubungan satu sama lain, saling mengasihi dan mencintai, serta menghasilkan
keturunan, juga agar hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan
perintah Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW. Oleh karena itu, untuk
memperoleh kehormatan iman seseorang, salah satunya ialah dengan menikah.
Nikah adalah salah satu pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
hidup masyarakat. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia
untuk mengatur jalan kehidupan manusia dalam berumah tangga dan menghasilkan
keturunan, tetapi juga dapat di pandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan
(ta’aruf) antara satu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi
jalan untuk menyampaikan pertolongan satu sama lain. Pernikahan adalah suatu akad
yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, untuk saling
membantu dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban serta bertujuan untuk
membina rumah tangga yang tentram dan bahagia. 1
1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hal. 103
1
2
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah yang dengan sengaja
diciptakan oleh Allah SWT yang antara lain tujuannya untuk melakukan keturunan
dan juga untuk menentramkan jiwa, mewujudkan (melestarikan) keturunan,
memenuhi kebutuhan biologis, serta latihan memikul tanggung jawab. 2 Firman Allah
SWT:
…..
⌧
⌧
49:‫اﻟﺬارﻳﺎت‬
Artinya:”…..Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”. (Q.S:Az-zariyat;49)
Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan aqad dalam pernikahan adalah
saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan
menghormati satu dengan yang lainnya. Tujuan pernikahan itu tetulis pada
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah”. 3
Keluarga sakinah akan membawa terciptanya masyarakat yang baik.
Keluarga yang bahagia juga akan berdampak baik bagi lingkungan masyarakat.
Untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, tentram, dan damai diperlukan
2
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam,( Jakarta: Pernada Media,2003 ),
hal.1
3
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3
3
Selain itu juga tujuan dari pernikahan yaitu untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis
dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhi kehidupan lahir
batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar angggota
keluarga. 4
Menikah bukan hanya menyatukan dua pribadi tetapi lebih dari itu, yang
terkait dengan keluarga masing-masing pihak. Oleh karenanya sudah tidak aneh lagi
jika seandainya terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai cerita rumah
tangga. Seiring berjalannya waktu dan kondisi jiwa seseorang pun akan berubah, hal
ini dapat mempengaruhi hubungan keduanya. Selain latar belakang (culture) yang
berbeda, sifat manusia yang dinamis (tidak tepat/berubah) akan berpengaruh pada
pembinaan ketentraman kehidupan berkeluarga, dapat diatasi atau tidaknya persoalan
tersebut tergantung bagaimana dari masing-masing pihak menghadapinya.
Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri,
maka akan timbul perselisihan atau perbedaan pendapat antara keduanya,
4
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama “Ilmu Fiqh”
(Departeman Agama,1985), hal.62
4
berubahnya kecenderungan hati pada masing-masing pihak, memungkinkan
timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi
percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian. 5
Islam sangat memperhatikan masalah keluarga bagi para penganutnya.
Apabila landasan keluarga itu kuat, landasan negara pun akan kuat pula. Oleh karena
itu, Islam sangat tidak mengabaikan peranan pribadi antara anggota keluarga itu
demi perenungan kemanusiaan belaka. Islam memberi hak setiap anggota sesuai
dengan kehidupannya, lalu mengajukannya untuk mengemban tanggung jawab
dengan penuh ketakwaan. Abduttawab Haikal dalam bukunya “Rahasia Perkawinan
Rasulullah SAW” mengatakan bahwa; “dalam Islam, rumah tangga merupakan dasar
bagi kehidupan manusia dan juga merupakan faktor utama dalam masyarakat”. 6
Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa tujuan mulia tersebut tidak
sesuai dengan yang diharapkan. 7 Karena sering kita temukan dalam sebuah bahtera
keluarga suami membenci isterinya atau sebaliknya, karena perkawinan tidak
dibangun di atas pondasi rumah tangga yang dipenuhi rasa kasih sayang, pengertian,
komunikasi yang baik, serta suami isteri yang tidak menjalankan kewajibannya
masing-masing. Hak tersebut bisa berupa hak bersama-sama, misalnya hak sama5
6
Ibid, hal. 220
Abduttawab Haekal,
Jaya,1993),cet.ke-1, hal.5
7
Rahasia
Perkawinan
Rasulullah
SAW,
(Jakarta:Pedoman
Ilmu
Chuzaemah.T.Yanggo dan A.Hafidz Anshari.AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Firdais,2002), cet,ke-3, hal.73
5
sama mendapatkan ‘kesenangan’, hak isteri terhadap suami, seperti hak kebendaan
(mahar dan nafkah), dan hak non kebendaan (keadilan), hak suami terhadap isteri,
misalnya suami harus ditaati oleh isteri dan lain sebagainya. Jika beberapa unsur di
atas belum terpenuhi, maka kehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik. 8
Perkawinan bukanlah semata-mata guna pemenuhan kebutuhan biologis,
melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan afeksional, yaitu
kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi,
dihargai, diperhatikan atau sejenisnya, serta terpenuhi hak dan kewajiban masingmasing. Demikian pula halnya dengan kebutuhan materi, bukanlah merupakan
landasan utama mencapai kebahagiaan. 9 Karena pada kenyataannya membina suatu
perkawinan yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan
kandas di tengah jalan, akibatnya timbullah perceraian. Perceraian merupakan
problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi anakanak.
Al-Quran menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami isteri
yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang berujung pada
perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya
aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi kehidupan suami isteri dalam bentuk hak
8
9
Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah, Juz 11, ( Beirut; Dar el- Fikr, 1983), hal. 135
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, ( Malang: UIN Press Malang,
2008), hal. 116
6
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Allah SWT menjelaskan
beberapa usaha yang harus dilakukan dalam menghadapi kemelut tersebut agar
perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah SWT mengatisipasi
kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian tersebut sebagai
alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan. 10
Dalam problematika rumah tangga pada masyarakat kita yang mayoritas lakilaki memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan perempuan dan posisi
perempuan dianggap lemah dalam masyarakat, istri memiliki peluang untuk
mendapatkan perlakuan yang kurang baik dan tidak jarang disertai juga dengan
kekerasan dalam pertengkaran tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
suami yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Seorang suami yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,
dikarenakan sikap isteri yang egois, keras kepala, ingin menang sendiri sehingga
tidak lagi menghormati suami sebagai pemimpin rumah tangga. Dan dampaknya
akan menimbulkan perselisihan serta pertengkaran di antara keduanya dan dapat
berujung kepada perceraian.
Karena dari permasalahan sikap egois isteri terhadap suami dalam rumah
tangga yang berdampak pada perceraian itu, maka penulis melakukan penelitian
tentang “Egoisme Isteri Sebagai Alasan Perceraian (Analisa Beberapa Putusan
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta; Kencana, 2007 ), hal. 159
7
No.76/Pdt. G/2009/PA. Depok. No. 914/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 1301/Pdt.
G/2008/PA. Depok)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis
membatasi pada sejauh mana keegoisan istri terhadap suami dapat menjadi alasan
perceraian. Dengan objek penelitian beberapa putusan di Pengadilan Agama Depok.
2. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut;
Alasan perceraian karena keegoisan istri tidak diatur secara khusus dalam
perundang-undangan, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
serta Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Tetapi
kenyataannya, putusan di Pengadilan Agama Depok mengabulkan keegoisan istri
terhadap suami dijadikan sebagai alasan perceraian.
Rumusan masalah tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
8
1. Bagaimana pandangan fiqh dan hukum positif tentang egoisme istri terhadap
suami bisa dijadikan alasan perceraian?
2. Faktor apa saja yang melatar belakangi sikap keegoisan istri terhadap suami ?
3. Sejauh mana sikap keegoisan istri terhadap suami bisa dijadikan alasan
perceraian seperti dalam beberapa putusan Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk memahami pandangan fiqh dan hukum positif tentang sikap egois istri
terhadap suami dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu alasan perceraian di
Pengadilan Agama Depok.
3. Untuk mengetahui beberapa kasus tentang sikap keegoisan istri terhadap suami
dalam rumah tangga yang dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan
Agama Depok, serta sebab-sebab timbulnya keegoisan istri.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah ;
9
1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di
Indonesia.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang
bermanfaat dalam menjawab perkembangan hukum Islam di Indonesia.
3.
Secara pragmatis, hasil penelitian ini menjadi bahan utama penyusunan
penulisan tentang hukum sebagai syarat memperoleh sarjana hukum Islam pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Kajian ( Review ) Terdahulu
Adapun fungsi dari studi review yaitu untuk menghindari dari tuduhan
duplikasi dan penjiplakan (plagiat) atau peniruan atas judul yang hampir sama pada
judul-judul skripsi sebelumnya. Dalam studi review yang penulis lakukan, ada satu
skripsi yang berjudul “Isteri Nusyuz Karena Selingkuh Sebagai Pemicu Terjadinya
Perceraian (Analisis Putusan No.1236/Pdt.G/2008/PAJT) ” oleh Ummu Salamah
(105044101434).
Adapun perbedaan tema skripsi tersebut dengan tema skripsi yang akan
diangkat oleh penulis yaitu, bahwa tema skripsi yang ditulis oleh Ummu Salamah
mengangkat tentang masalah kriteria isteri yang dianggap nusyuz serta pertimbangan
hakim apa yang dijadikan dasar hukum sehingga mengabulkan gugatan cerai yang
10
diajukan oleh suami terhadap isteri yang nusyuz karena selingkuh. Jadi, Ummu
Salamah lebih memfokuskan selingkuhnya seorang isteri sebagai perbuatan nusyuz
isteri terhadap suami.
Sedangkan tema masalah yang akan diangkat penulis yaitu sikap keegoisan
isteri terhadap suami dan pengaruhnya dalam pernikahan sehingga meninggalkan dan
melalaikan kewajiban sebagai isteri, dan hal tersebut adalah termasuk dalam
perbuatan nusyuz seorang isteri pada suami. Tetapi penulis tidak membahas secara
khusus tentang nusyuz tersebut, melainkan pada skripsi ini lebih membahas kepada
beberapa masalah seperti yang tercantum dibawah ini, yaitu ;
1. Bagaimana pandangan fiqh dan hukum positif tentang egoisme istri terhadap
suami sebagai alasan perceraian.
2. Faktor apa saja yang melatar belakangi sikap keegoisan istri terhadap suami.
3. Sejauh mana sikap keegoisan istri terhadap suami bisa dijadikan alasan
perceraian.
E. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah penulis menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan data
dengan teliti, baik tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya dan bertujuan
11
untuk menggambarkan suatu objek secara sistimatis. 11 Maka cara yang dilakukan
yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan, dan
mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan
yang obyektif logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki
penulis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama Depok beberapa putusan cerai talak
mengenai egoisme isteri sebagai alasan perceraian. Dan wawancara terhadap hakim,
kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan
dengan masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku
ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam( KHI), serta peraturan lainnya
yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 43
12
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara;
a. Menganalisis terhadap beberapa putusan Pengadilan Agama Depok tentang
sikap egoisme istri terhadap suami dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu
alasan perceraian.
b. Interview atau wawancara, adalah suatu percakapan dengan mempunyai
tujuan. 12 Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan,
adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara (interviewer) untuk
memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer) 13 . Dalam hal ini penulis
mengadakan dialog langsung dengan hakim Pengadilan Agama Depok.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses pengecekan dan pengaturan secara sistimatis
transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat
dipresentasikan temuannya kepada orang lain. 14 Analisa data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan “Analisa Kualitatif” yaitu menganalisis dengan
12
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang;
Kalimasahada Press,1994), cet. ke-1, hal. 63
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian,(Jakarta; PT.Rinika Cipta,1996),cet. X, hal. 144
14
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Sosial dan Keagamaan, hal. 72
13
cara menguraikan dan mendeskripsikan beberapa putusan perkara perceraian di
Pengadila Agama Depok akibat keegoisan isteri terhadap suami sebagai alasan
perceraian. Dan menghubungkan dengan hasil interview dari pihak yang
menyelesaikan perkara ini, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Depok.
Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif logis, konsisten, dan sistimatis
sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam penelitian ini.
F. Sistimatika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan maka disusun sistematika penulisan sebagai
berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, studi kajian
(review) terdahulu, metode penelitian, dan sistimatika penulisan.
Bab kedua memuat teori-teori yang meliputi pengertian hukum Islam,
pengertian hak dan kewajiban suami isteri menurut Kompilasi Hukum Islam,
pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri, pengertian dan pengaruh keegoisan
isteri menurut fiqh.
Bab ketiga menjelaskan sekilas tentang isi pokok perkara beberapa putusan
Pengadilan Agama Depok tentang egoisme isteri terhadap suami sebagai alasan
14
perceraian, yaitu perkara nomor 76/Pdt.G/2009/PA. Depok, perkara nomor 914/Pdt.
G/2009/PA. Depok, dan perkara nomor 1301/Pdt. G/PA. Depok.
Bab keempat berisi analisis beberapa putusan Pengadilan Agama yang
meliputi
profil Pengadilan Agama Depok, duduk perkara (posita), tuntutan
hukum
(petitum), pertimbangan hukum yang dipakai majelis hakim dalam penetapan putusan, dan
analisis penulis terhadap putusan tersebut.
Bab kelima yaitu penutup ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas
masalah yang dirumuskan, serta saran-saran bagi lembaga, civitas akademika, serta
masyarakat umum.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hukum Islam
Secara khusus dalam bahasa Arab tidak terdapat peristilahan “hukum Islam”
secara teknik, oleh karena itu sulit ditemukan artinya secara definif. 1 Melainkan
istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh
al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariah al-Islamy. Istilah ini dalam
wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam Al-Quran maupun AlSunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata
syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian syariah dan fiqh. 2
Untuk menyebut hukum Islam, kata yang biasa digunakan adalah fikih dan
syariat, kedua kata ini tidak sama artinya, namun keduanya berkaitan maksudnya.
Syariat atau hukum Syara’ secara sederhana diartikan; ”Seperangkat aturan dasar
tentang tingkah laku manusia, yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara
langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” Sedangkan fikih biasa diartikan dengan
1
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik
Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen RI, 2008), hal. 67
2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 3
15
16
hasil penalaran pakar hukum (mujtahid) atas dasar hukum syara’ dan dirumuskan
dalam bentuk aturan yang terinci. 3
Secara bahasa syariah berasal dari kata ‫ ﺷﺮع – ﻳﺸﺮع – ﺷﺮﻋﺎ‬yang berarti
membuat syariat/undan-undang. 4 Penggunaannya dalam Al-Quran diartikan sebagai
jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Ushul alFiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau
perantara (sebab, syarat, penghalang. Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang
bersifat praktis (a’maliyah). 5
Berkenaan dengan istilah fikih menurut bahasa adalah faham. Kata fikih
berasal dari kata faqiha-yafqahu atau yang berati ‘alima-ya’lamu artinya
pemahaman. 6 Adapun fikih dalam pengertian terminologi, fikih adalah hukumhukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang
rinci. 7
3
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik
Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 67
4
Ahmad Syafi’i, Kamus Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal. 109
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.3-4
6
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik
Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 69
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal. 5
17
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa antara syariah dan fikih memiliki
hubungan yang sangat erat. Karena fikih adalah formula yang dipahami dari syariah.
Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fikih atau
pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fikih sebagai hasil
usaha memahami, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang
melingkupi Faqih ( jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat
wajar jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka. 8
B. Pengertian Hak dan Kewajiban
Pengertian “hak” menurut bahasa yaitu kebenaran. 9 Atau yang memiliki arti
kekuasaaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, atau dalam arti lain
wewenang menuntut hukum. Menurut istilah yaitu menurut para pendapat ulama fiqh
yang sebagian ulama mutaakhirin ”hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan
secara syara” atau dengan kata lain hak adalah kepentingan
yang ada pada
perorangan atau masyarakat atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’. 10
Adapun pengertian kewajiban yaitu yang berasal dari kata “wajib”, dan
menurut bahasa kata “wajib” bermakna “fardhu” atau sesuatu yang harus dilakukan,
tidak boleh tidak dilaksanakan. 11 Dan adapun secara istilah yaitu “suatu pekerjaan
8
Ibid., hal. 5
9
Ahmad Syafi’i, Kamus Arab Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal.57
10
Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,
2006), hal. 64-65
18
yang apabila dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan
dosa. 12
Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang paling bertimbal balik dalam suatu
transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitu pun
sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak yang lain. Keduanya
saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam. 13
Hak dan kewajiban suami isteri muncul sejak mereka terikat dalam suatu
ikatan yang sah melalui akad (ijab-qabul). Pada saat itu pula, suami isteri memikul
tanggung jawab untuk memenuhi seluruh hak dan kewajibannya sebagai suami isteri.
Hak dan kewajiban suami isteri terdiri atas hak dan kewajiban yang bersifat materiil
dan hak kewajiban yang bersifat immaterial. Hak dan kewajiban materiil berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan lahiriyah seperti suami berkewajiban menyediakan
sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan kepada isteri dan anak-anaknya.
Sedangkan hak dan kewajiban immateriil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
batiniyah seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan
11
ImamMuhammad Abu Zahra, Ushuulul al- Fiqhi, (Daarul al-Fikri Al-A’rabi, t.t), hal. 28
12
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul al- Awaliyah Fi~ Ushulu al-Fiqh Wa Qawai’dul alFiqhiyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t), hal. 7
13
Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hal. 75
19
keamanan yang harus diberikan suami kepada isterinya. 14
Pada hubungan suami isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan
begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa
kewajiban dan begitu pula isteri memiliki beberapa kewajiban. Adanya hak dan
kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam
beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi SAW. 15
Dalam Al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 228:
…
228:‫اﻟﺒﻘﺮة‬
ِArtinya :“…..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah:228)
Dan dalam hadis Nabi salah satunya hadits dari Amru bin al-Ahwash:
‫ﺣ ًّﻘﺎ‬
َ ْ‫ﺴﺎ ِﺋ ُﻜﻢ‬
َ ‫ن َﻟ ُﻜﻢْ ِﻣﻦْ ِﻧ‬
‫ِإ ﱠ‬....‫ع‬
ِ ‫ﺠ ُﺔ اﻟْ َﻮ َدا‬
‫ﺣﱠ‬
ُ ‫ﺷ ِﻬ َﺪ‬
َ ُ ‫ َأﻧ ﱠﻪ‬,‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ اﻷﺣﻮص‬
14
Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009), hal. 179
15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media, 2006),
hal. 159
20
Artinya: Dari A’mru ibnu Akhwas, bahwasanya ia telah menyaksikan haji
wada’….. “Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh
isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”. (H.R. Ibnu
Majah dan At-Tirmizi).
Pemenuhan hak dan kewajiban suami isteri dilakukan secara adil dan makruf.
Adil bermakna kewajiban dan tanggung jawab dilakukan secara berimbang oleh
suami isteri, dimana mereka sama-sama berusaha untuk menjalankannya, tanpa
menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah inferior. Suami isteri
dalam menjalankan kewajibannya memiliki kedudukan yang sama (equal) sesuai
dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Makruf bermakna pemenuhan
kewajiban suami isteri dilakukan berdasarkan kemampuan dari masing-masing
pihak, dan tidak ada pemaksaan kehendak satu pihak terhadap pihak yang lain dalam
memenuhi hak dan kewajibannya. Perwujudan hak dan kewajiban suami isteri dalam
rumah tangga didasarkan pada kepatutan dan nilai ukur yang ada dalam
masyarakat. 17
16
Imam Muhammad Ali ibn Muhammad As-Syaukani, Subulus as-Salam jilid V, (Maktabah
Al-Aiman, Tt,), hal. 232. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I, (Daarul al-Ihya Turosul al-Arobiy),
hal 595. At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi Juz IV, (Darul Kutub Al-Alamiyah, 1994), hal. 310
17
Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 180
21
B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami isteri
diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut, secara garis besar
mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa suami isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami
isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin
yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus mempunyai
tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. 18
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Kewajiban suami dalam rumah tangga adalah;
(1) Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam
rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
18
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006),
hal. 33-34
22
(2) Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
(3) Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat
dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak. 19
Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan di atas, khususnya
kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah
tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz. Isteri dianggap nusyuz
jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan
oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah. Apabila isteri tidak nusyuz lagi,
maka suami wajib memberikan ketentuan yang yang telah ditetapkan sebagaimana
tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak
adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. 20
Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anakanaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah. Tempat kediaman yang berfungsi
19
Kompilasi Hukum Islam pasal. 83
20
Ibid,. pasal. 84.
23
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat
rumah tangga. 21 Ketentuan ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih
dari satu orang kecuali ada perjanjian kawin. 22 Jika para isteri rela dan ikhlas, suami
dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
C. Pelanggaran Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Pelanggaran adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi,
mengikuti serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat
merugikan seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang
dilakukan yaitu tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan
isteri atau sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan
kewajibannya masing-masing.
Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah
SWT seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh
karena itu, keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan
dilaksanakan, dengan melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya masingmasing.
21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 34
22
Kompilasi Hukum Islam Pasal. 81
24
Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana maka keduanya
yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan dalam hukum
pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur secara baik dan pasti
dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. 23
Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan dari M. Hoballah
yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic Law” yang di
dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil
penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah tangga
dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil dan
makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan kewajiban
yang bersifat immateriil. 24
Selain karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing
pihak merupakan sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri.
Adapun bentuk lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga
yaitu adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami
23
Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional ,hal.179
24
Ibid.,hal.180
25
kepada isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi
korban kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat
bertindak sesuatu apapun.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam kehidupan rumah tangga. 25 Berdasarkan data-data yang direkam dari
berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus
yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah;
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Seksual
3. Kekerasan Psikis
4. Kekerasan Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi 26
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada
siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena
25
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press,
2008 ), hal. 268
26
Ibid., 269
26
itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap
korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.
Dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Mufidah Ch dari hadits yang
diriwayatkan Imam al Turmudzi:
‫ع َﻣ َﻊ‬
ِ ‫ﺠ ُﺔ اﻟْ َﻮ َدا‬
‫ﺣﱠ‬
ُ ‫ﺷ ِﻬ َﺪ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪﺛ َِﻨﻲْ َأ ِﺑﻲْ َأﻧﱠـ ُﻪ‬
َ .‫ص‬
ِ ‫ﻷﺣْ َﻮ‬
َ ْ‫ﻦ ا‬
ُ ْ‫ﻋﻤْ ُﺮو ﺑ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﺳَﻠﻴْ َﻤﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ
ْ‫ﻋﻨْ َﺪ ُآﻢ‬
ِ ٌ‫ﻋ َﻮان‬
َ ‫ﺧﻴْ ًﺮا َﻓِﺈﻧ ﱠﻤَﺎ ُه َﻮ‬
َ ‫ﺴﺎ ِء‬
َ ‫ﺻﻮْا ِﺑﺎﻟ ﱢﻨ‬
ُ ْ‫ﻻ َواﺳْﺘَـﻮ‬
‫ َأ ﱠ‬....‫م‬.‫ﷲ ص‬
ِ ‫ل‬
ِ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫َر‬
27
(‫ ) رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬي‬.‫ﻚ‬
َ ‫ﻦ َذِﻟ‬
‫ن ِﻣﻨْ ُﻬ ﱠ‬
َ ْ‫ﺲ َﺗﻤِْﻠ ُﻜﻮ‬
َ ْ‫َﻟﻴ‬
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, bahwasnya ayahku telah
mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah
SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadap perempuan
karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal
sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan
itu”.(H.R. Imam Turmudzi)
Dengan adanya tindak kekerasan dalam keluarga, maka kebahagiaan dalam
rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk
keluarga yang sakinah. Karena kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan harapan bagi semua
orang.
27
. Sunan At-Turmudzi Juz IV, (Darul Kutub Al-Ilamiyah, 1994), hal. 310
27
D. Pengertian dan Pengaruh Keegoisan Isteri Menurut Fiqh
Kata “Keegoisan” dalam istilah kamus istilah psikologi adalah berasal dari
kata”ego” yang berarti suatu unsur ke-pribadian yang dikuasai oleh prinsip
kenyataan. 28 Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia “egois” yang berarti
mementingkan diri sendiri. Dan arti kata “egoisme” bermakna suatu sikap yang
menujukkan ketamakan, sehingga tindakannya hanya untuk kepentingan diri sendiri,
seseorang yang belum mengerti hubungan kausal, dan belum dapat menyadarkan
differensiasi, serta juga belum mengerti pandangan yang berbeda. 29
Bahwa manusia pada dasarnya hanya termotivasi oleh kepentingan sendiri
atau pribadi tanpa peduli dampak yang akan terjadi setelah itu. Karena semua orang
mempunyai keegoisan masing-masing dan keegoisannya sama, yang membedakan
adalah bagaimana kita setiap individu mengontrol keegoisan tersebut.30
Sikap keegoisan yang dimiliki setiap individu akan terlihat lebih besar, jika
dia tidak bisa mengontrol dengan baik keegoisan yang dia miliki. Contohnya, yaitu
ketika seseorang dihadapkan dengan masalah kehidupan yang beraneka ragam, maka
akan terlihat pada dirinya sikap keegoisan yang dia miliki, apakah dia akan dapat
mengontrol dengan baik atau tidak dalam mengatasi masalah tersebut. Karena pada
28
M. Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi, (Jakarta: CV. Pedoman llmu jaya, 1997), hal. 60
29
Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 67
30
Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org
28
dasarnya jika seseorang dalam suatu masalah, dia lebih mementingkan dirinya
sendiri.
Contoh lain yang sering terjadi dalam realita kehidupan yaitu, ketika
seseorang berbeda pendapat atau pandangan akan suatu hal, maka masing-masing
akan lebih mempertahankan pendapat pribadi dan merasa bahwa pendapatnya paling
benar, padahal alangkah lebih baik dan indah jika perbedaan bisa disatukan dan tidak
saling menguntungkan diri sendiri tanpa mendahulukan ego nya masing-masing.
Itulah sikap keegoisan yang dimiliki setiap insan. 31
Sikap egois adalah fitrah yang yang dimiliki setiap yang bernyawa baik
manusia atau hewan dan makhluk lainnya. Tetapi Tuhan memberikan kelebihan bagi
manusia yaitu berupa akal yang berguna untuk membedakan mana yang baik dan
buruk, mana kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jika manusia tidak bisa
membedakan hal-hal tersebut, apa bedanya manusia dengan hewan. 32
Sikap keegoisan dalam rumah tangga merupakan sebuah problem relasi
(hubungan) antara suami isteri. Karena dalam proses pencapaian keluarga sakinah
pastinya mengalami kendala-kendala dengan berbagai masalah kehidupan yang ada.
Dimana setiap masalah menjadi tanggung jawab bersama dalam mencari solusi tanpa
31
Lonely Pasangan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.happiestwives.org
32
Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org
29
mengabaikan satu sama lainnya. Namun demikian, seringkali suami isteri enggan
memecahkan masalah dengan fikiran jernih, dikarenakan beberapa faktor yaitu: 33
1.
Faktor emosi
Dalam menghadapi masalah suami isteri dihadapkan mampu mengendalikan
emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan.
Jika suami isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan
egonya maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan
dalam hadisnya :
‫ﻋ ِﺔ‬
َ ‫ﺼ َﺮ‬
‫ﺸ ِﺪ ْﻳ ُﺪ ﺑِﺎ اﻟ ﱡ‬
‫ﺲاﻟﱠ‬
َ ْ‫ل َﻟ ِﻴ‬
َ ‫ ﻗَﺎ‬.‫ م‬.‫ل ﷲ ص‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ن َر‬
‫ﻦ َأ ِﺑﻲْ َه َﺮ ﻳْ َﺮ َة َأ ﱠ‬
َْ ‫ﻋ‬
َ
34
( ‫ )ر واﻩ اﻟﺒﺨﺎ ر ي‬.‫ﺐ‬
ِ ‫ﻀ‬
َ ‫ﻋﻨْ َﺪ اْﻟ َﻐ‬
ِ ‫ﺴ ُﻪ‬
َ ْ‫ﻚ َﻧﻔ‬
ُ ‫ﺸ ِﺪ ﻳْ ُﺪ َﻳﻤِْﻠ‬
‫ِإ ﱠﻧ َﻤﺎ اﻟ ﱠ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “
Orang-orang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, tetapi orang
yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang
marah”. (HR. Bukhairi)
2.
Faktor kurang pengertia/pemahaman
Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami isteri terhadap
masalah yang dihadapi menyebabkan kesalah pahaman sehingga masalahnya
menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isteri saling
mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah
yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing
33
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194
34
Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-Arobiy, t.t), hal.2267
30
⌧
….
☺
159:‫ال ﻋﻤﺮان‬
A
ِ rtinya : “… Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”.(QS. Al-Imran: 159)
3. Faktor gender stereotype (pelabelan negatif)
Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasan su’udzan/buruk
sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype atau
memberikan label negatif atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah
satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender
stereotype suami isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan
rasa saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.
Dalam QS. Al-Baqarah 216 Allah menegaskan :
⌧
⌧
31
Artinya : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(QS.Al-Baqarah:
216)
4. Faktor dominasi pihak yang kuat.
Posisi suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah
positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mengayomi dan memberdayakan.
Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi
yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami isteri yang
timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri,
biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian
pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang
tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap
penyelesaian masalah. QS. Al-Baqarah 228 menyebutkan:
….
228:‫اﻟﺒﻘﺮة‬
Artinya : “… Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”(Q.S: Al-Baqarah: 228)
32
Sikap keegoisan yang merupakan salah satu dari problem relasi (hubungan)
suami isteri dalam keluarga bisa timbul dari berbagai pihak, yaitu sikap egois yang
datang dari suami terhadap isteri atau sebaliknya sikap egois isteri terhadap
suaminya. 35
Penyebab dari sikap keegoisan ini adalah karena adanya perbedaan pendapat,
cara pandang, dan kecendrungan antara suami isteri dan anggota keluarga lainnya.
Padahal perbedaan merupakan keniscayaan dan juga dapat dipandang sebagai
rahmah yang dapat digunakan sebagai modal untuk saling melengkapi satu sama
lain. Yang penting diperhatikan adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk
mengakomodir seluruh perbedaan yang ada secara adil, tanpa diskriminasi melalui
proses demokrasi yang ditandai dengan keterbukaan, komunikasi efektif dan saling
menghargai satu sama lain. Seringkali yang terjadi di dalam sebuah keluarga masingmasing anggota keluarga memandang perbedaan yang ada sebagai ancaman dan
problem yang menghambat keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. 36
Sikap keegoisan isteri dalam persfektif hukum Islam adalah apabila dampak
dari keegoisan ini ia melalaikan dan meninggalkan kewajibannya sebagi isteri, maka
hal tersebut adalah merupakan tindakan nusyuz seorang isteri terhadap suaminya.
Karena dampak dari sikap egois isteri adalah salah satu bentuk nusyuz isteri. Oleh
35
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194
36
Ibid., hal. 296
33
karena itu, selanjutnya akan dibahas lebih khusus mengenai masalah nusyuz
tersebut. 37
Adapun pengertian nusyuz yaitu yang berasal dari bahasa Arab ialah nasyaza,
yansyuzu, nusyuzan, (‫ ) ﻧﺸﺰ – ﻳﻨﺸﺰ – ﻧﺸﻮزا‬yang memberi beberapa pengertian.
Antaranya nusyuz memberi arti bangkit dari tempatnya atau bangun. 38 Dan menurut
istilah nusyuz adalah meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz tidak hanya
terjadi dari pihak isteri, tetapi juga dari pihak suami.
Nusyuz dari pihak suami bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau
menggaulinya, dan tidak bersedia memberi nafkah. Nusyuz dari pihak isteri dapat
berupa tidak patuh dan taat kepada suaminya salah satunya sikap egois isteri, dan
juga tidak mau mengurus kepentingan rumah tangga serta meninggalkan rumah
tanpa izin suami. 39 Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 259
dan dalam QS. Al-Mujadalah (58) : 11:
…
☺
259:‫اﻟﺒﻘﺮة‬
☺
37
Ibid., hal. 297
38
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-Quran, Sunah dan
Undang-Undang Keluarga Islam, ( Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 1
39
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009), hal. 189
34
Artinya : “Dan lihatlah kepada tulang-tulang (keledai) itu, bagaimana kami
menyusunnya kembali kemudian kami menyalutnya dengan daging”.(Q.S.AlBaqarah:259)
….
11:‫اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ‬
Artinya
:
“Apabila
diminta
kepada
kamu
untuk
bangun,
maka
bangunlah.”(Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Selain itu juga nusyuz mempunyai arti tempat yang tinggi. Dari segi istilah
para ulama memberikan beberapa pengertian atau definisi mengenai nusyuz.
Terdapat beberapa nash-nash Al-uran dan Sunah mengenai nusyuz. Yaitu
firman Allah SWT QS. An- nisa (4) : 34 :
☺
⌧
⌧
34:‫اﻟﻨﺴﺎء‬
.
⌧
Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan
pendurhakaan (nusyuz), hendaklah kamu menasehati mereka (sekiranya mereka…)
pulangkanlah mereka ditempat tidur dan (sekiranya mereka tetap ingkar) pukullah
mereka (dengan pukulan yang ringan dengan tujuan untuk mendidik). Jika mereka
kembali taat kepada kamu, janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar ”.(QS. An-Nisaa: 34)
⌧
☺
35
⌧
☯
☯
☺
⌧
⌧
.
☺
☺
128:‫اﻟﻨﺴﺎء‬
Artinya : “ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara
baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. An-Nisaa: 128)
Adapun sabda Rasulallah SAW mengenai nusyuz yaitu :
‫ َﺗﻄْ َﻌ ُﻤ َﻬﺎ ِإ َذا‬...‫م‬.‫ﻲ ص‬
‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﺳَﺄ‬
َ ‫ﻼ‬
ً‫ﺟ‬
ُ ‫ن َر‬
‫ﻋﻦْ َأ ِﺑﻴْ ِﻪ َأ ﱠ‬
َ ‫ﻦ ُﻣ َﻌﺎ ِو َﻳ َﺔ‬
ُ ْ‫ﺣ ِﻜﻴْ ِﻢ ﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ
‫ﻲ‬
ّ ‫ﻻ ِﻓ‬
‫ﺠﺮْ ِإ ﱠ‬
ُ ْ‫ﻻ َﺗﻬ‬
َ ‫ﻻ ُﺗ َﻘ ِّﺒﺢْ َو‬
َ ‫ب اﻟْ َﻮﺟْ َﻪ َو‬
َ ‫ﻻ َﺗﻀْ ِﺮ‬
َ ‫ﺖ َو‬
َ ْ‫ﺴﻴ‬
َ ‫ﺴﻮْ َهﺎ ِإ َذا ِإآْ َﺘ‬
ُ ْ‫ﺖ َو َﺗﻜ‬
َ ْ‫َأ َآﻠ‬
40
(‫و أﺣﻤﺪ و أﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬,‫)رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ﻚ‬
َ ‫َﺑﻴْ ِﺘ‬
Artinya : Dari Hakim ibnu Mua’wiyah dari ayahnya, bahwasanya ada
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW “..Suami harus memberi
makan kepadanya (isteri) jika ia makan dan kamu berikan kepadanya pakaian jika ia
membutuhkan pakaian dan janganlah sekali memukul di muka serta kamu tidak
boleh memperolok-oloknya dan juga kamu tidak meninggalkannya kecuali di rumah
sendiri.” (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kepada nash-nash Al-Quran dan Sunnah, jelas menunjukkan
bahwa nusyuz berkemungkinan kepada pihak antar suami atau isteri atau keduaduanya secara sekaligus. Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, Dia
40
Abu Dawud As-Sihastani, Sunan Abi Dawud Juz I (Darul Ihya Turosul Arobiy), hal.651.
Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz I, hal. 581. Ahmad bin Hanbal, Musnad
Ahmad Juz IV, (Darul Ihya Turosul Arobiy). hal. 446.
36
Maha Mengetahui setiap kelebihan dan kelemahan yang ada pada manusia. Allah
SWT telah menggariskan panduan yang perlu diikuti oleh setiap insan bagi
menghadapi pasangan nusyuz supaya tindakan yang diambil adalah tindakan yang
bijaksana dan tidak melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh syara’. 41
Menurut al-Farra’, nusyuz terbagi kepada tiga kategori yaitu nusyuz isteri
terhadap suaminya, nusyuz suami tehadap isterinya, dan kedua-duanya baik suami
maupun isteri. Di bawah ini penjelasannya mengenai nusyuz tersebut: 42
1. Nusyuz Isteri
Nusyuz dipihak isteri ialah seorang yang durhaka terhadap suaminya, angkuh,
sombong, dan ingkar tehadap suami serta tidak melaksanakan tanggung
jawab seorang isteri seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Seseorang isteri bisa dikategorikan nusyuz, apabila isteri menolak ajakan
suaminya untuk melakukan hubungan badan seperti halnya suami isteri,
keluar tanpa dengan izin suami, tidak membenarkan tamu memasuki rumah
tanpa izin suami, serta meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tidak
pasti. Sabda Rasulullah SAW:
‫ﻞ‬
ُ‫ﺟ‬
ُ ‫ﻋﺎ َر‬
َ ‫ ِإ َذا َد‬...‫م‬.‫ﻲ ص‬
‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻋﻨْ ُﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻲ‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﻋﻦْ َأ ِﺑﻲْ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر‬
َ
‫ﺣ ﱠﺘﻰ‬
َ ‫ﻼ ِﺋ َﻜ ُﺔ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ َﻬﺎ َﻟ َﻌ َﻨ ُﺘ َﻬﺎ اﻟْ َﻤ‬
َ ‫ن‬
ُ ‫ﻏﻀْ َﺒﺎ‬
ُ ‫ت‬
َ ‫ﺷ ِﻪ َﻓَﻠﻢْ َﺗﺄْ ِﺗ ِﻪ َﻓ َﺒﺎ‬
ِ ‫ِإﻣْ َﺮَأ َﺗ ُﻪ ِإَﻟﻰ ِﻓ َﺮا‬
41
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan UndangUndang Keluarga Islam, hal. 5.
42
Ibid, hal.6
37
Artinya: dari Abu Huraiarah R.A dari Nabi SAW …“Apabila suami
mengajak isterinya ke tempat tidur, namun isterinya menolak ajakan tersebut
dan tidakan tersebut membuat suaminya marah, maka para malaikat akam
melaknatinya (isteri) sampai waktu pagi”.(H.R.Muslim)
Hadis ini menegaskan haram bagi isteri menolak ajakan suami untuk
bersetubuh tanpa ada alasan atau udzur syari’ seperti dalam masa haid atau
seumpamanya. Selain itu juga berpuasa sunat atau membolehkan tamu masuk (tamu
laki-laki) tanpa izin suami terlebih lagi apabila tamu tersebut tidak disukai suaminya
maka hal tersebut dianggap nusyuz. Sabda Rasulullah SAW:
ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻹﻣْ َﺮَأ ِة‬
ِِ‫ﻞ‬
‫ﺤﱡ‬
ِ ‫ﻻ َﻳ‬
َ ...‫م‬.‫ن رﺳﻮل ﷲ ص‬
ّ ‫ﻋﻦ أﺑﻲ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﻪ أ‬
‫ )رواﻩ‬.‫ﻻ ِﺑ ِﺈذْ ِﻧ ِﻪ‬
‫ﻲ َﺑﻴْ ِﺘ ِﻪ ِإ ﱠ‬
ِ ‫ن ِﻓ‬
ُ ‫ﻻ ُﺗﺄ ِذ‬
َ ‫ﻻ ِﺑِﺈذْ ِﻧ ِﻪ َو‬
‫ﺷﺎ ِه َﺪ ِإ ﱠ‬
َ ‫ﺟ َﻬﺎ‬
ُ ْ‫ﺼﻮْ ُم َو َزو‬
ُ ‫َﺗ‬
44
(‫اﻟﺒﺨﺎرى‬
Artinya: dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Rasulullah SAW bersabda
“Tidak halal bagi seorang perempuan berpuasa sedangkan suaminya ada bersama
kecuali sudah mendapatkan izin dari suaminya dan tidak harus bagi isteri
membenarkan orang lain masuk ke rumahnya dengan izinya (suami)”.(H.R.
Bukhari)
43
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Bukhori, Matan Bukhari Masykul Bihasyiyati Sanadi,
(T.t: Daarun Nahru an-Naylu, t.th), juz.3, hal. 260. Muslim Bin Hijaj, Sahih Muslim Juz II, (Darul
Kutub Al-Ilmiyah, 1992), hal 1059.
44
Ibid., hal. 260. Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-Arobiy, t.t), hal. 1993.
38
Isteri merupakan amanah Allah SWT yang wajib dijaga dan dipelihara
dengan sebaik mungkin oleh suami. Suami perlu mendidik isteri dengan pengetahuan
agama terlebih lagi apabila suami mendapati isterinya nusyuz.
Seorang suami diberi kuasa oleh Allah SWT untuk mengajar serta mendidik
isteri, namun mereka tidak boleh bertindak sesuka hati. Sebaliknya, mereka
hendaklah bertindak menurut panduan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Apabila suami bertindak di luar batasan yang telah ditetapkan oleh syara’,
ketika mendidik isteri yang nusyuz bukannya menyelesaikan masalah tetapi lebih
memperburuk keadaan. 45 Sabda Rasulullah SAW:
‫ ﺣﺪﺛﻨﻲ أﺑﻲ أﻧﻪ ﺷﻬﺪ ﺣﺠﺔ اﻟﻮداع ﻣﻊ‬.‫ﻋﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎن ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ اﻷﺣﻮص‬
ْ‫ﺿﻠْ ِﻊ َو ِإن‬
َ ْ‫ﺧَﻠﻘْ َﻨﺎ ِﻣﻦ‬
َ ‫ﻦ‬
‫ﺧﻴْ ًﺮا َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ﱠ‬
َ ‫ﺴﺎ ِء‬
َ ‫ﺻﻮْا ِﺑﺎﻟ ﱢﻨ‬
ُ ْ‫ ِإﺳْ َﺘﻮ‬...‫م‬.‫رﺳﻮل ﷲ ص‬
ْ‫ﻼ ُﻩ َﻓِﺈنْ َذ َه َﺒﺖْ َﺗ ِﻘﻴْ َﻤ ُﻪ َآﺴْ َﺮ َﺗ ُﻪ َو ِإنْ َﺗ َﺮآْ َﺘ ُﻪ َﻟﻢْ َﻳ َﺬل‬
َ ْ‫ﻀﻠْ ِﻊ َأﻋ‬
َ ْ‫ﺷﻲْ َء ِﻓﻰ اﻟ‬
َ ‫ج‬
َ ‫َأﻋْ َﻮ‬
46
(‫و أﺣﻤﺪ و أﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬,‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ﺧﻴْ ًﺮا‬
َ ‫ﺴﺎ ِء‬
َ ‫ﺻﻮْا ِﺑﺎﻟ ﱠﻨ‬
ُ ْ‫ج َﻓﺎﻟﺴْ َﺘﻮ‬
َ ‫َأﻋْ َﻮ‬
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, ayahku telah berkata padaku
bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’ bersama rasulullah SAW… “Nasehati
isteri dengan cara baik, sesungguhnya mereka dijadikan dari tulang rusuk yang
bengkok dan antara tulang rusuk yang paling sekali ialah tulang yang paling atas.
Jika hendak diperbetulkan dengan cara kasar niscaya ia akan patah dan sekiranya
dibiarkan maka akan berterusanlah ia dalam keadaan bengkok. Maka nasehatilah
isterimu dengan baik.” (H.R. Abu dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
45
Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan UndangUndang Keluarga Islam, hal. 7
46
Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Ahmad Juz III, ((Darul Ihya Turosul al-Arobiy, tth), hal. 498
39
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34, terdapat tiga
kaidah yang patut digunakan oleh suami dalam menangani isteri nusyuz.
☺
⌧
⌧
34:‫اﻟﻨﺴﺎء‬
.
⌧
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar”.(Q.S.An-Nisaa: 34)
Al-Quran menawarkan tiga langkah dalam menyelesaikan sengketa keluarga
yang muncul karena nusyuz, yaitu memberikan nasihat, memisahkan tempat tidur,
dan memukul. Ketiga langkah ini harus ditempuh secara berurut dan tidak boleh
menerapkan langkah memukul sebagai langkah awal dalam kasus nusyuz, akan tetapi
harus bertahap seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran. 47
Tujuan dari ketiga langkah dalam menyelesaiakan masalah nusyuz yaitu
untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya
haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan
dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul
47
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional. (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 191
40
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada
manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. 48
Sikap keegoisan yang berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup rumah
tangga yang ditunjukkan seorang isteri dalam perspektif hukum Islam disebut
dengan nusyuz, bukanlah semata-mata tanpa alasan bersikap demikian. Karena
banyak alasan bagi para isteri, khususnya pada zaman sekarang yaitu zaman modern
banyak motivasi yang mendorong perempuan untuk melakukan sesuatu yang positif
dan juga membantu suami dalam melangsungkan kesejahteraan kehidupan keluarga.
Tetapi terkadang suami tidak mengerti dengan hal yang dilakukan isteri, mereka
menganggap isteri bersikap egois dan ingin menang sendiri tanpa mempedulikan
perintah suami serta keluarga. 49
Pada kehidupan modern ini tidak memberi peluang untuk membatasi gerak
kaum perempuan, kini sudah banyak perempuan yang terjun dalam dunia karier.
Motivasi yang mendorong perempuan terjun ke dunia karier, antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai
lapangan kerja.
48
Ibid., hal. 191
49
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal 296
41
2. Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak. Karena keadaan
keuangan tidak menentu atau pendapat suami tidak memadai/mencukupi
kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan tidak meninggalkan harta
untuk kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya yang harus ia tanggung
sendirian, sementara kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan sehingga
dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.
3.
Untuk alasan ekonomis agar tidak tergantung pada suami, walaupun suami
mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat perempuan
adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada
suami.
4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan
perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segala segalanya, dimana
yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
5. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang merasa
bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan
rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut,
ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang perempuan mungkin
mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah
42
diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di
luar rumah.
7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier.
Seorang yang bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan
lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas
tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka
semakin terbuka bagi perempuan untuk terjun ke dunia karier. 50
Terjunnya perempuan dalam dunia karier, banyak membawa pengaruh
terhadap segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun
kehidupan masyarakat sekitarnya. 51
Hal demikian di atas dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Jika
wanita atau isteri yang terjun ke dunia karier lebih menimbulkan dampak negatif,
maka dapat dikatakan sebagai sifat egoisme yang ditunjukkan seorang wanita atau
isteri dan hal wanita atau isteri seperti ini disebut sebagai tindakan nusyuz seorang
isteri terhadap suami sesuai dengan perspektif hukum Islam.
50
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), hal. 63
51
Ibid., hal. 63
BAB III
ISI POKOK BEBERAPA PUTUSAN
A. ISI POKOK PERKARA NOMOR 76/Pdt.G/ 2009/PA. DEPOK
1. Duduk Perkara/Posita
Dalam nomor perkara 76/Pdt.G/2009/PA. Depok adalah perkara cerai talak,
dimana pihak Pemohon adalah seorang suami yang bernama Arif bin Sukma (nama
samaran), berumur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, yang
beralamat di Gang Bakti IV Kp. Pitar RT. 04 RW. 15 No. 12 Kelurahan Pancoran
Mas, Kecamatan. Pancoran Mas Kota. Depok. Suami (Arif) melawan isterinya yang
bernama Mira binti Kurniawan (nama samaran) berumur 32 tahun juga sama seperti
suaminya, agama Islam, dia berprofesi sebagai salah satu Guru Swasta dan bertempat
tinggal di jalan Sawo RT.04 RW. 014 No.68 Kelurahan Depok Raya, Kecamatan
Pancoran Mas, Depok. Selanjutnya disebut sebagai Termohon 1
Bahwasanya antara Arif dan Mira adalah suami isteri yang sah, mereka telah
melaksanakan pernikahan pada tanggal
4 Agustus 1999 di Pancoran Mas kota
Depok dengan kutipan akta nikah nomor 534/15/VIII/1999 tanggal 06 Agustus 1999
yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, kota
Depok. Sebelum masalah datang menghampiri kehidupan rumah tangga mereka
1
Lampiran Nomor Perkara 76/Pdt.G/2009/PA. Depok, hal. 87
43
44
berdua, awalnya mereka hidup harmonis dan rukun. Tetapi sampai mereka bercerai,
keduanya belum dikaruniai seorang anak di tengah kehidupan rumah tangganya.
Sampai akhirnya, sejak bulan Januari 2008 terjadi perselisihan dan pertengkaran
terus menerus diantara keduanya yang disebabkan oleh keegoisan isteri, ingin
menang sendiri dan selalu menganggap pendapatnya paling benar. Selain itu juga
isteri selalu curiga kepada suami, dia menduga bahwa suaminya memiliki wanita
idaman lain, dan dugaannya di sebabkan percaya dengan perkataan orang lain atau
gossip, padahal dia sendiri tidak pernah melihat kebenarannya bahwa suami tersebut
memiliki hubungan dengan wanita lain. 2
Penyebab lain dari perselisihan mereka adalah adanya intervensi atau selalu
turut campur masalah rumah tangga dari pihak lain yaitu terutama dari pihak
keluarga isteri. Bahkan pihak keluarga isteri pernah menghina Arif (suami) di
hadapan Mira (isteri), tetapi Mira lebih mengutamakan keluarganya dengan tanpa
mengutamakan harga diri suami di hadapan keluarganya. Dan puncak dari
perselisihan mereka yaitu pada bulan September 2008, isteri mengusir suami dari
rumahnya hingga akhirnya suami tinggal dengan kakaknya.3 Sejak saat itu mereka
hidup masing-masing dengan berdomosili pada alamat yang telah disebutkan di atas.
Dalam mengatasi permasalahan rumah tangga mereka, masing-masing pihak
keluarga telah melakukan upaya damai agar kehidupan rumah tangga mereka
2
Ibid., hal. 87
3
Ibid., hal. 87
45
kembali hidup rukun dan harmonis seperti sebelum masalah datang menghampiri
keduanya. Tetapi upaya damai tersebut tidaklah membuahkan hasil, karena mereka
tetap ingin mengakhiri kehidupan rumah tangganya dengan perceraian.
2.
Tuntutan/Petitum Perkara
Adapun tuntutan dalam permohonan suami yaitu meminta kepada majelis
hakim mengabulkan permohonannya dengan pertimbangan permasalahan kehidupan
rumah tangga yang terjadi antara Pemohon dan Termohon. Selain itu, menetapkan
dan memberi izin kepada Pemohon (suami) mengucapkan ikrar talak terhadap
Termohon (isteri) di depan Pengadilan Agama Depok setelah putusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap dan menetapkan biaya perkara menurut hukum.
Akibat dari perceraian tersebut suami harus tetap memberi nafkah iddah
setiap bulannya sejumlah Rp. 600.000-, mut’ah berupa cincin emas 5 gram 23 karat
dan nafkah lampau terhitung September 2008 sampai dengan Februari 2009 sejumlah
Rp. 500.000 atau Rp. 3.000.000 -, bahwa pemberian nafkah iddah dan nafkah lampau
akan dibayar secara berangsur 3 bulan untuk tiga kali pembayaran masing-masing
Rp. 1.600.000 4
Selama dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan, pemohon dalam
repliknya menjawab bahwa dia tetap ingin bercerai dengan termohon. Begitupun
4
Ibid., hal. 87
46
sebaliknya, termohon dalam dupliknya tetap ingin mengakiri kehidupan rumah
tangganya dengan perceraian dan tidak keberatan atas kesediaan pemohon untuk
memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta nafkah lampau bagi termohon. 5
Dan masing-masing pihak yang berperkara telah mengajukan bukti berupa
fhoto copy Kutipan Akta Nikah Nikah Nomor 534/15/VIII/1999 tanggal 6 Agustus
1999 dari yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan Pancoran Mas Kota Depok (dahulu
kabupaten Bogor oleh Ketua Majelis diberi kode (P), dan saksi-saksi dari keluarga di
persidangan bertujuan untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya.
3. Pertimbangan Hukum
Majelis hakim telah berupaya melakukan mediasi pada tanggal 10 Februari
2009 sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, tetapi atas
pertimbangan masalah rumah tangga yang tidak bisa lagi dicari jalan keluar yang
baik diantara pemohon dan termohon, maka mediasi tidak membuahkan hasil yang
baik. 6
Pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan bukti-bukti yang telah disebutkan
diatas, maka majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk mengucapkan
ikrar talak satu raj’i terhadap termohon. Selain itu dengan adanya perselisihan dan
5
Ibid., hal. 87
6
Ibid., hal. 87
47
pertengkaran terus menerus diantara mereka, maka seperti yang telah diatur pada
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam mengabulkan permohonan Pemohon. Dan berdasarkan
ketentuan Pasal 89 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka biaya perkara
dibebankan kepada Pemohon. 7
B.
ISI POKOK PERKARA NOMOR 914/Pdt.G/2009/PA. Depok
1. Duduk Perkara/Posita
Pada nomor perkara 914/Pdt.G/2009/PA.Depok yaitu perkara cerai talak
juga seperti perkara yang pertama. Di dalamnya dijelaskan para pihak yang
berperkara adalah
Cipto bin Marzuki (samaran) suami sebagai pemohon yang
berusia 26 tahun, agama Islam, pendidikan SMU, pekerjaannya sebagai buruh dan
sekarang bertempat tinggal jalan Pondok Terong Bojong Pulo gang Pulo No.18 RT.
03 RW. 03, Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Kota
Depok. Dan termohon atau tergugat adalah Indri binti Dermawan (samaran) berusia
22 tahun, agama Islam, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal
di jalan Pondok Terong Bojong Pulo Gang Pulo No.49 RT. 03 RW. 03, Kelurahan
Bojong Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. 8
7
Ibid., hal. 87
8
Lampiran Putusan Perkara Nomor 914/Pdt. G/2009/PA. Depok. Hal. 95
48
Pemohon dan termohon telah mengikat janji dalam sebuah ikatan suci
pernikahan menjadi suami isteri, pernikahan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal
20 April 2006, di Pancoran mas, Kota Depok, dengan Kutipan Akta Nikah nomor
803/161/IV/2006 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Pancoran Mas, Kota Depok. 9
Selama menjalani kehidupan rumah tangga, mereka hidup rukun, harmonis,
bahagia. Tetapi, kehidupan di dunia ini seperti roda selalu berputar terkadang di
bawah dan di atas, begitupun hidup terkadang bahagia dan sedih dengan berbagai
masalah yang datang menghampiri sehingga membuat kebahagiaan yang ada hilang
di tengah kehidupan manusia.
Masalah rumah tangga yang datang menghampiri suami isteri tersebut
(Cipto dan Indri) yaitu sejak Januari 2009, membuat perselisihan dan pertengkaran
terus menerus yang disebabkan isteri egois, ingin menang sendiri, keras kepala, dan
mengabaikan serta menyepelekan nasihat dari suami. 10
Puncak dari perselisihan keduanya yaitu pada bulan Maret 2009, termohon
(isteri) minta dipulangkan kerumah orang tuanya. Akhirnya pemohon (suami)
mengantarkan pulang isteri ke rumah orang tuanya, dengan permasalah keluarga
tersebut suami sudah tidak sanggup lagi untuk mempertahankan rumah tangganya
9
Ibid., hal. 95
10
Ibid., hal. 95
49
karena sikap isteri yang kurang baik terhadap suami. Sejak saat itu pula keduanya
pisah rumah dan akhirnya pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama
Depok untuk mengakhiri kehidupan rumah tangga beserta isteri dengan bercerai. 11
Dalam mengatasi masalah rumah tangga antara pemohon dan termohon,
pihak keluarga dari keduanya telah berupaya untuk mendamaikan pemohon dan
termohon, tetapi tidak menghasilkan jalan keluar yang baik dan tidak bisa kembali
hidup rukun. 12
2. Petitum/Tuntutan Perkara
Mengenai tuntutan yang diinginkan oleh pemohon dalam permohonannya
kepada majelis hakim yaitu, agar mengabulkan permohonannya dan menetapkan
untuk memberi izin kepada pemohon mengucapkan ikrar talaq terhadap termohon di
depan sidang pengadilan setelah memiliki kekuatan hukum tetap, serta menetapkan
biaya perkara menurut hukum. 13
Selama proses pemeriksaan perkara dalam persidangan yang telah
ditentukan pemohon dan termohon tidak pernah hadir, padahal keduanya telah
dipanggil secara resmi dan patut, dan tidak pernah menyuruh orang lain sebagai
wakilnya. Ternyata ketidakhadirannya itu disebabkan suatu halangan yang sah.
11
Ibid., hal. 95
12
Ibid., hal. 95
13
Ibid., hal. 95
50
2.
Pertimbangan Hukum
Berdasarkan atas maksud dan tujuan permohonan pemohon dalam
petitum/tuntutan adalah ingin bercerai, tetapi para pihak yang berperkara tidak
pernah hadir dalam persidangan dan tidak pernah juga menyuruh orang lain sebagai
wakilnya, padahal pihak pengadilan telah memanggil keduanya dengan resmi dan
patut. 14
Pertimbangan hukum lain yang digunakan majelis hakim yaitu berdasarkan
ketentuan Pasal 124 HIR, permohonan pemohon dinyatakan gugur. Bahwasanya
majelis hakim berpendapat tidak adanya kesungguh-sungguhan dengan permohonan
pemohon. Dan oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
berdasarkan Pasal 89 ayat(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua biaya
yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon. 15
C. ISI POKOK PERKARA NOMOR 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok
1.
Duduk Perkara/Posita
Bahwa Pemohon dan Termohon dalam surat permohonannya tertanggal 15
Desember 2008 telah mendaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok
dengan register perkara Nomor 1301/pdt. G/2008/PA. Depok. Pada perkara ini
14
Ibid., hal. 95
15
Ibid., hal. 95
51
seperti dua perkara sebelumnya, adalah perkara cerai talaq. Dimana pemohonnya
adalah suami yang bernama Ahmad bin Daud (samaran) berumur 26 tahun, agama
Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan karyawan swasta dan beralamat di tinggal di
jalan Andara RT. 01 RW.01 No. 43, Kelurahan Pangkalan Jati Baru, Kecamatan
Limo, kota Depok. Adapun termohon adalah Siti binti Jhoni (samaran) berumur 26
tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di
jalan H. Terin RT. 02 RW.03 No. 60, Kelurahan Pangkalan Jati Baru, Kecamatan
Limo, Kota Depok. 16
Bahwa antara pemohon dan termohon adalah suami isteri yang sah, dan telah
melaksanakan pernikahan pada tanggal 23 Februari 2004, dengan Kutipan Akta
Nikah Nomor 163/119/II/2004 tanggal 24 Februari 2004, yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Limo, Kota Depok. Dan selama
pernikahan keduanya telah dikaruniai dua orang anak yang bernama Puteri (samaran)
umur 5 tahun dan Rizal (samaran) umur 9 bulan.
Semula kehidupan rumah tangga mereka adalah rukun dan harmonis, tetapi
sejak tahun 2005 badai kehidupan rumah tangga menerpa mereka dengan berbagai
masalah yang datang. Penyebab permasalahan tersebut adalah karena sikap isteri
16
Lampiran Salinan Putusan Perkara Nomor 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok hal. 99
52
yang mempunyai sifat keras kepala, egois dan mau menang sendiri, merasa
pendapatnya yang paling benar sehingga seringkali nasehat Pemohon diabaikan. 17
Alasan lain yang membuat suami menceraikan isterinya yaitu karena sikap
isteri yang acuh atau kurang memperhatikan ayah mertua yang sudah lanjut usia dan
mulai sakit-sakitan, padahal tempat mereka tinggal bersebelahan dengan ayah
mertua. 18 Seharusnya sebagai anak menantu, dia harus menghormati dan bersikap
baik terhadap orang tua (mertua) layaknya kepada orang tua kandung sendiri.
Setiap kali pemohon dan termohon bertengkar, termohon selalu pergi
meninggalkan rumah dan pergi ke rumah orang tuanya sehingga termohon
melalaikan kewajiban sebagai isteri. Termohon juga selalu curiga akan penghasilan
pemohon yang hanya sebagai karyawan swasta. Dan puncak dari perselisihan
keduanya yaitu pada tanggal 19 Agustus 2008 ketika salah satu anak dari mereka
sedang sakit, seharusnya sebagai seorang ibu atau orang tua merawat dan membawa
berobat anaknya ke rumah sakit, tapi termohon memulai perselisihan dengan
mengungkit penghasilan pemohon dan pergi meninggalkan rumah, dan dari sikap
isteri yang tak kunjung berubah
17
Ibid., hal. 99
18
Ibid., hal. 99
membuat pemohon tidak sanggup lagi untuk
53
mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Hingga akhirnya jalan keluar yang
terbaik untuk permasalahan tersebut adalah perceraian.19
Dan mulai tanggal 19 Agustus 2008 antara pemohon dan termohon resmi
pisah rumah dan kini berdomisili pada alamat tersebut di atas. Bahwasanya masingmasing keluarga telah melakukan upaya damai untuk merukunkan kembali
kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon. Tapi upaya damai tersebut tidak
membuahkan hasil yang baik seperti yang dinginkan masing-masing keluarga. 20
Dengan beberapa kejadian tersebut di atas, rumah tangga antara pemohon dan
termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi sehingga rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah, tidak dapat tercapai. Pemohon merasa menderita
lahir dan batin akan perilaku isteri dan sudah tidak mungkin untuk meneruskan
rumah tangga dengan termohon serta tidak ada jalan terbaik kecuali dengan
perceraian.
2. Petitum/Tuntutan Perkara
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka pemohon meminta kepada majelis
hakim dalam permohonannya untuk mengadili dan menjatuhkan putusan dengan
seadil-adilnya yaitu mengabulkan permohonan pemohon, menetapkan serta
19
Ibid., hal. 99
20
Ibid., hal. 99
54
memberikan izin untuk mengucapkan ikrar talaq terhadap termohon di depan sidang
Pengadilan Agama Depok setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dan
membayar biaya perkara menurut hukum. 21
Pada hari sidang yang telah ditetapkan pemohon telah hadir tetapi lain hal
dengan termohon dia tidak datang untuk menghadap atau menyuruh orang lain
sebagai wakilnya yang sah di persidangan. Meskipun menurut relaas panggilan
tanggal 18 agustus 2009 dan 15 Januari 2010 yang disampaikan oleh Juru Sita
Pengadilan Agama Depok, dimana masing-masing relaas dibacakan dalam
persidangan oleh Ketua Majelis, ternyata ketidakhadiran termohon karena suatu
halangan yang sah menurut hukum. 22
Selama proses persidangan majelis hakim selalu menasehati untuk bersabar
menunggu termohon dan kalau bisa hidup rukun kembali dengan termohon namun
itu tidak berhasil. Dan sebagai akibat terjadinya talaq yang dijatuhkan oleh pemohon
terhadap termohon, pemohon akan memberikan termohon berupa mut’ah yaitu cincin
emas seberat 5 gram, nafkah selama iddah yang seluruhnya Rp. 600.000 (Enam
Ratus Ribu Rupiah), nafkah anak Rp. 400.000 (Empat Ratus Ribu Rupiah),
pengembalian mahar berupa cincin emas 5 gram. 23
21
Ibid., hal. 99
22
Ibid., hal. 99
23
Ibid., hal. 99
55
Dalam memperkuat dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan buktibukti berupa bukti tertulis yaitu foto copy buku Kutipan Akta Nikah atas nama
Pemohon dam Termohon, dengan Nomor 163/119/II/2004 tanggal 24 Februari yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Limo kota Depok yang
telah dibubuhi materai pos dan telah dicocokan dengan yang asli, lalu diberi kode P.
Selain itu juga Pemohon mengajukan bukti lain dengan menghadirkan 2 orang saksi
yaitu ayah kandung dan teman dekat dari Pemohon. Dengan di bawah sumpahnya
para saksi di persidangan memberikan keterangan sebenar-benarnya yang mereka
ketahui dari permasalahan keluarga yang terjadi antara Pemohon dan Termohon. 24
Atas keterangan 2 orang saksi tersebut Pemohon membenarkan seluruh
keterangannya, kemudian Pemohon mengajukan kesimpulan yang pada pokok isinya
tetap pada pendiriannya untuk tetap bercerai dari Termohon.
3.
Pertimbangan Hukum
Majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas
yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi yang menyatakan tidak sanggup untuk
merukunkan Pemohon dan Termohon, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
hubungan antara Pemohon dan Termohon dalam membina rumah tangga sudah tidak
harmonis sehingga sulit untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana maksud
24
Ibid., hal. 99
56
dari Al-Quran surat ar-Ruum ayat 21 dan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam(INPRES Nomor 1 Tahun 1991). 25
Dengan kondisi kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis lagi dan hanya
menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Maka berdasarkan hal
tersebut telah memenuhi maksud pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
beserta penjelasannya dan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dengan demikian permohonan
Pemohon untuk bercerai dengan Termohon cukup beralasan dan tidak melawan
hukum, sehingga permohonan Pemohon tersebut dapat dikabulkan dengan
mengizinkan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon di depan
sidang Pengadilan Agama Depok. 26
Dengan demikian Pemohon patut dihukum untuk memberikan mut’ah, nafkah
iddah, nafkah anak, dan pengembalian mahar kepada Termohon sesuai dengan
kesanggupannya tersebut yang akan dituangkan kembali sebagaimana dalam amar
putusan.
Berdasarkan perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka pada
pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun1989, sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
25
Ibid., hal. 99
26
Ibid., hal. 99
57
semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon. Serta pasal
125 HIR dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan
dengan perkara ini. 27
Selanjutnya, Majelis Hakim mengadili perkara No.1301/Pdt.G/2008/PA.
Depok ini sebagai berikut:
1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan, tetapi tidak hadir.
2. Mengabulkan permohonan Pemohon dengan Verstek.
3. Memberi izin kepada Pemohon unyuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Depok.
4. Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon:
a.
Mut’ah cincin emas seberat 5 gram
b.
Nafkah selama menjalani iddah seluruhnya Rp.600.000 (Enam
Ratus Ribu Rupiah)
c.
Nafkah anak Rp.400.000 (Empat Ratus Ribu Rupiah) setiap
bulan
d.
27
Ibid., hal. 99
Pengembalian mahar berupa cincin emas seberat 5 gram
58
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 221.000 (Dua Ratus Dua Puluh Satu Ribu Rupiah). 28
Demikianlah isi pokok dari ketiga putusan perkara yang di dapat penulis dari
Pengadilan Agama Depok, dimana yang menjadi point utama dari permasalah
tersebut di atas adalah sikap egoisme isteri, ingin menang sendiri, menganggap
segala pendapatnya itu paling benar daripada suami. Dan dari perilaku isteri itulah
yang menjadi alasan suami untuk menceraiakan isterinya.
28
Ibid., hal. 99
Download